Anda di halaman 1dari 14

1; Batasan Filsaft Umum

1.1; Batasan Filsafat secara etimologi


Seacara etmologis (arti kata) Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani : philosophia. Seiring
perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : philosophic dalam
kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; philosophy dalam bahasa Inggris;
philosophia dalam bahasa Latin; dan falsafah dalam bahasa Arab.
Kalau menurut tradisi filsafati yang diambil dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama
memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), setelah dia membaca
tulisan Herakleides Pontikos (penganut ajaran Aristoteles) yang memakai kata sophia. Pytagoras
menganggap dirinya philosophos (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya
hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Dalam istilah Inggris, philosophy, yang berarti filsafat, juga berasal dari kata Yunani
philosophia yang lazim diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan. Menurut
pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti cinta kearifan. Namun,
cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti
kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual,
pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soalsoal praktis (The Liang Gie, 1999).
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab
, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia () Dalam bahasa ini, kata
tersebut merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan
(sophia = kebijaksanaan). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang pencinta kebijaksanaan
atau ilmu. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk
terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang
falsafah disebut filsuf.
Harun Nasution mengatakan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab falsafa dengan wazan
(timbangan) faala, falalah, dam filal. Dengan demikian, menurut Harun Nasution, kata benda dari
falsafa harusanya falsafah atau filsaf. Menurutnya, dalam bahasa Indonesia banyak terpakai kata
filsafat, padahal bukan bukan berasal dari bahasa Arab falsafah dan bukan dari bahasa Inggris
philosophy. Harun Nasution mempertanyakan apakah kata fil berasal dari bahasa Inggris dan safah
diambil dari kata Arab, sehingga terjadilah gabungan keduanya, yang kemudian menimbulkan kata
filsafat?
Harun Nasution berpendapat bahwa istilah filsafat berasal dari bahasa Arab karena orang Arab
lebih dulu datang dan mempengaruhi bahasa Indonesia daripada orang dan bahasa Inggris. Oleh
karena itu, dia konsisten menggunakan kata falsafat, bukan filsafat.
Kendati istilah filsafat yang lebih tepat adalah falsafat yang berasal dari bahasa Arab, kata
filsafat sebenarnya dapat diterima dalam bahasa Indonesia. Sebab, sebagian kata Arab yang
diindonesiakan mengalami perubahan dalam huruf vokalnya, seperti masjid menjadi mesjid dan
karamah menjadi keramat. Karena itu perubahan huruf a menjadi i dalam bahasa Indonesia dapat
ditolerir.
Suatu definisi filsafat dapat diberikan dari berbagai pandangan. Berikut ini dapat dicermati
beberpa definisi filsafat.
Pertama, filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam
yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi ini merupakan arti yang informal tentang filsafat
atau kata-kata "mempunyai filsafat", misalnya ketika seseorang berkata: "Filsafat saya adalah...", ia
menunjukkan sikapnya yang informal terhadap apa yang dibicarakan. Jika seseorang mengalami
suatu krisis atau pengalaman yang luar biasa, kemudian ditanyakan kepadanya: "bagaimana
pengaruh kejadian itu?", "bagaimana ia menghadapinya?". Kadang-kadang jawabannya adalah: "ia
menerima hal itu secara falsafiah". Ini berarti bahwa ia melihat problema tersebut dalam perspektif
yang luas, atau sebagai suatu bagian dari susunan yang lebih besar. Oleh karena itu, ia menghadapi
situasi itu secara tenang dan dengan berpikir, dengan keseimbangan dan rasa tenteram.
Kedua, filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat dijunjung tinggi. Ini adalah arti yang formal dari "berfilsafat". Dua arti filsafat, "memiliki
dan melakukan", tidak dapat dipisahkan sepenuhnya satu dari lainnya. Oleh karena itu, jika tidak

memiliki suatu filsafat dalam arti yang formal dan personal, seseorang tidak akan dapat melakukan
filsafat dalam arti kritik dan reflektif (reflective sense).Meskipun demikian, memiliki filsafat tidak
cukup untu melakukan filsafat. Suatu sikap falsafi yang benar adalah sikap yang kritis dan
mencari. Sikap itu adalah sikap terbuka, toleran, dan mau melihat segala sudut persoalan tanpa
prasangka. Berfilsafat tidak hanya berarti "membaca dan mengetahui filsafat". Seseorang
memerlukan kebolehan berargumentasi, memakai teknik analisa, dan mengetahui sejumlah bahan
pengetahuan, sehingga ia dapat memikirkandan merasakan secara falsafi.
Ahli filsafat selalu bersifat berpikir dan kritis. Mereka melakukan pemeriksaan kedua (a second
look) terhadap bahan-bahan yang disajikan oleh faham orang awam (common sense). Mereka
mencoba untuk memikirkan bermacam-macam problema kehidupan dan menghadapi fakta-fakta
yang ada hubungannya dengan itu. Memiliki pengetahuan banyak tidak dengan sendirinya akan
mendorong dan menjamin seseorang untuk memahami, karena pengetahuan banyak belum tentu
mengajar akal untuk mengadakan evaluasi kritis terhadap fakta-fakta yang memerlukan
pertimbangan (judment) yang bersifat konsistendan koheren. Evaluasi-evaluasi kritis sering
berbeda. Ahli filsafat, teologi, sains, dan lain-lainnya mungkin berbeda karena beberapa alasan:
1.
Mereka melihat benda dari sudut pandang yang berbeda dikarenakan adanya pengalaman pribadi,
latar belakang kebudayaan, dan pendidikan yang berbeda.
2.
Mereka hidup dalam dunia yang berubah. Manusia berubah, masyarakat berubah, dan alam juga
berubah. Sebagian manusia ada yang mau mendengarkan (responsive) dan peka (sensitive)
terhadap perubahan, sebagian lainnya berpegang pada tradisi dan status quo, kepada sistem yang
dibentuk pada masa silam dan karena diangga final.
3.
Mereka itu menangani bidang pengalaman kemanusiaan di mana bukti-buktinya tidak cukup
sempurna, sehingga dapat ditafsirkan bermacam-macam. Meskipun demikian, ahli filsafat tetap
memeriksa, menyelidiki, dan mengevaluasi bahan-bahan itu dengan harapan dapat menyajikan
prinsip-prinsip yang konsisten yang dapat dipakai oleh seseorang dalam kehidupannya.
Ketiga, filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Filsafat berusaha
untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga
menjadi pandangan yang konsisten tentang alam. Seorang ahli filsafat ingin melihat kehidupan,
tidak dengan pandangan seorang saintis, seorang pengusaha atau seorang seniman, akan tetapi
dengan pandangan yang menyeluruh, mengatasi pandangan-pandangan yang parsial.
Dalam membicarakan filsafat spekulatif (speculative philosophy) yang dibedakan dari filsafat
kritik (critical philosophy), C.D. Broad mengatakan: "maksud dari filsafat spekulatif adalah untuk
mengambil alih hasil-hasil sains yang bermacam-macam, dan menambahnya dengan hasil
pengalaman keagamaan dan budi pekerti. Dengan cara ini diharapkan akan dapat sampai pada suatu
kesimpulan tentang watak alam ini serta kedudukan dan prospek manusia di dalamnya".
Tugas dari filsafat adalah untuk memberikan pandangan dari keseluruhan, kehidupan, dan
pandangan tentang alam, dan untuk mengintegrasikan pengetahuan sains dengan pengetahuan
disiplin-disipllin lain agar mendapatkan suatu keseluruhan yang konsisten. Menurut pandangan
ini, filsafat berusaha membawa hasil penyelidikan manusia, keagamaan, sejarah, dan keilmuan-kepada suatu pandangan yang terpadu, sehingga dapat memberi pengetahuan dan pandangan yang
mendalam bagi kehidupan manusia.
Keempat, filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan
konsep. Memang ini merupakan fungsi filsafat. Hampir semua ahli filsafat telah memakai metoda
analisa serta berusaha untuk menjelaskan arti istilah-istilah dan pemakaian bahasa. Tetapi ada
sekelompok ahli filsafat yang menganggap hal tersebut sebagai tugas pokok dari filsafat bahkan
ada golongan kecil yang menganggap hal tersebut sebagai satu-satunya fungsi yang sah dari
filsafat. Kelompok ini menganggap filsafat sebagai suatu bidang khusus yang mengabdi kepada
sains dan membantu menjelaskan bahasa, dan bukannya suatu bidang yang luas yang memikirkan
segala pengalaman kehidupan. Pandangan seperti ini merupakan hal baru dan telah memperoleh
dukungan yang besar pada abad ke-20. Pandangan ini akan membatasi apa yang dinamakan
pengetahuan (knowledge) kepada pernyataan (statement) tentang fakta-fakta yang dapat dilihat serta
hubungan-hubungan antara keduanya, yakni urusan sains yang beraneka macam.
2

Memang ahli-ahli analisis bahasa (linguistic analysis) tidak membatasi pengetahuan sesempit
itu. Memang betul mereka itu menolak dan berusaha untuk membersihkan bermacam-macam
pernyataan yang non-ilmiah (non scientific), akan tetapi banyak di antara mereka yang berpendapat
bahwa manusia dapat memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip etika dan sebagainya yang
dihasilkan dari pengalaman. Mereka yang memilih pandangan yang lebih sempit, mengabaikan,
walaupun tidak mengingkari, semua pandangan yang menyeluruh tentang dunia kehidupan, tentang
filsafat moral yang tradisional dan teologi. Dari segi pandangan yang lebih sempit ini tujuan filsafat
adalah untuk menonjolkan "kebauran dan omong kosong" serta untuk menjelaskan arti dan
pemakaian istilah-istilah dalam sains dan urusan sehari-hari.
Kelima, filsafat adalah sekumpulan probema-problema yang langsung yang mendapat perhatian
dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat. Filsafat mendorong
penyelidikannya sampai kepada soal-soal yang paling mendalam dari eksistensi manusia. Sebagian
dari soal-soal filsafat pada zaman dahulu telah terjawab dengan jawaban yang memuaskan
kebanyakan ahli filsafat. Sebagai contoh, adanya ide bawaan telah diingkari orang semenjak
zamannya John Locke abad ke-17. Walaupun begitu, banyak soal yang sudah terjawab hanya untuk
sementara, dan ada juga problema-problema yang belum terjawab.
1.2; Batasan filsafat operasional
Definisi Filsafat secara Operasional. Ada diantara para ahli yang mendefinisikan filsafat
dari segi proses berpikiranya, dan ada pula yang mendefinisikan filsafat dari segi hasil berpikir
(hasil berpikirpara filsuf). Namun demikian, dalam rangka membangun pengertian filsafat, antara
keduanya itu (filsafat sebagai proses dan filsafat sebagai hasil) sesungguhnya tak dapat dipisahkan.
Sebagai suatu proses berpikir, filsafat dapat didefinisikan sebagai suatu proses berpikir
reflektif sistematis dan kritis kontemplatif untuk menghasilkan sistem pikiran atau sistem teori
tentang hakikat segala sesuatu secara komprehensif. Sejalan dengan ini
Titus dkk. (1979) mengemukakan bahwa: Philosophy is a method of reflective thinking and
reasoned inquiry (Filsafat adalah metode atau cara berpikir reflektif dan penyelidikan melalui
menalar).
Sebagai suatu hasil berpikir, filsafat dapat didefinisikan sebagai sekelompok teori atau sistem
pikiran. Titus dkk., (1979) merumuskannya dalam kalimat:
Phylosophy is a group of theories or systems of thougt.Hasil berfilsafat yang telah
dilakukan oleh para filsuf tiada lain adalah sistem teori atau sistem pikiran mengenai segala sesuatu.
Sistem teori atau sistem pikiran ini tentunya sudah ada atau sudah tergelar di dalam kebudayaan
umat manusia. Kita dapat menemukannya dalam bentuk tulisan atau buku, puisi, dsb., sebagaimana
telah dihasilkan oleh para filsuf besar seperti: Socrates, Plato, Aristoteles, Rene Descartes, Iqbal,
Alghazali, John Dewey, John Locke, dsb. Dengan redaksi lain, filsafat sebagai hasil berpikir dapat
didefinisikansebagai suatu sistem teori atau sistem pikiran tentang hakikat segala sesuatu yang
bersifat komprehensif, yang diperoleh melalui berpikir reflektif sistematis dan kritis kontemplatif.
2; Karakteristik Studi Filsafat
2.1. Objek Filsafat
Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan oleh filsafat ialah
segala yang ada dan mungkin ada. Objek filsafat itu bukan main luasnya, tulis Louis Katt Soff,
yaitumeliouti segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. Oleh
karena itu manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya,
cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan mungkin ada menurut akal piirannya. Jadi
objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.
Para ahli menerangkan bahwa objek filsafat itu dibedakan menjadi dua, yaitu objek material dan
forma. Objek material ini banyak yang sama dengan objek material sains. Sains memiliki objek
material yang empiris. Filsafat menyelidiki onjek filsafat itu juga tetapi bukan bagian yang empiris
melainkan bagian yang abstrak. Sedang objek forma filsafat tiada lain ialah mencari keterangan
3

yang sedalam-dalamnya tentang objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang
mungkin ada).
Dari uraian yang tertera diatas, maka jelaslah bahwa:
1.
Objek materia filsafat ialah sarwa-yang-ada yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga
persoalan pokok, yakni:
a.
Hakekat Tuhan
b.
Hakekat Alam, dan
c.
Hakekat Manusia.
2.
Objek forma filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya
sampai ke akhirya) tentang objek materi filsafat (sarwa-yang-ada).
Objek formal filsafat ilmu adalah telaah filsafat tentang fakta dan kebenaran, serta telaah filsafati
tentang konfirmasi dan logika. Fakta dan kebenaran menjadi objek formil substantif, sedangkan
konfirmasi dan logika menjadi objek formil instrumentatif dalam studi filsafat ilmu. Sedangkan
menurut Arif Rohman, Rukiyati dan L. Andriani (2011 : 22) objek formal adalah sosok objek
material yang dilihat dan didekati dengan sudut pandang dan perspektif tertentu atau dalam istilah
lain kemampuan berpikir manusia dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Sementara objek
formal menurut Waryani Fajar Riyanto (2011 :20) adalah cara pandang tertentu, atau sudut pandang
tertentu yang dimiliki serta yang menentukan satu macam ilmu. Menurut Surajiyo (2007: 7), objek
formal filsafat ilmu adalah sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau
pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu disorot. Dalam pandangan
The Liang Gie (2010: 139), obyek formal adalah pusat perhatian dalam penelaah ilmuwan terhadap
fenomena itu. Penggabungan antara obyek material dan obyek formal sehingga merupakan pokok
soal tertentu yang dibahas dalam pengetahuan ilmiah merupakan objek yang sebenarnya dari
cabang ilmu yang bersangkutan.

2.2. METODE FILSAFAT


1.

Metode Kritis (Socrates)


Metode kritis disebut juga metode dialektik. Dipergunakan oleh Socrates dan Plato. Harold
H Titus mengatakan bahwa metode ini merupakan metode dasar dalam filsafat.
Socrates (470-399 SM) menganalisis objek-objek filsafatnya secara kritis dan dialektis. Berusaha
menemukan jawaban yang mendasarkan tentang objek analisanya dengan pemeriksaan yang amat
teliti dan terus-menerus. Ia menempatkan dirinya sebagai intelektual mid wife, yaitu orang yang
memberi dorongan agar seseorang bisa melahirkan pengetahuannya yang tertimbun oleh
pengetahuan semunya. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap orang tahu akan hakekat. Jadi
Socrates menolong orang untuk melahirkan pengetahuan hakekat tersebut dengan jalan mengajak
dialog yang dilakukan secara cermat. Dialog ini dilakukan dengan menarik, penuh humor, segar dan
sederhana. Socrates mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan terarah. Lawan dialog
giring kearah persoalan, makin lama makin mendalam kearah intinya.
Lewat proses inilaah orang didorong untuk melahirkan pengetahuan yang dimiliki. Diteliti
konsistensinya, dijernihkan keyakinan-keyakinannya, dibuka kesadarannya sehingga orang
memahami keadaan dirinya. Entah dia memiliki pengetahuan yang sebenarnya atau dia kurang tahu.
Socrates dalam hal ini bertindak sebagai bidan penolong sebuah proses kelahiran. Ia sebagai
lawan dialog yang kritis dan menyenangkan, mengantar orang untuk menemukan kebenarankebenaran yang ada. Kemudian secara sitematis menyusun dalam suatu batasan pengertian yang
mengandung nilai filosofis.
Plato meneruskan usaha gurunya, mengembangkan lebih lanjut metode Socrates. Dalam
dialog Plato, orang dituntun untuk memahami hakekat objek dengan jalan mengajukan pertanyaanpertanyaan secara kritis dan mencari rumusan jawaban yang benar.
4

Metode Socrates dan Plato ini disebut metode kritis, sebab proses yang terjadi dalam implikasinya
adalah menjernihkan keyakinan-keyakinan orang. Meneliti apakan memiliki kosistensi intern atau
tidak. Prinsip utama dalam metode kritis adalah perkembangan pemikiran dengan cara
mempertemukan ide-ide, interplay antar ide. Sasarannya adalah yang umum atau batiniah. Akhir
dari dialog kritis tersebut adalah perumusan definisi yang sudah merupakan suatu generalisasi.
2.

Metode Intuitif (Platinos dan Bergson)


Filsuf yang mengembangkan pemikiran dengan metode ini adalah Platinos (205-275 M) dan
Henri Bergson (1859-1941). Platinos menggunakan metode intuitif atau mistik dengan membentuk
kelompok yang melakukan kontemplasi religious yang dijiwai oleh sikap kontemplatif.
Filsafat Platinos adalah a way of life. Tapi bukan doktrin yang dogmatis, merupakan jalan
untuk menghayati hidup religious yang mendalam. Dalam kelompoknya Platinos melakukan usaha
untuk member semangat dan mengantarkan mereka kedalam kehidupan rohani.
Metode filsafat Platinos disebut metode mistik sebab dimaksudkan untuk menuju
pengalaman batin dan persatuan dengan Tuhan. Dengan demikian bisa kita pahami bahwa tujuan
Platinos dengan filsafatnya adalah ingin membawa manusia kedalam hidup mistis, hidup yang
mempertinggi nilai rohani dan persatuan dengan Yang Maha Esa.
Tokoh lain dalam metode intuitif adalah Henry Bergson, seorang filsuf Yahudi, dia juga seorang
matematikus dan fisikawan.
Menurut Henry Bergson, rasio tidak akan mampu untuk menyelami hakekat sesuatu. Rasio
hanya berguna bagi pemikkiran ilmu fisika, matematika, dan mekanika.
Untuk bisa menangkap, memahami hakekat suatu kenyataan kita harus mempergunakan intuisi.
Intuisi menurut Henry Bergson adalah kekuatan rohani, merupakan naluri yang mendapatkan
kesadaran diri.
Intuisi adalah percakapan untuk menyimpulkan dan meninjau dengan sadar lepas dari rasio.
Pemikiran intuisi bersifat dinamis dan berfungsi untuk mengenal hakekat pribadi dan seluruh
kenyataan. Objek bisa dikenal sebagai masa murni yang keadaannya berbeda sekali dengan waktu
dimana akal bisa mengenalnya.
Metode intuitif Henry Bergson adalah gambaran yang merupakan suatu gerakan dinamik,
sesuai dengan kenyataan. Dinamika kosmis hanya bisa dipahami kalau manusia menyelam dan
membiarkan diri dalam arus kesadaran. Ia langsung mengambil bagian dalamnya. Identifikasi telah
ditemukan dalam naluri, tapi dalam manusia mencapai tingkat lebih tinggi bersifat sadar diri,
reflektif, disinterested, lepas dari tuntutan kegiatan dan hidup social.
Penyatuan ini merupakan persepsi yang langsung dan bukan konseptual. Intuisi langsung
dan simple mengenai yang konkrit dan individual, pengertian yang terdiri dari kontak dan afinitas.
Intuisi dalam metode Henry Bergson merupakan suatu usaha mental dan konsentrasi pikiran.
Menuju kesuatu hal yang spiritual dan bebas, dinamik dan bergelombang. Bukan kearah
kontemplasi yang tenang. Jadi ada perbedaan dengan metode intuisi Platinos.
3.

Metode Skolastik (Aristoteles dan Thomas Aquinas)


Metode Skolastik dikembangkan oleh Thomas Aquinas (1225-1247). Juga disebut metode
sintetis deduktif. Metode berpikir skolastik menunjukan persamaan dengan metode mengajar dalam
bentuknya yang sistematis dan matang.
Ada dua prinsip utama dalam metode sekolastik yaitu Lectio dan Disputatio.
Lectio adalah perkuliahan kritis, diambil teks-teks dari para pemikir besar yang berwibawa untuk
dikaji. Biasanya diberi interpretasi dan komentar-komentar kritis. Dalam proses inilah bisa timbul
objektifitas metodis yang sangat mendalam terhadap sumbangan otentik dari para pemikir besar.
Soal real dalam teks diberi komentar. Problem-problemnya dipahami, ide-idenya
diinterpretasi, dan kenyataannya dirumuskan, dibedakan, diuji dari segala segi. Penafsiran,
pembahasan, dan pemahaman dari segala sudut. Pro dan kontra diajukan secara argumentative.
Disputatio adalah suatu diskusi sistematis dan meliputi debat dialegtis yang sangat terarah.
Bahannya adalah soal-soal yang ditemukan dalam teks atau persoalan-persoalan yang muncul dari
teks tersebut. Bentuk perbincangan sangat terarah dan sistematis. Dosen mengajukan soal-soal yang
5

problematis, kemudian keberatan-keberatan diajukan oleh seorang mahasiswa, dan seorang


mahasiswa senior memberikan jawaban-jawaban. Kemudian kesimpulan determinatif kembali
deberikan oleh dosen, kesimpulan ini merupakan jawaban-jawaban yang tepat atas persoalan dan
keberatan-keberatan yang diajukan.
Disputatio menekankan aspek disiplin. Urutan-urutan harus tepat dalam mengajukan soalsoal diskusi. Harus mengarah kejalan penemuan. Aspek lain dalam metode ini adalah penahanan
terhadap sistem berpikir yang harus berlandakan aturan logika formal. Dan dengan metode ini
diharapkan terjadi proses kreatif, terbentuk sikap kritis serta kemampuan berpikir mandiri. Akhirnya
akan lahir pemikiran-pemikiran filsafat.
4.

Metode Geometris, Rene Descartes


Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks di capai intiuisi akan hakikat-hakikat sederhana
(ide terang dan berbeda dari yang lain), dari hakikat-hakikat itu di dedukasikan secara matematis
segala pengertian lainnya.
Rene Descartes (1596-1650) adalah pelopor filsafat modern yang berusaha melepaskan dari
pengaruh fisafat klasik. Dalam metodenya Descartes mengintegrasikan logika, analisa geometris
dan aljabar dengan menghindari kelemahannya. Metode ini membuat kombinasi dari pemahaman
intuitif akan pemecahan soal dan uraian analitis. Mengembalikan soal itu kehal yang telah diketahui
tetapi akan menghasilkan pengetian baru.
Menurut Descartes semua kesatuan ilmu harus dikonsepsikan dan dikerjakan oleh seorang
diri saja. Koherensi yang tepat harus dating dari seseorang. Orang harus menemukan kebenaran
sendiri. Mencari pemahaman dan keyakinan pribadi tidak harus mulai dengan kebenaran-kebenaran
yang sudah diterima dari orang lain.
Descartes ingin mencari titik pangkal yang bersifat mutlak dari filsafat dengan menolak atau
meragukan metode-metode dan pengetahuan lain secara prinsipel ia menghasilkan segala-galanya.
Tapi keraguan ini adalah bersifat kritis.
Descartes banyak member pengaruh pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Terutama
usaha-usaha pembaharuannya, baik dalam pemikiran maupun metode ilmiah. Tapi juga banyak
kritik ditujukan pada filsafat dan pembaharuannya.
Descartes membangun kerangka berpikir dari keraguan terhadap sesuatu, dari keraguan
terus berpikir logis menuju ke kepastian untuk menemukan keyakinan yang berada di balik
keraguan itu, ketika keyakinan itu begitu jelas dan pasti (clear and distinct) akhirnya diperoleh
keyakinan yang sempurna, yang disebut truths of reason. Jadi, akal (reason) itulah basis (dasar)
yang terpenting dalam berfilsafat. Filsafat Descartes ini disebut filsafat modern (modern
philosophy). Tokoh atau filosof lain yang mendukung Descartes adalah Spinoza (1632-1677),
Leibniz (1646-1716), dan Hobbes (Peursen,C.A. 1980; Tafsir, A. 2003). Metode rasional inilah
yang nantinya menghasilkan aliran atau paham rasionalisme dalam studi filsafat.
5.

Metode Empiris (Thomas Hobbes & John Locke)


Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran akal. Istilah
empirisme diambil dari bahasa yunani empeiria yang berarti pengalaman. Sebagai suatu doktrin,
empirisme adalah lawan rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa rasionalisme ditolak sama
sekali. Dapat dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam kerangka empirisme, atau
rasionalisme dilihat dalam bingkai empirisme
Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas
Hobbes (1588-1679). Jika Bacon lebih berarti dalam bidang metode penelitian, maka Hobbes dalam
bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar kepada
empirisme secara konsekuen. Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima
juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan
empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan rasionalisme
dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern.
6

Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat
adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakanpanampakan yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari
sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari sebabsebabnya. Adapun alatnya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan dengan kata-kata yang
menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam
bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan dengan
perantaraan pengertian-pengertian; ruang, waktu, bilangan dan gerak yang diamati pada bendabenda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah
nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala
gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si
pengamat saja. Segala yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu
pasti dan ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran kita.
Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman.
Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang
diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan diturunkan dari pengalaman.
Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.
Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal
hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan
pengurangan misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan
pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau
digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati
pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan
adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di
dalam jantung timbul reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang
sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Selanjutnya tradisi empiris diteruskan oleh John Locke (1632-1704) yang untuk pertama
kali menerapkan metode empiris kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan.
Bagi Locke, yang terpenting adalah menguraikan cara manusia mengenal. Locke berusaha
menggabungkan teori-teori empirisme seperti yang diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran
rasionalisme Descartes. Usaha ini untuk memperkuat ajaran empirismenya. Ia menentang teori
rasionalisme mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia.
Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran akal adalah
pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan dari
dirinya sendiri. Pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang
kosong (tabula rasa). Di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pangalaman inderawi.
Seluruh pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang
diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana.
Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari
sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi atau yang kita kenal
dengan istilah Tabula Rasa.
Tabula Rasa (dari bahasa Latin kertas kosong) merujuk pada pandangan epistemologi bahwa
seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain "kosong", dan seluruh sumber
pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya
terhadap dunia di luar dirinya.
Gagasan mengenai teori ini banyak dipengaruhi oleh pendapat John Locke di abad 17.
Dalam filosofi Locke, tabula rasa adalah teori bahwa pikiran (manusia) ketika lahir berupa "kertas
kosong" tanpa aturan untuk memroses data, dan data yang ditambahkan serta aturan untuk
memrosesnya dibentuk hanya oleh pengalaman alat inderanya. Pendapat ini merupakan inti dari
empirisme Lockean. Anggapan Locke, tabula rasa berarti bahwa pikiran individu "kosong" saat
lahir, dan juga ditekankan tentang kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri. Setiap
individu bebas mendefinisikan isi dari karakternya - namun identitas dasarnya sebagai umat
manusia tidak bisa ditukar. Dari asumsi tentang jiwa yang bebas dan ditentukan sendiri serta
7

dikombinasikan dengan kodrat manusia inilah lahir doktrin Lockean tentang apa yang disebut
alami.
Menurut Locke, pikiran bukanlah sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang datang
dari luar. Beberapa aktifitas berlangsung dalam pikiran. Gagasan-gagasan yang datang dari indera
tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, mempercayai, meragukan dan dengan demikian
memunculkan apa yang dinamakannya dengan perenungan.
Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah penginderaan
sederhana. Ketika kita makan apel misalnya, kita tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu
penginderaan saja. Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan sederhana, yaitu apel itu
berwarna hijau, rasanya segar, baunya segar dan sebagainya. Setelah kita makan apel berkali-kali,
kita akan berpikir bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah yang kemudian
disebut Locke sebagai gagasan yang rumit atau ia sebut dengan persepsi. Dengan demikian kita
dapat mengatakan bahwa semua bahan dari pengetahuan kita tentang dunia didapatkan melalui
penginderaan.
Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali
sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama yang dapat diibaratkan seperti
atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak
kembali seperti demikian itu bukanlah pengetahuan atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan
mengenai hal-hal yang faktual.
Di tangan empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan arah. Jika rasionalisme Descartes
mengajarkan bahwa pengetahuan yang paling berharga tidak berasal dari pengalaman, maka
menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar dari segala pengetahuan. Namun demikian,
empirisme dihadapkan pada sebuah persoalan yang sampai begitu jauh belum bisa dipecahkan
secara memuaskan oleh filsafat. Persoalannya adalah menunjukkan bagaimana kita mempunyai
pengetahuan tentang sesuatu selain diri kita dan cara kerja pikiran itu sendiri.
Hanya pengalamanlah menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian (ide-ide )
dalam intropeksi di bandingkan dengan cerapan-cerapan (impresi) dan kemudian di susun bersama
secara geometris.
6.

Metode Transendental (Immanuel Kant & Neo Skolastik)


Immanuel Kant (1724-1804) dalam filsafat mengembangkan metode kritis transcendental.
Kant berpikir tentang unsure-unsur mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari pengalaman
dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam rasio manusia. Ia melawan dogmatisme.
Kant tidak mau mendasarkan pandangannya kepada pengertian-pengertian yang telah ada.
Harus ada pertanggung jawaban secara kritis. Kant mempertanyakan bagaimana pengenalan
objektif itu mungkin. Harus diketahui secara jelas syarat-syarat kemungkinan adanya pengenalan
dan batas-batas pengenalan itu.
Metodenya merupakan analisa criteria logis mengenai titik pangkal. Ada pengertian tertentu
yang objektif sebagai titik tolak.
Analisa tersebut dibedakan dalam beberapa macam:
- Analisa psikologis. Analisa ini merupakan penelitian proses atau jalan kegiatan yang factual.
Prinsipnya adalah mencari daya dan potensi yang berperanan. Kemudian memperhatikan
peningkatan taraf kegiatan, inferensi, asosiasi, proses belajar, dsb.
- Analisa logis. Meneliti hubungan antara unsur-unsur isi pengertian satu sama lain.
- Analisa ontologis. Meneliti realitas subjek dan objek menurut adanya.
- Analisa kriteriologis. Meneliti relasi formal antara kegiatan subjek sejauh ia mengartikan dan
menilai hal tertentu.
Dalam metode Kant juga dipergunakan kergu-raguan. Kant meragukan kemungkinan dan
kompetensi metafisik. Metafisik tidak pernah menemukan metode ilmiah yang pasti untuk
memecahkan problemnya.
Kant menerima nilai objektif dari ilmu-ilmu positif karena mendatangkan kemajuan dalam hidup
sehari-hari. Demikian juga tentang nilai objektif agama dan moral. Sebab mendatangkan kemajuan
8

dan kebahagiaan. Karena itulah Kant menerima dan meneliti dasar-dasar yang bukan empiris,
tetappi sintetis apriori.
Kant juga melakukan pembagian terhadap macam-macam pengertian
Pengertian analitis. Bentuknya selalu apriori seperti kita lihat dalam ilmu pasti. Dalam
pengertian analitis prediket sudah termuat dalam konsep subjek. Tidak otomatis mengenai
kenyataan dan tidak memberi pengertian baru.
Pengertian sintetis. Relasi subjek dan prediket berdasarkan objek riil.terjadi kesatuan dari hal-hal
yang berbeda sehingga timbul pengertian yang baru.
Ada dua pengertian sintetis: apriori dan aposteriori. Sintetis apriori merupakan pengertian umum,
universal dan pasti. Misalnya air mendidih pada suhu 100 o C. sintetis aposteriori tidak bersifat
universal. Misalnya saya merasa panas.
Filsafat Kant disebut kritisisme. Metodenya bersifat kritik. Dia mulai dengan terlebih dahulu
menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant memang seorang pembaharu dengan kritikkritiknya. Ia membawa perubahan-perubahan tertentu dalam filsafat. Kant memberi alternatif
metode yang relevan.
Metode ini bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu dengan jalan analisis di selidiki syaratsyarat apriori bagi pengertian demikian.
7.

Metode Fenomenologis (Husserl)


Edmund Husserl (1859-1938) mengembaangkan metode fenomenologis dalam filsafat.
Menurut Husserl dalam usaha kita mencapai hakekat pengertian dalam aslinya- harus melalui
proses reduksi. Reduksi adalah proses pembersihan atau penyaringan dimana objek harus disaring
dari beberapa hal tambahannya. Obyek penyelidikan adalah fenomena. Dan yang kita cari adalah
kekhasan hakekat yang berlaku bagi masing-masing fenomena. Fenomena adalah yang menampak.
Yaitu data sejauh disadari dan sejauh masuk dalam pemahaman. Obyek justru dalam relasi dengan
kesadaran. Jadi fenomena adalah yang menampakkan diri menurut adanya didalam diri manusia.
Fenomenologis mengadakan refleksi mengenai pengalaman langsung. Melakukan
penerobosan untuk mencari pengertian sebenarnya atau yang hakiki. Kita harus menerobs gejalagejalanya yang menampakkan diri sampai pada hakekat obyek. Jalan yang ditempuh adalah reduksi
yang menurut Husserl ada tiga macam :
Reduksi fenomenologis, kita berupaya untuk mendapatkan fenomen dalam bentuk semurnimurninya. Cara yang ditempuh adalah dengan jalan menyaring pengalaman-pengalaman kita.
Obyek kita selidiki sejauh kita sadari. Kita pandang obyek menurut hubungannya dengan
kesadaran. Mengenai fakta-fakta kita tidak melakukan refleksi.
Dalam proses ini ada segi-sehi yang sementara kita singkirkan. Ditempatkan diantara tanda kurung.
Atau menurut istilah yang menurut Husserl Einklamerung-. Segi-segi yang sementara disingkirkan
ini adalah: pandangan adat, agama, pandangan umum dan ilmu pengetahuan. Kalau langkahlangkah tersebut berhasil kita akan bisa mengenal gejala dalam dirinya sendiri atau yang disebut
fenomen.
Reduksi eidetis atau penilaian. Dalam proses ini kita akan melihat hakekat sesuatu atau
pengertian sejatinya. Semua gejala kita tinjau lagi untuk membedakan mana yang intisari dan mana
yang tidak. Yang kitacari adalah hakekat fenomenologis yang bersifat luas bukan arti umum, bukan
arti yang tersembunyi. Bukan hakekat yang spesifik, tetapi struktur dasariah yang meliputi isi
fundamental, sifat hakiki, relasi hakiki dengan kesadaran. Prosesnya mulai dengan titik tolak intuisi
praprediktif. Digambarkan, diteliti, dan dianalisa dengan berdasarkan pengalaman pertama dan
tekhniknya adalah :
a.
Kelengkapan, analisa harus melihat segala suatu yang ada dalam data secara eksplisit dan
sadar. Dalam analisa harus kita temukan kembali unsur maupun segi dalam fenomena.
b.
Diskripsi, segala yang terlihat harus bisa diuraikan dalam analisa. Kita gambarkan satupersatu semua unsur daro objek dan dibentangkan. Hubungan satu sama lain harus tergambar dan
diketahui perbedaan-perbedaan pentingnya dalam penjelasan yang tuntas sehingga jelas aspekaspeknya.
9

c.
Variasi Imajinasi, apakah sifat-sifat tertentu memang hakiki bisa ditentukan dengan
mengubah contoh-contoh, menggambarkan contoh tertentu yang representatif. Misalnya manusia
dengan panca inderanya. Sitambah dan dikurangi salah sau sifat. Hanya dengan tiga indera
misalnya, apakah dia masih person. Apakah diskripsi itu masih mengenai macam objek yang sama
seperti yang pertama.
d.
Kriterium Koherensi, kita dapat mengukur tepatnya analisa fenomenologis dengan kriterium
koherensi ;
Pertama, harus ada kesesuaian antara subjek, objek intensional dan sifat-sifat. Observasi yang
beturut-turut harus dapat disatukan dalam satu horizon yang konsisten. Kedua, harus ada koherensi
dalam deretan kegiatan. Setiap observasi memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai
dengan yang pertama atau yang melangsungkan. Harus ada kontinuitas diantara tindakan yang
dapat dilakukan subjek.
Fenomenologis harus melakukan analisa internasional yaitu menjelaskan dan merumuskan horizonhorizon bagi tindakan-tindakan intensional tertentu. Hasil proses reduksi eidetis kita akan mencapai
intuisi hakekat.
Ketiga, Reduksi Transendental. Reduksi Transendental ini adalah pengarahan ke subjek. Jadi
fenomenologi itu diterapkan kepada subjeknya sendiri dan kepada perbuatannya. Kepastian akan
kebenaran pengertian kita bisa peroleh dari pengalaman yang sadar yang disebut erlebnisse.
Didalamnya kita bisa mengalami diri kita sendiri. Aku-kita selalu berhubungan dengan dunia benda
diluar kita dalam situasi jassmaniah tertentu.
8.

Metode Dialektis (Hegel, Marx)


Metode yang dikembangkan oleh Hegel (George Wilhelm Friederich Hegel, 1770-1831)
disebut metode dialektis. Disebut demikian sebab jalan untuk memahami kenyataan adalah dengan
mengikuti gerakan fikiran atau konsep. Metode teori dan sistem tidak dapat dipisahkan karena
saling menentukan dan keduanya sama dengan kenyataan pula.
Menurut Hegel, struktur didalam pikiran adalah sama dengan proses genetis dalam kenyataan.
Dengan syarat kita mulai berfikir secara benar, kita akan memahami kenyataan sebab dinamika
dinamika fikiran kita akan terbawa.
Dialektis terjadi dalam langkah-langkah yang dinamakan tesis-antitesis-sintesis.
Diungkapkan dalam tiga langkah: dua pengertian yang bertentangan, kemudian dipertemukan
dalam suatu kesimpulan. Implikasinya adalah dengan cara kita menentukan titik tolaknya lebih
dulu. Kita ambil suatu pengertian atau konsep yang jelas dan paling pasti. Misalnya konsep tentang
keadilan, kebebasan, kebaikan, dsb. Konsep tersebut dirumuskan secara jelas, kemudian
diterangkan secara mendasar. Dalam proses pemikiran ini konsep yang jelas dan terbatas ini akan
cair dan terbuka. Menjadi titik tegas dan hilang keterbatasannya.
Kemudian pikiran akan dibawa dalam langkah kedua yang berupa pengingkaran. Konsep
atau pemikiran pertama akan membawa konsep yang menjadi lawannya. Timbullah pengertian
ekstrim yang lain. Terjadilah penyangkalan terhadap pengertian pertama :
Kebebasan menimbulkan keharusan
Ada menimbulkan tiada
Absolute menimbulkan relative
Aktif menimbulkan pasif.
Konsep yang muncul dalam langkah kedua inipun akan mengalami perlakuan yang sama
dalam langkah pertama. Dijelaskan, diuraikan, diterangkan, dan diekstrimkan. Kemudian konsep ini
akan terbuka dann menuju konsep ketiga. Langkah ketiga ini merupakan pemahaman baru. Berujud
pengingkaran terhadap pengingkaran. Jadi selau dinamik.
Menurut Hegel ada tahap mutlak yang harus dilalui untuk mencapai kebenaran yaitu
kontradiksi-kontradiksi yang berfungsi sebagai motor dialektik.
Hegel menampilkan contoh tentang bentuk negara sebaimana disadur oleh Dr.K.Bertens
dalam Ringkasan Sejarah Filasafat: bentuk Negara yang pertama adalah diktator. Hidup masyarakat
diatu secara baik, tetapi warga Negara tidak mempunyai kebebasan, ini sebagai tesis. Antitesisnya
10

keadaan berlawanan yang tampil yaitu anarki. Dalam bentuk Negara ini para warga Negara
memiliki kebebasan tanpa batas dan hidup masyarakat jadi kacau.
Tesis dan antitesis ini akan bertemu dalam sintesis yaitu demokrasi konstitusional. Inilah
sintesisnya. Dalam Negara yang ketiga ini kehidupan masyarakat berjalan dengan baik, kebebasan
para warga Negara dijamin, aturan yang baik sudah diciptakan, batas-batas konsitusional semakin
jelas, warga Negara berada dalam batas undang-undang yang berlaku.
Ini adalah contih dari proses dialektis. Nampak dalam contoh ini tahapan-tahapan yang terdiri dari
tiga fase. Ada tesis yang berhadapan dengan antitesisnya. Akhirnya didamaikan dalam sintesis
dalam fase ketiga.
9.

Metode Nen-Positivistis
Kenyataan yang di pahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan
seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksakta).
Non-positivisme adalah satu cara pandang open mind untuk mendapatkan keunikan informasi serta
tidak untuk generalisasi, yang entry pouint pendekatannya berawal dari pemaknaan untuk
menghasilkan teori dan bukan mencari pembenaran terhadap suatu teori ataupun menjelaskan suatu
teori, dikarenakan kebenaran yang diperoleh ialah pemahaman terhadap teori yang dihasilkan.
Untuk ini dalam non positivisme terdapat tiga hal penyikapan, yaitu:
Memusatkan perhatian pada interaksi antara actor dengan dunia nyata.
Actor manusia pelaku ekonomi maupun dunia ekonomi senyatanya perlu dipandang sebagai proses
dinamis dan bukan sebagai sturktur yang statis.
Arti penting yang terkait dengan kemampuan actor pelaku ekonomi untuk menafsirkan kehidupan
sosialnya.
Dalam interaksi sosial, non-positivistic mengakomodir perhatian pada kajian penjelasan aktor
pelaku maupun cara cara penjelasannya dapat diterima atau ditolak oleh pihak lain.
10. Metode Analitika Bahasa (Wittgenstein)
Menurut Ludwig Von Wittgenstein (1889-1951) filsafat adalah hanya merupakan metode
Critique of Language. Analisa bahasa adalah metode netral. Tidak mengandaikan epistemology,
metafisika, atau filsafat. Metode Wittgenstein mempunyai maksud positif dan negatif. Positif
maksudnya bahasa sendirilah yang dijelaskan. Apakah memang dapat dikatakan dan bagaimanakah
dapat dikatakan.
Segi positif diarahkan pada segi negatif dengan jalan poositif mempunyai efektherapeutis
(penyembuhan) terhadap kekeliuran dan kekacauan. Dengan ditampakkan jalan bahasa dan
diperlihatkan sumber-sumber salah paham, orang akan terbuka untuk melihat hal-hal menurut
adanya.bukan dengan mengajukan teori-teori, tidak dengan menetapkan peraturan bahasa dan juga
bukan dengan membuktikan kesalahan ucapan-ucapan yang dipersoalkan.
Untuk menganalisa makna bahasa, Wittgenstein mempergunakan teknik-teknik khusus.
Wittgenstein membedakan bahasa dalam unit-unit paling dasariah : sesuatu tata bahasa dan susunan
logis.
Dalam bahasa struktur logis dan struktur tata bahasa sering menimbulkan kesulitan. Dua
ucapan yang mempunyai struktur tata bahasa sama, bisa berbeda menurut struktur logisnya.
Wittgenstein mencontohkan kata is dalam bahasa inggris bisa berarti sama dengan, bisa berarti
ada.
Konsep nyata dan konsep formal berbeda. Orang sering terdorong untuk memakai konsep
formal. Seakan-akan itu konsep nyata. Hal ini mengacaukan. Konsep formal hanya merupakan
suatu nama, harus diisi dengan konsep nyata.
Teknik kedua adalah usaha menentukan bahasa ideal. Bahasa itu bersifat tepat dan logis.
Titik tolaknya atom-atom logis yang paling sederhana. Bahasa mempunyai unit-unit dasariah yang
bisa dijelaskan menurut struktur yang tepat.
Wittgenstein tidak memisahkan bahasa natural dan bahasa ideal secara tegas. Dan ia
memakai beberapa teknik logis yang khas untuk menentukan hubungan intern antara ucapanucapan. Ia menyusun suatu jenjang kemungkinan benar salah.
11

Menurut Wittgenstein batas bahasa juga merupakan batas dunia. Kita hanya bisa bicara
mengenai hal-hal didalam dunia dan didalam pikiran. Tidak dapat keluar dari bahasa dan dunia.
Hal-hal yang dapat dibicarakan dalam bahasa adalah apa yang nyata didalam dunia. Tidak mungkin
bicara hal-hal metafisis, logika psikologi, metafisika dianggap tidak punya makna. Benar dan salah
tidak bisa dipertimbangkan.
2.3. .Karakteristik hasil studi pendidikan
1. filsafat pendidikan sebagai suatu hasil berpikir yang bersifat normatif dan preskriptif
Hasil berfilsafat bersifat normatif atau preskriptif artinya bahwa sistem gagasan filsafat
menunjukan tentang apa yang dicita-citakan atau apa yang seharusnya, sedangkan individualistikunik artinya bahwa sitem gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf tertentu akan berbeda dengan
sistem gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf lainnya. Ini mungkin terjadi antara kain karena
sifat subjektif dari proses berfikirnya yang melibatkan pengalaman insani masing masing
filsuf,maka dari itu, kebenaran filsafat bersifat subjektif paralelistik, mkasudnya bahwa suatu sistem
gagasan filsafat adalah benar bagi filsuf yang bersangkutan atau bagi para penganutnya. Antara
sistem gagasan filsafat yang satu dengan sistem gagasan filsafat yang lainnya tidak dapat saling
menjatuhkan mengenai kebenarannya. Dengan kata lain, bahwa masing-masing aliran filsafat
memiliki kebenaran yang berlaku dalam relnya masing-masing,adapun hasil berfilsafat tersebut
disajikanpara filsuf secara tematik,sistematis dalam bentuk naratif ( uraian lisan/tertulis ) atau
profetik ( dialog tanya jawab lisan/tertulis
2. filsafat pendidikan sebagai hasil berpikir individualistik-unik
individualistik-unik artinya bahwa system gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf tertentu akan
berbeda dengan system gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf lainnya. Ini mungkin terjadi antara
lain karena sifat subjektif dari proses berfikirnya yang melibatkan pengalaman insani masingmasing filsuf. Sebab itu, maka kebenaran filsafat bersifat subjektif-paralelistik, maksudnya bahwa
suatu system gagasan filsafat adalah benar bagi filsuf yang bersangkutan atau bagi para
penganutnya; antara system gagasan filsafat yang satu dengan system gagasan filsafat yang lainnya
tidak dapat saling menjatuhkan mengenai kebenarannya. Dengan kata lain, bahwa masing-masing
aliran filsafat memiliki kebenaran yang berlaku dalam relnya masing-masing. Adapun hasil
berfilsafat tersebut disajikan para filsuf secara tematik sistematis dalam bentuk naratif (uraian
lisan/tertulis) atau profetik (dialog/tanya jawab lisan/tertulis).
3. Sistem teori atau sistem pikiran pendidikan sebagai hasil bersifilsafat disajikan para filsuf
secara tematik sitematis dalam bentuk naratif atau profetik.
Kebenran filsafat bersifat subjektif-paralelistik, maksudnya bahwa suatu sistem gagasan
filsafat adalah benar bagi pilsuf yang bersangkutan atau bagi para penganutnya; antara sistem
gagasan sistem filsafat yang satu dengan sistem gagasan filsafat yang lainya tidak dapat saling
menjatuhkan mengenai kebenarannya. Masing-masing aliran filsafat memiliki kebenaran yang
berlaku dalam relnya masing-masing. Adapun hasil berfilsafat tersebut disajikan para pilsuf tematik
sistematis dalam bentuk naratif (uraian/tertulis)atau profetik (dialog/tanya jawab lisan/tertulis).
4. kelemahan dan keunggulan filsafat
1. Rasionalisme
Kelebihan : Mampu menyusun sistem sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia.
Kelemahan :
* Doktrin doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga
rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan
objek objek rasional secara peka.
* Cara memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut
mengundang kritikan tajam , sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir
filsafat yang kurang setuju dengan sistem sistem filosofis yang subjektif tersebut.
12

2. Empirisme
Kelebihan : Pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham
empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
Kelemahan : Indra terbatas, Indera menipu, Objek yang menipu, Indera dan objek sekaligus.
3. Positivisme
Kelebihan :
* Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih
tinggi dari pada kedua faham tersebut.
* Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
* Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun
keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.
Kelemahan :
* Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa
bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
* Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan
pengetahuan yang valid.
4. Pragmatisme
Kelebihan :
* Membawa kemajuan-kemnjuan yang pesat bagi ilmu pengetahuan maupun teknologi.
* Pragmatisme telah berhasil membumikan filsafat dari corak sifat yang Tender Minded yang
cenderung berfikir metafisis, idealis, abstrak, intelektualis.
Kelemahan :
* Filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati
hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis.
* Pagmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan,
maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada ateisme.
5. Realisme
Kelebihan :
* Tidak bergantung pada segala pengetahuan.
Kelemahan :
* Menganggap bahwa realitas itu tidak sekedar apa yang dapat dilihat secara real, tetapi realitas
itu adalah pemikiran atau ide-ide.
6. Idealisme
Kelebihan :
* Meningkatkan daya pemikiran dari segi menghasilkan ide yang benar dan boleh dipakai.
Kelemahan :
* Anggapan terhadap sesuatu nilai atau kebenaran yang kekal sepanjang masa.
7. Materialisme
Kelebihan :
* Mengganggap materi itu berada di atas segala-galanya.
Kelemahan :
* Memandang sesuatu bukan dari keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, tetapi
dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.
* Melihat segala sesuatu tidak dari geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati dan tidak
berubah-ubah.
8. Vitalisme
13

Kelebihan:
* Menyokong suatu kehidupan.
Kekurangan :
* Tidak bisa saling mengintervensi.
9. Eksistensialisme
Kelebihan:
* Mengerti akan semua realitas.
* Mengetahui pengetahuan tentang manusia.
Kekurangan :
* Mengabaikan Perintah Tuhan.
* Menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia.

14

Anda mungkin juga menyukai