Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS GERIATRI

Diajukan untuk melengkapi persyaratan kepaniteraan Klinik Senior


di bagian Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing :
dr. Dwi Ngestiningsih, M.Kes, Sp.PD

Disusun oleh:
Restiana Hilda I.
Raissa Vaniana H.
Leonardo Cahyo N.

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014

BAB I
ASSESMENT GERIATRI
IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Tn. MZ

No. CM

:C463444

Umur

:72 tahun

Agama

: Islam

Pendidikan

: Tamatan SR (setara SD)

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Alamat

:Pedurungan Lor no. 337 RT 3/ RW 5, Semarang

Masuk RSDK

:8 Februari 2013

Status

: BPJS

I. DATA DASAR
A. Data Subyektif
Autoanamnesis dengan penderita dan alloanamnesis dengan anak penderita pada tanggal
10 Februari 2014, pukul 13.30 WIB di bangsal Geriatri RSUP Dr. Kariadi Semarang
Keluhan utama :Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang :

Onset dan kronologis :


Selama 1 bulan ini pasien sering merasa sesak, sesak muncul secara tiba-tiba, tidak ada
pemicunya, sesak berlangsung selama beberapa menit, kemudian sesak membaik sendiri
dengan istirahat. Saat sedang terjadi sesak, akan bertambah berat dengan aktivitas,
ketika tidur menggunakan 1 bantal, saat sesak terdapat keringat dingin (+), rasa berdebardebar (+). Pasien tidak mengobati keluhan sesak dengan obat.
1 hari sebelum masuk rumah sakit pasien demam (+) tinggi, 41 C, menggigil, diukur
dengan termometer, terus-menerus. Batuk (-), pilek (-), mual (+), muntah (-) BAB diare
1x, nafsu makan turun sudah 1 minggu, BAK anyang-anyang (-), nyeri kepala (-), nyeri
sendi (-), pegal-pegal (-).
Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat penyakit kencing manis (-)


Riwayat penyakit darah tinggi (+) berobat tidak teratur

Riwyat penyakit jantung (+)


Riwayat merokok (+) 60 tahun, 1 bungkus/ 2 hari

Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat penyakit hipertensi (+) kakak


Riwayat penyakit kencing manis (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat sakit asma (-)

Riwayat Sosial Ekonomi :


Penderita seorang laki-laki 72 tahun, bekerja sebagai karyawan swasta (pembuat loster),
sering terpapar semen dan debu. Istri bekerja serabutan,mempunyai 5 orang anak.
Penderita tinggal bersama anak ke 4, anak ke 5 dan seorang cucu (dari anak ke 4).
Rumah milik pribadi, ukuran 5x11 m, tidak bertingkat, dinding tembok, lantai keramik,
atap genteng dengan eternit. Pintu keluar masuk 2 buah, jendela ada 4 ( pada masingmasing kamar tidur dan ruang tamu), terdiri dari 3 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 kamar
mandi dengan wc duduk tanpa pegangan, sirkulasi dan sinar matahari cukup baik.
Memasak menggunakan kompor gas. Sumber air minum dan aktivitas sehari-hari
menggunakan sumur pompa. Penerangan dari PLN. Lingkungan tempat tinggal di tempat
datar, tidak banjir, akses dari jalan utama 200 meter. Tembok rumah penderita
menempel dengan rumah sebelahnya. Biaya hidup saat ini merupakan tanggungan
penderita.
Penderita mempunyai 3orang anak, sbb :
Anak 1

: Laki-laki, 45 tahun, bekerja sebagai pembuat roti di Arab, istri seorang


pegawai negeri, mempunyai 1 orang anak, gaji tidak tahu

Anak 2

: Perempuan, 34 tahun, menikah, ibu rumah tangga, suami pegawai swasta,


anak 1 orang, penghasilan 2,7 juta/bulan

Anak 3

: Perempuan, 23 tahun, menikah, ibu rumah tangga, suami pegawai swasta,


anak 2 orang, penghasilan 1,5 juta/bulan

Anak 4

: Perempuan, 22 tahun, sudah menikah dan bercerai, penghasilan tidak ada.

Anak 5

: Perempuan, 10 tahun, seorang pelajar SD

Kesan

: sosial ekonomi kurang

Biaya

: BPJS

Riwayat Fungsional
Sebelum masuk RS

Dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti berjalan di dalam dan sekitar rumah
masih baik. Untuk buang air kecil dan buang air besar penderita dapat melakukannya
dengan mandiri tanpa bantuan, kecuali saat sakit. Untuk aktivitas seperti makan, mandi
dan berpakaian pasien juga masih dapat melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.
Saat dirawat di RS
INDEKS KATZ ( Menilai AKS)
No
1.

2.

3.

4.

5.

6.

Aktivitas
Bathing

Dressing

Toilletting

Transfering

Continence

Feeding

Mandiri
Memerlukan bantuan
hanya pada 1 bagian
tubuh
(bagian
belakang / anggota
tubuh yang terganggu)
atau dapat melakukan
sendiri
Menaruh pakaian &
mengambil
pakaian,
memakai
pakaian,
brace, & menalikan
sepatu
dilakukan
sendiri
Pergi ke toilet, duduk
berdiri dari kloset,
memakai
pakaian
dalam, membersihklan
kotoran
(memakai
bedpan pada malam
hari saja & tidak
memakai
penyangga
mekanik)
Berpindah dari dan ke
tempat
tidur
&
berpindah dari dan ke
tempat
duduk
(memakai atau tidak
memakai alat bantu)
BAK & BAB baik

Mengambil makanan
dari piring / yang
lainnya & memasukkan
ke dalam mulut (tidak

Tergantung
Memerlukan
bantuan
dalam
mandi lebih dari 1
bagian tubuh dan
saat masuk serta
keluar
dari
bak
mandi / tidak dapat
mandi sendiri
Tidak
dapat
memakai
pakaian
sendiri atau tidak
berpakaian sebagian
Memakai bedpan
atau comode atau
mendapat bantuan
pergi ke toilet atau
memakai toilet

Tidak
dapat
melakukan / dengan
bantuan
untuk
berpindah dari & ke
tempat tidur / tempat
duduk
Tidak
dapat
mengontrol sebagian
/ seluruhnya dalam
BAB
&
BAK,
dengan
bantuan
manual / kateter
Memerlukan
bantuan
untuk
makan atau tidak
dapat
makan

6-1-2014

Tergantung

Tergantung

Tergantung

Tergantung

Tergantung

Mandiri

termasuk kemampuan semuanya


atau
untuk
memotong makan
perdaging & menyiapkan parenteral)
makanan
seperti
mengoleskan mentega
di roti)
Klasifikasi menurut Indeks Katz :
A
: Mandiri, untuk 6 fungsi
B
: Mandiri, untuk 5 fungsi
C
: Mandiri, kecuali bathing & 1 fungsi lain
D
: Mandiri, kecuali bathing, dressing, & 1 fungsi lain
E
: Mandiri, kecuali bathing, dressing, toiletting & 1 fungsi lain
F
: Mandiri,kecuali bathing,dressing, toiletting, transfering & 1
fungsi lain
G
: Ketergantungan untuk semua 6 fungsi di atas
Kesan : KatzFmandiri, kecuali bathing,dressing, toiletting, transfering & 1
fungsi lain
Pada saat dirawat di RS, pasien masih dapat berubah posisi tidur, dari telentang ke
miring kanan dan miring kiri. Pasien juga terkadang duduk di ranjang, tidak selalu
tiduran. Berikut adalah skor untuk mengukur risiko dekubitus pada pasien.
SKOR NORTON ( Untuk Mengukur Risiko Dekubitus)
Penilaian
Skor
6-1-2014
Kondisi fisik umum :
Baik
4
Lumayan
3
4
Buruk
2
Sangat buruk
1
Kesadaran :
Komposmentis
Apatis
Konfus/soporus
Stupor/koma
Aktivitas :
Ambulan
Ambulan dengan bantuan
Hanya bisa duduk
Tiduran
Mobilitas :
Bergerak bebas
Sedikit terbatas
Sangat terbatas
Tak bisa bergerak
Inkontinensia :
Tidak ada
Kadang-kadang
Sering inkontinensia urin
Inkontinensia alvi & urin
Skor total : 20

4
3
2
1

4
3

4
2
1

4
3
2
1

4
3
2

4
1

Kategori : Skor 16-20 : kecil sekali/tak terjadi


12-15 : kemungkinan kecil terjadi
< 12 : kemungkinan besar terjadi
Hasil skor : 20
Kesan :kemungkinan kecil terjadi dekubitus
Riwayat Gizi
-

Pasien biasanya makan 3x/hari dengan nasi 1 piring dan habis. Lauk sayur dan
tempe tahu, ikan asin,udang, ayam, telur. Masakan di rumah sehari-hari sering masak
sendiri, masih menggunakan MSG dan garam.

Pasien minum air putih sekitar 3/4 botol aqua besar per hari. Hampir setiap pagi
pasien minum teh manis setiap hari 1 gelas dengan 1 sendok teh gula pasir.

Riwayat Psikiatri
Sebelum masuk RS, kegiatan sehari-hari pasien adalah bekerja sebagai pembuat loster. Selain
itu, pasien jarang melakukan aktivitas di luar rumah. Hubungan dengan tetangga masih baik.
Waktu luang digunakan untuk menonton TV, mengobrol dengan keluarga, tetangga, dan
mengurus cucu.
Pemeriksaan Status Mental
Keadaan umum

: Seorang laki-laki 72 tahun, tampak sesuai umur, berkulit sawo matang,


penampilan cukup bersih, rambut berwarna putih, terpasang infus

Perilaku & Aktivitas Psikomotor

: normoaktif

Kesadaran

: jernih

Sikap

: kontak psikis + wajar, dapat dipertahankan.

Mood

: eutimik

Afek

: serasi

Gangguan Persepsi

: halusinasi (-), ilusi (-)

Bentuk Pikir

: realistik

Proses Pikir

: lancar

Isi Pikir

: waham (-)

SKALA DEPRESI GERIATRI.


Pilihan jawaban yang sesuai dengan perasaan anda dalam satu minggu terakhir:
No

Apakah..

Ya

Tidak

Anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda?

Ya

Tidak

Anda telah meninggalkan banyak kegiatan / minat / Ya

Tidak

kesenangan anda?
3

Anda merasa kehidupan anda kosong?

Ya

Tidak

Anda merasa sering bosan?

Ya

Tidak

Anda mempunyai semangat yang baik setiap saat?

Ya

Tidak

Anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri anda?

Ya

Tidak

Anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda?

Ya

Tidak

Anda sering merasa tidak berdaya?

Ya

Tidak

Anda lebih senang tinggal di rumah daripada keluar dan Ya


mengerjakan sesuatu yang baru?

Tidak

10

Anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingat Ya


anda dibanding kebanyakan orang?

Tidak

11

Anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini menyenangkan?

Ya

Tidak

12

Anda merasa tidak berharga seperti perasaan anda saat ini?

Ya

Tidak

13

Anda merasa anda penuh semangat?

Ya

Tidak

14

Anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada harapan?

Ya

Tidak

15

Anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya daripada Ya


anda?

Tidak

Keterangan : Jawaban pasien yang bergaris bawah.


Skor : Diitung dari jumlah jawaban yang bercetak tebal dan huruf besar
Tiap jawaban bercetak tebal dan bergaris bawah mempunyai nilai 1
Skor antara 1-4 menunjukkan keadaan baik/tidak depresi
Skor antara 5-9 menunjukkan kemungkinan besar depresi
Skor 10 atau lebih menunjukkan depresi
Hasil Skor = 0
Kesan: keadaan baik/ tidak depresi.
KUESIONER STATUS MENTAL
No DAFTAR PERTANYAAN
1
Tanggal berapakah hari ini? (bulan, tahun)
2
Hari apakah ini
3
Apakah nama tempat ini?
4
Berapa nomor telepon atau alamat rumah Bapak/Ibu?
5
Berapa umur Bapak/Ibu?
6
Kapan Bapak/Ibu lahir?
7
Siapakah nama presiden kita sekarang
8
Siapakah nama presiden sebelum ini?
9
Siapakah nama gadis ibu Anda?
10 Hitung mundur 3-3 dari 20!
0 2 kesalahan = baik
3 4 kesalahan = gangguan intelek ringan
5 7 kesalahan = gangguan intelek sedang
8 10 kesalahan = gangguan intelek berat

JAWABAN
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B

Bila penderita tidak pernah sekolah, nilai kesalahan diperbolehkan +1 dari nilai di atas
Hasil =0 kesalahan
Kesan =Baik

MINI MENTAL STATE EXAMINATION.


Ma Nila
x
i
ORIENTASI
5
( 5) Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) berapa dan musim apa?
5
( 4 ) Sekarang kita berada dimana? (Nama rumah sakit, jalan,
nomor rumah, kota kabupaten, provinsi)
REGISTRASI
3
( 3) Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda,misalnya : satu
detik untuk tiap benda. Kemudian mintalah respon mengulang
ketiga nama benda tersebut. Ulangi hingga benar
menyebutkan. Hitung jumlah percobaan dan catat : 2 kali.
ATENSI DAN KALKULASI
5
( 5) Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar.
Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik
kata WAHYU (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum
kesalahan.
RECALL
3
(2)
Tanyakan kembali nama tiga benda yang telah disebut di atas.
Berikan nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar.
BAHASA
9
(9) a. Apakah nama benda ini? Perlihatkan pensil atau arloji (2
nilai)
b. Ulangi kalimat berikut : JIKA TIDAK, DAN ATAU TAPI
(1 nilai)
c. Laksanakanlah 3 buah perintah ini: Peganglah selembar
kertas dengan tangan kananmu, lipatlah kertas tersebut pada
pertengahan dan letakkan di lantai (3 nilai )
d. Bacalah dan laksanakanlah perintah berikut: PEJAMKAN
MATA ANDA (1 nilai)
e. Tuliskanlah sebuah kalimat (1 nilai)
f. Tirulah gambar ini (1 nilai )

Kategori : Skor 25-30

Jumlah skor : 30
: Normal

17-24

: Probable cognitive impairment

0-16

: Definite cognitive impairment

Skor

: 28

Kesan

: Normal

B. DATA OBJEKTIF
1. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik dilakukan tanggal 10 Februari 2014 pukul 10.00 di Bangsal
Geriatri RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Keadaan umum

:Tampak Lemah, terpasang infus

Kesadaran

: Komposmentis, Lemas (+), GCS E4V5M6=15

Tanda vital

: TD

: 160/100mmHg (berbaring)

RR

: 26x/menit

Status gizi

: 92/menit,reguler, isi dan tegangan cukup

: 37,70C

:BB

: 47kg

TB

:155cm

IMT

:19,5kg/m2(normoweight)

Kepala

: mesosefal

Kulit

: turgor cukup, pucat (-)

Mata

:konjungtiva palpebra pucat(-/-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva


suffusion (-)

Telinga

: discharge (-/-), tinitus (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)

Hidung

: epistaksis (-/-),discharge (-/-), nafas cuping hidung (-/-)

Mulut

:bibir pucat (-), bibir kering (-), bibir sianosis (-), gusi berdarah (-),
pursed lip breathing (-), gigi palsu (-), coated tongue (+)

Tenggorok

: T1-1, faring hiperemis (-)

Leher

: trakeaditengah, pembesaran nnll -/-, JVP R+1cm

Thorax

: normal, retraksi suprasternal (-), retraksi intercostal (-),


sela iga melebar (-)

Pulmo depan
Inspeksi

: simetris saat statis dan dinamis

Palpasi

: stem fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor seluruh lapangan paru

Auskultasi

:Suara dasar vesikuler, Suara tambahan (-/-)

Pulmo belakang
Inspeksi

: Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi

: Stem fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor Seluruh lapangan paru

Auskultasi

:Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-/-)

Cor
Inspeksi

:Ictus cordis tampak

Palpasi

:ictus cordis teraba di SIC VI2cm lateral LMCS, bergeser ke kaudo


lateral, kuat angkat (+), pulsasi parasternal (-) pulsasi epigastrial (-),
sternal lift (-), thrill (-)

Perkusi

:Batas atas: SIC II linea parasternal


Batas kiri: SIC IV2 cm lateral LMCS
Batas kanan: linea parasternal dekstra

Auskultasi

: BJ I-II normal , bising (+) sistolik 3/6 dijalarkan ke axilla, gallop(-)

Abdomen
Inspeksi

: datar, venektasi (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal


Perkusi : timpani,pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), area traube
Timpani, liver span 8 cm, nyeri ketok costovertebra (-)
Palpasi :supel, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-)

Ekstremitas :

Ssuperior

inferior

Refleks fisiologis

+N/+N

+N/+N

Refleks Patologis

-/-

-/-

Tonus

N/N

N/N

Kekuatan

5-5-5/5-5-5

5-5-5/5-5-5

Sensibilitas

+N/+N

+N/+N

Edema

-/-

-/-

Akral Dingin

-/-

-/-

2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hematologi (08/02/2014)

Pemeriksaa
n

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

Hemoglobin

10,9

g/dL

9.5 19.60

Hematokrit

33,4

35 47

Eritrosit

4,1

106/uL

4.4 59

MCH

26,4

Pg

27,00 32,00

MCV

81,1

fL

76 96

MCHC

32,6

g/dL

29.00 36.00

Leukosit

11,8

103 /uL

3.6 11.0

Trombosit

351,1

103 /uL

150 400

RDW

14,67

11,60 14,80

MPV
GDS

9,18
128

fL
mg/dl

4,00 11,00
80 - 140

28

mg/dl

1539

Creatinin

0.94

mg/dl

0.51.5

Natrium

135

mmol/l

136 145

Kalium

3.7

mmol/l

3.5 5.1

Chlorida

101

mmol/l

98 107

Ureum

ml
( 140umur ) x berat badan ( 14072 ) x 47
menit
LFG
=
=
=47,22
1,73 m 2
72 x 0,94
mg
72 xkreatininplasma
dl

( )

Klasifikasi PGK stadium III, LFG = 47,22 (LFG 30-59 ml/mnt/1,73 m2)

Pemeriksaan Urin Rutin (tanggal 9 Februari 2014)


Pemeriksaan

Hasil

Satua

Normal

n
Warna
Kejernihan
Berat jenis
pH
Protein
Reduksi
Uroblinigen
Bilirubin

Kuning
Jernih
1.020
5,5
100
NEG
0,2
NEG

mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl

1.003 1.025
4,8-7,4
NEG
NEG
NEG
NEG

Aseton
Nitrit

NEG
NEG

mg/dl

Sedimen
Epitel
Leukosit
Eritrosit
Granula Kasar
Granula Halus
Sil. Hyalin
Sil. Epitel
Sil. Eritrosit
Sil. Lekosit
Bakteri

1-2
2-5
0-1
NEG
0-1
1.06
NEG
NEG
NEG
NEG

/LPK
/LPK
/LPB
/LPK
/LPK
u/L
/LPK
/LPK
/LPK
u/L

NEG
NEG

NEG
NEG
0,00-1,20
NEG
NEG
NEG
NEG

Hasil Pemeriksaan EKG(1Januari2014)

Irama
: sinus
HR
: 64x/menit, reguler
Axis
: LAD
Gel. P
: P terminal force (+); P pulmonal (-), P mitral (-)
PR interval : 0.16 detik
Komplek QRS: 0.08 detik
ST segmen
: ST-T changes V1-V4
Gel T
: inverted (-), tall T(-)

Q patologis
Lain-lain
Kesan

: (-)
: R di V5/V6+S V1/V2> 35 mm R/S di V1<1
Poor R progression (+), S persisten (-)
: LAD, LVH, iskemik anteroseptal

Hasil Konsul mata: ODS retoinopati hipertensi grade II dengan aterosklerosis grade II
Rectal Toucher Mukosa licin, TSA cekat, ampula tidak kolaps, sulcus medianus tidak teraba,
pool superior prostat tidak teraba, massa (-), sarung tangan lendir (-), darah (-), feses (-)
X-foto thoraks
08/02/2014

Suspek Cardiomegali, Pulmo tak tampak infiltrat

IV. DAFTAR ABNORMALITAS


1 Sesak nafas
2 Bising sistolik
3 Kardiomegali
4 Hipertensi
5 Diare
6 TD : 160/100mmHg
7 Riwayat Keluarga Hipertensi (+) Kakak
8 Pemeriksaan jantung
Batas jantung kiri : SIC VI 1 cm lateral LMCS
9 X Foto thorax (08/01/2014)
- Kardiomegali (LV)
10 EKG (8/2/2014)Kesan : LAD, LVH, iskemik anteroseptal
11 Hasil Konsul Mata (9/2/2014) : ODS retoinopati hipertensi grade II dengan
aterosklerosis grade II
12 Sindroma Geriatri
Sindroma serebral (-)

Jatuh (-)

Konfusio (-)

Kelainan tulang dan patah tulang (-)

Gangguan otonom (-)

Dekubitus (-)

Inkontinensia (+)
13 AKS
Insomnia
Impairment of vision and hearing
Incontinence
Immobility
Isolation
Impaction
Impotence
Immuno-deficiency

Instability
Iatrogenic
Infection
Intelectual impairment
Inanition
Insomnia
Incontinence
Impecunity

Problem Medis
1. Sindroma geriatrik: incontinence, infection, impecunity
2. Bronkopneumonia (terkontrol)
3. Hipertensi (terkontrol)
4. Hipertensive heart disease
5. Diare akut (perbaikan)
6. Anemia (Hb: 10,9)
7. Suspek Hipertrofi prostat
8. Inkontinensia
RENCANA PEMECAHAN MASALAH
PROBLEM I
Bronkopneumonia
Assesment :
Ip Dx : Pengecatan gram, jamur & kultur sputum
Ip Tx:

O2 nasal kanul 3 lpm bila sesak nafas


Infus RL 30 tpm
Terapi gizi : Diet RG 1500 kkal / 50 gr protein ( 1300 kkal lunak, extra susu skim

1x200), Zinc 1x 20 mg
Ciprofloxacin 400 mg/12 jam
Ambroxol 30 mg/ 8 jam

Ip Mx

: RR, Nadi, Balance cairan/24 jam, sesak

Ip EX

:
- Memberitahukan kepada pasien untuk mengikuti diet dari rumah sakit
- tampung dahak, edukasi cara menutup mulut dan batuk yang benar, kompres
bila suhu tubuh naik

PROBLEM II
Hipertensive Heart Disease
Assessment

: - LVEF
- IHD
- Faktor resiko PJI (dislipidemia)

Ip Dx : Profil lipid, asam urat, GD I/II, Gambaran darah tepi, retikulosit


Ip Tx:
Lisinopril 5 mg/ 24 jam

Ip Mx : KU, tanda vital, Echocardiografi


Ip Ex
: - Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang diderita dan rencana
terapi yang akan dilakukan
- Perlunya mengontrol asupan garam makanan
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien agar pasien tidak terlalu banyak melakukan
aktivitas yang dapat meningkatkan beban kerja jantung

PROBLEM III
Diare akut
Assessment
Ip Dx
Ip Rx
Ip Mx
Ip Ex

: - Etiologi primer
: Feses rutin dan kultur feces
: New Diatabs 2 tab
: Keadaan umum dan tanda vital, tanda dehidrasi
: - Menjelaskan kepada penderita tentang penyakitnya dan kemungkinan
komplikasi yang dapat timbul

PROBLEM IV
Anemia Normositik Normokromik
Assessment

: Penyakit kronik sekunder problem II

Ip Dx

: Darah rutin, gambaran darah tepi, hitung jenis, retikulosit, Fe, Feritin

Ip Tx

:-

Ip Mx

Ip Ex

: Mengedukasi kepada pasien untuk menghabiskan makanan dari rumah sakit

PROBLEM V
Suspek hipertrofi prostat
Assesment

Ip Dx : USG Prostat
Ip Tx
:

Ip Mx

Ip Ex

: Menjelaskan kepada pasien tentang kemungkinan penyakit yg diderita,

menjelaskan rencana pemeriksaan USG

PROBLEM VII
Inkontinensia
Assesment
:sekunder problem V
IP Dx
:
IP Rx
: Konsul rehabilitasi medik
IP Mx
: keadaan umum dan tanda vital
IP Ex
:
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai keadaan pasien tentang
inkontinensia dan kegiatan dari pasien yang harus di bantu dalam kehidupan seharihari

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ASPEK KESEHATAN LANJUT USIA (GERIATRI)1,2
I. Teori Proses Menua
Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki/ mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Populasi lansia (usia 60 tahun) semakin meningkat. Diperkirakan
600 juta di tahun 2000 dan diramalkan menjadi 2 milyar di tahun 2050. Dengan semakin
berkembangnya teknologi kesehatan, populasi lansia akan semakin meningkat dan demikian
berpengaruh pada angka ketergantungan. Demikian juga problem kesehatan yang ditemui
pada populasi lansia semakin banyak.
Ada beberapa teori proses menua, antara lain:
1. Teori genetic clock
Setiap spesies memiliki jam genetik yang akan berhenti sesuai waktunya. Usia harapan
hidup dipengaruhi pula oleh jenis kelamin.
2. Mutasi somatik (error catastrophe)

Faktor lingkungan (radiasi, zat kimia) yang toksik atau karsinogenik menyebabkan
kesalahan transkripsi dan translasi DNA sehingga timbul kesalahan yang menyebabkan
metabolit berbahaya (mutasi)
3. Rusaknya sistem imun tubuh
Mutasi berulang menyebabkan kemampuan sistem tubuh mengenal diri sendiri sehingga
terjadi reaksi antigen antibodi yang mengenai berbagai macam jaringan.
4. Teori menua akibat metabolisme
Semakin banyak metabolisme, akan semakin cepat timbul proses degenerasi
5. Kerusakan akibat radikal bebas
Radikal bebas sebagai produk sampingan respirasi aerob dihasilkan menumpuk melebihi
kapasitas anti radikal bebas tubuh (SOD, katalase, glutation peroksidase) sehingga
menimbulkan kerusakan sel
Menua atau menjadi tua merupakan proses yang dialami oleh semua orang dan tidak
dapat dihindari. Yang dapat diusahakan adalah tetap sehat ada saat menua Healthy Aging.
Proses menua dipengaruhi oleh faktor eksogen dan endogen yang dapat menjadi faktor risiko
penyakit degeneratif.
II.
Perubahan dalam Proses Penuaan
Perubahan dalam penuaan terdiri dari perubahan anatomi, patologi, dan psikososial
akibat proses menua. Pada panca indra didapatkan perubahan degeneratif otot akomodasi,
jaringan ikat periorbita, fungsi kelenjar lakrimalis, perubahan elastisitas lensa, degenerasi
neuron kortikal sehingga visus dapat terganggu. Fungsi telinga juga menurun akibat
hilangnya sel rambut pada organ corti. Dalam sistem pencernaan terjadi atrofi mukosa,
penurunan aliran darah, turunnya elastisitas otot dan tulang rawan laring sehingga timbul
gangguan pengecapan turunnya refleks batuk dan menelan, kesulitan mencerna makanan,
perubahan nafsu makan, malabsorbsi makanan. Dengan ini lansia akan mudah tersedak dan
mengalami kekurangan gizi. Sistem kardiovaskuler berubah di mana terjadi penebalan dan
kekakuan dinding pembuluh darah, degenerasi katup jantung sehingga terjadi penurunan
curah jantung dan mempengaruhi aliran darah otak. Sistem respirasi berubah di mana
elastisitas alveolus menurun, terjadi degenerasi epitel, dan kelemahan otot pernapasan
sehingga kapasitas vital menurun dan refleks batuk menurun. Dengan ini lansia peka terhadap
pneumonia dan mudah mengalami gagal respirasi.
Perubahan T4 menjadi T3 menurun sehingga metabolisme menurun pada lansia.
Hormon seksual menurunkan fertilitas, estrogen yang menurun mempengaruhi metabolisme
tulang sehingga mudah timbul osteoporosis. Transmisi asetilkolin, dopamin, dan noradrenalin
terganggu sehingga lansia mudah mengalami hipotensi postural dan kesulitan regulasi suhu.
Fungsi ginjal menurun dengan bertambahnya usia akibat perubahan degeneratif.

Kulit menjadi atrofi dan mengalami penipisan lemak subkutan sehingga elastisitasnya
menurun. Hal ini menyebabkan lansia mudah terkena abrasi dan infeksi kulit. Degenerasi
tulang rawan, ligamen, dan jaringan sendi membuat penurunan elastisitas dan mobilitas sendi
yang menimbulkan kekakuan pada lansia. Sistem imunologi menurun dengan hasil timbulnya
penyakit autoimun dan kanker. Secara umum postur tubuh lansia juga akan menjadi bungkuk
sehingga mudah terjadi nyeri punggung.
III.
Asesmen Kesehatan dan Penyakit Pada Usia Lanjut
Konsep kesehatan usia lanjut meliputi status fungsional individu yang
bermanifestasi pada aktivitas hidup sehari-hari (fisik, sosial, psikis), sindroma
geriatrik, serta penyakit pada usia lanjut. Penanganan geriatrik dipusatkan pada
strategi pencegahan meliputi pencegahan primer, sekunder, dan tersier lewat
modifikasi perilaku dan gaya hidup.
Sifat penyakit pada lansia memiliki perbedaan mendasar dengan penyakit pada dewasa
umumnya menyangkut beberapa hal berikut:
Parameter
Etiologi

Awitan gejala

Usia lanjut
Endogen (dari dalam)
Tersembunyi
Kumulatif/multipel
Lama terjadi
Insidious, kronik
Tidak khas

Usia muda
Eksogen (dari luar)
Jelas, nyata
Spesifik, tunggal
Recent
Florid (jelas sekali)
Khas,
memenuhi
hukum

Parsimoni

(gejala dan tanda khas


untuk masing-masing
Perjalanan penyakit

Kronik/menahun,
progresif,

penyakit)
Self-limiting
Memberi kekebalan

menyebabkan cacat

Variasi individual

lama
Menjadi rentan

penyakit lain
Beragam

kecil

Oleh karena itu penanganan penderita geriatri harus menyeluruh (holistik) dengan model
analisis multi disiplin (asesmen geriatri). Asesmen ini bertujuan menegakkan diagnosis
kelainan yang fisiologis maupun patologis, menemukan adanya impairment, disabilitas, atau

handicap yang perlu rehabilitasi, menilai sumber daya ekonomi, sosial, dan lingkungan
pasien.
IV.

Sindroma Geriatri
Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan akibat penuaan

dengan perubahan akibat proses patologis. Beberapa problema klinik dari penyakit
pada lanjut usia yang sering dijumpai. Sindroma geriatri antara lain adalah:

the O complex : fall, confusion, incontinence, iatrogenic disorders, impaired

homeostasis
the big three : intelectual failure, instability, incontinence
the 14 I: Imobility, Impaction, Instability, Iatrogenic, Intelectual Impairment,
Insomnia, Incontinence, Isolation, Impotence, Immunodefficiency, Infection, Inanition,
Impairment of Vision, smelling, hearing, Impecunity

Menurut Brocklehurst, Allen et al dikenal istilah geriatric giants sebagai berikut:


1

Sindroma serebral
Pada lanjut usia terjadi penurunan aliran darah otak sekitar 30 mL/100gram jaringan
otak/menit. Metabolisme otak juga menurun karena terjadi atrofi neuron. Normal pada
dewasa nilainya 50 mL/100 gram/menit. Penurunan aliran darah otak hingga 23 mL/100
gram/menit dapat menimbulkan sindroma serebral, yaitu perubahan patologik pembuluh
darah otak. Gejala yang timbul dapat berupa gejala umum (rigiditas, peningkatan refleks,
tendensi condong ke belakang, sulit berjalan) gejala klinis daerah yang diperdarahi
karotis (TIA, stroke, arteritis) dan vertebrobasiler (drop attack, TIA).
Penurunan aliran darah otak pada lansia dapat disebabkan oleh sebab mekanik maupun
akibat perubahan autoregulasi aliran darah otak. Secara mekanik didapatkan bahwa pada
lansia terbentuk osteofit pada vertebra sehingga menimbulkan jepitan pada arteri
vertebralis yang menyuplai darah ke otak lewat susunan vertebrobasiler. Selain itu
degenerasi diskus intervertebralis membuat arteri vertebralis menjadi berkelok-kelok
dengan akibat turunnya aliran darah menuju ke otak. Dengan demikian gerakan leher
dapat membuat lansia kekurangan sirkulasi darah otak dan tiba-tiba terjatuh.
Karena autoregulasi sebagai mekanisme proteksi otak mengalami penurunan, sedikit
perubahan tekanan darah atau diameter arteri otak akan mengurangi aliran darah otak
yang sulit dikompensasi oleh lansia. Kelainan vaskuler arteriosklerosis mengurangi
perfusi otak yang menimbulkan infark lakuner. Hipoksemia akibat gangguan respirasi
atau kardiovaskuler (gagal jantung, bronkopneumonia, interaksi obat) juga menurunkan
aliran darah otak. Diabetes dan hipertensi menurunkan aliran darah otak dengan

timbulnya angiopati.
Konfusio Akut dan Dementia

Konfusio akut adalah gangguan menyeluruh fungsi kognitif yang ditandai oleh
memburuknya secara mendadak derajat kesadaran dan kewaspadaan dan proses berpikir
yang berakibat terjadinya disorientasi. Penyebab konfusio dapat akibat penyebab
intraserebral, penurunan nutrisi serebral, penyebab toksik, kegagalan mekanisme
homeostatik, dan lain-lain seperti nyeri, depresi, perubahan lingkungan, obat-obatan.
Dementia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan
ingatan sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.
Perjalanannya bertahap dan tidak ada gangguan kesadaran. Biasanya dementia tidak
didiagnosis karena dianggap wajar oleh masyarakat. Gangguan memori yang menurun
tanpa perubahan fungsi kognitif dan ADL dinamakan Mild Cognitive Impairment.
Sebagian keadaan ini akan berkembang menjadi dementia.
Diagnosis dementia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan Mini Mental State
Examination dan penyebab pastinya dengan pemeriksaan patologi.
Dementia dibagi menjadi 4 golongan: dementia degeneratif primer/Alzheimer (50-60%),
dementia multi infark (10-20%), dementia reversibel/sebagian reversibel (20-30%), dan
gangguan lain (5-10%).
Penyebab dementia yang reversibel dapat dibuat matriks jembatan keledai berikut:
D : drugs
E : emotional (emosi, depresi)
M : metabolik/endokrin
E : eye and ear (mata dan telinga)
N : nutrisi
T : tumor trauma
I : infeksi
A : arteriosklerosis
Prinsip tatalaksana dementia adalah optimalisasi fungsi pasien, mengenali dan mengatasi
3

komplikasi, rawat berkelanjutan, informasi pada keluarga, dan nasihat pada keluarga.
Gangguan otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor kolin yang berakibat
penurunan fungsi otonom. Beberapa gangguannya adalah hipotensi ortostatik, gangguan
pengaturan suhu, kandung kemih, gerakan esofagus dan usus besar.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan sistolik/diastolik sebanyak 20 mmHg
pada saat berubah dari posisi tidur ke posisi tegak setelah 1-2 menit. Hal ini terjadi akibat
penurunan isi sekuncup jantung dan perpindahan darah ke posisi bawah tubuh. Biasanya
tidak menimbulkan gejala karena mekanisme kompensasi. Namun pada lansia dapat
terjadi adanya penurunan elastisitas pembuluh darah, gangguan barorefleks akibat tirah
baring lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian obat hipotensif, atau penyakit SSP
maupun neuropati lain (parkinson, CVD, diabetes mellitus). Gejala bisa berupa
penurunan kesadaran atau jatuh. Penatalaksanaannya adalah meninggikan kepala waktu

tidur.

Terapi

farmakologis

dapat

menggunakan

hormon

mineralokortikoid,

simpatomimetik, atau vasokonstriktor lainnya seperti fluorokortison, kafein, pindolol.


Gangguan regulasi suhu juga ditemukan pada lansia sehingga mereka rentan mengalami
hipertermia maupun hipotermia. Hipertermia adalah suhu inti tubuh > 40,6oC, disfungsi
saraf pusat hebat (psikosis, delirium, koma). Sementara itu hipotermia adalah penurunan
suhu inti tubuh di bawah 35oC.
4

Inkontinensia
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial.
Ini bukan konsekuensi normal dari pertambahan usia. Penyebab inkontinensia berasal
dari kelainan urologik (radang, batu, tumor), kelainan neurologik (stroke, trauma medula
spinalis, dementia), atau lainnya (imobilisasi, lingkungan). Inkontinensia dapat akut di
saat timbul penyakit atau yang kronik/lama.
Inkontinensia akut yang biasanya reversibel dapat diformulasi dengan akronim DRIP
yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas retensi, Infeksi inflamasi impaksi feses,
Pharmasi poliuri. Juga dengan akronim DIAPPERS : Delirium, Infection, Atrophic
vaginitis/uretheritis, Pharmaceuticals, Physiologic factor, Excess urine output,
Restricted mobility, Stool impaction.
Inkontinensia menetap dapat terjadi akibat aktivitas detrusor berlebih (over active
bladder), aktivitas detrusor yang menurun (overflow), kegagalan uretra (stress type), atau
obstruksi uretra.
Tatalaksana inkontinensia urin meliputi behavioral training (bladder training, pelvic
floor exercise), farmakologis, pembedahan. Obat yang digunakan dapat meliputi
antikolinergik antispasmodik (imipramin) untuk tipe urgensi/stres, -adrenergik agonis
(pseudoefedrin,

fenilpropanolamin)

untuk

tipe

stres

atau

urgensi,

estrogen

agonis(oral/topikal) untuk tipe stres atau urgensi, kolinergik agonis (betanekol), arendergik antagonis (terasozine) untuk tipe overflow atau urgensi karena pembesaran
5

prostat. Pembedahan meliputi juga kateterisasi sementara (2-4 kali sehari) atau menetap.
Jatuh
Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari tempat yang lebih
tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama tingginya. Sebanyak 30% lansia 65 tahun
mengalami jatuh. Kondisi jatuh dipengaruhi stabilitas badan yang ditunjang oleh sistem
sensorik (penglihatan, pendengaran, vestibuler, proprioseptif), susunan saraf pusat,
kognisi, dan fungsi muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor ekstrinsik seperti
pengaruh obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh ada beragam, antara lain
kecelakaan, nyeri kepala dan atau vertigo, hipotensi ortostatik, obat-obatan (diuretik,

antihipertensi, antidepresan trisiklik, sedatif, antipsikotik, hipoglikemk, alkohol), proses


penyakit (aritmia, TIA, stroke, parkinson), idiopatik, dan sinkop (drop attack, penurunan
CBF).
Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak dan fraktur (terutama pelvis,
kolum femoris), imobilisasi, disabilitas, risiko meninggal. Jatuh perlu dicegah dengan
identifikasi semua faktor risiko intrinsik maupun ekstrinsik, penilaian pola berjalan dan
keseimbangan (tes romberg), dan pemeriksaan rutin. Setiap lansia selalu harus
ditanyakan riwayat jatuh dan evaluasi status kesehatan. Tatalaksana jatuh adalah
6

pencegahan sesuai dengan etiologi yang dirasa memberi risiko terjadinya jatuh.
Kelainan tulang dan patah tulang
Setiap tahun 0,5-1% dari berat tulang wanita pasca menopause dan pria > 80 tahun
menurun. Penurunan ini timbul di bagian trabekula. Kelainan tulang yang timbul dapat
berupa osteoporosis, osteomalasia, osteomielitis, dan keganasan tulang.
Patah tulang/fraktur pada usia lanjut terutama akibat osteoporosis, ada 3 jenis yang
terutama, yaitu fraktur sendi koksa (collum femoris), fraktur pergelangan tangan (colles),

dan kolumna vertebralis (crush, multipel, atau baji).


Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan kulit sampai jaringan di bawah kulit, menembus otot sampai
mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga
timbul gangguan sirkulasi darah setempat. Ulkus dekubitus terjadi terutama pada
tonjolan tulang. Usia lanjut memiliki potensi dekubitus karena jaringan lemak subkutan
berkurang, jaringan kolagen dan elastis berkurang, efisiensi kapiler pada kulit berkurang.
Pada penderita imobil, tekanan jaringan akan melebihi tekanan kapiler, sehingga timbul
iskemi dan nekrosis. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan, daya regang, gesekan, dan
kelembaban. Semua pasien lansia yang imobil harus dinilai skala Norton untuk risiko
dekubitus. Skor di bawah 14 berkaitan dengan risiko tinggi timbulnya ulkus. Pencegahan
ulkus dapat dilakukan dengan membersihkan kulit, mengurangi gesekan dan regangan
dengan berpindah posisi, asupan gizi yang cukup, menjaga kelembaban kulit. Perlu
diingat komplikasi ulkus dekubitus adalah sepsis.

2.2 CHRONIC KIDNEY DISEASE3


I. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal

sepertiproteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal
kronikditegakkan

jika

nilai

laju

filtrasi

glomerulus

kurang

dari

60

ml/menit/1,73m.Batasan penyakitginjal kronik:3-5


1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan padapemeriksaan
pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan denganatau tanpa
kerusakan ginjal.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan
olehnilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan
nilailaju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi
penyakitginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal
denganfungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan
penurunanfungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan
yangsedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat
fungsiginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihatpada Tabel 1 dan
Tabel 2 berikut:3,4
Tabel 1.Klasifikasi CKD berdasarkan laju filtrasi glomerolus.
Derajat
1
2
3
4
5

LFG

Penjelasan

(mL/menit/1,73m2)

Kerusakan ginjal dengan LFG normal

90

atau
Kerusakan ginjal dengan LFG

60-89

ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG
sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
Gagal ginjal

30-59
15-29
<15 atau dialisis

Tabel 2.Klasifikasi CKD dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan atau dengan atau tanpa
peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).
GFR
(ml/min/1,73 m2)

Dengan Kerusakan
Ginjal
Den

Tanp

gan

a HT

Tanpa Kerusakan Ginjal


Dengan HT

Tanpa HT

> 90
60 89

HT
1
2

1
2

HT
HT dengan

Normal
Penurunan

penurunan

GFR

GFR
30 59
3
3
3
3
15 29
4
4
4
4
< 15 (atau dialisis)
5
5
5
5
3,6,7
II. Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
RenalRegistry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).
III. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut, infeksi
saluran kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor sosial dan lingkungan seperti
obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat
penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga,
berpendidikan rendah, dan terekspos dengan bahan kimia dan lingkungan tertentu.6
IV. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya
sudah tidak aktif lagi.3-5
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor (TGF). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.

Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus


maupun interstitial.4
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium.
Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin
serum dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal
mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal
tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG
yang teliti.4
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana
lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal).
Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan
konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada
stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal.
Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya mengalami stress akibat
infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal ini pula gejalagejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul.
Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress dan perubahan makanan atau
minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala
ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan yang teliti.4
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal
stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari
massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh.
Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar
5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan
meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap LFG yang mengalami
sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejalagejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan
plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi
oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus
meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan
biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap
sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal

kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau


dialisis.3,4
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat
stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadiumstadium tersebut.
V. Gambaran klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis,
saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan
kardiovaskular.3,4,5,10
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagalginjalkronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran
cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut ataupun kronik.3,4
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum
iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity(TIBC), feritin serum),
mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan
sebagainya.3,4,10
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping
penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang
dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia,
dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11-12 g/dL.4
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih
belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus
sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan
mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera
mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.5

c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf
mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada
conjunctiva

menyebabkan

gejala

red

eye

syndrome

akibat

iritasi

dan

hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal


ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik,
tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea
frost.5-6
e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti
konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada
pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien
dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).
f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
VI. Penegakan Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagalginjalkronik (GGK) dilihat dari anamnesis,
pemeriksaan

fisik,

gambaran

radiologis,

dan

apabila

perlu

histopatologis.3,4,9
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis

gambaharan

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan


pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
-

sesuai dengan penyakit yang mendasari;


sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic

frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;


gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
chlorida).3

b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya,
seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, dan
silinder.3
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:3
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
VII. Penatalaksanaan3-6,8,10-12
1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal


secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit.
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).
2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila
pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50 u/kg
IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian
menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali
dalam seminggu.10
Transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint)
dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan
obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia,
muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih
cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

c. Transplantasi ginjal
VIII. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan
terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan
mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium
akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%),
kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).5
IX. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah
mulaidilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya
pencegahanyang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal
dankardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah
makinkecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak
darah,anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian
beratbadan.6

2.3.HIPERTENSI
I.

Definisi Hipertensi
Menurut WHO tahun 2001, secara umum hipertensi adalah suatu keadaan
dimana dijumpai tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50
tahun dan tekanan darah mencapai 160/95 mmHg untuk usia di atas 50 tahun. Harus
dilakukan pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali untuk lebih
memastikan keadaan tersebut dan pada kejadian berulang dapat meningkatkan risiko
terhadap penyakit stroke, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal.
Pengertian ini juga sesuai dengan sistem klasifikasi yang ada pada saat ini, yaitu
sesuai dengan JNC VII. Klasifikasi hipertensi penting untuk penentuan diagnosis dan
kebijakan para klinisi dalam penanganan yang optimal mengingat komplikasi yang
dapat ditimbulkan.13

II.

Klasifikasi Hipertensi

Menurut JNC VII, tekanan darah dibagi menjadi 4 klasifikasi yaitu : normal,
pre-hipertensi, hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2. Klasifikasi ini berdasarkan
pada nilai rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah yang baik, yang
pemeriksaannya dilakukan pada posisi duduk dalam setiap kunjungan berobat.

Klasifikasi
Tekanan
Darah
Normal
Pre
Hipertensi
Hipertensi
Stage I

Tekanan
Darah
Sistolik
(mmhg)
<120

Tekana

Obat Awal

n Darah

Modifik

Diastoli

asi Gaya

Tanpa

Dengan

Hidup

indikasi

Indikasi

(mmhg)
< 80

Anjuran

Tidak perlu
menggunaka

120 139

80 89

Ya

n obat anti
hipertensi

140 159

90 99

Ya

Gunakan obat
yang spesifik
dengan
indikasi

Untuk semua

(risiko)
Gunakan obat

kasus

yang spesifik

gunakan

dengan

diuretik jenis

indikasi

thiazide

(risiko).

dengan

Kemudian

pertimbangan

tambahkan

ACEi, ARB,

dengan obat

BB, CCB,

anti hipertensi

atau
kombinasika

Hipertensi
Stage II

160

100

Ya

n
Gunakan

(diuretik,

kombinasi 2

ACEi, ARB,

obat

BB, CCB)

( biasanya

seperti yang

diuretik jenis

dibutuhkan

thiazide) dan
ACEi/ARB/B
B/CCB
Pasien dengan pre-hipertensi memiliki resiko dua kali lipat untuk berkembang
menjadi hipertensi. Dimana berdasarkan dari tabel tersebut, diakui perlu adanya
peningkatan edukasi pada tenaga kesehatan dan masyarakat mengenai modifikasi
gaya hidup dalam rangka menurunkan dan mencegah perkembangan tekanan darah ke
arah hipertensi. Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu strategi dalam
pencapaian tekanan darah target, mengingat hipertensi merupakan salah satu penyakit
degeneratif yang disebabkan oleh perilaku gaya hidup yang salah.14
III.

Penyebab hipertensi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan hipertensi
sekunder.

a. Hipertensi esensial ( primer/idiopatik ).


Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan
hemodinamik utama pada jenis ini adalah peningkatan resistensi perifer. Yang menjadi
penyebab jenis ini adalah faktor genetik ( terlihat dari adanya riwayat penyakit
kardiovaskuler dari keluarga, sensitivitas pada natrium, kepekaan terhadap stress,
peningkatan reaktivitas vaskular terhadap vasokonstriktor, dan resistensi insulin ) dan
faktor lingkungan ( makan garam berlebihan, stress psikis, dan obesitas ).
b. Hipertensi sekunder
Prevalensinya hanya sekitar 5-8% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi ini
dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi
endokrin), obat dan lain-lain.
IV.

Faktor risiko hipertensi


Faktor risiko terjadinya hipertensi yaitu, sebagai berikut :

Usia

Risiko terjadinya hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Pada usia
pertengahan tahun, laki laki lebih berisiko untuk mengalami hipertensi sedangkan

wanita lebih berisiko untuk mengalami hipertensi setelah menopause.


Ras
Hipertensi lebih sering terjadi pada ras hitam, seringkali terjadi pada usia muda jika
dibandingkan dengan ras kulit putih putih. Komplikasi serius, seperti stroke dan

serangan jantung, lebih sering terjadi pada ras kulit hitam.


Riwayat keluarga
Overweight atau obesitas
Individu dengan overweight dan obesitas memiliki risiko untuk mengalami
hipertensi. Semakin tinggi berat badan seseorang, semakin besar pasokan darah
yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan. Seiring
dengan peningkatan volume yang melalui pembuluh darah, maka tekanan pada

dinding kapiler pun meningkat.


Kurang aktif bergerak.
Individu yang kurang aktif secara fisik memiliki kecenderungan memiliki denyut
jantung lebih tinggi. Semakin tinggi detak jantung, semakin berat jantung harus
bekerja di setiap kontraksi dan semakin kuat tekanan pada arteri. Selain itu, kurang

aktivitas fisik meningkatkan risiko kegemukan.


Merokok
Merokok tidak hanya akan meningkatkan tekanan darah sementara tetapi zat kimia
yang terkandung di dalamnya akan merusak permukaan dinding arteri, hal ini akan

menyebabkan arteri akan menyempit, dan tekanan darah akan meningkat.


Diet tinggi garam ( sodium)
Diet tinggi garam dapat menyebabkan retensi cairan tubuh yang akan

meningkatkan tekanan darah.


Diet kurang potasium
Potasium membantu menyeimbangkan kadar sodium dalam sel. Diet kurang

potasium akan menyebabkan akumulasi sodium dalam darah.


Diet kurang vitamin D
Mekanisme defisiensi vitamin D dengan peningkatan tekanan darah belum
sepenuhnya dimengerti. Vitamin D diduga berefek pada enzim yang diproduksi

oleh ginjal yang akan mempengaruhi tekanan darah.


Alkohol
Mengkonsumsi banyak alkohol dapat menyebabkan tubuh melepaskan hormon
yang dapat meningkatkan tekanan darah dan detak jantung.
Stres
Penyakit kronik

Individu yang menderita kolesterol, diabetes, penyakit ginjal kronik dan sleep
apneu berisiko untuk mengalami hipertensi15
Komplikasi target Organ ( TOD) pada hipertensi:
- Hipertrofi ventrikel kiri
- Penebalan dinding arteri atau plag aterosklerosis
- Creatinin : pria
> 1,3-1,5 mg/dl
Wanita > 1,2-1,4mg/dl
- Mikroalbuminuria : 30-300mg/24jam
Albumin creatinin ratio : pria 22, wanita 31mg/g
Penyakit Penyerta pada hipertensi :

Penyakit serebrovaskular
Penyakit jantung : infark miokard, Angina
Revaskularisasi koroner
Gagal jantung kongestif

Penyakit ginjal :

nefropati diabetik
Gagal ginjal
Penyakit Vaskular perifer
Retinopati lanjut : perdarahan, eksudat dan papil edema

Langkah diagnosis diambil untuk mengetahui :


1. Tingkat tekanan darah yang tetap
2. Mengidentifikasi hipertensi sekunder.
3. Mengevaluasi faktor risiko lainnya, kerusakan target organ dan penyakit penyerta
Langkah- langkah pemeriksaan meliputi :14
1. Pengukuran tekanan darah berulang.
Tekanan darah mengalami variasi yang besar baik dalam sehari maupuin di
antara hari yang berbeda sehingga pengukuran tekanan darah harus dilakukan
beberapakali pada keadaan yang berbeda. Jika tekanan darah hanya meningkat
ringan maka pengukuran diulang selama beberapa bulan. JNC 7 menyebutkan
bahwa diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan rata-rata dari 2 atau lebih
2.

pengukuran posisi duduk pada setiap 2 atau lebih kunjungan.


Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang seharusnya dicari adalah :
- Lama dan level tekanan darah sebelumnya.
- Gejala yang mengarah pada hipertensi sekunder dan obat yang dapat
-

menyebabkan naiknya tekanan darah.


Gaya hidup seperti diet lemak hewani, garam dan alkohol, merokok, aktifitas

fisik dan penambahan berat badan sejak awal usia dewasa.


Riwayat penyakit dahulu : penyakit jantung koroner, gagal jantung, diabetes
melitus, gout, dislipidemi, bronkospasme, atau penyakit lainnya dan obat yang

dipakai.
Terapi antihipertensi sebelumnya.
Riwayat pribadi, keluarga dan lingkungan.

3. Pemeriksaan fisik
Pengukuran tekanan darah juga dilakukan pada lengan kontralateral.
Pemeriksaan fisik harus mencari adanya tanda kerusakan target organ, faktor
risiko ( obesitas sentral) dan kemungkinan penyebab hipertensi sekunder yaitu :
Tanda hipertensi sekunder :
- Tanda sindroma Cushing
- Stigmata kulit neurofibromatosis ( feokromositoma)
- Palpasi pembesaran Ginjal ( ginjal polikistik)
- Murmur abdomen ( hipertensi renovaskular)
- Murmur precordial ( Koartasio aorta)
- Tekanan darah femoral yang berkurang dan denyut yang terlambat dan
mengurang ( koartasio aorta)
Tanda kerusakan organ :
- Otak : murmur di arteri leher, defek motorik dan sensorik.
- Kelainan funduskopi.
- Jantung : tanda pembesaran jantung, irama jantung, gallop, ronki basah, dan
-

udem.
Arteri perifer : pulsasi yang hilang, berkurang atau asimetri, ekstremitas dingin

dan lesi kulit iskemi.


4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan rutin meliputi :Gula darah, Kolesterol total, HDL, TGA puasa, asam
urat, creatinin serum, Kalium serum, Hemoglobin dan hematokrit, urinalisis, dan
elektrokardiogram.
Pemeriksaan yang direkomendasikan :Ekokardiografi, USG karotis, C-reactive
Protein, Mikroalbuminuria, proteinuria kwantitatif, funduskopi.
Pemeriksaan lebih lanjut :
-

Hipertensi komplikasi: pemeriksaan fungsi otak, jantung dan ginjal.


Pemeriksaan hipertensi sekunder : pemeriksaan renin, aldosterone,

kortikosteroid, katekolamin, arteriografi, USG ginjal dan adrenal, MRI otak.


Terapi
Pedoman untuk memulai terapi anti hipertensi berdasarkan dua kriteria yaitu :
1. Total risiko kardiovaskuler
2. Level tekanan sistolik dan diastolik.
Rekomendasi terapi WHO/ISH tidak lagi terbatas pada hipertensi stage 1 dan 2
tetapi juga penderita dengan tekanan darah normal tinggi. Bukti- bukti penelitian
menunjukkan bahwa penderita dengan tekanan darah < 140/90 dengan riwayat stroke,
TIA, jika tidak diterapi memiliki insiden kejadian Kardiovaskular 17% dalam 4 tahun,
dan risiko turun24%dengan penurunan tekanan darah (PROGRESS Study), demikian
juga pada HOPE study terhadap penderita normotensi dengan risiko koroner tinggi.
Pemberian terapi pada penderita dengan tekanan darah normal tinggi terbatas pada
penderita dengan risiko tinggi sedangkan penderita dengan risiko sedang dan rendah
hanya dilakukan pengawasan ketat dan perubahan gaya hidup.

Modifikasi gaya hidup


Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan
efektifitas obat antihipertensi dan menurunkan risiko kardiovaskular. Sebagai contoh,
perencanaan diet natrium 1600 mg mempunyai efek yang sama dengan pemberian
terapi 1 macam obat.
Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi
Perkiraan Penurunan
Modifikasi

Rekomendasi

Tekanan darah

- Penurunan BB
- Perencanaan pola

Pertahankan BMI 18,5-24,9


Konsumsi kaya buah, sayur dan

sistolik
5-20 mmHg/ 10 kg
8-14 mmHg

makan
- Diet rendah Natrium

rendah lemak
Diet Natrium tidak lebih dari 2,4 g

2-8 mmHg

- Aktivitas Fisik

Na atau 6 g NaCl
Aktifitas aerobik

30

4-9 mmHg

- Konsumsi alkohol

menit sehari
Konsumsi alkohol tidak lebih dari

2-4 mmHg

sedang

minimal

2 gelas sehari.

Terapi Farmakologi
Bukti-bukti penelitian terbaru menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dengan
obat Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin receptor blockers
(ARBs), blocker, calcium chanel blocker dan thiazhide akan mengurangi semua
komplikasi hipertensi.
Thiazide, berdasarkan hasil beberapa penelitian , merupakan dasar dari terapi
hipertensi. Diuretik merupakan terapi hipertensi yang dapat mencegah komplikasi
kardiovaskuler yang tak tertandingi. Diuretik dapat meningkatkan efektivitas
antihipertensi dari berbagai jenis obat, dan bermanfaat dalam mencapai target tekanan
darah dan lebih baik dari golongan antihipertensi lain.
Thiazide seharusnya digunakan sebagai terapi awal bagi sebagian besar pasien
hipertensi, baik tunggal maupun kombinasi dengan obat lain.
Target Terapi
Target penurunan tekanan darah adalah kurang 140/90mmHg yang dapat
menurunkan komplikasi penyakit jantung.
Pada penderita hipertensi dengan diabetes dan penyakit ginjal maka targetnya
adalh kurang dari 130/80mmHg. Pada lanjut usia penurunan tekanan sistolik di bawah
140 mmHg sulit dicapai. Bilaproteinuria <1g/hari maka target tekanan darah adalah
130/85mmHg dan bila > 1g/hari maka targetnya adalah 125/75mmHg.
Strategi Terapi

Pada kebanyakan pasien, terapi dimulai bertahap, dan target tekanan darah
dicapai dalambeberapa minggu.Untuk mencapai target tekanan darah, tidak jarang
diperlukan kombinasi dengan beberapa obat.Pada Hipertensi Stage 1, terpi dimulai
dengan monoterapi. Penelitian ALLHAT, yangmerekrut stage 1 dan 2 menunjukkan
bahwa 60% penderita tetap menggunakan monoterapi. Penelitian HOT pada Hipertensi
stage 2 dan 3 menunjukkan hanya 25-40% penderita yang tetap monoterapi.Pada
penderita diabetes, kebanyakan penderita memerlukan sekurang-kurangnya 2 obat.
Berdasarkan tingkat tekanan darah awal dan ada atau tidaknya komplikasi,
tampaknya

baik

monoterapi

maupun

kombinasi

cukup

beralasan.Keuntungan

menggunakan monoterapi adalah bila penderita ternyata tidak toleran dengan obat
pertama maka dapat segera diketahui dan diganti obat lain. Sedangkan keuntungan terapi
kombinasi adalah lebih besar kemungkinan mengontrol tekanan darah dan komplikasi,
masing-masing obat dapat diberi dengan dosis kecil sehingga efek samping minimal.
Kombinasi obat yang direkomendasikan adalah :
Diuretik dan blocker
Diuretik dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonist
Calcium antagonist dan diuretik
Calcium antagonist dan B Blocker
Calcium antagonis dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonis
blocker dan blocker
Kombinasi lain : obat efek sentral demham ACE inhibitor dan angiotensin
receptor antagonist

Hipertensi pada Lanjut Usia16,17,18


Dua pertiga penderita lanjut usia (>65 tahun) menderita hipertensi. Patofisiologi
hipertensi dan penyakit jantung hipertensif pada usia lanjut sedikit berbeda dengan
yang terjadi pada usia yang lebih muda :
Akibat perubahan dinding aorta dan pembuluh darah akan terjadi peningkatan tekanan
darah sistolik tanpa perubahan tekanan darah diastolik. Peningkatan TD sistolik akan
meningkatkan beban kerja jantung dan pada akhirnya akan mengakibatkan penebalan
dinding ventrikel kiri sebagai usaha kompensasi/adaptasi.
Hipertrofi ventrikel ini yang awalnya adalah untuk adaptasi lama-kelamaan malah akan
menambah beban kerja jantung dan menjadi suatu proses patologis.
Terjadi penurunan fungsi ginjal akibat penurunan jumlah nefron sehingga kadar renin
darah akan turun. Sehingga sistem renin-angiotensin diduga bukan sebagai penyebab
hipertensi pada lansia.

Terjadi perubahan pengendalian simpatis terhadap vaskular. Reseptor -adrenergik


masih berespons tapi reseptor -adrenergik menurun responsnya.
Terjadi disfungsi endotel sehingga mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh
darah perifer.
Terjadi kecenderungan labilitas tekanan darah dan mudah terjadi hipotensi postural
(penurunan tekanan darah sistolik sekitar 20mmHg atau lebih yang terjadi akibat
perubahan posisi dari tidur/duduk ke posisi berdiri). Ini terjadi akibat berkurangnya
sensitivitas baroreseptor dan menurunnya volume plasma.
Proses aterosklerosis yang terjadi juga dapat menyebabkan hipertensi.
Terapi pada lanjut usia prinsipnya sama dengan terapi hipertensi golongan usia muda
tetapi dengan dosis awal yang lebih rendah. 2 Dalam beberapa penelitian menunjukkan
bahwa yang menjadi lini pertama pada terapi hipertensi sistolik terisolasi adalah
diuretik dan Calcium antagonis dihydropyridine.
Jenis-jenis hipertensi pada usia lanjut
1. Hipertensi sistolik saja
Hipertensi ini terdapat 6-12% penderita diatas usia 60 tahun, terutama pada wanita.
Insidensi meningkat dengan bertambahnya usia
2. Hipertensi diastolik
Terdapat antara 12-14% penderita diatas usia 60 tahun terutama pada pria. Insiden
meningkat dengan bertambahnya usia.
3. Hipertensi sistolik-diastolik
Terdapat antara 6-8%% penderita diatas usia 60 tahun lebih banyak pada wanita. Insiden
meningkat dengan bertambahnya usia.
Komplikasi
Hipertensi merupakan penyakit primer yang memerlukan penanganan yang tepat
sebelum berkomplikasi ke penyakit lainnya seperti gagal jantung, infark miokard,
penyakit jantung koroner, dan penyakit ginjal yang akhirnya dapat berakhir pada
kerusakan organ. Keadaan hipertensi yang disertai dengan penyakit penyerta ini
membutuhkan obat antihipertensi yang tepat yang berdasarkan pada beragam hasil
percobaan klinis. Penanganan

dengan kombinasi obat kemungkinan dibutuhkan.

Penentuannya disesuaikan dengan penilaian pengobatan sebelumnya, tolerabilitas


obat serta tekanan darah target yang harus dicapai.16,17

V.

Penatalaksanaan hipertensi16

Modifikasi gaya hidup

(<140/90 mmHg) atau (<130/80 mmHg pada pasien DM, penyakit ginjal kronik, 3 faktor risiko atau adany

Obat antihipertensi inisial

Dengan indikasi khusus

Tanpa indikasi khusus

indikasi khusus tersebut ditambah obat antihipertensi


BB, CCB) tingkat II
Hipertensi(diuretik
tingkatACEi,
I
Hipertensi
(sistolik 140-159 mmHg atau(sistolik
diastolik
160
90-99
mmHg
mmHg)
atau diastolik >100 mmHg)
Diuretik golongan Tiazide. Dapat dipertimbangkan
Kombinasi duapemberian
obat. Biasanya
ACEi, diuretik
BB, CCBdengan
atau kombinasi)
ACEi atau BB at

Target tekanan darah tidak terpenuhi

kan dosis obat atau berikan tambahan obat antihipertensi lain. Pertimbangkan untuk konsultasi dengan dokt

2.4 Anemia Normositik Normokromik19,20


Anemia normositik normokromik adalah suatu bentuk anemia dimana
hemoglobinisasi sel darah merah normal ( 26-32pg/dl, equivalen dengan 1,61-1,99
fmol/l) dan rata-rata MCV normal ( 77-100 fl), hal tersebut dapat dijelaskan secara
luas oleh 3 mekanisme berikut: a. Perdarahan akut dengan sisa cadangan metabolik
yang sufficient, b. Peningkatan turnover sel yang mana besi yang dibebaskan segera
digunakan, sehingga kondisi hipokromia tidak muncul ( tipikal pada semua anemia
hemolitik kecuali thalasemia), c. Supresi produksi sel pada kondisi suplai besi normal
( jenis anemia hipoplastik-aplastik yang disebabkan oleh berbagai hal).
Penyebab anemia normositik normokromik dibagi menjadi:
a. Peningkatan jumlah retikulosit
Perdarahan akut
Anemia hemolitik
b. Jumlah retikulosit normal atau menurun
Anemia penyakit kronik
Hipersplenisme
Penyakit endokrin
Penyakit sumsum tulang primer
Mielosupresi terkait penggunaan obat atau alkohol
Anemia fisiologis pada kehamilan
Alur diagnosis pada anemia normositik normokromik :

Diagnosis Diferensial Anemia Akibat Penyakit Kronik


Anemia

Anemia Akibat

Defisiensi

Penyakit
Kronik

Derajat

Besi
Ringan

anemia
MCV
MCH

sampai berat
Menurun
Menurun

Trait

Anemia

Thalassemia

Sideroblastik

Ringan

Ringan

Menurun/N
Menurun/N

Menurun
Menurun

Ringan
sampai berat
Menurun/N
Menurun/N

Besi serum
TIBC

Menurun <
30
Meningkat >

Saturasi

360
Menurun <

transferin
Besi sumsum
tulang

Normal/

Normal/

Menurun < 300

Normal/

Normal/

Menurun/Norma Meningkat >

Meningkat >

15 %

l 10 20 %

20 %

20 %
Positif dgn

Negatif

Positif

Positif kuat

ring
sideroblast

Protoporfirin
eritrosit
Feritin serum
Elektrofoesis
Hb

Menurun < 50

Meningkat

Meningkat

Normal

Normal

Menurun <

Normal 20

Meningkat >

Meningkat >

20 g/l

200 g/l

50 g/l

50 g/l
Hb A2
meningkat

2.5 Katarak Senilis Immature21,22,23


Katarak adalah suatu keadaan kekeruhan lensa. Penuaan adalah sebab paling
umum dari katarak, namun beberapa faktor lain dapat terlibat, termasuk trauma,
toksin, penyakit sistemik (diabetes mellitus), merokok, dan keturunan. Katarak dapat
terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi
akibat kedua-duanya. Sebagian besar kasus bersifat bilateral, walaupun kecepatan
perkembangan masing-masing jarang sama. Kekeruhan lensa tersebut dapat
menyebabkan lensa menjadi tidak transparan sehingga pupil akan berwarna putih atau
abu-abu. Kekeruhan ini dapat ditemukan pada berbagai lokalisasi di lensa seperti pada

korteks, nucleus, subkapsular. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien katarak


meliputi pemeriksaan tajam pengelihatan, slit lamp, funduskopi, serta tonometri bila
memungkinkan.
Klasifikasi katarak
Berdasarkan usia :
1. Katarak kongenital:

umur <1 tahun

2. Katarak juvenil

umur 1-<20 tahun

3. Kataral pre senilis : umur 20-<50 tahun


4. Katarak senilis

: umur >50 tahun

a.Berdasarkan stadium :
Insipien
Ringan
Normal

Kekeruhan
Cairan lensa

Imatur
sebagian
Bertambah

Matur
Seluruh
Normal

(air masuk)

Hipermatur
Masif
Berkurang
(air+massa

Iris
COA
Angulus

Normal
Normal
Normal

Terdorong
Dangkal
Sempit

Normal
Normal
Normal

lensa keluar)
Tremulans
Dalam
Terbuka

iridocornealis
Shadow test
Penyulit

(-)
(-)

(+)
Glaukoma

(-)
(-)

Pseudopos
Uveitis +
glaucoma

Penyebab katarak:
1. Proses penuaan
2. Infeksi intrauterine (rubella, toksoplasmosis, histoplasmosis, inklusi sitomegalik)
3. Komplikasi penyakit intraokuler lain seperti uveitis, glaukoma, myopia maligna,
ablasio retina, tumor intraocular, retinitis pigmentosa.
4. Penyakit

sistemik

seperti

galaktosemia,

diabetes

mellitus,

hipoparatiroid,

hipokalsemik, distrofi miotonik, dermatitis atopik, aminoasiduria, homosisteinuri,


5. Trauma (katarak traumatika) pada trauma fisik (trauma tembus atau tak tembus),
radiasi sinar UV, sinar rontgen, sinar neutron, elektrik shock, dan termal shock
6. Obat-obatan

(naftalin,

dinitrofenol,

kortikosteroid,

fenotiazin,

echothiopate,

pilocarpine, phospoline iodine, amiodaron, klorpromazin, busulfan, ergot, triparanol


MER-29), metal (Cu dan Fe), dan defisiensi vitamin A,B,C dan E.
7. Pasca EKEK (Katarak sekunder)
Katarak senilis

Katarak senil adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut,
yaitu usia diatas 50 tahun. Penyebab katarak senilis sampai sekarang tidak diketahui
secara pasti. Adapun beberapa konsep teori penuaan sebagai penyebab katarak senilis
antara lain :
1. Teori a biologic clock
2. Teori imunologik
3. Teori mutasi spontan
4. Teori a free radical
5. Teori a cross link
Perubahan lensa yang terjadi pada usia lanjut :

Kapsul lensa
Menebal dan mengalami sklerosis kurang elastis (1/4 dibanding anak)
daya akomodasi pun berkurang (presbiopia)
Lamel kapsul berkurang atau kabur
Terlihat bahan granular

Epitel lensa
Makin tipis
Sel epitel (germinatif) pada ekuator bertambah besar dan berat
Bengkak dan vakuolisasi mitokondria yang nyata

Serat lensa
Rusak dan menjadi lebih ireguler, terutama pada korteks sehingga korteks
bertambah tipis
Sinar UV semakin lama akan merusak protein nukleus (histidin, triptifan,
metionin, sistein dan tirosin) membentuk brown sclerotic nucleus.

Tatalaksana katarak
Terapi utama katarak adalah pembedahan yakni dengan EKIK ataupun EKEK dengan
pemasangan IOL. Untuk katarak stadium insipien ataupun imatur dapat diberikan
medikamentosa seperti catalin, catarlen, quinax, dsb yang diharapkan dapat mencegah/
menghambat progresifitas kekeruhan lensa.
Indikasi ekstraksi katarak
1. Pada bayi (<1 tahun): bila fundus tidak terlihat. Bila masih dapat dilihat,
dibiarkan.
2. Pada usia lanjut :

katarak

Bila katarak menimbulkan penyulit seperti uveitis atau glukoma, meskipun

visus masih baik untuk bekerrja, dilakukan operasi juga setelah keadaan menjadi
tenang.

Bila sudah masuk dalam stadium matur

Bila visus meskipun sudah dikoreksi, tidak cukup untuk melakukan pekerjaan

sehari-hari. Batasnya pada orang yang buta huruf 5/50, pada orang terpelajar 5/20.
Terapi pembedahan :
1. EKEK
Dilakukan dengan merobek kapsul anterior, mengeluarkan nukleus dan korteks. Sebagian
kapsul anterior dan seluruh kapsul posterior ditinggal. Cara ini umumnya dilakukan pada
katarak dengan lensa mata yang sangat keruh sehingga sulit dihancurkan dengan teknik
fakoemulsifikasi. Selain itu, juga dilakukan pada tempat-tempat dimana teknologi
fakoemulsifikasi tidak tersedia. Teknik ini membutuhkan sayatan yang lebar, karena lensa
harus dikeluarkan dalam keadaan utuh. Setelah lensa dikeluarkan, lensa buatan (IOL)
dipasang untuk menggantikan lensa asli, tepat di posisi semula. Lalu dilakukan penjahitan
untuk menutup luka. Teknik ini dihindari pada penderita dengan zonulla zinii yang rapuh.21,23
a. Keuntungan :
Luka insisi lebih kecil (8-12 mm) dibanding EKIK
Karena kapsul posterior utuh maka :
Mengurangi resiko hilangnya vitreus intra operasi
Posisi anatomis yang lebih baik untuk pemasangan IOL
Mengurangi insidensi ablasio retina, edema kornea, perlengketan
vitreus dengan iris dan kornea
Menyediakan barier yang menahan pertukaran beberapa molekul
antara aqueous dan vitreus
Menurunkan akses bakteri ke kavitas vitreus yang dapat menyebabkan
endofthalmitis.
b. Kerugian :
Dapat timbul katarak sekunder.
2. EKIK
Teknik ini sudah jarang digunakan setelah adanya teknik EKEK. Pada EKIK dilakukan
pengangkatan seluruh lensa, termasuk kapsul lensa. Pada teknik ini dilakukan sayatan 1214mm, lebih besar dibandingkan dengan teknik EKEK. Dapat dilakukan pada zonula zinn
yang telah rapuh/ berdegenerasi/ mudah diputus.21
a. Keuntungan :
Tidak timbul katarak sekunder

Diperlukan instrumen yang tidak terlalu canggih (lup operasi, cryoprobe,


forsep kapsul)
b. Kerugian :
Insisi yang lebih besar dapat mengakibatkan :
Penyembuhan dan rehabilitasi visual tertunda
Astigmatisma yang signifikan
Inkarserasi iris dan vitreus
lebih sering menimbulkan penyulit seperti

glaukoma,

uveitis,

endolftalmitis.
3. Fakoemulsifikasi
Pada fakoemulsifikasi, dengan menggunakan mikroskop operasi, dilakukan
sayatan yang sangat kecil (3mm) pada kornea. Kemudian, melalui sayatan tersebut
dimasukkan sebuah pipa melewati COA-pupil-kapsul lensa. pipa tersebut akan
bergetar dan mengeluarkan gelombang ultrasonik yang akan menghancurkan lensa
mata. Pada saat yang sama, melalui pipa ini dialirkan cairan garam fisiologis atau
cairan lain sebagai irigasi untuk membersihkan kepingan lensa. Melalui pipa tersebut
cairan diaspirasi bersama sisa-sisa lensa.22
Teknik ini menghasilkan insidensi komplikasi luka yang lebih rendah, proses
penyembuhan dan rehabilitasi visual lebih cepat. Teknik ini membuat sistem yang
relatif tertutup sepanjang fakoemulsifikasi dan aspirasi, oleh karenanya mengontrol
kedalaman COA sehingga meminimalkan risiko prolaps vitreus.22
Persiapan operasi :
1. Status oftalmologik
Tidak dijumpai tanda-tanda infeksi
TIO normal
Saluran air mata lancar
2. Keadaan umum/sistemik
Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin, waktu pembekuan, waktu
perdarahan, kadar gula darah dalam batas normal
Tidak dijumpai batuk produktif
Pada penderita DM atau hipertensi, kedaan penyakit tersebut harus
terkontrol.
Perawatan pasca operasi :
1
2
3

Mata dibebat beberapa hari sampai mata merasa enak


Diberikan tetes antibiotika dengan kombinasi antiinflamasi
Tidak boleh mengangkat benda berat 6 bulan

4
5

Kontrol teratur untuk evaluasi luka operasi


Bila tanpa pemasangan IOL, maka mata yang tidak mempunyai lensa lagi (afakia)
visusnya 1/60, sehingga perlu dikoreksi dengan lensa S+10D untuk melihat jauh.
Koreksi ini diberikan 3 bulan pasca operasi. Sedangkan untuk melihat dekat perlu
diberikan kacamata S+3D.

Pasien ini didiagnosis sebagai katarak senilis matur dengan dasar pemikiran sebagai berikut:
1 Anamnesis:
- Penderita berusia 80 tahun
- Penglihatan mata kanan dan kiri kabur, perlahan-lahan semakin kabur dengan
kondisi mata tenang.
- Mata merah (-), cekot-cekot (-), nerocos (-), nyeri (-), keluar kotoran mata (-), silau
(-)
2. Pemeriksaan oftalmologis:
- Visus OD 1/300 visus OS 3/60
- Pada pemeriksaan lensa OD kekeruhan merata dan iris shadow (-) , OS kekeruhan
tak merata dan iris shadow (+)
- Pemeriksaan fundus reflek OD negatif, OS positif suram
Dalam kasus ini, pada penderita dapat dilakukan operasi Ekstraksi Katarak Ekstra
Kapsular dan pemasangan intraocular lens pada mata kanan terlebih dahulu. Untuk
operasi katarak mata kiri dilakukan setelah luka post operasi mata kanan sembuh
dahulu

BAB III
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki 86 tahun datang ke RSDK (31/12/2013) dengan keluhan lemas.


Tiga minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mulai merasa lemas. Lemas mendadak
muncul dan terasa di seluruh badan. Lemas dirasakan sejak bangun tidur.Lemas membuat
pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Aktivitas seperti berpindah dari satu
ruangan ke ruangan lain, makan, mandi harus dibantu oleh anggota keluarga yang lain.Lemas
dirasakan sepanjang hari. Lemas diperberat dengan aktivitas. Lemas diperingan bila
beristirahat. Gejala penyerta meliputi pusing dan mual. Buang Air Kecil (BAK) sedikitsedikit warna kuning jernih, frekuensi kurang dari 5 kali sehari. Pasien juga merasakan
anyang-anyangan dan nyeri BAK. Terdapat riwayat mondok 6 bulan yang lalu di RSDK
dikatakan sakit ginjal. Tidak terdapat riwayat sakit darah tinggi, tidak terdapat riwayat sakit
kencing manis, dan tidak terdapat riwayat sakit jantung. Kakak pasien mempunyai riwayat
sakit darah tinggi, sudah meninggal. Pasiendulu bekerja sebagai buruh serabutan (tukang
bangunan, tukang pikul barang, dll), berhenti semenjak tahun 2006. Istri 70 tahun, ibu cuci
rumah tangga. Tinggal bersama istri anak ke-3, ke-4, ke-5 dan ke-7 serta dengan 6 orang
cucu. Rumah sendiri, permanen, lantai keramik, atap genteng, tanpa loteng. Lingkungan
tempat tinggal di daerah ketinggian, tidak banjir, akses dari jalan besar 100 meter.
Hubungan penderita dengan anak2nya baik. Mempunyai usaha kos-kosan 13 kamar dari

patungan anak-anaknya. Biaya hidup dari anak ke-3 namun yang lainnya juga membantu.
Kesan sosial ekonomi cukup. Pembiayaan dengan BPJS.
Pada geriatri tidak hanya dinilai dari aspek medik saja, namun juga melakukan
assesment dari segi fisik, psikologik, dan sosial ekonomi. Interaksi dari 3 komponen
tersebut menggambarkan keadaan fungsional organ/dan atau tubuh secara
keseluruhan, yang dapat dimengerti, merupakan gambaran kesehatan secara luas
pada usia lanjut. Pada usia lain hal ini tidak terjadi, dan keadaan fisik, psikis, dan
sosial ekonomi seolah-olah tidak saling berkaitan. Penyakit pada usia lanjut berbeda
tampilan dan perjalanan alamiahnya dibanding penyakit pada golongan populasi
muda. Pada populasi muda setiap penyakit pada satu organ yang disebabkan oleh agen
tertentu akan memberikan gejala dan tanda yang khas bagi penyakit dan organ yang
bersangkutan. Pada populasi usia lanjut hal tersebut tidak bisa dilakukan, karena
gejala dan tanda yang timbul adalah tidak khas dan menyelinap, karena merupakan
akibat dari berbagai keadaan penurunan fisiologik dan berbagai keadaan patologik
yang bercampur menjadi satu ditambah lagi dengan adanya pengaruh lingkungan dan
sosial-ekonomi serta gangguan psikis. Oleh karena itu untuk mendiagnosis kelainan
atau penyakit yang ada perlu diadakan analisis multidimensional, yang mencakup
bukan saja keadaan fisik, tetapi juga keadaan psikis, sosial, dan lingkungan dari
penderita.
Setelah dilakukan assesment yang mencakup 3 komponen tersebut, pasien ini menderitaCKD
stage V, infiltratparu, hipertensistage I, anemianormositiknormokromik, hipoalbuminemia,
hiperuricemia, immobilitas, gangguankognitifringan, dankataraksenilisimmature. Pasien
memiliki segi pendukung yang baik. Selama ini, anak pasien selalu memperhatikan dan
merawat pasien, bahkan anak pasien yang mengantarkan pasien berobat ke Puskesmas dan
Dokter bila sakit. Dari segi lingkungan rumah pasien juga sudah mendukung untuk
kesembuhan dan keamanan pasien, karena ventilasi dan pencahayaan yang cukup. Mobilitas
pasien untuk berjalan mulai terbatas karena lemas. Fungsi depresi pada pasien ini : baik /
tidak depresi; Mini Mental Score Examination : probable gangguan kognitif ; Skor Norton
(mengukur risiko dekubitus) : kemungkinan kecil terjadi dekubitus; indek Katz (menilai
AKS) : F, mandiri, kecuali bathing, dressing, toileting, transferring, & 1 fungsi lain;
kuesioner status mental : gangguan intelek ringan. Sindroma geriatri : sindroma serebral (-),
konfusio (-), gangguan otonom (-), inkontinensia (+), jatuh (-), kelainan tulang atau patah
tulang (-), dekubitus (-), AKS : Immobility (+), Impairment of vision (+), intellectual
impairment (-), impecunity (-), infection (+).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak baik, terpasang


infus, dispneu(-), kesadaran komposmentis, lemas (+).TD:145/80mmHg (berbaring),
RR: 26x/menit, N: 96x/menit,reguler, isi dan tegangan cukup, t: 36,70C (aksiler). Pada
pemeriksaan leher didapatkan JVP R+0 cm. Pemeriksaan jantung didapatkan ictus
cordis teraba di SIC VI 1 cm lateral linea midclavicularis sinistra. Pada perkusi
didapatkan batas atas SIC II linea parasternal, batas kanan SIC II linea parasternalis
dekstra, batas kiri SIC VI 1 cm lateral linea mid clavicularis sinistra. Pada auskultasi
tidak didapatkan bising maupun gallop. Pemeriksaan fisik paru depan didapatkan
pada perkusi redup di SIC V-VI hemitorax dextra dan redup di SIC II-III hemitorax
sinistra. Pada auskultasi paru depan suara tambahan ronkhi basah kasar setinggi SIC
V hemitorax dextra,suara dasar bronkial, serta ronkhi basah kasar di SIC II-III
hemitorax sinistra, suara dasar bronkial. Suara tambahan ronkhi basah halus di basal
paru kiri depan, suara dasar vesikuler. Pada perkusi paru belakang didapatkan redup di
vertebra Th-VII hemitorax dextra dan redup di Th-IV-V hemitorax sinistra. Pada
auskultasi paru belakang didapatkan ronkhi basah kasar di V-Th-VII hemitorax
dextra, suara dasar bronkial dan ronkhi basah kasar di V-Th-IV-V hemitorax dextra,
suara dasar bronkial, serta ronkhi basah halus di basal paru kiri belakang, suara dasar
vesikuler.
Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hemoglobin, hematokrit, eritrosit
menurun. Kadar ureum dan kreatinin meningkat. Kadar albumin menurun. Kadar asam urat
meningkat. Pemeriksaan x-foto thorax didapatkan kesankardiomegali dan terdapat infiltrat di
perikardial kanan.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diatas
didapatkan beberapa diagnosis. Diagnosis pertama yaitu Chronic Kidney Disease (CKD)
stage V. Pada anamnesis didapatkan lemas di seluruh tubuh sejak bangun tidur. Pasien tidak
dapat melakukan aktivitas berat dengan berpindah tempat dan menjadi tergantung kepada
anaknya. Diberikan CaCO3 3x500 mg untuk pengendalian terhadap hiperfosfatemia dan
pencegahan terjadinya osteodistrofi renal, asam folat 3x400 g untuk mencegah kondisi
yang memperparah anemia, bicnat 3x2 tab untuk mengatasi asidosis metabolic dan terapi
pengganti ginjal dengan hemodialisa karena kadar ureum > 150 mg%.
Hipertensi stage I diberikan kombinasi obat golongan ACE-inhibitor yaitu
captopril 3x12,5 mg dan golongan diuretik

yaitu furosemid 3x1 amp. Anemia

mikrositik hipokromik sebagai akibat dari penyakit kronis karena TIBC rendah dan
kadar ferritin tinggi, diberi transfusi PCR karena Hb < 10 gr%.

Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 5 Januari 2014, didapatkan kadar Hb


8,4 gr%, hematokrit 27%, eritrosit 3,4 juta/mmk, dan MCH 24,5 pg. Dari hasil
tersebut, dapat didiagnosa anemia pada pasien ini adalah anemia normositik
normokromik. Jenis ini bisa terdapat pada anemia penyakit kronik atau intake yang
kurang. Pasien akan terus dipantau dan dicari etiologinya apakah karena penyakit
kronik atau intake yang kurang dengan pemeriksaan gambaran darah tepi, hitung
jenis, retikulosit, Fe, Ferritin, TIBC, dengan monitoring Hb. Anemia penyakit kronis
bila retikulosit normal/menurun, serum Fe menurun, dan ferritinnormal/meningkat.
Pasien diedukasi untuk menghabiskan makanan dari RS dahulu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kris Pranarka. Tinjauan Umum Sindroma Geriatri. Dalam Symposium Geriatric
Syndrome : Revisited, Semarang 1-3 April 2011, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2011.
2. Broclehurst J. C., Allen, S. C. Major Geriatric Problems. Geriatric Medicine For Student.
Churcill-Livingstone, 3 RD, Ed, 35-117, 1987. =
3. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti
S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
4. Editorial.
Gagal
Ginjal
Kronik.

Diunduh

dari:

http://emedicine.

medscape.com/article/238798-overview, 05Februari 2011.


5. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification,

and

Stratification.

Diunduh

dari:http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 05Februari


2011.
6. Editorial.

Glomerulonefritis.

Diunduh

com/article/777272-overview, 22 Agustus 2010.


7. Editorial.
Tekanan
Darah

dari:
Tinggi.

http://emedicine.medscape.
Diunduh

http://id.wikipedia.org/wiki/Tekanan_darah_tinggi, 05Februari 2011.

dari:

8. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R, Sidartawam


S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm 168-70.
9. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of
Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.
10. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8. Jakarta: CMP
Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.
11. Suwitra, Ketut. Penyakit Ginjal Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta :Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI,2007.
12. Sukandar, Enday. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Bandung : Pusat Informasi
Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNPAD,2000. =
13. Sindroma Geriatri. Dalam Boedhi-Darmojo. Buku Antar Geriatri, Edisi IV, 2009.
14. Kris Pranarka. Geriatrics Giants. Simposium Geriatri, F. K. Univ. Sam Ratulangi,
Manado, 1999.
15. Kris Pranarka. Geriatrics Giants. Temu Ilmiah Nasional I PERGEMI., Semarang 2002.
16. Endang Kustiowati. Patofisiologi Stroke. Dalam Symposium Geriatric Syndrome :
Revisited, Semarang 1-3 April 2011, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
2011.
17. Rosamond W, Flegal K, Furie K, et al. Heart disease and stroke statistics-2008 update: a
report from the American Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistics
Subcommittee.Circulation 2008;117:e25-146.
18. Adams HP Jr, Bendixen BH, Kappelle LJ, et al. Classification of subtype of acute
ischemic stroke. Definitions for use in a multicenter clinical trial. TOAST. Trial of Org
10172 in Acute Stroke Treatment. Stroke 1993;24:35-41.
19. Bakta I Made. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
20. Wall M, Street A. Investigating normocytic normochromic anemia in adult.
MedicineToday: Vol 7 No 3, Maret 2006.
21. Ilyas S. Trauma mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK UI; 1998
22. Bobrow JC, Mark HB, David B et al. Section 11: Lens and Cataract. Singapore :
American Academy of Ophthalmology; 2008.
23. www.wartamedika.com

Anda mungkin juga menyukai