Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan
merupakan penyakit endemik di 90 negara berkembang. Bentuk
yang paling sering pada anak adalah tetanus neonatorum yang
menyebabkan kematian sekitar 500.000 bayi tiap tahun karena
para ibu tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang
lebih besar berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk
akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa riwayat
trauma tetapi sangat jarang, terutama pada tetanus dengan
masa

inkubasi

yang

lama.

Spora Clostridium

tetani dapat

ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat,


terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang utama di negara berkembang.
Angka

kejadian

dan

kematian

karena

tetanus

di Indonesia masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5


diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus
neonatorumnya tinggi. Pada

tahun 1988

jumlah kematian

neonatus

tahun

berjumlah

54633

dan

pada

1992

33264

sedangkan angka kematian tetanus neonatorum pada tahun


1988 sebesar 10,9 dan tahun 1992 sebesar 7,3 . Angka
tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga
yakni

Vietnam

dengan

jumlah

kematian

karena

tetanus

neonatorum tahun 1988 sebanyak 9598 dan tahun 1992


berjumlah 85550 dan angka kematian tahun 1988 dan 1992
adalah 4.8 dan 4,2 secara berurutan.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan
penatalaksanaan yang tepat dan dilakukan secara intensif.
Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate
yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis

secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih


menurunkan angka kematian.
Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh
pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi
klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari
penyakit tetanus.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn Muh Maksum
Jenis Kelamin
: laki-laki
Tanggal lahir
: 15 April 966
Usia
: 48 tahun 44 bulan
Agama
: Islam
Alamat
: Delik RT 5 RW 13 Demak
Pekerjaan
: buruh
Pembayaran
: BPJS PBI
Tanggal masuk RS : 16 Agustus 2014
Tanggal masuk ICU : 16 Agustus 2014
II. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara allo anamnesis pada tanggal 16 Agustus 2014.
a. Keluhan Utama
Mulut sulit dibuka sejak 3 hari SMRS
b. Keluhan Tambahan
Leher kaku, perut kaku, kejang sejak 3 hari SMRS
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD karena merasa mulutnya sulit terbuka disertai
lehernya kaku, susah digerakkan sejak 3 hari SMRS. Nyeri saat mencoba
digerakkan (+). Selain itu perut pasien juga kaku. Beberapa kali pasien merasa
seluruh tubuhnya kaku. Kaki, tangan sulit di gerakkan. Saat tubuhnya kaku pasien
sadar.

2 minggu SMRS tumit kanan pasien tertusuk paku, tumit sedikit


berdarah. Pasien hanya menutup dengan kain agar darahnya tidak keluar dan tidak
membawanya kedokter. 5 hari SMRS kemudian dibawa ke dokter praktek dan
luka pasien dibersihkan dengan rivanol. Setelah itu pasien diberi obat anti tetanus.
3 hari SMRS pasien merasa mulutnya sulit dibuka, leher kaku dan perutnya
kaku. Kemudian dibawa ke RSUD Demak dan dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi
karena masalah fasilitas.
Selama di IGD RSUP Dr. Kariadi pasien sering kejang dengan frekuensi
3 kali/ hari selama 10 menit jenis kejangnya tonus seluruh badan, Batuk (-),
sesak napas (-), demam (+) naik turun, nyeri dada (-), nyeri perut (-).
d. Riwayat Penyakit Dahulu

Asma (-)
Alergi (-)
Hipertensi (-)
Diabetes mellitus (-)
Sakit Paru (-)
Sakit jantung (-)

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Asma (-)
Alergi (-)
Hipertensi (-)
Diabetes mellitus (-)
Sakit Paru (-)
Sakit jantung (-)

f. Riwayat Kebiasaan.

Merokok (+) kretek, kurang lebih 12 batang per hari.

Alkohol (-)

g. Riwayat sosial ekonomi :


Pasien merupakan seorang petani. Kebiasaan merokok (+) 1-2 bungkus/hari.
Biaya pengobatan ditanggun BPJS PBI.

III.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
: tampak sakit sedang
Kesadaran
: masih terpengaruh sedasi
Tekanan Darah
: 132/86 mmHg
Nadi
: 120x/menit
Pernapasan
: 24x/menit
Suhu
: 39,6
SpO2
: 100%
Berat Badan
: 60 kg
Tinggi Badan
: 170 cm
Mata

: Conj Palp Anemis -/-

Mulut

: trismus (+), hipersalivasi

Thorax

: Cor : BJ I-II murni, Bising (-), gallop (-)


Pulmo : Suara Dasar Vesikuler (+/+), Suara
Tambahan (-/-)

IV.

Abdomen

: defans,epistotonus (+), BU (+) N

Extremitas

: Edema (-/-), Sianosis (-/-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (16/08/2014)
Hasil
Darah Rutin
Hemoglobin
Hematrokit
Leukosit
Trombosit
Kimia Klinik
GDS
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Natrium
Kalium
Clorida
Magnesium
Calsium

Satuan

14,0
40,9
11.200
397.400

g/dL
%
/uL
/uL

98
41
0,91

g/dL
mg/dL
mg/dL

145,8
4,2
111,6
1,01
2,39

mEq/L
mEq/L
mEq/L
mEq/L
mEq/L

Nilai Rujukan

12-15
36-46
5000-10.000
150.000-400.000
80-160
15-39
0,60-1,30
132-147
3,5-4,5
94-110
0,74-0,99
2,12-2,52

X-foto thoraks (16 Agustus 2014):

V.
VI.

Cor normal

Pulmo tak tampak kelainan

DIAGNOSIS
Tetanus grade II, mild severity
TATALAKSANA
- Oksigen 3L/mnt nasal kanul
- Diet cair 250cc/4 jam
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
- Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam iv
- Injeksi Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
- Injeksi Paracetamol 500mg/6 jam iv
- Periksa laboratorium :
BGA arteri, darah rutin, elektrolit (natrium, kalium, chlorida),
Kalsium, Magnesium, gula darah sewaktu, PPT, PTTK, ureum,
-

creatini, kultur darah


X-foto thoraks

CATATAN HARIAN PASIEN


TANGGAL
JAM
17-8-14
07.00
Hari 1

CATATAN PERKEMBANGAN

TERAPI/TINDAKAN

S : Kejang (+), sesak (-), demam(+)

- Oksigen 3L/mnt nasal kanul


- Diet cair 250cc/4 jam
O : KU : tampak sakit sedang, kesadaran
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
somnolen
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24jam iv
- Inj. metronidazole 500 mg/8 jam
TD : 125/65
RR: 20x/mnt
T :39,7
iv
HR : 112x/mnt SatO2 : 100%
- Inj. Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
Mata : conj. Anemis -/-, pupil isokor - Inj. Paracetamol 500mg/6 jam iv
3mm/3mm
Hidung : NGT +
Thorax : c/p dbn
Abd : defans +, epistotonus +
Ekst : kaku +/+
Lab
Hb 12,7 ht 37 leuko 17.000 tr 348.300

18-8-14
07.00
Hari 2

Mg 0,95 Ca 2,25 Na 144,1 K 4,2 Cl 111,6


S : Kejang (+), sesak (+), demam(+)

- Oksigen 6L/mnt masker NRM


- Diet cair 250cc/4 jam
O : KU : tampak sakit sedang, kesadaran
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
somnolen
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24jam iv
- Inj. metronidazole 500 mg/8 jam
TD : 112/55
RR: 26x/mnt
T :38,7
iv
HR : 122/mnt SatO2 : 100%
- Inj. Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
Mata : conj. Anemis -/-, pupil isokor - Inj. Paracetamol 500mg/6 jam iv
- Inj. MgSO4 40% 1cc/jam iv SP
3mm/3mm
- Nebuliser berotec : bisolvon :
Hidung : NGT +
NaCl 0,9% /6 jam
Thorax : c/p dbn
Abd : defans +, epistotonus +
Ekst : kaku +/+
Lab
Hb 12,4 ht 34,7 leuko 16.900 tr 311.700
Mg 1,24 Ca 2,10 Na 146,6 K 3,7 Cl 111,6
BGA : ph 7,34 pco2 45 po2 94 HCO3 24,3
BE -1,3 SpO2 97% AaDO2 221

19-8-14

S : Kejang (+), sesak (+), demam(+)

- Vent SIMV TV 400 RR 12 PEEP 8

07.00

O : KU : tampak sakit berat, kesadaran somnolen

Hari 3

TD : 130/50

RR: 30x/mnt

HR : 126/mnt

SatO2 : 84%

Fi02 50%
- Diet cair 250cc/4 jam
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24jam iv
- Inj. metronidazole 500 mg/8 jam

T :39,5

Mata : conj. Anemis -/-, pupil isokor


3mm/3mm
Hidung : NGT +
Thorax : cor : Bunyi jantung I/II dbn,
Pulmo : SDV +/+, ronkhi +/+
Abd : defans +, epistotonus +

iv
- Inj.Propofol 20mg/jam iv SP
- Inj.Roculax 30mg/jam iv SP
- Inj. Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
- Inj. Paracetamol 500mg/6 jam iv
- Inj. Heparin 250U/jam iv SP
- Nebuliser berotec : bisolvon :
NaCl 0,9% /6 jam

Ekst : kaku +/+


Lab
BGA : ph 7,32 pco2 47 po2 51 HCO3 24,2
BE -1,9 SpO2 82% AaDO2 247
Ro thorax :
Cor tak membersar
Gambaran edema paru disertai pneumonia
20-8-14

Efusi pleura kiri


S : Kejang (+), demam(+)

07.00

O : KU : tampak sakit berat, kesadaran somnolen

Hari 4

TD : 110/50

RR: 12x/mnt

HR : 126/mnt

SatO2 : 95%

- Vent SIMV TV 400 RR 12 PEEP 8


T :38,9

Mata : conj. Anemis -/-, pupil isokor


3mm/3mm
Hidung : NGT +
Thorax : cor : Bunyi jantung I/II dbn,
Pulmo : SDV +/+, ronkhi +/+
Abd : defans +, epistotonus +
Ekst : kaku +/+
Lab
Hb 12,3 ht 35,7 leuko 16.000 tr 352.700
Mg 0,88 Ca 2,22 Na 148 K 3,9 Cl 111,2 ur 49 cr
0,99
BGA : ph 7,26 pco2 53 po2 75 HCO3 23,4
BE -3,5 SpO2 92% AaDO2 215

Fi02 50%
- Diet cair 250cc/4 jam
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24jam iv
- Inj. metronidazole 500 mg/8 jam
iv
- Inj.Propofol 20mg/jam iv SP
- Inj.Roculax 30mg/jam iv SP
- Inj. Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
- Inj. Paracetamol 500mg/6 jam iv
- Inj. Heparin 250U/jam iv SP
- Nebuliser berotec : bisolvon :
NaCl 0,9% /6 jam

21-8-14

S : Kejang (-), demam(+)

- Vent SIMV TV 400 RR 12 PEEP 8

07.00

O : KU : tampak sakit berat, kesadaran somnolen

Hari 5

TD : 140/60

RR: 12x/mnt

HR : 126/mnt

SatO2 : 84%

Fi02 50%
- Diet cair 250cc/4 jam
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24jam iv
- Inj. metronidazole 500 mg/8 jam

T :39,5

Mata : conj. Anemis -/-, pupil isokor


3mm/3mm
Hidung : NGT +
Thorax : cor : Bunyi jantung I/II dbn,
Pulmo : SDV +/+, ronkhi +/+
Abd : defans +, epistotonus +

iv
- Inj.Propofol 20mg/jam iv SP
- Inj.Roculax 30mg/jam iv SP
- Inj. Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
- Inj. Paracetamol 500mg/6 jam iv
- Inj. Heparin 250U/jam iv SP
- Nebuliser berotec : bisolvon :
NaCl 0,9% /6 jam

Ekst : kaku +/+


Lab
Hb 11 ht 32,2 leuko 14.000 tr 329.400 Mg 2,45
Ca 2,19 Na 147,4 K 3,7 Cl 109,6
BGA : ph 7,32 pco2 32 po2 136 HCO3 16,3
22-8-14

BE -9,6 SpO2 99% AaDO2 145


S : Kejang (-), demam(+)

07.00

O : KU : tampak sakit berat, kesadaran somnolen

Hari 6

TD : 133/58

RR: 18x/mnt

HR : 106/mnt

SatO2 : 100%

- Vent SIMV TV 400 RR 12 PEEP 8


T :38,7

Mata : conj. Anemis -/-, pupil isokor


3mm/3mm
Hidung : NGT +
Thorax : cor : Bunyi jantung I/II dbn,
Pulmo : SDV +/+, ronkhi +/+
Abd : defans +, epistotonus +
Ekst : kaku +/+
Lab
BGA : ph 7,33 pco2 32 po2 146 HCO3 16,3
BE -6,4 SpO2 99% AaDO2 120

Fi02 50%
- Diet cair 250cc/4 jam
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24jam iv
- Inj. metronidazole 500 mg/8 jam
iv
- Inj.Propofol 20mg/jam iv SP
- Inj. Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
- Inj. Paracetamol 500mg/6 jam iv
- Inj. Heparin 250U/jam iv SP
- Nebuliser berotec : bisolvon :
NaCl 0,9% /6 jam

23-8-14

S : Kejang (-), demam(+)

- Vent SIMV TV 400 RR 10 PEEP 8

07.00

O : KU : tampak sakit berat, kesadaran somnolen

Hari 7

TD : 123/62

RR: 20x/mnt

HR : 106/mnt

SatO2 : 100%

Fi02 40%
- Diet cair 250cc/4 jam
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24jam iv
- Inj. metronidazole 500 mg/8 jam

T :37,9

Mata : conj. Anemis -/-, pupil isokor


3mm/3mm
Hidung : NGT +
Thorax : cor : Bunyi jantung I/II dbn,
Pulmo : SDV +/+, ronkhi +/+
Abd : defans +, epistotonus +

iv
- Inj.Propofol 20mg/jam iv SP
- Inj. Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
- Inj. Paracetamol 500mg/6 jam iv
- Inj. Heparin 250U/jam iv SP
- Nebuliser berotec : bisolvon :
NaCl 0,9% /6 jam

Ekst : kaku +/+


Lab
BGA : ph 7,37 pco2 35 po2 146 HCO3 16,3
24-8-14

BE -6,1 SpO2 99% AaDO2 110


S : Kejang (-), demam(+)

07.00

O : KU : tampak sakit berat, kesadaran CM

Hari 8

TD : 127/52

RR: 20x/mnt

HR : 98/mnt

SatO2 : 100%

- Vent CPAP PS 18 PEEP 8 Fi02


T :37,8

Mata : conj. Anemis -/-, pupil isokor


3mm/3mm
Hidung : NGT +
Thorax : cor : Bunyi jantung I/II dbn,
Pulmo : SDV +/+, ronkhi +/+
Abd : defans +, epistotonus +
Ekst : kaku +/+
Lab
BGA : ph 7,36 pco2 35 po2 156 HCO3 16,3
BE -5,4 SpO2 99% AaDO2 90

40%
- Diet cair 250cc/4 jam
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24jam iv
- Inj. metronidazole 500 mg/8 jam
iv
- Inj. Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
- Inj. Paracetamol 500mg/6 jam iv
- Inj. Heparin 250U/jam iv SP
- Nebuliser berotec : bisolvon :
NaCl 0,9% /6 jam

25-8-14

S : Kejang (-), demam(+)

- Vent CPAP PS 18 PEEP 8 Fi02

07.00

O : KU : tampak sakit berat, kesadaran CM

Hari 9

TD : 127/52

RR: 20x/mnt

HR : 98/mnt

SatO2 : 100%

40%
- Diet cair 250cc/4 jam
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24jam iv
- Inj. metronidazole 500 mg/8 jam

T :37,8

Mata : conj. Anemis -/-, pupil isokor


3mm/3mm
Hidung : NGT +
Thorax : cor : Bunyi jantung I/II dbn,
Pulmo : SDV +/+, ronkhi +/+

iv
- Inj. Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
- Inj. Paracetamol 500mg/6 jam iv
- Inj. Heparin 250U/jam iv SP
- Nebuliser berotec : bisolvon :
NaCl 0,9% /6 jam

Abd : defans +, epistotonus +


Ekst : kaku +/+
Lab
BGA : ph 7,36 pco2 35 po2 156 HCO3 16,3
26-8-14

BE -5,4 SpO2 99% AaDO2 90


S : Kejang (-), demam(+)

07.00

O : KU : tampak sakit berat, kesadaran CM

Hari 10

TD : 127/52

RR: 20x/mnt

HR : 98/mnt

SatO2 : 100%

- Vent CPAP PS 10 PEEP 5 Fi02


T :37,8

Mata : conj. Anemis -/-, pupil isokor


3mm/3mm
Hidung : NGT +
Thorax : cor : Bunyi jantung I/II dbn,
Pulmo : SDV +/+, ronkhi +/+
Abd : defans +, epistotonus +
Ekst : kaku +/+
Lab
BGA : ph 7,41 pco2 37 po2 200 HCO3 18,3
BE -4,7 SpO2 99% AaDO2 56
Ro thorak
Cor tak membesar
Infiltrat parakardial dan perihiler kiri

40%
- Diet cair 250cc/4 jam
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24jam iv
- Inj. metronidazole 500 mg/8 jam
iv
- Inj. Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
- Inj. Paracetamol 500mg/6 jam iv
- Inj. Heparin 250U/jam iv SP
- Nebuliser berotec : bisolvon :
NaCl 0,9% /6 jam

27-8-14

S : Kejang (-), demam(-)

07.00

O : KU : tampak sakit sedang, kesadaran CM

Hari 11

TD : 117/55

RR: 20x/mnt

HR : 98/mnt

SatO2 : 100%

T :37,2

Mata : conj. Anemis -/-, pupil isokor


3mm/3mm
Hidung : NGT +
Thorax : cor : Bunyi jantung I/II dbn,

- O2 masker 6L/mnt
- Diet cair 250cc/4 jam
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24jam iv
- Inj. metronidazole 500 mg/8 jam
iv
- Inj. Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
- Inj. Heparin 250U/jam iv SP
- Nebuliser berotec : bisolvon :
NaCl 0,9% /6 jam

Pulmo : SDV +/+, ronkhi -/Abd : defans +, epistotonus +


Ekst : kaku +/+
Lab
BGA : ph 7,36 pco2 35 po2 256 HCO3 16,3
28-8-14

BE -5,4 SpO2 99% AaDO2 90


S : Kejang (-), demam(-)

07.00

O : KU : tampak sakit berat, kesadaran CM

Hari 9

TD : 137/52

RR: 16x/mnt

HR : 91/mnt

SatO2 : 100%

T :36,8

Mata : conj. Anemis -/-, pupil isokor


3mm/3mm
Hidung : NGT +
Thorax : cor : Bunyi jantung I/II dbn,
Pulmo : SDV +/+, ronkhi -/Abd : defans -, epistotonus Ekst : kaku -/Lab
Hb 9,3 ht 26,3 leuko 13.300 tr 250.900 Mg 0.90
Ca 1,9 Na 149,2 K 3,7 Cl 111,9
BGA : ph 7,35 pco2 35 po2 206 HCO3 16,3
BE -5,4 SpO2 99% AaDO2 90

- O2 nasal 3L/mnt
- Diet cair 250cc/4 jam
- Cairan : 60x50 = 3000 cc/24 jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24jam iv
- Inj. metronidazole 500 mg/8 jam
iv
- Inj. Diazepam 0,5 mg/jam iv SP
- Inj. Paracetamol 500mg/6 jam iv
- Inj. Heparin 250U/jam iv SP
- Nebuliser berotec : bisolvon :
NaCl 0,9% /6 jam
- Tranfusi PRC 1 kolf
- Inj. Ca gluconas 1gr/12 jam iv

BAB III
PEMBAHASAN
Definisi
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang
disebabkan

oleh

tetanospasmin

yaitu

neurotoksin

yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh


adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat
dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum
yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan
ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir
selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf
pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf
perifer atau otot.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob,
batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x
6 m. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu
ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh
drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan
terhadap

desinfektan

kimia,

pemanasan

dan

pengeringan.

Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan


pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi
bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini
menghasilkan
tetanospasmin.

dua

jenis

Tetanolisin

toksin,
belum

yaitu
diketahui

tetanolisin

dan

kepentingannya

dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro,


sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan
sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.

Gambar Mikroskopik Clostridium tetani.


Patofisiologi
Clostridium

tetani masuk

ke

dalam

tubuh

manusia

biasanya melalui luka dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul


bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan
tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis
jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan
oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan
dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah
toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut
selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh
strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi
penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20
tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan
atas percobaan pada hewan.
Penyebaran toksin
Toksin

yang

dikeluarkan

oleh Clostridium

tetani menyebar

dengan berbagai cara, sebagai berikut :


1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau
sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya
secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik


Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk
ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik
masuk ke peredaran darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui
sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di
sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan
cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya
penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke
dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk
dinetralisasi

atau

ditahan

dengan

pemberian

antitoksin

dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin


tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran
darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal
yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot
lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga
secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke
dalam susunan saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui
serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui
sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang
mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik
batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik
dan saraf inhibitor.
Hubungan

antar

bentuk

penyebaran toksin:
Tetanus lokal

manifestasi

klinis

dengan

Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi


terhadap toksin tetanus yang masuk ke dalam darah, namun
tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di sekitar
luka.
Tetanus sefal
Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada
kepala.

Otot-otot

yang

terkena

adalah

otot-otot

yang

dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan medula


spinalis servikalis.
Ascending Tetanus
Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk
lokal biasanya mengenai tungkai dan kemudian menyebar
mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin
disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen
masuk ke dalam SSP.
Tetanus umum
Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke
dalam berbagai otot dan kemudian masuk ke dalam SSP.
Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian mengenai
otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini
disebabkan

panjang

sistem

persarafan

setiap

tempat

berbeda-beda, yang paling pendek adalah yang mengurus


otot-otot

rahang,

kemudian

secara

berurutan

mengenai

daerah lain sesuai urutan panjang saraf.


Mekanisme kerja toksin tetanus:
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin.
Tetanolisin mempunyai efek hemolisin dan protease, pada
dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat

ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui


pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian
mengenai

patogenesis

penyakit

tetanus

terutama

dihubungkan dengan toksin tersebut.


2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran
presinaptik, baik pada neuromuskular junction, mupun pada
susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport toksin
melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan
toksisitas belum diketahui secara jelas.
Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk
toksin tetanus yaitu toksin A yang kurang mempunyai
kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap
mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B
yang kuat berikatan dengan sel saraf.
Tetanus toxin
Normal:
Inhibitory interneuron Glycine
blocks

excitation

&

acetylcholine

release muscle

relaxation
Tetanus toxin:
Blocks glycine release
no

inhibition

at

acetylcholine

release irreversible

contraction Spastic paralysis


3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari
susunan saraf pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan
neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric
Acid

(GABA),

dopamin

dan

noradrenalin.

GABA

adalah

neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat,

yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang


eksesif.

Toksin

tetanus

tidak

mencegah

sintesis

atau

penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik


menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di
daerah

sinaps

dangan

cara

mempengaruhi

sensitifitas

terhadap kalsium dan proses eksositosis.


Perubahan akibat toksin tetanus:
1. Susunan saraf pusat
Efek

terhadap

inhibisi

presinap

menimbulkan

keadaan

terjadinya letupan listrik yang terus-menerus yang disebut


sebagai Generator

of

pathological

enhance

excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan


frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan
otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena
makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara,
emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang
karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan
dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala
ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin
karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada
beberapa yang resisten terhadap toksin.
Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang.
Kadang kala ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus
lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini
diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion
posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.
Fungsi Luhur

Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang


tidak sadar biasanya brhubungan dengan seberapa besar efek
toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan
metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.

2. Aktifitas neuromuskular perifer


Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin
sehingga mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini
tertutup

oleh

efek

inhibisi

di

susunan

saraf

pusat.

Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak


terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat
menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini
mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari
toksin atau karena axonopathi.
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular
perifer berupa:
1. Neuropati perifer
2.

Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot,


pergerakan otot yang terbatas dan nyeri, yang dapat
terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah
sembuh.

3. Denervasi parsial dari otot tertentu.


3. Perubahan pada sistem saraf autonom
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis
dan parasimpatis, hal ini mungkin terjadi karena adanya
ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme
terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang
berasal

dari

otot

(retrograd)

maupun

hasil

penyebaran

intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula


spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi
secara

umum

mengenai

berbagai

organ

seperti

kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali


suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya
mengenai salah satu organ tertentu.

4. Gangguan Sistem pernafasan


Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan
dan

abdomen;

otot

diafragma

terkena

paling

akhir.

Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi


sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan
rongga dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat
sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan
hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea
akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan
yang tidak terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan
bronkus karena adanya spasme dan kekakuan otot faring
dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan
dengan

baik.

Sehingga

terdapat

resiko

tinggi

untuk

terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia,


bronkopneumonia dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa
inkubasi. Kelainan yang terjadi bisa berupa kongesti
pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal
dan

ARDS.

iatrogenik

ARDS
atau

dapat

infeksi

terjadi

sistemik

pula

karena

seperti

sepsis

proses
yang

mengikuti penyakit tetanus.


e. Gangguan pusat pernafasan
Observasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan
bahwa pusat pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus.
Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung
dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada

hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita


mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan
pusat pernafasan pada penderita tetanus adalah :

Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan


bernafas

yang

berat

tanpa

ditemukan

adanya

komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan


sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam

beberapa menit sampai -1 jam.


Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut
menjadi

prolonged

respiratory

arrest

(henti

nafas

berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.


Henti nafas akut dan mati mendadak.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan


oleh

penyebab

sekunder

seperti

hipoksia

rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau


spasme

laring,

hipokapnia

setelah

serangan

distres

pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam basa.


5. Gangguan hemodinamika
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita
tetanus dengan gangguan sistem saraf autonom yang berat.
Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih
sangat jarang dilakukan karena :

Kendala etik
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh
komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis,
edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa,

yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi


Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat
inotropik mempersulit penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik

Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat


dikarenakan adanya kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas
berlebihan

dari

sistem

saraf

simpatik

dan

perubahan

hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus


tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans.
Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan
ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta
penurunan serum protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila
asupan oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut,
misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan
maka

akan

terjadi

hipoksia

dengan

segala

akibatnya.

Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan


hipoksia

akan

menimbulkan

metabolisme

anaerob

dan

mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi


kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai
antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi
yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan
mengapa

pada

penderita

tetanus

yang

sudah

sembuh

tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.


7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otakhipotalamus dicurigai terjadi pada penderita tetanus berat
atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan
adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder.
Peningkatan alertness dan awareness menimbulkan

dugaan

adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan.


Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus
yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh
serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal.

Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang


diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan
balik hipofise-kelenjar endokrin.
8. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa
toksin secara langsung dapat mengganggu hati, traktus
gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa
nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan
kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara
klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis
seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas
traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek
toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia,
shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu.
Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus
besar dan retensi urin dapat terjadi karena gangguan
keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik
di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf
perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula
terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan
permeabilitas kapiler pada organ tertentu.

Manifestasi Klinis Dan Diagnosis


1. Manifestasi Klinis
Manifestsi

klinis

tetanus

bervariasi

dari

kekakuan

otot

setempat, trismus sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya


gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit,
yang berpengaruh terhadap prognostik.
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang
ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya
meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa
sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal
dapat berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa
inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah
kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus,
disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial.
Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi
tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis
dapat berupaberupa trismus, iritable, kekakuan leher,
susah menelan, kekakuan dada dan perut (opisthotonus),
fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakitdan
kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat
terjadi denganrangsangan ringan seperti sinar, suara dan
sentuhan dengan kesadaran yangtetap baik.
d. Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan


adanya

infeksi

pemotongan

tali

tali

pusat, umumnya

pusat

yang

aseptik

karena
dan

ibu

tehnik
yang

tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang


sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek,
kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme.
Posisi

tubuh

klasik

trismus,

kekakuan

pada

otot

punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan


lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas
fleksi

pada

siku

dengan

tangan

mendekap dada,

pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas


bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan
dan fleksi jari-jari kaki.Kematian biasanya disebabkan henti
nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan
jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi
Abletts :
a. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme
tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada
gangguan respirasi.
b. Derajat II (sedang)
Trismus

sedang

dan

kekakuan

jelas,

spasme

hanya

sebentar, takipneu dan disfagia ringan


c. Derajat III (berat)
Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu,
apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan
aktivitas sistem otonomi
d. Derajat IV (sangat berat)

Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi


sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi
atau

hipotensi

dan

bradikardi,

hipertensi

berat

atau

hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan


sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.
Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan
berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.
2. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat
imunisasi:
-

Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20%

dapat tanpa riwayat luka.


Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher,
punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta

kecemasan.
Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa

menetek
Kejang umum

episodik

dicetusklan

dengan

rangsang

minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik.


Temuan laboratorium :
-

Lekositosis ringan
Trombosit sedikit meningkat
Glukosa dan kalsium darah normal
Cairan serebrospinal normal tetapi

meningkat
Enzim otot serum mungkin meningkat
EKG dan EEG biasanya normal
Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang

tekanan

dapat

diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium


tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk
tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas


kejang (> 3U/ml)

Diagnosis Banding Dan Komplikasi


1. Diagnosis banding
Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah
-

Meningitis bakterialis - Rabies


Poliomielitis - Epilepsi
Ensefalitis - Tetani
Keracunan striknin - Sindrom Shiffman
Efek samping fenotiazin - Peritonsiler abses

2. Komplikasi
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah
bronkopneumonia

dan

sepsis.

Komplikasi

pneumonia,

terjadi

karena

adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme


laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan
hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas
dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis.
Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi,
bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan
syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau
kifosis.

Komplikasi

lain

yang

dapat

terjadi

berupa

tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran


kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik.
Penatalaksanaan
1. Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan
bedah.
1. Antibiotik

Penggunaan

antibiotik

ditujukan

untuk

memberantas

kuman tetanus bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap


penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin,
karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga
peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida
dan sefalosporin generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau
penisilin

prokain

1,2

juta

kali

sehari.

Penisilin

digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari


IV selama 10-14 hari. Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari
dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis
tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah
ditegakkan

diganti

menganjurkan

Penisilin

pemberian

G.

Rauscher

metronidazole

awal

(1995)
secara

loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5


mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini
pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan
angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit
yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan
tetanus sedang. Pada penderita yang sensitif terhadap
penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin dengan dosis
25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis
dan diberikan secara peroral. Bila terjadi pneumonia atau
septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10
hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah
gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.

2. Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap
benda

asing

dan

luka

dibiarkan

terbuka.

Sebaiknya

dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan


sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan
dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat
dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000100.000 unit, setengah dosis diberikan secara IM dan
setengahnya

lagi

diberikan

secara

IV,

sebelumnya

dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus


neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus
serum tidak diberikan secara intrathekal karena dapat
menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi
meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk
mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS
intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis
ATS yang disarankan 250-500 IU.
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan
utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 unit secara
IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan
Spalding

(1984)

memberikan

HTIG

pada

neonatus

sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian


intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam
pertama setelah timbul gejala.
Namun

penelitian

yang

dilakukan

oleh

Abrutyn

dan Berlin (1991) menyatakan pemberian immunoglobulin


tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena

kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang


bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV
atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis

HTIG

masih

belum

dibakukan,

Miles

(1993)

mengemukakan dosis yang dapat diberikan adalah 30300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan
HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk
meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen
luka.
c. Menekan efek toksin pada SSP
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering
digunakan.

Obat

ini

mempunyai

aktivitas

sebagai

penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada


tingkat

supraspinal

mengurangi

mempunyai

ketakutan

dan

efek

sedasi,

ketegangan

fisik

tidur,
serta

penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks


polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan,
terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis
diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5
mg/kgBB/kali

pemberian. Udwadia

(1994),

pemberian

diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari,


dan

pada

neonatus

diberikan

0,1-0,3

mg/kgBB/kali

pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat


dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya
diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis
30 mg untuk neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-

12

jam,

bila

dosis

berlebihan

dapat

menyebabkan

hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat


diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1
mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut
relaksasi

dan

spasme

diberikan

bersama-sama

berkurang.
diazepam

Fenobarbital
dengan

dapat

dosis

10

mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.

3. Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari
(dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali
sehari

untuk

neonatus.

Fenotiazin

tidak

dibenarkan

diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok


terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil
atau hipotensi.
2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang
yang tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi
yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi
harus

diperhatikan.

Pada

tetanus

neonatorum,

letakkan

penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (3637oC),

infus

IV

glukosa

10%

dan

elektrolit

100-125

ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari


berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap.
Aspirasi

lambung

harus

dilakukan

untuk

melihat

tanda

bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap


lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami
obstruksi oleh spasme atau sekret yang tidak dapat hilang
oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari
2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan
intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak
terkendali dengan terapi konservatif dan PaO2 <>
3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis,
pneumonia dan lain-lain.

Berdasarkan tingkat penyakit tetanus


a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi
pemberian

antibiotik,

HTIG/anti

toksin,

diazepam,

membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.


b. Tetanus sedang
Penanganan
dilakukan
selang

umum

intubasi

nasogastrik

seperti

diatas.

atautrakeostomi
delam

anestesia

Bila
dan

diperlukan
pemasangan

umum.Pemberian

cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara


parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada
ruang perawatan intensif, trakeostomi atau intubasi dan
pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan
cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat
diberikan pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05
mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam. Bila terjadi aktivitas
simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker
seperti propanolol atau alfa dan beta bloker labetolol.
Prognosis
Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia
10-19 tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan
penderita dengan usia > 50 tahun angka kematiannya mencapai
70%. Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali
lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal
mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus umum.

t
Sistem Skoring
Skor 1
Masa inkubasi
Awitan penyakit
Tempat masuk

<>
<>
Tali

Skor 0
> 7 hari
> 48 jam
uterus, Selain

pusat,

fraktur

terbuka, tersebut

postoperatif,
Spasme
Panas
badan

bekas

suntikan IM
(+)
(per > 38,4 0C (> 40 0C)

rektal)
Takikardia dewasa
neonatus

tempat

(-)
< 38,4 0C ( < 40 0C)

> 120 x/menit


> 150 x/menit

<>
<>

Dikutip dari Habermann, 1978, Bleck, 1991


Tabel klasifikasi untuk prognosis Tetanus
Tingkat

Skor

Prognosis

Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat

0-1
2-3
4
5-6

<>
10 20
20 40
> 50

Dikutip dari Bleck, 1991


Catatan : Tetanus sefalik selalu dinilai berat atau sangat berat
Tetanus neonatorum selalu dinilai sangat berat

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit
Infeksi dan Tropis. Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri
Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS,Bandung, 2005 ; 209213.
2. Rauscher

LA. Tetanus.

penyunting.

Clinical

Dalam

:Swash

M,

Neurology. Edinburg :

Oxbury

J,

Churchill

Livingstone, 1991 ; 865-871


3. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson
Hal. B.,MD, Nelson Textbook of Pediatrics Vol 1 17 th edition
W.B. Saunders Company. 2004
4. Udwadia
FE,
Tetanus. Bombay: Oxford University Press,
1993 : 305
5. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro
Sri Rejeki S, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi &
Penyakit

Tropis,

Edisi

pertama,

Ikatan

Dokter

Anak

Indonesia.
6. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal
tetanus : progress to date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157
7. www.emidicine.com/ped/topic3038.htm

Anda mungkin juga menyukai