Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Dalam kajian teoritis, Koruptor bukan saja harus dihukum tetapi juga harus
dibongkar modus operandi dan sindikasinya sehingga dari situ dapat
ditemukan formula yang tepat untuk mencegah korupsi, serta penegakan
hukum yang telah dilakukan nantinya akan lebih adil dan memberi manfaat
bagi rakyat. Sepintas, kasus korupsi Wisma Atlit tersebut dapat
dikategorikan sebagai kejahatan korporasi karena dilakukan korporasi.
Clinard dalam Koesparmono mengatakan, bahwa kejahatan korporasi adalah
setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi yang dapat dihukum oleh
negara, tanpa mengindahkan apakah dihukum berdasarkan hukum
administratif, hukum perdata, atau hukum pidana. Selain memiliki perluasan
sanksi, kejahatan korporasi juga unik karena dilakukan oleh orang kaya,
terpelajar atau corporate executive yang oleh Koesparmono dikatakan
melampaui hukum pidana. Oleh karena itu kiranya kajian kejahatan
korporasi dalam kasus korupsi Wisma Atlit menjadi bahasan yang menarik.
Kronologis Kasus Wisma Atlit
Korupsi Wisma Atlit terbongkar setelah dilakukan penyadapan oleh tim
penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan diketahui kronologis
kasus sebagai berikut: Nazaruddin selaku anggota DPR RI telah
mengupayakan agar PT Duta Graha Indah Tbk menjadi pemenang yang
mendapatkan proyek pembangunan wisma atlet dengan mendapat jatah
uang sebesar Rp4,34 miliar dengan nilai kontrak senilai Rp
191.672.000.000. jatah Nazarudin diberikan dalam bentuk empat lembar
cek dari PT DGI yang diberikan oleh Idris. Idris yang mempunyai tugas
mencari pekerjaan (proyek) untuk PT DGI, bersama-sama dengan Dudung
Purwadi selaku Direktur Utama PT DGI. Nazaruddin sendiri lalu bertemu
dengan Sesmenpora Wafid Muharam dengan ditemani oleh anak buahnya
Rosa. Dalam pertemuan yang terjadi sekitar Agustus 2010 di sebuah rumah
makan di belakang Hotel Century Senayan itu, Nazaruddin meminta Wafid
untuk dapat mengikutsertakan PT DGI dalam proyek yang ada di
Kemenpora. Singkat cerita, setelah mengawal PT DGI Tbk untuk dapat ikut
serta dalam proyek pembangunan Wisma Atlet, Rosa dan Idris lalu sepakat
bertemu beberapa kali lagi untuk membahas rencana pemberian success
fee kepada pihak-pihak yang terkait dengan pekerjaan pembangunan
Wisma Atlet. Pada Desember 2010, PT DGI Tbk pun akhirnya diumumkan
sebagai pemenang lelang oleh panitia pengadaan proyek pembangunan
ini mengisyaratkan bahwa negeri ini belum mampu membuat regulasi dan
sistem yang kebal terhadap korupsi. Romany mengatakan, seharusnya
negara dengan kekuasaan politiknya, bisa menjamin terselenggaranya
kebijakan dan kinerja yang efektif bersih, bukan sebaliknya, melalui pejabat
publiknya dan jajarannya bertindak melawan hukum dan tidak berpihak
pada kepentingan rakyat. Kendati demikian, negara bukan termasuk
korporasi yang tidak bisa dimintai pertanggung jawaban layaknya korporasi,
namun pejabat pejabatnya yang terkait kejahatan bisa dipidana.
Penutup
Kejahatan korupsi merupakan extra-ordinary crime, berdasarkan efek yang
ditimbulkannya. Sehingga pemberantasan korupsi tidak hanya terbatas
kepada menghukum koruptor saja, tetapi juga harus dibongkar modus
operandi dan sindikasinya sehingga dari situ dapat ditemukan formula yang
tepat untuk mencegah korupsi, serta menindak korporasi yang terlibat.
Sehingga supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih, dalam suatu
negara hukum yang merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu
negara dapat dicapai.
Kemudian, berdasarkan fakta yang ada dan dikaitkan dengan konsep
kejahatan korporasi, maka penulis berpendapat bahwa, kejahatan korupsi
Wisma Atlit masuk dalam kategori kejahatan korporasi. Oleh karena itu
penanganannya tidak cukup kepada individu individu yang melakukan
pidana melainkan perusahan yang terlibat dalam praktek tersebut harus
dikenai sanksi baik sanksi berkaitan dengan administrasi maupun
keperdataan agar kewibawaan negara dapat terjaga.
baca lebih lanjut teori terkait kejahatan korporasi dibawah ini:
law as a tool of crime ( hukum sebagai alat kejahatan) sebagai sebuah
fenomena penegakkan hukum terhadap bentuk kejahatan white collar
crime.
Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuataan yang oleh masyarakat
dipandang sebagai kegiatan yang tercela, dan terhadap pelakunya
dikenakan hukuman (pidana). Sedangkan korporasi adalah suatu badan
hukum yang diciptakan oleh hukum itu sendiri dan mempunyai hak dan
kewajiban. Jadi, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh
badan hukum yang dapat dikenakan sanksi.
Menurut Marshaal B. Clinard kejahatan korporasi adalah merupakan
kejahatan kerah putih namun ia tampil dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia
lebih mendekati kedalam bentuk kejahatan terorganisir dalam konteks
hubungan yang lebih kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan
eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga dapat berbentuk korporasi
yang merupakan perusahaan keluarga, namun semuanya masih dalam
rangkain bentuk kejahatan kerah putih.
Kejahatan korporasi yang lazimnya berbentuk dalam kejahatan kerah putih
(white-collar crime), biasanya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan
hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang
melanggar hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara
maju dapat dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi
dapat mencakup tindak pidana seperti pelanggaran undang-undang anti
monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai,
pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan
kesehatan, korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan
pencemaran lingkungan hidup. Kejahatan korporasi tidak hanya dilakukan
oleh satu korporasi saja, tetapi dapat dilakukan oelh dua atau lebih
korporasi secara bersama-sama.
Karena sebuah korporasi memiliki demikian kuat kekuatan dan posisi selaku
pemilik modal yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak maka
korporasi dapat juga memberikan pengaruh kepada legislatif , eksekutif
bahkan yuidikatif untuk merumuskan, merubah, mengganti bahkan
membatalkan sebuah regulasi demi memuluskan kepentingan sebuah
korporasi dalam mencariu keuntungan, bentuk intervensi korporasi dengan
memanfaatkan hukum dan celah celah yang dimiliki hukum adalah dengan :
Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan korporasi,
selain karena keberadaan suatu korporasi dianggap penting dalam
menunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali
juga disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi. Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih
dianggap merupakan kesalahan yang hanya bersifat administratif daripada
suatu kejahatan yang serius. Sebagian besar masyarakat belum dapat
memandang kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang nyata walaupun
akibat dari kejahatan korporasi lebih merugikan dan membahayakan
kehidupan masyarakat dibandingkan dengan kejahatan jalanan.
akan berubah. Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawabnya,
dalam hal ini tanggung jawab pidana.
Kedua, korban kejahatan korporasi, seperti yang dijelaskan bahwa korban kejahatan
korporasi oleh Hagen yang dikutip Prof Koesparmono adalah individu, pekerja dan
korporasi yang lain. Ketiga komponen ini harus berusaha untuk mengindari dari
perilaku korporasi yang melakukan kejahatannnya. Artinya individu dalam
mengahadapi korporasi harus selalu memahami dan mewaspadai kemungkinan yang
timbul dari kegiatanya adalah bentuk kejahatan contohnya produk palsu, penggelapan
pajak, dan lainya. Para pekerja dapat menjadi korban korporasi misalnya pembayaran
gaji yang tidak sesuai, kontrak yang setengah hati dan pelanggaran yang berhubungan
dengan kesehatan pekerja, keamanan pekerja. Sehingga hal ini harus dihindarkan
untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi.
Ketiga, Lingkungan korporasi, yakni peran serta dan kepedulian masyarakat sekitar
lokasi badan hukum melakukan aktivitasnya. Masyarakat yang dimaksud bukan hanya
diluar lingkungan korporasi tapi masyarakat yang berada di dalam korporasi. Menurut
Gobert dan Punch, hal paling utama untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi
adalah dengan adanya pengendalian diri dan tanggung jawab sosial dan moral
terhadap lingkungan dan masyarakat di mana tanggung jawab tersebut berasal dari
korporasi itu sendiri maupun individu-individu di dalamnya. Kadang, kontrol yang
dilakukan pengambil kebijakan tingkat korporasi tidak cukup untuk menghentikan
terjadinya skandal, apalagi hanya lewat kontrol prosedural teknis. Pada gilirannya,
skandal keuangan lebih menyangkut perkara politik tingkat tinggi yang melibatkan
pemain-pemain kelas kakap yang sulit ditunjuk batang hidungnya. Semuanya gelap
karena tiap indikasi ditepis dengan kemampuan berkelit yang luar biasa. Selain
dipengaruhi faktor makro kejahatan korporasi juga amat ditentukan oleh aneka
perangkat mikro yang diciptakan dalam kontrol manajerial (managerial control).
Terutama, korporasi akan dibebani oleh lebih banyak tanggung jawab moral dan sosial
untuk memperhatikan keadaan dan keamanan lingkungan kerjanya, termasuk
penduduk, budaya, dan lingkungan hidup.
Keempat, kerjasama dari perbagai pihak yakni pemerintah, aparat penegak hukum dan
masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap tindak kejahatan korporasi.
Bentuk kerjasama yang dimaksud adalah saling mendukung adanya program yang
diselenggarakan seperti pemerintah membuat suatu peraturan perundangan harus
adanya sosialisasi, sehingga sosialalisasi itu sendiri memerlukan adanya kerjasama
perbagai pihak termasuk kepolisian sebagai aparat penegak hukum dan adanaya
bantuan dari elemen masyarakat yang lain.