Akan tetapi di sisi lain, wewenang menjalankan upaya paksa (dwang middelen)
tersebut menunjukan praktik praktik yang telah menjurus kepada pelanggaran
hak asasi tersangka itu sendiri. Karena itu, diperlukan suatu bentuk perluasan
kontrol terhadap pelaksanaan Upaya Paksa (dwang middelen) dalam Hukum
Acara Pidana untuk menjamin perlindungan hak asasi seorang tersangka.
Adapun hak-hak asasi tersangka yang harus dijunjung tinggi antara lain;
Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban di hadapan hukum; Harus diduga
tidak bersalah (presumption of innocence); Penangkapan atau penahanan harus
didasarkan bukti yang cukup; dan, Hak mempersiapkan pembelaan secara dini;
Dalam menerapkan upaya paksa (dwang middelen), seperti;
a.
Penangkapan; Dalam melakukan penangkapan, petugas polisi harus
memperhatikan tata cara penangkapan menurut KUHAP, yakni harus
memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah
penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan
penangkapan serta uraian perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat
dimana ia akan diperiksa. Kemudian surat perintah penangkapan sebagaimana
dimaksud harus diberikan kepada keluarga segera setelah penangkapan
dilakukan. Kemudian batas waktu penangkapan adalah paling lama satu hari,
serta memperhatikan syarat dan ketentuan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan KUHAP tersebut menginginkan bahwa, tidak dibenarkan adanya
praktek kekerasan dalam pelaksanaan penangkapan. Maka sikap mental dan
perilaku (law behaviour) Petugas Polisi pun harus benar-benar mengerti,
memahami, dan mematuhi peraturan-peraturan tersebut demi tegaknya
kebenaran dan keadilan melalui rangkaian proses penyelesaian perkara pidana,
melalui sistem peradilan pidana.
b.
Penahanan; Penyidik dalam melakukan penahanan seorang tersangka
harus mempunyai dasar yang jelas, mengetahui dengan benar tata cara
penahanan maupun batas waktu maksimum masa penahanan. Penyidik juga
harus dapat mengefisiensikan waktu untuk membuat BAP sehingga dapat
memberikan perlindungan kekbebasan seorang tersangka dari lamanya waktu
penahanan yang sia-sia.
Dalam melaksanakan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, Penyidik harus mengurangi
besarnya penilaian secara subjektif terhadap kekhawatiran adanya niat
tersangka untuk melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi
tindak pidana. Tetapi yang harus ditingkatkan adalah kualitas criminal
sciencetific (ilmu kriminal) petugas sehingga dalam mengungkap suatu tindak
pidana tidak memerlukan waktu yang berlarut-larut. Hal ini untuk mengantisifasi
terlanggarnya hak seorang tersangka dengan adanya penahanan dalam waktu
yang lama, sedangkan belum tentu si tersangka tersebut sebagai pelaku tindak
pidana yang di tuduhkan kepadanya. Dengan demikian tujuan proses peradilan
pidana dapat tercapai tanpa harus melanggar hak-hak asasi seorang manusia.
hanya seputar syarat-syarat formal saja, tetapi esensi dari pelanggran hak asasi
dengan adanya penahanan tersebut tidak menjadi bahan perhatian hakim.
d.
Putusan yang dihasilkan dari lembaga praperadilan ini berupa penetapan,
yang karena kekuatan hukumnya meskipun dikabulkan, sering diabaikan oleh
tergugat, dalam hal ini penegak hukum yang melanggar dan dipraperadilankan
tersebut.
Dari uraian di atas, lembaga praperadilan yang seharusnya dapat menjamin hak
asasi seorang tersangka secara fundamental sesuai dengan inspirasinya, tetapi
kenyataannya hanya merupakan instrumen pelengkap sistem peradilan pidana
saja. (Bersambung) (Bagian III)
[1] A. Patra M. Zen dkk. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia : Pedoman Anda
Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta : YLBHI, 2007. Hlm. 235.
Penulis:
Editor: Admin
Label: Fokus, Insight
Artikel Terkait
Naskah Melayu Tertua Dunia di Kerinci
DIKOTOMI KEBIJAKAN PUBLIK
Menimbang RUU Intelijen Negara
MEMBACA MITOS HUKUM DITENGAH PERCEPATAN PERUBAHAN
"Kesemrawutan" Hukum Indonesia
Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian V Selesai)
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Home
Tentang JLC
Blog
4.
Memperbaharui sistem dan mekanisme rekruitmen aparat penegak
hukum.
5.
Meningkatkan sarana dan prasarana penegakan hukum baik bagi penegak
hukum itu sendiri maupun bagi masyarakat agar masyarakat termudahkan
dalam melaksanakan suatu aturan hukum.
2.
3.
Wawasan hukum yang memenuhi kepentingan dan mencerminkan
kebangsaan yang beraneka ragam;
4.
5.
6.
Moral hukum dan budi pekerti luhur baik dari masyarakat maupun aparat
penegak hukum;
7.
A. Kesimpulan
2. Perlindungan hukum atas hak asasi tersangka dalam sistem peradilan pidana
Indonesia dapat dikatakan sudah baik jika dibandingkan dengan ketentuan
hukum kolonial. KUHAP menginginkan proses peradilan pidana yang
mengembangkan paradigma yakni, bahwa warga negara yang menjadi
tersangka tidak lagi dipandang sebagai objek tetapi sebagai subjek yang
mempunyai hak dan kewajiban. Namun demikian KUHAP belum menunjukan
pengaturan hak asasi tersangka secara fundamental.
B. Saran
1.
Penerapan upaya paksa (dwang middelen) sebaiknya harus dikurangi
dengan lebih mengedepankan kualitas criminal sciencetific (ilmu kriminal)
petugas kepolisian agar kebenaran yang dihasilkan dapat
dipertanggungjawabkan lebih secara ilmiah, dan yang paling penting adalah
dalam penegakan hukum pidana tidak boleh melanggar hak asasi manusia
dalam hal ini hak asasi tersangka pada tahap penyidikan.
2.
Sebaiknya ada perluasan kewenangan lembaga praperadila agar dapat
lebih menjamin hak asasi tersangka secara lebih fundamental. Atau dengan
menciptakan formula baru sebagai pengganti lembaga praperadilan mengingat
kelemahan lembaga mengadukan hak tersangka yang ada selama ini.
(Bagian IV)
***
KEPUSTAKAAN
A. Buku-Buku
El-Muhtaj, Majda. M.Hum. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia
dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta :
Kencana.
Hamzah, Andi. Prof. Dr. jur. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi kedua).
Jakarta : Sinar Grafika.
Harahap, Yahya M., SH. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Ed. 2, Cet. 8. Jakarta : Sinar Grapika.
Kaligis, O.C. Dr. S.H. M.H. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka,
Terdakwa dan Terpidana. Bandung : Alumni.
Pangaribuan, Luhut M.P. S.H. LL.M. Advokat dan Contempt of Court Suatu Proses
di Dewan Kehormatan Profesi. Jakarta : Djambatan.
Salim, Peter dan Yenny Salim. 1995. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer Ed. 2.
Jakarta : Media English First.
B. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
C. Makalah
Asshiddiqie, Jimly. Peran Advokat dalam Penegakan Hukum . Bahan Orasi
Hukum pada acara Pelantikan DPP IPHI Masa Bakti 2007 2012. Bandung, 19
Januari 2008.
D. Situs Website
http://www.law-insight.blogspot.com/
___________________________
Penulis:
Artikel Terkait
Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian IV)
Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian III)
Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian II)
Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian I)
Politik Hukum Kolonial Terhadap Hukum Islam Di Indonesia
Sistem Pemerintahan
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda