M. Nur Alamsyah1
Memang merupakan sebuah kebenaran bahwa bencana tidak pernah dapat diduga
kegiatan yang secara dini disediakan untuk dapat digunakan secara cepat dan tanggap.
Sebuah ironi memang, ketika bangsa yang sedemikian rupa diakrabi bencana
karena kondisi geografis yang memang rentan terhadap fenomena alam tersebut. Atau
terhadap kehidupan komunitas bangsa tersebut baik skala terbatas maupun secara luas.
Indonesia secara garis besar memiliki potensi bencana yang dapat muncul dari
sumber daya alam yang dimilikinya, baik dari laut sebagai negara bahari, patahan
lempeng bumi sebab tempat pertemuan lempengan tersebut, gunung berapi dan hutan dan
lain-lain. Mengapa hanya ditekankan pada bencana yang ditimbulkan oleh kondisi alam,
ini dikarenakan otensi bencana inilah yang senantiasa tidak dapat diprediksi secara cepat
dan tepat. Sehingga kecendrungan prediksi yang dilakukan hanyalah merupakan praduga-
Banyak peristiwa yang terjadi didunia bahkan hingga dinegara yang super power
sekalipun seperti Amerika, ternyata dibuat tidak berdaya oleh bencana dari dampak
porandakan keangkuhan yang dimiliki bangsa ini. Namun kemampuan manajemen untuk
menghadapi krisis seperti inilah, kekuatan yang mampu menghindarkan diri dari ekses
sosial yang mana semua komponen secara ‘moral’ mesti terlibat didalamnya. Sehingga
pengelolaan bencana menjadi milik semua komponen anak bangsa. bahkan menjadi
sebuah pekerjaan musiman bagi sekelompok orang sebab kegiatan ini kerap mendapat
oleh ketidakberesan. Sehingga efek yang mestinya dapat diantisipasi dalam bencana
tersebut selama ini, tidak dapat diminimalkan. Mungkin ini merupakan sesuatu yang
dapat dibenarkan secara sosial dengan apologi budaya yang mengedepankan gotong
royong sebagai instrument utama dan terpenting dalam mekanisme kehidupan sosial
kemasyarakatan.
Hal selalu dituntut pada kondisi seperti ini adalah bagaimana konsistensi sebuah
negara bertanggung jawab atas bencana atas masyarakat yang nota bene merupakan
politik lahirnya negara adalah karena semakin kompleks dan problematiknya kehidupan
dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat atau rakyat pada suatu wilayah tertentu.
Untuk mengantisipasi berbagai hal dan untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik,
maka dibutuhkan sebuah mekanisme dan wahana yang dapat memungkinkan hal tersebut
terjadi. Sistem pemerintahan menjadi pilihan dimana seluruh potensi terbaik komunitas
bangsa tercurahkan dan mengelola secara menyeluruh untuk dapat menuju penciptaan
kehidupan yang lebih maju, baik secara ekonomi, politik, hukum maupun sosial.
seharusnya pemerintah menjadi sebuah instrumen penting yang dapat secara bebas dan
leluasa bergerak mengelola dan menggerakkan berbagai potensi bangsa yang ada.
Namun, pada kenyataannya di Indonesia, hal tersebut tidak terjadi. Sistem pengelolaan
pengelolaan negara tidak terlihat sehingga setiap bencana kita mendengar bahasa yang
lebih apathis terhadap keberadaan negara adalah untuk apa memiliki negara.
Kasus aceh, Nias, NTT , Irian, Jawa Timur atau bahkan kasus yang ditimbulkan
karena keserakahan manusia seperti kasus konflik politik Sambas, Poso, Ambon, Papua
Bencana-demi bencana yang semestinya dapat dijadikan sebagai pelajaran penting untuk
dapat semakin baik dalam pengelolaan bencana, tetapi ternyata masih terbentur masalah
serupa. Hal ini dasari mekanisme koordinasi yang tidak berjalan baik, menjadikannya hal
dirinya ataupun yang terkait dengan orang lain. Sebab fenomena tersebutlah yang
menjadi landasan utama dibentuknya sebuah negara. Sehingga, jika terjadi peristiwa
terkait dengan masyarakat, institusi pertama yang diminta bertanggung jawab dan
institusi profesional semestinya dapat bekerja secara intensif. Tetapi ini tidak terjadi
karena koordinasi antar bidang yang kaku. Ini dikarenakan tercurahkannya perbaikan dan
kemampuan manajemen aparat pemerintah yang ada, tidak dapat menjangkau kondisi
ditimbulkannya seperti fenomena saat bencana terjadi. Penyaluran bantuan tidak dapat
sampai tujuan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi yang dibutuhkan
pasukan garda nasional yang berasal dari pengelolaan manajemen pemerintah tiba
Sehingga dalam waktu singkat, korban bencana dapat diberikan bantuan dan memperoleh
pertolongan kemanusian atas nama kedaulatan rakyat yang ditunjukkan oleh tindakan
hari. sebagai contoh adalah bencana gempa Yogyakarta. Bencana yang terjadi di pusat
peradaban masyarakat Jawa tersebut, hingga kini belum dapat dikelola secara baik.
Bahkan hingga hari kelima pasca kejadian, masih didengar dan dilihat masyarakat
bahkan ratusan milyaran bantuan dan dana yang dikucurkan ke daerah tersebut.
Pengakuan terbuka Gubernur Yogyakarta bahwa keterlambatan distribusi salah
bencana yang dikoordinasi langsungnya, dipantau oleh presiden adalah bencana ini.
pemerintahan yang ada diwilayah ini tidak dapat diharapkan. Karena mereka sebagai
secara pribadi karena diantara pegawai yang tidak mungkin dominan memiliki sanak
saudara yang tertimpa musibah ini. Sehingga manajemen pemerintahan beserta sistem
yangmembangunnya akan tidak efektif berfungsi. Dalam kondisi seperti ini, yang dapat
diharapkan adalah institusi yang bersumber dari luar daerah bencana. Tetapi lebih efektif
jika terdapat koordinasi baku yang sistematis dan terpola dengan baik. Untuk itu, institusi
yang dapat digunakan secara mobile dalam bencana seperti ini adalah institusi Militer.
Ada beberapa hal dimiliki institusi ini dalam operasi bencana seperti ini, pertama,
institusional mereka terbiasa dengan identifikasi kegiatan lapangan secara cepat; kedua,
sistem komando memungkinkan mobilisasi secara cepat untuk berbagai kebutuhan yang
Indonesia hanya sebagai tenaga pendukung tanpa melibatkan secara kelembagaan. Atau
atas nama “bencana demokrasi” kita mengalami xenophopia atas peran militer dalam