Anda di halaman 1dari 11

Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana

Indonesia (Bagian IV)

CSA Teddy Lesmana*)

B. Perlindungan Hak-hak Tersangka pada Tahap Penyidikan dalam Perspektif


Peradilan Pidana Indonesia

Apabila mencermati perbedaan dari ketiga model pendekatan Sistem Peradilan


Pidana pada uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa KUHAP telah
mengakomodasikan model due procces. Namun dalam pelaksanaannya, sangat
nyata bahwa Sistem Peradilan Pidana Indonesia menerapkan crime control
model. Adapun model daad-daderstrafrecht yang berangkat dari asumsi bahwa
pada kondisi tertentu merupakan lawan dari model due procces, maka model ini
dikatakan sebagai model jalan tengah, sulit untuk dilaksanakan. Sebab model
ini bukanlah suatu model yang dapat berdiri sendiri, karena model tersebut
hanya dapat diterapkan jika prasyarat sinkronisasi diantara organisasi Sistem
Peradilan Pidana baik secara struktural, substansial, dan kultural telah tercipta.
Kenyataan tersebut terlihat bahwa KUHAP sebagai suatu pedoman pelaksanaan
peradilan pidana, ternyata belum lengkap dan justru belum mencerminkan
pengaturan mekanisme sistem peradilan yang melindungi hak-hak seorang
manusia, dalam hal ini seorang (diduga) pelaku tindak pidana (tersangka). Masih
banyak ketentuan perlindungan hak-hak tersangka yang belum diatur di dalam
KUHAP. Adapun bentuk perlindungan yang diatur dalam KUHAP serta
pembaharuan yang diharapkan dapat diimplementasikan di masa yang akan
datang ialah sebagai berikut:

1. Penerapan Upaya Paksa (Dwang Middelen) yang Memperhatikan Hak-Hak


Asai Tersangka
KUHAP menginginkan proses peradilan pidana yang mengembangkan
paradigma yakni, bahwa warga negara yang menjadi tersangka tidak lagi
dipandang sebagai objek tetapi sebagai subjek yang mempunyai hak dan
kewajiban.[1] Diatas landasan tujuan untuk mengangkat harkat martabat
manusia, KUHAP juga meletakan garis-garis dasar tujuan pembinaan sikap para
pelaksana penegak hukum untuk melaksanakan ketentuan hukum acara pidana
dengan cara-cara yang manusiawi dan beorientasi pada penghargaan serta
perlindungan terhadap hak asasi tersangka.
Upaya paksa (dwang middelen) ini disatu sisi memang merupakan kekuasaan
dan kewenangan yang sah dari penyidik atau penuntut umum yang didapatkan
dari hukum (undang-undang) terhadap orang orang yang melakukan kejahatan.

Akan tetapi di sisi lain, wewenang menjalankan upaya paksa (dwang middelen)
tersebut menunjukan praktik praktik yang telah menjurus kepada pelanggaran
hak asasi tersangka itu sendiri. Karena itu, diperlukan suatu bentuk perluasan
kontrol terhadap pelaksanaan Upaya Paksa (dwang middelen) dalam Hukum
Acara Pidana untuk menjamin perlindungan hak asasi seorang tersangka.
Adapun hak-hak asasi tersangka yang harus dijunjung tinggi antara lain;
Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban di hadapan hukum; Harus diduga
tidak bersalah (presumption of innocence); Penangkapan atau penahanan harus
didasarkan bukti yang cukup; dan, Hak mempersiapkan pembelaan secara dini;
Dalam menerapkan upaya paksa (dwang middelen), seperti;
a.
Penangkapan; Dalam melakukan penangkapan, petugas polisi harus
memperhatikan tata cara penangkapan menurut KUHAP, yakni harus
memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah
penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan
penangkapan serta uraian perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat
dimana ia akan diperiksa. Kemudian surat perintah penangkapan sebagaimana
dimaksud harus diberikan kepada keluarga segera setelah penangkapan
dilakukan. Kemudian batas waktu penangkapan adalah paling lama satu hari,
serta memperhatikan syarat dan ketentuan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan KUHAP tersebut menginginkan bahwa, tidak dibenarkan adanya
praktek kekerasan dalam pelaksanaan penangkapan. Maka sikap mental dan
perilaku (law behaviour) Petugas Polisi pun harus benar-benar mengerti,
memahami, dan mematuhi peraturan-peraturan tersebut demi tegaknya
kebenaran dan keadilan melalui rangkaian proses penyelesaian perkara pidana,
melalui sistem peradilan pidana.
b.
Penahanan; Penyidik dalam melakukan penahanan seorang tersangka
harus mempunyai dasar yang jelas, mengetahui dengan benar tata cara
penahanan maupun batas waktu maksimum masa penahanan. Penyidik juga
harus dapat mengefisiensikan waktu untuk membuat BAP sehingga dapat
memberikan perlindungan kekbebasan seorang tersangka dari lamanya waktu
penahanan yang sia-sia.
Dalam melaksanakan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, Penyidik harus mengurangi
besarnya penilaian secara subjektif terhadap kekhawatiran adanya niat
tersangka untuk melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi
tindak pidana. Tetapi yang harus ditingkatkan adalah kualitas criminal
sciencetific (ilmu kriminal) petugas sehingga dalam mengungkap suatu tindak
pidana tidak memerlukan waktu yang berlarut-larut. Hal ini untuk mengantisifasi
terlanggarnya hak seorang tersangka dengan adanya penahanan dalam waktu
yang lama, sedangkan belum tentu si tersangka tersebut sebagai pelaku tindak
pidana yang di tuduhkan kepadanya. Dengan demikian tujuan proses peradilan
pidana dapat tercapai tanpa harus melanggar hak-hak asasi seorang manusia.

2. Perluasan Wewenang Lembaga Praperadilan


Inspirasi lahirnya lesmbaga praperadilan adalah bersumber pada adanya hak
habeas corpus dalam sistem peradilan anglo saxon. Habeas corpus ini
memberikan jaminan yang fundamental terhadap HAM khususnya hak mengenai
kebebasan dan kemerdekaan. Dalam habeas corpus dikenal adanya pemberian
hak kepada seseorang untuk menuntut dan menentang pemerintah yang
melakukan penahanan atas dirinya. Pemberian hak ini dilakukan dengan suatu
surat perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan yang bertujuan untuk menjamin
pulihnya hak seseorang atas perampasan serta pembatasan hak kebebasan dan
kemerdekaannya.

Di Indonesia, habeas corpus tersebut diadopsi ke dalam suatu lembaga


praperadilan sebagai lembaga untuk memperjuangkan atau menuntut hak
seorang tersangka, bilamana terjadi pelanggaran terhadap hak asasinya selama
rangkaian proses peradilan pidana. Sayangnya, lembaga praperadilan di
Indonesia yang diatur dalam KUHAP, tidak mencerminkan secara utuh apa yang
ada dalam hak habeas corpus tersebut. Lingkup Prapradilan sangat sempit yaitu
berdasarkan ketentuan Pasal 77 KUHAP, Praperadilan hanya mengenal 3 (tiga)
hal, yaitu; (a) sah atau tidaknya penangkapan, (b) sah atau tidaknya penahanan,
dan, (c) sah atau tidaknya penghentian penyidikan/penuntutan. Dengan
demikian, lembaga praperadilan yang ada sekarang hanya bersifat administratif
dan tidak secara fundamental menjadi lembaga penjamin atas pelanggaran hak
seorang tersangka.
Pembaharuan Hukum Acara Pidana dimasa mendatang harus
mempertimbangkan dan mrumuskan kembali tentang mekanisme
penyelenggaraan lembaga praperadilan ini agar tidak lagi hanya bersifat
administratif. Adapun kelemahan dan kekurangan dari lembaga praperadilan
yang ada selama ini antara lain :
a.
Tidak semua unsur upaya paksa dapat diajukan untuk di-praperadilankan.
Dalam KUHAP tidak diatur adanya mekanisme untuk mengajukan gugatan
praperadilan tentang; penggeledahan, serta penyitaan dan pembukaan suratsurat.
b.
Praperadilan bersifat pasif, artinya hanya berjalan jika ada permintaan dari
pihak tersangka, baik tersangka sendiri, penasehat hukum maupun keluarganya.
Jadi, meskipun terjadi pelanggaran yang diketahui secara umum, praperadilan
tidak berjalan jika ada permintaan dari salah satu pihak tersebut.
c.
Dalam persidangan praperadilan, seringkali hakim hanya
mempertimbangkan dan menguji segi formal dari suatu pelanggaran yang
diajukan, jarang memperhatikan segi materil dari pelanggaran tersebut.
Misalnya, mengenai sah atau tidaknya suatu penahanan, yang diperhatikan

hanya seputar syarat-syarat formal saja, tetapi esensi dari pelanggran hak asasi
dengan adanya penahanan tersebut tidak menjadi bahan perhatian hakim.
d.
Putusan yang dihasilkan dari lembaga praperadilan ini berupa penetapan,
yang karena kekuatan hukumnya meskipun dikabulkan, sering diabaikan oleh
tergugat, dalam hal ini penegak hukum yang melanggar dan dipraperadilankan
tersebut.
Dari uraian di atas, lembaga praperadilan yang seharusnya dapat menjamin hak
asasi seorang tersangka secara fundamental sesuai dengan inspirasinya, tetapi
kenyataannya hanya merupakan instrumen pelengkap sistem peradilan pidana
saja. (Bersambung) (Bagian III)

[1] A. Patra M. Zen dkk. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia : Pedoman Anda
Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta : YLBHI, 2007. Hlm. 235.

Penulis:

CSA Teddy Lesmana


Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Jambi - Bagian dari Tim Penulis
Blog www.jambilawclub.blogspot.com
in Share 0
Share
Share on :

Editor: Admin
Label: Fokus, Insight

Artikel Terkait
Naskah Melayu Tertua Dunia di Kerinci
DIKOTOMI KEBIJAKAN PUBLIK
Menimbang RUU Intelijen Negara
MEMBACA MITOS HUKUM DITENGAH PERCEPATAN PERUBAHAN
"Kesemrawutan" Hukum Indonesia
Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian V Selesai)
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Copyright Jambi Law Club 2011 - Allrights reserved

Home
Tentang JLC
Blog

Rabu, 30 Maret 2011


Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana
Indonesia (Bagian V - Selesai)
Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana
Indonesia (Bagian V - Selesai)

CSA Teddy Lesmana*)

C. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Dalam Sistem Peradilan Pidana Yang


Melindungi Hak Asasi Tersangka

Dari uraian di atas menunjukan bahwa pembangunan hukum nasional, terutama


hukum acara pidana belum secara fundamental mewujudkan hakikat dan
tujuannya dalam menempatkan manusia pada kedudukan dan harkat
martabatnya sebagai manusia. Hal ini disebabkan arah kebijakan kriminal hukum
pidana sendiri belum sepenuhnya mencerminkan dan mengambil langkah
penerapan sistem yang berpihak kepada rasa keadilan bagi masyarakat. Selain
kebijakan dalam pembentukan norma-norma hukum pidana yang lemah dan
cenderung tidak memihak pada HAM, perilaku (law behaviour) aparat dalam
sistem peradilan sendiri yang tidak profesional, disintegritas, dan tidak
berkepribadian serta bermoral lemh, melengkapi kegagalan terwujudnya tujuan
mulia dari sistem peradilan itu sendiri.

Maka untuk meningkatkan pemberdayaan terhadap lembaga peradilan dan


lembaga penegakan hukum, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), pada Bab III yang
menunjukan bahwa pemerintah telah menetapkan kebijakan mengenai
peningkatan kualitas dan kemampuan aparat penegak hukum yang lebih
profesional, berintegritas, berkepribadian dan bermoral tinggi melalui perbaikanperbaikan sistem perekruitan dan promosi aparat penegak hukum, pendidikan
dan pelatihan, serta mekanisme pengawasan yang lebih memberikan peran
serta yang besar kepada masyarakat terhadap perilaku aparat penegak hukum.

Kegiatan pokok yang dilakukan untuk melaksanakan program pembangunan


dalam kebijakan kriminal sebagaimana disebutkan di atas, antara lain kegiatankegiatan yang berhubungan langsung dengan sistem peradilan adalah sebagai
berikut :
1.
Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan,
sejak dimulainya penyelidikan suatu perkara pidana sampai pada tahap
pemidanaan, sehingga memudahkan bagi partisipasi masyarakat dalam
mengawasi dan mengkoreksi demi pembenahan terhadap menejemen dan
perilaku penegak hukum itu sendiri.
2.
Meningkatkan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat tidak
mampu, dengan cara menegaskan prinsip bantuan hukum dalam peradilan
pidana sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi tanpa terkecuali oleh para
penegak hukum.
3.
Memperbaharui norma-norma pidana yang lemah dengan norma yang
lebih kuat dan lebih memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

4.
Memperbaharui sistem dan mekanisme rekruitmen aparat penegak
hukum.
5.
Meningkatkan sarana dan prasarana penegakan hukum baik bagi penegak
hukum itu sendiri maupun bagi masyarakat agar masyarakat termudahkan
dalam melaksanakan suatu aturan hukum.

Khusus mengenai pembentukan norma hukum pidana, dalam masyarakat yang


teratur yang sudah terorganisasikan secara politik dalam bentuk negara, proses
pembentukan hukum itu berlangsung melalui proses politik yang menghasilkan
perundang-undangan, proses peradilan yang menghasilkan yurisprudensi,
putusan birokrasi pemerintahan yang menghasilkan ketetapan, perilaku hukum
warga dalam kehidupan sehari-hari yang memunculkan hukum tidak tertulis dan
pengembangan ilmu hukum (pembentukan doktrin). Corak hukum yang berlaku
dalam suatu negara ditentukan oleh faktor kesadaran hukum yang hidup dalam
masyarakat dan faktor politik hukum. Kedua faktor tersebut harus berkaitan
dengan falsafah hidup bangsa, yaitu Pancasila. oleh karena itu, Cita Hukum
Pancasila berintikan dasar-dasar falsafah Pancasila jyang ditandai oleh:
1.

Pemberian keadilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa;

2.

Penghormatan dan penghargaan atas martabat manusia;

3.
Wawasan hukum yang memenuhi kepentingan dan mencerminkan
kebangsaan yang beraneka ragam;
4.

Persamaan dan kelayakan hukum;

5.

Hukum yang memberikan keadilan sosial;

6.
Moral hukum dan budi pekerti luhur baik dari masyarakat maupun aparat
penegak hukum;
7.

Partisipasi dan transparansi dalam pengambilan putusan publik.

Semua cita-cita hukum Pancasila itu harus dapat diimplementasikan dalam


kebijakan kriminal Indonesia yang dimulai dari pembaharuan baik hukum pidana
materiil maupun hukum pidana formil. Sehingga tujuan hukum untuk
mewujudkan pengayoman bagi manusia, yaitu melindungi manusia secara pasif
dengan mencegah tindakan sewenang-wenang, serta secara aktif menciptakan
kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan proses
kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia
memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangkan seluruh
potensi kemanusiaannya secara utuh dapat benar-benar diwujudkan.
IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya di atas, dapat ditarik kesimpulan


untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, sebagai berikut:
1. Secara garis besar hak-hak tersangka yang diatur dalam KUHAP tergambar
dalam prinsif azas praduga tak bersalah. Apabila diamati dari bentuknya,
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi tersangka dapat diketegorikan
dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Pelanggaran administratif dan prosedural penyelidikan dan penyidikan.
b. Pelanggaran terhadap diri pribadi (jiwa, raga)

2. Perlindungan hukum atas hak asasi tersangka dalam sistem peradilan pidana
Indonesia dapat dikatakan sudah baik jika dibandingkan dengan ketentuan
hukum kolonial. KUHAP menginginkan proses peradilan pidana yang
mengembangkan paradigma yakni, bahwa warga negara yang menjadi
tersangka tidak lagi dipandang sebagai objek tetapi sebagai subjek yang
mempunyai hak dan kewajiban. Namun demikian KUHAP belum menunjukan
pengaturan hak asasi tersangka secara fundamental.

B. Saran
1.
Penerapan upaya paksa (dwang middelen) sebaiknya harus dikurangi
dengan lebih mengedepankan kualitas criminal sciencetific (ilmu kriminal)
petugas kepolisian agar kebenaran yang dihasilkan dapat
dipertanggungjawabkan lebih secara ilmiah, dan yang paling penting adalah
dalam penegakan hukum pidana tidak boleh melanggar hak asasi manusia
dalam hal ini hak asasi tersangka pada tahap penyidikan.

2.
Sebaiknya ada perluasan kewenangan lembaga praperadila agar dapat
lebih menjamin hak asasi tersangka secara lebih fundamental. Atau dengan
menciptakan formula baru sebagai pengganti lembaga praperadilan mengingat
kelemahan lembaga mengadukan hak tersangka yang ada selama ini.
(Bagian IV)
***

KEPUSTAKAAN

A. Buku-Buku
El-Muhtaj, Majda. M.Hum. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia
dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta :
Kencana.

Hamzah, Andi. Prof. Dr. jur. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi kedua).
Jakarta : Sinar Grafika.

Harahap, Yahya M., SH. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Ed. 2, Cet. 8. Jakarta : Sinar Grapika.

Kaligis, O.C. Dr. S.H. M.H. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka,
Terdakwa dan Terpidana. Bandung : Alumni.

___________. 2007. Antologi Tulisan Hukum Jilid-3. Bandung : Alumni.


Marzuki, Peter Mahmud. Prof. Dr. SH. MS. LL.M. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta :
Kencana.

Pangaribuan, Luhut M.P. S.H. LL.M. Advokat dan Contempt of Court Suatu Proses
di Dewan Kehormatan Profesi. Jakarta : Djambatan.

__________. 2006. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Djambatan.


Patra, A. M. Zen dkk. 2007. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia : Pedoman
Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta : YLBHI.

Salim, Peter dan Yenny Salim. 1995. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer Ed. 2.
Jakarta : Media English First.

B. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

_______________. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana . UU Nomor 8


Tahun 1981. LNRI Tahun 1981 Nomor 76. TLNRI Nomor 3209.

_______________. Undang-Undang Tentang Penetapan Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana. UU Nomor 73 Tahun 1958. LNRI Tahun 1958
Nomor 127.

_______________. Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia. UU Nomor 39


Tahun 1999. LNRI Tahun 1999 Nomor 165. TLNRI Nomor 3886.

_______________. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang


Pelaksanaan KUHAP.

C. Makalah
Asshiddiqie, Jimly. Peran Advokat dalam Penegakan Hukum . Bahan Orasi
Hukum pada acara Pelantikan DPP IPHI Masa Bakti 2007 2012. Bandung, 19
Januari 2008.

D. Situs Website
http://www.law-insight.blogspot.com/
___________________________

Penulis:

CSA Teddy Lesmana


Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Jambi - Bagian dari
Tim Penulis Blog www.jambilawclub.blogspot.com
in Share 0
Share
Share on :
Editor: Admin
Label: Fokus, Insight

Artikel Terkait
Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian IV)
Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian III)
Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian II)
Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian I)
Politik Hukum Kolonial Terhadap Hukum Islam Di Indonesia
Sistem Pemerintahan
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Copyright Jambi Law Club 2011 - Allrights reserved

Perlindungan Hak-Hak Tersangka D

Anda mungkin juga menyukai