Anda di halaman 1dari 5

Dan tetaplah memberi peringatan, kerana sesungguhnya peringatan itu

bermanfaat bagi orang-orang mukmin" - Az-Zariyat,51:55

Home
Anakku Nur Amna
eshop
Sunday, 8 December 2013
Tips pendidikan anak - Abdullah Nasih Ulwan
PAHALA YANG SELALU MENGALIR
Kehidupan dunia telah kita yakini dan memang telah terbukti sebagai
kehidupan yang sementara. Manusia sebagai salah satu makhluk Allah
telah dipastikan akan mati. Sebagai muslim, tidaklah penting kapan dan
dimana kita akan mati, yang terpenting adalah apakah kita bisa
mencapai kematian dalam keadaan tunduk kepada Allah atau tidak.
Seperti kita ketahui, Allah memang menghendaki demikian sebagai
mana firman-Nya;
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya taaqwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan berserah diri (muslim)." (QS. Ali Imran ;
102).
Inilah persoalan besar yang harus diperhatikan setiap manusia, tapi
sayang sekali banyak manusia yang mengabaikannya.
Dalam konsepsi Islam, mati bukanlah akhir dari segalanya, tapi justru
mati itu merupakan awal kehidupan yang panjang, yaitu kehidupan
akhirat dan setiap kita pasti mengiginkan kebahagiaan di akhirat,
karenanya di dalam berdo'a tak pernah kita melupakan mebaca
"Rabbanaa aatina fiddunyaa hasanah wafil aakhirati hasanah, wa qinaa
'adzaabannaar".
Berdo'a saja tidaklah cukup, kebahagiaan di akhirat juga harus dicapai
dengan bekal pahala yang banyak dan untuk memperoleh pehalanya
yang banyak berarti harus beramal shaleh yang sebanyak-banyaknya.
Meskipun begitu, ada perbuatan yang pahalanya akan terus diraih oleh
orang yang beramal, mekipun ia sudah meninggal dunia. Dalam hal ini
Rasulullah menunjukkan empat perkara sebagaimana sabdanya yang
berbunyi :
"Ada empat perkara yang mengalir pahalanya setelah pelakunya
meninggal dunia, yaitu, orang yang meninggal selagi giat-giatnya
berjuang di jalan Allah, orang yang mengajarkan ilmunya, senantiasa

mengalir pahala baginya, orang yang memberikan sadaqah akan


mengalir shadaqah di mana saja shadaqah itu terletak dan orang yang
meninggalkan anak yang shaleh dan anak tersebut selalu berdo'a untuk
kebahagiaan." (Hr. Ahmad dan Thabrani).
Dari hadis di atas, empat perkara yang dimaksud adalah:
1. Mati syahid
Mati syahid adalah kematian yang dicapai tatkala seseorang tengah
berjuang menegakan kalimat Allah. Begitu mulianya mati syahid
sehingga seorang mu'min yang sebenar-benarnya, di manapun ia
berada selalu mendambakannya. Para syuhada di dalam akhirat
mendapatkan kenikmatan yang luar biasa, mereka pasti meraih syurga
yang dijanjikan Allah, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan
harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka, mereka
berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh, itu telah
menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an".
(QS At-Taubah ayat 111).
Oleh sebab itu setiap kita seharusnya tidak segan-segan berjuang di
jalan Allah untuk menegakkan kalimat-Nya. Manakala seorang punya
kedudukan, kesempatan dan kemampuan seharusnya dimanfaatkannya
untuk itu.
2. Mengajar Ilmu
Ilmu adalah salah satu kunci dan bekal seseorang untuk mencapai
kebenaran serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu setiap
muslim diwajibkan menuntut ilmu untuk selanjutnya ilmu itu diamalkan
demi tegaknya Al Haq (kebenaran). Salah satu cara mengamalkan ilmu
adalah dengan mengajarkannya pada orang lain sehingga orang lain
dengan memahami dan mengamalkan yang kita peroleh. Nabi SAW
bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkannya"
(HR. Muslim).
Ilmu itu hendaklah seperti air, ia selalu mengalir dan membersihkan
yang kotor serta menyuburkan tanah yang tandus. Dengan mengajarkan
ilmu diharapkan orang yang diajarkannya dapat menghilangkan sifatsifat yang buruk dan menumbuhkan sifat-sifat yang baik. Oleh sebab itu
belajar dan mengajar dalam ajaran Islam mendapat keutamaan sendiri.
Tapi bila seseorang tidak memanfaatkan ilmunya untuk kebaikan, maka
Allah menyediakan siksa untuknya. Nabi SAW, bersabda;
"Seberat-berat siksaan atas manusia pada hari kiamat adalah orang
alim yang tidak mengajarkan ilmunya." (HR Thabrani).
Karena orang yang tidak memanfaatkan ilmunya akan diazab Allah, kita

juga jangan berpendapat; "kalau begitu lebih baik saya tidak punya ilmu
saja dari pada tidak memanfaatkan". Padahal Allah justru akan
mengazab orang-orang yang tidak mau tahu atau tidak mau menuntut
ilmu.
3. Bershadaqah
Memperbanyak harta merupakan salah satu kesenangan manusia, Allah
memang mempersilahkan manusia untuk mencari harta sebanyak
mungkin, tapi dari sekian banyak harta yang didapatkan, sebagai
muslim kita berkewajiban mengeluarkan sebagian kecilnya untuk
kepentingan Islam serta ummatnya. Kasadaran ini harus terus dipupuk
karena pembangunan Islam dan ummatnya tidak lepas dari keterikatan
pada dana yang didapat dari kesadaran bershadaqah. Oleh sebab itu
setiap muslim diwajibkan untuk mewujudkan kesadaran bershadaqah
manakala ingin meraih kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Tapi bila tetap bermegah-megahan dengan harta dan tidak mau
menshadaqahkannya, maka azab Allah menanti, sebagaimana firmanNya:
"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang
mengumpulkan harta dan menhitung-hitung. Dia mengira bahwa
hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya
dia benar-benar akan dilemparkan kedalam huthomah, Dan tahukah
kamu apa huthomah itu, (yaitu) api (yang disediakan) Allah, yang
dinyalakan. Yang (naik) sampai ke hati." (QS al Humazah: 1 - 7)
Bila shadaqoh telah dikeluarkan, baik dalam bentuk uang maupun
barang, maka orang yang mengeluarkannya manakala betul-betul ikhlas
akan meraih pahala, sebab uang serta barangnya itu terus berguna bagi
kepentingan Islam dan ummatnya.
4. Anak Yang Shaleh
Tiap orang yang menikah, pasti mengiginkan punya anak, dan tiap
orang tua yang muslim, pasti ingin agar anaknya menjadi anak yang
shaleh. Karena itu pagi siang, sore dan malam kita selalu berdo'a agar
Allah menganugerahi keturunan yang shaleh. Namun dalam konsepsi
Islam, anak yang shaleh itu bukan sekedar didambakan dan meraihnya
hanya dengan do'a. Tapi RasuluLlah pernah menegaskan:
"Didiklah anak-anakmu dan perbagus adab mereka" (HR. Ibnu Majah)
Dengan begitu, orang tua yang ingin anaknya shaleh, seharusnya dialah
yang mendidiknya secara langsung. Kalau kemudian ada lembaga
pendidikan Islam. guru ngaji dan sebagainya yang ikut serta mendidik
sang anak, itu hanyalah pelengkap, maka orang tua tidak boleh merasa
kewajibannya mendidik anak telah gugur karena telah menyekolahkan
anaknya di sekolah Islam atau memanggil guru ngaji ke rumah. Ini perlu

dipertegas mengingat banyak orang tua yang berprinsip demikian.


Persoalan lain dalam hal pendidikan anak adalah, banyak orang tua
yang seolah-olah kehabisan cara menghadapi anak-anaknya. Karena
itu, perlu kita simak petunjuk Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya
"Tarbiyatul Aulad Fil Islam". Beliau menyebutkan lima metode dalam
mendidik anak. Pertama, mendidik dengan keteladanan, dalam arti
orang tua harus memberikan teladan atau contoh yang baik kepada
anak-anaknya, ini berarti, kalau orang tua ingin anaknya menjadi shaleh,
orang tuanyalah yang harus lebih dulu shaleh.
Kedua, mendidik anak dengan pembiasaan yang baik, dalam arti orang
tua harus menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik kepada anakanaknya, orang tua tidak bisa pakai prinsip, "ah nanti juga kalau sudah
besar mereka tahu mana yang baik dan mana yang tidak." Mungkin
mereka bisa tahu mana yang baik dan mana yang buruk, tapi mereka
tidak mampu melaksanakan yang baik dan meninggalkan yang tidak
baik manakala tidak dibiasakan sejak kecil, inilah pentingnya
membiasakan hal-hal yang baik kepada anak sejak anak itu kecil.
Ketiga, mendidik dengan mengajarkan ilmu pengetahuan dan dialog
tentang berbagai persoalan. Dalam hal ini amat penting orang tua
mampu menanamkan pengertian kepada anak-anaknya, dan dialog
merupakan cara yang paling tepat, apalagi menghadapi anak yang
sudah memasuki usia remaja. Namun sayang sekali, karena kesibukan
orang tua, justru suasana yang biologis kurang tercipta pada keluargakeluarga kita sekarang ini.
Keempat, mendidik dengan memberikan pengawasan dan nasehat.
Dalam era sekarang. Pengawasan dari orang tua terhadap anakanaknya sediperlukan, sehingga orang tua tahu perkembangan jiwa
atau kepribadian anaknya dari waktu kewaktu. Kalau orang tua tahu
perkembangan jiwa anaknya, maka ia tahu perkembangan jiwa
anaknya, maka ia tahu nasihat apa yang harus diberikan kepada
mereka.
Kelima, mendidik dengan memberikan hukuman, ini dilakukan bila caracara yang lemah lembut tidak membuat si anak berubah ke arah yang
lebih baik. Namun menghukum anak tidak selalu dalam bentuk hukuman
fisik, tapi lakukanlah dengan cara-cara yang sifatnya edukatif (mendidik),
misalnya biasanya si anak di beri uang jajan sehari Rp. 500,- tapi karena
si anak bagun tidurnya kesiangan dan tidak shalat shubuh, maka uang
jajannya dipotong menjadi Rp. 250,- Tiap orang tua tentu lebih tahu,
hukuman apa yang lebih tepat untuk anak-anaknya.

Dengan demikian, ternyata untuk meraik kebahagiaan di akhirat


bukanlah persoalan sederhana, karena itu diperlukan keseriusan dan
kesungguhan menunjukan identitas keislaman kita di manapun kita
berada.
Posted by Norhayati Shafii at 04:45
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to
Pinterest
Labels: Ilmu Mendidik Anak
No comments:
Post a Comment

Anda mungkin juga menyukai