Karya: Ronggowarsito
Islam dan Mistik Jawa
Alkisah, seorang dewa Hindu, Wisnu didorong oleh keinginannya yang besar untuk
mencari titik temu antara ajaran Hindu dan Islam, rela menempuh perjalanan jauh,
dengan mengarungi lautan dan daratan, untuk datang ke negeri Rum (Turki), salah
satu pusat negeri Islam, yang kala itu dalam penguasaah Daulah Usmaniyah. Untuk
mencapai maksud itu, Wisnu mengubah namanya menjadi Seh Suman. Dia pun
menganut dua agama sekaligus, lahir tetap dewa Hindu namun batinnya telah
menganut Islam.
Dan demikianlah, setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan
melelahkan, sampailah Seh Suman di Negeri Rum. Kebetulan pada masa itu Seh
Suman bisa menghadiri musyawarah para wali itu bertujuan untuk mencocokkan
wejangan enam mursid (guru sufi):
1) Seh Sumah,
2) She Ngusman Najid,
3) Seh Suman sendiri,
4) Seh Bukti Jalal,
5) Seh Brahmana dan
6) Seh Takru Alam.
Demikianlah ikhtisah Suluk Saloka Jiwa karya pujangga Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat, Raden Ngabei Ranggawarsita, sebagaimana dirangkumkan oleh pakar
masalah kejawen dari IAIN Sunan Klaijaga Yogyakarta, Dr. Simuh (1991:76). Menurut
Simuh, kitab ini nampaknya diilhami oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli
sufi untuk membehas ilmu kasampuranan atau makrifat yang banyak berkembang di
dunia tarekat.
Dunia Penciptaan
Sumber lain menyebut kitab ini sebagai Suluk Jiwa begitu saja. Misalnya, dalam
disertasi Dr. Alwi Shihab di Universitas Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Indunisi AlMaasir yang kemudian diindonesiakan oleh Dr. Muhammad Nursamad menjadi, Islam
Sufistik : Islam Pertama dan pengaruhnya hingga kini di Indonesia (Mizan, 2001).
Bahkan bukan saja penyebutan judulnya yang berbeda, namun nama tokoh-tokohnya
ditulis menurut ejaan Arab. Sehingga, Seh Suman oleh Alwi Shihab ditulisnya sebagai
Sulaiman. Seh Ngusman Najib ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu alur
cerita yang digambarkan oleh Alwi Shihab tidak berbeda dengan yang dipaparkan
oleh Dr. Simuh.
Dari perbedaan penyebutan itu timbul beberapa spekulasi. Spekulasi pertama
barangkali memang penyebutan Alwi Shihab kurang lengkap mengingat Alwi
tampaknya tidak mengambil dari sumber langsung atau mungkin kekeliruan dalam
penerjemahan. Namun, spekulasi yang lain bisa saja antara Suluk Saloka Jiwa dan
Suluk Jiwa memang kitab yang berbeda atau turunan yang lain. Hal ini bisa saja
terjadi karena kitab Jawa, yang penurunannya belum memakai metode cetak tapi
tulisan tangan, suatu kitab sejenis antara turunan yang satu dengan turunan yang
lainnya bisa mengalami perubahan karena ditulis dalam waktu dan kesempatan yang
berbeda, bahkan bisa oleh penulis yang berbeda pula.
Namun, yang pokok, antara apa yang diungkapkan oleh Simuh dengan Alwi Shihab
tidak ada perbedaan yang berarti. Keduanya menyebut bahwa karya Ranggawarsita
yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya mensinkronkan ajaran Islam
dan Jawa (Hinduisme). Bahkan, Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai
Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen. Menurut Menteri Luar Negeri RI pada masa
Lantas, apa yang bisa diambil bagi generasi masa kini atas keberadaan Suluk
Saloka Jiwa?
Lantas, mungkinkah semangat pencarian titik temu antar-nilai suatu agama ini
bisa dijadikan desain strategi budaya untuk membangun pola relasi antar-umat
beragama di Indonesia dewasa ini?
Pertanyaan-pertanya an ini agaknya tidak bisa dipandang enteng, mengingat
kompleksnya permasalahan. Yang jelas, masing-masing pertanyaan di atas memiliki
korelasi dengan konteksnya masing-masing, tinggal bagaimana seorang penafsir
mengambil sudut pandang. Anggapan bahwa ajaran mistik Jawa sebagaimana
tercermin dalam Suluk Saloka Jiwa merupakan bentuk sinkretisme antara Islam dan
Jawa (Hinduisme) boleh dikata merupakan pendapat yang umum dan dominan.
Apalagi, sejak semula Ranggawarsita sendiri-lewat karyanya itu-seakan telah
memberi legitimasi bahwa memang terdapat paralelisme antara Islam dan
Hinduisme. Hal ini seperti tercermin dalam kutipanpupuh berikut ini:
Yata wahu / Seh Suman sareng angrungu / pandikanira / sang panditha Ngusman
Najid / langkung suka ngandika jroning wardoyo // Sang Awiku / nyata pandhita
linuhung / wulange tan siwah / lan kawruhing jawata di / pang-gelare pangukute tan
pra beda // .
Artinya:
Ketika Seh Suman (Wisnu) mendengar ajaran Ngusman Najid, sangat sukacita dalam
hatinya. Sang ulama benar-benar tinggi ilmunya, ajarannya ternyata tidak berbeda
dengan ajaran para dewa (Hinduisme). Pembeberan dan keringkasannya tidak
berbeda dengan ilmu kehinduan. Atas pernyataan ini, kalangan pakar banyak yang
berpendapat bahwa Ranggawarsita seperti telah menawarkan pemikiran agama
ganda bagi orang Jawa, yaitu lahir tetap Hindu namun batin menganut Islam, karena
antara Hindu dan Islam menurutnya memang terdapat keselarasan teologi. Simuh,
misalnya, menyatakan, Maka, menurut Ranggawarsita, tidak halangan bagi priayi
Jawa menganut agama rangkap seperti Dewa Wisnu: Lahir tetap hindu sedangkan
batin mengikuti tuntunan Islam (Simuh; 1991: 77).
Tafsiran demikian ini tidak dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu. Hal
tersebut tidak terlepas dari strategi budaya yang diterapkan keraton-keraton Islam di
Jawa pasca-Demak, yang mencari keselarasan antara masyarakat pesisiran yang
kental dengan ajaran Islam dan masyarakat pedalaman yang masih ketat memegang
keyakinan-keyakinan yang bersumber dari Hindu, Buddha, dan kepercayaankepercayaan asli,agar tidak ada perpecahan ke agamaan. Upaya-upaya ini telah
dilakukan secara sistematis, utamanya sejak dan oleh Sultan Agung, raja ketiga
yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan
antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu
tindakan resistensi . Penolakan tampil dalam nada yang subtil, dan sama sekali
tidak mengesankan adanya heroisme.. ..
Ulil-Abshar barangkali ingin mengatakan inilah cara orang Jawa melakukan
perlawanan: Menang tanpa ngasorake Islam tampaknya telah mengalami
kemenangan di Jawa, namun sesungguhnya Islam telah disubversi sedemikian
rupa, dengan menggunakan tangan Islam sendiri, sehingga sesungguhnya yang
tetap tampil sebagai pemenang adalah Jawa.
Dari Mitis ke Epistemologis
Pada akhirnya, dalam kaitannya relasi Islam-Jawa, bila yang digunakan pendekatan
adalah pandangan kita versus mereka, dan karena itu Jawa dan Islam berada
dalam posisi oposisional dan tanpa bisa didialogkan, serta mendudukannya secara
vis-a-vis, maka sebenarnya tanpa sadar kita pun telah ikut melegitimasi konflik. Kalau
itu yang terjadi, dalam konteks pembangunan toleransi antarpihak, kita sebenarnya
tidak memberikan resolusi, namun justru antisolusi. Karena itu, dalam konteks ini,
resolusi harus dicarikan pendekatan lain. Dan pendekatan yang layak ditawarkan
adalah pendekatan transformatif, yaitu tranformatif dari cara berpikir mitis ke pola
berpikir epistemologis.
Transformasi berpikir mitis ke epistemologis adalah membawa alam pikiran
masyarakat dari semula yang tidak berjarak dengan alam menuju cara berpikir
yang mengambil jarak dengan alam. Dengan adanya keberjarakan dengan alam,
manusia bisa memberi penilaian yang obyektif terhadap alam semesta. Ini tentu saja
berbeda dengan cara berpikir mitis, manusia berada dalam penguasaan alam.
Karena itu, ketika mereka gagal memberi rasionalitas terhadap gejala-gejala alam,
seperti gunung meletus, angin topan, banjir bandang, maka yang dianggap terjadi
adalah alam sedang murka. Berpikir mitos pada akhirnya yang terjadi. Dengan
berpikir epistemologis, mengambil jarak dengan alam, maka manusia bisa memberi
gambaran yang rasional tentang alam, dan kemudian mengolahnya, demi
kesejahteraan umat manusia. Alam pun berubah menjadi sesuatu yang fungsional,
bermanfaat.