Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

Wanita 48 Tahun dengan Keluhan Sesak

Pembimbing :
dr. Irwin, SpPD

Disusun Oleh:
Dewi Fitriani
030.09.067

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD Karawang
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta

Status Pasien Penyakit Dalam di RSUD Karawang

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. Uyoh Maesaroh

Umur

: 48 tahun 6 minggu 26 hari

Jenis Kelamin

: Perempuan

Status

: Menikah

Alamat

: Dusun Bakan Lio RT 30/18 Desa Karyasari Kec. Rengasdengklok

Agama / Bangsa

: Islam / Indonesia

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

No RM

: 00461329

Tanggal Masuk RS

: 22 Desember 2014

Ruang Perawatan

: Rengasdengklok kelas III

Dokter

: dr. Irwin Sp.Pd

ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada Selasa, 30 Desember 2014 di
bangsal Rengasdengklok RSUD Karawang pukul 17.00 WIB
Keluhan Utama

: Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 minggu

Keluhan Tambahan

: Muntah 5x isi cairan 1 hari SMRS. 5 hari SMRS pasien juga

mengeluh batuk berdahak warna putih.


Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien wanita usia 48 tahun datang ke IGD RSUD karawang
dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan sejak 2 minggu SMRS dan dirasakan
makin memberat sejak 2 hari SMRS. Sesak nafas tidak disertai nyeri dada maupun bunyi
ngik. Pasien juga mengeluh kedua kaki bengkak sejak 2 bulan SMRS, merasa lemas, mual
muntah-muntah isi cairan SMRS, batuk berdahak warna putih, nyeri pinggang, penurunan

nafsu makan dan merasa gatal pada tubuhnya. Pasien juga mengaku bahwa kencing nya tidak
lancar sedikit-sedikit sejak 2 bulan terakhir. Pasien menolak hemodialisa.
Riwayat Penyakit Dahulu

: Riwayat darah tinggi (Hipertensi) sejak 10 tahun tidak

terkontrol.
Riwayat Pengobatan

: Pengobatan hipertensi tidak terkontrol

Riwayat Kebiasaan

: Pasien tidak merokok maupun meminum alkohol

PEMERIKSAAN FISIK
KEADAAN UMUM
Kesan sakit

Tampak sakit berat

Kesadaran

Composmentis

Kesan gizi

Gizi cukup

Perkiraan usia

Tampak sesuai dengan usianya 48 tahun

Cara berbicara

Normal

Kelainan

Tampak sesak berat, dengan posisi duduk dan memakai kanul


O2

Sikap penderita

Kooperatif

Penampilan pasien

Cukup rapi

TANDA VITAL DAN ANTROPOMETRI

PEMERIKSAA
N

NILAI
NORMAL

HASIL PASIEN

Suhu

36,5o - 37,2o C

36,8oC Normal

Nadi

60-100 x/mnt

80x/mnt, reguler, isi cukup normal

Tekanan darah

120/80 mmHg

200/120 mmHg hipertensi grade II

Nafas

14-18 x/mnt

36x/mnt hiperpnea

Berat badan

60 kg

PEMERIKSAAN KEPALA DAN LEHER

Kepala

Ukuran normosefali, bentuk bulat oval, tidak tampak deformitas, pada


perabaan tidak ada nyeri, rambut berwarna hitam, allopesia pada bagian os
parietal.

Wajah

Tampak sesak berat, tidak pucat, tidak sianosis, wajah normal, dan tidak
tampak facies yang menandai suatu penyakit seperti facies hipocrates, tidak
oedema

Mata

Alis tebal, hitam, tersebar rata; bulu mata hitam, tersebar rata, tidak rontok;
kelopak mata tidak ada edema dan tidak ptosis, pada palpasi tekanan kedua
bola mata normal; konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, iris warna hitam,
pupil bulat isokor, lensa jernih, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/
+, gerak bola mata normal ke segala arah, lapang pandang baik

Telinga

Telinga sepasang, sama tinggi, normotia, tidak ada benjoan atau nyeri tekan
di sekitar telinga, liang telinga lapang, tidak ada serumen, darah, maupun
sekret, tidak hiperemis, dan membrana timpani tidak tampak dengan jelas

Hidung

Napas cuping hidung (+), bentuk hidung normal, liang lapang dan sama
besar, tidak hiperemis, tidak ada sekret dan darah, konka normal dan eutrofi,
mukosa licin

Bibir

Bentuk normal, warna merah muda, tidak pucat, kulit disekitar bibir normal

Gigi dan gusi Oral hygiene baik


Lidah

Ukuran dan bentuk lidah normal, papil atrofi (-), lidah kotor (-)

Mukosa
Mukosa mulut warna merah muda, palatum utuh, tanpa bercak, napas tidak
mulut
dan berbau
palatum
Uvula,
faring, tonsil

Uvula di tengah, berwarna merah muda, tidak hiperemis, tanpa pulsasi, T1T1, detritus (-), dinding mukosa faring tidak hiperemis, PND (-)

Bau napas

Tidak tercium bau napas yang khas

Leher

Bentuk dan ukuran normal, gerakan normal, kaku kuduk (-), brudzinsky I (-)

KGB

Tidak ada pembesaran KGB

Tiroid

Tiroid bergerak saat pasien menelan, Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid,
permukaan tidak berbenjol, kulit di sekitarnya normal dan hangat, tidak nyeri
tekan

Arteri carotis

Arteri carotis tidak tampak berdenyut, pada perabaan denyutnya teraba


reguler, simetris kiri kanan

JVP

JVP 5+2 cmH2O

Trakea

Trakea di tengah, tidak ada deviasi, tidak teraba massa, tracheal tug (-)

PEMERIKSAAN THORAX

Inspeksi dada

Dari depan bentuk thorax normal, simetris


Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak pucat, tidak sianosis, roseola
spot (-), tidak tampak adanya efloresensi yang bermakna, tidak ada dilatasi
vena, spider nervi (-)
Tulang dada normal, mendatar, tidak mencekung dan tidak menonjol
Tulang iga normal, tidak terlalu vertikal dan tidak terlalu horizontal
Tampak gerakan otot-otot bantu pernapasan
Tidak ada pulsasi abnormal, pulsasi ictus cordis tidak nampak

Inspeksi dada Gerakan dada pasien simetris kiri-kanan, tidak ada hemithorax yang
saat napas
tertinggal, tipe pernapasan thorakoabdominal
Inspeksi
dada

buah Buah dada simetris sama besar kiri dan kanan, tidak ada massa / benjolan,
areola mamae sepasang, simetris, warna kecoklatan, papila mamae
sepasang, simetris, tidak ada retraksi, tidak mengeluarkan sekret, daerah
kulit di sekitarnya tidak seperti kulit jeruk

Palpasi
pergerakan dada
saat bernapas,
vocal fremitus
dada
dan
punggung, ictus
cordis, thrill.

Pergerakan dada saat saat bernapas simetris kiri kanan, tidak ada
hemithorak yang tertinggal

Perkusi dada

Kedua lapang paru didapatkan suara sonor di ICS II-III, didapatkan bunyi
redup pada ICS IV hemithorax kiri dan kanan.

Vocal fremitus melemah kiri dan kanan baik dari dada maupun punggung
Ictus cordis sulit dinilai
Tidak teraba adanya thrill pada keempat area katup jantung

Batas paru dan hepar sulit dinilai


Batas paru dan lambung sulit dinilai
Batas paru dan jantung kiri sulit dinilai
Batas jantung atas setinggi ICS III garis parasternalis kiri dengan suara
redup
Auskultasi paru Pada auskultasi di lapang paru kiri-kanan baik dari dada maupun

dan jantung

punggung didapatkan suara napas vesikuler. Ronki +/+. Wheezing -/-

PEMERIKSAAN ABDOMEN

Inspeksi
abdomen

Bentuk abdomen buncit, Warna kulit sawo matang, tidak pucat, tidak
ikterik, tidak sianosis, tidak ada spider nervi, roseola spot (-), tidak
tampak adanya efloresensi yang bermakna, kulit perut tidak keriput, dan
tidak ada dilatasi vena, spider nervi (-)
Gerak dinding perut simetris tidak ada bagian yang tertinggal,
mengembang saat inspirasi dan mengempis saat ekspirasi, tipe
pernapasan thorakoabdominal

Auskultasi
abdomen

Bising usus pasien normal. Tidak terdengar arterial bruit maupun venous
hum.

Perkusi abdomen

Pada keempat kuadran abdomen didapatkan suara redup.


Batas bawah hepar sulit ditentukan karena adanya ascites

Palpasi abdomen

Dinding abdomen supel, tidak teraba massa, defense muscular (-),


rigiditas (-), turgor kulit baik
Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
Hepar, lien, vesica fellea, ginjal tidak bisa dinilai karena adanya
ascites
Terasa adanya getaran cairan / undulasi (+).

PEMERIKSAAN EKSTREMITAS

Inspeksi
ekstremitas atas

Bentuk normal, simetris, tidak ada deformitas, proporsional terhadap


tubuh.
Kulit sawo matang, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak tampak
efloresensi yang bermakna.
Jari-jari: jumalah lengkap, tidak ada deformitas, tidak ada clubbing finger
Kuku: warna putih dan sedikit merah muda, tidak pucat, tidak ikterik,
tidak sianosis, maupun splinter hemoragik
Telapak tangan warna pink, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis,
tidak tampak palmar eritem

Ada oedem pada dorsum manus dan tidak ada pembengkakan sendi,
tidak ada atrofi otot, tidak ada gerakan involunter, kordinasi gerak baik
Palpasi kulit dan Suhu teraba hangat, kelembaban baik dan tidak nyeri, Ada pitting
otot ekstremitas oedema, tidak ada atrofi otot, kekuatan otot baik, tidak ada rigiditas,
atas
flapping tremor (-), tremor (-)
Inspeksi
ekstremitas
bawah

Bentuk normal, simetris, tidak ada deformitas, proporsional terhadap


tubuh.
Kulit sawo matang, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak tampak
efloresensi yang bermakna.
Jari-jari jumlah lengkap, tidak ada deformitas.
Kuku warna putih sedikit merah muda, tidak pucat, tidak ikterik, tidak
sianosis.
Telapak kaki warna pink, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak
ada eritem, tidak ada ulkus, tidak ada kalus, tidak ada clavus.
Tampak oedema baik pada dorsum pedis maupun pretibia, tidak ada
gerak involunter, tidak ada pembengkakn sendi maupun atrofi.
Kekuatan otot baik, koordinasi gerak baik.

Palpasi kulit dan Suhu teraba hangat, kelembaban baik dan tidak nyeri, ada oedema
otot ekstremitas pitting, tidak ada atrofi otot, kekuatan otot baik, tidak ada rigiditas.
bawah

PEMERIKSAAN PENUNJANG LABORATORIUM


Nama Pasien
: Ny. Uyoh Maesaroh
Tanggal Periksa : 22/12/2014 17:56
Nama ruangan : IGD RSUD Karawang

No RM
: 00461329
Umur
: 48 tahun
Kelamin : Perempuan

Jenis Pemeriksaan
Glucotest
Ureum
Creatinin

Rujukan / Satuan
<140 mg/dl
15 50 mg/dl
0,50-0.90 mg/dl

Hasil Pasien
78
148.2
8.7

DARAH RUTIN
Leukosit
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit (Ht)
Trombosit

5.000 10.000 /ul


12 16 g/dl
35 47 %
150 400 ribu / mm3

17,280
4,9
16
252.000

PEMERIKSAAN PENUNJANG EKG

RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Karawang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 minggu. Muntah
5x isi cairan 1 hari SMRS. 5 hari SMRS pasien juga mengeluh batuk berdahak warna putih.
Pasien juga mengeluh kedua kaki bengkak sejak 2 bulan SMRS, merasa lemas, mual
muntah-muntah isi cairan SMRS, batuk berdahak warna putih, nyeri pinggang, penurunan
nafsu makan dan merasa gatal pada tubuhnya. Pasien juga mengaku bahwa kencing nya tidak
lancar sedikit-sedikit sejak 2 bulan terakhir. Riwayat darah tinggi (Hipertensi) sejak 10
tahun tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan conjungtiva anemis +/+, perkusi
redup mulai ICS III, terdapat ascites dengan shifting dullnes (+), pitting oedem positif pada
ke empat ekstremitas. Pemeriksaan penunjang didapatkan hasil Hb 4,9 ; Leukosit 17,280 ; Ht
15 ; Ureum 148,2 ; Creatinin 8,7. Penghitungan GFR dengan berat badan pasien 60 kg
didapatkan hasil 8,8.
DIAGNOSIS KERJA

CKD Stage V

Anemia

PENATALAKSANAAN

O2 kanul 3-4 liter per menit


IVFD Dextrose 5% / 24 jam
Bicnat 25 meq bolus IV
Bicnat 75 meq drip 250 cc
Inj. Lasix 3x1 ampul
Inj. Ranitidine 2x1 ampul
Valsartan 1x160 mg
Amlodipin 1x10 mg

CaCO3 3x1
Asam folat 3x1
Renxamin I fl/hari
Transfusi PRC III
HD

FOLLOW-UP PASIEN SELAMA MASA PERAWATAN

GFR = (140-umur) x BB / 72 x creatinin plasma = 5520/626.4= 8.8


Hasil : CKD Stage V GFR < 15
24 Desember 2014
S: Pasien mengeluh sesak, mual muntah 5x isi cairan, lemas serta bengkak pada kedua kaki.
O: TSB / CM
TD: 170/100 mmHg; HR: 80x/mnt, RR: 24x/mnt; S: 35,4oC
Kepala

: CA +/+, SI-/-

Thorax

: Pulmo: SN vesikuler, rk +/+, wh-/- . Cor : S1-S2 reguler normal, Gallop (-),

Murmur (-)
Abdomen : supel, BU (+), NT epigastrium, ascites
Ekstremitas: Ekstremitas superior: akral hangat +/+, oedema +/+
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedema +/+
A: CKD Stage V
Anemia
Hipertensi Grade II
P: Pasien menolak HD
O2 kanul 3-4 liter per menit
IVFD Dextrose 5% / 24 jam
Inj. Lasix 1x1 ampul
Inj. Ranitidine 2x1 ampul
Valsartan 1x160 mg
Amlodipin 1x10 mg
CaCO3 3x1
Asam folat 3x1
Ceftriaxon 2x1gr
Transfusi PRC III kolf
25 Desember 2014
S: Pasien mengeluh sesak, mual, lemas serta bengkak pada kedua kaki.

O: TSB / CM
TD: 180/100 mmHg; HR: 80x/mnt, RR: 24x/mnt; S: 36,4oC
Kepala

: CA +/+, SI-/-

Thorax

: Pulmo: SN vesikuler, rk +/+, wh-/- . Cor : S1-S2 reguler normal, Gallop (-),

Murmur (-)
Abdomen : supel, BU (+), NT epigastrium, ascites
Ekstremitas: Ekstremitas superior: akral hangat +/+, oedema +/+
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedema +/+
A: CKD Stage V
Anemia
Hipertensi Grade II
P: Pasien menolak HD
O2 kanul 3-4 liter per menit
IVFD Dextrose 5% / 24 jam
Inj. Lasix 1x1 ampul
Inj. Ranitidine 2x1 ampul
Valsartan 1x160 mg
Amlodipin 1x10 mg
CaCO3 3x1
Asam folat 3x1
Ceftriaxon 2x1gr
26 Desember 2014
S: Pasien mengeluh sesak, mual, lemas serta bengkak pada kedua kaki.
O: TSB / CM
TD: 170/100 mmHg; HR: 84x/mnt, RR: 24x/mnt; S: 36,4oC
Kepala

: CA +/+, SI-/-

Thorax

: Pulmo: SN vesikuler, rk +/+, wh-/- . Cor : S1-S2 reguler normal, Gallop (-),

Murmur (-)
Abdomen : supel, BU (+), NT epigastrium, ascites
Ekstremitas: Ekstremitas superior: akral hangat +/+, oedema +/+
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedema +/+
A: CKD Stage V
Anemia
Hipertensi Grade II
P: Pasien menolak HD

O2 kanul 3-4 liter per menit


IVFD Dextrose 5% / 24 jam
Inj. Lasix 1x1 ampul
Inj. Ranitidine 2x1 ampul
Valsartan 1x60 mg
Amlodipin 1x10 mg
CaCO3 3x1
Asam folat 3x1
Ceftriaxon 2x1gr
Tanggal
26/12/14

Jam
08.59

Hematologi
Hemoglobin
Hematokrit

Hasil
7.1
22.1

27 Desember 2014
S: Pasien mengeluh sesak, mual, lemas, batuk serta bengkak pada kedua kaki.
O: TSB / CM
TD: 200/100 mmHg; HR: 80x/mnt, RR: 24x/mnt; S: 35,4oC
Kepala

: CA +/+, SI-/-

Thorax

: Pulmo: SN vesikuler, rk +/+, wh-/- . Cor : S1-S2 reguler normal, Gallop (-),

Murmur (-)
Abdomen : supel, BU (+), NT epigastrium, ascites
Ekstremitas: Ekstremitas superior: akral hangat +/+, oedema +/+
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedema +/+
A: CKD Stage V
Anemia
Hipertensi Grade II
P: Pro HD
O2 kanul 3-4 liter per menit
IVFD Dextrose 5% / 24 jam
Inj. Lasix 2x1 ampul
Inj. Ranitidine 2x1 ampul
Valsartan 1x60 mg
Amlodipin 1x10 mg
CaCO3 3x1
Asam folat 3x1
Ceftriaxon 2x1gr
Tanggal

Jam

HbsAg Rapid

Keterangan

27/12/14

15.29

Non Reaktif

28 Desember 2014
S: Pasien mengeluh sesak, mual, lemas serta bengkak pada kedua kaki.
O: TSB / CM
TD: 180/100 mmHg; HR: 82x/mnt, RR: 24x/mnt; S: 36,3oC
Kepala

: CA +/+, SI-/-

Thorax

: Pulmo: SN vesikuler, rk +/+, wh-/- . Cor : S1-S2 reguler normal, Gallop (-),

Murmur (-)
Abdomen : supel, BU (+), NT epigastrium, ascites
Ekstremitas: Ekstremitas superior: akral hangat +/+, oedema +/+
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedema +/+
A: CKD Stage V
Anemia
Hipertensi Grade II
P: Pro HD
O2 kanul 3-4 liter per menit
IVFD Dextrose 5% / 24 jam
Inj. Lasix 2x1 ampul
Inj. Ranitidine 2x1 ampul
Valsartan 1x60 mg
Amlodipin 1x10 mg
CaCO3 3x1
Asam folat 3x1
Ceftriaxon 2x1gr
29 Desember 2014
S: Pasien mengeluh sesak, batuk, lemas.
O: TSB / CM
TD: 190/100 mmHg; HR: 89x/mnt, RR: 20x/mnt; S: 36,8oC
Kepala

: CA +/+, SI-/-

Thorax

: Pulmo: SN vesikuler, rk +/+, wh-/- . Cor : S1-S2 reguler normal, Gallop (-),

Murmur (-)
Abdomen : supel, BU (+), NT epigastrium, ascites
Ekstremitas: Ekstremitas superior: akral hangat +/+, oedema +/+
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedema +/+

A: CKD Stage V
Anemia
Hipertensi Grade II
Oedem paru
P: HD Cito
O2 kanul 3-4 liter per menit
IVFD Dextrose 5% / 24 jam
Inj. Lasix 3x1 ampul
Inj. Ranitidine 2x1 ampul
Valsartan 1x80mg
Amlodipin 1x10 mg
CaCO3 3x1
Asam folat 3x1
Ceftriaxon 2x1gr
Tanggal
29/12/14

Jam
21.03

Hematologi
Ureum
Creatinin

Hasil
86.8
4.44

30 Desember 2014
S: Pasien mengeluh sesak berkurang
O: TSB / CM
TD: 190/100 mmHg; HR: 90x/mnt, RR: 20x/mnt; S: 36,8oC
Kepala

: CA +/+, SI-/-

Thorax

: Pulmo: SN vesikuler, rh +/+, wh-/- . Cor : S1-S2 reguler normal, Gallop (-),

Murmur (-)
Abdomen : supel, BU (+), NT epigastrium, ascites
Ekstremitas: Ekstremitas superior: akral hangat +/+, oedema +/+
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedema +/+
A: CKD Stage V
Anemia
Hipertensi Grade II
Oedem paru
P: Pro HD
O2 kanul 3-4 liter per menit
IVFD Dextrose 5% / 24 jam stop
Inj. Lasix 2x1 ampul

Inj. Ranitidine 2x1 ampul


Valsartan 1x80 mg
Amlodipin 1x10 mg
CaCO3 3x1
Asam folat 3x1
Ceftriaxon 2x1gr

31 Desember 2014
S: Pasien mengeluh sesak, lemas, mual, batuk berdahak putih.
O: TSB / CM
TD: 180/100 mmHg; HR: 92x/mnt, RR: 36x/mnt; S: 36,4oC
Kepala

: CA +/+, SI-/-

Thorax

: Pulmo: SN vesikuler, rk +/+, wh-/- . Cor : S1-S2 reguler normal, Gallop (-),

Murmur (-)
Abdomen : supel, BU (+), NT epigastrium, ascites
Ekstremitas: Ekstremitas superior: akral hangat +/+, oedema +/+
Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedema +/+
A: CKD Stage V
Anemia
Hipertensi Grade II
Oedem paru
P: Post HD 1x
O2 kanul 3-4 liter per menit
IVFD Nacl 0,9% / 24 jam
Inj. Lasix 3x1 ampul
Inj. Ranitidine 2x1 ampul
Valsartan 1x80 mg
Amlodipin 1x10 mg
CaCO3 3x1
Asam folat 3x1
Ceftriaxon 2x1gr
31 Desember 2014 19.30
O : TD: 140/80 mmHg; HR: 102x/mnt, RR: 32x/mnt; S: 40oC
P : Sanmol 1x1gr IV
01 Januari 2015 08.00

Pasien meninggal dunia

DAFTAR MASALAH PASIEN


MASALAH
Sesak sejak 2 minggu, Ascites, Pitting oedem

INTERPRETASI MASALAH
Kerusakan pada ginjal menyebabkan

pada ke empat ekstremitas

proteinuria (albuminuria) yang menyebabkan


penurunan albumin, penurunan albumin
menyebabkan cairan plasma pindah ke
jaringan intersisial yang menyebabkan

Lemas, penurunan nafsu makan, mual,

oedem, ascites, oedem paru.


Terjadi penurunan fungsi ginjal yang

muntah, BAK sedikit, pruritus.

mengakibatkan produk akhir metabolisme


protein yang normalnya dieksresikan ke
dalam urin tertimbun dalam darah, terjadi
uremia dan menyebabkan efek sistemik
dalam tubuh dengan gejala lemah, letargi,
anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan
vol cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic

Hipertensi

sejak

terkontrol

10

tahun

frost, perikarditis, kejang sampai koma.


tidak Hipertensi yang tidak terkontrol adalah faktor
resiko dari penyakit ginjal kronis Hipertensi
memalui angiotensin II akan menyebabkan
peningkatan tekanan glomerulus yang lama
kelamaan akan menyebabkan kerusakan pada

Conjungtiva anemis

ginjal.
Pada pasien didapatkan Hb 4,9 mg/dl.
Anemia pada penyakit gagal ginjal
disebabkan oleh menurunnya produksi
eritropoetin, eritropoetin adalah suatu protein

yang dibuat oleh ginjal untuk pembentukan


eritrosit.

PENYEBAB KEMATIAN PASIEN


Prognosis pasien dengan PGK menurut data epidemiologi menunjukkan bahwa PGK sering
menyebabkan kematian. Tingkat kematian secara keseluruhan meningkat oleh karena
penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama kematian pada pasien dengan PGK adalah penyakit
jantung. Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan imbalance dari elektrolit yang menyebabkan
kelainan pada jantung dan menyebabkan kematian.

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Pendahuluan
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Proses kerusakan pada ginjal ini terjadi dalam rentang waktu lebih dari 3
bulan (Levin et al., 2008). Penyakit ini merupakan penyakit yang tidak dapat pulih, yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan mengarah pada penyakit ginjal
tahap akhir dan kematian (Levey et al., 2009).
PGK merupakan suatu problem kesehatan yang serius pada 2 abad terakhir dan
merupakan suatu masalah yang berakibat fatal (USRDS, 2010). Secara global, insidensi PGK
pada anak-anak dilaporkan sekitar 12,1 kasus per satu juta anak-anak (Ardissino et al., 2003).
Data tersebut jauh lebih rendah dari pada prevalensi pada orang dewasa. PGK telah
menyebabkan angka kesakitan yaitu sekitar 5-10 % dari populasi dewasa penduduk Amerika
(Coresh et al. 2007) dan 1,9-2,3 juta penduduk Kanada (Stigant et al., 2003). Pada tahun
2000 estimasi kematian yang diakibatkan oleh PGK adalah sekitar 19,5 % dari jumlah
kesakitan (Reddan et al., 2003). Studi lain pada tahun 1999-2004 menunjukan angka kejadian
PGK adalah sekitar 6,71 % penduduk dunia (Stevens et al., 2011).
Indonesia merupakan negara yang sangat luas. Kejadian PGK di Indonesia diduga
masih sangat tinggi. Namun data nasional mengenai PGK masih belum ada. Studi mengenai
prevalensi PGK di Indonesia pada tahun 2003 dan 2004 mendapatkan hasil bahwa jumlah
penduduk Indonesia yang menderita PGK berjumlah 3640 penduduk. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa jumlah penderita PGK tertinggi yaitu di Jawa Tengah, Jakarta, Jawa

Timur, Jawa Barat, dan Bali (Prodjosudjadi, 2006). Banyak penderita PGK meninggal lebih
awal. Namun, seringkali penyebab kematian itu tidak terkait langsung dengan masalah ginjal.
Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa hampir setengah dari jumlah kematian
pada penderita PGK diakibatkan oleh PGK yang telah berkomplikasi pada penyakit arteri
koroner (Reddan et al., 2003). Namun, studi lain yang pernah dilakukan menunjukkan hanya
terdapat perbedaan yang sedikit atau tidak berbeda secara signifikan pada semua penyebab
kematian termasuk penyakit kardiovaskuler dalam pengaturan ringan sampai sedang PGK
(Garg et al., 2002). Komplikasi PGK terjadi dimungkinkan karena penanganan penderita
PGK yang lambat. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa sekitar 64 % penderita
PGK memiliki resiko kematian yang tinggi karena penanganan yang lambat. Lebih jelasnya,
penanganan penderita PGK secara cepat di Rumah Sakit dapat memperbaiki keadaan
penderita dan mencegah terjadinya komplikasi PGK (Sprangers et al. 2006). Hal ini juga
didukung oleh studi lain yang pernah dilakukan yang menunjukkan bahwa penggunaan
sistem rujukan yang cepat dan segera melakukan rawat inap pada penderita PGK dapat
menurunkan resiko kematian (Chan et al., 2007). Oleh karena itu, pada tulisan ini akan
ditinjau mengenai PGK dengan tujuan didapatkan pemahaman yang baik mengenai PGK
termasuk penanganan PGK. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat mencegah
terjadinya komplikasi PGK termasuk kematian penderita PGK.

1.2. Definisi Penyakit Ginjal Kronik


Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kondisi dimana terjadi kerusakan permanen
pada ginjal. Ginjal tidak mampu melakukan fungsinya untuk membuang sampah sisa
metabolisme dalam tubuh, mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa
dalam tubuh. PGK dapat berkembang cepat yaitu dalam kurun waktu 2-3 bulan dan dapat
pula berkembang dalam waktu yang sangat lama yaitu dalam kurun waktu 30-40 tahun
(Levin et al., 2008; Levey et al., 2009).

1.3. Stadium Penyakit Ginjal Kronik


PGK terdiri dari 5 stadium berdasarkan GFR ml/mnt/1,73 m2, yaitu sebagai berikut:

1. Adanya sedikit kerusakan fungsi ginjal dengan filtrasi yang normal atau meningkat, GFR
>90
2. Adanya kerusakan fungsi ginjal ringan atau insufisiensi renal, GFR= 60 -89
3. Adanya kerusakan fungsi ginjal sedang, GFR= 30 -59
4. Kerusakan ginjal yang parah, GFR= 15 29
5. Gagal ginjal atau end stage renal disease (ESRD), GFR <15 (URSD, 2010).

1.4. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik


Meskipun PGK dapat disebabkan oleh kelainan atau penyakit dari ginjal itu sendiri,
namun klasifikasi penyakit ginjal kronik dapat dibagi berdasarkan atas dasar diagnosis
etiologi, yaitu:

Penyakit

Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetes

Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diabetes

Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik,
obat, neoplasia)
Penyakit vascular
Penyakit pembuluh darah
hipertensi mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial

besar,

(pielonefritis kronik, batu, ostruksi,


keracunan obat)
Penyakit kistik
(ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi

Rejeksi kronik
Keracunan
takrolismus)

obat

(siklosproin,

Penyakit recurrent (glomerular)


Transplant glomerulopathy
Tabel 1.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (Dikutip dari Sudoyo et al., 2006)

1.5. Patogenesis Penyakit Ginjal Kronik


Dasar patogenesis PGK adalah penurunan fungsi ginjal. Hal ini akan mengakibatkan
produk akhir metabolisme protein yang normalnya dieksresikan ke dalam urin tertimbun
dalam darah, terjadi uremia dan menyebabkan efek sistemik dalam tubuh. Sebagai akibatnya,
banyak masalah akan muncul sebagai akibat dari penurunan fungsi glomerulus. Hal ini akan
menyebabkan penurunan klirens dan substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal
(Nitta, 2011).
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan pemeriksaan klirens
kreatinin. Menurunnya filtrasi glomerulus diakibatkan tidak berfungsinya glomerulus. Hal ini
akan mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum.
Kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal karena substansi
ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal

tetapi dipengaruhi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme jaringan, dan medikasi
seperti steroid. Retensi cairan dan natrium terjadi akibat ginjal tidak mampu untuk
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal. Pada penyakit ginjal tahap akhir,
respon ginjal terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit tidak terjadi. Hal ini akan
meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi
juga dapat terjadi akibat aktivitas aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya serta
peningkatan eksresi aldosteron. Pasien dengan PGK memiliki kecenderungan untuk
kehilangan garam, mencetuskan risiko hipertensi dan hipovolemi, episode muntah dan diare.
Hal ini akan menyebabkan penipisan jumlah air dan natrium yang semakin memperburuk
status uremik (Nitta, 2011).
Asidosis metabolik merupakan akibat dari penurunan fungsi ginjal. Hal ini karena
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang belebihan. Penurunan
sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresikan amonia
dan mengabsorbsi natrium bikarbonat. Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga
terjadi. Amonia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecendrungan untuk mengalami
perdarahan akibat status anemia pasien, terutama dari saluran gastrointestinal, eritropoetin
menurun dan anemia berat terjadi distensi, keletihan, angina, dan sesak nafas. Hal ini akan
mengakibatkan ketidakseimbangan kalsium dan fosfat. Abnormalitas utama yang lain pada
PGK adalah gangguan metabolisme kalsium dan posfat. Kadar kalsium dan fosfat tubuh
memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya meningkat maka yang lainnya akan
menurun. Dengan menurunnya filtrasi glomerulus ginjal terdapat peningkatan kadar fosfat
serum dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium akan mengakibatkan sekresi parat
hormon dari kelenjar paratiroid. Namun demikian pada gagal ginjal, tubuh tidak berespon
secara normal terhadap peningkatan sekresi parat hormon. Sebagai akibatnya kalsium di
tulang menurun dan menyebabkan perubahan pada tulang (penyakit tulang uremik atau osteo
distropi renal). Proses perubahan pada tulang yang direlasikan pada keseimbangan fosfat
dapat dilihat pada gambar 1.1. Selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25dihidrokolekalsitriol)
pada ginjal menurun seiring dengan berkembangnya gagal ginjal (Nitta, 2011).

Gambar 1.1. Proses regulasi keseimbangan fosfat pada PGK. Adanya suatu hubungan yang
erat antara absorbsi kalsium dan PO4. Penurunan absorbsi kalsium dan hipokalsemia
merangsang sekresi hormon paratiroid. Absorbsi PO4 disimpan dalam tulang melalui
pembentukan tulang atau diekskresikan oleh ginjal. Adanya peran dari osteosit dalam
pembentukan tulang, dan ketika PO4 melebihi jumlah yang diperlukan dalam pembentukan
tulang, maka akan dikeluarkan FGF23 yang akan menstimulasi ginjal untuk
mengekskresikan kelebihan PO4. Pada PGK, ekskresi PO4 pada ginjal gagal untuk menjaga
keseimbangan PO4, meskipun adanya stimulasi dari
PTH dan FGF23 untuk
mengekskresikan PO4 (panah kuning). Hal ini mengakibatkan peningkatan PO4 dalam
serum. Ini adalah proses mineralisasi heterotopik (panah merah dan kalsifikasi vaskular
sebagai bentuk mineralisasi heterotopik) (Hruska et al., 2009).
Selain itu, terdapat hubungan yang erat antara sindrom metabolik dengan kejadian
PGK . Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kejadian PGK lebih besar pada
sindrom metabolik dibandingkan dengan diabetes mellitus (Kurella et al., 2005).
Mikroalbuminuria merupakan manifestasi awal pada sindroma metabolik yang dikaitkan
dengan PGK. Selanjutnya mikroalbuminuria ini akan menyebabkan hiperfiltrasi glomerulus.
Sindroma metabolik sering dikaitkan dengan peningkatan aktivitas renin plasma, angiotensin
converting enzyme, angiotensin II, dan angiotensinogen. Keadaan ini bersama dengan
hiperinsulinemia pada resistensi insulin merupakan aktivator terhadap faktor 1. Faktor 1
merupakan

sitokin

fibrogenik

yang

berperan

dalam

proses

injuri

glomerulus.

Hiperinsulinemia pada resistensi insulin dimediasi oleh TNF- (Dandona et al., 2005). Selain
itu, pada sindroma metabolik juga terjadi peningkatan jaringan adipose dan penurunan
adinopektin. Jaringan adipose akan mensekresi sitokin yang berlebihan yaitu adipokin seperti

TNF-, IL-6, dan resistin dimana sitokin ini akan meningkatkan terjadinya inflamasi.
Adinopektin merupakan agen protektif pada kardiorenal (Kershaw dan Klier, 2004).
Penurunan adinopektin mengindikasikan terjadinya kerusakan kardiorenal dikarenakan
disfungsi vaskuler. Lebih jelasnya, proses kerusakan kardiorenal pada PGK dapat dilihat pada
gambar 1.2. Sementara peningkatan aktivitas sistem renin angiotensisn aldosteron akan
meningkatkan volume ekstraseluler. Hal ini mengindikasikan terjadinya edema. Peningkatan
sistem renin angiotensin aldosteron diduga karena perubahan hemodinamik (aliran darah
renal), stimulus simpatetik (hiperleptinemia dan hiperinsulinemia), dan sintesis protein pada
sistem renin angiotensin aldosteron oleh jaringan lemak (Engeli et al., 2003).

Gambar 1.2. Patogenesis Chronic kidney disease dan komplikasinya terhadap sistem
kardiovaskuler. Pada PGK stage 1 dan 2 terdapat hubungan yang erat antara merokok,
obesitas, hipertensi, dislipidemia, homocysteinemia, inflamasi kronik dengan faktor resiko,
nefropati primer, dan diabetes mellitus. Hal ini dapat menyebabkan suatu inflamasi kronik
pada sistem kardiovaskuler. PGK yang memburuk dimana telah terjadi kerusakan
glumerulus atau jaringan interstisial disebut dengan PGK stage 3-4. Pada keadaan ini akan
terjadi anemia, toksin uremik, abnormalitas dari kalsium dan fosfat, dan overload natrium
dan air. Hal ini juga dapat menyebabkan inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler. Pada
PGK stage 5 terjadi sklerosis dan fibrosis pada glomerulus. Hal ini dapat meningkatkan
terjadinya inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler dan stimulasi monosit. Hal ini akan
meningkatkan resistensi insulin, metabolisme otot, dan adipositokin. Selain itu, stimulasi

monosit juga akan menyebabkan reaktan fase akut, menurunkan appetite, remodeling tulang,
dan disfungsi endotel (Dikutip dari Nitta, 2011).

Selain itu, hipertensi juga merupakan faktor yang sangat penting dalam terjadinya
PGK. Hipertensi memalui angiotensin II akan menyebabkan peningkatan tekanan
glomerulus, proteinuria, dan menginduksi sitokin inflamasi intrarenal. Hal ini akan
meningkatkan terjadinya kerusakan pada ginjal (Nitta, 2011; Ruster dan Wolf, 2006).

1.6. Tanda dan Gejala Penyakit Ginjal Kronik


Ginjal mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi terhadap kerusakan fungsi
yang ringan. Oleh karena itu, PGK dapat berkembang tanpa gejala dalam waktu yang lama
sampai fungsi ginjal yang normal hanya tinggal beberapa persen (sangat minim). Ada
beberapa gejala yang umum ditemukan pada pasien dengan PGK yaitu:
1. Fatigue dan lemah (akibat anemia dan akumulasi dari produk sisa metabolisme)
2. Loss of appetite, nausea, dan vomiting
3. Edema
4. Gatal, mear, dan kulit pucat
5. Sakit kepala, peripheral neurophaty, gangguan tidur, dan gangguan status mental
(encephalopaty karena uremia)
6. hipertensi
7. Edema pulmonal sehingga timbul sesak nafas
8. Nyeri sendi, tulang, dan fraktur
9. Disfungsi seksual (URSD, 2010).

1.7. Pemeriksaan Penunjang Chronic Kidney Disease


Pada PGK stadium awal biasanya tanpa gejala, sehingga hanya pemerikasaan
penunjang seperti pemeriksaan laboratorium yang dapat mendeteksi adanya masalah tersebut.
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui perkembangan PGK
adalah sebagai berikut:
1. Urine test: protein urin, sel darah merah, easts dan kristal, dan CCT
2. Blood test: kreatinin, ureum, BUN, elektrolit (K, P, Ca), asam basa, dan Hb
3. Ultrasound: untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, kristal, batu ginjal, dan mengkaji
aliran urin dalam ginjal
4. Biopsi (Johnson, 2011).

1.8. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik


Penatalaksanaan pada PGK bersifat konservatif. Penatalaksanaan ini lebih bermanfaat
bila penurunan fungsi ginjal masih ringan. Pengobatan konservatif ini terdiri dari 4 strategi,
yaitu:
1. Memperlambat laju penurunan fungsi ginjal
a. Pengobatan hipertensi. Target penurunan tekanan darah yang dianjurkan adalah kurang
dari 130/80 mmHg.
b. Pembatasan asupan protein, bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus
dengan demikian diharapkan progresifitas akan diperlambat.
c. Retriksi fosfor dengan tujuan untuk mencegah hiperparatirodisme sekunder.
d. Mengurangi proteinuria. Terdapat korelasi antara proteinuria dan penurunan fungsi
ginjal terutama pada glomerulonefritis kronik dan diabetes. Dalam hal ini ACE
inhibitor biasanya digunakan. Jika terdapat intolensi terhadap ACE inhibitor maka
dapat digunakan angiotensin receptor blocker.
e. Mengendalikan hiperlipidemia. Telah terbukti bahwa hiperlipidemia yang tidak
terkendali dapat mempercepat progresifitas gagal ginjal. Pengobatan meliputi diet
dan olahraga. Pada peningkatan yang berlebihan diberikan obat-obat penurun lemak

darah. Pedoman dari Asosiasi Diabetes Kanada menyarankan hemoglobin A1c <
7,0% dan fasting plasma glucose 47 mmol/L.
2. Mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut
a. Pencegahan kekurangan cairan
Dehidrasi dan kehilangan elektrolit dapat menyebabkan gangguan prarenal yang
masih dapat diperbaiki. Oleh sebab itu perlu ditanyakan mengenai keseimbangnan
cairan (muntah, keringat, diare, asupan cairan sehari- hari), penggunaan obat
(diuretik, manitol, fenasetin), dan penyakit lain (DM, kelainan gastrointestinal, dan
ginjal polikistik)
b. Sepsis
Sepsis dapat disebabkan berbagai macam infeksi, terutama infeksi saluran kemih.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengkoreksi kelainan urologi dan antibiotik yg
telah terpilih untuk mengobati infeksi.
c. Hipertensi yang tidak terkendali
Tekanan darah umumnya meningkat sesuai dengan perburukan fungsi ginjal.
Kenaikan tekanan darah ini akan menurunkan fungsi ginjal. Akan tetapi penurunan
tekanan darah yang berlebihan juga akan menyebabkan perfusi ginjal menurun. Obat
yang dapat diberikan adalah furosemid, beta blocker, vasodilator, kalsium antagonis
dan alfa blocker. Golongan tiazid kurang bermanfaat. Spironolakton tidak dapat
digunakan karena meningkatkan kalium.
d. Obat-obat nefrotoksik
Obat-obat aminoglikosida, OAINS, kontras radiologi, dan obat-obat yang dapat
menyebabkan nefritis interstitialis harus dihindari.
e. Kehamilan
Kehamilan dapat memperburuk fungsi ginjal, hipertensi meningkatkan terjadinya
eklamsia dan menyebabkan retardasi pertumbuhan intrauterine.
3. Pengelolaan uremia dan komplikasinya
a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Pasien dengan PGKsering mengalami peningkatan jumlah cairan ekstrasel karenan
retensi cairan dan natrium. Peningkatan cairan intravaskular menyebabkan
hipertensi, sementara ekspansi cairan ke interstitial menyebabkan edema.
Hiponatremia sering juga dijumpai. Penatalaksanaan yang tepat meliputi retriksi
asupan cairan dan natrium, dan pemberian terapi diuretik. Asupan cairan dibatasi < 1
liter/hari, pada keadaan berat < 500ml/hari. Natrium diberikan <2-4 gr/hari,

tergantung dari beratnya edema. Jenis diuretik yang menjadi pilihan adalah
furosemid karena efek furosemid tergantung dari sekresi aktifnya di tubulus
proksimal. Pasien dengan PGK umumnya membutuhkan dosis yang tinggi (300-500
mg), namun hati-hati terhadap efek sampinya. Apabila tindakan ini tidak membantu
harus dilakukan dialisis.
b. Asidosis metabolik
Penurunan kemampuan sekresi acid load pada PGK menyebabkan terjadinya
asidosis metabolik. Hal ini umumnya bila GFR < 25 ml/mnt. Diet rendah protein 0.6
gr/hr dapat membantu mengurangi asidosis. Bila bikarbonat turun sampai < 15-17
mEq/L harus diberikan subtitusi alkali.
c. Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia kordis yang fatal. Untuk mengatasi ini,
dapat diberikan: kalsium glukonas 10% 10 ml dalam 10 menit IV, bikarbonas
natrikus 50-150 IV dalam 15-30 menit, insulin dan glukosa 6U, insulin dan glukosa
50g dalam waktu 1 jam, kayexalate (resin pengikat kalium) 25-50 gr oral atau rektal.
Bila hiperkalemia tidak dapat diatasi, maka sudah merupakan indikasi untuk dialisis
d. Diet rendah protein
Diet rendah protein dianggap akan mengurangi akumulasi hasil akhir metabolisme
protein yaitu ureum dan toksik uremik lainya. Selain itu, telah terbukti bahwa diet
tinggi protein akan mempercepat timbulnya glomerulosklerosis sebagai akibat
meningkatnya beban kerja glomerulus dan fibrosis interstitial. Kebutuhan kalori
harus dipenuhi supaya tidak terjadi pemecahan protein dan merangsang pengeluaran
insulin. Kalori yang diberikan adalah sekitar 35 kal/kgBB, protein 0,6gr/ kgBB/ hari
dengan nilai biologis tinggi (40% asam amino esensial).
e. Anemia
Penyebab utama anemia pada PGK adalah terjadinya defisiensi eritropoeitin.
Penyebab lainya adalah perdarahan gastrointestinal, umur eritrosit yang pendek, serta
adanya faktor yang menghambat eritropoiesis (toksin uremia), malnutrisi dan
defisiensi besi. Transfusi darah hanya diberikan bila perlu dan apabila trasnfusi
tersebut dapat memperbaiki keadaan klinis secara nyata.Terapi terbaik apabila Hb <8
g% adalah pemberian eritropoietin, tetapi pengobatan ini masih terbatas karena
mahal. Target pemberian eritropoietin adalah Hb > 11 g%. Jika tidak diberikan
eritropoietin maka bisa diberikan terapi iron.
f. Kalsium dan fosfor

Terdapat 3 mekanisme yang saling berhubungan yaitu hipokalsemia dengan


hipoparatiroid sekunder, retensi fosfor oleh ginjal, dan gangguan pembentukan 1,25
dihidroksikalsiferol metabolit aktif vitamin D. Pada keadaan ini dengan GFR < 30
mL/mnt diperlukan pemberian fosfor seperti kalsium bikarbonat atau kalsium asetat
yang diberikan pada saat makan. Pemberian vitamin D juga perlu diberikan untuk
meningkatkan absorbsi kalsium di usus. Diet rendah fosfat dilakukan untuk menjaga
hiperfosfatemia. Jika diet rendah fosfat gagal, dapat diberikan calcium-containing
phosphate binders. Namun jika terdapat hiperkalemia maka dosis calciumcontaining phosphate binders atau vitamin D harus dikurangi. Hipokalsemia harus
dikoreksi jika pasien menunjukkan gejala atau tanda peningkatan level parat hormon.
g. Hiperurisemia
Alopurinol sebaiknya diberikan 100-300 mg, apabila kadar asam urat > 10 mg/dl
atau apabila terdapat riwayat gout.
4. Inisiasi dialisis
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan dialisi tetap
atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10 ml/mnt. Dialisis juga diiperlukan
bila:
a. Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
b. Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
c. Overload cairan (edema paru)
d. Ensefalopati uremik dan penurunan kesadaran
e. Efusi perikardial
f. Sindrom uremia (mual,muntah, anoreksia, dan neuropati) yang memburuk (Levin et
al., 2008).
1.9. Prognosis Penyakit Ginjal Kronik
Prognosis pasien dengan PGK menurut data epidemiologi menunjukkan bahwa PGK
sering menyebabkan kematian. Tingkat kematian secara keseluruhan meningkat oleh karena
penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama kematian pada pasien dengan PGK adalah penyakit
jantung. Hal ini lebih sering karena perkembangan PGK ke tahap 5 (Perazella dan khan,
2006).

Sementara terapi transplantasi ginjal dapat mempertahankan kondisi pasien dan


memperpanjang kehidupan dan kualitas hidup. Transplantasi ginjal dapat meningkatkan
kelangsungan hidup pasien dengan PGK stadium 5 secara signifikan bila dibandingkan
dengan terapi pilihan lain. Namun, hal ini dapat meningkatkan mortalitas jangka pendek. Hal
ini lebih sering terjadi akibat komplikasi dari operasi transplantasi ginjal tersebut (Giri,
2004). Pilihan terapi lain seperti home hemodialysis menunjukkan peningkatan kehidupan
dan kualitas hidup dibandingkan dengan hemodialisis secara konvensional (3 kali dalam
seminggu) dan peritoneal dialysis (Pierratos et al., 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Ardissino, G., Dacco, V., Testa, S., Bonaudo, R., Claris-Appiani, A., Taioli, E.,
Marra, G., Edefonti, A., dan Sereni, F. 2003. Epidemiology of chronic

renal failure in children: data from the ItalKid project. Pediatrics.


111(4 Pt 1): e382-7.

Chan, M.R., Dall, A.T., Fletcher, K.E., Lu, N., dan Trivedi, H. 2007.
Outcomes in patients with chronic kidney disease referred late to
nephrologists: a meta-analysis. Am J Med. 120(12):1063-70.

Coresh J, Selvin E, Stevens LA, Manzi J, Kusek JW, Eggers P, Van Lente F, Levey AS. 2007.
Prevalence of chronic kidney disease in the United States. JAMA. 298: 2038-2047.
Dandona, P., Aljada, A., Chaudhuri, A., Mohanty, P., dan Garg, R. 2005. Metabolic syndrome:
a comprehensive perspective based on interactions between obesity, diabetes, and
inflammation. Circulation, 111(11): 1448-1454.
Engeli, S., Schling, P., Gorzelniak, K. 2003. The adipose-tissue renin-angiotensin-aldosterone
system: role in the metabolic syndrome? Int J Biochem Cell Biol.35(6):807-825.
Garg AX, Clark WF, Haynes B, House AA. 2002. Moderate renal insufficiency and the risk
of cardiovascular mortality: Results from the NHANES I. Kidney Int. 61: 1486-1494.
Giri, M. 2004. Choice of renal replacement therapy in patients with diabetic end stage renal
disease. Edtna Erca J. 30 (3): 138-42.

Johnson, D. 2011. Chapter 4: CKD Screening and Management: Overview.


In Daugirdas, J. Handbook of Chronic Kidney Disease Management.
Lippincott Williams and Wilkins. pp. 32-43.

Kershaw, E.E. dan Flier, J.S. 2004. Adipose tissue as an endocrine organ. J Clin Endocrinol
Metabolism. 89(6): 2548-2556.

Kurella, M., Lo, J.C., dan Chertow, G.M. 2005. The metabolic syndrome and the risk for
chronic kidney disease among nondiabetic adults. J Am Soc Nephrol. 16: 2134-2140.

Levey, A.S., Stevens, L.A., Schmid, C.H., Zhang,Y. Castro, A.F., Feldman, H.I., Kusek, J.W.,
Eggers, P., Lente, F.V., Greene, T., dan Coresh, J. 2009. A New Equation to Estimate
Glomerular Filtration Rate. Ann Intern Med. 150(9): 604-612.

Levin, A., Hemmelgarn, B., Culleton, B., Tobe, S., McFarlane, P., Ruzicka, M., Burns, K.,
Manns, B, White, C, Madore, F., Moist, L., Klarenbach, S., Barrett, B, Foley, R,
Jindal, K., Senior, P., Pannu, N., Shurraw, S, Akbari, A., Cohn, A., Reslerova, M.,
Deved, V., Mendelssohn, D., Nesrallah, G., Kappel, J., Tonelli, M., dan Canadian
Society of Nephrology. 2008. Guidelines for the management of chronic kidney
disease. CMAJ. 179(11): 1154-1162.
Nitta, K. 2011. Review Article: Possible Link betweenMetabolic Syndrome and Chronic
Kidney Disease in the Development of Cardiovascular Disease. Cardiol Res Pract. 10:
1-7.
Perazella, M.A. dan Khan, S. 2006. Increased mortality in chronic kidney disease: a call to
action. Am. J. Med. Sci. 331 (3): 150-3.
Pierratos, A., McFarlane, P., dan Chan, C.T. 2005. Quotidian dialysis--update 2005. Curr.
Opin. Nephrol. Hypertens. 14 (2): 119-24.
Prodjosudjadi, W. 2006. Incidence, prevalence, treatment and cost of end-stage renal disease
In Indonesia. Ethnic Dis. 16: S214-S216.
Reddan, D.N., Szczech, L.A., Tuttle, R.H., Shaw, L.K., Jones, R.H., Schwab,
S.J., Smith, M.S., Califf, R.M., Mark, D.B.,dan Owen Jr, W.F. 2003.
Chronic Kidney Disease, Mortality, and Treatment Strategies among
Patients with Clinically Significant Coronary Artery Disease. J Am Soc
Nephrol. 14:2373-2380.

Ruster, C. dan Wolf, G. 2006. Renin-angiotensin-aldosterone system and progression of renal


disease. J Americ Soc Nephrol. 17(11): 2985-2991.

Sprangers, B., Evenepoel, P., dan Vanrenterghem, Y. 2006. Late Referral of


Patients With Chronic Kidney Disease: No Time to Waste. Mayo Clin
Proc. 81(11):1487-1494.

Stevens, L.A., Viswanathan, G., dan Weiner, D.E. 2011. CKD and ESRD in the Elderly:
Current Prevalence, Future Projections, and Clinical Significance. Adv Chronic
Kidney Dis. 17(4): 293-301.
Stigant C, Stevens L, Levin A. Nephrology. 2003. Strategies for the care of adults with
chronic kidney disease. CMAJ. 168:1553-60.

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
US Renal Data System (USRDS). 2010. Annual Data Report: Atlas of Chronic Kidney
Disease and End-Stage Renal Disease in the United States. Bethesda, Md: National
Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney
Diseases. Hyperlink Available at: http://www.usrds.org/adr.htm.

Anda mungkin juga menyukai