Anda di halaman 1dari 20

2008 di Pinggir Selokan

Cerpen Dewi Lestari


Pagi menjelang siang tadi, anak laki-laki saya, Keenan,
tiba-tiba menarik tangan saya dan menggiring saya
menuju sendal capit yang terparkir di teras depan. Saya
sudah hafal aktivitas yang dia maksud, sekaligus rute
perjalanan yang menanti kami. Inilah acara jalan kaki
yang kerap ia tagih, yakni satu kali putaran ke jalan
belakang dimana tidak ada rumah di sana, hanya tanah
kosong berilalang tinggi. Jalan itu menurun dan curam,
berbatu-batu besar dan banyak dahan berduri di pinggir
kiri-kanan.
Terakhir kami berjalan ke sana, kaki Keenan sempat luka
karena tersobek duri, tapi entah mengapa ia selalu
memilih jalur yang sama. Sejak sebelum kami berjalan
kaki, saya sudah mengamati pagi pertama tahun 2008 ini.
Langit yang berawan, angin yang bertiup kencang, dan
meski matahari bersinar cukup terang dan terlihat
angkasa biru di balik timbunan awan, saya tak bisa
mengatakan bahwa ini pagi yang cerah. Masih terasa
jejak mendung peninggalan hujan semalam. Kendati
demikian, pagi ini pun tak bisa disebut pagi yang
mendung. Sambil berjalan, saya merenungi kesan-kesan
saya mengenai pergantian tahun kali ini. Ada keinginan
kuat untuk menuliskan sesuatu, semacam refleksi dan
sejenisnya. Tapi saya tak tahu harus memulai dari mana,
harus menulis apa.
Yang ada hanyalah keinginan menulis, tapi tanpa konten.
Sejujurnya, alam pagi hari ini cukup mewakili apa yang
saya rasakan. Saya melewati pergantian tahun ini dengan
'bu-abu'. Tak melulu berspiritkan optimisme dan
positivitas, tak juga melulu pesimistis dan negativitas.
Semuanya hadir bersamaan dengan kadar yang kurang
lebih seimbang, sehingga rasa yang tertinggal di batin

saya adalah... netral dan datar. Berbeda dengan


kebiasaan saya, terutama di usia 20-an, yang selalu rajin
bahkan mensakralkan kebiasaan menulis resolusi,
evaluasi, pengharapan dan impian, kali ini saya tak
berbekalkan apaapa. Tak ada resolusi, tak ingin
mengevaluasi. Harapan dan impian, yang biasanya kita
bawa layaknya tongkat estafet dalam pacuan panjang
bernama hidup ini, kali ini bahkan absen dari tangan saya.
Cengkeraman jemari saya rasanya tak cukup kuat untuk
itu. Bukannya kedua hal itu tak ada, tapi malas rasanya
menggenggam. Yang ada hanyalah langkah demi langkah
kaki di jalanan berbatu, bertemankan suara gesekan
ilalang dan terik matahari yang kian menggigit tengkuk.
Keenan pun menolak digenggam. Dengan semangat, ia
berjalan dengan gagah berani tanpa mau saya gandeng.
Ia sibuk mengumpulkan batu-batu yang pada akhir
perjalanan kami akan dicemplungkannya satu demi satu
ke selokan. Dengan kedua tangan penuh bongkah batu, ia
berjalan sedikit di depan saya. Tepat di turunan curam,
tiba-tiba ia tergelincir dan jatuh menengadah. Seketika ia
menangis, kaget bukan main. Semua batu di
genggamannya lepas. Cepatcepat saya meraih dan
memeluknya. Saya melihat sekeliling, betapa banyak batu
besar yang bisa saja menjadi landasan kepalanya saat
jatuh tadi. Saya pun menyadari perjalanan kecil ini bisa
jadi perjalanan yang berbahaya. Sambil terisak, Keenan
mengucap sendiri, "Tidak apa-apa... Keenan tidak apaapa." Dan entah mengapa, respons saya padanya adalah,
"Ya, tidak apa-apa. Keenan sekali-sekali harus tahu
rasanya jatuh." Lalu kami berdua meneruskan perjalanan.
Tak sampai tiga langkah, ia sudah minta turun lagi dari
gendongan saya.
Kembali berjalan sendiri, memunguti batu-batu baru, yang
pada akhir perjalanan kami dicemplungkannya satu demi
satu ke selokan. Saya menunggui Keenan berupacara di

pinggir selokan sambil merenungi perjalanan kami pada


pagi hari pertama tahun 2008 ini. Akhirnya saya
mendapatkan sebuah 'pesan'. Terlepas dari kepercayaan
kita pada sosok Tuhan personal maupun impersonal,
semua dari kita setidaknya pernah merasakan hadirnya
sebuah kekuatan, energi agung, atau apapun itu, yang tak
luput menemani setiap langkah perjalanan hidup kita.
Saat kita asyik berjalan, mengumpulkan segala sesuatu
yang kita ingin raih, kita tak terlalu menghiraukan
kehadiran 'sesuatu' itu. Namun saat kita tergelincir dan
terenyak luar biasa, segala sesuatu yang kita cengkeram
pun lepas.
Tangan kita kembali kosong. 'Sesuatu' itu akhirnya punya
kesempatan untuk muncul dan menyeruak, meraih tangan
kita yang sedari tadi sibuk menggenggam. Lama atau
sekejap kita didekap, selama perjalanan ini belum usai,
tak urung kita akan kembali melangkah. Mengumpulkan
kembali pengalaman demi pengalaman yang kita
perlukan. Sambil berjongkok di pinggir selokan, saya
merenungi 'batu-batu' yang selama ini saya genggam.
Besar-kecil, jelek-bagus, semua itu saya kumpulkan
karena itulah yang saya perlukan. Jika hidup adalah siklus
berputar dalam satu pusaran, cukup relevan jika saya
menganalogikannya dengan trayek yang saya tempuh
hampir setiap hari bersama Keenan itu. Jalanan
berselimut batu, yang meski begitu sering saya jalani, tak
pernah saya tahu batu mana yang akan saya genggam
berikutnya, dan batu mana yang akan saya lepas sesudah
ini.
Tak pernah juga saya tahu, kapan saya akan tergelincir
dan terpaksa melepaskan semua yang selama ini erat
digenggam. Sekalipun tahun baru ini saya songsong
tanpa resolusi dan evaluasi, ada satu keyakinan yang
mengiringi langkah saya pulang ke rumah pagi ini. Jika
batu dalam genggaman tangan saya lepas, berarti sudah

saatnyalah ia lepas. Jika perjalanan ini belum usai, maka


kaki ini meski lelah dan penat akan kembali terus
melangkah. Jika saya tergelincir nanti, maka sesuatu akan
menyeruak muncul dari kekosongan, meraih tangan saya
yang hampa dan kembali membawa saya bangkit berdiri.
Saya tak ingin memberinya nama. Saya tak ingin
menjeratnya dalam sebuah identitas. Yang saya tahu,
saya bersisian dengannya. Seperti partikel dengan
gelombang. Seperti alam material dan imaterial. Sedikit
batu atau banyak batu, melangkah cepat atau lambat,
tergelincir atau terjerembap, ia berjalan seiring dengan
napas dan denyut saya. Ia membutuhkan saya sama
halnya dengan saya membutuhkannya. Dan hanya dalam
keheningan, kami berdua hilang. Dalam keheningan, kami
bersatu dalam ketiadaan. Mendadak, adanya resolusi
atau tidak, bukan lagi satu hal signifikan. Mendadak, hari
ini menjadi hari yang sama berharganya sekaligus sama
biasanya dengan hari-hari lain.
DMCA Protection on:
http://www.lokerseni.web.id/2011/07/cerpen-2008dipinggir-selokan-karya.html#ixzz221zk7kNb

PACARKU ADA LIMA


Cerpen Dewi Lestari
Merayap pelan di Jalan Katamso, Jakarta, saat jam bubar
sekolah merupakan pelatihan observasi yang baik. Seolah
mengamati dunia dalam mikroskop, kecepatan lambat

memungkinkan kita menangkap dengan detail jalanan


yang berlubang, trotoar yang hancur, angkot yang
mengulur waktu untuk menelan penumpang sebanyakbanyaknya, pedagang kaki lima yang bersesak memepet
jalan aspal, dan manusia... lautan manusia.
Di balik kerumunan atap rumah, menyembul matahari
yang membola sempurna. Oranye. Mata saya seketika
melengak ke atas, sejenak meninggalkan pemandangan
Jalan Katamso yang menguji kesabaran mental. Langit
berwarna-warni khas senja. Campur aduk antara kelabu,
biru, ungu, merah jambu, jingga. Seketika saya bersua
dengan sebuah rasa tak bernama. Kemurnian, barangkali
deskripsi paling mendekati. Banyak hal yang membuat
kita jatuh cinta pada hidup. Berkali-kali. Tak akan terukur
dan tertakar akal mengapa kita jutaan kali mati dan lahir,
seolah tak berakhir. Sesuatu dalam mortalitas ini
mengundang kita untuk kembali, dan kembali lagi.
Sesuatu dalam dunia materi, jasad, partikel, mengundang
jiwa kita menjemput tubuh untuk ditumpangi dan kembali
mengalami.
Dalam keadaan mabuk asmara, kita akan merasa lahir
untuk seseorang yang kita cinta. Dalam keadaan
terinspirasi, kita merasa lahir untuk berkarya dan
mencipta. Seorang ibu, dalam puncak kebahagiaannya,
akan merasa lahir untuk melahirkan buah hatinya. Untuk
beragam alasan, kita jatuh hati pada hidup dan
kehidupan. Cinta yang barangkali juga datang dan pergi
sesuai dengan situasi yang terus berganti. Langit senja di
jalanan macet ini menggerakkan saya untuk menelusuri
cinta yang nyaris tak terganti, yang meski hidup sedang
busuk dan menyebalkan, saya tahu kemurnian ini selalu
menyertai jiwa saya. Untuk hal-hal inilah jiwa saya
tergoda untuk kembali, dan kembali. Atau, minimal, halhal ini menjadi jaminan penghiburan jiwa saya selagi
menjalani berbagai peran dan ragam drama yang harus
dimainkan dalam hidup.

Dan inilah daftar tersebut, dalam susunan acak: Langit


senja. Tertawa. Minum air putih. Suara hujan.
Bergandengan tangan. Dalam kelima hal itu, ada
kemurnian yang selalu menjemput jiwa saya untuk
sejenak bersuaka. Riak dan gelombang boleh turun dan
pasang, pasangan saya boleh berganti, sehat-sakitsusahsenang boleh bergilir ambil posisi, tapi ada
keindahan yang bergeming saat saya masih diizinkan
untuk menatap langit senja, untuk tertawa lepas, untuk
mengalirkan air putih segar lewat tenggorokan, untuk
mendengar derai hujan yang beradu dengan bumi, untuk
merasakan hangat kulit manusia lain lewat genggaman.
Sederhana memang, sama halnya dengan semua
penelusuran pelik yang biasanya berakhir pada penjelasan
sederhana. Sungguh saya tergoda berkata, kelima hal itu
adalah kekasih saya sesungguhnya. Pacar-pacar gelap tapi
tetap, yang dicumbu jiwa saya saat menjalin kasih dengan
dunia materi dan sensasi ini. Bahkan kemacetan bubar
sekolah di Jalan Katamso yang sempit tak mampu
membendung cinta ini.
DMCA Protection on:
http://www.lokerseni.web.id/2011/07/cerpen-pacarku-adalima-karya-dewi.html#ixzz221zy8IV4

HartaKarunUntukSemua
Cerpen Dewi Lestari
Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari Amazon.com
datang. Ada satu buku yang langsung saya sambar dan

baca seketika. Judulnya: "Stuff The Secret Lives of


Everyday Things". Buku itu tipis, hanya 86 halaman, tapi
informasi di dalamnya bercerita tentang perjalanan ribuan
mil dari mana barang-barang kita berasal dan ke mana
barang-barang kita berakhir.
Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa
plastik memakan waktu ratusan tahun untuk musnah,
saya sering merenung: orang gila mana yang mencipta
sesuatu yang tak musnah ratusan tahun tapi masa
penggunaannya hanya dalam skala jam bahkan detik?
Bungkus permen yang hanya bertahan sepuluh detik di
tangan, lalu masuk tong sampah, ditimbun di tanah dan
baru hancur setelah si pemakan permen menjadi fosil.
Sukar membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa plastik,
tanpa cat, tanpa deterjen, tanpa karet, tanpa mesin, tanpa
bensin, tanpa fashion.

Harta Karun Untuk Semua

Dan sebagai konsumen dalam sistem perdagangan


modern, sejak kita lahir rantai pengetahuan tentang awal
dan akhir dari segala sesuatu yang kita konsumsi telah
diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau tahu ke
mana kemasan styrofoam yang membungkus nasi rames

kita pergi, berapa banyak pohon yang ditebang untuk


koran yang kita baca setengah jam saja, beban polutan
yang diemban baju-baju semusim yang kita beli membabibuta. Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa
berpikir, yang terasa wajar-wajar saja, pernahkah kita
berhitung bahwa untuk hidup 24 jam kita bisa
menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat
berat tubuh kita sendiri? Untuk menyiram 200 cc air
kencing, kita memakai 3 liter air. Untuk mencuci secangkir
kopi, kita butuh air sebaskom. Untuk memproduksi satu
lapis daging burger yang mengenyangkan perut setengah
hari dibutuhkan sekitar 2,400 liter air. Produksi satu set
PC seberat 24 kg yang parkir di atas meja kerja kita
menghasilkan 62 kg limbah, memakai 27,594 liter air, dan
mengonsumsi listrik 2,300 kwh. Bagaimana dengan chip
kecil yang bekerja di dalamnya? Limbah yang dihasilkan
untuk memproduksinya 4,500 kali lipat lebih berat
daripada berat chip itu sendiri.
Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa menimbulkan
berbagai reaksi. Kita bisa frustrasi karena terjepit dalam
ketergantungan gaya hidup yang tak bisa dikompromi, kita
bisa juga semakin apatis karena tidak mau pusing. Yang
jelas, sesungguhnya ini adalah pengetahuan yang sudah
saatnya dibuka. Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar
penampang daun dan membedah jantung katak, dapat
dibuat lebih empiris dengan mempelajari hulu dan hilir dari
benda-benda yang kita konsumsi, sehingga tanggung
jawab akan alam ini telah disosialisasikan sejak kecil.
Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung FO
empat lantai, Pasar Baru, atau berjalanjalan ke Gasibu
pada hari Minggu di mana ada lautan PKL: tidakkah
semua baju dan barang-barang itu mampu memenuhi
kecukupan penduduk satu kota? Tapi kenapa barangbarang ini tidak ada habisnya diproduksi? Setiap hari
selalu ada jubelan pakaian baru yang menggelontori

pasar. Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki


hypermarket dan melihat ratusan macam biskuit, ratusan
varian mie instan, dan ratusan merk sabun: haruskah kita
memiliki pilihan sebanyak itu? Pernahkah kita merenung,
apa yang kita inginkan sesungguhnya jauh melebihi apa
yang kita butuhkan? Atas nama kecukupan, satu manusia
bisa hidup dengan lima pasang baju dalam setahun,
bahkan lebih. Atas nama fashion, jumlah itu menjadi tidak
berbatas. Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup
dengan beberapa pilihan panganan dalam sehari. Atas
nama selera dan nafsu, seisi Bumi tidak akan sanggup
memenuhi keinginan satu manusia. Permasalahan ini
memang bisa dilihat dari berbagai kacamata.
Seorang ekonom mungkin akan menyalahkan sistem
kapitalisme dan globalisasi. Seorang sosialis akan
mengatakan ini masalah distribusi dan pemerataan. Tapi
jika kita runut, satu demi satu, bahwa Bumi adalah
kumpulan negara, negara adalah kumpulan kelompok,
dan kelompok adalah kumpulan individu, permasalahan
ini akan kembali ke pangkuan kita. Dan kesadaran serta
kemauan kitalah yang pada akhirnya akan memungkinkan
sebuah perubahan sejati. Belum pernah dalam sejarah
kemanusiaan keputusan harian kita menjadi sangat
menentukan.
Tidak perlu menunggu Amerika menyepakati protokol
Kyoto, tidak perlu juga menunggu penjarah hutan
tertangkap, setiap langkah kitamemilih merk, kuantitas,
tempat, gaya hidup adalah pilihan politis dan ekologis
yang menentukan masa depan seisi Bumi. Saya belum
bisa mengorbankan komputer karena itulah instrumen
saya bekerja, tapi saya bisa lebih awas dengan jam
penggunaan dan mematikannya jika tidak perlu. Saya
belum bisa mengorbankan kebutuhan akan informasi, tapi
saya bisa memilih membaca berita lewat internet atau
membaca koran di tempat publik ketimbang berlangganan

langsung. Bagaimana dengan fashion? Di dunia citra ini,


dengan profesi yang mengharuskan banyak tampil di
muka publik, saya pun belum bisa mengorbankan
keperluan fashion (baca: membeli busana lebih sering dari
yang dibutuhkan), tapi saya bisa membuat komitmen
dengan lemari pakaian, yakni baju yang saya miliki tidak
boleh melebihi kapasitas lemari saya. Jika lebih, maka
harus ada yang keluar.
Dan setiap beberapa bulan saya dihadapkan pada
kenyataan bahwa ada baju yang tidak saya pakai setahun
lebih atau baju yang cuma sekali dipakai dan tak pernah
lagi. Bukan cuma baju, ada juga buku, pernik rumah, alat
dapur, bahkan sabun dan sampo yang utuh tak disentuh.
Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti 'harta
karun', yang berisikan barang-barang yang harus keluar
dari peredaran, karena jika dipertahankan hanya menjadi
kelebihan tanpa lagi unsur manfaat. Harta karun ini lantas
harus dicarikan lagi outlet untuk penyaluran. Pada waktu
perayaan 17 Agustus, di kompleks saya diselenggarakan
bazaar. Para warga menyewa stand untuk berjualan. Saya
ikut berpartisipasi, dan sayalah satu-satunya penjual
barang bekas di antara penjual barang-baru baru. Karena
bukan demi cari untung, barang-barang itu saya lepas
dengan harga sangat murah. Yang membeli bukan cuma
warga kompleks, tapi juga dari kampung sekitar. Hari
pertama, saya sudah kehabisan dagangan. Terpaksa saya
mengontak saudara-saudara saya yang barangkali juga
punya barang bekas untuk disalurkan. Sama dengan
saya, mereka pun punya timbunan harta karun yang entah
harus diapakan.
Stand saya menjadi salah satu stand paling laris selama
bazaar berlangsung. Dan kakak saya terkaget-kaget
dengan penghasilan yang ia dapat dari tumpukan barang
yang sudah dianggap sampah. Berjualan di bazaar tentu
bukan satu-satunya jalan, ada aneka cara kreatif lain

untuk memanfaatkan harta karun kita, termasuk juga


disumbangkan. Namun yang lebih sukar adalah memulai
membuat
komitmen-komitmen
pembatasan
diri.
Berkomitmen dengan rak buku, dengan lemari pakaian,
dengan rak kamar mandi, dengan laci dapur, dan pada
intinya... dengan diri sendiri.
Siapkah kita menentukan batasan dan berjalan dalam
koridor itu? Dan, yang lebih susah lagi, adalah
pengendalian diri dari awal bersua aneka pilihan yang
membombardir kita setiap hari, lalu sadar dan mawas
akan rantai sebab-akibat yang menyertai pilihan kita.
Membuka diri untuk info dan pengetahuan ekologi adalah
salah satu cara pembekalan yang baik. Walaupun sekilas
tampak merepotkan dan bikin frustrasi, tapi kantong
kresek yang kita buang tadi pagi tidak akan hilang oleh
sihir, dan hamburger yang kita makan tidak dipetik dari
pohon. Rantai yang menyertai barang-barang itu tidak
akan hilang hanya karena kita menolak tahu. Banyak
orang yang berkomentar pada saya, "Aduh, Wi. Kamu
bikin hidup tambah susah saja." Dan mereka benar. Hidup
ini tak mudah.
Untuk itu kita justru harus belajar menghargai setiap
jengkalnya. Memilih hidup yang lebih sederhana, hidup
dengan tempo yang lebih pelan, hidup dengan
pengasahan kesadaran, tak hanya membantu kita lebih
eling dan terkendali, tapi juga membantu Bumi ini dan
jutaan manusia yang dijadikan alas kaki oleh industri demi
pemenuhan nafsu konsumsi kita sendiri.
Lingkaran setan? Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup
berubah. Selama ini kita adalah pembeli yang berlari.
Dalam kecepatan tinggi kita bertransaksi, sabet sana
sabet sini, tanpa tahu lagi apa yang sesungguhnya kita
cari. Berhentilah sejenak. Marilah kita berjalan.

DMCA Protection on:


http://www.lokerseni.web.id/2011/07/cerpen-harta-karununtuk-semua-karya.html#ixzz2220ndd4u

Dua Ekor Kambing


Aesop

Dua ekor kambing berjalan dengan gagahnya dari arah yang


berlawanan di sebuah pegunungan yang curam, saat itu secara
kebetulan mereka secara bersamaan masing-masing tiba di tepi
jurang yang dibawahnya mengalir air sungai yang sangat deras.
Sebuah pohon yang jatuh, telah dijadikan jembatan untuk
menyebrangi jurang tersebut. Pohon yang dijadikan jembatan
tersebut sangatlah kecil sehingga tidak dapat dilalui secara
bersamaan oleh dua ekor tupai dengan selamat, apalagi oleh dua
ekor kambing. Jembatan yang sangat kecil itu akan membuat orang
yang paling berani pun akan menjadi ketakutan. Tetapi kedua
kambing tersebut tidak merasa ketakutan. Rasa sombong dan harga
diri mereka tidak membiarkan mereka untuk mengalah dan
memberikan jalan terlebih dahulu kepada kambing lainnya.
Saat salah satu kambing menapakkan kakinya ke jembatan itu,
kambing yang lainnya pun tidak mau mengalah dan juga
menapakkan kakinya ke jembatan tersebut. Akhirnya keduanya
bertemu di tengah-tengah jembatan. Keduanya masih tidak mau
mengalah dan malahan saling mendorong dengan tanduk mereka
sehingga kedua kambing tersebut akhirnya jatuh ke dalam jurang
dan tersapu oleh aliran air yang sangat deras di bawahnya.
Lebih baik mengalah daripada mengalami nasib sial karena keras
kepala.

Keledai dan Garam Muatannya


Aesop

Seorang pedagang, menuntun keledainya untuk melewati sebuah


sungai yang dangkal. Selama ini mereka telah melalui sungai
tersebut tanpa pernah mengalami satu pun kecelakaan, tetapi kali
ini, keledainya tergelincir dan jatuh ketika mereka berada tepat di
tengah-tengah sungai tersebut. Ketika pedagang tersebut akhirnya
berhasil membawa keledainya beserta muatannya ke pinggir sungai
dengan selamat, kebanyakan dari garam yang dimuat oleh keledai
telah meleleh dan larut ke dalam air sungai. Gembira karena
merasakan muatannya telah berkurang sehingga beban yang
dibawa menjadi lebih ringan, sang Keledai merasa sangat gembira
ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka.
Pada hari berikutnya, sang Pedagang kembali membawa muatan
garam. Sang Keledai yang mengingat pengalamannya kemarin saat
tergelincir di tengah sungai itu, dengan sengaja membiarkan dirinya
tergelincir jatuh ke dalam air, dan akhirnya dia bisa mengurangi
bebannya kembali dengan cara itu.
Pedagang yang merasa marah, kemudian membawa keledainya
tersebut kembali ke pasar, dimana keledai tersebut di muati dengan
keranjang-keranjang yang sangat besar dan berisikan spons. Ketika
mereka kembali tiba di tengah sungai, sang keledai kembali dengan
sengaja menjatuhkan diri, tetapi pada saat pedagang tersebut
membawanya ke pinggir sungai, sang keledai menjadi sangat tidak
nyaman karena harus dengan terpaksa menyeret dirinya pulang
kerumah dengan beban yang sepuluh kali lipat lebih berat dari
sebelumnya akibat spons yang dimuatnya menyerap air sungai.
Cara yang sama tidak cocok digunakan untuk segala situasi.

Penyihir Tua
Joseph Jacobs
pada jaman dahulu kala, hiduplah dua orang anak gadis yang
tinggal bersama ayah dan ibunya. Ayah mereka tidak mempunyai
pekerjaan, dan gadis-gadis tersebut ingin keluar dan mencari

pekerjaan agar dapat menghidupi orangtua mereka. Satu orang


gadis itu ingin bekerja menjadi pelayan, dan ibunya berkata bahwa
dia mungkin bisa bekerja apabila dia menemukan tempat untuk
bekerja di kota. Akhirnya anak gadis tersebut berjalan ke kota
untuk mulai mencari tempat pekerjaan, tetapi di kota tersebut,
tidak ada yang ingin mempekerjakan gadis seperti dia. Gadis kecil
itu kemudian berjalan lebih jauh sampai tiba di pedesaan, dan dia
datang ke tempat dimana disana ditemukan banyak sekali tungku
pemanggang dan roti. Lalu roti tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis
kecil, bawalah kami keluar. Kami telah memanggang selama tujuh
tahun, dan tidak ada orang yang pernah membawa kami keluar."
Gadis tersebut lalu membawa keluar roti tersebut,
membaringkannya di tanah dan segera berjalan pergi kembali.
Kemudian dia bertemu dengan seekor sapi, dan sapi tersebut
berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, perahlah susuku, perahlah
susuku! Tujuh tahun saya telah menunggu dan tidak ada orang
yang pernah datang untuk memerahku." Gadis tersebut kemudian
memerah susu sapi tersebut ke ember yang ada didekatnya. Karena
kehausan, dia meminum sedikit susu tersebut dan membiarkan
sisanya tetap di dalam ember.Kemudian gadis tersebut berjalan
lebih jauh dan bertemu dengan sebuah pohon apel, yang penuh
dengan buah apel sehingga dahan-dahannya kelihatan banyak yang
patah, lalu pohon apel tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil,
tolong guncangkan buahku, dahan dan cabangku sudah patah
karena terlalu berat." Lalu gadis itu berkata, "Tentu saja saya akan
membantumu, kamu terlihat sangat kasihan." Lalu dia
mengguncangkan dahan pohon apel tersebut sehingga buahnya
lepas dari dahan pohon dan terjatuh ke tanah, lalu membiarkan
buah apel tersebut tergeletak di tanah.Kemudian dia berjalan dan
berjalan lagi hingga dia tiba di sebuah rumah. Rumah tersebut di
huni oleh seorang penyihir tua, dan penyihir ini berkeinginan untuk
membawa gadis tersebut ke rumahnya untuk dijadikan pelayan.
Saat dia mendengar bahwa gadis tersebut memang meninggalkan
rumah untuk mencari pekerjaan, dia berkata akan mencobanya dan
memberikan upah yang pantas. Penyihir tua tersebut menyebutkan
pekerjaan yang harus dilakukan. "Kamu harus tetap memelihara
agar rumah ini bersih dan rapih, menyapu lantai dan perapian;
tetapi ada satu hal yang jangan pernah kamu lakukan. Kamu
jangan pernah melihat ke atas cerobong asap rumah ini, karena
sesuatu yang buruk akan menimpa kamu nantinya."
Gadis tersebut berjanji akan melakukan segala apa yang
diperintahkan, tetapi pada suatu pagi saat dia sedang
membersihkan, dan wanita penyihir itu keluar rumah, dia menjadi
lupa pada apa yang dikatakan oleh penyihir tua dan melihat ke atas
cerobong asap. Saat itu sebuah bungkusan yang berisikan uang
jatuh kepangkuannya. Hal ini terus berulang setiap kali gadis
tersebut menengok ke atas cerobong asap. Gadis tersebut begitu

senangnya, dia mengambil kantong-kantong uang tersebut dan


segera pulang kerumahnya.
Saat dia berjalan pulang ke rumahnya, dia mendengar kedatangan
penyihir tua yang datang mengejarnya. Gadis tersebut kemudian
berlari ke pohon apel dan berkata:

"Pohon apel, pohon apel, sembunyikan saya,Sehingga penyihir tua


tidak menemukan saya;Jika dia menemukan saya, dia akan
memungut tulangku,Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Pohon apel tersebut kemudian menyembunyikan si gadis. Ketika
penyihir tua datang dan berkata:
"Pohon milikku, pohon milikku,Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,Yang mengambil semua uang
milikku?"
Kemudian pohon apel itu berkata, "Tidak, ibunda, saya tidak pernah
melihatnya selama tujuh tahun."
Ketika penyihir tua itu pergi dan berjalan ke arah lain, gadis itu
melanjutkan perjalannya dan tepat saat dia bertemu dengan sapi

yang tadi diperahnya, dia kembali mendengar penyihir itu datang


mengejarnya kembali, sehingga dia lari ke sapi tersebut dan
berkata:
"Sapi, sapi, sembunyikan saya,Sehingga penyihir tua tidak
menemukan saya;Jika dia menemukan saya, dia akan memungut
tulangku,Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Sapi tersebut kemudian menyembunyikan sang gadis.
Ketika penyihir tua itu tiba, dia mencari-cari dan bertanya kepada
sapi tersebut:
"Sapi milikku, sapi milikku,Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,Yang mengambil semua uang
milikku?"
Kemudian sapi itu berkata, "Tidak, ibunda, saya tidak pernah
melihatnya selama tujuh tahun."
Ketika penyihir itu telah pergi ke arah lain, gadis kecil tersebut
melanjutkan perjalannya, dan ketika dia berada dekat dimana dia
bertemu dengan tungku panggangan, dia kembali mendengar
penyihir tua itu datang mengejarnya, sehingga dia lari ke tungku
pangganan dan berkata:
"Tungku panggangan, tungku panggangan, sembunyikan saya,
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;Jika dia menemukan
saya, dia akan memungut tulangku,Dan menguburku di bawah batu
yang dingin."
Tungku panggangan berkata, "Saya tidak punya ruangan kosong,
tanyakan pada pembuat roti," dan kemudian pembuat roti
menyembunyikan gadis kecil itu di belakang tungku.
Ketika penyihir tua itu tiba dan melihat kesana-kemari, dia bertanya
kepada pembuat roti:
"Pembuat roti milikku, pembuat roti milikku,Apakah kamu melihat
seorang gadis,Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Pembuat roti itu berkata, "Lihat di dalam tungku" Penyihir itu masuk
untuk melihatnya, dan tungku panggangan itu berkata, "Masuklah
dan lihat ke sudut yang paling dalam." Penyihir tua itu
melakukannya, dan ketika dia telah ada dalam tungku, tungku
tersebut menutup pintunya, hingga penyihir itu tertahan disana
dalam waktu yang lama.
Gadis itu kemudian pulang ke rumahnya dengan kantongan yang
penuh dengan uang, akhirnya menikah dengan orang yang sangat
kaya dan hidup bahagia setelahnya.
Saudara dari gadis tersebut berpikir bahwa dia akan pergi dan
melakukan hal yang sama dengan gadis yang pertama tadi. Dia
kemudian melakukan perjalanan yang sama. Tetapi ketika dia
bertemu dengan tungku panggangan, dan saat roti berkata "Gadis
kecil, gadis kecil, bawalah kami keluar. Kami telah memanggang
selama tujuh tahun, dan tidak ada orang yang pernah membawa
kami keluar." Gadis tersebut lalu berkata, "Tidak, saya tidak ingin

jari-jari saya terbakar."Kemudian dia berjalan dan bertemu dengan


seekor sapi, dan sapi tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil,
perahlah susuku, perahlah susuku! Tujuh tahun saya telah
menunggu dan tidak ada orang yang pernah datang untuk
memerahku." Tetapi gadis itu berkata, "Tidak, saya tidak sempat
memerah susumu, saya sedang terburu-buru," dan pergi
secepatnya. Kemudian gadis tersebut berjalan lebih jauh dan
bertemu dengan sebuah pohon apel yang meminta bantuan agar
gadis tersebut membantu dia mengguncangkan buah-buahnya.
"Saya tidak bisa, mungkin di hari lain." Lalu dia berjalan sampai ke
rumah penyihir tua itu. Kejadian yang sama dengan gadis pertama
dialami oleh gadis tersebut, dia juga melupakan apa yang dikatakan
oleh penyihir tua dan saat penyihir tua itu keluar rumah, dia melihat
ke atas cerobong asap, dan kantong-kantong berisi uangpun
berjatuhan. Dia langsung berpikir bahwa dia dapat pergi dan lepas
dari rumah itu, dan ketika dia mencapai pohon apel, dia mendengar
penyihir tersebut datang mengejarnya, dia lalu berkata kepada
pohon apel:
"Pohon apel, pohon apel, sembunyikan saya,Sehingga penyihir tua
tidak menemukan saya;Jika dia menemukan saya, dia akan
mematahkan tulangku,Dan menguburku di bawah batu yang
dingin."
Tetapi pohon apel tersebut hanya diam dan akhirnya gadis tersebut
melanjutkan larinya. Ketika penyihir tua datang dan berkata:
"Pohon milikku, pohon milikku,Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,Yang mengambil semua uang
milikku?"
Pohon apel tersebut berkata, "Ya, ibunda, dia pergi ke arah sana."
Akhirnya penyihir tua itu menemukan dan menangkap gadis
tersebut, mengambil kembali uang yang telah diambil, memukulnya
dan mengirimkannya pulang ke orangtuanya.

Penjahit Yang Riang Gembira


Joseph Jacobs
Seorang penjahit baju yang selalu riang gembira dipekerjakan oleh
MacDonald yang perkasa di kastilnya di Saddell, untuk membuat
sepasang celana yang dihiasi dengan renda-renda pada ujungnya,
nyaman dipakai, dan cocok dipakai untuk berjalan ataupun menari.
Dan MacDonald telah berpesan kepada penjahit, bahwa apabila dia
dapat menyelesaikan celana itu pada malam hari di sebuah
runtuhan rumah tua dan pekuburan, dia akan memberikannya
hadiah yang sangat besar. Saat itu orang mengetahui bahwa
reruntuhan rumah tua dan pekuburan yang di tunjuk oleh
MacDonald adalah rumah yang berhantu dan banyak hal-hal yang

menyeramkan terlihat di malam hari.


Penjahit itu sadar akan hal ini; tetapi dia adalah orang yang selalu
riang gembira, dan ketika MacDonald sang pemilik kastil
menantangnya untuk membuat sepasang celana di rumah berhantu
itu, penjahit itu tidak merasa takut, dan malah menerima tantangan
itu karena ingin mendapatkan hadiah yang besar. Sehingga ketika
malam mulai tiba, dia naik ke atas lembah, sekitar setengah mil
jaraknya dari kastil itu, hingga dia tiba di sebuah rumah tua.
Kemudian dia memilih sebuah tempat yang nyaman untuk diduduki
dan menyalakan lilinnya, menaruh peralatan untuk menjahitnya,
dan mulai mengerjakan celana yang dipesan, dan memikirkan terus
hadiah uang yang akan diberikan oleh MacDonald.
Semuanya berjalan lancar, hingga dia merasakan lantai bergetar di
bawah kakinya, dia melihat ke bawah tetapi jari tangannya tetap
mengerjakan celana itu, dia melihat munculnya kepala manusia
yang sangat besar dari bawah lantai batu di rumah tua itu. Dan
ketika kepala tersebut sepenuhnya muncul dari lantai, sebuah suara
yang sangat besar dan menakutkan berkata: "Apakah kamu melihat
kepalaku yang sangat besar ini?"
"Saya melihatnya, tetapi saya harus menjahit celana ini!" balas
penjahit yang riang, dan dia tetap menjahit celana tersebut.
Kemudian kepala tersebut muncul lebih tinggi dari lantai, hingga
lehernya pun kelihatan. Ketika lehernya sudah muncul, dengan
suara yang menggelegar dia berkata lagi: "Apakah kamu melihat
leherku yang sangat besar ini?"
"Saya melihatnya, tetapi saya harus menjahit celana ini!" balas
penjahit yang riang, dan dia tetap menjahit celana tersebut.
Kemudian kepala dan leher yang besar itu bertambah naik hingga
seluruh pundak dan dadanya terlihat di atas lantai. Dan kembali
dengan suara yang menggelegar lebih besar dia berkata: "Apakah
kamu melihat dadaku yang besar ini?"
Dan kembali penjahit tersebut membalas: "Saya melihatnya, tetapi
saya harus menjahit celana ini!" sambil tetap menjahit celana itu.
Makhluk tersebut terus muncul dari lantai dan kelihatan bertambah
tinggi hingga akhirnya makhluk tersebut menggoyangkan kedua
tangannya di depan wajah penjahit itu dan berkata lagi, "Apakah
kamu melihat tanganku yang besar ini?"
"Saya melihatnya, tetapi saya harus menjahit celana ini!" balas
penjahit itu dan tetap menjahit celana tersebut, karena dia tahu
bahwa dia tidak boleh kehilangan waktu.

Penjahit yang riang akhirnya mulai menjahit dengan jahitan-jahitan


yang panjang ketika dia melihat makhluk tersebut perlahan-lahan
naik dari bawah tanah dan bertambah tinggi terus, hingga akhirnya
satu kaki makhluk tersebut sepenuhnya muncul dari bawah tanah
dan makhluk tersebut menghentakkan kakinya ke lantai dengan
keras, berteriak dengan suara yang sangat menakutkan, "Apakah
kamu melihat kakiku yang besar ini?"
"Ya, ya.. saya melihatnya, tetapi saya masih harus menjahit celana
ini!" kata penjahit itu, dan jari-jari tangannya seperti beterbangan
saat menjahit celana tersebut dan penjahit itu menjahit dengan
jahitan-jahitan yang sangat panjang, dan tepat pada saat dia
menyelesaikan celana tersebut, makhluk tersebut telah mengangkat
kakinya yang satu lagi dari bawah tanah. Tetapi sebelum makhluk
tersebut mengeluarkan kaki yang satunya dari bawah tanah,
penjahit itu telah menyelesaikan tugasnya, dan meniup mati lilinnya
sambil meloncat dari tempat duduknya, mengambil semua
peralatannya dan berlari keluar dari runtuhan rumah tua dengan
celana yang di pegang erat-erat di bawah lengannya. Saat itu
makhluk yang menyeramkan itu mengeluarkan teriakan yang
menggelegar, dan menghentakkan kakinya di tanah dan berlari
keluar juga untuk mengejar penjahit yang riang.
Keduanya lari menuruni lembah, lari dengan sangat kencang dan
lebih kencang dari aliran air sungai yang mengalir di sampingnya,
tetapi penjahit yang telah menerima tantangan MacDonald dan
berhasil menyelesaikan tugasnya, tidak ingin kehilangan hadiah
yang dijanjikan. Walaupun suara di belakangnya menggelegar
menyuruhnya untuk berhenti, penjahit itu bukanlah orang yang
suka di tangkap oleh makhluk dan monster, sehingga dengan
memegang erat celana tersebut, dia berlari tanpa berhenti hingga
dia mencapai kastil. Secepatnya dia tiba di dalam pintu gerbang,
dan menutup pintu gerbang. saat makhluk itu tiba di depan gerbang
yang tertutup, makhluk tersebut menjadi sangat marah karena
tidak berhasil menangkap penjahit, dan memukul dinding pintu
gerbang dan meninggalkan bekas pukulan disana dengan lima jari-

jarinya yang besar.


Akhirnya penjahit yang riang menerima hadiahnya karena
MacDonald memenuhi janjinya dan telah mendapatkan sepasang
celana yang sangat indah. MacDonald tidak pernah menyadari
bahwa beberapa jahitan pada celana itu, tidak sama panjangnya.

Anda mungkin juga menyukai