Berbicara mengenai efektivitas hukum tidak terlepas membicarakan dan mengkaji mengenai
ketaatan manusia terhadap hukum yang berlaku. Jika suatu aturan hukum ditaati maka dapat
dikatakan aturan hukum tersebut efektif. Namun tetap dapat dipertanyakan lebih jauh
mengenai derajat efektifitasnya. Untuk mengetahui mengenai derajat efektifitas suatu aturan
hukum dapat kita lihat pada hubungan teori ketaatan hukum dari H.C Kelman yaitu
Compliance (taat karena sanksi), Identification (taat karena menjaga hubungan baik),
Internalization (taat karena nilai intrinsic yang dianut).
Sehinnga berbicara efektif tidaknya suatu aturan hukum dilihat dari seberapa besarnya
masyarakat mentaati aturan hukum tersebut dan tergantung dari kepentingannya, jika
masyarakat taat hukum karena kepentingan Compliance (taat karena sanksi), Identification
(taat karena menjaga hubungan baik), maka derajat ketaatnya sangat rendah dan dapat
disimpulkan bahwa suatu aturan hukum tidak efektif dimasyarakat tersebut. Tetapi apabila
ketaatn masyarakat karena Internalization (taat karena nilai intrinsic yang dianut) maka dapat
diartikan bahwa masyarakat tersebut sudah taat hukum dan aturan hukum tersebut sangat
efektif.
Ada dua hal yang dapat dikaji dalam efektifitas hukum :
1. Bagaimana ketaatan terhadap hukum secara umum dan factor-faktor apa yang
mempengaruhinya ;
2. Bagaimana ketaatan terhadap suatu aturan hukum tertentu dan factor-faktor apa yang
mempengaruhinya.
Maka untuk mengkaji factor-faktor apa yang mempengaruhi ketaatan terhadap hukum umum
menurut Achmad Ali, C.G Howard dan R. S Mumners antara lain :
1. Relevansi aturan hukum umum dengan kebituhan hukum dari orang-orang yang
menjadi target aturan hukum secara umum itu. Oleh karena itu jika yang dimaksud
adalah undanundang, maka pembuat undan-undang dituntut untuk mampu memahami
kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang itu dalam hal ini
masyarakat dan badan hukum.
2. Kejelasan dari rumusan substansi dari aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh
target diberlakukannya aturan hukum. Jadi perumusn substansi aturan hukum itu
harus dirancang dengan baik, jika aturannya tertilis maka harus ditulis dengan jelas
dan mampu dipahami secara pasti. Meskipun nantinya akan membutuhkan interpretasi
dari penegak hukum yang akan menerapkannyadalam artian untuk menghindari
multitafsir.
3. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target atau masyarakat aturan hukum itu.
4. Jika yang dimaksud adalah perundang-undangan maka lebih baik yang bersifat
melaran dari pada yang mengharuskan karena aturan yang bersifat melarang
(prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang yang mengharuskan (mandatur)
5. Sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat aturan
hukum yang dilanggar.
6. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan
memungkinkan untuk dilaksanakan. Sanksi yang terlalu berat akan sulit untuk
dilaksanakan dan dapat membuat rasa ketidak adilan sebaliknya sanksi yang terlalu
ringan membuat target aturan hukum tidak segan untuk melakukan kejahatan atau
pelanggaran.
7. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran
terhadap aturan hukum itu adalah memang memungkinkan karena tindakan yang
diatur dan diancam sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati,
oleh karenanya memungkinkan untuk dip roses disetiap tahapan (penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, dan penghukuman)
8. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relative akan jauh
lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan atau tidak diatur sebagai
norma moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya
aturan tersebut. Aturan hukum yang sangat efektif adalah aturan hukum yang
melarang dan mengancam sanksi bagi tindakan atau perbuatan yang juga dilarang dan
diancamkan sanksi o0leh norma lain, seperti : Norma agama, Norma adat istiadat,
Norma Moral dan lainnya.
9. Efektif tidaknya suatu aturan hukum secara umum tergantung pada optimal dan
professional tidaknya aparat penegak hukum dalam menegakkan berlakunya aturan
hukum secara umum.
10. Efektif tidaknya suatu aturan hukum secara umum juga mensyaratkan adanya standar
hidup sosio-ekonomi yang minimal didalam masyarakat.
Jika yang ingin kita kaji adalah efektifitas aturan tertentu atau maka akan tampak perbedaan
factor-faktor yang mempengaruhi efektifitas dari setiap aturan hukum yang berbeda tersebut.
Jika yang ingin kita kaji adalah efektifitas perundang-undangannya, maka kita dapat
mengatakan efektifnya suatu perundang-undangan tergantung pada beberapa factor antara
lain :
1. Pengetahuan terhadap substansi (isi) dari perundang-undangan tersebut.
2. Cara-cara memperoleh pengetahuan tersebut
3. Institusi yang terkait perundang-undangan dalam masyarakatnya
4. Bagaimana proses lahirnya suatu undang-undang secara tergesa-gesa untuk
kepentingan yang instant atau sesaat sehinnga memiliki kualitas yang buruk dan tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Menurut Achmad Ali factor yang mempengaruhi efektifitas hukum dan perundang-undangan
adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang, dan fungsi dari penegak
hukum, baik dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka maupun dalam
menegakkan hukum dan undang-undang.
http://www.scribd.com/doc/51630964/Efektivitas-Hukum
kumpulan makalah
semoga bermanfaat sista, n mas bRoo... :)
Jumat, 29 Juni 2012
EFEKTIFITAS HUKUM
Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektifitas hkum dapat diukur maka
kita juga harus tau sejauh mana hukum tersebut ditaati atau tidak. Jika suatu
hukum telah ditaati oleh sebagian besar target maka dapat dikatakan bahwa
aturan hukum tersebut efektif. Namun sebenarnya ditaati atau tidaknya suatu
hukum tergantung pada kepentingan seseorang. Dan kepentingan tersebut
bersifat macam-macam. Jika mengkaji mengenai ketaatan hukum secara umum,
maka ada beberapa faktor-faktor yang perlu diuraikan seperti halnya sebagai
berikut : a. Relevansi aturan hukum secara umum dengan kebutuhan hukum dari
orang-orang yang menjadi target aturan hukum. Jika suatu aturan hukum berupa
undang-undang, maka si pembuat undang-undang dituntut untuk paham akan
kebutuhan hukum tersebut, dan mengenai subtansinya sebaiknya suatu
perundang-undanag bersifat melarang, karena hukum yang bersifat melarang
lebih mudah untuk diterapkan atau dilaksnakan dari hukum yang hanya bersifat
mengaruskan, khususnya pata aturan hukum yang mengandung nilai moral b.
Sosialisasian yang optimal pada seluruh target aturan hukum. Semua penduduk
dimanapun, tidaka akan mungkin mengetahui keberadaan suatu hukum ketika
tidak adanya suatu pensosialisasian yang optimal. Oleh karena itu sangatlah
penting peran sosialisasi itu sendiri, khususnya untuk suatu aturan hukum yng
baru saja dibuat. c. Kejelasan rumusan dari subtansi aturan hukum Harus adanya
perumusan subtansi aturan hukum yang jelas dan baik agar mudah dipahami
sehingga tidak memunculkan suatu keambiguan dalm aturan hukum, meskipun
nantinya tetap membutuhkan suatu interpretasi dari penegak hukum yang akan
menerapkannya. d. Sanksi Dalam pelaksanaan sanksi itu sendiri sebenarnya
harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar, karena tidak
semua sanksi yang dijatuhkan dirasa tepat, Namun tetap saja harus adanya
sangsi yang tegas agar segala aturan hukum dapat berjalan dengan baik dan
terarah. Sedangkan ketika dilihat dari nilai proporsionalnya terkadang akan
menimbulkan suatu ketidak adilan bagi seseorang walaupun dia memang divonis
bersalah. Jadi menenai penjatuhan suatu sanksi dirasa juga harus
mempertimbangkan kondisi, karena kodisi tiap pelanggar aturan hukum tidak
semua sama. Itulah yang perlu jadi pertimbangan bagi aparat pelaksana
penegak hukum. e. Profesional tidaknya aparat penegak hukum Efektif tidaknya
suatu aturan hukum juga ditentukan oleh keprofesionalan para aparat penegak
hukum dalam penegakan aturan hukum tsb, karena mereka memiliki peran yang
cukup besar terkait pelaksanaan hukum itu sendiri, mulai dari tahapan
http://makalahjenius.blogspot.com/2012/06/efektifitas-hukum.html
Dengan kata lain, efektifitas hukum adalah kesesuaian antara apa yang diatur dalam hukum
dengan pelaksanaannya. Bisa juga karena kepatuhan masyarakat kepada hukum karena
adanya unsur memaksa dari hukum. Hukum yang dibuat oleh otoritas berwenang adakalanya
bukan abstraksi nilai dalam masayarakat. Jika demikian, maka terjadilah hukum tidak
efektif, tidak bisa dijalankan (unworkable), atau bahkan atas hal tertentu terbit
Pembangkangan Sipil.
Menurut Yehezkel Dror, seorang pakar sosiologi hokum, Adanya kesenjangan antara
perilaku sosial masyarakat dengan norma hukum, menciptakan ruang ketegangan (tention),
sehingga perlu penyesuaian dengan norma yang baru.
Selanjutnya, menurut Antony Alloott yang menulis artikel The Effectiveness of Law,
dalam Valparaiso University Law Review, Vol. 15, Winter 1981], memaparkan alasan
mengapa Hukum iidak tfektif?
Pertama: Problem dalam pemancaran akhir norma hukum, disebabkan tidak menyebarnya
norma hukum yang diterbitkan. Hukum tidak bisa diadaptasi subyek sebagai pesan
instruksional (instructional messages) karena membutuhkan lawyer sebagai special
decoders namun tidak bisa/mampu menyediakannya.
Kedua: Kemungkinan konflik antara arah dan tujuan legislator dengan kebiasaan sosiologis
masyarakat (nature of society). Terjadi kesenjangan antara masyarakat moderen (modern
society) dengan masyarakat adat (customary society).
Ketiga: kegagalan implementasi hukum itu sendiri. Seringkali tidak cukup tersedia
perangkat norma (norms), perintah (orders), institusi (institutions), atau proses (processes)
yang berkaitan dengan Undang-undang.
Kadar efektifitas dan ketidakefektifan penerapan hukum itu berbeda-beda pada tiap norma
hokum yang merupakan norma kuratif, preventif, fasilitatif. Berbeda pula akseptasi subyek
antara jenis norma antara hukum netral (misalnya hukum kontrak, hukum jual beli), dan
norma hukum non netral (misalnya sons preference dalam Hukum keluarga, status non
marital child, dll.). Karena itu, efektifitas dipengaruhi ada atau tidak dan bagaimana
kesenjangan dan tention antara norma dengan perilaku/keadaan masyarakat.
sanction arises but not necessarily for every law). DEmikian pendapat Prof.Hari Chand,
Morend Jurisprudence, International Law Book Services, 1994, p.111.
Kita pun patut menyoal efektifitas pidana penjara yang sudah berlangsung sangat panjang
dalam sejarah hukum. Menurut R.M. Jackson :
l Pidana penjara termasuk jenis pidana yang relatif kurang efektif, dalam hal menekan tidak
berulangnya suatu perbuatan pidana.
l Angka rata-rata residivis (bagi yang pertama kali melakukan tindak pidana) berbanding
terbalik dengan usia pelaku.
Sementara itu, Barda Nawawi Arief mendalilkanm pidana penjara membawa pengaruh lebih
jahat, sehingga sering dikatakan bahwa rumah penjara adalah perguruan tinggi kejahatan atau
pabrik kejahatan. Pada anak-anak mencapai 50%, untuk mereka yang pernah dipidana
berusia 21 tahun ke bawah, mencapai 70%, residivis, lebih tinggi daripada yang bukan
residivis setelah dijatuhi pidana penjara daripada pidana lainnya.
Pandangan Richard Posner: Dilihat dari segi ekonomi pidana denda mengandung nilai yang
tidak ditemukan pada pidana penjara sehingga lebih menguntungkan daripada pidana penjara.
Biaya sosial pidana penjara lebih besar.
Phil Dickens, yang mengemukakan bahwa The idea that prisons serve to reform criminals
is a nonsense. Berdasarkan Fifth United Nations Congress on The Prevention of Crime and
The Treatment of Offenders Report, bahwa pada umumnya diakui mekanisme peradilan dan
kepenjaraan (the judicial and prison mechanism) mempunyai pengaruh yang kondusif untuk
timbulnya kejahatan dalam hal tertentu menciptakan karir-karir penjahat.
http://www.advokatmuhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas-penerapanhukum.html
Efektivitas Hukum
Salah satu cara pemberantasan peredaran gelap narkotika yang dipandang efektif perlu dicari
pemecahan masalah ialah dengan mencari akar masalahnya dalam kehidupan sosial
masyarakat. Berbicara efektifitas hukum, Soerjono Soekanto (2011: 26) berpendapat tentang
pengaruh hukum Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak
atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah pengaruh hukum tidak
hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum tapi mencakup efek total
dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif.
Ketaatan seseorang bersikap tindak atau berperilaku sesuai dengan harapan pembentuk
undang-undang bahwa pengaruh hukum terhadap sikap tindak atau perilaku, dapat
diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance)
dan pengelakan (evasion). Konsep-konsep ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan
pengelakan sebenarnya berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan.
Bilamana hukum tersebut berisikan kebolehan, perlu dipergunakan konsep-konsep lain, yakni
penggunaan (use), tidak menggunakan (nonuse) dan penyalahgunaan (misuse); hal tersebut
adalah lazim dalam bidang hukum perikatan.
Efektifitas penegakan hukum dibutuhkan kekuatan fisik untuk menegakkan kaidah-kaidah
hukum tersebut menjadi kenyataan berdasarkan wewenang yang sah. Sanksi merupakan
aktualisasi dari norma hukum threats dan promises, yaitu suatu ancaman tidak akan
mendapatkan legitimasi bila tidak ada faedahnya untuk dipatuhi atau ditaati. Internal values
merupakan penilaian pribadi menurut hati nurani dan ada hubungan dengan yang diartikan
sebagai suatu sikap tingkah laku.
Efektifitas penegakan hukum amat berkaitan erat dengan efektifitas hukum. Agar hukum itu
efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi tersebut. Suatu
sanksi dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance),
dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah efektif.
Sanksi merupakan aktual dari norma hukum yang mempunyai karakteristik sebagai ancaman
atau sebagai sebuah harapan. Sanksi akan memberikan dampak positif atau negatif terhadap
lingkungan sosialnya. Disamping itu, sanksi ialah penilaian pribadi seseorang yang ada
kaitannya dengan sikap perilaku dan hati nurani yang tidak mendapatkan pengakuan atau
dinilai tidak bermanfaat bila ditaati. Pengaruh hukum dan konsep tujuan, dapat dikatakan
bahwa konsep pengaruh berarti sikap tindak atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu
kaidah hukum dalam kenyataan, berpengaruh positif atau efektifitasnya yang tergantung pada
tujuan atau maksud suatu kaidah hukum. Suatu tujuan hukum tidak selalu identik dinyatakan
dalam suatu aturan dan belum tentu menjadi alasan yang sesungguhnya dari pembuat aturan
tersebut.
ketentuan tertentu akan mendapat risiko ancaman hukuman yang berat ? Disamping itu,
kecepatan penindakan pelaksanaan hukuman dengan kepastian dan beratnya hukuman
mempunyai efek yang lebih besar daripada hal itu ditunda.
Ancaman hukuman dalam sanksi negatif akan lebih berpengaruh terhadap perilaku
instrumental dari pada perilaku kriminal ekspresif. Karakteristik suatu ancaman dan harapan
dari sebuah sanksi ialah The nature of the sanction, reward and punishment, perception of
risk and the speed of enforcement. Sanksi secara konvensional dibagi dalam dua bagian besar
yaitu imbalan (reward) dan penghukuman (punishment).
Reward dan punishment merupakan konsep sanksi yang selalu banyak didiskusikan oleh
semua orang dalam kaitan dengan sebuah pertanyaan mana yang lebih efektif antara reward
dan punishment. Punishment (penghukuman) kelihatannya tidak sebaik apabila dikenakan
suatu reward (imbalan). Kecepatan dalam memberikan hukuman atau imbalan akan
mendatangkan kepastian yang amat penting dan mampu menyelesaikan masalah-masalah
yang sangat pelik. Penghukuman atau imbalan secara lebih awal akan memberikan pengaruh,
dibanding dengan menunda-nunda permasalahannya.
Peranan penegak hukum dalam arti fungsi dan maknanya merupakan bagian dari konsep
struktur hukum. Oleh sebab itu, sebelum dilakukan pembahasan tentang peranan penegak
hukum terlebih dahulu diketahui tentang pengertian sistem hukum.
Menurut Friedmann (2001: mengemukakan bahwa sebuah sistem hukum, pertama
mempunyai struktur. Kedua memiliki substansi, meliputi aturan, norma dan perilaku nyata
manusia yang berada didalam sistem itu. Termasuk pula dalam pengertian substansi ini
adalah semua produk, seperti keputusan, aturan baru yang disusun dan dihasilkan oleh orang
yang berada di dalam sistem itu pula. Aspek ketiga, budaya hukum meliputi kepercayaan,
nilai, pemikiran serta harapannya. Struktur dapat diibaratkan sebagai mesin. Substansi adalah
apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum (legal culture) adalah apa
saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta
bagaimana mesin itu harus digunakan.
Ancaman hukuman dalam sanksi negatif Lawrence Friedman (2001: 11-18) selanjutnya
menguraikan tentang fungsi sistem hukum yakni:
1. Fungsi kontrol (social control), yang menurut Donald Black bahwa semua hukum
berfungsi sebagai kontrol social pemerintah.
2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan konflik
(conflict). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya
berbentuk pertentangan lokal berskala kecil (mikro). Sebaliknya pertentanganpertentangan yang bersifat makro dinamakan konflik.
3. Fungsi redistribusi atau rekayasa social (redistributive function or social engineering
function). Fungsi ini mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan
perubahan social yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah.
4. Fungsi pemeliharaan social (social maintenance function). Fungsi ini berguna untuk
menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan susuai dengan aturan mainnya (rule
of the game).
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk
mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum
itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame
work) yang telah ditetapkan oleh suatu undang-unang atau hukum. Pengertian sistem
penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto (1985:13) adalah:kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan
menilai yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai social engineering), memelihara dan
mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup.
Sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah menyangkut
penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan perilaku nyata manusia. Pada
hakikatnya, hukum mempunyai kepentingan untuk menjamin kehidupan sosial masyarakat,
karena hukum dan masyarakat terdapat suatu interelasi.
Mengenai hal ini, dalam mengidentifikasi tentang hubungan penegakan hukum pidana
dengan politik kriminal dan politik sosial menyatakan bahwa penegakan hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal). Tujuan akhir
dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, penegakan hukum pidana yang merupakan
bagian dari politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (politik sosial). Sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat wajarlah bila dikatakan
bahwa usaha penanggulangan kejahatan (termasuk usaha penegakan hukum pidana)
merupakan integral dari rencana pembangunan nasional.
Berdasarkan orientasi pada kebijakan sosial itulah, dalam menghadapi masalah kriminal atau
kejahatan, menurut Djoko Prakoso (1999:12), harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya
sebagai berikut:
hendy sarmyendra
Hukumnya sendiri.
Penegak hukum.
Sarana dan fasilitas.
Masyarakat.
Kebudayaan.
A. Faktor Hukum
Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan
kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara
normatif.
Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum
merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan
itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan
hukum bukan hanya mencakup low enforcement saja, namun juga peace
maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses
penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk
mencapai
kedamaian.
Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat
diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan
perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang
isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara
kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.
D. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok
sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah
taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau
kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum,
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan
malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan
hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan
sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan
hukum.
E. Faktor Kebudayaan
Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal
kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang
sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya
kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan
adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan
mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok
dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan
hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya
sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undangundangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh
penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh
masyarakat luas.
Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidaklah
disebutkan faktor mana yang sangat dominan berpengaruh atau mutlaklah
semua faktor tersebut harus mendukung untuk membentuk efektifitas hukum.
Namun sistematika dari kelima faktor ini jika bisa optimal, setidaknya hukum
dinilai dapat efektif.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali
untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana
penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang,
kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.
Dari apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto, tentu bukan hanya kelima faktor
tersebut, tetapi banyak faktor-faktor lainnya yang ikut mempengaruhi efektifnya
suatu hukum diterapkan. Salah satu inisialnya adalah faktor keadaan atau
kondisi yang melingkupi penerapan suatu hukum.
Hukum disini bisa saja menjadi tidak menentu dan menjadi wilayah abu-abu
tidak jelas dan samar-samar bahkan kerapkali dipermainkan untuk kepentingan
tertentu sehingga tidaklah heran bila orang yang tidak bersalah sama sekali bisa
di
hukum
dan
orang
yang
bersalah
menjadi
bebas.
Di negeri ini telah banyak contoh-contoh kasus, semisal kasus Ryan yang cukup
menjadi sorotan karena dalam kasus pembunuhan ini terjadi salah tangkap
subjektif dari masing-masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil
bagi
si
Baco
belum
tentu
di
rasakan
adil
bagi
si
Sangkala.
Bahkan ada pula ilmuwan yang pernah mengungkapkan kekecewaannya selama
mengamati pelaksanaan penegakan hukum di Negara yang berlambang Burung
Garuda ini, dengan lantang mempublikasikan pernyataannya dalam suatu
tulisan, bahwa seandainya Negara, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara tidak
peduli pada Penegakan Hukum, maka orang-orang yang cinta hukum tidak boleh
putus
asa.
Hal ini, diungkapkan Dr. Syamsuddin Pasamai, SH bahwa dalam bukunya
Sosiologi dan Sosiologi Hukum, dimana pada hakikatnya persoalan efektivitas
hukum mempunyai hubungan yang sangat erta dengan persoalan penerapan,
pelaksanaan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya
hukum benar-benar berlaku secara Filosofis, Yuridis dan Sosiologis.
Berkenaan dengan morfologi antara efektivitas hukum dengan persoalanpersoalan di sekitar penerapan pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut,
tidak jarang ditemukan ada warga masyarakat yang memvonis bahwa keadaan
Pemerintah (arti luas) di Indonesia, secara empiric mencerminkan bahwa
penerapan pelaksanaan dan Penegakan hukum ternyata masih belum atau
kurang efektif. Hal ini disebabkan fungsi hukum belum dijalankan sebagaimana
mestinya sehingga berakibat tidak dapatnya diwujudkan tujuan-tujuan postif dari
hukum.
Menurut L.J. Van Apeldoorn, bahwa efektivitas hukum berarti keberhasilan
keberhasilan, kemajemukan atau kekujaraban hukum atau Undang-Undang
untuk
mengatur
pergaulan
hidup
masyarakat
secara
damai.
Pandangan L.J. Van Apeldoorn ini, memandang efektifnya suatu hukum dilihat
dari output, bila di sana-sini masih saja terjadi berbagai pelanggaranpelanggaran hukum, kriminalitas masih marak dilakukan di mana-mana dengan
berbagai modus operasional baru, maka disinilah hukum dipertanyakan,
walaupun dengan ini dapat saja dibantah bahwa bukan hanya hukumnya saja
tetapi
termasuk
pelaksanaan
hukumnya.
Pertanyaan yang patut untuk dijawab, karena masih saja ada pelanggaran
hukum, kenapa orang masih saja mencuri, kenapa orang masih saja ada yang
membunuh, kenapa masih saja saja orang melanggar lalu lintas, kenapa masih
saja ada yang korupsi dan sederet lagi pertanyaan-pertanyaan yang seakan
tidak habis untuk dipertanyakan, sementara hukumnya yang mengatur jelas
dengan
sangsi-sangsinya.
Jawaban dari semua ini adalah bahwa efektivitas hukum hanya dapat terlaksana
dengan baik, manakala hukum dijunjung tinggi dan moralitas penegak
hukumnya serta masyarakat yang mensupport ke arah itu.
http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan-bermasyarakat.html
1.Latar Belakang
Sejak lahir didunia , manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lain
didalam suatu wadah yang bernama masyarakat. Mula-mula dia berhubungan
dengan orang tuanya, dan semakin meningkat umurnya, semakin luas pula daya
cakup pergaulannya dengan manusia lain didalam masyarakat tersebut. Lama
kelama-an dia mulai menyadari bahwa kebudayaan dan peradaban yang dialami
dan dihadapinya, merupakan hasil pengalaman masa-masa yang silam. Secara
sepintas lalu dia pun mengetahui bahwa dalam berbagai hal dia mempunyai
persamaan dengan orang-orang lain, sedangkan dalam hal-hal lain dia
mempunyai sifat-sifat yang khas berlaku bagi dirinya sendiri. Sementara
semakin meningkat usianya manusia mulai mengetahui bahwa dalam
hubungannya dengan warga-warga lain dari masyarakat dia bebas, namun dia
tidak boleh berbuat semau-maunya. Hal itu sebenarnya telah dialaminya sejak
kecil, walaupun dalam arti yang sangat terbatas. Dari ayah, ibu dan saudarasaudaranya dia belajar tentang tindakan-tindakan apa yang boleh dilakukan dan
tindakan-tindakan apa yang terlarang baginya. Hal ini semuanya lama kelamaan
menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan didalam
masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian
terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh karena merupakan
pegangan baginya.
Hubungan-hubungan antar manusia serta manusia dengan masyarakat dengan
kelompoknya, diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah dan peri
kelakuannya lama-kelamaan melembaga menjadi pola-pola. Jadi, sejak dilahirkan
didunia ini manusia telah mulai sadar bahwa dia meruapakan bagian dari
kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan
manusia tadi memiliki kebudayaan. Selain daripada itu, manusia telah
mengetahui bahwa kehidupannya dalam masyarakat pada hakikatnya diatur
oleh bermacam-macam aturan atau pedoman. Dengan demikian seorang awam,
secara tidak sadar dan dalam batas-batas tertentu dapat mengetahui apa yang
sebenarnya menjadi obyek atau ruang lingkup dari sosiologi dan ilmu hukum,
yang merupakan induk-induk dari sosiologi hukum,[1]Apabila seseorang
membicarakan masalah berfungsinya hokum dalam masyarakat, maka biasanya
pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku
atau tidak. Masalahnya kelihatannya sangat sederhana padahal, dibalik
kesederhanaan tersebut ada hal-hal yang cukup merumitkan.
Didalam teori-teori hukum, biasanya dibedakan anatara tiga macam hal
berlakunya hukum sebagai kaedah. Hal berlakunya kaedah-kaedah hukum
tersebut disebut gelding (bahasa Belanda). Tentang hal berlakunya kaedah
hukum ada anggapan-anggapan sebagai berikut:
1. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada
kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau berbentuk menurut
cara yang telah ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan keharusan
antara suatu kondisi dan akibat.
2. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif,
artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun
tidak diterima oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku
karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).
3. Kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya, sesuai dengan citacita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
Kalau ditelaah secara lebih mendalam, maka agar supaya berfungsi, maka suatu
kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut ditas.[2] Jika tidak
terpenuhinya salah satu unsure tidak akan berfungsi seperti yang dikehendaki
oleh hukum itu sendiri. Contohnya kasus Bibit dan Candra yang mendapat
tantangan begitu luas dari masyarakat
2. permasalahan
Tidak selalu kehendak hukum selalu sesuai dengan yang dikehendaki oleh
hukum, maka dalam kehidupan nyata dalam mayarakat kadang-kadang berbeda
dengan yang dikehendaki oleh hukum. Contoh kasus yang paling baru adalah
kasus Bibit dan Candra yang melibatkan banyak melibatkan para petinggi
penegak hukum di Indonesia . Namun kenyataannya kasus tersebut mendapat
tantangan dari masyarakat, walaupun kasus tersebut memenuhi unsur pidana,
namun dalam prakteknya mendapat tantangan dari msyarakat, padahal sangat
mungkin kasus tesebut memenuhi semua unsure pidananya, namun ternyata
tidak memenuhi salah satu unsur sosiologi hukumnya.
Oleh karena itu dari ketiga unsur tersebut harus berjalan bersama-sama jika
salah satunya tidak terpenuhi akan melahirkan ketidak adilan seperti yang
terjadi dengan kasusnya Bibit dan Candra contoh diatas.
3. Analisis kasus
Seperti yang katakan oleh Soeryono Soekanto hukum yang baik adalah yang
memenuhi ketiga unsure tersebut di atas, dan ketiganya harus berjalan
berbarengan jika salah satu unsure ditinggalkan ada kemungkinan tidak akan
menghasilkan rasa keadilam dimasyarakat, dengan dasar salah satu unsure
sosiologis diharapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima
oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan perundang-undangan
yang diterima secara wajar oleh masyarakat akan mempunyai daya berlaku
efektif dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusional untuk
melaksanakannya. Soeryono Soekanto-Pornadi Purbacaraka mencatat dua
landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum yaitu:
(1) Teori kekuasaan (Machttheorie), secara sosiologis kaidah hukum berlaku
karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh
masyarakat.
(2) Teori pengakuan, (Annerkennungstheorie). Kaedah hukum berlaku
berdasarkan penerimaan masyarakan tempat hukum itu berlaku.
Tetapi satu hal yang harus diingat bahwa keyataan yang hidup dalam
masyarakat sebagai dasar sosiologis harus termasuk pula kecenderungan dan
harapan-harapan masyarakat. Tanpa memesukkan faktor-faktor kecenderungan
dan harapan masyarakat maka perturan perundangan-undangan hanya sekedar
merekam keadaan seketika. Keadaan seperti itu akan menyebabkan kelumpuhan
peranan hukum. Hukum akan tertinggal dari dinamika masyarak. Bahkan
peraturan perundang-undangan akan menjadi konservatif karena seolah-olah
mengukuhkan yang ada. Hal ini bertentangan dengan sisi lain dari peraturan
perundang-undangan yang diharapkan mengarahkan keperkembangan
masyarakat.[3] Jika teori diatas dikaitkan dengan kasus Bibit dan Candra para
penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasaan, namun tidak sesuai
dengan harapan-harapan masyarakat. Oleh karena itu banyak mendapat
tangtangan dari para tokoh dan para ahli hukum di Indonesia . Suatu perbuatan
hukum yang dilakukan tanpa memperhatikan pendapat umum mengandung
risiko untuk tidak bisa dijalankan dengan baik. Keadaan yang ini lebih-lebih akan
terjadi, manakala perbuatan hukum itu melibatkan pendapat-pendapat yang
bertentangan dalam masyarakat. Apa bila Negara dalam hal ini Jaksa Agung
tetap memaksakan kehendaknya untuk meloloskan hukum atau undang-undang
yang isinya mendapat tentangan dari masyarakat, maka ongkos sosial yang
harus dikeluarkannya bisa tinggi.[4] Oleh karena itu Kejaksaan Agung tidak
melanjutkan kasus Bibit dan Candra sudang seharusnya demikian, jadi
disamping melihat hukum secara formal juga melihatnya hukum sosialnya.
Namun demikian masih ada lagi yang masih menjadi pertanyaan di masyarakat,
awalnya Kejaksaan Agung kasus Bibit dan Candra berulang kali mengatakan
sudah cukup bukti untuk dilanjutkan kepenuntutan dan dikelurkan lah P21
namun terahir kasus tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan demi hukum, nah
alasan inilah yang masih menyisakan pertanyaan dimasyarakat. Semestinya
Kejaksaan Agung menggunakan wewenang yang diberikan oleh undang-undang
Nomor 16 tahun 2004 tentang Kajaksaan yaitu pasal 35 Huruf c , Jaksa Agung
berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (hak
oportinitas. Dengan demikian, oportunitas Jaksa Agung memiliki wewenang
mengesampingkan perkara Bibit dan Candra demi kepentingan umum.[5]
Penegakan hukum harus mengutamakan rasa keadilan dan berlasdaskan hati
nurani. Karena itu, ketika penerapan tidak menunjukkan rasa keadilan dan hati
nurani, peraturan itu dapat dilanggar. Saat proses hukum secara formalitas
sudah dilaksanakan dengan benar, tetapi dalam penerapannya ternyata juga
melanggar hak-hak asasi manusia, maka hak asasi manusia harus menjadi
preoritas keputusan.[6] Artnya selain pendekatan yuridis nomatif dalam
pengkajian hukum tersebut, hukum juga masih mempunyai sisi yang lainnya,
yaitu hukum dalam kenyataanya di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Hukum dalam kenyataan dimaksud, bukan bentuk pasal-pasal dalam perundangundangan, melainkan sebagaimana hukum itu dioprasikan oleh masyarakat
dalam kehidupan sehari-harinya.[7]Satulagi contoh kasus yang sangat
menghebohkan masyarakat tentang sengketa antara Frita Mulyasari dengan
Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang Banten , dilihat dari sisi hukum
formal sudah sangat memenuhi semua unsure delik yang dituduhkan kepadanya,
namun dari dilihat sisi keadilan masyarakat sangat tidak adil. Artinya hukum
tidak cukup hanya diliha dari sisi formalnya saja akan tetapi harus dilihat dari
keadilannya, jika tidak akan mendapat perlawanan yang cukup keras dari
masyarakat. Oleh karena itu untuk memberlakukan hukum (Undang-Undang)
tidak mungkin meninggalkan rasa keadilan karena antara keadilan dan hukum
sama dengan dua sisi mata ung.
Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa ambil dari penulisan ini pertama untuk menerapkan suatu
peraturan Perundang-Undangan tidak cukup hanya merapkan fasal-fasal yang
ada akan tetapi tidak kalah pengtingnya melihat keadilan di masyarakat, artinya
kalau suatu peraturan Perundang-Undangan mau diterapkan dilihat dulu akan
menghasilkan keadilan dimayarakat atau tidak kalau tidak kalau tidak
menghasilkan keadilan tidak perlu diterapkan. Yang kedua penegak hukum
hanya menggunakan teori kekuasan belaka tidak perduli diterima atau di tolak
dan ini sangat berbahaya karena akan menjadi penegak hukum yang sangat
otoriter bukan penegak hukum yang memberi rasa keadilan.
Saran
Bagi para penegak hukum unntuk menerapkan peraturan Perundang-Undangan
harus melihat dari sisi tersebut diatas dari sisi formalnya supaya ada kepastian
dan yang kedua dari sisi keadilannya.
Penulis
Sahri mahasisa Pasca semester1
Kelas Sunter Untag 1945 Jakarta
________________________________________
[1] Soejono soekanto. Pokokpokok sosiologi hokum, PT.Raja Grafindo. Jakarta
1980. hlm. 1-2.
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakt. CV Rajawali Jakarta ,
1980. hlm. 15.
[3] Bagir Manan, Dasar-Dasar perundang-undangan Indonesia . IND-HILL.L.CO
Jakarta 1992. hlm ,16.
[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti Bandung th 2000. hlm,
147.
[5] Indrianto Senoadji.Humanisme dan pembaruan Penegakan Hukum. Penerbit
buku Kompas, Jakarta 2009. hlm. 152.
[6] Mahfud MD, Kompas tgl7 Januari 2010. hlm 2.
[7] H. Zainuddin Ali. Sosiologi Hukum. Sinar Grafika Jakarta 2005. hlm, 13.
Diposkan oleh http//:Sosiologi Hukum.blog.spon di 03:17
http://s2hukum.blogspot.com/2010/01/efektivitas-hukum-dalam-masyarakat.html
Efektivitas Hukum
Hukum dan Masyarakat.
e. Teori Etnometodologi
Teori dimana hukum dipandang sebagai suatu kewajaran, hal-hal yg wajar
berlaku dalam masyarakat, tapi seringkali masyarakat mewajarkan hal-hal yg
sebenarnya bertentangan dengan tujuan .asas kemanfaatan, asas kepastian
hukum serta asas keadilan.
http://blogblasteran.blogspot.com/2012/01/hukum-dan-masyarakat.html