Anda di halaman 1dari 4

Bahasa , budaya dan masyarakat era modern

Mantan presiden ke-3 RI, Bapak BJ Habibie pernah mengatakan bahwa teknologi dan
kebudayaan itu sejalan. Ini artinya semakin berkembang teknologi suatu bangsa maka
otomatis semakin berkembang pula kebudayaan. Pernyataan ini bukan sebuah kutipan tidak
beralasan, tetapi sangat beralasan. Ini dimaklumi bahwa teknologi itu adalah bagian dari
kebudayaan itu sendiri. Sejarah mencatat bahwa bangsa pertama yang memiliki kebudayaan
yang tinggi adalah bangsa Mesir tepatnya bangsa yang mendiami Mesopotamia. Pada saat itu
sesuai dengan taraf pemikirannya bangsa ini telah mampu menciptakan kebudayaan yang
amat mencengangkan. Mereka mampu membuat rumah dan bangunan sesuai dengan iklim
dan keadaan masyarakat pada saat itu. Mereka mampu membuat canal (saluran air) guna
menghindari hujan.
Kebudayaan menurut Edward B Taylor adalah mencakup hal yang kompleks yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan,
kebiasaan, termasuk juga di dalamnya hal-hal yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi, Sosiolog kondang Indonesia
berpendapat bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, karsa dan cipta manusia. Dari
definisi diatas dapat disederhanakan bahwa kebudayaan itu tercipta oleh masyarakat sebagai
pelaku kebudayaan itu sendiri. Masing-masing masyarakat akan mengahasilkan cipta, karsa
dan karya mereka masing-masing. Masyarakat yang tinggal di Papua sana akan menghasilkan
kebudayaan yang sesuai dengan masyarakat Papua, masyarakat Bali akan menghasilkan
kebudayaan yang sesuai pula dengan kehidupan mereka begitu juga sebaliknya masyarakat
Minangkabau tentunya akan menghasilkan kebudayaan yang sesuai dengan masyarakat
Minangkabau.
Lebih terperinci, Clyde Kluckhon dalam buku Sosiologi karya Kun Maryati dan Juju Suryati
(2008:111) menyebutkan bahwa ada 7 unsur kebudayaan yakni: peralatan hidup manusia,
mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, pengetahuan dan agama.
Menarik untuk dicermati dari salah satu poin kebudayaan adalah tentang bahasa dimana
bahasa memegang peranan yang central dalam kehidupan semua lapisan masyarakat.
Faktanya bahasa selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kebudayaan. Bahasa
menjadi identitas dari mana sesorang itu berasal. Bahasa menjadi jati diri dari suatu bangsa.
Bahasa menjadi pembeda antara suku bangsa satu dengan yang lain. Ditengah masyarakat
bahasa dapat dipahami alat komunikasi antara manusia satu dengan manusia yang lainnya.
Bahasa dalam kajian lebih lanjut menentukan starata sosial, tingkat ekonomi, pendidikan dan
peran sesorang di tengah masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat jawa mereka mengenal

tingkatan bahasa. Kalangan kelas atas yang biasa disebut dengan bangsawan menggunakan
bahasa karma yang pastinya tidak bisa diucapkan sembarangan oleh orang yang bukan
bangsawan. Sebaliknya rakyat jelata melakukan komunikasi sesama komunitas rakyat jelata
menggunakan bahasa kelas rendah yang biasa mereka sebut ngoko. Ini menandakan bahwa
kelas atau kedudukan sesorang dalam masyarakat akan menentukan jenis bahasa apa yang
mereka pakai. Sangat aneh rasanya jika golongan bangswan menggunakan bahasa yang
dipakai rakyat jelata. Hal ini tentu menimbulkan asumsi bahwa bahasa yang dipakai oleh
kaum bangsawana atau kerajaan merupakan bahasa yang halus, sempurna dan shahih.
Dalam hal ekonomi, atau starata sesorang berdasarkan hak dan kepemilikan yang dipunyai
bahasa juga mempengaruhi penuturnya. Sebagai contoh kecil, jika ada anak kecil memanggil
bapaknya dengan panggilan ayah ini ada kecenderungan meskipun tidak selalu bahwa
ekonominya

lumayan

baik.

Jika

sang

anak

memanggil

dengan

panggilan

yang update seperti papi, daddy, papa sudah barang tentu mereka berasal dari golongan
menegah keatas. Rasanya terdengar lucu jika sesorang yang tinggal di kampung kecil
memanggil bapknya dengan sebutan daddy, atau papi. Sebaliknya, sangat cenderung bahwa
untuk ekonomi yang berada level belum sejahtera panggilan yang paling akrab kita dengar
adalah apak, amak, abak, mande, atau gaek. Hal ini menegaskan bahwa penutur bahasa
sangat dipengaruhi oleh budaya dimana ia berada. Tidak hanya di negara kita, di negara
Inggris juga terdapat korelasi antara tingkat ekonomi dengan bahasa yang dipakai. C. R. J
Cross tahun 1956 dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat perbedaan tata bahasa dan
pilihan kata yang dipakai antara masyarakat lapisan atas dengan bawah.
Dalam hal pendidikan sangat terlihat jelas bahwa bahasa yang dituturkan oleh seseorang
sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi sekolah seseorang maka semakin
halus dan berbudi pula bahasa yang dituturkan. Tidak sembarangan dalam pengucapan,
santun, terstruktur adalah merupakan ciri bahasa yang disampaikan oleh golongan yang
terpelajar. Hal ini tentunya ditentukan oleh budaya dimana mereka berada, lingkungan
merekalah yang menuntut untuk hal ini. Seorang guru yang mengajar dikelas tentunya
menggunakan bahasa yang mudah dipahami, santun dan berwibawa di depan anak muridnya.
Dilain sisi coba perhatikan bahasa yang diucapkan oleh orang-orang yang ada diterminal,
tentunya sangat kontras dengan orang-orang yang berada disekolahan. Keras, tak pandang
bulu dan kasar adalah tipikal bahasa yang terajadi dilingkungan terminal. Hal ini sekali lagi
disebabkan karena oleh lingkungan dimana mereka berada mempengaruhinya. Memang
sudah menjadi budaya dan tradisi mereka untuk menuturkan kata-kata dengan aksen tinggi
dan keras.

Hari ini seiring dengan kemajuan teknologi, tentunya juga berdampak terhadap kebudayaan
umat manusia. Contoh sederhana dapat diambil dari kehidupan sehari-hari. Sebelum orang
mengenal handphone, untuk menyampaikan informasi penting masyarakat menggunakan jasa
pos surat. Bahasa yang digunakan dalam surat penuh kesantunan, kehati-hatian dan
keindahan makna. Budaya suarat menyurat telah mengantarkan pelaku budaya untuk
berbahasa dengan santun. Untuk membuat sebuah surat membutuhkan konsentrasi dan
pilihan kata yang pas untuk siapa surat ditujukan. Seiring dengan perkembanganya, peran
surat menyurat digantikan oleh telepon seluler salah satunya handphone. Handphone
menuntut pengguna bahasa menggunakan bahasa yang serba instant dalam hal mengirim
informasi atau pesan. Budaya kesantunan sudah mulai diabaikan, apalagi seni kiendahan
berbahasa.
Lihat saja banyak dari generasi muda kita yang mengirim pesan singkat, saking singkatnya
terkadang tidak dapat dibaca dan menimbulkan penafsiran yang keliru dari penerima sms.
Bukan hanya itu, sulit dibedakan antara kalimat perintah dan larangan dalam pesan singkat
tersebut. Maka dengan sendirinya bermunculanlah istilah per-sms-an yang terkadang bingung
untuk dipahami. Seperti gpl (gak pakai lama, istilah yang digunakan untuk meminta
penerima sms untuk membalas secepatnya) btw (by the way (English): artinya ngomongngomong), a s a p (as soon as possilbe/secepat mungkin) bls (balas), kepo (ingin tahu apa
saja) dan banyak istilah lain lagi yang tidak penulis uraikan.
Contoh lain adalah penggunaan bahasa gaul yang berkembang pesat sejalan dengan arus
kebarat-baratan dan kekorea-korean yang lagi booming. Bahasa kita menjadi super-sub di
negara kita sendiri. Agaknya terlalu berlebihan, akan tetapi itulah kenyataan yang ada. Anakanak muda lebih bangga menggunakan istilah-istilah asing dalam percakapannya sehari-hari.
Kita memaklumi jika mereka berada dalam komunitas kampus, yang mana para intelek
berkumpul mereka menggunakan istilah asing. Akan tetapi terkadang, bicara ditengah
masyarakat yang notabene-nya sebagian mereka berpendidikan rendah menggunakan istilah
asing. Pejabat lebih bangga ketika berpidato menyelipkan istilah-istilah asing padahal yang
artinya belum dia ketahui atau bahkan tidak tahu sama sekali. Orang lebih bangga
mengucapkanbye ketika akan berpisah ketimbang sampai jumpa. Anak muda lebih senagn
mengucapkan kata care daripada kata peduli dan perhatian. Pejabat lebih suka mengucapkan
kata leader daripada kata pemimpin. Pegawai kelurahan/Nagari sudah mulai gemar
mengucapkan meeting daripada kata rapat.
Bahasa bangsa kita sudah mulai tergerus oleh pengearuh hegemoni bahasa-bahasa luar.
Dengan sendirinya budaya yang ada mulai berangsur-angsur berganti arah. Orang tidak lagi

merasa bangga menggunakan bahasa daerahnya sendiri yang merupakan warisan


leluhurnya. Padahal bahasa mencitrakan siapa kita sebenarnya, dari suku mana kita dan
dimana kita berada. Teknologi telah mendikte penutur bahasa untuk mengubah pola
berbahasa secara perlahan tapi pasti.
Bahasa dan budaya adalah dua hal yang saling mempengaruhi, dimana bahasa adalah bagian
dari kebudayaan itu sendiri. Lantas apakah kita akan meyalahkan budaya? Karena budaya
telah mengantarkan masyarakat tidak lagi merasa bangga dengan bahasanya sendiri?.
Tentunya secara sepihak kita tidak bisa menyalahkan budaya itu sendiri seabagi dalang mulai
merosotnya rasa mencintai dan menghargai bahasa sendiri. Budaya lahir karena adanya cipta,
karya dan karsa manusia. Ini jelas sudah bahwa masyarakat yang sebagai pemakai bahasa dan
pencipta kebudayaan itu sendiri yang bertanggungjawab dalam hal ini.
Kita tentunya tidak bisa sendirian dalam upaya melestarikan budaya dan bahasa kita.
Dibutuhkan kerja sama semua lini yang dimulai dari lingkungan terkecil sampai ruang
lingkup yang besar yakni negara. Pakailah sitilah-istilah asing sesuai dengan situasi dan
kondisi dimana kita berada. Banggalah menggunakan panggilan :mande, apak, uwan, uda,
amay, pak osu, oncu, pak angah, etek, denai, aden, ang, mas, buk lek, pak lek, opung, ucok,
daeng, pak de, mbah, mamang dll kepada kerabat dan keluarga. Karena itu adalah warisan
budaya leluhur kita. Kita patut mencontoh kepada provinsi Riau, pada PON XIII mereka
memakai tulisan Arab melayu sebagai penyanding bahasa Indonesia ataupun bahasa asing.
Kota lain seperti Yogyakarta adalah juga menjadi contoh bagi kita dalam hal pelestarian
bahasa daerah, mereka masih menyandingkan tulisan palawa setelah tulisan bahasa Indonesia
pada plang nama jalan. Lebih jauh, negara Jepang sangat mencintai bahasanya, mereka
memakai bahasa Jepang disemua hasil produksi walaupun untuk dikirim keluar negeri. Tak
ada salahnya di papan plang nama jalan, kantor, nama nama tempat umum dipakai bahasa
lokal setelah bahasa indonesia. Mencintai bahasa berarti mencintai budaya dan siapa kita
terefleksi dari apa yang kita ucapkan
(http://bahasa.kompasiana.com/2013/09/18/bahasa-dan-budaya-592996.html)

Anda mungkin juga menyukai