Anda di halaman 1dari 155

Laporan Kasus

BELLS PALSY SINISTRA

Oleh:
Dr.Arina Ariyani

Pembimbing:
Dr.Yusril, Sp.S

KOMITE INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LAHAT
2014
1

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Bells Palsy. Di
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.
Yusril, Sp.S selaku pembimbing yang telah membantu penyelesaian laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan.
Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat memberikan rmanfaat bagi kita
semua, amin.

Palembang,

Januari 2014

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............

KATA PENGANTAR............. ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................

iii

BAB I..................................................................................................................

BAB II ................................................................................................................

BAB III ...............................................................................................................

BAB IV ..

26

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 28

BAB I
PENDAHULUAN

Bells Palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer yang penyebabnya


tidak diketahui (idiopatik) dan bersifat akut.1,2,3,4 .Kasus ini pertama kali diteliti
oleh Sir Charles Bell pada tahun 1821 sehingga dinamakan Bells Palsy. Jika
penyebab parese nervus fasialis perifer diketahui, secara pasti misalnya pada
invasi massa nasofaring atau kolesteatoma, maka diagnosis Bells Palsy diganti
menjadi parese nervus fasialis perifer.1,2
Prevalensi BP di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan Amerika
berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun. Di
Belanda (1987) 1 penderita per 5000 orang dewasa Biasanya didahului oleh
infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin4.
Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau
keluarga atau pada saat bercermin, sikat gigi, atau berkumur. Orang awam
seringkali menyamakan kasus ini dengan stroke, sehingga mereka seringkali
merasa merasa minder pada awalnya.1,2
Diagnosis Bells Palsy dapat dengan mudah dibedakan dengan stroke
melalui pemeriksaan fisik. Penatalaksanaan yang baik baik dari segi
medikamentosa dan fisioterapi dapat membantu kesembuhan total pada 70-80%
kasus. Oleh karena itu, pengetahuan yang memadai mengenai diagnosis dan
penatalaksaan Bells Palsy sangat diperlukan, baik bagi sejawat dokter umum
maupun paramedis.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama

: Ny. M

Umur

: 41 tahun

Jenis kelamin

: perempuan

Alamat

: Ds. Pagar Batu

Pekerjaan

: ibu rumah tangga

Agama

: Islam

Tanggal Pemeriksaan : 6 Januari 2014


2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama : Mulut pencong ke sebelah kanan sejak 3 jam SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit
Saat pasien bangun tidur sekitar + 4 jam SMRS, pasien merasa wajah
sebelah kiri bergerak-gerak sendiri dan terasa tebal. Pasien juga merasa lidahnya
terasa tebal.
+ 3 jam SMRS, mulut pasien tiba-tiba mencong ke kanan. Pasien juga
merasakan mata kiri tidak bisa tertutup sempurna dan terasa kering. Telinga kiri
terasa sakit dan mengalami penurunan pendengaran. Pasien juga mengeluhkan air
mengalir pada bibir sebelah kiri saat pasien minum dan susah mengunyah
makanan. Pengecapan juga dirasakan berkurang sejak mulut pencong. Pasien
berobat ke Puskesmas dan dirujuk ke UGD RSUD Lahat.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat keluar air dan nanah dari telinga tidak ada
- Riwayat demam dan timbul cacar air sebelum mulut pencong tidak ada

- Riwayat flu dan bersin-bersin tidak ada


- Riwayat trauma pada kepala tidak ada
- Riwayat badan lemah sebelah tidak ada
- Riwayat pusing berputar tidak ada
- Riwayat hipertensi ada tidak ada
- Riwayat diabetes mellitus tidak ada
- Riwayat alergi tidak ada
- Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti pasien
Riwayat Pekerjaan:
- Pasien seorang Ibu rumah tangga
Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita seorang janda, pengungsi, dan mempunyai 1 orang anak dalam
tanggungan. Saat ini penderita tinggal di rumah permanen, berlantai ubin, 4 buah
kamar tidur, dihuni oleh 5 orang, KM/WC jongkok (khusus untuk penderita dan
anaknya) berada di luar rumah, menggunakan air sumur pompa dan PLN. Biaya
pengobatan penderita ditanggung sendiri
2.3 PEMERIKSAAN

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

39

40

41

42

43

44

45

46

47

48

49

50

51

52

53

54

55

56

57

58

59

60

61

62

63

64

65

66

67

68

69

70

71

72

73

74

75

76

77

78

79

80

81

82

83

84

85

86

87

88

89

90

91

92

93

94

95

96

97

98

99

100

101

102

103

104

105

106

107

108

109

110

111

112

113

114

115

116

117

118

119

120

121

122

123

124

125

126

127

128

129

130

2.4 DIAGNOSIS
Bells Palsy sinistra
2.5 TATALAKSANA
- Injeksi Neurobion 1 amp im
- Vit. B-kompleks 2x1 tab
- Prednisone 60 mg/hari tapering off
- C-lyters ED 3 x 2 gtt (mata kiri)
- Edukasi Home Therapy
- Kontrol Poli Saraf (Selasa / 7 Januari 2014)
Home Programe :
1. Perawatan mata :
- Memakai kacamata hitam saat bepergian siang hari

131

- Sebelum tidur, kelopak mata ditutup secara pasif


2. Kompres dengan air hangat pada sisi wajah sebelah kiri selama 20 menit
3. Massage wajah sebelah kiri ke arah atas dengan menggunakan tangan dari
sebelah kanan
4. Latihan makan dengan mengunyah di sisi kiri, dan minum dengan sedotan
2.6 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

132

3.1 Anatomi Nervus Fasialis


Untuk dapat menilai sebab-sebab paralisis wajah, perlu dimengerti anatomi dan
fungsi saraf. Nervus kranialis ketujuh berasal dari batang otak, berjalan melalui
tulang temporal, dan berakhir pada otot-otot wajah. Sedikitnya ada lima cabang
utama. Selain mengurus persarafan otot wajah, Nervus kranialis ketujuh juga
mengurus lakrimasi, salivasi, pengaturan impedansi dalam telinga tengah, sensasi
nyeri, raba, suhu dan kecap.1
Nervus fasialis merupakan nervus kranialis yang mengandung serabut
motorik, somatosensorik serta serabut nervus intermedius. Nervus ini sering
mengalami gangguan karena mempunyai perjalanan yang panjang dan berkelokkelok, berada di dalam saluran tulang yang sempit dan kaku.2
Saraf fasialis mempunyai 2 subdivisi , yaitu:5,6
1. Saraf fasialis propius: yaitu saraf fasialis yang murni untuk mempersarafi otototot ekspresi wajah, otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.
2. Saraf intermediet (pars intermedius wisberg), yaitu subdivisi saraf yang lebih
tipis yang membawa saraf aferen otonom, eferen otonom, aferen somatis.
- Aferen otonom: mengantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga depan
lidah. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf
lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum dan
kemudian ke nukleus traktus solitarius.
- Eferen otonom (parasimpatik eferen): datang dari nukleus salivatorius
superior. Terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson dari nukleus ini,
berpisah dari saraf fasilalis pada tingkat ganglion genikulatum dan
diperjalanannya akan bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan
glandula mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus ke kaudal
dan

menyertai

korda

timpani

serta

saraf

lingualis

ke

ganglion

submandibularis. Dari sana, impuls berjalan ke glandula sublingualis dan


submandibularis, dimana impuls merangsang salivasi.

133

- Aferen somatik: rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh saraf trigeminus.
Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf atau tumpang tindih)
ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus eksterna, dan bagian luar
membran timpani. Inti motorik saraf VII terletak di pons. Serabutnya
mengitari saraf VI, dan keluar di bagian lateral pons. Saraf intermedius
keluar di permukaan lateral pons di antara saraf VII dan saraf VIII. Ketiga
saraf ini bersama-sama memasuki meatus akustikus internus. Di dalam
meatus ini, saraf fasialis dan intermediet berpisah dari saraf VIII dan terus
ke lateral dalam kanalis fasialis, kemudian ke atas ke tingkat ganglion
genikulatum. Pada ujung akhir kanalis , saraf fasialis meninggalkan kranium
melalui foramen stilomastoideus. Dari titik ini, serat motorik menyebar di
atas wajah. Dalam melakukan penyebaran itu, beberapa melubangi glandula
parotis.5

Gambar 1.Nervus Fasialis dan percabangannya


Sewaktu meninggalkan pons, saraf fasialis beserta saraf intermedius dan
saraf VIII masuk ke dalam tulang temporal melalui porus akustikus internus.

134

Dalam perjalanan di dalam tulang temporal, saraf VII dibagi dalam 3 segmen,
yaitu segmen labirin, segman timpani dan segmen mastoid.1
Segmen labirin terletak antara akhir kanal akustik internus dan ganglion
genikulatum . panjang segmen ini 2-4 milimeter. Segmen timpani (segmen
vertikal), terletak di antara bagian distal ganglion genikulatum dan berjalan ke
arah posterior telinga tengah , kemudian naik ke arah tingkap lonjong (venestra
ovalis) dan stapes, lalu turun kemudian terletak sejajar dengan kanal
semisirkularis horizontal. Panjang segmen ini kira-kira 12 milimeter.1

Gambar 2. Hubungan N. fasialis dan korteks motorik


Segmen mastoid ( segmen vertikal) mulai dari dinding medial dan superior
kavum timpani. Perubahan posisi dari segman timpani menjadi segmen mastoid,
disebut segman piramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling
posterior dari saraf VII, sehingga mudah terkena trauma pada saat operasi.

135

Selanjutnya segmen ini berjalan ke arah kaudal menuju segmen stilomaoid .


panjang segmen ini 15-20 milimeter.1
Nukleus fasialis juga menerima impuls dari talamus yang mengarahkan
yang mengarahkan gerakan ekspresi emosional pada otot-otot wajah. Juga ada
hubungan dengan gangglion basalis. Jika bagian ini atau bagian lain dari sistem
piramidal menderita penyakit penyakit, mungkin terdapat penurunan atau
hilangnya ekspresi wajah (hipomimia atau amimi).
3.2 Definisi
Istilah Bells Palsy telah digunakan untuk menjelaskan paralisis pada
wajah dengan onset yang akut dan terjadi secara cepat, dimana etiologinya belum
diketahui secara pasti. Bells Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis
perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) seorang ahli bedah
dari Skotlandia adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan
wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya disebut Bells Palsy3.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi
anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan
erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini
lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2
tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat
hubungannya dengan cuaca dingin4. Diagnosis BP dapat ditegakkan dengan
adanya kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan
penyebab lain kelumpuhan n. fasialis perifer3.
3.3 Epidemiologi
Prevalensi BP di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan Amerika
berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun. Di
Belanda (1987) 1 penderita per 5000 orang dewasa & 1 penderita per 20,000 anak
per tahun. BP pada orang dewasa lebih banyak dijumpai pada pria, sedangkan
pada anak tidak terdapat perbedaan yang menyolok antara kedua jenis kelamin.4

136

3.4 Etiologi
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan
kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan
penyakit-penyakit tertentu.1,3
1. Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir ( kongenital ) bersifat irreversible dan
terdapat bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran.1 Pada
kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat terjadi karena adanya gangguan
perkembangan saraf fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular
(sindrom Moibeus).3
2. Infeksi
Proses infeksi di intracranial atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan
kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi intracranial yang menyebabkan kelumpuhan ini
seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes otikus. Infeksi Telinga tengah yang
dapat menimbulkan kelumpuhan saraf fasialis adalah otitis media supuratif kronik
( OMSK ) yang telah merusak Kanal Fallopi.1
3. Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling
sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat.
Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann,
kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang
akhir dari saraf fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat
kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri
karotis dapat mengganggu fungsi motorik saraf fasialis secara ipsilateral.2
4. Trauma
Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi
fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka
tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab.
Saraf fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma
akustik/neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.2

137

5. Gangguan Pembuluh Darah


Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis
diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri media.1
6. Idiopatik ( Bells Palsy )
Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau
tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadi edema fasialis. Karena
terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe
LMN yang disebut sebagai Bells Palsy.3
7. Penyakit-penyakit tertentu
Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya DM, hepertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi
telinga tengah, sindrom Guillian Barre. Bells Palsy dapat terjadi pada pria atau
wanita segala usia dan disebabkan oleh kerusakan saraf fasialis yang disebabkan
oleh radang, penekanan atau pembengkakan. Penyebab kerusakan ini tidak
diketahui dengan pasti, kendati demikian para ahli meyakini infeksi virus Herpes
Simpleks

sebagai

penyebabnya.

Sehingga

terjadi

proses

radang

dan

pembengkakan saraf. Pada kasus yang ringan, kerusakan yang terjadi hanya pada
selubung saraf saja sehingga proses penyembuhannya lebih cepat, sedangkan pada
kasus yang lebih berat dapat terjadi jeratan pada kanalis falopia yang dapat
menyebabkan kerusakan permanen serabut saraf. 6
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antaralain : sesudah
bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetik.
3.5 Patofisiologi
Bells Palsy merupakan lesi nervus fasialis yang terjadi secara akut,yang
tidak diketahui penyebabnya atau menyertai penyakit lain. Teori yang dianut saat
ini yaitu teori vaskuler. Pada Bells Palsy terjadi iskemi primer n. fasialis yang
disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara n. fasialis dan
dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain :

138

infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan
gangguan mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan
akibat gangguan fungsi n. fasialis. Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai
Bells Palsy.3
Perubahan patologikyang ditemukan pada n. fasialis sbb. :
1)Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali udem
2)Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.
3)Terdapat degenerasi akson
4)Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak
Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau strangulasi
terhadap n.Fasialis.7
3.6 Gejala klinis
Manifestasi klinik Bells Palsy khas dengan memperhatikan riwayat
penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul mendadak. Perasaan nyeri, pegal,
linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal
yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa dahi tidak dapat
dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat, kelopak mata tidak
dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmus), gerakan bola
mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke atas bila
memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.
Gejala lainnya adalah sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis
mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat. Selain gejalagejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain
gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi.8

Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi . (Lihat
gambar 3) 3
1. Lesi di luar foramen stilomastoideus

139

Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara pipi
dan gusi. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak
ditutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena
berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya
saraf intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan titik dimana
korda timpani bergabung dengan saraf fasialis di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti (1) dan (2) di tambah dengan hiperakusis.
4. Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda kilinik seperti pada (1),(2),(3) disertai dengan nyeri di
belakang dan didalam liang telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus seperti ini
dapat terjadi pascaherpes di membrana timpani dan konka. Sindrom RamsayHunt adalah kelumpuhan fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes
zoster di ganglion genikulatum. Tanda-tandanya adalah herpes zoster otikus ,
dengan nyeri dan pembentukan vesikel dalam kanalis auditorius dan
dibelakang aurikel (saraf aurikularis posterior), terjadi tinitus, kegagalan
pendengaran, gangguan pengecapan, pengeluaran air mata dan salivasi.
5. Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat terlibatnya
nervus akustikus.
6. Lesi ditempat keluarnya saraf fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya saraf trigeminus, saraf akustikus dan kadang kadang juga saraf
abdusen, saraf aksesorius dan saraf hipoglossus.

140

Gambar 3. Hubungan gejala dan lokasi lesi

3.7 Diagnosis
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya
kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab
lain dad kelumpuhan n. fasialis perifer. Beberapa pemeriksaan penunjang yang
penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n. Fasialis.10
a. Anamnesis
Pasien biasa mengeluhkan : Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak
pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti
oleh gejala kelumpuhan otot wajah yang terjadi secara mendadak.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk
terciptanya mimik dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otototot tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut :

141

- M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.


- M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis
- M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan
-

hidung ke atas
M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata
kuat-kuat
M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil
memperlihatkan gigi
M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut
kedepan sambil memperlihatkan gigi
M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi
M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul
M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke
bawah
M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang
tertutup rapat ke depan

Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri :
a. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )
b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )11
c. Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )
d. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai
tiga puluh ( 30 ).1
2. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap
kesempurnaan mimik / ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan
fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan
kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan
bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran prognosis yang jelek.
Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya
terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila
terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua
(-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.1
142

3. Gustometri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda
timpani, salah satu cabang saraf fasialis.1 Kerusakan pada N VII sebelum
percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya
pengecapan).2 Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh
menjulurkan lidah, kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam
sitrat atau garam pada lidah penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran
dan diselingi istirahat.
Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam
mulut, sebab bubuk akan tersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke
bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita
disuruh untuk menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat,
misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4
untuk rasa asam.2,12
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang
rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara
kedua sisi adalah patologis.1

4. Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi
kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no
50 kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam
jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran
ludah pada kedua tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit.
Berkurangnya aliran ludah sebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan
yang sama dapat terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena
keduanya ditransmisi oleh saraf korda timpani.4
5. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex

143

Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi


serabutserabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf
petrosus superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada
atau di atas saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi
air mata.4,5
Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata.
Cara pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm
panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari
bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys
menyatakan bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan
50% dianggap patologis.
6. Refleks Stapedius
Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter,
yaitu dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang
bertujuan untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.
7. Uji audiologik
Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalani
pemeriksaan audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan
hantaran tulang, timpanometri dan reflex stapes. Fungsi saraf cranial
kedelapan dapat dinilai dengan menggunakan uji respon auditorik yang
dibangkitkan dari batang otak. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi
kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduktif dapat memberikan kesan
suatu kelainan dalam telinga tengah, dan dengan memandang syaraf fasialis
yang terpapar pada daerah ini, perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi.
Jika terjadi kelumpuhan saraf ketujuh pada waktu otitis media akut,
maka mungkin gangguan saraf pada telinga tengah. Pengujian reflek dapat
dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan menggunakan
suatu nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan
reflek dari otot stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membrane
timpani dan menyebabkan perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada
tersebut diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan reflek ini

144

pada perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagian


aferen saraf kranialis.2
8. Sinkinesis
Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis yang
sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai
berikut 1
a. Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau
pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi
normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari
gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai
satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak
simetris.
Pemeriksaan House-Brackmann
Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik dari
kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak
pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan .
pada klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi yang normal dan grade 6
merupakan kelumpuhan yang komplit. Pertengahan grade ini sistem berbeda
penyesuaian dari fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan.
Grade Penjelasan Karakteristik15
I

Normal Fungsi fasial normal

II

Disfungsi ringan

145

Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada inspeksi dekat, bisa ada sedikit
sinkinesis.
Pada istirahat simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika melakukan pergerakan
III

Disfungsi sedang
Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang maksimum

IV

Disfungsi sedang berat


Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan asimetri
Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.

Disfungsi berat Wajah tampak asimetris


Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan

VI

Total parese Tidak ada pergerakkan

c. Pemeriksaan Penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji
fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi
(ENOG).2

146

EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini


bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG
dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau
suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun,
nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut.
Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial
denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan
kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.17
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG
melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang
lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila
terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam
sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch
Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen
pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami
penyembuhan normal saraf fasialis.2

3.8 Tatalaksana
Glukokortikoid
Glukokortikoid berperan dalam menghambat tiap fase dari respon
inflamasi, obat-obat ini juga memainkan peran penting dalam parahnya inflamasi
dan kelainan immuneimmediate. Mekanisme pasti oleh keuntungan steroid
digunakan tidak begitu jelas ditemukan dalam banyak kondisi dimana steroid ini
digambarkan. Pada berbagai petunjuk dan indikasi menyatakan penggunaan
steroid sebagai empiris. Penggunaan steroid lebih diarahkan ke fase aku saat
serangan, contohnya pada Cerebral Palsy, tapi tidak berefek penuh pada
pemulihan total.
Respon inflamasi di mediasi oleh beberapa bahan-bahan intermediate dan
tipe-tipe sel. Efek anti inflamasi umum dari kortikosteroid antara lain adalah efek

147

dari denyut pembuluh darah, permiabilitas, dan penekanan dari produksi leukosit
dan biosintesis kolagen. Demopilus et al menerangkan buktti bawa peroksidasi
lemak menginduksi radikal-radikal oksigen bebas membenttuk basis molekul
untuk degenerasi neuron postraumatik dan steroid mengambat proses tersebut.
Hall dan Braugter mengamati secara luas dosis-dosis pre-penatalaksanaan
metilprednisolon yang dibutuhkan untuk memproduksi pengaruh anti-oksidan ini,
dan pre-penatalaksanaan dengan dosis yang lebih rendah tidak efektif.
Penggunaan steoid pada tatalaksana Bells Palsy
Adour, Stankevitch, dan May telah menyediakan pandangan komprehensiv
dalam penggunaan terapi steroid pada Bells Palsy. Kebanyakan pembelajaran
akhir-akhir ini mengenai kegunaan steroid pada Belss Palsy didasarkan pada
pasien yang diperlakukan dengan control sebelumnya. Berdasarkan penelitian ini,
yang menggunakan dosis yang lebih besar dari steroid dan dosis luas
gllukokortikoid dengan dextrran dan pentoxiflin memberikan dampak rata-rata
perkembangan kesembuhan dari pasien yang mendapat tindakan walaupun
penatalaksanaan tersebut tidak menampakkan statistik yang signifikan pada studistudi sebelumnya.
Hasil evaluasi dari Stankewicz, steroid diberikan pada pasien Bells Palsy
dengan alasan stetroid dapat:
Mengurangi resiko denervasi jika diberikan secara dini
Mencegah atau mengurangi sinkinesis
Mencegah dari perkembangan inkompit menjadi komplit paralisis
Mencegah sinkinesis autonomic
Strategi pemberian steroid pada Belss Palsy disarankan dengan oral prednisone
(1mg/kgBB/hari)dibagi menjadi 3 dosis tiap harinya selama 7-10 hari. Dosis
harian harus ditappering off setelah 10 hari. Secara teori regimen dosis ini
memaksimalkan aktivitas anti inflamasi sementara meminimalkan efek samping
dan konsisten dengan anti inflamasi yang efektif pada hipersensitiv akut,
autoimun, dan kelainan inflamasi lainnya.

148

Efek samping
Efek samping biasanya manifestasi selama tatalaksana steroid jangka
pendek termasuk aksi hiperglikemik. Harus diwaspadai pemberian steroid pada
pasien palsy facial akut yang berhubungan dengan intoleransi glukosa. Efek
samping akut lainnya termasuk perubahan CNS seperti psychotic breaks,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan iritasi gastrointestinal. Efek
glukokortikoid pada seluler dan komponen-komponen jaringan inflamasi dapat
mengurangi imunitas host terhadap bakteri, virus, dan infeksi jamur. Infeksi laten
dapat reaktivasi dan berkembang. Ditambah lagi pemberian steroid yang menekan
sistem imun bisa menutupi gejala adanya tanda klinik dari suatu peyakit infeksi.
Terapi Antivirus
Kemoterapi antivirus menghadirkan cara yang lebih baru dalam
menangani facial palsy akut dari penyebab virus. Berdasarkan spectrum dari
aktivitasnya, toksisitas yang rendah, asiklovir (acycloguanosine), analog
nukleosida purin sintetik, telah digunakan untuk mencegah HS tipe I dan II, VZ,
dan Epstein Barr virus dan cytomegalovirus. Asiklovir mencegah DNA
polymerase dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang dikonversi
(difosforilasi) , itulah asiklovir bertindak sebagai analog nukleosida. Dickens,
Smith, dan Graham menyarankan pemberian asiklovir pada deficit neurologic
yang dihasilkan herpes zoster otikus adalah asiklovir intravena (10mg/kgBB
setiap 8 jam selama 7 hari). Pemberian antivirus secara dini ini telah dibuktikan
oleh Given mencegah degenerasi dari saraf yang dapat menyebab hilangnya
pendengaran.
3.9 Prognosis
Prognosis sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada
anak prognosis umumnya baik oleh karena jarang terjadi denervasi total.
Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah onset penyakit dan pada anak
90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa. Jika dengan prednison dan
fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan

149

akan terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik fasialis
dan sindrom air mata buaya

3.10 Rehabilitasi Medik Penderita Bells Palsy


Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan
efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter,
fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial
medik dan perawat rehabilitasi medik. Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik
yaitu usaha gabungan terpadu dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan
rehabilitasi medik pada Bells Palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis
menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya
agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Programprogram yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik,
psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi
wicara tidak banyak berperan.
Program Fisioterapi
1. Pemanasan 1, 10

Pemanasan superfisial dengan infra red.

Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave


Diathermy

2. Stimulasi listrik 1,8


Tujuan

pemberian

stimulasi

listrik

yaitu

menstimulasi

otot

untuk

mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan


memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang
tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih
fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan
perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa
mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan
150

mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca


dengan konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bells Palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus
otot.1,3 Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan
gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik
terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa
metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabutserabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan
perlengketan.11 Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung
dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu
diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan
sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan
minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata
dan mengerutkan dahi di depan cermin.5
Program Sosial Medik
Penderita Bells Palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas
sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja,
mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak
berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan
fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan
penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat
penting untuk kesembuhan penderita.5

151

Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan
umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.5
Program Ortotik Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan Y plester dengan tujuan agar sudut mulut yang
sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan
reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan Y plester dilakukan jika
dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani
fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus
selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.
Home Programme
1.

Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit

2.

Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari
sisi wajah yang sehat

3.

Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit,
minum dengan sedotan, mengunyah permen karet

4.

Perawatan mata :

1.

Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari

2.

Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari

3.

Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur


BAB IV
ANALISIS KASUS
Seorang perempuan berusia 41 tahun datang ke UGD RSUD Lahat dengan

keluhan mulut mencong ke sebelah kanan sejak 3 jam SMRS. Keluhan ini diawali
dengan wajah sebelah kiri pasien yang terasa bergerak-gerak sendiri dan tebal

152

sekitar 4 jam SMRS. Keluhan ini disertai dengan lidah yang terasa tebal. Satu jam
kemudian, mulut pasien tiba-tiba mencong ke kanan, disertai dengan mata kiri
tidak dapat menutup sempurna dan terasa kering. Selain itu, telinga kiri terasa
sakit dan mengalami penurunan pendengaran. Pasien juga mengeluh air mengalir
keluar dari sudut mulut kiri saat minum air dan menemui kesulitan saat makan.
Pada pemeriksaan fisik skala UGO FISCH, pasien tidak dapat
mengerutkan alis kiri karena lumpuhnya musculus sourcilier sinistra. Pasien juga
tidak dapat mengangkat alis kiri ke atas akibat lumpuhnya musculus frontalis
sinistra. Pasien mengalami lagoftalmus sinistra akibat lumpuhnya musculus
orbikularis okuli sinistra. Saat tersenyum, sudut bibir kiri tertinggal akibat
lumpuhnya musculus zigomatikus sinistra sehingga mulut tampak mencong atau
tertarik ke arah yang sehat yaitu sebelah kanan. Pasien tidak dapat bersiul secara
sempurna akibat lumpuhnya musculus orbikularis oris sinistra. Saat pasien
mencucu (memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke depan), sudut mulut
terdorong ke arah kiri karena lumpuhnya musculus mentalis sinistra. Semua otototot ekspresi wajah di atas menjadi lumpuh akibat hilangnya inervasi dari nervus
fasialis pars propius.
Sementara itu, mata kiri kering disebabkan oleh paralisis nervus fasialis
yang membawa serabut saraf eferen otonom ke cabang nervus petrosus
superfisialis mayor) yang mempersarafi organ sekretori glandula lakrimalis. Lidah
terasa tebal akibat paralisis serat aferen otonom nervus fasialis pada dua pertiga
lidah depan. Sementara itu, kebas di wajah kiri disebabkan lumpuhnya serat
aferen somatik nervus fasialis. Serat ini akan bersama-sama dengan nervus
trigeminus mempersarafi daerah overlapping di kulit wajah karena keduanya
sama-sama mengitari bagian lateral pons. Telinga berdenging diakibatkan paralisis
nervus fasialis segmen timpani sehingga menyebabkan kelumpuhan pada
musculus stapedius dan menyebabkan gangguan impedansi telinga tengah. Semua
keluhan di atas disebabkan karena hilangnya invervasi dari nervus fasialis pars
intermediet. Dari paparan analisis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien
ini mengalami parese N.VII tipe perifer.

153

Dari riwayat penyakit dahulu, tidak didapatkan penyebab pasti dari parese
nervus VII perifer sehingga kasus ini penyebabnya dianggap idiopatik. Tidak ada
riwayat keluar air dan nanah dari telinga menyingkirkan parese N.VII perifer
karena invasi kolesteatoma pada OMSK tipe maligna. Tidak ada riwayat cacar air
dan demam menyingkirkan herpes zoster otikus. Riwayat flu dan bersin
menyingkirkan ISPA. Riwayat trauma menyingkirkan fraktur longitudinal basis
kranii. Riwayat badan lemah menyingkirkan stroke. Riwayat faktor resiko lain
berupa penyakit sistemik juga disangkal pada kasus ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pasien ini
mengalami Bells Palsy sinistra dengan letak lesi setinggi infragenikulatum. Pada
pasien ini dilakukan rawat jalan dengan terapi berupa neurotropik, kortikosteroid,
tetes mata artificial, dan edukasi home therapy. Prognosis quo ad vitam et
functionam pada kasus ini adalah bonam, karena dari hasil penelitian kebanyakan
Bells Palsy dapat mengalami perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA

154

1.

Sabirin J. Bells Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.


Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81

2.

Maisel RH, Levine SC. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam : Adams dkk.
Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC, 1997 : 139-52

3.

Rusk HA. Disease of the Cranial Nerves. In : Rehabilitation Medicine.


2nd ed. New York : Mc Graw Hill, 1971 : 429-31

4.

Lumbantobing SM. Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik


Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia, 2004 : 55-60

5.

Thamrinsyam. Beberapa Kontroversi Bells Palsy. Dalam : Thamrinsyam


dkk. Bells Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK
UNAIR, 1991 : 1-7

6.

Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta :


Dian Rakyat, 1985 : 311-17
Walton SJ. Disease of Nervous System, 9th ed. English : ELBS, 1985 :113-

7.
6
8.

Thamrinsyam. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam :


Thamrinsyam dkk. Bells Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr.
Soetomo/FK UNAIR, 1991 : 31-49

9.

Raymond D, Adam S, Maurice V. Disease of the Cranial Nerves. In :


Principles of Neurology. 5th ed. New York : Mc Graw Hill, 1994 : 1174-5

10.

Kendall FP, Mc Creary EK. Muscle Testing and Function; 3th ed.
Baltimore : William & Wilkins, 1983 : 235-48

11.

Reyes TM, Reyes OBL. Hydrotherapy, Massage, Manipulation and


Traction. Volume 2 Philippines : U. S. T Printing Office, 1977 : 78-84, 210

155

Anda mungkin juga menyukai