Kasus Geriatri
Kasus Geriatri
Pembimbing :
dr. Dwi Ngestiningsih, M.Kes, Sp.PD
Disusun oleh:
Restiana Hilda I.
Raissa Vaniana H.
Leonardo Cahyo N.
BAB I
ASSESMENT GERIATRI
IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Tn. MZ
No. CM
:C463444
Umur
:72 tahun
Agama
: Islam
Pendidikan
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Alamat
Masuk RSDK
:8 Februari 2013
Status
: BPJS
I. DATA DASAR
A. Data Subyektif
Autoanamnesis dengan penderita dan alloanamnesis dengan anak penderita pada tanggal
10 Februari 2014, pukul 13.30 WIB di bangsal Geriatri RSUP Dr. Kariadi Semarang
Keluhan utama :Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Anak 2
Anak 3
Anak 4
Anak 5
Kesan
Biaya
: BPJS
Riwayat Fungsional
Sebelum masuk RS
Dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti berjalan di dalam dan sekitar rumah
masih baik. Untuk buang air kecil dan buang air besar penderita dapat melakukannya
dengan mandiri tanpa bantuan, kecuali saat sakit. Untuk aktivitas seperti makan, mandi
dan berpakaian pasien juga masih dapat melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.
Saat dirawat di RS
INDEKS KATZ ( Menilai AKS)
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Aktivitas
Bathing
Dressing
Toilletting
Transfering
Continence
Feeding
Mandiri
Memerlukan bantuan
hanya pada 1 bagian
tubuh
(bagian
belakang / anggota
tubuh yang terganggu)
atau dapat melakukan
sendiri
Menaruh pakaian &
mengambil
pakaian,
memakai
pakaian,
brace, & menalikan
sepatu
dilakukan
sendiri
Pergi ke toilet, duduk
berdiri dari kloset,
memakai
pakaian
dalam, membersihklan
kotoran
(memakai
bedpan pada malam
hari saja & tidak
memakai
penyangga
mekanik)
Berpindah dari dan ke
tempat
tidur
&
berpindah dari dan ke
tempat
duduk
(memakai atau tidak
memakai alat bantu)
BAK & BAB baik
Mengambil makanan
dari piring / yang
lainnya & memasukkan
ke dalam mulut (tidak
Tergantung
Memerlukan
bantuan
dalam
mandi lebih dari 1
bagian tubuh dan
saat masuk serta
keluar
dari
bak
mandi / tidak dapat
mandi sendiri
Tidak
dapat
memakai
pakaian
sendiri atau tidak
berpakaian sebagian
Memakai bedpan
atau comode atau
mendapat bantuan
pergi ke toilet atau
memakai toilet
Tidak
dapat
melakukan / dengan
bantuan
untuk
berpindah dari & ke
tempat tidur / tempat
duduk
Tidak
dapat
mengontrol sebagian
/ seluruhnya dalam
BAB
&
BAK,
dengan
bantuan
manual / kateter
Memerlukan
bantuan
untuk
makan atau tidak
dapat
makan
6-1-2014
Tergantung
Tergantung
Tergantung
Tergantung
Tergantung
Mandiri
4
3
2
1
4
3
4
2
1
4
3
2
1
4
3
2
4
1
Pasien biasanya makan 3x/hari dengan nasi 1 piring dan habis. Lauk sayur dan
tempe tahu, ikan asin,udang, ayam, telur. Masakan di rumah sehari-hari sering masak
sendiri, masih menggunakan MSG dan garam.
Pasien minum air putih sekitar 3/4 botol aqua besar per hari. Hampir setiap pagi
pasien minum teh manis setiap hari 1 gelas dengan 1 sendok teh gula pasir.
Riwayat Psikiatri
Sebelum masuk RS, kegiatan sehari-hari pasien adalah bekerja sebagai pembuat loster. Selain
itu, pasien jarang melakukan aktivitas di luar rumah. Hubungan dengan tetangga masih baik.
Waktu luang digunakan untuk menonton TV, mengobrol dengan keluarga, tetangga, dan
mengurus cucu.
Pemeriksaan Status Mental
Keadaan umum
: normoaktif
Kesadaran
: jernih
Sikap
Mood
: eutimik
Afek
: serasi
Gangguan Persepsi
Bentuk Pikir
: realistik
Proses Pikir
: lancar
Isi Pikir
: waham (-)
Apakah..
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
kesenangan anda?
3
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri anda?
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
10
Tidak
11
Ya
Tidak
12
Ya
Tidak
13
Ya
Tidak
14
Ya
Tidak
15
Tidak
JAWABAN
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
Bila penderita tidak pernah sekolah, nilai kesalahan diperbolehkan +1 dari nilai di atas
Hasil =0 kesalahan
Kesan =Baik
Jumlah skor : 30
: Normal
17-24
0-16
Skor
: 28
Kesan
: Normal
B. DATA OBJEKTIF
1. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik dilakukan tanggal 10 Februari 2014 pukul 10.00 di Bangsal
Geriatri RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Keadaan umum
Kesadaran
Tanda vital
: TD
: 160/100mmHg (berbaring)
RR
: 26x/menit
Status gizi
: 37,70C
:BB
: 47kg
TB
:155cm
IMT
:19,5kg/m2(normoweight)
Kepala
: mesosefal
Kulit
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
:bibir pucat (-), bibir kering (-), bibir sianosis (-), gusi berdarah (-),
pursed lip breathing (-), gigi palsu (-), coated tongue (+)
Tenggorok
Leher
Thorax
Pulmo depan
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pulmo belakang
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Ekstremitas :
Ssuperior
inferior
Refleks fisiologis
+N/+N
+N/+N
Refleks Patologis
-/-
-/-
Tonus
N/N
N/N
Kekuatan
5-5-5/5-5-5
5-5-5/5-5-5
Sensibilitas
+N/+N
+N/+N
Edema
-/-
-/-
Akral Dingin
-/-
-/-
2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hematologi (08/02/2014)
Pemeriksaa
n
Hasil
Satuan
Nilai rujukan
Hemoglobin
10,9
g/dL
9.5 19.60
Hematokrit
33,4
35 47
Eritrosit
4,1
106/uL
4.4 59
MCH
26,4
Pg
27,00 32,00
MCV
81,1
fL
76 96
MCHC
32,6
g/dL
29.00 36.00
Leukosit
11,8
103 /uL
3.6 11.0
Trombosit
351,1
103 /uL
150 400
RDW
14,67
11,60 14,80
MPV
GDS
9,18
128
fL
mg/dl
4,00 11,00
80 - 140
28
mg/dl
1539
Creatinin
0.94
mg/dl
0.51.5
Natrium
135
mmol/l
136 145
Kalium
3.7
mmol/l
3.5 5.1
Chlorida
101
mmol/l
98 107
Ureum
ml
( 140umur ) x berat badan ( 14072 ) x 47
menit
LFG
=
=
=47,22
1,73 m 2
72 x 0,94
mg
72 xkreatininplasma
dl
( )
Klasifikasi PGK stadium III, LFG = 47,22 (LFG 30-59 ml/mnt/1,73 m2)
Hasil
Satua
Normal
n
Warna
Kejernihan
Berat jenis
pH
Protein
Reduksi
Uroblinigen
Bilirubin
Kuning
Jernih
1.020
5,5
100
NEG
0,2
NEG
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl
1.003 1.025
4,8-7,4
NEG
NEG
NEG
NEG
Aseton
Nitrit
NEG
NEG
mg/dl
Sedimen
Epitel
Leukosit
Eritrosit
Granula Kasar
Granula Halus
Sil. Hyalin
Sil. Epitel
Sil. Eritrosit
Sil. Lekosit
Bakteri
1-2
2-5
0-1
NEG
0-1
1.06
NEG
NEG
NEG
NEG
/LPK
/LPK
/LPB
/LPK
/LPK
u/L
/LPK
/LPK
/LPK
u/L
NEG
NEG
NEG
NEG
0,00-1,20
NEG
NEG
NEG
NEG
Irama
: sinus
HR
: 64x/menit, reguler
Axis
: LAD
Gel. P
: P terminal force (+); P pulmonal (-), P mitral (-)
PR interval : 0.16 detik
Komplek QRS: 0.08 detik
ST segmen
: ST-T changes V1-V4
Gel T
: inverted (-), tall T(-)
Q patologis
Lain-lain
Kesan
: (-)
: R di V5/V6+S V1/V2> 35 mm R/S di V1<1
Poor R progression (+), S persisten (-)
: LAD, LVH, iskemik anteroseptal
Hasil Konsul mata: ODS retoinopati hipertensi grade II dengan aterosklerosis grade II
Rectal Toucher Mukosa licin, TSA cekat, ampula tidak kolaps, sulcus medianus tidak teraba,
pool superior prostat tidak teraba, massa (-), sarung tangan lendir (-), darah (-), feses (-)
X-foto thoraks
08/02/2014
Jatuh (-)
Konfusio (-)
Dekubitus (-)
Inkontinensia (+)
13 AKS
Insomnia
Impairment of vision and hearing
Incontinence
Immobility
Isolation
Impaction
Impotence
Immuno-deficiency
Instability
Iatrogenic
Infection
Intelectual impairment
Inanition
Insomnia
Incontinence
Impecunity
Problem Medis
1. Sindroma geriatrik: incontinence, infection, impecunity
2. Bronkopneumonia (terkontrol)
3. Hipertensi (terkontrol)
4. Hipertensive heart disease
5. Diare akut (perbaikan)
6. Anemia (Hb: 10,9)
7. Suspek Hipertrofi prostat
8. Inkontinensia
RENCANA PEMECAHAN MASALAH
PROBLEM I
Bronkopneumonia
Assesment :
Ip Dx : Pengecatan gram, jamur & kultur sputum
Ip Tx:
1x200), Zinc 1x 20 mg
Ciprofloxacin 400 mg/12 jam
Ambroxol 30 mg/ 8 jam
Ip Mx
Ip EX
:
- Memberitahukan kepada pasien untuk mengikuti diet dari rumah sakit
- tampung dahak, edukasi cara menutup mulut dan batuk yang benar, kompres
bila suhu tubuh naik
PROBLEM II
Hipertensive Heart Disease
Assessment
: - LVEF
- IHD
- Faktor resiko PJI (dislipidemia)
PROBLEM III
Diare akut
Assessment
Ip Dx
Ip Rx
Ip Mx
Ip Ex
: - Etiologi primer
: Feses rutin dan kultur feces
: New Diatabs 2 tab
: Keadaan umum dan tanda vital, tanda dehidrasi
: - Menjelaskan kepada penderita tentang penyakitnya dan kemungkinan
komplikasi yang dapat timbul
PROBLEM IV
Anemia Normositik Normokromik
Assessment
Ip Dx
: Darah rutin, gambaran darah tepi, hitung jenis, retikulosit, Fe, Feritin
Ip Tx
:-
Ip Mx
Ip Ex
PROBLEM V
Suspek hipertrofi prostat
Assesment
Ip Dx : USG Prostat
Ip Tx
:
Ip Mx
Ip Ex
PROBLEM VII
Inkontinensia
Assesment
:sekunder problem V
IP Dx
:
IP Rx
: Konsul rehabilitasi medik
IP Mx
: keadaan umum dan tanda vital
IP Ex
:
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai keadaan pasien tentang
inkontinensia dan kegiatan dari pasien yang harus di bantu dalam kehidupan seharihari
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ASPEK KESEHATAN LANJUT USIA (GERIATRI)1,2
I. Teori Proses Menua
Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki/ mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Populasi lansia (usia 60 tahun) semakin meningkat. Diperkirakan
600 juta di tahun 2000 dan diramalkan menjadi 2 milyar di tahun 2050. Dengan semakin
berkembangnya teknologi kesehatan, populasi lansia akan semakin meningkat dan demikian
berpengaruh pada angka ketergantungan. Demikian juga problem kesehatan yang ditemui
pada populasi lansia semakin banyak.
Ada beberapa teori proses menua, antara lain:
1. Teori genetic clock
Setiap spesies memiliki jam genetik yang akan berhenti sesuai waktunya. Usia harapan
hidup dipengaruhi pula oleh jenis kelamin.
2. Mutasi somatik (error catastrophe)
Faktor lingkungan (radiasi, zat kimia) yang toksik atau karsinogenik menyebabkan
kesalahan transkripsi dan translasi DNA sehingga timbul kesalahan yang menyebabkan
metabolit berbahaya (mutasi)
3. Rusaknya sistem imun tubuh
Mutasi berulang menyebabkan kemampuan sistem tubuh mengenal diri sendiri sehingga
terjadi reaksi antigen antibodi yang mengenai berbagai macam jaringan.
4. Teori menua akibat metabolisme
Semakin banyak metabolisme, akan semakin cepat timbul proses degenerasi
5. Kerusakan akibat radikal bebas
Radikal bebas sebagai produk sampingan respirasi aerob dihasilkan menumpuk melebihi
kapasitas anti radikal bebas tubuh (SOD, katalase, glutation peroksidase) sehingga
menimbulkan kerusakan sel
Menua atau menjadi tua merupakan proses yang dialami oleh semua orang dan tidak
dapat dihindari. Yang dapat diusahakan adalah tetap sehat ada saat menua Healthy Aging.
Proses menua dipengaruhi oleh faktor eksogen dan endogen yang dapat menjadi faktor risiko
penyakit degeneratif.
II.
Perubahan dalam Proses Penuaan
Perubahan dalam penuaan terdiri dari perubahan anatomi, patologi, dan psikososial
akibat proses menua. Pada panca indra didapatkan perubahan degeneratif otot akomodasi,
jaringan ikat periorbita, fungsi kelenjar lakrimalis, perubahan elastisitas lensa, degenerasi
neuron kortikal sehingga visus dapat terganggu. Fungsi telinga juga menurun akibat
hilangnya sel rambut pada organ corti. Dalam sistem pencernaan terjadi atrofi mukosa,
penurunan aliran darah, turunnya elastisitas otot dan tulang rawan laring sehingga timbul
gangguan pengecapan turunnya refleks batuk dan menelan, kesulitan mencerna makanan,
perubahan nafsu makan, malabsorbsi makanan. Dengan ini lansia akan mudah tersedak dan
mengalami kekurangan gizi. Sistem kardiovaskuler berubah di mana terjadi penebalan dan
kekakuan dinding pembuluh darah, degenerasi katup jantung sehingga terjadi penurunan
curah jantung dan mempengaruhi aliran darah otak. Sistem respirasi berubah di mana
elastisitas alveolus menurun, terjadi degenerasi epitel, dan kelemahan otot pernapasan
sehingga kapasitas vital menurun dan refleks batuk menurun. Dengan ini lansia peka terhadap
pneumonia dan mudah mengalami gagal respirasi.
Perubahan T4 menjadi T3 menurun sehingga metabolisme menurun pada lansia.
Hormon seksual menurunkan fertilitas, estrogen yang menurun mempengaruhi metabolisme
tulang sehingga mudah timbul osteoporosis. Transmisi asetilkolin, dopamin, dan noradrenalin
terganggu sehingga lansia mudah mengalami hipotensi postural dan kesulitan regulasi suhu.
Fungsi ginjal menurun dengan bertambahnya usia akibat perubahan degeneratif.
Kulit menjadi atrofi dan mengalami penipisan lemak subkutan sehingga elastisitasnya
menurun. Hal ini menyebabkan lansia mudah terkena abrasi dan infeksi kulit. Degenerasi
tulang rawan, ligamen, dan jaringan sendi membuat penurunan elastisitas dan mobilitas sendi
yang menimbulkan kekakuan pada lansia. Sistem imunologi menurun dengan hasil timbulnya
penyakit autoimun dan kanker. Secara umum postur tubuh lansia juga akan menjadi bungkuk
sehingga mudah terjadi nyeri punggung.
III.
Asesmen Kesehatan dan Penyakit Pada Usia Lanjut
Konsep kesehatan usia lanjut meliputi status fungsional individu yang
bermanifestasi pada aktivitas hidup sehari-hari (fisik, sosial, psikis), sindroma
geriatrik, serta penyakit pada usia lanjut. Penanganan geriatrik dipusatkan pada
strategi pencegahan meliputi pencegahan primer, sekunder, dan tersier lewat
modifikasi perilaku dan gaya hidup.
Sifat penyakit pada lansia memiliki perbedaan mendasar dengan penyakit pada dewasa
umumnya menyangkut beberapa hal berikut:
Parameter
Etiologi
Awitan gejala
Usia lanjut
Endogen (dari dalam)
Tersembunyi
Kumulatif/multipel
Lama terjadi
Insidious, kronik
Tidak khas
Usia muda
Eksogen (dari luar)
Jelas, nyata
Spesifik, tunggal
Recent
Florid (jelas sekali)
Khas,
memenuhi
hukum
Parsimoni
Kronik/menahun,
progresif,
penyakit)
Self-limiting
Memberi kekebalan
menyebabkan cacat
Variasi individual
lama
Menjadi rentan
penyakit lain
Beragam
kecil
Oleh karena itu penanganan penderita geriatri harus menyeluruh (holistik) dengan model
analisis multi disiplin (asesmen geriatri). Asesmen ini bertujuan menegakkan diagnosis
kelainan yang fisiologis maupun patologis, menemukan adanya impairment, disabilitas, atau
handicap yang perlu rehabilitasi, menilai sumber daya ekonomi, sosial, dan lingkungan
pasien.
IV.
Sindroma Geriatri
Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan akibat penuaan
dengan perubahan akibat proses patologis. Beberapa problema klinik dari penyakit
pada lanjut usia yang sering dijumpai. Sindroma geriatri antara lain adalah:
homeostasis
the big three : intelectual failure, instability, incontinence
the 14 I: Imobility, Impaction, Instability, Iatrogenic, Intelectual Impairment,
Insomnia, Incontinence, Isolation, Impotence, Immunodefficiency, Infection, Inanition,
Impairment of Vision, smelling, hearing, Impecunity
Sindroma serebral
Pada lanjut usia terjadi penurunan aliran darah otak sekitar 30 mL/100gram jaringan
otak/menit. Metabolisme otak juga menurun karena terjadi atrofi neuron. Normal pada
dewasa nilainya 50 mL/100 gram/menit. Penurunan aliran darah otak hingga 23 mL/100
gram/menit dapat menimbulkan sindroma serebral, yaitu perubahan patologik pembuluh
darah otak. Gejala yang timbul dapat berupa gejala umum (rigiditas, peningkatan refleks,
tendensi condong ke belakang, sulit berjalan) gejala klinis daerah yang diperdarahi
karotis (TIA, stroke, arteritis) dan vertebrobasiler (drop attack, TIA).
Penurunan aliran darah otak pada lansia dapat disebabkan oleh sebab mekanik maupun
akibat perubahan autoregulasi aliran darah otak. Secara mekanik didapatkan bahwa pada
lansia terbentuk osteofit pada vertebra sehingga menimbulkan jepitan pada arteri
vertebralis yang menyuplai darah ke otak lewat susunan vertebrobasiler. Selain itu
degenerasi diskus intervertebralis membuat arteri vertebralis menjadi berkelok-kelok
dengan akibat turunnya aliran darah menuju ke otak. Dengan demikian gerakan leher
dapat membuat lansia kekurangan sirkulasi darah otak dan tiba-tiba terjatuh.
Karena autoregulasi sebagai mekanisme proteksi otak mengalami penurunan, sedikit
perubahan tekanan darah atau diameter arteri otak akan mengurangi aliran darah otak
yang sulit dikompensasi oleh lansia. Kelainan vaskuler arteriosklerosis mengurangi
perfusi otak yang menimbulkan infark lakuner. Hipoksemia akibat gangguan respirasi
atau kardiovaskuler (gagal jantung, bronkopneumonia, interaksi obat) juga menurunkan
aliran darah otak. Diabetes dan hipertensi menurunkan aliran darah otak dengan
timbulnya angiopati.
Konfusio Akut dan Dementia
Konfusio akut adalah gangguan menyeluruh fungsi kognitif yang ditandai oleh
memburuknya secara mendadak derajat kesadaran dan kewaspadaan dan proses berpikir
yang berakibat terjadinya disorientasi. Penyebab konfusio dapat akibat penyebab
intraserebral, penurunan nutrisi serebral, penyebab toksik, kegagalan mekanisme
homeostatik, dan lain-lain seperti nyeri, depresi, perubahan lingkungan, obat-obatan.
Dementia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan
ingatan sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.
Perjalanannya bertahap dan tidak ada gangguan kesadaran. Biasanya dementia tidak
didiagnosis karena dianggap wajar oleh masyarakat. Gangguan memori yang menurun
tanpa perubahan fungsi kognitif dan ADL dinamakan Mild Cognitive Impairment.
Sebagian keadaan ini akan berkembang menjadi dementia.
Diagnosis dementia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan Mini Mental State
Examination dan penyebab pastinya dengan pemeriksaan patologi.
Dementia dibagi menjadi 4 golongan: dementia degeneratif primer/Alzheimer (50-60%),
dementia multi infark (10-20%), dementia reversibel/sebagian reversibel (20-30%), dan
gangguan lain (5-10%).
Penyebab dementia yang reversibel dapat dibuat matriks jembatan keledai berikut:
D : drugs
E : emotional (emosi, depresi)
M : metabolik/endokrin
E : eye and ear (mata dan telinga)
N : nutrisi
T : tumor trauma
I : infeksi
A : arteriosklerosis
Prinsip tatalaksana dementia adalah optimalisasi fungsi pasien, mengenali dan mengatasi
3
komplikasi, rawat berkelanjutan, informasi pada keluarga, dan nasihat pada keluarga.
Gangguan otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor kolin yang berakibat
penurunan fungsi otonom. Beberapa gangguannya adalah hipotensi ortostatik, gangguan
pengaturan suhu, kandung kemih, gerakan esofagus dan usus besar.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan sistolik/diastolik sebanyak 20 mmHg
pada saat berubah dari posisi tidur ke posisi tegak setelah 1-2 menit. Hal ini terjadi akibat
penurunan isi sekuncup jantung dan perpindahan darah ke posisi bawah tubuh. Biasanya
tidak menimbulkan gejala karena mekanisme kompensasi. Namun pada lansia dapat
terjadi adanya penurunan elastisitas pembuluh darah, gangguan barorefleks akibat tirah
baring lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian obat hipotensif, atau penyakit SSP
maupun neuropati lain (parkinson, CVD, diabetes mellitus). Gejala bisa berupa
penurunan kesadaran atau jatuh. Penatalaksanaannya adalah meninggikan kepala waktu
tidur.
Terapi
farmakologis
dapat
menggunakan
hormon
mineralokortikoid,
Inkontinensia
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial.
Ini bukan konsekuensi normal dari pertambahan usia. Penyebab inkontinensia berasal
dari kelainan urologik (radang, batu, tumor), kelainan neurologik (stroke, trauma medula
spinalis, dementia), atau lainnya (imobilisasi, lingkungan). Inkontinensia dapat akut di
saat timbul penyakit atau yang kronik/lama.
Inkontinensia akut yang biasanya reversibel dapat diformulasi dengan akronim DRIP
yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas retensi, Infeksi inflamasi impaksi feses,
Pharmasi poliuri. Juga dengan akronim DIAPPERS : Delirium, Infection, Atrophic
vaginitis/uretheritis, Pharmaceuticals, Physiologic factor, Excess urine output,
Restricted mobility, Stool impaction.
Inkontinensia menetap dapat terjadi akibat aktivitas detrusor berlebih (over active
bladder), aktivitas detrusor yang menurun (overflow), kegagalan uretra (stress type), atau
obstruksi uretra.
Tatalaksana inkontinensia urin meliputi behavioral training (bladder training, pelvic
floor exercise), farmakologis, pembedahan. Obat yang digunakan dapat meliputi
antikolinergik antispasmodik (imipramin) untuk tipe urgensi/stres, -adrenergik agonis
(pseudoefedrin,
fenilpropanolamin)
untuk
tipe
stres
atau
urgensi,
estrogen
agonis(oral/topikal) untuk tipe stres atau urgensi, kolinergik agonis (betanekol), arendergik antagonis (terasozine) untuk tipe overflow atau urgensi karena pembesaran
5
prostat. Pembedahan meliputi juga kateterisasi sementara (2-4 kali sehari) atau menetap.
Jatuh
Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari tempat yang lebih
tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama tingginya. Sebanyak 30% lansia 65 tahun
mengalami jatuh. Kondisi jatuh dipengaruhi stabilitas badan yang ditunjang oleh sistem
sensorik (penglihatan, pendengaran, vestibuler, proprioseptif), susunan saraf pusat,
kognisi, dan fungsi muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor ekstrinsik seperti
pengaruh obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh ada beragam, antara lain
kecelakaan, nyeri kepala dan atau vertigo, hipotensi ortostatik, obat-obatan (diuretik,
pencegahan sesuai dengan etiologi yang dirasa memberi risiko terjadinya jatuh.
Kelainan tulang dan patah tulang
Setiap tahun 0,5-1% dari berat tulang wanita pasca menopause dan pria > 80 tahun
menurun. Penurunan ini timbul di bagian trabekula. Kelainan tulang yang timbul dapat
berupa osteoporosis, osteomalasia, osteomielitis, dan keganasan tulang.
Patah tulang/fraktur pada usia lanjut terutama akibat osteoporosis, ada 3 jenis yang
terutama, yaitu fraktur sendi koksa (collum femoris), fraktur pergelangan tangan (colles),
sepertiproteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal
kronikditegakkan
jika
nilai
laju
filtrasi
glomerulus
kurang
dari
60
LFG
Penjelasan
(mL/menit/1,73m2)
90
atau
Kerusakan ginjal dengan LFG
60-89
ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG
sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
Gagal ginjal
30-59
15-29
<15 atau dialisis
Tabel 2.Klasifikasi CKD dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan atau dengan atau tanpa
peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).
GFR
(ml/min/1,73 m2)
Dengan Kerusakan
Ginjal
Den
Tanp
gan
a HT
Tanpa HT
> 90
60 89
HT
1
2
1
2
HT
HT dengan
Normal
Penurunan
penurunan
GFR
GFR
30 59
3
3
3
3
15 29
4
4
4
4
< 15 (atau dialisis)
5
5
5
5
3,6,7
II. Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
RenalRegistry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).
III. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut, infeksi
saluran kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor sosial dan lingkungan seperti
obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat
penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga,
berpendidikan rendah, dan terekspos dengan bahan kimia dan lingkungan tertentu.6
IV. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya
sudah tidak aktif lagi.3-5
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor (TGF). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf
mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada
conjunctiva
menyebabkan
gejala
red
eye
syndrome
akibat
iritasi
dan
fisik,
gambaran
radiologis,
dan
apabila
perlu
histopatologis.3,4,9
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis
gambaharan
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya,
seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, dan
silinder.3
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:3
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
VII. Penatalaksanaan3-6,8,10-12
1. Terapi konservatif
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia,
muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih
cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal
VIII. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan
terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan
mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium
akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%),
kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).5
IX. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah
mulaidilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya
pencegahanyang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal
dankardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah
makinkecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak
darah,anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian
beratbadan.6
2.3.HIPERTENSI
I.
Definisi Hipertensi
Menurut WHO tahun 2001, secara umum hipertensi adalah suatu keadaan
dimana dijumpai tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50
tahun dan tekanan darah mencapai 160/95 mmHg untuk usia di atas 50 tahun. Harus
dilakukan pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali untuk lebih
memastikan keadaan tersebut dan pada kejadian berulang dapat meningkatkan risiko
terhadap penyakit stroke, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal.
Pengertian ini juga sesuai dengan sistem klasifikasi yang ada pada saat ini, yaitu
sesuai dengan JNC VII. Klasifikasi hipertensi penting untuk penentuan diagnosis dan
kebijakan para klinisi dalam penanganan yang optimal mengingat komplikasi yang
dapat ditimbulkan.13
II.
Klasifikasi Hipertensi
Menurut JNC VII, tekanan darah dibagi menjadi 4 klasifikasi yaitu : normal,
pre-hipertensi, hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2. Klasifikasi ini berdasarkan
pada nilai rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah yang baik, yang
pemeriksaannya dilakukan pada posisi duduk dalam setiap kunjungan berobat.
Klasifikasi
Tekanan
Darah
Normal
Pre
Hipertensi
Hipertensi
Stage I
Tekanan
Darah
Sistolik
(mmhg)
<120
Tekana
Obat Awal
n Darah
Modifik
Diastoli
asi Gaya
Tanpa
Dengan
Hidup
indikasi
Indikasi
(mmhg)
< 80
Anjuran
Tidak perlu
menggunaka
120 139
80 89
Ya
n obat anti
hipertensi
140 159
90 99
Ya
Gunakan obat
yang spesifik
dengan
indikasi
Untuk semua
(risiko)
Gunakan obat
kasus
yang spesifik
gunakan
dengan
diuretik jenis
indikasi
thiazide
(risiko).
dengan
Kemudian
pertimbangan
tambahkan
ACEi, ARB,
dengan obat
BB, CCB,
anti hipertensi
atau
kombinasika
Hipertensi
Stage II
160
100
Ya
n
Gunakan
(diuretik,
kombinasi 2
ACEi, ARB,
obat
BB, CCB)
( biasanya
seperti yang
diuretik jenis
dibutuhkan
thiazide) dan
ACEi/ARB/B
B/CCB
Pasien dengan pre-hipertensi memiliki resiko dua kali lipat untuk berkembang
menjadi hipertensi. Dimana berdasarkan dari tabel tersebut, diakui perlu adanya
peningkatan edukasi pada tenaga kesehatan dan masyarakat mengenai modifikasi
gaya hidup dalam rangka menurunkan dan mencegah perkembangan tekanan darah ke
arah hipertensi. Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu strategi dalam
pencapaian tekanan darah target, mengingat hipertensi merupakan salah satu penyakit
degeneratif yang disebabkan oleh perilaku gaya hidup yang salah.14
III.
Penyebab hipertensi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan hipertensi
sekunder.
Usia
Risiko terjadinya hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Pada usia
pertengahan tahun, laki laki lebih berisiko untuk mengalami hipertensi sedangkan
Individu yang menderita kolesterol, diabetes, penyakit ginjal kronik dan sleep
apneu berisiko untuk mengalami hipertensi15
Komplikasi target Organ ( TOD) pada hipertensi:
- Hipertrofi ventrikel kiri
- Penebalan dinding arteri atau plag aterosklerosis
- Creatinin : pria
> 1,3-1,5 mg/dl
Wanita > 1,2-1,4mg/dl
- Mikroalbuminuria : 30-300mg/24jam
Albumin creatinin ratio : pria 22, wanita 31mg/g
Penyakit Penyerta pada hipertensi :
Penyakit serebrovaskular
Penyakit jantung : infark miokard, Angina
Revaskularisasi koroner
Gagal jantung kongestif
Penyakit ginjal :
nefropati diabetik
Gagal ginjal
Penyakit Vaskular perifer
Retinopati lanjut : perdarahan, eksudat dan papil edema
dipakai.
Terapi antihipertensi sebelumnya.
Riwayat pribadi, keluarga dan lingkungan.
3. Pemeriksaan fisik
Pengukuran tekanan darah juga dilakukan pada lengan kontralateral.
Pemeriksaan fisik harus mencari adanya tanda kerusakan target organ, faktor
risiko ( obesitas sentral) dan kemungkinan penyebab hipertensi sekunder yaitu :
Tanda hipertensi sekunder :
- Tanda sindroma Cushing
- Stigmata kulit neurofibromatosis ( feokromositoma)
- Palpasi pembesaran Ginjal ( ginjal polikistik)
- Murmur abdomen ( hipertensi renovaskular)
- Murmur precordial ( Koartasio aorta)
- Tekanan darah femoral yang berkurang dan denyut yang terlambat dan
mengurang ( koartasio aorta)
Tanda kerusakan organ :
- Otak : murmur di arteri leher, defek motorik dan sensorik.
- Kelainan funduskopi.
- Jantung : tanda pembesaran jantung, irama jantung, gallop, ronki basah, dan
-
udem.
Arteri perifer : pulsasi yang hilang, berkurang atau asimetri, ekstremitas dingin
Rekomendasi
Tekanan darah
- Penurunan BB
- Perencanaan pola
sistolik
5-20 mmHg/ 10 kg
8-14 mmHg
makan
- Diet rendah Natrium
rendah lemak
Diet Natrium tidak lebih dari 2,4 g
2-8 mmHg
- Aktivitas Fisik
Na atau 6 g NaCl
Aktifitas aerobik
30
4-9 mmHg
- Konsumsi alkohol
menit sehari
Konsumsi alkohol tidak lebih dari
2-4 mmHg
sedang
minimal
2 gelas sehari.
Terapi Farmakologi
Bukti-bukti penelitian terbaru menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dengan
obat Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin receptor blockers
(ARBs), blocker, calcium chanel blocker dan thiazhide akan mengurangi semua
komplikasi hipertensi.
Thiazide, berdasarkan hasil beberapa penelitian , merupakan dasar dari terapi
hipertensi. Diuretik merupakan terapi hipertensi yang dapat mencegah komplikasi
kardiovaskuler yang tak tertandingi. Diuretik dapat meningkatkan efektivitas
antihipertensi dari berbagai jenis obat, dan bermanfaat dalam mencapai target tekanan
darah dan lebih baik dari golongan antihipertensi lain.
Thiazide seharusnya digunakan sebagai terapi awal bagi sebagian besar pasien
hipertensi, baik tunggal maupun kombinasi dengan obat lain.
Target Terapi
Target penurunan tekanan darah adalah kurang 140/90mmHg yang dapat
menurunkan komplikasi penyakit jantung.
Pada penderita hipertensi dengan diabetes dan penyakit ginjal maka targetnya
adalh kurang dari 130/80mmHg. Pada lanjut usia penurunan tekanan sistolik di bawah
140 mmHg sulit dicapai. Bilaproteinuria <1g/hari maka target tekanan darah adalah
130/85mmHg dan bila > 1g/hari maka targetnya adalah 125/75mmHg.
Strategi Terapi
Pada kebanyakan pasien, terapi dimulai bertahap, dan target tekanan darah
dicapai dalambeberapa minggu.Untuk mencapai target tekanan darah, tidak jarang
diperlukan kombinasi dengan beberapa obat.Pada Hipertensi Stage 1, terpi dimulai
dengan monoterapi. Penelitian ALLHAT, yangmerekrut stage 1 dan 2 menunjukkan
bahwa 60% penderita tetap menggunakan monoterapi. Penelitian HOT pada Hipertensi
stage 2 dan 3 menunjukkan hanya 25-40% penderita yang tetap monoterapi.Pada
penderita diabetes, kebanyakan penderita memerlukan sekurang-kurangnya 2 obat.
Berdasarkan tingkat tekanan darah awal dan ada atau tidaknya komplikasi,
tampaknya
baik
monoterapi
maupun
kombinasi
cukup
beralasan.Keuntungan
menggunakan monoterapi adalah bila penderita ternyata tidak toleran dengan obat
pertama maka dapat segera diketahui dan diganti obat lain. Sedangkan keuntungan terapi
kombinasi adalah lebih besar kemungkinan mengontrol tekanan darah dan komplikasi,
masing-masing obat dapat diberi dengan dosis kecil sehingga efek samping minimal.
Kombinasi obat yang direkomendasikan adalah :
Diuretik dan blocker
Diuretik dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonist
Calcium antagonist dan diuretik
Calcium antagonist dan B Blocker
Calcium antagonis dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonis
blocker dan blocker
Kombinasi lain : obat efek sentral demham ACE inhibitor dan angiotensin
receptor antagonist
V.
Penatalaksanaan hipertensi16
(<140/90 mmHg) atau (<130/80 mmHg pada pasien DM, penyakit ginjal kronik, 3 faktor risiko atau adany
kan dosis obat atau berikan tambahan obat antihipertensi lain. Pertimbangkan untuk konsultasi dengan dokt
Anemia Akibat
Defisiensi
Penyakit
Kronik
Derajat
Besi
Ringan
anemia
MCV
MCH
sampai berat
Menurun
Menurun
Trait
Anemia
Thalassemia
Sideroblastik
Ringan
Ringan
Menurun/N
Menurun/N
Menurun
Menurun
Ringan
sampai berat
Menurun/N
Menurun/N
Besi serum
TIBC
Menurun <
30
Meningkat >
Saturasi
360
Menurun <
transferin
Besi sumsum
tulang
Normal/
Normal/
Normal/
Normal/
Meningkat >
15 %
l 10 20 %
20 %
20 %
Positif dgn
Negatif
Positif
Positif kuat
ring
sideroblast
Protoporfirin
eritrosit
Feritin serum
Elektrofoesis
Hb
Menurun < 50
Meningkat
Meningkat
Normal
Normal
Menurun <
Normal 20
Meningkat >
Meningkat >
20 g/l
200 g/l
50 g/l
50 g/l
Hb A2
meningkat
2. Katarak juvenil
a.Berdasarkan stadium :
Insipien
Ringan
Normal
Kekeruhan
Cairan lensa
Imatur
sebagian
Bertambah
Matur
Seluruh
Normal
(air masuk)
Hipermatur
Masif
Berkurang
(air+massa
Iris
COA
Angulus
Normal
Normal
Normal
Terdorong
Dangkal
Sempit
Normal
Normal
Normal
lensa keluar)
Tremulans
Dalam
Terbuka
iridocornealis
Shadow test
Penyulit
(-)
(-)
(+)
Glaukoma
(-)
(-)
Pseudopos
Uveitis +
glaucoma
Penyebab katarak:
1. Proses penuaan
2. Infeksi intrauterine (rubella, toksoplasmosis, histoplasmosis, inklusi sitomegalik)
3. Komplikasi penyakit intraokuler lain seperti uveitis, glaukoma, myopia maligna,
ablasio retina, tumor intraocular, retinitis pigmentosa.
4. Penyakit
sistemik
seperti
galaktosemia,
diabetes
mellitus,
hipoparatiroid,
(naftalin,
dinitrofenol,
kortikosteroid,
fenotiazin,
echothiopate,
Katarak senil adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut,
yaitu usia diatas 50 tahun. Penyebab katarak senilis sampai sekarang tidak diketahui
secara pasti. Adapun beberapa konsep teori penuaan sebagai penyebab katarak senilis
antara lain :
1. Teori a biologic clock
2. Teori imunologik
3. Teori mutasi spontan
4. Teori a free radical
5. Teori a cross link
Perubahan lensa yang terjadi pada usia lanjut :
Kapsul lensa
Menebal dan mengalami sklerosis kurang elastis (1/4 dibanding anak)
daya akomodasi pun berkurang (presbiopia)
Lamel kapsul berkurang atau kabur
Terlihat bahan granular
Epitel lensa
Makin tipis
Sel epitel (germinatif) pada ekuator bertambah besar dan berat
Bengkak dan vakuolisasi mitokondria yang nyata
Serat lensa
Rusak dan menjadi lebih ireguler, terutama pada korteks sehingga korteks
bertambah tipis
Sinar UV semakin lama akan merusak protein nukleus (histidin, triptifan,
metionin, sistein dan tirosin) membentuk brown sclerotic nucleus.
Tatalaksana katarak
Terapi utama katarak adalah pembedahan yakni dengan EKIK ataupun EKEK dengan
pemasangan IOL. Untuk katarak stadium insipien ataupun imatur dapat diberikan
medikamentosa seperti catalin, catarlen, quinax, dsb yang diharapkan dapat mencegah/
menghambat progresifitas kekeruhan lensa.
Indikasi ekstraksi katarak
1. Pada bayi (<1 tahun): bila fundus tidak terlihat. Bila masih dapat dilihat,
dibiarkan.
2. Pada usia lanjut :
katarak
visus masih baik untuk bekerrja, dilakukan operasi juga setelah keadaan menjadi
tenang.
Bila visus meskipun sudah dikoreksi, tidak cukup untuk melakukan pekerjaan
sehari-hari. Batasnya pada orang yang buta huruf 5/50, pada orang terpelajar 5/20.
Terapi pembedahan :
1. EKEK
Dilakukan dengan merobek kapsul anterior, mengeluarkan nukleus dan korteks. Sebagian
kapsul anterior dan seluruh kapsul posterior ditinggal. Cara ini umumnya dilakukan pada
katarak dengan lensa mata yang sangat keruh sehingga sulit dihancurkan dengan teknik
fakoemulsifikasi. Selain itu, juga dilakukan pada tempat-tempat dimana teknologi
fakoemulsifikasi tidak tersedia. Teknik ini membutuhkan sayatan yang lebar, karena lensa
harus dikeluarkan dalam keadaan utuh. Setelah lensa dikeluarkan, lensa buatan (IOL)
dipasang untuk menggantikan lensa asli, tepat di posisi semula. Lalu dilakukan penjahitan
untuk menutup luka. Teknik ini dihindari pada penderita dengan zonulla zinii yang rapuh.21,23
a. Keuntungan :
Luka insisi lebih kecil (8-12 mm) dibanding EKIK
Karena kapsul posterior utuh maka :
Mengurangi resiko hilangnya vitreus intra operasi
Posisi anatomis yang lebih baik untuk pemasangan IOL
Mengurangi insidensi ablasio retina, edema kornea, perlengketan
vitreus dengan iris dan kornea
Menyediakan barier yang menahan pertukaran beberapa molekul
antara aqueous dan vitreus
Menurunkan akses bakteri ke kavitas vitreus yang dapat menyebabkan
endofthalmitis.
b. Kerugian :
Dapat timbul katarak sekunder.
2. EKIK
Teknik ini sudah jarang digunakan setelah adanya teknik EKEK. Pada EKIK dilakukan
pengangkatan seluruh lensa, termasuk kapsul lensa. Pada teknik ini dilakukan sayatan 1214mm, lebih besar dibandingkan dengan teknik EKEK. Dapat dilakukan pada zonula zinn
yang telah rapuh/ berdegenerasi/ mudah diputus.21
a. Keuntungan :
Tidak timbul katarak sekunder
glaukoma,
uveitis,
endolftalmitis.
3. Fakoemulsifikasi
Pada fakoemulsifikasi, dengan menggunakan mikroskop operasi, dilakukan
sayatan yang sangat kecil (3mm) pada kornea. Kemudian, melalui sayatan tersebut
dimasukkan sebuah pipa melewati COA-pupil-kapsul lensa. pipa tersebut akan
bergetar dan mengeluarkan gelombang ultrasonik yang akan menghancurkan lensa
mata. Pada saat yang sama, melalui pipa ini dialirkan cairan garam fisiologis atau
cairan lain sebagai irigasi untuk membersihkan kepingan lensa. Melalui pipa tersebut
cairan diaspirasi bersama sisa-sisa lensa.22
Teknik ini menghasilkan insidensi komplikasi luka yang lebih rendah, proses
penyembuhan dan rehabilitasi visual lebih cepat. Teknik ini membuat sistem yang
relatif tertutup sepanjang fakoemulsifikasi dan aspirasi, oleh karenanya mengontrol
kedalaman COA sehingga meminimalkan risiko prolaps vitreus.22
Persiapan operasi :
1. Status oftalmologik
Tidak dijumpai tanda-tanda infeksi
TIO normal
Saluran air mata lancar
2. Keadaan umum/sistemik
Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin, waktu pembekuan, waktu
perdarahan, kadar gula darah dalam batas normal
Tidak dijumpai batuk produktif
Pada penderita DM atau hipertensi, kedaan penyakit tersebut harus
terkontrol.
Perawatan pasca operasi :
1
2
3
4
5
Pasien ini didiagnosis sebagai katarak senilis matur dengan dasar pemikiran sebagai berikut:
1 Anamnesis:
- Penderita berusia 80 tahun
- Penglihatan mata kanan dan kiri kabur, perlahan-lahan semakin kabur dengan
kondisi mata tenang.
- Mata merah (-), cekot-cekot (-), nerocos (-), nyeri (-), keluar kotoran mata (-), silau
(-)
2. Pemeriksaan oftalmologis:
- Visus OD 1/300 visus OS 3/60
- Pada pemeriksaan lensa OD kekeruhan merata dan iris shadow (-) , OS kekeruhan
tak merata dan iris shadow (+)
- Pemeriksaan fundus reflek OD negatif, OS positif suram
Dalam kasus ini, pada penderita dapat dilakukan operasi Ekstraksi Katarak Ekstra
Kapsular dan pemasangan intraocular lens pada mata kanan terlebih dahulu. Untuk
operasi katarak mata kiri dilakukan setelah luka post operasi mata kanan sembuh
dahulu
BAB III
PEMBAHASAN
patungan anak-anaknya. Biaya hidup dari anak ke-3 namun yang lainnya juga membantu.
Kesan sosial ekonomi cukup. Pembiayaan dengan BPJS.
Pada geriatri tidak hanya dinilai dari aspek medik saja, namun juga melakukan
assesment dari segi fisik, psikologik, dan sosial ekonomi. Interaksi dari 3 komponen
tersebut menggambarkan keadaan fungsional organ/dan atau tubuh secara
keseluruhan, yang dapat dimengerti, merupakan gambaran kesehatan secara luas
pada usia lanjut. Pada usia lain hal ini tidak terjadi, dan keadaan fisik, psikis, dan
sosial ekonomi seolah-olah tidak saling berkaitan. Penyakit pada usia lanjut berbeda
tampilan dan perjalanan alamiahnya dibanding penyakit pada golongan populasi
muda. Pada populasi muda setiap penyakit pada satu organ yang disebabkan oleh agen
tertentu akan memberikan gejala dan tanda yang khas bagi penyakit dan organ yang
bersangkutan. Pada populasi usia lanjut hal tersebut tidak bisa dilakukan, karena
gejala dan tanda yang timbul adalah tidak khas dan menyelinap, karena merupakan
akibat dari berbagai keadaan penurunan fisiologik dan berbagai keadaan patologik
yang bercampur menjadi satu ditambah lagi dengan adanya pengaruh lingkungan dan
sosial-ekonomi serta gangguan psikis. Oleh karena itu untuk mendiagnosis kelainan
atau penyakit yang ada perlu diadakan analisis multidimensional, yang mencakup
bukan saja keadaan fisik, tetapi juga keadaan psikis, sosial, dan lingkungan dari
penderita.
Setelah dilakukan assesment yang mencakup 3 komponen tersebut, pasien ini menderitaCKD
stage V, infiltratparu, hipertensistage I, anemianormositiknormokromik, hipoalbuminemia,
hiperuricemia, immobilitas, gangguankognitifringan, dankataraksenilisimmature. Pasien
memiliki segi pendukung yang baik. Selama ini, anak pasien selalu memperhatikan dan
merawat pasien, bahkan anak pasien yang mengantarkan pasien berobat ke Puskesmas dan
Dokter bila sakit. Dari segi lingkungan rumah pasien juga sudah mendukung untuk
kesembuhan dan keamanan pasien, karena ventilasi dan pencahayaan yang cukup. Mobilitas
pasien untuk berjalan mulai terbatas karena lemas. Fungsi depresi pada pasien ini : baik /
tidak depresi; Mini Mental Score Examination : probable gangguan kognitif ; Skor Norton
(mengukur risiko dekubitus) : kemungkinan kecil terjadi dekubitus; indek Katz (menilai
AKS) : F, mandiri, kecuali bathing, dressing, toileting, transferring, & 1 fungsi lain;
kuesioner status mental : gangguan intelek ringan. Sindroma geriatri : sindroma serebral (-),
konfusio (-), gangguan otonom (-), inkontinensia (+), jatuh (-), kelainan tulang atau patah
tulang (-), dekubitus (-), AKS : Immobility (+), Impairment of vision (+), intellectual
impairment (-), impecunity (-), infection (+).
mikrositik hipokromik sebagai akibat dari penyakit kronis karena TIBC rendah dan
kadar ferritin tinggi, diberi transfusi PCR karena Hb < 10 gr%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kris Pranarka. Tinjauan Umum Sindroma Geriatri. Dalam Symposium Geriatric
Syndrome : Revisited, Semarang 1-3 April 2011, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2011.
2. Broclehurst J. C., Allen, S. C. Major Geriatric Problems. Geriatric Medicine For Student.
Churcill-Livingstone, 3 RD, Ed, 35-117, 1987. =
3. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti
S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
4. Editorial.
Gagal
Ginjal
Kronik.
Diunduh
dari:
http://emedicine.
and
Stratification.
Diunduh
Glomerulonefritis.
Diunduh
dari:
Tinggi.
http://emedicine.medscape.
Diunduh
dari: