Anda di halaman 1dari 50

PRESENTASI KASUS

PRE EKLAMPSIA BERAT HELLP SYNDORME DENGAN KONDISI


KEHAMILAN BERISIKO TINGGI (NYHA III, VSD BESAR, HT
PULMONAL, TROMBOSITOPENIA) PADA IUGR
PRIMIGRAVIA HAMIL PRETERM
BELUM DALAM PERSALINAN

Oleh:
dr. Rochip
Pembimbing :

PPDS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang terjadi 2-3% pada
keseluruhan kejadian kehamilan dan 5-7% terjadi pada populasi wanita nulipara.
Preeklampsia menjadi penyebab utama kematian ibu hamil dan perinatal di dunia
(1).
Adapun HELLP syndrome terjadi sekitar 0,9% dari keseluruhan kehamilan
dan 20% kasus disertai dengan preeklampsia berat (2). Saat ini HELLP menjadi
masalah serius di bidang obstetrik terkait risiko kematian bumil maupun janin (3).
Walaupun bervariasi, akan tetapi onset kejadian bersifat cepat (4). Gejala-gejala
yang dialami pasien bersifat kontinu progresif dan sering berubah secara
spontan.Terutama pada malam hari, pasien bisa mengalami eksaserbasi (5).
Selain itu populasi bumil dengan penyakit jantung termasuk ke dalam
populasi emergensi dan merupakan tantangan bagi dokter obstetrik, dokter
jantung, dan dokter anestesi (6). Pada kehamilan normal terjadi perubahan
hemodinamik yang mengakibatkan dekompensasi jantung. Adanya penyakit
jantung

pada

bumil

dapat

memperburuk

kondisi,

komplikasi,

bahkan

menimbulkan kematian ibu dan/atau janin (7).


Terdapat data penelitian multicenter terkait bumil dengan penyakit
jantung. Dengan subjek penelitian 562bumil kebangsaan Kanada(22-34 tahun).
Ternyata prosentase jenis penyakit jantung yang terjadi adalah 74%CHD, 22%
penyakit jantung didapat, dan 4%aritmia. Berdasarkan data tersebut CHD menjadi
penyebab terbanyak kejadian morbiditas bumil dengan penyakit jantung (7).
Diawali oleh kesuksesan operasi pasien anak dengan penyakit jantung
kongenital/Congenital Heart Disease (CHD) pada sekitar 30 tahun yang lalu, kini
jumlah pasien dewasa CHD melebihi jumlah anak-anak CHD. Pada tahun 2000
terdapat 133.000 pasien dewasa CHD dan terus meningkat setiap tahun (8).
Sekitar 50% populasi tersebut adalah wanita dan banyak diantaranya adalah usia
produktif (6).

Ditambah data kematian bumil di UK menunjukkan bahwa penyakit


jantung menempati posisi kedua sebagai penyebab utama kematian setelah
gangguan psikiatri. Walaupun secara umum mayoritas penyebab utama kematian
penyakit jantung adalah karena penyakit yang didapat, seperti Acute Myocardial
Infarction (AMI) dan cardiomyopathy, tetapi CHD adalah penyebab terbesar
kematian bumil akibat penyakit jantung (9).
Intrauterine Growth Restriction (IUGR) merupakan masalah yang sering
terjadi pada kasus obstetrik. IUGR terjadi sekitar 15% dari keseluruhan bumil
(10). Di negara berkembang prevalensi kejadian hingga 25% pada bumil (11).
IUGR perlu didiagnosis saat antenatal sehingga bisa dilakukan manajemen
sebelum terlambat. Namun apabila janin tidak terdeteksi ketika kehamilan, biasa
akan ketauan saat kelahiran. Oleh karena itu penting untuk mengetahui
perkembangan dan kondisi janin, sebab IUGR sangat erat menyebabkan kematian.
Skrining dan diagnosis dari IUGR memerlukan pengamatan akurat dengan
menggunakan USG pada trimester pertama. Walaupun begitu, deteksi IUGR pada
prenatal masih buruk. Hasil studi Ott menunjukkan bahwa 30% neonatus dengan
berat badan lahir < 10 persentil muncul sebagai IUGR (10).
Padahal dengan menurunnya berat badan janin kurang dari 10 persentil
ternyata meningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. IUGR adalah
penyebab kedua terbanyaka kematian perinatal setelah prematur. IUGR mampu
meningkatkan risiko kematian di uterus hingga 10 kali dan hingga 65% kelahiran
berakhir dengan kematian janin (11). Sekitar 50% dari kematian pretermal dan
25% kematian aterm disebabkan oleh growth restriction (12).
Disamping itu, IUGR akan berpengaruh buruk pada kehidupan masa kecil
dan dewasa. Selama masa kecil, meningkatkan risiko cerebral palsy, gangguan
pertumbuhan, kerdil, dan gangguan perkembangan saraf (13). Terdapat studi yang
menyebutkan bahwa di usia dewasa, pasien IUDR memiliki risiko lebih besar
terhadap hipertensi, diabetes, obesitas, penyakit arteri koroner, stroke, dan
sindrome metabolik (14, 15). Oleh karena itu penting untuk mengenali kondisi
janin melalui pengawasan monitoring dan intervensi obstetrik berkala untuk

mengurangi kematian perinatal (10). Adapun makalah ini membahas terkait kasus
ibu hamil preeklampsia berat HELLP syndorme dengan kondisi kehamilan
berisiko tinggi (NYHA III, VSD besar, HT pulmonal, trombositopenia) pada
IUGR primigravia hamil preterm belum dalam persalinan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PRE-EKLAMPSIA BERAT
1.

Definisi
Preeklampsia adalah kelainan multisystem spesifik pada kehamilan
yang ditandai oleh timbulnya hipertensi dan proteinuria setelah umur
kehamilan 20 minggu. Kelainan ini dianggap berat jika tekanan darah dan
proteinuria meningkat secara bermakna atau terdapat tanda-tanda
kerusakan organ (termasuk gangguan pertumbuhan janin) (16).

2.

Etiologi
Penyebab pasti Preeklampsia masih belum jelas. Hipotesa factorfaktor etiologi Preeklampsia bisa diklasifikasikan menjadi 4 kelompok,
yaitu : genetic, imunologik, gizi dan infeksi serta infeksi antara faktorfaktor tersebut(17).
Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan perkiraan etiologi
dari kelainan tersebut sehingga kelainan ini sering dikenal dengan The
disease of theory adapun teori-teori tersebut antara lain (18):
a.

Peran prostasiklin dan tromboksan S


Pada Preeklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler
sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI-2) yang pada
kehamilan

normal

meningkat,

aktivasi

penggumpalan

dan

fibrinolisis. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan


(TxA2) dan serotonin sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan
endotel.
b.

Peran faktor imunologis


Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama, hal ini
dihubungkan dengan pembentukan blocking antibodies terhadap
antigen plasenta yang tidak sempurna. Beberapa wanita dengan
Preeklampsia mempunyai kompleks imun dalam serum. Beberapa
studi yang mendapati aktivasi komplemen dan system imun humoral
pada preeklampsia.

c.

Peran faktor genetik / familial


Beberapa bukti yang mendukung faktor genetik pada preeklampsia
antara lain:
Preeklampsia hanya terjadi pada manusia
Terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsia
pada anak-anak dari ibu yang menderita preeklampsia
Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsia pada
anak-anak cucu ibu hamil dengan riwayat preeklampsia dan
bukan ipar mereka
Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron-System (RAAS)

3.

Faktor Resiko
Faktor risiko preeklampsia meliputi kondisi-kondisi medis yang
berpotensi menyebabkan penyakit mikrovaskuler (missal, diabetes melitus,
hipertensi kronik, kelainan vaskuler dan jaringan ikat), antifosfolipid
antibody syndrome, dan nefropati (19).

Faktor-faktor resiko lain

dihubungkan dengan kehamilan itu sendiri atau lebih spesifik terhadap ibu
dan ayah janin (16).
Tabel 1. Faktor Resiko Preeklampsia
Faktor yang berhubungan

Faktor yang berhubungan

dengan kehamilan
Abnormalitas

dengan kondisi maternal


dengan pasangan
Usia > 35 tahun atau Partner lelaki yang

kromosom

<20 tahun

Faktor yang berhubungan

pernah

menikahi

Mola hidatidosa

Ras kulit hitam

wanita yang kemudian

Hidrops fetalis

Riwayat Preeklampsia

hamil dan mengalami

Donor

inseminasi donor
kongenital
ISK

Pemaparan

atau Nullipara

oosit

Anomali

preeklampsia

pada keluarga

Kehamilan ganda

struktur

Preeklampsia

pada

kehamilan sebelumnya
Kondisi medis khusus :
DM,

HT

Obesitas,

Kronik,
Penyakit

terbatas

terhadap sperma
Primipaternity

Ginjal, trombofilia
Stress
Antibody
antifosfolipid syndrom
4.

Patofisiologi
Walaupun penyebab pasti reeklampsia tidak jelas, banyak teori
memusatkan masalah pada impantasi plasenta dan level invasi trofoblas.
Penting diingat bahwa walaupun hipertensi dan proteinuria adalah kriteria
diagnostik preeklampsia, kedua hal ini hanyalah gejala dari perubahanperubahan patofisiologi yang muncul pada kelainan ini. Salah satu
perubakan patofisiologi yang paling menonjol adalah vasospasme sistemik
yang sangat nyata yang bertanggung jawab terhadap penurunan perfusi
semua system organ. Perfusi juga berkurang karena hemokonsentrasi
vaskuler dan pengeluaran cairan ke rongga ketiga. Selain itu, preeklampsia
disertai oleh respon inflamasi berlebihan dan aktivasi endotel yang tidak
tepat. Aktivasi kaskade pembekuan dan resultan dari pembentukan
thrombin lebih lanjut menghalangi aliran darah organ (16).
Tanda-tanda utama pada Preeklampsia adalah :
a. Penurunan perfusi uteroplasental
b. Peningkatan vasokonstriktor dan penurunan vasodilator dengan
akibat vasokonstriksi local dan sistemik
c. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
Hipotesa perubahan patofisiologis preeklampsia sangat banyak
antara lain : kegagalan invasi trofoblas, stress oksidatif, disfungsi endotel,
perubahan

hormon-hormon

kalsiotrofik,

pelepasan

pertumbuhan dan protein antiangiogenik (19).

Faktor Predisposisi Preeklampsia


( imun, genetik, dll )

faktor-faktor

Perubahan plasentasi

Obstruksi mekanik dan fungsional dari arteri spiralis

Penurunan perfusi uteroplasental

PGE2/PGI2

Renin/angiotensin II

Vasokonstriksi arteri

Kerusakan endotel

Hipertensi sistemik

Tromboksan

Aktivasi intravascular koagulasi

DIC

Ginjal

SSP

Proteinuri
GFR

kejang
koma

Hati

LFT abnormal

Gambar 1. Skema patofisiologi preeklampsia

5.

Disfungsi endotel
endotelin, NO

Klasifikasi

Organ lainnya

iskemi
fibrin,
trombin

Preeklampsia termasuk kelainan hipertensi dalam kehamilan.


Penggolongan kelainan hipertensi dalam kehamilan antara lain:
hipertensi kronis, pre eklampsia, superimposed eklampsia pada hipertensi
kronis dan hipertensi gestasional.
Hipertensi kronik adalah peningkatan tekanan darah yang timbul
sebelum kehamilan, terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau
menetap setelah 12 minggu post partum. Sebaliknya, preeklampsia
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah dan proteinuria yang
muncul setelah usia kehamilan 20 minggu. Eklampsia, komplikasi berat
preeklampsia

adalah

munculnya

kejang

pada

wanita

dengan

preeklampsia. Kejang eklampsia relatif jarang dan muncul <1% wanita


dengan eklampsia (20).
Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik ditandai
dengan proteinuria (atau dengan peningkatan tiba-tiba level protein jika
sebelumnya sudah ada proteinuria), peningkatan mendadak hipertensi
(dengan asumsi telah ada proteinuria) atau terjadi HELLP syndroma.
Hipertensi gestasional didiagnosa jika terjadi kenaikan tekanan
darah tanpa proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu dan tekanan
darah kembali normal dalam 12 minggu post partum. Seperempat wanita
dengan hipertensi gestasional mengalami proteinuria dan belakangan
berkembang menjadi preeklampsia.

>140/90 mmHg
Sebelum usia kehamilan 20 minggu

Setelah usia kehamilan 20 minggu

Proteinuria (-) /
stabil

Proteinuria
(+) /
meningkat, TD
meningkat,
HELLP
Syndroma

Proteinuria
(+) /

Hipertensi
kronik

Preeklampsia
superimposed
pada Hipertensi
kronik

Preeklampsia /

Proteinuria (-) /

Hipertensi
Gestasional

Gambar 2. Klasifikasi Wanita Hamil Dengan Tekanan Darah


Pre eklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a.

Pre eklampsia ringan

Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi


terlentang; atau kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan
tekanan diastolik 15 mmHg

Cara

pengukuran

sekurang-kurangnya

pada

dua

kali

pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.

Oedem umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat
badan 1 kg per minggu

Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+


pada urin kateter atau mid stream

b. Pre eklampsia berat

Tekanan darah 160/110 mmHg.

Proteinuria 5 gram/liter.

Oligouria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc/24 jam.

Adanya gangguan serebral, gangguan visus dan nyeri


epigastrium.

Terdapat oedem paru dan sianosis.

Thrombosytopenia berat

Kerusakan hepatoseluler

Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat

Klasifikasi pre-eklampsia lain , yaitu (18):


a.

Genuine pre-eklampsia
Gejala pre-eklampsia yang timbul setelah kehamilan 20 minggu
disertai dengan oedem (pitting) dan kenaikan tekanan darah
140/90 mmHg sampai 160/90. Juga terdapat proteinuria 300
mg/24 jam (Esbach)

b.

Super imposed pre-eklampsia


Gejala pre-eklampsia yang terjadi kurang dari 20 minggu disertai
proteinuria 300 mg/24 jam (Esbach), dan bisa disertai oedem.
Biasanya disertai hipertensi kronis sebelumnya.

6.

Diagnosis
Kriteria Diagnostik Untuk Preeklampsia
Preeklampsia Ringan
Tekanan darah : sistolik 140 mmHg atau diastolic 90 mmHg setelah
kehamilan 20 minggu yang sebelumnya memiliki tekanan darah yang
normal.
Proteinuria : 0,3 gr atau lebih protein 24 jam
Preeklampsia berat
Tekanan darah : sistolik 160 mmHg atau diastolic 110 mmHg
Proteinuria : 5 gr atau lebih protein 24 jam
Gejala lain : oliguria ( < 500 ml urin dalam 24 jam), gangguan pandangan,
edema paru dan sianosis, nyeri epigastrik kuadran atas, gangguan fungsi
liver, trombositopenia, gangguan pertumbuhan janin.

10

7.

Pencegahan
Tidak ada alat ukur yang pasti untuk mencegah preeklampsia
(16). walaupun demikian, beberapa usaha untuk mencegah preeklampsia
telah dilakukan, antara lain:
a.

Pencegahan non medikal

Restiksi garam
Tidak terbukti dapat mencegah terjadinya preeclampsia

Suplementasi diet yang mengandung :


-

Minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh,


misalnya Omega-3 PUFA.

Antioksidan : vit C, vit E, B karoten, CoQ1o-N-Acethyl


cysteine, zinc, magnesium, calcium.

Tirah baring tidak terbukti :


-

Mencegah terjainya preeclampsia

Mecegah persalinan preterm

Di Indonesia tirah baring masih diperlukan pada mereka yang


mempunyai resiko tinggi terjadinya preeklampsia.
b. Pencegahan dengan Medikal

Diuretik : tidak terbukti mencegah terjadinya preeclampsia bahkan


memperberat hipovolemia.

Anti hipertensi tidak terbukti mencegah terjadinya preekalmpsia

Kalsium : 1500-2000 mg/ hari, dapat dipakai sebagai suplemen


pada resiko tinggi terjadinya preeclampsia, meskipun belum
terbuktibermanfaat untuk mencegah preeclampsia.

Zinc : 200 mg / hari

Magnesium 365 mg / hari

Obat anti hrombotic :


-

Aspirin dosis rendah : rata-rata dib awah 100 mg / hari, tidak


terbukti mencegah terjadinya preeclampsia.

11

Dipyridamol

Abat-obatan antioksidan : vit C, vit E, B karoten, CoQ1o-NAcethyl cysteine, asam lipoik-6.

Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah, banyak kematian akibat


kelainan ini dapat dicegah. Deteksi awal, monitoring ketat dan terapi
preeclampsia sangat penting dalam mencegah mortalitas akibat kelainan ini
(21).
8.

Komplikasi (22)
a. HELLP syndrom
b. Perdarahan otak
c. Gagal ginjal
d. Hipoalbuminemia
e. Ablatio retina
f. Edema paru
g. Solusio plasenta
h. Hipofibrinogenemia
i. Hemolisis
j. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin

9.

Penatalaksanaan Pre-eklampsia Berat 3


a.

Perawatan Aktif
Terminasi kehamilan

Ibu
- Usia kehamilan 37 minggu atau lebih
- Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia, kegagalan
terapi konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan meditasi terjadi
kenaikan desakan darah atau setelah 24 jam perawatan medisinal,
ada gejala-gejala status quo (tidak ada perbaikan).

Janin
- Hasil fetal assesment jelek (NST & USG)
- Adanya tanda IUGR

12

Laboratorium
- Adanya HELLP syndrome (hemolisis dan peningkatan fungsi
hepar, trombositopenia).

b.

Pengobatan Medisinal

Pengobatan medisinal pasien pre eklampsia berat yaitu :

Segera masuk rumah sakit

Tirah baring miring ke satu sisi. Tanda vital diperiksa setiap 30


menit, refleks patella setiap jam

Infus dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL


(60-125 cc/jam) 500 cc

Antasida

Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam

Pemberian obat anti kejang : magnesium sulfat

Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema


paru, payah jantung kongestif atau edema anasarka. Diberikan
furosemid injeksi 40mg/im

Antihipertensi diberikan bila :


-

Desakan darah sistolis lebih 180 mmHg, diastolis lebih 110


mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Sasaran pengobatan adalah
tekanan diastolis kurang 105 mmHg (bukan kurang 90 mmHg)
karena akan menurunkan perfusi plasenta

Dosis antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada


umumnya

Bila dibutuhkan penurunan tekanan darah secepatnya, dapat


diberikan obat-obat antihipertensi parenteral (tetesan kontinyu),
catapres injeksi. Dosis yang biasa dipakai 5 ampul dalam 500
cc cairan infus atau press disesuaikan dengan tekanan darah

Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan


tablet

antihipertensi secara sublingual diulang selang 1 jam,

maksimal 4-5 kali.

Bersama dengan awal pemberian

13

sublingual maka obat yang sama mulai

diberikan secara

oral

Kardiotonika
Indikasinya bila ada tanda-tanda menjurus payah jantung, diberikan
digitalisasi cepat dengan cedilanid D

Lain-lain :
- Konsul bagian penyakit dalam / jantung, mata.
- Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal lebih 38,5 derajat
celcius

dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin atau

alkohol atau xylomidon 2 cc IM.


- Antibiotik diberikan atas indikasi.(4) Diberikan ampicillin 1 gr/6
jam/IV/hari.
- Anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi
uterus. Dapat diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambatlambatnya 2 jam sebelum janin lahir
c.

Pemberian Magnesium Sulfat


Cara pemberian magnesium sulfat :

Dosis awal sekitar 4 gram MgSO4 IV (20 % dalam 20 cc) selama 1


gr/menit kemasan 20% dalam 25 cc larutan MgSO4 (dalam 3-5 menit).
Diikuti segera 4 gr di bokong kiri dan 4 gram di bokong kanan (40 %
dalam 10 cc) dengan jarum no 21 panjang 3,7 cm. Untuk mengurangi
nyeri dapat diberikan 1 cc xylocain 2% yang tidak mengandung
adrenalin pada suntikan IM (20)

Dosis ulangan : diberikan 4 gram intramuskuler 40% setelah 6 jam


pemberian dosis awal lalu dosis ulangan diberikan 4 gram IM setiap 6
jam dimana pemberianMgSO4 tidak melebihi 2-3 hari (18)

Syarat-syarat pemberian MgSO4 :(22)


Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10%, 1 gram (10%
dalam 10 cc) diberikan intravenous dalam 3 menit.
Refleks patella positif kuat

14

Frekuensi pernapasan lebih 16 kali per menit.


Produksi urin lebih 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam).

MgSO4 dihentikan bila :


-

Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi, refleks


fisiologis

menurun,

fungsi

jantung

terganggu,

depresi

SSP,

kelumpuhan dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena


kelumpuhan otot-otot pernapasan karena ada serum 10 U magnesium
pada dosis adekuat adalah 4-7 mEq/liter. Refleks fisiologis menghilang
pada kadar 8-10 mEq/liter. Kadar 12-15 mEq terjadi kelumpuhan otototot pernapasan dan lebih 15 mEq/liter terjadi kematian jantung.

Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat :


Hentikan pemberian magnesium sulfat
Berikan calcium gluconase 10% 1 gram (10% dalam 10 cc) secara
IV dalam waktu 3 menit.
Berikan oksigen.
Lakukan pernapasan buatan.

Magnesium sulfat dihentikan juga bila setelah 4 jam pasca persalinan


sudah terjadi perbaikan (normotensif).

d.

Penanganan konservatif
1. Indikasi : Bila kehamilan preterm kurang 37 minggu tanpa disertai tandatanda inpending eklampsia dengan keadaan janin baik.
2. Pengobatan medisinal : Sama dengan perawatan medisinal pada
pengelolaan aktif. Hanya loading dose MgSO4 tidak diberikan
intravenous, cukup

intramuskuler saja dimana 4 gram pada bokong kiri

dan 4 gram pada bokong kanan.


3. Pengobatan obstetri :
a. Selama perawatan konservatif : observasi dan evaluasi sama seperti
perawatan aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.
b. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda pre
eklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam

15

c. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap pengobatan


medisinal gagal dan harus diterminasi
d. Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih
dahulu MgSO4 20% 2 gram intravenous
4. Penderita dipulangkan bila
a. Penderita kembali ke gejala-gejala / tanda-tanda pre eklampsia
ringan dan telah dirawat selama 3 hari
b. Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan pre eklampsia ringan:
penderita dapat dipulangkan dan dirawat sebagai pre eklampsia ringan
(diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu).
B. HELLP SYNDROME
1. Definisi
HELLP syndrome adalah komplikasi serius pada kehamilan yang
ditandai oleh preeklampsia, hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan
trombositopenia (3). Weinstein pada tahun 1982 memisahkan HELLP
syndrome dengan preeklampsia berat berdasarkan tanda dan gejala, yaitu
HELLP (H= Haemolysis, EL= Elevated Liver Enzymes. LP= Low
Platelet) (23).
2. Etiologi dan Faktor Risiko
Sekitar 70% kasus, kejadian HELPP syndrome terjadi sebelum
kelahiran, dengan frekuensi tersering antara minggu 27 hingga 37
kehamilan. Adapun usia bumil dengan HELLP syndrome biasa lebih tua
daripada bumil yang terkena preeklampsia (3). Selain itu wanita multipara
lebih berisiko terkena HELLP (24).
3. Patofisiologi
a. Hemolisis
Hemolisis

pada

HELLP

disebabkan

oleh

microangipathic

haemolituc anaemia (MAHA). Kondisi fragmentasi sel darah merah


sebagai akibat oleh meningkatnya kekentalan darah, kemudian mengalir

16

dalam saluran endotel yang mengecil mengakibatkan kerusakan tunika


intima, disfungsi endotel, dan deposisi fibrin. Adanya faktor penyebab
fragmen (schizocytes) atau adanya tarikan dengan spicula (Burr cell) di
darah perifer dapat menjadi penyebab proses hemolisis dan berkembang
menjadi MAHA (25).
Selain itu pada gambaran apusan darah dapat terlihat sel darah
polikromatik dan peningkatan hitung retikulosit yang menunjukkan
kompensasi dari dibentuknya sel darah merah imatur ke darah perifer.
Peningkatan penghancuran sel darah merah oleh proses hemolisis
mengakibatkan meningkatnya kadar serum laktat dehidrogenase (LDH)
dan menurunnya hemoglibin (3).
b. Elevated Liver Enzym
Peningkatan enzim hepar bisa menjadi gambaran terjadinya proses
hemolisis. Hemolisis secara substansial mengakibatkan peningkatan
kadar LDH, akan tetapi pada dasarnya peningkatan enzim hepar
asparate aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT)
adalah sebagai akibat kerusakan hepar. Saat ini kadar plasma
glutathione S-transferase a1 (GST-a1) adalah indikator yang lebih
sensitif untuk kerusakan hepar yang terjadi secara mendadak, akan
tetapi pengukuran GST-a1 masih belum bisa dilaksanakan di pelayanan
kesehatan (3).
c. Low Platelet
Sedangkan trombositopenia ketika kehamilan bisa terjadi sebagai
akibat dari trombositopeni gestasional (59%), immune trombositopenia
purpura (ITP) (11%), preeklampsia (10%), dan HELLP syndrome
(12%) (26). Kadar platelet < 10x109/liter jarang terjadi pada kasus
preeklampsia dan gestasional trombositopenia, sering pada kasus ITP
dan pasti terjadi pada kasus HELLP syndrome. Penurunan platelet
secara signifikan pada sindrom HELLP sebagai akibat dari peningkatan
penggunaan. Setelah platelet aktif, kemudian digunakan pada endotel
yang mengalami kerusakan sehingga platelet hanya berumur pendek
(25).

17

4. Diagnosis
Penentuan diagnosis HELLP syndrome membutuhkan semua
komponen mayor (H and EL and LP). Sedangkan apabila ditemukan 1 atau
2 komponen saja (H or EL or LP) maka disebut sebagai HELLP
incomplete atau partial HELLP (4).
Onset kejadian HELLP termasuk cepat (Martin, 2006). Disamping
itu pada sebagian besar bumil akan mendapatkan gejala proteinuria dan
peningkatan tekanan darah, walaupun pada 20% kasus tidak ditemukan
(27). Juga mendapat peningkatan berat badan serta oedem pada 50% kasus
(3). Hemolisis intravaskuler didiagnosis dengan apusan darah perifer,
peningkatan serum bilirubin, dan peningkatan kadar LDH (27).
Biasa pasien merasakan gejala nausea, mual, dan rasa nyeri pada
regio epigastrik dan hipocondriaca dextra. Nyeri abdomen bagian atas
biasa hilang timbul dan biasa merasakan mulas. Banyak pasien
melaporkan merasakan malaise beberapa hari sebelum muncul gejala
HELLP. Selain itu hingga 60% wanita merasakan sakit kepala dan 20%
diantaranya hingga mengganggu penglihatan (27). Akan tetapi wanita
dengan HELLP syndrome memang tidak memiliki gejala spesifik maupun
tanda preeklampsia. Gejala yang dimiliki bersifat progresif dan intensitas
berubah secara spontan. HELLP syndrome biasa menyerang ketika malam
hari dan menurun peluangnya hingga pagi hari (5).
Terdapat 2 pembagian klasifikasi utama diagnosis HELLP
syndrome, yaitu:
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Utama HELLP Syndorme
Kelas HELLP

Klasifikasi

Klasifikasi

Tennessee
Platelet 100x109/L

Mississippi
Platelet 50x 109/L

AST 70 IU/L

AST atau ALT 70 IU/L

LDH 600 IU/L

LD 600 IU/L
Platelet 100x 109/L

AST atau ALT 70 IU/L


LD 600 IU/L

18

Platelet 150x 109/L


3

AST atau ALT 40 IU/L


LDH 600 IU/L
(Haram, 2009)

5. Diagnosis Banding
HELLP syndrome sering salah diagnosis sebagai hepatitis virus,
kolangitis, dan penyakit akut lain (Haram, 2009). Penyakit lain walaupun
jarang terjadi namun menyerupai HELLP yaitu ITP, Acute Fatty Liver Of
Pregnancy (AFLP), Haemolytic Uremic Syndrome (HUS), Thrombotic
Thrombocytopenic Purpura (TTP), dan SLE (25).
Tabel 3. Differential Diagnosis HELLP syndrome
1. Penyakit terkait kehamilan
Trombositopenia kehamilan
AFLP
2. Penyakit infeksi dan peradangan
Hepatitis
Kolangitis
Kolesistitis
UTI
Gatritis
Ulkus gastrik
Pancreatitis akut
3. Trombositopenia
ITP
Defisiensi folat
SLE
Antipospholipid syndrome (APS)
4. Penyakit lain (jarang)
TTP
Haemolitic uremic syndrome (HUS)
(Haram, 2009)
6. Komplikasi
HELLP syndrome merupakan risiko serius untuk bumil maupun
janin. Berbagai jenis komplikasi bisa ditimbulkan oleh karena itu
diagnosis dan manajemen tepat, waktu dan metode kelahiran sangat
penting untuk keselamatan bumil dan janin (28). Bumil dengan partial
HELLP memiliki lebih sedikit gejala dan kemungkinan komplikasi (3).

19

Akan tetapi partial HELLP dapat berkembang menjadi HELLP syndrome


complete (4).
Dalam 48 jam masa post-partum, bumil dengan HELLP syndrome
biasa mendapatkan proteinuria dan peningkatan tekanan darah (3).
Tabel 4. Komplikaasi HELLP Syndrome
Komplikasi Maternal
Eklampsia
Abruptio plasenta
DIC
Acute Renal Failure
Asites Berat
Cerebral oedema
Pulmonary oedema
Hematoma dan infeksi2
Subcapsular liver hematoma
Ruptur liver
Infark hepar
Trombosis
Retinal detachment
Cerebral infark
Cerebral haemorrhage
Kematian

% Kejadian
4-9
9-20
5-561
7-36
4-11
1-8
3-10
7-14
0,9 2%
1,8% (200 kasus)
30 kasus

Komplikasi Janin
Kematian perinatal
IUGR
Kelahiran preterm
Trombositopenia4
RDS

% Kejadian
7,4-3,4
38-61
70
15-50
5,7-40

1.

Tergantung kriteria diagnosis

2.

Setelah caesarean section

3.

Pada kelompok berisiko tinggi

4.

Platelet < 100 x 109/L

1
Jarang
1,5-403
1-25

7. Penatalaksanaan
Tindakan pertama adalah mengevaluasi pasien, meliputi: status klinis
bumil, umur kehamilan (USG), dan skor Bishop. Pemeriksaan laboratorium
bisa dilakukan meliputi: hitung lengkap sel darah, hitung platelet, faktor
koagulasi, AST, LDH, haptoglobin dan pemeriksaan urin. Pengukuran
tekanan darah, USG, dan dopler juga bisa dilakukan (29).

20

Langkah selanjutya adalah stabilisasi kondisi bumil dengan cairan


intravena, antihipertensi, dan magnesium sulphate untuk menghindari kejang
(29). Pada kondisi umum, tidak direkomendasikan untuk casesarean section
segera, tetapi lebih setuju untuk dilakukan kelahiran pervaginal atau
casesarean section setelah 24-48 jam terapi kortikosteroid. Akan tetapi
apabila HELLP syndrome terjadi sebelum umur kehamilan 24, maka
terminasi kehamilan bisa dilakukan (3).
Terdapat 3 pilihan utama dalam penatalaksanaan bumil dengan HELLP
syndrome, yaitu:
a. Kelahiran segera adalah pilihan utama pada kehamilan 34 minggu ke
atas.
b. Kelahiran setelah 48 jam evaluasi dan stabilisasi kondisi. Pilihan ini
dilakukan pada kehamilan antara 27-34 minggu yang juga menjadi
plihan paling sering dipakai oleh klinisi.
c. Manajemen konservativ selama lebih dari 48 jam hingga 72 jam. Pilihan
ini dilakukan utama pada kehamilan kurang dari 27 minggu. Pada situasi
ini, terapi cortikosteroid sering digunakan (3).
Belum terdapat studi randomized clinical trial skala besar
menunjukkan perbandingan manajemen konservativ dengan manajemen
segera pada kelahiran bumil dengan HELLP. Akan tetapi manajemen
konservatif sebelum lengkap 34 minggu kehamilan setuju untuk dilakukan
asal terus dilakukan pengawasan terhadap kondisi bumil dan janin (eg.
Terapi antihipertensi, pemeriksaan USG dan dopller, dll). Apabila kondisi
bumil memburuk, maka caesarean section segera bisa dilakukan (30).
Manajemen konservatif ini kontraindikasi pada bumil dengan DIC (3).
Terapi kortikosteroid digunakan untuk menunjang pematangan paruparu apabila diperlukan kelahiran preterm. Pada kondisi rencana kelahiran
preterm (<37 minggu) berisiko pada neonatus terhadap RDS karena
insufisien produksi surfaktan paru. Oleh karena itu neonatus dapat diterapi
dengan kortikosteroid dan surfaktan (31). Saat ini betamethasone dan
dexamethasone adalah obat rekomendasi yang digunakan untuk menunjang

21

pematangan paru janin. Namun betamethasone lebih aman dan melindungi


janin dari kemungkinan immatur brain daripada dexamethasone (32).
C. IUGR
1. Definisi
IUGR (Intrauterine Growth Restriction) dapat didefinisikan
sebagai menurunnya berat badan di bawah 2SD sesuai umur kehamilan.
Selain itu juga bisa didefiniskan sebagai kurangnya berat badan janin
kurang dari 10 persentil (1).
2. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab IUGR dapat dibedakan berdasarkan 3 kategori utama,
yaitu: faktor maternal, janin, dan plasenta.
a. Faktor maternal
Bumil dengan usia ekstrim terutama terlalu muda dapat menjadi
penyebab IUGR. Begitu pula dengan usia tua pun juga turut berisiko.
Ras dan status sosial ekonomi bumil juga menjadi risiko kejadian
IUGR (10). Ibu dengan status sosial ekonomi yang rendah pada
umumnya memiliki status nutrisi yang buruk, anemia maternal, dan
perhatian prenatal yang buruk yang berdampak pada pertumbuhan
janin (33).
Disamping itu ternyata lingkungan tempat tinggal wanita juga
berpengaruh. Studi yang dilakukan di Colorado, Peru, dan Tibet,
bahwa wanita yang tinggal di daerah pegunungan lebih mudah terkena
hipoksia yang berakibat BBLR (34). Merokok dan minum alkohol
ketika kehamilan juga akan meningkatkan 3,5 kali kejadian BBLR,
terutama apabila dilakukan pada trimester ketiga (10). Hal tersebut
pada

dasarnya

disebabkan

oleh

berkurangnya

aliran

darah

uteroplasenta, kapasitas oksigen, dan nutrisi yang mengalir ke janin


(35).
Penyakit sistemik pada bumil pun juga berpengaruh langsung,
seperti hipertensi, preeklampsia, diabetes gestasional, gangguan ginjal,

22

SLE, dan antiphospholipid syndrome yang akan mengakibatkan


rendahnya mikrosirkulasi perfusi darah janin yang akan berujung pada
hipoksia dan IUGR. Serta malnutrisi bumil atau gangguan saluran
pencernaan

seperti

Crohns

disease,

kolitis

ulcer,

operasi

gastrointestinal mengakibatkan rendahnya nutrisi yang mengalir ke


janin. Rendahnya nutrisi terutama protein pada janin berperan besar
pada kejadian IUGR (10).
Faktor lain yang dapat berperan adalah genetik (mutasi gen
angiotensinogen), riwayat kelahiran BBLR, dan wanita dengan
kelahiran BBLR. Adapun wanita yang memiliki riwayat kelahiran
BBLR memiliki risiko 25%, sedangkan wanita yang lahir dengan
BBLR memiliki risiko 2 kali melahirkan bayi dengan IUGR (10).
b.

Faktor Janin
Faktor dari janin bervariasi bisa berasal dari genetik, kelainan
kongenital, dan infeksi. Penyebab genetik menyumbang hingga 20%
IUGR. Kelainan genetik yang berperan yaitu kelainan kromosom
trisomi 21, 18, 13, dan 16, delesi kromosom 4, 5, 13, dan 18, disomi
kromosom 6, 14, dan 16, delesi kromosom X (sindrom Turner),
Cornelia de Lange syndrome, Russel silver syndrome, Fanconi, Bloom
syndrome, polimorfiseme matrix metalloproteinase-2, LRP8 gen
maternal, dan CYPP1A1 gen maternal (36).
Sedangkan
meliputi,

penyebab

penyakit

jantung

IUGR karena
kongenital,

kelainan
hernia

kongenital

diafragmatika,

omphalocele, single umbilical artery (10). Penyebab lain yaitu plasenta


previa, infark plasenta, obliterasi, chorioangioma, dan plasenta
hemangioma yang menyebabkan berkurangnya penyerapan nutrisi ke
janin (35).
Untuk infeksi penyebab IUGR hanya berperan kurang dari 5%.
Penyebabnya bisa berasal dari virus (rubella, CMV, herpes, varicella,
herpes zooster, dan HIV), parasit (toxoplasmosis), bakteri (clamidia,
TBC) (35). Penyebab infeksi utama IUGR di negara berkembang
adalah CMV. Virus CMV mengakibatkan sitolisi dan hilangnya fungsi

23

berbagai organ di janin (37). Sedangkan di Afrika pada umumnya


disebabkan oleh malaria sewaktu kehamilan. Infeksi plasmodium
mengakibatkan penghancuran sel darah merah, plasenta, dan obstuksi
vaskuler, sehingg semakin rendahnya transfer oksigen dan nutrisi ke
janin (38).
c. Faktor Plasenta
Rendahnya jumlah dendritic cells (DCs) dalam plasenta
mengakibatkan terganggunya perkembangan pembuluh darah di
desidua yang berakibat terganggunya pertumbuhan janin (39).
3. Diagnosis
IUGR didiagnosis berdasarkan pengawasan akurat, penilaian faktor
risiko, dan diikuti dengan USG. Dopler arteri umbilikalis dan pengawasan
antenatal merupakan prediktor baik untuk mengetahui kemungkinan IUGR
(40). Terdapat tes tambahan untuk mengungkap penyebab dari IUDR.
Diagnosis ditegakkan apabila EFW (Estimated Fetal Weight)
persentil berdasar usia (10).

24

< 10%

Setelah ditemukan EFW < 10%, algoritma selanjutnya seperti


berikut:
EFW < 10% persentil
Konfirmasi kriteria
Faktor risiko/riwayat
medis

Suspek
iInfeksi

USG

Memastikan penyakit
maternal
Menghentikan rokok

Serology TORCH

Amniosentesis
Karyotype
PCR TORCH
Microarray NIPT
(optional)

Biopsi plasenta
(optional)

USG tiap 3 minggu


UA doppler tiap
minggu

Gambar 3. Algoritma Diagnosis IUGR


Tabel 5.Identifikasi Faktor Risiko/ Riwayat Medis
Faktor Maternal
Demografik:

Faktor Janin
Genetik:

Faktor Plasenta
Plasenta:

Usia ekstrem

Trisomy 21, 18, 13

Plasenta abruption

Suku

Sindrome Turner

Plasenta accreta

Riwayat BBLR

Delesi kromosom 4,5

Plasenta infark

Berat badan rendah

Genetic syndrome

Plasenta circumvallata
Plasenta hemangioma
Plasenta chorangioma
Fetal obliteration

Obstetrik:

Malformasi Kongenital:

Jarak kelahiran sempit

CDH

Riwayat BBLR

Defek dinding abdomen

Perilaku:

Infeksi:

25

Rokok

TORCH

Alkohol

Malaria

Orang pegunungan
Penyakit sistemik:

Clamydia, TB

Hipertensi
Diabetes pregestasional
Penyakit ginjal
Anemia
Malnutrisi
Gangguan

saluran

pencernaan
Penyakit autoimun
4. Komplikasi
IUGR meningkatkan risiko kejadian asphiksia intrapartum,
kelahiran

pretermal,

respiratory

distress

syndrome,

pendarahan

intraventrikular, dan nekrosis enterokolitis. Selain itu juga ditemukan


bahwa IUGR meningkatkan insidensi kejadian nilai rendah Apgar, pH
umbilical

cord

<

7,

intubasi,

kejang,

sepsis,

polisitemia,

hiperbilirubinemia, hipoglikemia, dan hipotermia, hingga kematian


neonatus (41).
Berikut daftar komplikasi yang diakibatkan oleh IUGR sesuai masa
kehidupan anak:
Tabel 6. Komplikasi Perinatal dan Pediatri Akibat IUDR
Antepartum
Lahir mati

Intrapartum
Neonatus
Status abnormal Hipotermia

Pediatri
Kerdil

Prematur

janin
Asfiksia

Hipoglikemia

Cerebral palsy

iatrogenik
Abruptio

Kedaruratan

Hipokalemia

Gangguan

Perinatal stroke

caesare section
Resuscitasi aktif

Polisitemia

perkembangan
Gangguan
perilaku
emosional

26

dan

Perinatal stroke

Sepsis
Koagulopati

IQ rendah
Penyakit

Disfungsi

kronis
Penyakit

hepatocellular
Respiratory

paru
jantung

dan hipertensi

distress syndrome
Hipoksia-iskemi
encephalopathy
5. Penatalaksanaan
Setelah

diagnosis

IUGR

ditetapikan,

tindakan

investigasi,

konsultasi, dan rujukan apabila diperlukan bisa dilaksanakan. Terutama


ditujukan kepada pusat perinatal daerah untuk melakukan observasi
kesehatan maternal-janin. Disamping itu, pemberian edukasi kepada
maternal bisa dilakukan terutama untuk menghentikan kebiasaan buruk
seperti merokok (42).
Konseling ke orang tua sebaiknya melibatkan tim dari obstetrik
dan neonatologis. Pada masa pengawasan kondisi janin, bisa dilakukan
tindakan caesarean section ataupun induksi kelahiran. Pada pasien ini
memiliki risiko besar berkembang menjadi preeklampsia dan HELLP
syndrome. Sehingga perlu dimonitor rutin minimal seminggu sekali untuk
gejala, tekanan darah, kondisi biokimia dan hematologi, hipertensi, dan
proteinuria (42).
Setelah mengetahui etiologi dan kondisi janin, maka perlu
diberikan modalitas terapi yang tepat dengan tujuan untuk menambah usia
kehamilan dan berat badan lahir. Tindakan yang perlu dilakukan adalah
manajemen oksigen maternal, tambahan suplemen/nutrisi, hospitalisasi
untuk bedrest, kalsium kanal bloker, hormon, betamimetik, dosis rendah
ASA, dan heparin (42).
Dalam pemberian dosis rendah ASA pada populasi berisiko masih
kontroversi. Studi skala besar (20.000 wanita) tidak menunjukkan efek
signifikan. Tetapi studi kecil pada beberapa kelompok menunjukkan

27

manfaat yang berati. Walaupun begitu pemberian dosis rendah ASA tidak
meningkatkan komplikasi, morbiditas maupun mortalitas (42).
Pada pasien ini selalu diawasi apabila sewaktu-waktu terjadi
preeklampsia. Bumil yang perlu melahirkan melalui caesarean section
tetapi memiliki risiko seperti obesitas, umur >40 tahun, dan riwayat
preeklampsia, maka perlu mendapatkan terapi prophilaksis seperti heparin
subkutaneus agar terhindar dari tromboembolism (42).
D. Kehamilan Berisiko Tinggi
1. Definisi
Kehamilan berisiko dengan ibu berpenyakit jantung ditentukan
berdasarkan indek. Adapun indek risiko Toronto cukup prospektif
dimanfaatkan untuk menentukan adanya kehamilan berisiko akibat
abnormalitas jantung. Yaitu dengan cara melihat faktor-faktor berikut,
dimana setiap faktor memiliki nilai satu poin:
a. riwayat penyakit jantung sebelumnya (gagal jantung, Transient
Ischemic Attact (TIA), stroke, aritmia paska operasi jantung)
b. NYHA kelas II atau lebih atau kondisi sianosis (saturasi oksigen
<90%)
c. obstruksi jantung kiri (luas katup mitralis < 2cm2, luas katup aorta
<1,5cm2, tinggi gelombang puncak ventrikel kiri dilihat dari
echocardiograph >30mmHg. Berkurangnya volume ejeksi hingga
<40% (disfungsi sistolik ventrikel)
Dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu; tanpa faktor (no point), 1 point,
dan lebih dari 1 point. Masing-masing kelompok secara berurutan
menunjukkan prediksi terjadinya kehamilan berisiko komplikasi sebesar
5%, 27%, dan 75% (7).
Indeks risiko di atas bisa digabungkan dengan risiko jejas spesifik
pada jantung jika ada (tabel 7). Juga bisa ditambahkan risiko apabila bumil
mengkonsumsi antikoagulan. Tabel menggambarkan kondisi kehamilan
berisiko tinggi, sedang, atau rendah karena kondisi jejas.
Tabel 7. Dugaan Bumil CHD Berisiko Berdasar Kondisi Jejas Jantung
Kehamilan Berisiko Rendah
Tanpa komplikasi / stadium ringan dari stenosis pulmonal, ventricular septal

28

defect (VSD), patent ductus arteriosus (PDA), dan prolaps katup mitralis
tanpa regurgitasi
Berhasilnya perbaikan jejas dari atrial septal defect (ASD), VSD, PDA
Kehamilan Berisiko Menengah
Gangguan katup bawaan
Rusaknya katup mitralis
Coarctation aorta (COA)
Sindrom Marfan
Tetralogy of Fallot (TOF)
Gangguan sistemik ventrikel kanan
Fontan type circulation
Penyakit jantung sianotik
Kehamilan Berisiko Tinggi
Obstuksi ventrikel kiri (rata-rata gradient echocardiogram > 50 mmHg atau
puncak gradient > 80 mmHg)
Stenosis katup mitralis berat
Sindrom marfan dengan dilatasi aorta > 40mm
NYHA III/IV atau volume ejeksi < 30%
Eisenmenger syndrome dan hipertensi pulmonal
(Hellen, 2006)
2. Diagnosis
Pemeriksaan dilakukan dengan melihat riwayat penyakit jantung
dan pemeriksaan jantung, 12 lead electrocardiogram (ECG), tranthorax
echocardiogram (TTE), dan standar treadmill exercise tolerance test
(ETT) dengan oximetry atau metabolic oxygen consumption (MVO2).
Lebih jauh apabila diperlukan maka bisa dilakukan evaluasi kondisi bumil
menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) dan kateterisasi jantung
kiri (42).
3. Pencegahan
Beberapa wanita ada baiknya hamil pada usia yang toleran
terhadap kondisi ini, yaitu lebih baik pada usia 20an daripada usia 30an
(6).
4.

Komplikasi
Kejadian komplikasi pada janin (kelahiran prematur, BBLR,
respiraory distress syndrome, pendarahan intraventrikel, kematian
neonatus) paling besar terjadi pada bumil usia kurang dari 20 tahun atau

29

lebih dari 35 tahun, bumil perokok, menerima antikoagulan (48). Mereka


yang memiliki satu atau lebih faktor risiko (obstruksi jantung kiri,
kelemahan jantung, sianosis) dibuktikan dengan index Toronto, memiliki
peluang lebih besar terkena komplikasi pada janin (6).
Risiko kejadian CHD pada populasi umum hanya sebesar 0,6%.
Tetapi risiko tersebut meningkat 10 kali lipat padajanin dengan bumil
CHD. Adapun jejas obstruksi pada janutng kiri lebih beresiko untuk
diteruskan kepada janin (49).
5.

Penatalaksanaan
Setelah mengetahui adanya risiko pada dirinya, bumil sebaiknya
datang ke dokter jantung atau obstetrik. Jika diperlukan pasien diberikan
anjuran untuk bedrest mulai trimester kedua ke depan (6).
Sebaiknya medikasi penyakit jantung yang berpotensi teratogenik,
seperti ACE-inhibitor dihentikan ketika positif hamil. Tetapi untuk terapi
antikoagulan tidak selalu aman apabila dihentikan begitu saja tergantung
penyakitnya. Oleh karena itu pilihlah heparin (tidak melewati plasenta dan
tidak berefek pada janin) untuk menggantikan warfarin selama kehamilan.
Warfarin bisa melewati plasenta dan berisiko teratogen pada trimester
pertama dan perdarahan janin selama kehamilan. Namun apabila bumil
mengalami kerusakan katup, terjadi dilema keselamatan bumil atau fetus.
Karena pada situasi kerusakan katup, heparin kurang efektif daripada
warfarin. Oleh karena itu apabila hanya menggunakan heparin, dapat
membahayakan bumil terkena fatal trombosis pada katup (6).
Untuk pasien yang membutuhkan antikoagulan penuh (gangguan
katup), warfarin (coumadin) sebaiknya diberikan selama trimester pertama
untuk menghindari embryopathy janin dengan risiko abnormalitas tulang
dan kartilago, atrofi optik, dan gangguan pertumbuhan. Heparin
subkutaneus diberikan per 12 jam maksimal pada trimester kedua.
Kemudian pada trimester ketiga dapat diberikan warfarin kembali dan IV
heparin bisa diberikan apabila telah terjadi kelahiran (7).
Pemberian antibiotik prophilaksis direkomendasikan terutama
ketika kelahiran untuk mencegah endokarditis pada bumil dengan riwayat

30

bakterial endokarditis, kelainan katup jantung, abnormalitas morfologi


katup, prolaps katup mitralis dengan regurgitasi, kelainan katup aorta,
penyakit jantung reumatik, jejas kongenital, dan cardiomyopathy.
Pemberian awal antibiotik dapat diberikan saat mulai terjadi ruptur
membran, kemudian dilanjutkan 6 jam setelah itu, bahkan walaupun
kelahiran sedang terjadi (7).
Pengawasan kadar hematokrit ketika ANC juga bisa dilaksanakan.
Jika diperlukan pemberian suplementasi besi untuk mencegah anemia pada
bumil CHD dan mempertahankan kapasitas oksigen sehingga membantu
tugas kompensasi jantung (7).
Bumil berisiko tinggi adalah dengan poin lebih dari 1 pada indeks
risiko Toronto. Pasien ini sebaiknya melakukan konsultasi terlebih dahulu
sebelum merencanakan kehamilan. Jika diperlukan dapat dilakukan
tindakan intervensi jantung untuk mengurangi risiko komplikasi ketika
kehamilan. Sebaiknya bumil berisiko tinggi dirawat dengan manajemen
yang memadai, dengan pengawasan intensif, bedrest, diuresis, pengawasan
hemodinamik ketika kelahiran. Prosedur valvuloplasty ballon perkutaneus
juga cukup aman dan efektif untuk diberikan pada bumil dengan mitral
stenosis berat (7).

31

BAB III
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama

: Ny. V

Umur

: 22 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

No.CM

: 01246298

Usia Kehamilan

: 31 minggu

Tanggal masuk

: 17 Maret 2014

Alamat

: Puloharjo 01/06 Eromoko, Wonogiri

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
Sesak nafas sejak kurang lebih 2 hari SMRS
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
G1P0A0, 22 tahun, usia kehamilan 31 minggu, konsulan dari
bagian jantung dari dari ruang ICVCU sebelumnya. Rujukan dari RS Oen
Surakarta dengan Penyakit Jantung Bawaan, diagnosis banding asidosis.
Karena ICU penuh, pasien mengeluh sesak nafas sejak kurang lebih 2 hari
SMRS. Sesak dirasakan terus menerus, tidak berkurang dengan perubahan
posisi, 2 hari SMRS pasien sakit (+), mual (+), dan muntah (-).
Selama kehamilan kenceng kenceng terasa belum dirasakan,
gerakan janin diraskan masih aktif, lendir darah (-). Pasien rutin periksa
ANC di dokter kandungan maupun dokter jantung sejak SMP.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit jantung, didiagnosis sejak SMP
D. Riwayat Penyakit Keluarga
E. Riwayat Obstetri
Kehamilan primigravida

32

I. Riwayat ANC

: Teratur, di dokter kandungan dan dokter

jantung sejak SMP


III.

PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Interna
Keadaan Umum

: Compos mentis, sakit sedang

Tanda Vital

: Tensi

: 150/90 mmHg

Nadi

: 98 x/menit

RR

: 30 x/menit

Suhu

: afebris

Saturasi

: 62%

EKG

: SR97x/menit, RAD, RVH

Kepala

: Mesocephal, JVP meningkat

Ekstremitas

: Sianosis

Jantung

: BJ I-II regurgitasi, bising pansistolik

Paru-paru

: SDV (+/+), ST (-)

B. Status Obstetri
Inspeksi
Kepala

: Cloasma gravidarum (+)

Mata

: CA (-/-), SI (-/-)

Thorak

: Simetris, retraksi (-)

Abdomen

: Supel, NT (-)

Genetalia Eksterna : darah (-),discharge (-)


Palpasi
Abdomen

: Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal letak


lintang, bagian bawah belum masuk panggul, TFU
setinggi pusat sesuai UK 24 minggu

Pemeriksaan Leopold
I

: TFU setinggi pusat teraba 1 bagian lunak di fundus, kesan


bokong.

33

II

: Teraba 1 bagian kecil kesan ekstremitas sebelah kiri. Teraba


bagian besar memanjang di sebelah kanan, rata, keras kesan
punggung.

III

: Teraba 1 bagian besar, keras, kesan kepala

IV

: Kedua tangan pemeriksa konvergen, kesan kepala belum masuk


panggul.

Kesimpulan : teraba janin tunggal letak lingtang, memanjang, punggung


di kanan, presentasi kepala, kepala belum masuk panggul.
Auskultasi

: DJJ (+) 152x/menit

IV PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. USG Abdomen
Belum dilakukan karena kondisi tidak transportable
B. Laboratorium Darah
Pemeriksaan Hasil
Hb
11,2

Satuan Rujukan
g/dl
13,5-

Hct
AL

%
103/ul

36
12

AT
AE
Asam Urat
LDL
HDL
Trigliserid
HbsAg

20
3,98
6,3
98
27
178
Non

10 /ul
106/ul
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl

ECHO

reactive
VSD PMO

17,5
33-45
4,511,00
150-450
4,5-5,9
2,4-5,7
<150
>55
<150
Non
reactive

Besar
Bidirectinal
Shunt
V. KESIMPULAN
Seorang G1P0A0, 22 tahun, umur kehamilan 31 minggu dengan keluhan sesak
napas sudah 2 hari. Dengan riwayat penyakit jantung, riwayat obstetrik baik.
Pemeriksaan fisik teraba janin tunggal letak lingtang, memanjang, punggung

34

di kanan, presentasi kepala, kepala belum masuk panggul. Tinggi fundus uteri:
setinggi pusat. HIS (-), DJJ (+) reguler, portio livide, OUE kesan tertutup,
belum dalam persalinan. Dengan kondisi ibu hamil NYHA III, VSD besar,
hipertensi pulmonal, dan trombositopenia.
VI. DIAGNOSIS
Kehamilan Preterm belum dalam persalinan dengan kondisi NYHA III, VSD
besar, Hipertensi Pulmonal, dan Trombositopenia
VIII. PENATALAKSANAAN

cek lab (ewitz + LDH)

usul terminasi kehamilan

usul transfuse TC

USG dan CTG jika KU baiki

kontrol Fetomaternal

KIE keluarga

konsul Interna

lain lain sesuai TS jantung

Obs DJJ

Penatalaksanaan Jantung:

Bed rest total

Diet jantung 1700 kkal

O2 10 NRM

Inf RL 20ml/jam

Sildanefil 3x200mg

Aspilet 80mg 1-0-0

Inj Furosemid 20mg/24jam

Echocardiography

FOLLOW UP tanggal 18 Maret 2014

35

Keluhan : dispnea (+)

KU

: Sedang, CM

VS

T : 133/83 mmHg

RR : 22 x/menit

N : 94 x/menit

T : 37oC

SpO2: 62%

Mata : CA (-/-), SI (-/-)

Leher : JVP tidak meningkat

Thorax : simetris, retraksi (-)

Cor

Pulmo : SDV (+/+)

Abdomen : Supel, NT (-), teraba janin tunggal letak lintang,

: Auskultasi Bj I-II Reg, bising pansistolik

DJJ (+) 12-13-13 152x/menit, bagian bawah belum masuk panggul, TFU
setinggi pusat = 24 minggu

Gen

: darah (-), discharge (-)

Hasil Laboratorium

Diagnosis

: PEB HELLP syndrome, Susp IUGR pada primigravida


Kehamilan Preterm belum dalam persalinan dengan VSD besar,
NYHA III, HT Pulmonum

Terapi

Konsul Fetomaternal advice:

36

Terminasi kehamilan dengan SC perabdominal jika KU baik /jika


AT >50.000

diberikan glukokortikoid selama 2 hari untuk pematangan paru

Protab PEB :

O2 6NRM

MgSo4 8gr (boka boki) jam 11

pasang DC balance cairan

awasi ku/vs/bc, impending eklamsi

MgSO4 4gr/6jam jika syarat terpenuhi

antihipertensi dengan diltiazem (dari bagian kardiologi tidak acc


diltiazem)

Inj dexamethasone 2amp/12jam

As folat 2x400mg

CTG NST reaktif

diet 1700 kkal

Awasi ku/vs/bc Awasi perubahan maternal dan fetal

transfusi TC s/d >50.000 2 TC/hari

KIE keluarga

pemberian MgSO4 20% 1gr/14jam syring pump


Pentalaksanaan Jantung

Inj furosemid 20mg/24jam

sildenepil 3x20mg

KSR 3x1

transfusi TC 1 kolf

Visite dr.Sp.JPP

disarankan lapor ulang ke bagian fetomaternal apakah masih ada tempat


untuk dilakukan terminasi kehamilan pervaginam, dikarenakan resiko
besar pada section cesarean pada pasien ini

37

lapor ulang bagian fetomaternal advise konsul anestesi, apakah ada


tempat dilakukan ila pada pervaginam
Tatalaksana Anestesi Advise dr.Purwoko, SpAn

bila direncanakan operasi sangat disarankan untuk extra hati-hati


informed consent resiko tinggi (DOT)

FOLLOW UP tanggal 19 Maret 2014

Keluhan : dispnea (+)

KU

: Sedang, Compos Mentis

VS

T : 134/77 mmHg

Rr : 28 x/menit

N : 94 x/menit

t : 37oC,SpO2: 62%

Mata

: CA (-/-), SI (-/-)

Leher

: JVP tidak meningkat

Thorax

: simetris, retraksi (-)

Cor: auskultasi: Bj I-II Reg, bising pansistolik

Pulmo: SDV (+/+)

Abdomen : Supel, NT (-)


teraba janin tunggal letak lintang
DJJ (+) 12-13-13 152x/menit
Bagian bawah belum masuk
Panggul, TFU setinggi pusat = 24 minggu

Gen : darah (-), discharge (-)

Hasil Laboratorium
Pemeriksaan
Hasil
Hb
Hct
AL

38

AT
AE
GDS
OT
PT
HbsAg
Diagnosis: PEB HELLP syndrome, IUGR pada primigravida kehamilan preterm
belum dalam persalinan dengan kondisi VSD besar, NHYA III, HT
Pulmonal
Terapi

O2 10NRM

Inj dexamethason 2amp/12jam

as folat 2x400mg

Inj MgSO4 1gr/24jam (syring pump) STOP

perbaikan KU transfusi TC s/d >50.000

KIE keluarga
Tx obgyn

lapor staff bangsal tunggu perkembangan pasien

lapor ulang ke chief de clinic staff Fetomaternal tentang kondisi pasien


Tx Jantung

Bed rest total

Diet jantung 1700 kkal

O2 10 NRM

Inf RL 20ml/jam

Sildanefil 3x200mg

aspilet 80mg 1-0-0

Inj furosemid 20mg/24jam


Lapor, staf fetomaternal via phone jam 10.25 Advise:

dilakukan terminasi perabdominal dengan SC saat trombosit diatas 50.000

sebelum SC, dilakukan perbaikan KU:

transfusi trombosit 6x

inj.dexamethasone

resque

(2amp/12jam)

menyelamatkan trombosit

Inj metilprednisolon 2x12,5mg

39

dimaksudkan

untuk

Lapor ke chief de clinic sebagai penanggung jawab klinik, dan laporkan


bila sudah konsul dan mendapatkan advise dari Fetomaternal, akan
keadaan pasien ini bahwa pasien ini akan dilakukan SC dengan ASA IV.

Bila ada perbedaan opsi, akan dilakukan lebih lanjut antar pihak FM dan
chief de clinic, bila perlu KU pasien sudah baik laporkan kembali ke
chief de clinic, apakah perlu pendampingan

konsul pendahuluan ke perinatalogi

pada saat sudah siap untuk dilakukan SC: -1/2jam sebelum iris, dimasukan
inj. Plasminex 1gr,

sesudah bayi lahir, sebelum plasenta lahir masukan misoprostol 3 tablet


per rectal lakukan massage akan terjadi kontraksi + yang baik
maka plasenta akan lahir secara dini kemudian keluarkan plasenta

bila pada saat durante op, ada kondisi hipotoni s.d atonia dapat
dilakukan billing metode

intinya adalah meminimalisasikan bleeding durante op

hati-hati terhadap pasien dan safety pasien


Lapor dr.Rustam SpOG(chief de clinic) jam 13.30

Periksa USG: janin tunggal, N, melintang, DJJ +, BPD 8,1 HC:24,4 AC


20,1 FL 4,7 EFW:1022gr AFI:4,1 plasenta insersi di corpus anterior orl
grade I, kelainan kongenital mayor tidak tampak jelas

Kesan: saat ini bayi IUGR dengan oligohidramnion


Lapor dr.Rustam, Sp.OG jam 14.15

Acc terminasi perabdominal sc-elective dengan perbaikan ku sesuai TS


jantung terlebih dahulu acc TS anestesi

FOLLOW UP tanggal 20 Maret 2014


Waktu
Keluhan
KU
VS

Jam 06.00
Dispnea (+)
CM
T 139/73
RR 38x/menit
N 105x/menit
T 370C

Jam 11.30
Apnea (+)
Koma
TRR ventilator
N 105x/menit
T 360C

40

Jam 12.25
TRR NT 36,20C

Mata
Leher
Thoraks
Cor

Sp02 52%
CA (-/-) SI (-/-)
JVP tdk meningkat
Retraksi (-)
BJ I-II regurgitasi, bising

Sama
Sama
Sama
Sama

Pulmo
Abdomen

pansistolik
SDV (+/+)
Supel, NT (-), janin letak

Sama
Sama

lintang, DJJ 132x/menit,


belum masuk panggul, TFU
Genital

setinggi pusat
Darah - , discharge -

Sama

41

Midriasis maksimal

DJJ -

BAB IV
ANALISIS KASUS
Kehamilan

berisiko

dengan

ibu

berpenyakit

jantung

ditentukan

berdasarkan indek. Bisa menggunakan indek risiko Toronto dan indeks berdasar
jejas jantung. Berdasar Toronto, dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu; tanpa faktor
(no point), 1 point, dan lebih dari 1 point. Dikatakan berisiko tinggi apabila ibu
hamil memiliki lebih dari 1 point. Sedangkan berdasarkan indeks jejas spesifik
jantung, dikatakan berisiko tinggi apabila memiliki salah satu dari obstruksi
ventrikel kiri, stenosis katup mitralis berat, sindrom marfan dilatasi aorta > 40mm,
NYHA III/IV, volume ejeksi <30%, Eisenmenger syndrome, dan hipertensi
pulmonal.
Pada awal masuk, pasien ini memiliki keluhan sesak napas 2 hari secara
terus menerus, dengan riwayat penyakit jantung sejak SMP, tekanan darah 150/90,
hasil EKG menunjukkan RAD dan RVH, JVP meningkat, tampak sianosis,
saturasi 62%, auskultasi jantung terdengar BJ I-II regurgitasi dan bising
pansistolik. Oleh karena itu berdasarkan indeks Toronto, maka pasien ini
dikategorikan sebagai ibu hamil dengan risiko tinggi.
Setelah dilakukan palpasi dan pemeriksaan leopold diketahui bahwa nyeri
tekan (-), teraba janin tunggal letak lintang, bagian bawah belum masuk panggul,
TFU setinggi pusat sesuai UK 24 minggu, kepala belum masuk panggul.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium terdapat abnormalitas dari Hb
11,2%g/dl, AL 12 x 103/ul, AT 20 x 103/ul, AE 3,98 x 106/ul, HDL 27 mg/dl,
trigliserid 178 mg/dl, ECHO VSD. Belum dilakukan USG karena kondisi tidak
transportable.
Dari hasil tersebut, selain buruknya kondisi jantung bumil, pasien juga
dicurigai HELLP syndrome dengan melihat rendahnya Hb, AT. Setelah dilakukan
followup diketahui bahwa terjadi penurunan hemoglobin yang mengindikasikan
terjadinya hemolisis, peningkatan LDH, peningkatan enzim hepar, dan penurunan
platelet. Selain itu juga diketahui bahwa terdapat proteinuria. Sehingga pasien
didiagnosis preeklampsia berat HELLP syndrome pada primigravida Kehamilan
Preterm belum dalam persalinan dengan VSD besar, NYHA III, HT Pulmonum.

42

Pre eklampsia adalah kelainan multisistem spesifik pada kehamilan yang


ditandai oleh timbulnya hipertensi dan proteinuria setelah umur kehamilan 20
minggu. Kelainan ini dianggap berat jika tekanan darah dan proteinuria meningkat
secara bermakna atau terdapat tanda-tanda kerusakan organ (termasuk gangguan
pertumbuhan janin).
Kriteria diagnostik untuk pre eklampsia ringan tekanan darah : sistolik >
140 mmHg atau diastolic > 90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu yang
sebelumnya memiliki tekanan darah yang normal, disertai proteinuria : 0,3 gr atau
lebih protein 24 jam. Sedangkan untuk pre eklampsia berat, tekanan darah :
sistolik > 160 mmHg atau diastolic > 110 mmHg, disertai proteinuria : 5 gr atau
lebih protein 24 jam. Pada pasien ini memenuhi kriteria preeklampsia berat.
Adapun pasien mendapatkan penatalaksanaan sesuai protab PEB, yaitu:

O2 6NRM

MgSo4 8gr (boka boki) jam 11

pasang DC balance cairan

awasi ku/vs/bc, impending eklamsi

MgSO4 4gr/6jam jika syarat terpenuhi

antihipertensi dengan diltiazem (dari bagian kardiologi tidak acc


diltiazem)

Sedangkan HELLP syndrome adalah komplikasi serius pada kehamilan


yang ditandai oleh preeklampsia, hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan
trombositopenia. Sekitar 70% kasus, kejadian HELPP syndrome terjadi sebelum
kelahiran, dengan frekuensi tersering antara minggu 27 hingga 37 kehamilan.
Penentuan diagnosis HELLP syndrome membutuhkan semua komponen mayor (H
and EL and LP). Sedangkan apabila ditemukan 1 atau 2 komponen saja (H or EL
or LP) maka disebut sebagai HELLP incomplete atau partial HELLP. Kriteria
diagnosis berdasarkan klasifikasi Tennessese adalah Platelet 100x109/L, AST
70 IU/L, LDH 600 IU/L. Pada pasien ini memenuhi kriteria HELLP complete.
Sedangkan IUGR (Intrauterine Growth Restriction) dapat didefinisikan
sebagai menurunnya berat badan di bawah 2SD sesuai umur kehamilan. Selain itu
juga bisa didefiniskan sebagai kurangnya berat badan janin kurang dari 10%
persentil. Diagnosis ditegakkan apabila EFW < 10% persentil berdasar usia.

43

Pada followup tanggal 19 pemeriksaan USG didapatkan BPD 8,1 HC:24,4


AC 20,1 FL 4,7 EFW:1022gr AFI:4,1 plasenta insersi di corpus anterior orl grade
I, kelainan kongenital mayor tidak tampak jelas. Menunjukkan kesan saat ini bayi
IUGR.
Advice fetomaternal perlu dilakukan terminasi kehamilan dengan SC
perabdominal apabila KU baik /jika AT >50.000. Hal tersebut sesuai dengan
Hadda (2005) bahwa apabila kondisi bumil memburuk pada HELLP syndrome,
maka caesarean section segera bisa dilakukan. Walaupun pada pasien ini masih
berusia 31 minggu kehamilan yang juga perlu dilakukan manajemen konservatif,
evaluasi, dan stabilisasi kondisi selama 48 jam terlebih dahulu (Haram, 2009).
Sebelum

dilakukan

terminasi,

perlu

adanya

pemberian

terapi

kortikosteroid digunakan untuk menunjang pematangan paru-paru karena


kelahiran preterm. Pada pasien ini diberikan glukokortikoid selama 2 hari untuk
pematangan paru.
Pada tanggal 19 Maret 2014 jam 14.15 ACC dr.Rustam Sp.Og bahwa perlu
terminasi perabdominal sc-elective dengan perbaikan ku sesuai TS jantung
terlebih dahulu acc TS anestesi. Namun kondisi pasien semakin memburuk,
sehingga pada tanggal 20 Maret pasien Apnea (+), Koma, Tensi tidak teraba,
diberikan ventilator, dan nadi 105x/menit. Pasien meninggal pada jam 12.25.

44

BAB V
SARAN
1.

Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas


diperlukan antenatal care sedini mungkin dan secara teratur di unit pelayanan
kesehatan khususnya mengenai pemeriksaan tentang kondisi jantung pasien,
tekanan darah dan keadaan janin intra uterin.

2.

Edukasi
pengetahuan

tentang

penyakit,

penatalaksanaannya.

45

kepada
gejala,

pasien
dan

mengenai

komplikasinya,

Daftar Pustaka
1. Royal College of Physicians of Ireland (2013) The Diagnosis And
Management Of Pre-Eclampsia And Eclampsia Clinical Practice Guideline.
Version 1.0 Guideline No. 3.
2. Karumanchi SA, Maynard SE, Stillman IE, Epstein FH, Sukhatme VP (2005)
Preeclampsia: a renal perspective. Kidney Int, 67:2101-2113.
3. Haram K, Einar S, Ulrich A (2009) The HELLP syndrome: Clinical issues and
management. A Review. BMC Pregnancy and Childbirth. 9:8.
4. Martin JN Jr, Rose CH, Briery CM (2006) Understanding and managing
HELLP syndrome: the integral role of aggressive glucocorticoids for mother
and child. Am J Obstet Gynecol, 195:914-934.
5. Koenen SV, Huisjes AJ, Dings J, van der GY, Visser GH, Bruinse HW (2006)
Is there a diurnal pattern in the clinical symptoms of HELLP syndrome? J
Matern Fetal Neonatal Med, 19:93-99.
6. Hellen W dan Sara T (2006) Congenital heart disease and pregnancy. Review.
Women's Health; 2(5), 743752.
7. Fenske TK (2014) Pregnancy and heart disease: Identifying your high-risk
patients. ProQuest. Vol 14 issue 11 p68.
8. Thorne SA (2004) Pregnancy in heart disease. Heart 90, 450456.
9. Royal
College
of
Obstetricians
and
Gynaecologists.
http://www.rcog.org.uk/womens-health/investigation-and-managementsmallgestational-age-fetus-green-top-31. Published November 1, 2002.
10. Suhag A dan Berghella V (2013) Intrauterine Growth Restriction (IUGR):
Etiology and Diagnosis. Curr Obstet Gynecol Rep. 2:102111.
11. Gardosi J (2011) Clinical strategies for improving the detection of fetal growth
restriction. Clin Perinatol.;38:2131.
12. Chen HY, Chauhan SP, Ward TC (2011) Aberrant fetal growth and early, late,
and postneonatal mortality: an analysis of Milwaukee births, 19962007. Am J
Obstet Gynecol; 204:261. e1e261, e10.
13. Reeves S, Galan HL (2012) Fetal growth restriction. In: Berghella V, editor.
Maternal-fetal evidence based guidelines. 2nd ed. London: Informa Health
Care. p. 32944.
14. Pallotto E, Kilbride H (2006) Perinatal outcomes and later implications of
intrauterine growth restriction. Clin Obstet Gynecol; 49 (2):25769.
15. Barker D (2006) Adult consequences of fetal growth restriction. Clin Obstet
Gynecol; 49(2):27083.

46

16. Lana K. Wagener, M.D. 2004. Diagnosis and Management of Preeklampsia.


American Family Physician. Volume 70, Number 12 Pp : 2317-24.
17. Anthonius Budi Marjono. 1999. Hipertensi pada Kehamilan

Pre-

Eklampsia/Eklampsia. Kuliah Obstetri/Ginekologi FKUI.


18. Luciano E. Mignini, MD, Jose Villar, MD, Khalid S, Khan, MD. 2006.
Mapping the Theories of Preeclampsia : The Need for Systemetic reviews of
Mechanism of Disease. American Journal of Obstetrics and Gynecology 194.
Pp: 317-21
19. Kelompok Kerja Penyusunan Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam
Kehamilan di Indonesia Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. 2005.
Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia. Edisi Kedua.
20. Hariadi, R., dkk. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal, Edisi perdan. Jilid I.
Surabaya, Himpunan Kedokteran fetomaternal Perkumpulan Obstetric dan
Ginekologi Indonesia.
21. Wiknjosastro, Hanifa, dkk. 2002. Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga. Jakarta,
yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
22. Ridwan Amirudin, dkk. 2007. Issu Mutakhir Tentang Komplikasi Kehamilan
(Preeklampsia dan Eklampsia). Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanudin Makasar.
23. Weinstein L (2005) Syndrome of hemolysis, elevated liver enzymes, and low
platelet count: a severe consequence of hypertension in pregnancy. 1982. Am J
Obstet Gynecol, 193:859.
24. Barton JR, Sibai BM (2004) Diagnosis and management of hemolysis,
elevated liver enzymes, and low platelets syndrome. Clin Perinatol, 31:80733.
25. Baxter JK, Weinstein L (2004) HELLP syndrome: the state of the art. Obstet
Gynecol Surv, 59:838-845.
26. Parnas M, Sheiner E, Shoham-Vardi I, Burstein E, Yermiahu T, Levi I,
Holcberg G, Yerushalmi R (2006) Moderate to severe thrombocytopenia
during pregnancy. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol, 128:163-168.
27. Sibai BM (2004) Diagnosis, controversies, and management of the syndrome
of hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count. Obstet Gynecol,
103:981-991.
28. Murphy MA, Ayazifar M (2005) Permanent visual deficits secondary to the
HELLP syndrome. J Neuroophthalmol, 25:122-127.

47

29. Ertan AK, Wagner S, Hendrik HJ, Tanriverdi HA, Schmidt W (2002) Clinical
and biophysical aspects of HELLP-syndrome. J Perinat Med, 30:483-489. 6.
Magann EF, Martin JN.
30. Haddad B, Sibai BM (2005) Expectant management of severe preeclampsia:
proper candidates and pregnancy outcome. Clin Obstet Gynecol, 48:430-440.
31. Stiles AD (2007) Prenatal corticosteroids early gain, long-term questions. N
Engl J Med, 357:1248-1250.
32. Jobe AH, Soll RF (2004) Choice and dose of corticosteroid for antenatal
treatments. Am J Obstet Gynecol, 190:878-881.
33. Berghella V (2007) Prevention of recurrent fetal growth restriction. Obstet
Gynecol; 110(4):90412.
34. Kametas NA, McAuliffe F, Krampl E (2004) Maternal cardiac function during
pregnancy at high altitude. BJOG; 111:10518.
35. Hendrix N, Berghella V (2008) Non-placental causes of intrauterine growth
restriction. Semin Perinatol; 32(3):1615.
36. Baschat AA, Galan HL, Gabbe SG (2012) Intrauterine growth restriction. In:
Gabbe SG, Neibyl JR, Simpson JL, editors. Obstetrics normal and problem
pregnancies. Philadelphia: Elsevier; p. 70641.
37. Wendel GD (2010) Cytomegalovirus, genital herpes, rubella, syphilis and
toxoplasmosis. In: Queenan JT, Hobbins JC, Spong CY, editors. Protocols for
high-risk pregnancies: an evidence-based approach. 5th ed. Oxford: WileyBlackwell.
38. Adanu RMK (2010) Malaria in pregnancy. In: Queenan JT, Hobbins JC,
Spong CY, editors. Protocols for high-risk pregnancies: an evidence-based
approach. 5th ed. Oxford: Wiley-Blackwell.
39. Cappelletti M, Giannelli S, Martinelli A (2013) Lack of activation of
peripheral blood dendritic cells in human pregnancies complicated by
intrauterine growth restriction. Placenta; 34(1):3541.
40. Alfirevic Z, Stampalija T, Gyte GML (2010) Fetal and umbilical Doppler
ultrasound

in

high-risk pregnancies.

Cochrane

Database Syst

Rev

1:CD007529.
41. Beckerath AK, Kollmann M, Rotky-Fast C (2013) Perinatal complications and
long-term neurodevelopmental outcome of infants with intrauterine growth
restriction. Am J Obstet Gynecol; 208(2):130.e16.
42. Siu SC, Colman JM, Sorense S (1997) Prospective multicenter study of
pregnancy outcomes in women with heart disease. Useful prospective study

48

suggesting a lesion nonspecific risk-scoring strategy. Circulation; 96, 2789


2794.
43. Siu SC, Colman JM, Sorensen S (2002) Adverse neonatal and cardiac
outcomes are ore common in pregnant women with cardiac disease.
Circulation 105, 21792184.
44. Siu S, Chitayat D, Webb G (1999) Pregnancy in women with congenital heart
defects: what are the risks? Heart 81, 225226.

49

Anda mungkin juga menyukai