Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Pengawas Minum Obat (PMO)
a. Pengertian PMO
Menurut Depkes RI (1999) PMO adalah seseorang yang ditunjuk
dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita tuberkulosis dalam
meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga,
tetangga, kader atau tokoh masyarakat atau petugas kesehatan.
Pengawas Minum Obat merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menjamin kepatuhan penderita untuk minum obat sesuai dengan dosis dan
jadwal seperti yang telah ditetapkan.
b. Tugas Pengawas Minum Obat
Menurut Depkes RI (1999), seseorang yang telah ditunjuk menjadi
PMO mempunyai kewajiban sebagai berikut :
1) Mengikuti pelatihan singkat dari petugas kesehatan mengenai penyakit
atau bahayanya tuberkulosis, mengenai perlunya minum obat dengan
teratur dan penyelesaian pengobatan sesuai jadwal,
perlunya evaluasi dahak dan efek samping obat serta kapan harus
meminta pertolongan.
2) Mengawasi minum obat harian di rumah.

3) Mencatat obat yang telah diminum dan mencatat keluhan yang dialami
penderita.
4) Ikut serta dalam pengambilan obat berikutnya sebelum obat habis dan ikut
dalam pemeriksaan dahak penderita.
5) Memberi motivasi ke penderita supaya tidak terjadi kegagalan berobat
serta menjadi penyuluh kesehatan.
2. Peranan Keluarga sebagai PMO
Menurut

Mangunnegoro

dan

Suryatenggoro

(1994)

dalam

pengawasan pengobatan, petugas kesehatan harus mengikutsertakan keluarga


supaya pasien dapat berobat secara kontinyu.

Dukungan keluarga dan

masyarakat mempunyai andil yang besar dalam meningkatkan kepatuhan


pengobatan penderita (Becher, 1997).
Peran keluarga yang dapat dilakukan dalam perawatan penderita
tuberkulosis di rumah yaitu sebagai PMO, pengawas penampungan dahak,
mengawasi dan membantu membersihkan alat-alat makan dan minum
penderita serta menepati janji kontrol (Noviadi, 1999).
Perawatan penderita TB paru di rumah yang dapat dilakukan oleh
keluarga meliputi :
1) Mengawasi anggota keluarga yang sakit untuk menelan obat secara
teratur sesuai dengan anjuran petugas kesehatan.
2) Mengetahui adanya gejala atau efek samping obat dan merujuk penderita
kalau perlu.
3) Memberikan makanan yang bergizi.

4) Memberikan waktu istirahat kepada anggota keluarga yang sakit minimal


8 jam sehari.
5) Olah raga yang teratur di tempat yang berudara segar.
6) Memeriksakan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan ke 2, 5
dan 6.
7) Memodifikasi lingkungan yang dapat mendukung kesembuhan penderita
TB paru antara lain mengupayakan rumah yang memenuhi syarat
kesehatan, misalnya : mempunyai jendela atau ventilasi yang cukup,
bebas debu rumah dan lantai tidak lembab.
3. Kepatuhan berobat
a. Pengertian Kepatuhan
Menurut Sackett dikutip Niven (2002), mendefinisikan kepatuhan
pasien yaitu sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang di
berikan profesional kesehatan.
Kepatuhan berobat adalah tingkah perilaku penderita dalam
mengambil suatu tindakan atau upaya untuk secara teratur menjalani
pengobatan (Muzaham, 1995).

Menurut penelitian Rusmani (2002)

menyebutkan bahwa kepatuhan adalah suatu perbuatan untuk bersedia


melaksanakan aturan pengambilan dan minum obat sesuai jadwal yang telah
ditetapkan.
Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan
pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6
bulan sampai dengan 8 bulan (Depkes RI, 2002), sedangkan penderita yang

tidak patuh datang berobat dan minum obat bila frekuensi minum obat tidak
dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2002).
Menurut Snider dikutip Aditama (1997) menyatakan bahwa salah satu
indikator kepatuhan penderita adalah datang atau tidaknya penderita setelah
mendapat anjuran kembali untuk kontrol. Seorang penderita dikatakan patuh
menjalani pengobatan apabila minum obat sesuai aturan paket obat dan
ketepatan waktu mengambil obat sampai selesai masa pengobatan.
Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih 3 hari 2 bulan
dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out jika lebih dari 2 bulan berturutturut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan (Depkes RI,
2002).

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan


Menurut teori Green dikutip Nukman (1997), perilaku kepatuhan
berobat dipengaruhi oleh :
1) Faktor yang mendasar atau faktor yang ada dalam diri individu yang
mempengaruhi perilaku kepatuhan (predisposing factors) antara lain :
a) Pengetahuan mengenai penyakitnya, sikap dan tekad untuk sembuh
dari penderita.
b) Tingkat pendidikan penderita.
Makin rendahnya pengetahuan dan pendidikan penderita tentang
bahaya penyakitnya, dan

pentingnya berobat secara tuntas untuk

dirinya, makin besar pula bahaya penderita menjadi sumber penularan


baik di rumah maupun di lingkungan sekitar (Entjang, 2000).
2) Faktor yang memperkuat atau faktor yang mendorong (reinforcing
factors) antara lain adanya dukungan atau motivasi dari keluarga,
masyarakat dan lingkungan sekitar. Menurut Becher (1997) dukungan
keluarga

dan

masyarakat

mempunyai

andil

yang

besar

dalam

meningkatkan kepatuhan pengobatan penderita. Program pengendalian


penderita (case holding) berupa usaha pengobatan secara teratur sampai
mencapai kesembuhan, salah satu upayanya adalah menentukan seorang
pengawas bagi tiap penderita, dipilih dari anggota keluarganya yang
berwibawa atau seseorang yang tinggal dekat rumah yang bertugas untuk
memantau dan memotivasi penderita.
3) Faktor yang mendukung (enabling factors) antara lain :
a) Tersedianya fasilitas kesehatan.
b) Kemudahan untuk menjangkau sarana kesehatan.
c) Keadaan sosial ekonomi atau budaya.
Menurut

penelitian

Aditama

(1997),

menyebutkan

bahwa

lingkungan atau jarak yang jauh dari tempat pelayanan kesehatan


memberika

kontribusi rendahnya kepatuhan,

sebagian responden

memilih faslitas kesehatan yang relatif dekat dengan rumahnya.


Keadaan sosial ekonomi yang rendah dapat menghambat keteraturan
berobat, hal ini dapat diperberat dengan jarak yang jauh dari pelayanan
kesehatan sehingga memerlukan biaya transportasi.

Sementara itu menurut Niven (2002), bahwa faktor-faktor yang


mempengaruhi ketidakpatuhan digolongkan menjadi 4 bagian, yaitu:
1) Pemahaman klien terhadap instruksi.
Jika klien paham terhadap intruksi yang diberikan padanya maka
klien tidak dapat mematuhi intruksi tersebut dengan baik. Terkadang hal
ini dapat di sebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam
memberikan informasi yang lengkap,

banyak menggunakan istilah

medis dan banyak memberikan instruksi yang harus di ingat oleh klien.
2) Kualitas interaksi.
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan klien
merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan,
dari hasil penelitiannya dikemukakan adanya kaitan yang erat antara
kepuasan konsultasi dengan kepatuhan.
3) Keluarga.
Keluarga dapat menjadikan faktor yang sangat berpengaruh
dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat
juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.
Keluarga juga memberikan dukungan dan membuat keputusan mengenai
perawatan dari anggota yang sakit, serta menentukan keputusan untuk
mencari dan mematuhi anjuran pengobatan.
4) Keyakinan, Sikap dan Kepribadian.

Klien yang tidak patuh adalah orang-orang yang mengalami


depresi, ansietas, memiliki kekuatan ego lebih lemah dan kehidupan
sosialnya lebih memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri.
c. Mengurangi Ketidak Patuhan
Menurut

Dinicola

dan

DiMatteo

dikutip

Niven

(2002),

mengemukakan 5 rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien :


1) Menumbuhkan kepatuhan dengan mengembangkan tujuan kepatuhan.
Klien akan dengan senang hati mengungkapkan tujuan kepatuhannya, jika
pasien memiliki keyakinan dan sikap positif terhadap tujuan tersebut serta
adanya dukungan dari keluarga dan teman terhadap keyakinannya
tersebut.
2) Mengembangkan

strategi

untuk

merubah

perilaku

dan

mempertahankannya.
Sikap pengontrolan diri membutuhkan pemantauan terhadap dirinya,
evaluasi diri dan penghargaan tergadap perilaku yang baru tersebut.
3) Mengembangkan kognitif.
Pengembangan kognitif tentang masalah kesehatan yang dialami, dapat
membuat pasien menyadari masalahnya dan dapat menolong mereka
berperilaku positif terhadap kepatuhan.
4) Dukungan sosial.
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga
lain merupakan faktor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap
program-program medis.

Keluarga dapat mengurangi ansietas yang

disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap


ketidaktaatan.
1. Tuberkulosis
a. Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TBC
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang tetapi
dapat juga mengenai organ lain.
b. Tanda dan Gejala
Gejala utama tuberkulosis adalah batuk berdahak terus menerus selama 3
minggu atau lebih. Tanda dan gejala tambahan lain berupa keluar dahak
bercampur darah (batuk darah), sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan,
berkeringat malam hari walau tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari
sebulan.
c. Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif, pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TBC masuk
kedalam tubuh manusia, kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian
tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem limfe, saluran nafas atau
penyebaran langsung ke bagian-bagaian tubuh lainnya.

d. Komplikasi
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik dan tersumbatnya jalan
nafas.
2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
3) Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4) Pneumothorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan : kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru.
5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian dan
ginjal.
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu di rawat di rumah sakit.
2. Pengobatan Tuberkulosis
a. Tujuan Pengobatan
Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah menyembuhkan penderita, mencegah
kematian, ,mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan
(Depkes RI, 1997).
b. Prinsip Pengobatan
Obat TBC di berikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman
dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai
dosis tunggal, sebaiknya dalam keadaan perut kosong. Apabila paduan obat

yang di gunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan)
kuman TBC dapat berkembang menjadi kuman yang kebal obat (resisten).
Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu
pengawasan langsung oleh PMO.
Pada tahap intensif, penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT
terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut di berikan secara
tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif
(Konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap
intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten.

Pada

tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
c. Jenis dan Dosis OAT
Paduan OAT yang dipakai, diprogram sesuai dengan rekomendasi WHO
berupa pasuan OAT jangka pendek yang terdiri dari 3 kategori yaitu : kategori
I, II, dan III, sesuai hasil uji BTA sputum dan pemeriksaan radiologi. Setiap
kategori terdiri 2 fase pemberian yaitu fase awal (intensif) dan fase lanjutan (
intermitten). Berikut ini kategori OAT yang meliputi :
1) OAT kategori I
a) Indikasi

(1)

Diindikasikan untuk penderita TB Paru menular (baru ditemukan


dan belum pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan) dan pada
pemeriksaan dahaknya secara mikroskopis menunjukkan Basil
Tahan Asam (BTA) positif 2 kali atau 3 kali pemeriksaan dahak.

(2)

Diindikasikan untuk penderita baru dengan BTA negatif, tetapi


menunjukkan gejala positif pada pemeriksaan roentgen.

b) Dosis
(1) Fase awal
Satu blister kombipak II, diminum setiap hari (intensif) terdiri dari
:
(a) Isoniazid @ 300 mg = 1 dosis/hari.
(b) Rifampisin @ 450 mg = 1 dosis/hari.
(c) Pirazinamid @ 500 mg = 3 dosis/hari.
(d) Ethambutol @ 200 mg = 3 dosis/hari.
Lama pengobatan 2 bulan, jumlah minum obat sebanyak 60 kali
menelan obat dilanjutkan fase lanjutan 1 dosis harian kombipak III
selama 3 kali selama 4 bulan berikutnya (54 kali menelan obat).
(2) Fase lanjutan
Satu blister kombipak III sehari,

diminum 3 kali seminggu

(intermiten) terdiri dari :


(a) Isoniazid @ 300 mg = 2 dosis/hari.
(b) Rifampisin @ 450 mg = 1 dosis/hari.

Selama pengobatan kategori I diharuskan menelan OAT secara


teratur sesuai jadwal terutama pada fase awal pengobatan untuk
menghindari terjadinya kegagalan pengobatan (setelah selesai
jadwal rangkaian sesuai dengan aturan, pada pemeriksaan
mikroskopis menunjukkan BTA positif) dan terjadi BTA positif
lagi

setelah

dinyatakan

sembuh

dan

diusahakan

untuk

menyelesaikan menelan OAT sesuai jadwal pengobatan selama 6


bulan (114 kali menelan obat).
2) OAT kategori II
a) Indikasi
Diindikasikan untuk penderita yang kambuh dan gagal pengobatan
yaitu pada pemeriksaan dahaknya secara mikroskopis menunjukkan
BTA positif setelah dinyatakan sembuh dari TB paru.
b) Dosis dan komposisi OAT kategori II :
(1) Fase awal atau intensif, ,kombipak II terdiri dari :
(a) Isoniazid (H) @ 300 mg = 1 dosis/hari.
(b) Rifampisin (R) @ 450 mg = 1 dosis/hari.
(c) Pirazinamid (Z) @ 500 mg = 3 dosis/hari.
(d) Etahmbutol (E) @ 250 mg = 3 dosis/hari.
Satu dosis harian kombipak II setiap hari selama 3 bulan (90
kali menelan obat).
(e) Sterptomisin (S) = @ 0,75 gr = dosis/hari 0,5 vial injeksi
diberikan selama 2 bulan pertama (60 kali suntikan).

(2) Fase lanjutan atau intermitten terdiri dari :


(a) Isoniazid (H) @ 300 mg = 2 dosis/hari.
(b) Rifampisin (R) @ 450 mg = 1 dosis/hari.
(c) Ethambutol (E) 1200 mg = 2 dosis/hari @ 500 mg dan 1
dosis/hari 250 mg.
Dalam 1 dosis harian kombipak IV, seminggu 3 kali selama 5
bulan (66 kali menelan obat).
3) OAT kategori III
a) Indikasi
Untuk penderita baru TB paru dengan BTA negatif dan radologi
positif.
b) Dosis
(1) Pada fase awal.
Satu dosis harian kombipak I setiap hari selama 2 bulan (60 kali
menelan obat) yang terdiri dari :
(a) Isoniazid (H) @ 300 mg = 1 dosis/hari.
(b) Rifampisin (R) @ 450 mg = 1 dosis/hari.
(c) Ethambutol (E) @ 500 mg = 3 dosis/hari.
(2) Pada fase lanjutan
Satu dosis harian kombipak III seminggu 3 kali selama 4 bulan (54
kali menelan) obat terdiri dari :
(a) Isoniazid (H) @ 300 mg = 2 dosis/hari.
(b) Rifampisin (R) @ 450 mg = 1 dosis/hari.

B. Kerangka teori
Patuh

Sembuh

Predisposing factors :
- Pengetahuan
- Pendidikan
- Sikap

Reinforcing factors :
- dukungan keluarga
- motivasi keluarga
- dukungan
masyarakat

Tingkat
Tingkat
Kepatuhan
Kepatuhan
miMinum
num obat
obat
TBC
TBC

Kambuh
Gagal

Tidak
patuh
Enabling factors :
- Tersedia fasilitas
- Sosial ekonomi
- Jarak

Kematian
Sumber
penularan
Pengobatan
bertambah
lama

Pemahaman terhadap instruksi


Kualitas interaksi
Keluarga
Sikap
Nilai
Keyakinan

Sumber : Green Cit Nukman (1997), Niven ( 2002).

C. Kerangka Konsep
Variabel Independen

Variabel Dependen

Peran keluarga
sebagai PMO

Kepatuhan berobat

Faktor-faktor yang mempengaruhi:


-

Pengetahuan, Pendidikan, Sikap

Dukungan keluarga,motivasi keluarga,Dukungan masyarakat

Tersedia fasilitas, Sosial ekonomi, Jarak

Keterangan:

= Area Kerangka Konsep.


= Area yang diteliti.

D. Variabel Penelitian
Variabel bebas dari penelitian ini adalah peran keluarga yaitu perilaku
seseorang yang di harapkan bagaimana tiap anggota keluarga tersebut bertingkah
laku, yang diperoleh secara tidak langsung melalui kebiasaan yang lazim untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota keluarga serta memberikan respon terhadap
perubahan dalam keluarga (Bomar, 1992).
Variabel terikatnya adalah kepatuhan, yaitu sejauh mana perilaku pasien
sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Sackett Cit
Niven, 2002).

E. Definisi Operasional
1. Peran Keluarga sebagai Pengawas Minum Obat (PMO).

Yaitu penilaian responden terhadap perilaku seseorang yang masih ada


hubungan kekerabatan dan tinggal serumah untuk memantau pengobatannya,
yang telah di tunjuk dan di sepakati menjadi PMO pada saat responden
dinyatakan menderita tuberkulosis. Cara mengukur peran PMO yaitu dalam hal
: mengingatkan minum obat, membantu menyiapkan OAT, mencatat obat yang
diminum dan keluhan yang dirasakan penderita, mengawasi minum obat, ikut
serta dalam pengambilan obat, konsultasi dan menanggapi pelayanan kesehatan,
serta memberikan motivasi dan saran kepada penderita untuk tetap patuh dan
disiplin minum obat. Alat ukur menggunakan Rating scale, yang dikategorikan
dengan skala nominal dengan 2 tingkat yaitu baik, dan tidak baik.
2. Kepatuhan berobat
Yaitu perilaku atau perbuatan yang dilakukan oleh responden dalam
mentaati jadwal pengobatan yang telah ditetapkan, meliputi pengambilan OAT
pada fase awal (pengobatan dari bulan ke -1 sampai bulan ke- 2) dan fase
lanjutan (pengobatan dari bulan ke- 3 sampai bulan ke- 6) di Puskesmas
Salaman I Kabupaten Magelang, dilihat kepatuhan kunjungan melalui kartu
berobat penderita dari awal pengobatan sampai dengan akhir bulan ke-6 pada
saat kunjungan dan dikategorikan dengan skala nominal, yaitu patuh dan tidak
patuh. Dikatakan patuh (total complience) bila penderita berobat secara teratur
sesuai batas waktu yang ditetapkan dan meminum obat secara teratur sesuai
petunjuk. Sedangkan dikatakan tidak patuh (non complience) bila penderita
mengalami putus berobat pada waktu yang telah ditetapkan.

A. Hipotesis
Ada hubungan antara peran keluarga sebagai Pengawas Minum Obat dengan
kepatuhan penderita tuberkulosis.

Anda mungkin juga menyukai