Anda di halaman 1dari 12

Textbook Reading

AMPUTASI EKSTREMITAS BAWAH


Diambil dari Buku:
Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation
halaman 599 (Lower Limb Amputation) second-edition
Edited by: Walter R., Frorentera, Julie K. Silver, Thomas D.,Rizzo

Disusun Oleh:
Venny Soentanto, S.Ked 040848114160113
Vitria Mega Putri, S.Ked

040848114160124

Pembimbing:
dr. Jalalin, Sp.KFR

DEPARTEMEN REHABILITASI MEDIK


RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015

HALAMAN PENGESAHAN

Textbook Reading

Judul:
AMPUTASI EKSTREMITAS BAWAH

Oleh:
Venny Soentanto, S.Ked 040848114160113
Vitria Mega Putri, S.Ked 040848114160124

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit
Moh. Hoesin Palembang periode 26 Januari- 12 Februari 2015.

Palembang,

Februari 2015

dr. Jalalin, Sp.KFR

AMPUTASI EKSTREMITAS BAWAH


Sinonim
Amputasi di bawah lutut amputasi transitibial
Amputasi di atas lutut amputasi transfemoral
Symes amputation (foot disarticulation)
Nyeri neuropati nyeri disestetik
Residual limb stump

Definisi
Penyebab terbanyak amputasi pada ekstremitas bawah adalah akibat penyakit vaskuler
(80%).1 Lebih dari setengah (53,6%) adalah amputasi pada transfemoral (25,8%) dan
transtibial (27,6%), 31% termasuk ibu jari kaki.2 Kebanyakan amputasi ini dialami penduduk
usia > 60 tahun. Pada tahun 2001, insidensi amputasi untuk ekstremitas bawah di Amerika
Serikat diperkirakan 6,5 per 1000 penduduk dengan diabetes. Sebanyak hampir 82.000 pasien
diabetes non-trauma berhubungan dengan amputasi bagian ini setiap tahunnya. 3 Sekitar 70%
amputasi ini terjadi sebagai akibat komplikasi diabetes dan penyakit pembuluh darah perifer.
Trauma adalah penyebab terbanyak berikutnya (22%), dan diikuti oleh tumor (5%). Akan
tetapi, pada anak-anak usia 10 20 tahun, penyebab terbanyak amputasi ekstremitas atas
maupun bawah adalah tumor. Perbandingan jumlah amputasi pada laki-laki dan perempuan
akibat suatu penyakit adalah 2.1:1 dan 7,2:1 akibat trauma.3

Gejala
Gejala sisa akibat post operasi atau post trauma dari amputasi yaitu pasien akan kehilangan
seluruh atau sebagian ekstremitasnya. Dalam keadaan tertentu, mungkin ada beberapa gejala
lain yang berhubungan seperti phantom limb sensation, phantom pain, stump pain dan nyeri
dari operasi itu sendiri.
Phantom limb sensation adalah persepsi dimana pasien merasa masih adanya ekstremitas
yang sudah diamputasi tersebut dan terkadang berada dalam posisi yang salah. Gejala ini
akan menghilang dalam 1 tahun pertama setelah amputasi, biasanya terjadi dalam istilah
fenomena teleskop. Fenomena teleskop adalah suatu persepsi bahwa aspek distal dari
ekstremitas (dalam hal ini kaki) yang diamputasi tersebut bergerak mendekat dan semakin
mendekat ke arah titik amputasi tersebut.
Phantom limb pain didiferensiasikan sebagai persepsi yang sangat nyeri akibat hilangnya
salah satu bagian tubuh. Insidensi dari phantom limb pain sangat bervariasi dan dilaporkan
0,5% hingga 100% pada pasien amputasi. Variasi ini terjadi karena perbedaan dalam metode
peneleitian dan populasi. Studi terbanyak mengatakan bahwa hingga 85% pasien amputasi

akan mengalami phantom pain.4 Pasien akan mengeluhkan nyeri seperti kram, menusuk,
terbakar atau rasa dingin seperti es.
Nyeri pada lokasi operasi, termasuk nyeri bekas insisi, adalah yang paling sering dikeluhkan
dan akan sembuh dalam waktu beberapa minggu setelah operasi. Nyeri akan dirasakan pada
ekstremitas yang tersisa dari daerah amputasi. Insiden ini dilaporkan terjadi dalam 10% dan
25%; nyeri ini bisa menjalar atau fokal dan berhubungan dengan neuroma, yang biasanya
teraba disekitar regio amputasi.

Pemeriksaan Fisik
Proses penyembuhan luka, ROM, kekuatan otot, dan integritas insisi harus dievaluasi secara
rutin. Pemeriksaan pada kaki yang kontralateral wajib dilakukan. Kekuatan ekstremitas atas
harus dinilai untuk menentukan kemampuan penggunaan alat bantu.
Kaki yang tidak diamputasi (kontralateral) harus diperiksa terutama pada daerah yang
berpotensi trauma. Penilaian ini termasuk pada permukaan plantar kaki, interdigital soft
tissue, dan area penonjolan tulang.
Kerusakan jaringan kulit pada ekstremitas yang tidak diamputasi umumnya merupakan akibat
dari tekanan atau gesekan. Kerusakan kulit bisa bermanifestasi klinis seperti abrasi karena
perban atau terbukanya elastic perban atau luka kecil/dalam (luka tekan). Fenomena luka
tekan biasanya terjadi pada daerah penonjolan tulang. Daerah kepala fibula, tendon lutut,
tendon patella, medial dan lateral condilus femoralis dan anterior distal tibia harus dilakukan
pemeriksaan secara rutin untuk mencegah kerusakan jaringan kulit.
Kontraktur pada sendi adalah hilangnya seluruh ROM pada sendi. Kontraktur ini bisas terjadi
secara fungsional atau mekanik. Kontraktur secara fungsional adalah akibat dari posisi (yang
salah). Amputasi transtibial mungkin akan menyebabkan kontraktur pada lutut atau pinggul
dalam posisi fleksi hanya dengan posisi duduk dengan pinggul dan lutut tersebut fleksi
hingga 90 (ekstensor pada lutut dan pinggul masih baik akan tetapi tidak bisa digunakan).
Kontraktur secara mekanik adalah akibat dari kurangnya pergerakan otot. Pada amputasi
transfemoral, insersi dari otot-otot adduksi pada pinggul akan dikorbankan, sehingga tidak
adanya tahanan gaya abduksi pada pinggul. Maka akan terjadi kontraktur dalam posisi
abduksi.
Amputasi transtibial dan Syme membutuhkan evaluasi ROM fleksi dan ekstensi pada lutut.
Kestabilan medial dan lateral lutut juga harus dinilai. Kekuatan otot-otot ekstensi pada lutut
harus lebih dari 4 atau 5 agar penggunaan protesis bisa berhasil. Pada lutut yang kontraktur
dalam posisi fleksi 10 hingga 18 bisa diakomodasikan dengan penggunaan protesis
transtibial. Jika kontraktur lebih dari 20 maka diperlukan alat bantu dengan bent socket,
dimana titik tumpu berat melewati lutut.
Pada amputasi transfemoral (di atas lutut), evaluasi ROM harus meliputi fungsi fleksi,
ekstensi, adduksi dan abduksi dari pinggul. Protesis transfemoral dapat befungsi baik hingga
pada kondisi kontraktur fleksi pinggul kurang dari 20; jika kontraktur lebih dari 20, maka

kecocokan dan kesuksesan penggunaan alat bantu sangat kecil. Kekuatan otot juga harus
dinilai, dan dibutuhkan kekuatan dalam batas 4/5 atau lebih pada fleksi-ekstensi dan abduksi
pinggul untuk penggunaan alat bantu.
Penilaian nyeri pada ekstremitas yang tersisa pertama dengan inspeksi. Surgical debridement
mungkin dibutuhkan pada area yang terlihat mengalami nekrosis, karena mengindikasikan
buruknya aliran darah pada area tersebut. Bekas insisi yang masih basah atau tidak sembuh
merupakan manifestasi dari iskemia, underlying hematoma, atau abses. Area disekitar bekas
operasi harus dipalpasi untuk menilai indurasi dan discharge. Drainase harus dilakukaan jika
ada cairan seperti susu dan dilakukan kultur dan pewarnaan gram. Jahitan (jika ada) harus
dilepaskan untuk evakuasi dari abses atau hematoma. Dibeberapa instansi, bekas insisi
tersbut akan dibuka kembali untuk drainase dan proses penyembuhan.
Nyeri yang terjadi tanpa tanda dan gejala infeksi harus dievaluasi sebagai neuroma (palpasi
pada jalur anatomi sciatic nerve). Nyeri dengan atau tanpa kerusakan jaringan kulit mungkin
dikarenakan alat prostetik yang kurang pas, sehingga ukuran alat bantu harus dievaluasi, yang
akan lebih baik dengan adanya petugas pembuat protesis tersebut. Nonblanchable erythema
akan dianggap sebagai luka tekan sampai dibuktikan bukan, dan protesis seharusnya tidak
digunakan sampai ukuran yang sesuai dibuat. Memar yang timbul pada bagian distal dari
ekstremitas yang diamputasi setelah penggunaan alat prostetik mengindikasikan buruknya
ukuran alat prostetik. Mungkin ekstremitas yang tersisa masuk terlalu dalam ke rongga alat
prostetik tersebut. Demikian juga, Choke phenomenon akan muncul ketika kurangnya
interaksi atau ketidakmampuan ekstremitas yang tersisa untuk masuk ke dalam socket. Jika
berlangsung terus menerus akan menjadi verrucous hyperplasia, yang akan menyebabkan
luka dan infeksi.
Evaluasi cara berjalan (gait) saat menggunakan protesis harus dilakukan dengan
menggunakan alat bantu yang layak. Kelainan cara berjalan harus diberitahukan kepada
pembuat protesis dan terapis untuk modifikasi protesis tersebut.

Keterbatasan Fungsional
Keterbatasan funsional bergantung sangat besar pada status premorbid masing-masing
penderita. Berjalan atau melompat dengan satu ekstremitas (dengan menggunakan walker
atau crutches) akan membutuhkan kekuatan hampir 60% lebih besar daripada daya manusia
normal. Energi yang digunakan untuk berjalan dengan menggunakan alat bantu sangat
bervariasi, tetapi pada amputasi akibat diabetes atau penyakit vascular akan dibutuhkan 38%
hingga 60% lebih besar pada amputasi di bawah lutut dan 52% hingga 116% lebih besar pada
amputasi di atas lutut.1 berbeda dengan orang yang pada awalnya sehat dan mengalami
amputasi akibat trauma atau pada orang yang sebelumnya sudah menggunakan crutches atau
alat lainnya sebagai alat bantu berjalan (seringkali karena ketidakmampuan menahan beban
pada ekstremitas tersebut), akan dipulangkan ke rumah untuk layanan rawat jalan dengan alat
bantu yang tepat; energi yang digunakan akan lebih sedikit dibandingkan dengan amputasi
akibat penyakit vascular.

Pada orang yang lebih tua atau dengan beberapa penyakit penyerta akan menggunakan kursi
roda untuk mencegah keadaan atau ketidakmampuan kardiopulmoner untuk berjalan dengan
menggunakan alat bantu. Pasien ini akan menjalani rehabilitasi akut atau subakut di rumah
sakit setelah perawatan rawat inap.
Keterbatasan fungsional berhubungan dengan nyeri yang akan mengakibatkan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang ada atau aktivitas sehari-hari.
Secara umum, gejala phantom sensation cenderung tidak menjadi permasalahan, dimana
nyeri tersebut bisa dikurangi, sehingga mencegah pasien menjalani rehabilitasi pre-prostetik
dan prostetik. Keterbatasan fungsional juga berhubungan dengan nyeri pada ekstremitas yang
tersisa dari amputasi dan termasuk ketidakmampuan mentoleransi pengecilan ekstremitas
dengan penggunaan modalitas yang tepat dan penggunaan protesis sebagai alat bantu lathan
berjalan. Sebagai akibat dari nyeri pada ekstremitas tersebut, pasien akan berjalan dengan
cara berjalan yang salah untuk mengurangi tekanan pada ekstremitasnya tersebut dan
mungkin akan membatasi fungsi berjalannya.
Penderita dengan gangguan cardiac output yang signifikan mungkin tidak bisa menjalani
latihan pre-prostetik dengan walker (atau crutches). Mereka tidak bisa menggunakan alat
prostetik sama sekali karena membutuhkan energi yang besar dalam penggunaan alat bantu.
Tingkat depresi pada pasien amputasi kurang lebih sekitar 18% sampai 35%. Pasien yang
mengalami nyeri akibat amputasi cenderung mengalami depresi. Depresi ini harus dibedakan
dengan rasa sedih dan periode penyesuaian pasca operasi.

Studi diagnostik
Diagnosis dan terapi blok saraf simpatis sangat bermanfaat pada penderita dengan phantom
limb pain. Terkadang, tes elektrodiagnostik (electromyography dan nerve conduction studies)
sangat membantu untuk membedakan gejala ini dengan radikulopati atau penyakit lain.
Pada pasien yang masih muda, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan radiologi
foto polos pada ekstremitas yang masih tersisa untuk mengetahui pertumbuhan tulang yang
berlebihan. Hal ini biasanya terlihat pada inspeksi; pemeriksaan radiologi digunakan untuk
mengkonfirmasi sejauh mana pertumbuhan tulang tersebut.

Differential Diagnosis
Residual limb
Edema
Neuroma
Insisi
Setelah operasi

Infeksi
Pertumbuhan tulang yang berlebihan
Iskemia
Phantom pain
Sympathetic pain
Radikulopati

Pengobatan
Awal
Pengobatan awal fokus pada kontrol edema dan bentuk dari residual limb serta penyembuhan
luka, pencegahan kontraktur dan managemen nyeri. Pilihan untuk kontrol edema tercantum
ditabel 109-1.4,6
Pasien dengan amputasi transtibial memiliki potensi untuk kontraktur fleksi lutut dan fleksi
pinggul sebagai akibat dari posisi (biasanya, duduk dikursi roda atau dikasur). Sehubungan
dengan itu pencegahan meletakkan bantal dibawah kaki dan promosi berbaring ditempat tidur
dengan posisi lying pronasi dapat membantu.
Seseorang dengan amputasi transfemoral juga dapat berkembang menjadi kontraktur fleksi
pinggul akibat duduk. Selain itu, ada kecenderungan untuk berkembang menjadi kontraktur
abduksi panggul, jadi posisi dari pinggul dalam relatif adduksi, menghindari meletakkan
bantal diresidual limb, dan promosi berbaring ditempat tidur dengan posisi pronasi sangat
penting.
Gejala biasanya tidak menyakitkan, meskipun bisa menakutkan/membingungkan untuk
pasien. Pengobatan terbaik adalah untuk meyakinkan pasien bahwa ini adalah reaksi normal
setelah operasi. Edukasi dan meyakinkan pasien sama baiknya dengan sentuhan (contoh;
memijat bagian distal dari residual limb dan dengan menggunakan limb) akan menambah
pengobatan pada gejala. Ada banyak cara pengobatan gejala nyeri, tidak ada satupun
pengobatan definitif yang dapat bekerja baik. Intervensi farmakologis meliputi non-narkotik
dan narkotik analgesik, obat anti-inflamasi nonsteroid, antikonvulsan dan membrane
stabilizer, khususnya gabapentin, duloxetine, dan pregabalin, dan antidepresan trisiklik.7

Rehabilitasi
Latihan Pre-Prostetik fokus pada mobilitas dan perawatan pribadi dari ambulator (single
limb) atau kursi roda, menghindari kontraktur pinggul dan lutut, dan management residual
limb. Latihan Prostetik adalah langkah awal kesiapan dari residual limb, yaitu, edema
diselesaikan dan insisi telah sembuh, prostesis telah siap. Prostesis adalah diluar bidang dari

bab ini, walaupun demikian, pembaca disajikan beberapa bacaan tentang komponen prostetik
dan penjelasan.5,6,8 K levels digunakan oleh perawatan medis untuk mengukur fungsi
potensial individu dan untuk membenarkan komponen prostetik (Table 109-2). Ketika
prostesis telah siap digunakan, penunjukan pasien dengan dokter adalah pemesanan jadwal
yang dihadiri oleh pasien dan prostetis. Evaluasi awal sesuai dengan dilakukannya prostetik,
dan arahan untuk terapi fisik yang berfokus pada latihan prostetik yang dilakukan pada waktu
itu, atau penyesuaian prostetik. Pasien harus diajarkan cara mengenakan (don) atau tidak
(doff) prostesis sebaik ketika memakai kaus kaki yang tepat. Pasien juga harus didorong
untuk rutin memeriksa pada residual limb (sering dilakukan dengan long-handled mirror).
Terapi okupasi terdiri dari mengidentifikasi peralatan yang diperlukan (misalnya, toilet safety
frame, tub transfer bench) dan membangun kemandirian dalam perawatan diri dari kursi roda
dan tingkat ambulator dengan penggunaan limb terpengaruh (single-limb stance). Terapi
okupasi juga dapat memerintahkan ketika pasien menerima prostesis untuk mendirikan dalam
perawatan diri, terutama dengan berpakaian ekstremitas bawah, pergi ke toilet, dan rumah
tangga sementara prostesis dipakai.
Kembali ke mengemudi adalah aspek paling penting dari fungsi kemandirian. Mayoritas
(80,5%) dari pengguna prostetik dengan mayoritas amputasi ekstremitas bawah yang rendah
dapat kembali mengemudi 3,8 bulan setelah amputasi. Seseorang yang diamputasi bagian
sebelah kiri kekhawatiran lebih sedikit tentang mengemudi, jika bagian sebelah kanan yang
diamputasi mungkin membutuhkan modifikasi alat (40%) atau mungkin butuh mengganti
mengemudi dengan cara kaki kiri.9

Prosedur
Pengobatan gejala nyeri setalah amputasi termasuk blok simpatik, yaitu tipe dilakukan
dibawah fluoroskopi. Neuroma, yang biasanya terbentuk 1-12 bulan setelah amputasi,
mungkin hadir sebagai massa soft tissue focal dengan nyeri direproduksi pada palpasi. Injeksi
anestesi lokal mungkin membantu menghilangkan nyeri. Reseksi pembedahan merupakan
pilihan tetapi dapat meyebabkan neuroma baru (painful).

Pembedahan
Pembedahan diindikasi ketika residual limb membutuhkan perbaikan luka atau tingkat yang
lebih tinggi dari amputasi. Perbaikan Hamstring memiliki peran yang terbatas atau tidak ada,
karena akan menghambat kemampuan untuk berjalan. Tidak timbul menjadi peran apapun
untuk perbaikan pembedahan stump untuk pengobatan gejala nyeri.
Ada beberapa data untuk promosi ablasi bagian dalam zona dorsal root, dorsal rhizotomi,
dorsal column traktotomi, thalamotomi, atau reseksi kortikal pada pengobatan gejala nyeri.
Sebuah uji coba pembedahan gejala nyeri lokal dihadirkan. Saraf sciatic dibagi proksimal
fossa poplitea, dan 2 bagian dihubungkan dalam sling fashion. 15 dari pasien, 14 dilaporkan
prosedur sangat membantu.10

Tulang tumbuh pesat di 10% - 30% dari anak-anak dengan amputasi kongenital, dan ini harus
dilakukan pembedahan.11 Hal ini jauh lebih umum pada orang dewasa dengan amputasi yang
diperoleh.

Potensi Komplikasi Penyakit


Kebanyakan komplikasi dehiscence atau luka insisi dan bekas luka. Infeksi biasanya terjadi
karena dehiscence atau bekas luka. Percobaan management konservatif terdiri dari antibiotik
(setelah memperoleh kultur spesimen) dan meningkatkan luka nekrosis, gagal drainage, dan
demam atau menggigil akibat pembedahan.
Potensial komplikasi lain mungkin melibatkan jantung adalah chemia adalah heretofore
inaktif (misalnya, konservati energi) seseorang dimulai menggunakan sampai 100% energi
untuk melatih gaya berjalan.12 Pedoman pelatihan gaya berjalan adalah penilaian dari
kemampuan individu untuk ambulasi dengan intact ekstremitas bawah dengan kruk atau alat
bantu lainnya. Ini membutuhkan sekitar 60% lebih energi dari bipedal human locomotion.
Seseorang tidak mampu melatih gaya berjalan (loncat dengan satu kaki dengan lankah
pendek) dengan menggunakan alat bantu lain tidak memungkinkan ambulator potensial
prostetik. Major limb amputasi adalah hasil morbiditas dan mortalitas yang signifikan. 1
tahun kelansungan hidup untuk disvaskular dan diabetic 50.6% untuk amputasi transfemoral
dan 74.5% untuk amputasi transtibial. 5 tahun kelangsungan hidup 22.5% dan 37.8% (akhir
tahun ini kelangsungan hidup terendah (14%) pada 5 tahun setelah amputasi.13

Potensi Pengobatan Komplikasi


Setelah prostesis telah dibuat, skin breakdown adalah komplikasi yang paling umum.
Breakdown sering terjadi pada distal anterior tibia (clapper-in-bell phenomenon, hasil dari
gerakan kedepandari distal residual limb dalam socket selama fase swing), tendon hamstring
(tight brim) dan tendon patella.
Pasien harus diintruksikan untuk memeriksa area ini dan segera laporan untuk prostetik sign
yang menetap, eritem nonblanchable. Prostesis tidak harus segera sampai perbaikan dibuat.
Efek samping obat tergantung pada obat tertentu yang sedang digunakan serta potensi untuk
interaksi obat ketika beberapa obat yang digunakan.

Tabel 109-1 Pilihan pengobatan untuk kontrol edema


Pilihan Pengobatan
Amputasi dibawah lutut
Above-Knee Cast

Keuntungan
Mencegah kontraktur fleksi lutut.
Menyediakan Pencegahan.

Kerugian
Besar, canggung, berat untuk
bergerak.

Tidak dapat memvisualisasikan


Pasien tidak memerlukan keterampilan luka.
atau penanganan yang sulit untuk

dilepas.

Tidak dapat dilepas.


Berpotensi merusak kulit.

Stump Shrinker

Mudah untuk don dan doff


Memungkinkan visualisasi luka.

Mahal mungkin perlu diganti


setelah stump shrink.

Membiasakan individu menggunakan


sock.
Menyediakan pembentukan residual
limb.
Rigid removable dressing

Sangat baik untuk mempersiapkan


residual limb untuk prostesis akhir.

Terapi, fisik, dan prostesis harus


dengan fabrikasi.

Mendorong pasien bebas dalam


menilai kebutuhan stump socks.

Berpotensi merusak kulit jika


diterapkan secara tidak benar.

Penganganan edema yang baik.


Memberi perlindungan soft tissue.
Luka dapat dilihat.
Elastik Perban (ACE
wrap)

Mudah tersedia.
Mampu memvisualisasikan luka.
Mengakomodasi segala bentuk dan
ukuran.
Kontrol edema yang baik.

Perlu keterampilan yang baik dari


pasien untuk don dan doff.
Berpotensi cedera geser jika wrap
dilepas.
Harus dilakukan beberapa kali
sehari berpotensi melonggar.

Amputasi diatas lutut


Stump shinker, elastic
perban

Sama dengan keuntungan dan kerugian seperti yang dijelaskan pada


amputasi dibawah lutut.

Tabel 109-2 K Level


K0 (level 0)

Tidak memiliki kemampuan atau potensi untuk ambulasi atau mentransfer secara
aman dengan atau tanpa bantuan, dan prostesis tidak meningkatkan kualitas hidup
atau morbilitas.

K1 (level 1)

Memiliki kemampuan atau potensi untuk menggunakan prostesis untuk mentransfer


ambulasi pada permukaan kadense yang rata tipikal household walker terbatas dan
tidak terbatas.

K2 (level 2)

Memiliki kemampuan atau potensi dengan kemampuan untuk mengatasi hambatan


lingkungan tingkat rendah seperti; trotoar, tangga, atau permukaan yang tidak rata
tipikal community walker terbatas

K3 (level 3)

Memiliki kemampuan atau potensi untuk berjalan dengan permukaan yang


bervariasi - tipikal community walker yang mampu melewati sebagian hambatan
lingkungan dan mungkin memiliki keterampilan, terapi, atau kegiatan latihan yang
menuntut penggunaan prostetik luar sederhana.

K4 (level 4)

Memiliki kemampuan atau potensi untuk menggunakan prostetik yang melebihi


kemampuan berjalan biasa, menunjukkan dampak yang tinggi, stres, atau tingkat
energi tipikal kebutuhan prostetik dari anak, orang dewasa, atau atlit.

Referensi
1. Dillingham TR, Pezzin LE, MacKenzie EJ. Limb amputation and limb deficiency:
epidemiologi and recent trends in the United States. South Med J 2002;95:875-883.
2. Diabetes and foot care. Put Feet First: Prevent Amputations. International Diabetes
Federation, Brussels, Belgium, 2005.
3. Leonard El, McAnelly RD, Lomba M, Faulker VW. Lower limb prosthesis in physical
medicine and rehabilitation. In Braddom RL, ed. Physical Medicine and
Rehabititation, 2nd ed. Philadelphia, WB Saunders, 2000:279-310.
4. Ehde DM,Czerniecki JM, Smith DG, et al. Chronic phantom sensations, phantom
pain, residual limb pain, and other regional pain after lower limb amputation. Arch
Phys Med Rehabil 2000;81:1039-1044.
5. Roberts TL, Pasquina PF, Nelson VS, et al. Limb deficiency and prosthetic
management. 4. Comorbidities associated with limb loss. Arch phys Med
Rehabil2006;87 (Suppl 1):S21-S27.
6. Esquenazi A. Gait analysis and the metabolic energy expenditure of amputee
ambulation [lecture]. AAPMR, Seattle, 1998.
7. National Limb Loss Information Center. Fact Sheet. Knoxville, Tenn, Amputee
Coalition of America, 2004.
8. Aulivola B, Hile CN, Hamdan AD, et al. Major lower extremity amputation: outcome
of a modern series. Arch Surg 2004; 139:395-399.
9. Prantl L, Schreml S, Heine N, et al. Surgical treatment of chronic phantom limb
sensation and limb pain after lower limb amputation. Plast Reconstr Surg
2006;118:1562-1572.

10. Boulias C, Meikle B, Pauley T, Devlin M. Return to driving after lower limb
extremity amputation. Arch Phys Med Rehabil 2006;87:1138-1188.
11. Loesner J. Pain after amputation. In Bonica J, ed. The management of pain, 2nd ed.
Baltimore, Williams & Wilkins, 1990:244-256.
12. Mueller MS. Comparison of rigid removable dressings and elastic bandages in
preprosthetic management of patients with below-knee amputations. Phyys Ther
1982;62:1438-1441.
13. Wu Y, Krick H. Rigid removable dressings for below-knee amputees. Clin Prosthetic
Orthotics 1987;11:33-44.

Anda mungkin juga menyukai