Anda di halaman 1dari 218

RELASI POLITIK OMS

PARTAI POLITIK
Sebuah Dinamika & Tantangan Gerakan Sipil
di Aceh

Chairul Fahmi
Aryos Nivada
Cut Famelia
T.M.Jafar

The Aceh Institute & The Asia Foundation


Februari 2014
ISBN: 978-602-14847-0-8
RELASI POLITIK OMS dengan PARTAI POLITIK:
Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh
Penulis
Chairul Fahmi
Aryos Nivada
Cut Famelia
T.M. Jafar
Tim Peneliti
Baiquni Hasbi, Nur Azizah, Kholilullah & Zulkarnaen
Konsultan Ahli
Editor
Design Cover

: Sutoro Eko
: Afrizal Tjoetra
: Arif Abdul Ghafur

The Aceh Institute


Jl.Lingkar Kampus Kav.11-12
Pertokoan Limpok, Limpok Squere Darussalam, Banda
Aceh 23111 INDONESIA
Email: info@acehinstitute.org
Homepage: http://www.acehinstitute.org
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang
mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ii

KATA PENGANTAR

MIGRASI politik aktivis Organisasi Masyarakat Sipil


(OMS) ke partai politik bukanlah fenomena yang baru
terjadi, baik di Aceh maupun daerah lain di Indonesia.
Sudah lama hal ini berlangsung, dari waktu waktu. Di
awal kemerdekaan Indonesia, misalnya, banyak pendiri
republik yang awalnya bergiat dalam wadah ormas
bergabung ke dalam atau bahkan mendirikan-- partai
politik. Sementara itu, jauh sebelum reformasi, migrasi
aktivis OMS ke partai politik ibarat peta jalan untuk
menapaki langkah selanjutnya bekerja untuk melayani
kepentingan publik. Tengoklah beberapa aktivis
mahasiswa -- dari kelompok Cipayung maupun bukan-yang kemudian menjadi fungsionaris partai politik di
jaman orde baru. Setelah reformasi, tidak sedikit pula
aktivis OMS yang awalnya sangat militan beraktivitas di
dunia LSM beralih menjadi aktivis partai politik, baik
secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Dan,
sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, jumlah
aktivis OMS yang bermigrasi ke partai politik makin
membengkak menjelang pelaksanaan Pemilu. Inilah yang
kita saksikan menjelang Pemilu 2014 ini.
Meskipun sudah berlangsung lama, perdebatan
atas isu migrasi aktivis OMS ke partai politik selalu
terjadi, dan tentunya semakin menjadi perhatian
iii

menjelang Pemilu. Ada yang setuju dengan alasan untuk


memperkuat peran-peran OMS di dalam sistem
pengambilan keputusan secara formal, tetapi ada pula
yang menyayangkannya karena dianggap sebagai
penyebab dari terkurasnya sumberdaya OMS, atau bahkan
menghujatnya dengan alasan telah melemahkan posisi
OMS untuk melakukan koreksi terhadap kiprah partai
politik.
Di tengah maraknya perdebatan yang setuju dan
tidak setuju itu, Aceh Institute melakukan penelitian
secara mendalam mengenai hal ini di Aceh. Apakah
aktivis OMS yang bermigrasi ke partai politik memiliki
dua kaki di ranah yang berbeda; menjadi pendukung partai
sambil tetap mengklaim sebagai aktivis OMS? Apakah
aktivis OMS yang masuk partai berhasil melakukan
perubahan? Apakah OMS yang aktivisnya masuk partai
tetap independen atau menjadi kepanjangan tangan partai?
Itulah beberapa contoh pertanyaan yang ingin dijawab
melalui penelitian Aceh Institute ini, untuk kemudian
dipetakan dalam kerangka yang lebih sistematis.
Tentu saja, memetakan OMS tidaklah mudah
mengingat tingginya keragaman OMS yang ada di Aceh,
baik dari segi bentuk organisasi maupun orientasi
programnya. Jika salah langkah di awal, hasil penelitian
ini beresiko dipersepsikan secara keliru, atau malah
ditentang oleh kalangan OMS sendiri. Namun, melalui
konsultasi yang intensif dengan berbagai kalangan OMS,
Aceh Institute mampu melakukan penggalian data yang
iv

dibutuhkan dan menghasilkan sebuah laporan penelitian


yang termuat dalam buku ini.
Setidaknya ada tiga hal menarik dari hasil
penelitian Aceh Institute ini yang patut menjadi catatan.
Pertama, penelitian ini telah merangkum dinamika peranperan OMS dalam beberapa situasi di Aceh, baik dalam
situasi konflik Aceh, situasi paska bencana tsunami,
hingga situasi terkini dimana hampir semua lembaga
internasional yang memberi bantuan mengatasi bencana
tsunami telah meninggalkan Aceh.
Kedua, penelitian ini berhasil memetakan realitas
pola relasi yang terbangun antara beragam jenis OMS
dengan partai politik di Aceh ke dalam kategorisasi yang
umum dibahas dalam literatur dan berbagai kajian
akademik, yakni relasi yang bersifat partisipatoris,
klientalistik, korporatis maupun konfrontatif.
Ketiga, penelitian ini berhasil mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi minat aktivis OMS di
Aceh untuk bermigrasi ke partai politik, mulai dari
pemenuhan kebutuhan finansial, meningkatkan eksistensi
diri, memperkuat kapasitas personal dalam bidang politik
praktis, membangun jaringan politik yang lebih luas,
hingga upaya untuk melakukan perubahan kebijakan.
Temuan penelitian Aceh Institute ini dapat
memberi sumbangan yang berarti dalam memahami relasi
antara OMS dengan partai politik. Meskipun penelitian
dilakukan di Aceh, ia dapat bermanfaat juga bagi kalangan
OMS di berbagai daerah lain di Indonesia, mengingat
v

fenomena yang mirip terjadi juga di luar Aceh. Selain bagi


OMS, buku ini juga bermanfaat bagi partai politik,
kalangan perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang
memiliki kepedulian dan atau berinteraksi dengan OMS.
The Asia Foundation merasa bangga telah dilibatkan oleh
Aceh Institute dalam penelitian yang sangat bermanfaat
ini.

Jakarta, 20 Februari 2014


The Asia Foundation

Sandra Hamid, PhD


Country Representative

vi

SAMBUTAN & UCAPAN


TERIMAKASIH
GERAKAN masyarakat sipil yang terorganisir atau
dikenal dengan istilah organisasi masyarakat sipil
merupakan bagian penting dalam proses pengembangan
sistem negara yang lebih demokratis, transparant,
akuntabel dan responsible. Meskipun sebagian OMS telah
ada sebelum adanya negara Republik Indonesia, seperti
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perti, dll namun dalam
perkembangan kemudian, berbagai OMS lainnya tumbuh
dan berkembang seiring prinsip-prinsip konstitusi negara
diaplikasi dengan baik. Salah satu prinsip konstitusi itu
adalah kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan
membentuk perkumpulan-perkumpulan dalam sebuah
masyarakat Indonesia.
Perkembangan gerakan sipil juga terjadi di Aceh,
khususnya setelah terjadinya gerakan reformasi di
Indonesia, dan bencana tsunami yang menimpa Aceh pada
26 Desember 2004. Peran OMS pada awal reformasi di
Indonesia secara khusus mendorong agar pemerintah
Indonesia menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM
yang terjadi di Aceh, membuka ruang demokrasi dan
kebebasan berekspresi bagi elemen sipil serta mendorong
penyelesaian konflik Aceh secara damai.

vii

Sementara saat bencana gempa 8.9 sr dan gelombang


tsunami yang menewaskan lebih dari 200.000 orang,
78.000 lainnya hilang, serta lebih dari 700.000 orang
kehilangan tempat tinggal dan kerugian ekonomi lainnya,
sejumlah OMS tumbuh di Aceh. Menurut Teuku
Ardiansyah, lebih dari 600 OMS berbasis lokal tumbuh
setelah bencana gempa dan tsunami. Umumnya OMS ini
tumbuh dan berkembang karena banyaknya dukungan
financial dari berbagai negara asing, donor, dan lembagalembaga NGO internasional yang berkerja untuk
membangun kembali Aceh yang telah hancur.
Seiring dengan itu, proses perdamaian di Aceh juga
diwujudkan. Pertemuan antara perwakilan pemerintah
Republik Indonesia dan utusan petinggi GAM di Helsinki
Finladia yang difasilitasi oleh CMI telah melahirkan satu
perjanjian perdamaian dan mengakhiri konflik politik di
Aceh yang telah berjalan selama lebih dari 30 tahun.
Proses perdamaian ini sangat didukung oleh
masyarakat sipil. Rasa suka cita yang diperlihatkan oleh
seluruh rakyat Aceh menyambut perjanjian damai ini
menunjukkan kerinduan rakyat terhadap perdamaian di
Aceh segera terwujud. Peran OMS yang dipelopori oleh
berbagai LSM kemanusian di Aceh juga menjadi front line
untuk mendukung terciptakan perjanjian tersebut.
Hasil perjanjian ini kemudian melahirkan kewajiban
bagi pemerintah RI untuk menindaklanjuti butir-butir
MoU Helsinki ke dalam regulasi Indonesia, dimana
regulasi ini menjadi legal standing bagi pelaksanaan
viii

otonomi khusus di Aceh. Maka untuk mengawal proses ini


berbagai elemen sipil bekerja untuk mengawal proses
pengesahan draft UU pemerintahan Aceh yang sesuai
dengan MoU dan juga aspirasi rakyat Aceh. Salah satu
butir-butir dalam MoU yaitu adanya kewenangan
pembentukan partai lokal, yang merupakan satu-satunya
bentuk partai politik berbasis lokal yang ada di Indonesia.
Setelah UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh disahkan oleh DPR RI pada juli 2006, sejumlah
aktivis OMS ikut dalam pembentukan partai berbasis lokal
untuk dapat mengikuti pemilu pada tahun 2009. Pada saat
itu, setidaknya ada tiga parlok yang lulus verifikasi yang
didirikan secara murni oleh para aktivis OMS, antara lain;
partai SIRA, PRA dan PDA. Sebaliknya PAAS didirikan
oleh mantan anggota MPR/DPR RI yaitu Ghazali Abbas
Adan, dan anggota MPR/DPR RI yaitu Dr.Ahmad Farhan
Hamid yang mendirikan PBA. Selain itu terdapat satu
partai yang dirikan oleh mantan GAM yaitu Partai Aceh.
Namun secara umum transformasi dari gerakan sipil ke
gerakan politik ini memberikan warna baru dan orientasi
baru dalam gerakan sipil di Aceh, yaitu dari gerakan
jalanan ke gerakan parlemen.
Proses transformasi aktivis sipil ke gerakan politik
ini tidak sedikit yang tidak sepakat terhadap perubahan
gerakan tersebut. Sejumlah aktivis yang tetap menyakini
bahwa masyarakat sipil harus terpisah dari political
society, karena political society sarat dengan kepentingan
ix

kelompok tertentu dan cenderung menganut aliran


pragmatisme dan marchivilinisme.
Ketika pembentukan partai lokal, sejumlah aktivis
terpecah karena mempunyai persepsi yang berbeda. Ketika
itu ada yang berpendapat bahwa UU No.11 tahun 2006
yang memberikan kewenangan terbentuknya partai lokal
di Aceh sebaiknya hanya dibentuk satu partai saja, yaitu
partai yang diusulkan oleh aktivis GAM. Salah satu
aktivisi sipil yang berpendapat seperti itu adalah Kausar,
salah satu tokoh gerakan mahasiswa tahun 1998-2004.
Namun usulan dari Kausar tidak diterima oleh
aktivis sipil lainnya, yang berpendapat bahwa UUPA
memberikan kesempatan bagi siapa saja warga Aceh
untuk membentuk partai yang berbasis lokal, jadi tidak
saja menjadi hak mantan kombatan GAM untuk
mendirikan partai lokal.
Pemilu legislatif pada tahun 2009 menunjukkan
bahwa peran aktivis OMS yang mencalonkan diri sebagai
calon legislatif tidak terbukti dipilih oleh warga.
Sebaliknya warga lebih memilih calon yang diusulkan
oleh partai lokal yang dibentuk oleh mantan pejuang
GAM yaitu dari Partai Aceh. Hal ini terbukti dengan
terpilihnya 33 kursi untuk Partai Aceh dari 56 kursi yang
ada di DPRA. Demikian juga di sejumlah kabupaten/kota,
partai aceh menjadi partai pemenang pemilu legislatif
tahun 2009, kecuali untuk beberapa kabupaten di bagian
tengah Aceh, seperti di kabupaten Bener Meriah, Aceh
x

Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara yang masih


didominasi oleh partai golkar.
Sebaliknya gerakan sipil menjadi melemah, seiring
dengan telah berakhirnya program tsunami di Aceh.
Berbagai lembaga internasional yang selama ini
mendukung kerja-kerja OMS. Disisi lain, beberapa aktivis
OMS yang memutuskan bergabung dengan partai tertentu
juga mempengaruhi posisi dan peran OMS sejak tahun
2009 sampai sekarang. Pemilu 2014 juga membuktikan
sejumlah aktivis OMS yang bergabung dengan sejumlah
partai politik, baik partai yang berbasis lokal maupun yang
berbasis nasional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh
relasi yang dibangun oleh sejumlah aktivisi OMS dengan
partai politik, baik secar langsung maupun tidak langsung,
serta posisi dari OMS dalam relasi tersebut. Menggunakan
pendekatan purpusive sampling, dimana sampel penelitian
ini ditentukan berdasarkan karakteristik wilayah, maka
terdapat tiga wilayah yang dijadikan sebagai sampel
penelitian ini yaitu (1) kota Banda Aceh, (2) Kota
Lhokseumawe, dan (3) kabupaten Aceh Tengah.
Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan akan
menemukan satu konsep ralasi yang ideal antara OMS
dengan partai politik, sekaligus untuk memetakan
sejumlah OMS yang mempunyai relasi dan atau yang
tidak mempunyai relasi dengan partai politik di Aceh.
Terimakah banyak kepada seluruh tim yang telah
terlibat dalam penelitian ini, baik terlibat secara langsung
xi

maupun tidak langsung. Terimakasih kepada Nur Azizah,


Baiquhi Hasbi, Kholilullah, dan Zulkarnaen yang telah
bekerja keras untuk mengumpulkan berbagai data di
lapangan, baik di Banda Aceh, Lhokseumawe maupun di
Takengon Aceh Tengah. Terimakasih juga kepada tim
pendukung, Marlina, Yusriana, Era, Ijal dan Zakwan serta
Kiffah yang juga ikut serta dalam proses penelitian ini.
Kepada Sutoro Eko yang telah membantu dalam proses
penyusunan kerangka penelitian dan review akhir
penelitian ini dan Afrizal Tjoetra atas bantuan review
tulisan ini. Terimakasih yang tak terhingga kepada tim
penulis yang telah bekerja siang malam dalam
menyelesaikan laporan akhir penelitian ini, Aryos Nivada
dan Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, atas kerja
kerasnya dalam menyempurnakan penulisan buku ini
dapat diselesaikan dengan baik dan sempurna. Terakhir,
ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada The Asia
Foundation, khususnya kepada ibu Sandra Hamid, PhD,
mas Lili Hasanuddin, mbak Natalia Warat, mbak Yassinta,
dan mas Ade dan seluruh personil The Asia Foundation
yang telah mendukung secara penuh dalam penelitian ini.
Banda Aceh, 28 Februari 2014
The Aceh Institute

Chairul Fahmi, M.A


Direktur Eksekutif
xii

DAFTAR ISTILAH

APBA
APBK
APF
ACSTF
AI
AJMI
AM
ADF
AMM
AMIR
BRR
BRA
CSO
CDI
CCDE
CoHA
CIDA
Caleg
DPRA
DPRK
DOM

: Anggaran Pendapatan Belanja Aceh


: Anggaran Pendapatan Belanja
Kabupaten/Kota
: Aceh People Forum
: Aceh Masyarakat sipil Task Force
: The Aceh Institute
: Aceh Justice Monitoring Institute
: Aceh Merdeka
: Aceh Development Fund
: Aceh Monitoring Mission
: Aksi Mahasiswa Islam untuk Reformasi
: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
: Badan Re-Intergrasi Aceh
: Masyarakat sipil Organization
: Citra Desa Indonesia
: Center for Community Development and
Education
: Cession of Hostalities Aceh
: Canadian International Development
Agency
: Calon Legislatif
: Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
: Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten/Kota
: Daerah Operasi Militer
xiii

FoRMEDIA : Forum Reformasi Mahasiswa Daerah


Istimewa Aceh
Forkoet
: Forum Koetaradja
Fokusgampi : Forum Komunikasi Gerakan Mahasiswa
Pemuda Pidie
FoPKRA
: Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh
GAM
: Gerakan Aceh Merdeka
GerAK
: Gerakan Anti Korupsi
HMI
: Himpunan Mahasiswa Islam
HUDA
: Himpunan Ulama Dayah Aceh
HDC
: Henry Dunart Center
HAM
: Hak Asasi Manusia
JDA
: Jaringan Demokrasi Aceh
Kanwilhukam : Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
HAM
KMPAN
: Komite Mahasiswa Pemuda Aceh
Nusantara
KAMAUT
: Kesatuan Aksi Mahasiswa Aceh Utara
KMPA
: Komite Mahasiswa Pemuda Aceh
KAGEMPAR : Koalisi Gerakan Mahasiswa Pemuda
Aceh Barat
KNPI
: Komite Nasional Pemuda Indonesia
KARMA
: Komite Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh
KoMPAS
: Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh
Serantau
KAMMI
: Komite Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
xiv

MoU
MaTA
NGO
NAD
NU
OMS
Ormas
PNS
PA
PDA
PAAS
PRA
PNA
PAN
PBA
Pilkada
RTA
RUU
RPUK
RI
SMUR
SIRA
SIRA
UUPA

: Memorandum of Understanding
: Masyarakat Transparansi Aceh
: Non-Goverment Organization
: Nanggroe Aceh Darussalam
: Nahdlatul Ulama
: Organisasi Masyarakat Sipil
: Organisasi Masyarakat
: Pegawai Negeri Sipil
: Partai Aceh
: Partai Damai Aceh
: Partai Aceh Aman Sejahtera
: Partai Rakyat Aceh
: Partai Nasional Aceh
: Partai Amanat Nasional
: Partai Bersatu Aceh
: Pemilihan Kepala Dearah
: Rabithah Thaliban Aceh
: Rancangan Undang Undang
: Relawan Perempuan Untuk Kemanusian
: Republik Indonesia
: Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat
: Sentral Informasi Referendum Aceh
: Suara Independen Rakyat Aceh
: Undang Undang Pemerintahan Aceh

xv

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8

: Tipologi Relasi Politik ---- 27


: Jumlah OMS dan Partai Politik ---- 40
: Tipologi OMS ---- 51
: Pola Relasi OMS Terhadap
Partai Politik ---- 128
: Pola orientasi politik aktivis sipil
terhadap partai politik ---- 133
: Model Relasi LSM&Partai Politik ---- 137
: Peran OMS Mempengaruhi Kebijakan
Partai Politik ---- 164
: Posisi OMS dalam Pemilu-

2014 ---- 171


Gambar 9

: Contoh Surat Dukungan OMS Terhadap


Partai Politik Tertentu ---- 173

xvi

DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Table 3
Tabel 4
Tabel 5

: Persepsi masyarakat terhadap lembaga yang


berwajah korup di Aceh ---- 70
: On Budget (APBN) Dana Yang di Kelola
oleh BRR NAD-Nias ---- 80
: Off Budget (Bantuan NGO) Tahun Anggaran
2005-2006 ---- 82
: Contoh Aktivis Yang bergabung dengan
Partai Politik dan DPD ---- 118
: Contoh Peran OMS Terhadap kebijakan
pemerintah dan partai politik di Aceh---- 159

xvii

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ---- iii
Sambutan & Ucapan Terimakasih ---- vii
Daftar Istilah ---- xiii
Daftar Gambar ---- xvi
Daftar Tabel ---- xvii
Daftar Isi ---- xviii
Ringkasan Eksekutif ---- xxi

1. Pendahuluan ---- 1
1.1. Latar Belakang ---- 1
1.2. Penjelasan Istilah ---- 8
1.2.1. Organisasi Masyarakat Sipil ---- 8
1.2.2. Pemetaan ---- 9
1.2.3. Relasi Politik ---- 10
1.2.4. Partai Politik ---- 11
2. OMS dan Relasi Politik ---- 13
2.1. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) ---- 13
2.2. Relasi OMS dengan Partai Politik ---- 18
3. Perkembangan Organisasi Masyarakat Sipil

(OMS) di Aceh ---- 28


3.1. Sejarah Pembentukan OMS ---- 29
3.1.1. Fase Paska Gempa Tsunami ---- 38
3.1.2. Paska MoU & UUPA ---- 42
3.2. Bentuk-Bentuk OMS ---- 46
3.3. Peran dan Fungsi OMS ---- 57
xviii

3.3.1. Advokasi DRAFT UUPA --- 59


3.3.2. Advokasi Qanun KKR ---- 64
3.3.3. Advokasi Qanun Lainnya ---- 67
3.3.4. Dukungan terhadap
Good Governance ---- 68
4. Tranformasi Gerakan Organisasi Masyarakat

Sipil di Aceh ---- 72


4.1. Gerakan OMS Paska Reformasi ---- 73
4.2. Gerakan OMS Paska Gempa & Tsunami ---- 77
4.3. Gerakan OMS Paska MoU Helsinki dan UU
Pemerintahan Aceh ---- 84
5. Dinamika Relasi Politik OMS dengan Partai

Politik ---- 89
5.1. Gerakan OMS di Indonesia ---- 90
5.2. Perkembangan Politik di Aceh Paska MoU
Helsinki dan UUPA ---- 94
5.3. Relasi Politik OMS dengan Partai Politik ---- 104
5.3.1. Dinamika Relasi Politik OMS dalam
Pemilu ---- 115
5.3.2. Persepsi Aktivis Terhadap Relasi Politik
OMS dengan Partai Politik ---- 122
5.3.3. Pola Relasi Yang Berkembang ---- 134
5.3.4. Analisis Terhadap Relasi Politik OMS di
Aceh ---- 140
5.4. Faktor yang Mempengaruhi Relasi Politik
OMS di Aceh ---- 144
5.5. Dampak Relasi Politik dengan Partai Politik
terhadap Indepedensi OMS ---- 148

xix

6. Posisi OMS Terhadap Dinamika

Demokrasi dan Pemerintahan ---- 154


6.1. Pengaruh OMS terhadap Kebijakan Partai
Politik ---- 155
6.2. Pengaruh OMS terhadap Pembangunan
Demokrasi ---- 165
6.3. Posisi OMS dalam Dinamika
Pemilu 2014 ---- 168
7. Penutup ---- 178
7.1. Kesimpulan ---- 178
7.2. Rekomendasi ---- 181

DAFTAR PUSTAKA

xx

RINGKASAN EKSEKUTIF

TRANSFORMASI gerakan sipil ke dalam partai politik


setelah penandatanganan MoU damai antara GAM dan
Pemerintah Republik Indonesia menjadi satu fenomena
yang fenomal dalam sistem perpolitikan di Aceh.
Sebagaimana diketahui bahwa sejak reformasi pada tahun
1998, sekaligus dicabutnya DOM oleh Panglima ABRI
Jenderal Wiranto perkembangan kebencian terhadap
simbol-simbol republik Indonesia kiat memuncak. Proses
ini juga dipengaruhi oleh terbongkarnya pelanggaran
HAM berat yang dilakukan oleh ABRI saat penerapan
DOM sejak tahun 1989 sampai tahun 1998.
Euforia terhadap perpolitikan praktis di Aceh
dimulai sejak disahkannya UU No.11 tahun 2006 tentang
pemerintahan Aceh, dimana pasal 229 memberikan
kewenangan kepada rakyat Aceh untuk membentuk partai
lokal. Dari sejumlah usulan yang masuk ke kementerian
Hukum dan HAM Kantor wilayah Aceh, setidak ada 6
partai lokal yang lolos untuk mengikuti pemilu legislatif
tahun 2009, yaitu: PA, PAAS, PBA, PDA, PRA dan
SIRA. Sementara pada tahun 2012, yang lolus verifikasi
oleh Kemenhukam hanya terdapat tiga partai lokal yang
PA, PNA dan PDA. Sebaliknya yang lain tidak lulus
verfikasi dari Kanwilhukham Aceh. Sejak tahun 2009
xxi

sampai sekarang, imigrasi para aktivisi gerakan sipil ke


gerakan politik menjadi pamandangan yang lazim.
Beberapa tokoh OMS kemudian menjadi pengurus teras
dari partai politik tertentu. Meskipun ini juga terjadi di
seluruh Indonesia, namun di Aceh menjadi menarik
karena pengalaman satu dekade sebelumnya sangat elergi
dengan simbol-simbok NKRI, termasuk partai politik.
Disisi lain, sejumlah OMS secara tidak langsung
juga menggantung harapan kepada dana-dana pemerintah
setelah sejumlah lembaga donor dan LSM internasional
menutup programnya di Aceh. Maka relasi dengan partai
politik dijadikan sebagai milestone untuk membangun
relasi yang lebih dekat dengan pemerintahan lokal di
Aceh, khususnya pihak eksekutif.
Penelitian ini mencoba memetakan sejumlah OMS di
Aceh yang mempunyai relasi dan atau yang tidak
mempunyai relasi dengan partai politik, serta menemukan
bentuk relasi yang dibangun. Terakhir diharapkan akan
ditemukan satu konsep ideal tentang relasi yang dapat
dijadikan sebagai lesson learned bagi OMS lain di
Indonesia dalam melihat posisi OMS dengan partai politik
itu sendiri.
Penelitian ini disusun dalam 7 (tujuh) bab, yang
terdiri dari bab satu yang membahas tentang latar
belakang masalah, tujuan dan ruang lingkup penelitian,
dimana terdapat 4 tujuan dan ruang lingkup penelitian ini
yaitu: (1) Untuk memetakan pola relasi politik yang
dibangun oleh OMS terhadap partai politik, apakah pola
xxii

relasi partisipatory, relasi oposisi, relasi korporatis, atau


relasi klientelistik? (2) Untuk mengidentifikasi bentuk dan
faktor transformasi OMS baik secara individu fungsional
maupun secara struktural terhadap partai politik di Aceh.
(3) Untuk mengevaluasi model relasi yang efektif antara
OMS dengan partai politik dalam upaya membangun
proses demokrasi yang lebih baik. (4) Untuk menjadi
baseline dalam melihat peta relasi politik OMS dengan
partai politik dan model relasi yang dibangun.
Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan istilah,
yaitu istilah organisasi masyarakat sipil, pemetaan, relasi
politik dan partai politik. Setelah itu dilanjutkan dengan
metodologi penelitian, mencakup; jenis dan sumber data,
sampling, metode pengumpulan data, analisa data, serta
terakhir tentang lokasi penelitian.
Penelitian ini bersifat kualitatif, dimana data-data
didapatkan melalui interview secara mendalam dengan
sejumlah pengurus OMS serta partai politik di Aceh,
kemudian melalui diskusi kelompok terfokus, kajian
dokumen (desk study), serta mengkaji kasus-kasus yang
pernah ada (case study). Sementara informan dari
penelitian ini ditentukan melalui mekanisme purposive
samping, yaitu wilayah studi ditentukan berdasarkan
karakteristik tertentu yang mencakup kota Banda Aceh,
kot Lhokseumawe dan kabupaten Aceh Besar.
Bab dua, akan membahas tentang pemahaman
mengenai relasi politik, yang dibagi dalam beberapa sub
bab, antara lain: tentang definisi relasi, dimana relasi itu
xxiii

dapat dipahami sebagai hubungan interaksi antara satu


dengan yang lainnya yang mempunyai kepentingan
bersama. Kemudian dilanjutkan dengan komponen ralasi
politik, dan tipologi relasi. Secara umum ada 8 tipologi
relasi yaitu:
1) participatory linkage. Dalam tipelogi ini OMS
ataupun partai politik memainkan peran sebagai
arena atau agen yang memfasilitasi langsung
dalam kepentingan publik.
2) electoral linkage dimana pemimpin-pemimpin
partai mengontrol seluruh element dalam prosesproses elektoral.
3) policy responsive linkages ketika partai berperan
sebagai agen yang memastikan pemerintah akan
responsif terhadap pemilihnya atau mewakili suara
rakyat dalam urusan publik.
4) representative linkages ketikan pola hubungan
yang ada berhasil memastikan keterwakilan baik
dalam konteks elektoral maupun kebijakan secara
lebih luas.
5) clientelistic linkages ketika partai bertindak
sebagai saluran berbagai keuntungan dengan imbal
balik loyalitas dan dukungan suara.
6) directive linkages berlangsung jikalau pengurus
partai selalu berusaha untuk memastikan dan
mengontrol perilaku warga dengan cara koersif &
dominatif.
xxiv

7) organ sational linkages atau adanya pertukaran


antara elit partai dengan organisasi yang
memobilisasi
atau
memastikan
dukungan
organisasi mereka terhadap partai politik, dan
8) integrative linkage adalah pola yang sama dengan
directive linkages melalui sosialisasi, pendidikan,
dan kaderisasi politik.
Terakhir pada bab ini akan diuraikan secara konkrit
tentang konsep relasi politik OMS terhadap partai politik
berdasarkan pengalaman yang ada di Indonesia, serta
direlevansikan dengan konsep dan teori mengenai relasi
itu sendiri.
Selanjutnya bab tiga, yaitu bab yang membahas
tentang perkembangan OMS di Aceh yang terdiri dari
beberap sub bab antara lain: Sejarah perkembangan OMS
di Aceh, sejak tahun 1970an, ketika konflik di Aceh yang
meletus pada tahun 1976 sampai dicabutnya DOM karena
adanya gerakan reformasi di Indonesia. Kemudian
dilanjutkan dengan OMS pada masa tsunami menimpa
Aceh, dimana pertama kali Aceh bersentuhan dengan
dunia internasional setelah tiga puluh tahun lamanya
terisolasi dalam konflik yang berkepanjangan. Selanjutkan
perkembangan OMS paska MoU Helsinki dan pengesahan
UU No.11 tahun 2006 tentang Pemeritahan Aceh. Pada
sub bab lainnya akan dibahas mengenai bentuk bentuk
OMS yang umumnya berkembang di Aceh dan terakhir
mengenai peran dan fungsi OMS.
xxv

Bab empat adalah bab yang menarik untuk dibahas,


karena pada bab ini akan dikaji tentang transformasi
gerakan masyarakat sipil di Aceh. Isi pada bab ini akan
menjelaskan gerakan organisasi masyarakat sipil di Aceh
yang terbagi menjadi empat (4) ranah terdiri dari : gerakan
OMS paska reformasi, gerakan OMS paska gempa dan
tsunami, gerakan OMS paska MoU Helsinki, dan gerakan
OMS paska disahkan UU No.11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA). Keseluruhan isi akan
dijelaskan satu persatu guna mendapatkan gambaran
mendalam akan kondisi disetiap ranah tersebut.
Dilanjutkan dengan bab lima, yang merupakan bab
inti dari studi ini. Bab ini dibagi dalam beberapa sub
pembahasan, antara lain: perkembangan partai politik di
Aceh paska MoU Helsinki dan UUPA, pola relasi OMS
terhadap partai politik, faktor yang mempengaruhi relasi
politik OMS, dan paradigman OMS terhadap relasi politik
dengan partai politik.
Sebagaimana diketahui bahwa setelah MoU Helsinki
ditanda tangani, dan proses selanjutnya adalah
dibentuknya UU otonomi khusus bagi Aceh, dan salah
satu poin nya adalah pembentukan partai lokal. Saat itu
setidaknya ada 14 partai lokal yang diusulkan oleh
masyarakat dan hanya 6 yang lulus verifikasi oleh
kementerian hukum dan HAM RI. Dinamika politik juga
secara dramatis berubah, dimana Aceh dikenal sebagai
basis bagi PPP yang berbasis Islam Nasionalis, dikalahkan
secara telak oleh Partai Aceh yang dibentuk oleh eksxxvi

GAM yang mempunyai ideologi pancasila berbasis etnonasionalis ke-achehan.


Sementara pola relasi yang dibangun pada umumnya
adalah pola participatory, khususnya relasi yang dibangun
oleh LSM, sebaliknya baberapa organisasi massa
membangun pola klientalistik dengan partai politik
tertentu. Sedangkan faktor yang mendorong relasi itu juga
beraneka ragam, ada yang didorong untuk mempengaruhi
kebijakan dari dalam, ada karena faktor relasi dengan
ketokohan dari gerakan sipil yang sudah bergabung
dengan sejumlah partai politik yang ada. Disisi lain, faktor
ekonomi secara programatik juga menjadi faktor
terbentuknya relasi dengan partai politik. Relasi secara
ekonomi programatik ini umumnya terbentuk melalui
instrumen dana-dana aspirasi yang dimiliki oleh sejumlah
anggota legislatif dari partai politik. Sementara relasi
klientelistik, terbentuk karena OMS tersebut umumnya
dibentuk oleh fungsionaris-fungsionari partai politik yang
tujuannya adalah untuk menjadi mesin-mesin bagi partai
politik atau calon legislatif untuk bekerja ditingkat
komunitas, seperti LeS MoU dan KMPA yang menjadi
salah satu underbow Partai Aceh, menerima uang dari
Partai Aceh dan bekerja untuk kepentingan-kepentingan
partai.
Secara umum perspektif para aktivis OMS di Aceh
terhadap relasi dengan partai politik umumnya
menyatakan harus dibangun dan hal itu bukanlah sesuatu
yang tabu. Meskipun relasi yang dibangun adalah
xxvii

participatory, namun tetap dalam kekritisan terhadap


berbagai kebijakan pemerintah melalui parlemen.
Bab selanjutnya yaitu bab enam mengkaji pengaruh
OMS terhadap berbagai kebijakan partai politik terhadap
negara dan rakyat, kontrol OMS terhadap fungsi partai
politik, termasuk fungsi pendidikan politik bagi bagi
warga serta terakhir mengkaji tentang pengaruh OMS
terhadap pembangunan demokrasi di Aceh secara khusus
dan indonesia pada umumnya.
Hasil kajian ini kemudian mengambil satu
kesimpulan tentang konsep relasi yang dibangun oleh
sejumlah OMS yang ada di Aceh, serta tergambar
sejumlah OMS yang mempunyai relasi dan atau yang
tidak mempunyai relasi dengan partai politik, pola relasi
yang dibangun, serta faktor yang mempengaruhi relasi itu
tersebut. Beberapa rekomendasi dari penelitian ini, antara
lain:
1) Perlunya konsolidasi kembali gerakan OMS yang
didasarkan kepada prinsip-prinsip demokratis,
independensi, mandiri, kritis, dan partisipatif serta
komitmen terhadap agenda-agenda perubahan
negara ke arah yang lebih baik
2) Perlunya penguatan kapasitas OMS dari berbagi
segi, baik secara managerial, financial maupun
pengkaderan bagi kerja-kerja kerelawanan dan
keswasembadaan.
xxviii

3) Perlunya satu konsensus untuk menentukan garis


relasi yang jelas antara OMS dengan partai politik
secara menyeluruh, sehingga tidak terjebak dalam
kepentingan pragmatisme-mutualistik antara OMS
dengan partai politik, sebaliknya harus dibangun
prinsip-prinsip participatory yang kritis dan
idealis.

xxix

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Paska perjanjian damai/Memorandum of


Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah
Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005, secara tidak
langsung telah terjadi perubahan arah pergerakan
Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Aceh. Perubahan
ini terlihat dari pola perjuangan OMS. Sebelum masa
perdamaian, OMS pada umumnya mengambil sikap
oposisi terhadap pemerintah dan partai politik.
Sementara, paska perdamaian OMS telah menjadi bagian
dari sistem demokrasi itu sendiri melaluipendirian partai
politik, khususnya partai lokal (parlok). Landasan yang
dijadikan rujukan adalah amanat poin 1.21 MoU
Helsinki dan pasal 75 UU No.11 tahun 2006 tentang

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Pemerintahan Aceh yang mengatur pembentukan partai


politik lokal.
Kewenangan membentuk partai lokal ini
kemudian melahirkan banyak partai politik yang
didirikan oleh aktivis OMS, diantaranya Partai Rakyat
Aceh (PRA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh
(SIRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh
(PDA), dan Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS). Semua
partai politik yang lulus verifikasi Depkumham pada
Pemilu 2009 tersebut lahir dari aktivis OMS kecuali
Partai Aceh (PA), yang dibentuk oleh aktivis Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Misalnya, PRA didirikan oleh
beberapa aktivis OMS seperti Wiratmadinata, yang
pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Forum LSM
Aceh, dan Thamren Ananda, aktivis Solidaritas
Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR). Sementara, SIRA
adalah partai lokal yang berasal dari organisasi yang
dibentuk oleh sejumlah mahasiswa Aceh pada tahun
1998 yang mendorong lahirnya referendum di Aceh,
salah satunya ialah Teuku Banta Syahrizal, yang juga
pernah terlibat aktif di Acehnese Civil Society Task
Force (ACSTF). Demikian pula halnya dengan PBA,
yang didominasi oleh aktivis 98 di Aceh seperti
Tgk.Muhammad Saleh, yang pernah duduk dalam
Presidium SIRA. Sementara itu, PDA didirikan oleh para
santri yang sebelumnya tergabung dalam berbagai
organisasi santri dan ulama seperti Rabithah Thaliban
2

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Aceh (RTA) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh


(HUDA), di antaranya ialah Tgk. Harmen Nuriqman dan
Waled Husaini. Lain halnya dengan PAAS, partai lokal
ini lahir dari aktivis dakwah yang beraliansi pada
gerakan neo-Masyumi yang berbasis di Aceh di bawah
pimpinan Ghazali Abas Adan.
Transformasi gerakan sipil menjadi gerakan
politik ini menjadi catatan penting dalam upaya
membangun demokrasi di Aceh, khususnya paska
konflik berkepanjangan sejak tahun 1976, meskipun
kemudian hasil pemilu legislatif 2009 di Aceh
menunjukkan bahwa satu-satunya partai lokal yang
mendapatkan kursi terbanyak adalah Partai Aceh,
sementara partai lokal lainnya tidak memperoleh kursi
sama sekali di DPRAceh kecuali PDA, yang hanya
meraih satu kursi. Partai lokal lainnya pada akhirnya
membubarkan diri, seperti PRA, PBA, PAAS dan SIRA,
yang tidak lolos verifikasi Komisi Independen Pemilihan
(KIP) pada tahun 2012.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa
tidak sedikit politisi dari kalangan aktivis yang tidak
terpilih kemudian kembali membangun gerakan sosial
melalui OMS. Reposisi dari politisi menjadi aktivis nonpartisan ini menimbulkan berbagai pertanyaan terkait
dimana posisi OMS terhadap partai politik; apakah harus
terpisah dari aktivitas politik praktis atau menjadi bagian

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

yang tak terpisahkan dari gerakan politik secara


struktural.
Disisi lain, berbagai pemikiran muncul terkait
konsep ideal posisi dan relasi antara OMS dengan partai
politik dalam konteks pembangunan demokrasi. Budi
Setyono menyatakan bahwa OMS merupakan
lembaga/organisasi non partisan yang berbasis pada
gerakan moral (moral force) yang berperan dalam
mengawal penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan
politik sesuai dengan aspirasi rakyat.1 Fungsi moral
force ini bertujuan untuk membangun proses demokrasi
agar tetap berada pada jalurnya dimana kebijakan
penguasa harus mewakili kepentingan rakyat. Oleh
karena itu, OMS harus berdiri secara independen tanpa
pengaruh dari kepentingan politik partai politik tertentu,
atau sebaliknya, menjadi mitra kritis terhadap
penyelengaraan pemerintahan oleh pemerintah maupun
partai politik di badan legislatif.
Otho H.Hadi mengatakan bahwa pemisahan
antara partai politik dengan OMS merupakan upaya
OMS sebagai narcissism, yaitu OMS harus
mempunyai karakter anti perilaku politisi dimana politik
adalah sesuatu yang kotor, atau sebaliknya, bekerja di

Budi Setyono, Pengawasan Pemilu oleh LSM, Suara


Merdeka, 15 Oktober 2003, diunduh 12 November 2013

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

OMS merupakan sesuatu yang bersih. 2 Aliran ini


menganggap bahwa politisi dan kekuasaan cenderung
korup. Seperti yang ditegaskan oleh Nodia, bahwa posisi
OMS seharusnya sebagai oposisi dan cenderung
melawan partai politik jika kondisi partai politik yang
menguasai negara secara mayoritas cenderung otoriter
dan diktator.3 Kondisi ini seperti yang terjadi pada rezim
komunis Rusia atau ketika masa Orde Lama dan Orde
Baru di Indonesia. Konsep posisi OMS terhadap partai
politik (political society) ini juga dianggap sebagai relasi
anti-negara (relasi negatif) yang dikembangkan oleh Karl
Marx. Seperti yang dikutip Canterbury, Marx
menuliskan bahwa partai politik adalah instrumen dalam
meraih kekuasaan dan kemudian menjadi penguasa
adalah kelas borjuis yang merupakan bagian dari kaum
kapitalistik. Penguasa yang diperoleh melalui instrumen
ini menjadi kelompok dominan dalam pengambilan
sebuah keputusan dan kebijakan atau dikenal sebagai
superstucture. 4
2

Otho H.Hadi, Peran Masyarakat Sipil Dalam Proses


Demokratisasi, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 14. No.2,
Desember 2010, hlm. 117-129
3
Gia Nodia, Civil Society Development in Georgia, (Georgia:
Caucacus Institute for Peace, Democracy and Development, 2005),
hlm 56.
4
Dennis Compton Canterbury, Neo-Liberal Democratization
and New Authoritarianism, England: Ashgate Publishing Limited,
2005, hlm. 62

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Model relasi yang lain adalah transformatif. Carl


Gershman menyatakan jika negara atau partai politik
penguasa yang diktator telah berakhir maka peran OMS
harus melakukan transformasi. Upaya transformasi ini
dilakukan dengan mendorong demokratisasi, reformasi,
toleransi, serta mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Proses membangun sistem ini dilakukan dengan
menempatkan aktivis OMS di lembaga pemerintahan
atau menjadi penguasa negara dan pengambil kebijakan,
baik melalui instrumen partai politik maupun instrumen
lainnya yang diatur oleh hukum. 5
Mengamati situasi terkini menjelang Pemilihan
Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 9
April 2014, banyak aktor OMS yang berafiliasi dengan
berbagai partai politik lokal maupun nasional. Salah satu
faktor yang mempengaruhi transformasi gerakan ini
ialah tidak adanya dukungan finansial terhadap OMS
lokal khususnya, setelah berakhirnya program
rehabilitasi dan rekonstruksi paska tsunami dan konflik
di Aceh, baik yang didanai oleh pemerintah maupun
LSM nasional dan
internasional. Disisi lain,
independensi secara ekonomi institusi OMS di Aceh
relatif tidak terwujud. Oleh karena itu, konsepsi Marx
5

Carl Gershman, The Relationship of Political Parties and


Civil Society, Washington: National Endowment for Democracy,
Supporting Freedom Around the World, 17 Maret 2004, diunduh 12
Desember 2013

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

yang menyatakan bahwa masyarakat sipil harus mapan


secara ekonomi dan kebijakan dalam melawan political
society tidak sepenuhnya terwujud dalam pergerakan
OMS di Aceh saat ini.
Disamping
itu,
kecenderungan
dan
ketergantungan OMS secara ekonomi terhadap donor
juga melahirkan disorientasi independensi gerakan OMS.
Hal ini ditandai dengan adanya sejumlah OMS yang
membangun relasi dengan partai politik untuk
mendapatkan dana aspirasi dan bantuan pemerintah
melalui
relasi
dengan
aktor
tertentu
dari
lembagapemerintahan. Krisis ketokohan dan ekonomi
yang dihadapi oleh berbagai OMS di Aceh juga
menyebabkan posisi beberapa OMS terlihat lebih
prakmatis dalam menjaga eksistensinya.
Buku ini merupakan hasil dari penelitian
pemetaan relasi politik OMS dengan partai politik di
Aceh. Secara khusus, buku ini akan menggambarkan
tentang; (1) pola relasi politik yang dibangun oleh OMS
terhadap partai politik, (2) bentuk dan faktor
transformasi OMS baik secara individu fungsional
maupun secara struktural terhadap partai politik di Aceh,
(3) model relasi yang efektif antara OMS dengan partai
politik dalam upaya membangun proses demokrasi yang
lebih baik, dan (4) menjadi baseline dalam melihat peta
model relasi politik OMS dengan partai politik.

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

1.2. Penjelasan Istilah


1.2.1. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)
Secara umum OMS didefinisikan sebagai
organisasi kemasyarakatan yang terbagi menjadi
organisasi massa, organisasi rakyat, organisasi profesi,
organisasi komunitas, dan organisasi Non-Government
Organisation (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Istilah OMS, yang serupa dengan Civil Soceity
Organization (CSO), dan dianggap sebagai institusi
third sector yang berbeda dengan institusi
pemerintahan dan institusi wirausaha (business). Collin
English Dictionary mendefinisikan OMS, pertama,
sebagai institusi yang melakukan manifestasi gerakan
untuk mewujudkan kepentingan rakyat secara
umum,kedua, para fungsionaris dan institusi OMS
bersifat independen dari pengaruh pemerintah.
Perspektif lain dikemukakan oleh Gramsci (1971)
yang mendefinisikan masyarakat sipil sebagai kumpulan
organisme privat, berbeda dengan negara, yang
disebutnya sebagai masyarakat politik (political society).
Secara konkret, Gramsci memaknai masyarakat sipil
sebagai suatu wilayah institusi privat mencakup gereja,
serikat-serikat dagang/pekerja, dan lembaga pendidikan,
sementara negara adalah institusi-institusi publik seperti
pemerintah, pengadilan, polisi dan tentara. Gramsci,
seperti dikutip oleh Luiz Carlos Bresser-Pereira dalam

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

State, Civil Society and Democracy Ligitimacy,


mendefinisikan negara sebagai masyarakat politik
ditambah masyarakat sipil;the state should be
understood not only as the apparatus of the government,
but also ths private apparatus of Civil Society (negara
tidak harus dipahami hanya sebagai lembaga
pemerintahan, tetapi juga sebagai lembaga masyarakat
sipil).6
Secara umum, OMS terbagi ke dalam 5 bentuk,
yaitu (1) organisasi rakyat, seperti kelompok buruh atau
kelompok petani, (2) Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), (3) organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), dll., (4) organisasi massa, seperti
Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dll., dan (5)
organisasi berbasis komunitas, seperti serikat mukim,
dll.
1.2.2. Pemetaan
Pemetaan adalah proses penggambaran yang
sistematik serta melibatkan pengumpulan data dan
informasi termasuk di dalamnya profil dan masalah yang
ada. Sementara, pemetaan yang dimaksud di dalam
penelitian ini adalah gambaran tentang hubungan antara
6

Luiz Carlos Bresser-Pereira, State, Civil Society and


Democracy Ligitimacy, http://webcache.googleusercontent.com/,
diunduh 12 Desember 2014

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

satu variabel dengan variabel lainnya, yaitu OMS dengan


partai politik (Parpol).
1.2.3. Relasi Politik
Relasi adalah hubungan antara satu variabel
dengan variabel lainnya yang berbeda. Dalam konteks
ini, relasi diartikan sebagai hubungan antara satu
individu dengan individu lainnya atau satu organisasi
dengan organisasi lainnya yang berbeda.7
Sedangkan politik, sebagaimana dikemukakan
oleh Roger F. Soltau di dalam bukunya yang berjudul
Introduction to Politics, seperti dikutip oleh Prof.
Mariam Budiarjo mengartikan politik sebagai suatu
praktek atau teori yang mempengaruhi orang lain baik
dalam bentuk individu maupun kelompok atau lebih
khusus sebagai bentuk mencapai posisi dalam
pemerintahandan mengontrol serta mengatur kehidupan
kemanusiaan, khususnya negara.8
Berdasarkan definisi di atas, makna relasi politik
dalam konteks penelitian ini adalah hubungan antara
OMS baik secara individu maupun institusi dengan
penyelengara negara, khususnya partai politik baik
secara individu maupun institusi.
7

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai


Pustaka, 2008, hlm. 165
8
Prof. Mariam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 17

10

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

1.2.4. Partai Politik (Parpol)


Secara umum, partai politik diartikan sebagai
organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang (warga
negara) yang bertujuan untuk memperjuangkan
kepentingan kelompoknya dan masyarakat secara umum
yang didasarkan pada perundang-undangan.
Sementara, Carl J. Friedrich mengartikan partai
politik sebagai sekelompok manusia yang terorganisir
secara
stabil
dengan
tujuan
merebut
atau
mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin
partainya, dan penguasaan ini memberikan anggota
partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupul
material. 9
Di sisi lain, Prof. Mariam Budiardjo
mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan
tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional
guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.10
9

Carl
J.
Friedrich,
Definisi
Partai
Politik,
http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik, diunduh 15 Desember
2013
10
Prof. Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 34

11

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Jika merujuk pada UU No.2 Tahun 2011, yang


merupakan perubahan terhadap UU No.2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, definisi partai politik adalah
organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas
dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

12

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

OMS DAN RELASI POLITIK

2.1.

Organisasi Masyarakat Sipil

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) adalah


fenomena yang kompleks. Menurut Nanna Thue,
kompleksitas OMS muncul karena adanya perbedaan
yang signifikan terhadap konsep dan komposisi OMS di
berbagai negara yang berbeda akibat dari situasi politik,
budaya dan kenyakinan masyarakat dinegara setempat.11
Oleh karena itu, tidak mungkin membangun definisi
standar terhadap masyarakat sipil yang dapat
menyamakan perbedaan kondisi yang dihadapi oleh
masyarakat sipil secara keseluruhan. Kendati demikian,
untuk membangun metodologi dan penilaian empiris,
maka diperlukan pendefinisian yang jelas. Helmut
11

Nanna Thue, dkk., Report of A Study on Civil Society in


Uganda, NORAD, 2002

13

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

mendefinisikan masyarakat sipil sebagai bagian yang


tidak terpisahkan dari suatu institusi, organisasi, dan
individu yang berada diantara keluarga, negara dan
pasar, dimana masyarakat berasosiasi secara sukarela
untuk memperjuangkan kepentingan yang sama. 12
Helmut menyiratkan bahwa secara esensi tidak
ada perbedaan antara masyarakat sipil dengan OMS,
karena antara satu dan lainnya merupakan satu bagian
yang tidak terpisahkan. Dengan kata lain, masyarakat
sipil adalah OMS yang memperjuangkan kepentingan
yang sama, begitupun sebaliknya. Helmut hanya
menambahkan arahan terhadap terminologi organisasi
kepada sebuah asosiasi sukarela, non-pemerintah atau
nirlaba, pergerakan sosial, jejaring dan group informal.
Organisasi seperti ini merupakan susunan bangunan
suatu masyarakat sipil; bahwa mereka adalah kendaraan
dan forum untuk partisipasi sosial, proses aspirasi,
ekspresi nilai dan paham, dan pemberian layanan.
Sahya Anggara mengelaborasi OMS menjadi
beberapa karakter, bahwa Masyarakat sipil terepresentasi
oleh berbagai jenis yang luas, baik melalui sistem
membership ataupun sistem dari orientasi OMS tersebut,
seperti: (i) ekonomi: asosiasi dan jaringan yang produktif
dan komersial, (ii) budaya: agama, etnik, kelompok
12

Anheir, Helmut K., How To Measure Civil Society, London:


Economic and Political Science Journal, 2005

14

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

komunal, dan institusi dan asosiasi lain yang


mempertahankan hak kolektif, nilai, kepercayaan publik,
(iii) kepentingan: kelompok yang bertujuan memajukan
atau melindungi kepentingan anggotanya seperti
perserikatan buruh, asosiasi pensiunan, dan kelompok
professional, (iv) pembangunan: organisasi yang
mengumpulkan sumber daya dan bakat individual untuk
memajukan infrastuktur, institusi dan kualitas kehidupan
masyarakat, (v) perlindungan lingkungan, perlindungan
konsumen, hak perempuan, dll., (vi) civic: kelompok
non-partisan yang bertujuan memajukan sistem politik
dan menjadikannya demokratis (pengawas pemilu,
pembela HAM, dll.).13
Dalam proses demokrasi, OMS idealnya berperan
sebagai sekolah demokrasi dimana masyarakat belajar
berpikir dan bertindak demokratis, toleransi terhadap
keberagaman dan pluralisme, saling menerima dan
berkompromi, serta membangun sikap saling percaya
dan kerjasama. OMS sebagai lembaga advokasi dapat
mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk menaikkan
posisi tawar masyarakat dan menggunakan jalur-jalur
resmi dalam mendorong debat atau keputusan politik
secara terbuka, bebas dan fair. Dengan demikian,
membangun organisasi yang dapat bertindak secara
13

Sahya Anggara, Ruang Politik Hubungan Aktivisme Civil


Society dan Pemerintah dalam Mengembangkan Tata Pemerintahan
Demokratis, https://www.academia.edu, diunduh 2 November 2013

15

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

independen dan siap untuk berhadapan dengan pihak


pemerintahan,
baik
dalam
mendukung
atau
mempengaruhi kebijakan, adalah salah satu instrumen
dalam proses demokratisasi. 14
Rohman mengatakan ada beberapa persyaratan
yang lebih khusus bagi masyarakat sipil untuk dapat
dikatakan mengusung demokrasi. Pertama, bagaimana
masyarakat sipil mengelola dirinya sendiri? Jika mereka
mempraktekkan pengelolaan internal lembaga yang
transparan, akuntabel terhadap konstituennya, maka
merekalah yang mungkin memainkan peranan penting
dalam upaya demokratisasi masyarakat. Kedua, apakah
masyarakat sipil menghormati nilai-nilai demokrasi
seperti halnya mengejar tujuan organisasi? Prospek
demokrasi menurun jika masyarakat sipil menolak aturan
hukum atau merongrong negara dengan merusak metode
demokrasi. Ketiga, apa yang mendasari kekuatan
masyarakat sipil? Jika kekuatan bertumpu pada
kepemimpinan kharismatik, bukan dari proses demokrasi
yang memberi kesempatan kepada siapapun, maka
organisasi itu akan lemah dan kurang efektif dalam hal
membangun demokrasi itu sendiri. Keempat, bagaimana
masyarakat sipil mendefinisikan hubungan mereka
dengan negara? Jika organisasi mencoba untuk
14

Saiful Mahdi, dkk., Ruang Demokrasi di Aceh Selatan,


Banda Aceh: The Aceh Institute, 2011, hlm. 87

16

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

mengubah kebijakan dengan mengumpulkan kekuatan


yang lebih besar dari negara, mereka hanya akan menjadi
partai politik. Masyarakat sipil melindungi kepentingan
publik dengan menghormati pilihan anggotanya untuk
memperjuangkan
kepentingannya
masing-masing,
berbeda dengan partai politik yang mencoba untuk
mengarahkan anggotanya untuk mencapai tujuan partai.
Jika keempat karakter ini dimiliki, maka masyarakat sipil
tersebut dapat dikatakan kuat, baik dalam hal struktur
atau prosesnya. Kondisi inilah yang menjadi pondasi
dalam membangun pembangunan sebuah negara
demokratis.15
Pandangan terhadap biasnya definisi masyarakat
sipil masih cukup kuat. Oleh karena itu, Salamon dan
Anheier mencoba mendefinisikan masyarakat sipil ke
dalam tiga karakter. Pertama, masyarakat sipil bergerak
di bawah aturan hukum yang berlaku, namun bukan
hukum alam. Kedua, masyarakat sipil berada diantara
negara dan pasar, dimana terjadi kontestasi antara
kepentingan negara dengan kepentingan pasar. Dengan
demikian, masyarakat sipil berdiri sebagai oposisi
terhadap pasar dan negara, dan masyarakat sipil juga
dipengaruhi oleh tekanan dari keduanya. Munculnya
gerakan masyarakat sipil dapat mengganggu pasar,
15

Ahmad Ainur Rohman, Politik, Partisipasi, dan Demokrasi


dalam Pembangunan, Jakarta: Program Sekolah Demokrasi, 2009,
hlm. 98

17

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

seperti asosiasi bisnis dan organisasi pengusaha, dan


juga negara. Lebih jauh lagi, Salamon dan Anheirer
mengistilahkan ruang ini, antara negara dan pasar,
sebagai sektor ketiga. Terakhir, hubungan asosiasi
kerelawanan mendominasi masyarakat sipil. Sebagai
konsekuensi, masyarakat sipil menjadi ruang bagi debat
publik yang bebas. Masyarakat sipil yang demikian lebih
dari sebuah asosiasi, karena asosiasi biasanya
dipengaruhi oleh pasar atau negara. Akibatnya, anggota
masyarakat sipil memiliki kepentingan yang beragam,
yang pada akhirnya dapat dipertahankan.16

2.2.

Relasi OMS dengan Partai Politik

Istilah relasi (linkage) adalah serangkaian


hubungan atau koneksi yang biasanya berkonotasi
dengan istilah interaksi antar elemen yang
berhubungan atau berkorelasi satu sama lain. Proses
hubungan ini diindikasikan dengan pola yang beragam
seperti saling ketergantungan (interdependency),
penetrasi, intervensi, integrasi, dan sebagainya. Bila
merujuk lebih jauh, banyak studi politik yang
menggunakan istilah linkage untuk menggambarkan
inter-koneksi warga dengan proses pembuatan keputusan
16

Lester M. Salamon & Helmut K. Anheier, Social Origins


for Civil Society Explaining The Non-Profit Sector Cross
Nationality, Working Paper, The John Hopkins University, Institute
for Policy Studies, 1996

18

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dalam proses kebijakan publik; hubungan antar warga


negara yang aktif secara politik dengan para politisinya
atau pejabat publiknya. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya, istilah linkage juga banyak digunakan
oleh studi politik yang berusaha menggambarkan peran
aktor inter-mediari, terutama partai politik dalam
mengembangkan linkage.17
Meskipun studi-studi political linkage tidak
memiliki pemahaman tunggal dan jelas tentang apa
sebenarnya yang mereka maksud dengan linkage, Robert
Teigrob berusaha memberikan kesimpulan tentang apa
yang dimaksud dengan linkage, yaitu:18
suatu bentuk hubungan/ikatan/koneksi yang
terjadi diantara warga negara secara individual,
organisasi
sosial,
dan
sistem
politik.
Hubungan/ikatan/koneksi tersebut, utamanya
bersifat organisasional sebagaimana baik secara
formal maupun informal diantara organisasiorganisasi sosial dan organisasi politik. Istilah
linkage juga mengacu pada perasaan
keterikatan individu yang bersifat lebih subyektif
dengan organisasi-organisasi yang ada di sistem
politik..
17

Kay Lawson & David Clark, Political Parties and Linkage:


A Comparative Perspective, Oxford: Oxford Universities, 2009,
hlm. 129
18
Robert Teigrob, The Politics of Linkage: Power,
Interdependence, and Ideas in Canada-US Relations, Canadian
Public Policy Volume 37 Number 1, Maret 2011

19

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Di sisi lain, terdapat tiga pemikiran tentang


konsep relasi OMS dengan partai politik; pertama, harus
ada garis tegas antara OMS dengan pemerintah, kedua,
posisi OMS adalah oposisi abadi terhadap pemerintah
dan atau partai politik, dan ketiga, relasi antara OMS dan
pemerintahan atau partai politik adalah sebuah
kebutuhan.
Pakar politik memahami komponen relasi dalam
empat garis pembatas yang terdiri dari tumpang tindih
kepengurusan, posisi keberadaan OMS, kepentingan atau
manfaat, dan pengaruh. Maksud dari tumpang tindih
kepengurusan dalam hal ini ialah keterlibatan individu
OMS di dua ranah yang berbeda; OMS dan partai
politik. Hal ini menunjukan masih lemahnya aturan baku
atau kode etik yang berlaku di internal OMS itu sendiri.
Selain itu, relasi politik dapat dilihat dari struktur
serta visi dan misi OMS, dan juga asal usul terbentuknya
OMS. Jika sebuah OMS didirikan oleh partai politik
tertentu, maka ia akan menjadi bagian dari partai politik
tersebutsehingga kerja-kerja OMS tersebut bertujuan
untuk kepentingan partai politiknya. Dengan demikian,
segala kebutuhan operasional OMS ini akan didukung
oleh partai politik tersebut.
Sementara itu, relasi politik juga dapat terbangun
karena keaktifan pengurus partai politik di OMS secara
kelembagaan. Relasi personal ini dapat terbentuk secara
20

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

langsung, dimana pengurus partai politik merangkap


sebagai pengurus OMS. Hal ini tentunya akan menjadi
faktor yang dapat mempengaruh iindependensi OMS.
Sebagaimana disampaikan oleh Fuad Mardhatillah
bahwa semakin besar pengaruh seseorang maka semakin
kuat tingkat keberhasilan meraih kepentingan yang
menjadi target dari pengaruhnya.19
Sementara Kay Lawson, seperti dikutip oleh
Alistair Clark, menegaskan bahwa terdapat beberapa
bentuk atau tipologi political linkages yang ada dalam
praktik relasi dengan politik. Pertama participatory
linkage, di mana posisi OMS ataupun partai politik
berperan sebagai arena atau agen yang bekerja secara
bersama-sama untuk kepentingan publik di bawah
kerangka independensi dan profesionalitasnya masingmasing. Kedua electoral linkage, yaitu bentuk relasi
dimana para pemimpin partai politik mengontrol seluruh
elemen dalam proses elektoral dengan memanfaatkan
potensi yang dimiliki oleh OMS. Ketiga policy
responsive linkage, yaitu ketika partai politik berperan
sebagai agen yang memastikan pemerintah responsif
terhadap pemilihnya atau mewakili suara rakyat dalam
urusan publik. Keempat representative linkage, yaitu
ketika pola hubungan yang ada berhasil memastikan
19

Wawancara dengan Fuad Mardhatillah, Akademisi UIN


Ar-Raniry, 10 September 2013

21

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

keterwakilan baik dalam konteks electoral maupun


kebijakan secara lebih luas. Kelima clientelistic
linkage,di mana partai politik bertindak sebagai saluran
berbagai keuntungan dengan imbal balik loyalitas dan
dukungan suara. Keenam directive linkage, yang
terbangun jika pengurus partai politik selalu berusaha
memastikan dan mengontrol perilaku warga dengan cara
koersif dan dominatif. Ketujuh organisational linkage,di
mana terjadi pertukaran antara elit partai politik dengan
organisasi yang memobilisasi atau memastikan
dukungan organisasi mereka terhadap partai politik.
Kedelapan directive linkage melalui sosialisasi,
pendidikan, dan kaderisasi politik.20
Sementara itu, Sutoro Eko membagi relasi OMS
dengan partai politik menjadi tujuh bentuk, yaitu:21
1) Relasi Partisipatif
Relasi partisipatif dianggap sebagai relasi yang
paling ideal, dimana partai politik merupakan
representasi dari berbagai organisasi masyarakat,
dan masyarakat dilibatkan dalam proses politik yang
diusung oleh partai politik. Di sini terdapat
20

Dr. Alistair Clark, Political Parties in the UK, United


Kingdom: Palgrave Macmillan, 2012
20
Sutoro Eko, Pelajaran dari Aceh: Masyarakat Sipil
Mendemokrasikan Daerah, Jakarta: Yappika, 2009

22

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

koherensi antara gerakan sosial yang dimainkan oleh


OMS dengan gerakan politik yang dimainkan oleh
partai politik untuk mencapai visi politik kolektif
mereka.
2) Relasi Klientalistik
Relasi klientalistik merupakan relasi yang terbentuk
untuk mendapatkan keuntungan bersama. Dalam
relasi ini, OMS menjadi mesin politik yang
memperoleh keuntungan ekonomis dari partai
politik, misalnya melalui proyek-proyek pemerintah
yang dikelola oleh partai politik.
3) Relasi Programatik
Relasi programatik adalah relasi dalam bentuk
hubungan erat antara OMS dengan partai diikat
dengan kesamaan dan komitmen ideologi maupun
program. Dalam konteks ini relasi terbangun karena
adanya kesamaan program yang dilakukan oleh
partai politik dengan program yang dimiliki oleh
sebuah organisasi sipil.
4) Relasi Personal
Relasi personal adalah relasi antara tokoh partai
politik tertentu yang mempunyai pengaruh terhadap
personal dari organisasi sipil, yang kemudian
menyebabkan dukungan organisasi sipil kepada
organisasi politik. Di sini OMS hadir sebagai
pendukung setia partai politik karena diikat dengan
tali kharismatik dari tokoh partai politik.
23

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Begitupun sebaliknya, relasi partai politik dengan


organisasi sipil terbentuk karena adanya tokoh
kharismatik pada organisasi sipil yang kemudian
membuat personal dipartai politik mendukung
organisasi sipil tersebut.
5) Relasi Pasar
Relasi ini merupakan relasi jangka pendek antara
OMS dengan partai politik yang terbangun karena
kecocokan isu yang diusung oleh partai politik
dengan isu yang diperjuangkan oleh OMS. Di sini
terjadi pertemuan antara permintaan dan penawaran
antara partai politik dan OMS.
6) Relasi Parokhial
Bentuk ini hampir sama dengan relasi personal.
Dalam hal ini, hubungan antara OMS dengan partai
politik terjalin dengan erat karena kesamaan agama,
suku, daerah, golongan, aliran, dll.
7) Relasi Oposisional
Relasi operasional ini sama dengan relasi yang
diperkenalkan oleh Karl Marx, yaitu relasi negatif.
Dalam kontek ini OMS tidak percaya pada partai
politik dan cenderung menjadi anti terhadap partai
politik. Sehingga relasi yang terbentuk adalah relasi
yang bertentangan atau berseberangan. Istilah lain
yang digunakan adalah menjadi oposan terhadap
partai politik. Ini salah satu bentuk broken linkage
antara OMS dengan partai politik. OMS sangat
24

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

independen dan bekerja di ranah gerakan sosial,


tetapi terputus dengan ranah gerakan politik yang
dibawa oleh partai politik. Dalam bahasa DEMOS,
OMS hanya bergerak di ranah tradisional sehingga
hadir sebagai demokrat mengambang, yang tidak
punya akar kuat di grass roots dan tidak punya
kaitan ke atas (cantolan) yang kuat.
Sutoro kemudian merumuskan kategori/tipe relasi
OMS dengan partai politik yang lebih spesifik, yaitu:
1)
Integrasi/korporatis
Integrasi atau korporasi yaitu OMS menjadi
partisan, menjadi alat/basis/mesin partai politik
untuk dimanfaatkan atau dibentuk oleh partai
politik. OMS digunakan untuk kaderisasi maupun
untuk menjalankan program/ideologi partai politik,
termasuk program pemberdayaan masyarakat dan
pendidikan politik. Di Amerika Serikat misalnya,
(National Democratic Institute (NDI) merupakan
LSM sayap Partai Demokrat, sementara
International Republican Institute (IRI) bekerja
untuk Partai Republik. Di Jerman, KonradAdenauer (KAS) adalah sayap Partai Christian,
Friedrich Ebert Stiftung (FES) adalah sayap Partai
Sosialis, dan Friedrich Nauman FNS sayap Partai
Liberal.
2)
Kolaborasi/aliansi/partisipatoris
25

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

3)

4)

Relasi kolaborasi atau aliansi alias partisipatory


adalah relasi yang dibangun oleh OMS bersifat
nonpartisan dan independen. Bentuk relasi ini
menjadikan posisi organisasi sipil sebagai
intrumen gerakan sosial untuk melakukan berbagai
advokasi kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
Klientelistik
Klientalistik disini dimaksudkan posisi antara
OMS dan partai politik terjalin dengan erat dan
dekat. Relasi ini juga terbentuk karena hubungan
personal maupun parokhial dan terjadi pertukaran
ekonomi-politik yang saling menguntungkan,
dimana OMS memperoleh keuntungan secara nilai
ekonomis, sementara partai politik meraih
keuntungan dukungan secara politik. Contohnya,
OMS menggunakan dana aspirasi untuk bekerja
bagi kepentingan partai politik yang memberikan
dana aspirasi tersebut.
Oposisi/Konfrontasi.
Relasi oposisi atau disebut juga relasi konfrontasi
adalah relasi antara OMS dengan partai politik
yang saling bertentangan satu sama lain. OMS
mengambil sikap non-partisan dan independen
secara organisasi serta cenderung menunjukkan
perlawanan terhadap partai politik. Sikap ini
didasarkan kepada kenyakinan bahwa partai politik

26

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dianggap cenderung korup, tidak amanah,


melakukan kejahatan terhadap rakyat, dsb.
Gambar 1: Tipologi Relasi Politik

DEPENDEN

KLIENTELISTIK

KORPORATIS

Status quo
Dominasi
Kartel
Oligarki

OPOSISI

PARTICIPATORY

INDEPENDEN

Perubahan
Demokrasi
Reformasi
Kesejahteraan

Gambar di atas menunjukkan teori spektrum yang


menggambarkan relasi politik antara OMS dengan partai
politik. Lebih jauh gambar ini memperlihatkan bahwa
semakin ke kanan posisi OMS maka semakin positif
posisi OMS tersebut. Nilai positif ini ditunjukkan dengan
semakin independen, dan berorientasi kepada perubahan,
penegakan demokrasi, reformasi dan membangun
kesejahteraan. Sebaliknya, semakin ke kiri maka posisi
OMS semakin negatif dan bersifat dependen atau
ketergantungan terhadap elemen lain. Selain itu dengan
ketergantungannya itu akan melahirkan sikap-sikap
negatif lainnya seperti status quo, dominasi, kartel dan
cenderung oligarkhi.

27

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

PERKEMBANGAN ORGANISASI
MASYARAKAT SIPIL (OMS)
DI ACEH

Perkembangan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di


Aceh tidak terlepas dari dinamika politik yang
berkembang. Sejak tahun 1976 sampai 1998
perkembangan OMS dalam bentuk LSM relatif tidak
berkembang, kecuali dalam bentuk organisasi
perkumpulan maupun organisasi massa seperti
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Perkembangan
yang sangat progresif terjadi ketika adanya transformasi
politik di Indonesia dari orde lama ke orde reformasi, di
mana sejumlah organisasi massa tumbuh dengan
perlahan. Meskipun demikian, OMS tersebut lebih fokus
28

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pada isu-isu demokrasi, penegakan HAM, keadilan dan


kebebasan. Sejak tsunami menimpa Aceh pada tanggal
26 Desember 2004, LSM berkembang dengan pesat.
Ratusan OMS tumbuh dan bekerja untuk isu-isu
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh paska tsunami.
Namun, eksistensi OMS merosot tajam setelah
berakhirnya masa pembangunan paska tsunami pada
tahun 2009, sehingga banyak aktivis OMS yang
kemudian terjun ke dalam partai politik dan menjadi
calon legislatif (Caleg).

3.1.

Sejarah Pembentukan OMS

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) atau dikenal


juga dengan Organisasi Non Pemerintah (ORNOP)
sebenarnya sudah ada sebelum adanya negara Republik
Indonesia (RI). OMS ini dibentuk untuk membangun
konsolidasi gerakan dalam melawan penjajahan Belanda
dan Jepang.
Namun demikian, saat itu belum ada klasifikasi
OMS seperti yang berkembang saat ini berdasarkan
bentuk dan variannya. Sementara, di Aceh sendiri
sejarah pembentukan OMS sudah ada sejak berdirinya
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada tanggal 5
Mei 1939 yang diinisiasi oleh Teungku Daud Beureueh
dan para ulama Aceh lainnya.

29

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gerakan OMS dalam perspektif negara modern di


Aceh dibentuk pada tahun 1974 dengan didirikannya
satu ORNOP yang merupakan cabang dari Jakarta, yaitu
Yayasan Badan Koordinasi Pengembangan Sosial
Masyarakat (YAPSM), kemudian ditandai juga dengan
hadirnya Save The Children pada tahun 1976 yang fokus
pada kegiatan pengembangan masyarakat, khususnya
pendidikan bagi anak-anak.
Pada tahun 1980-an perkembangan OMS mulai
menggeliat, khususnya OMS dalam bentuk Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Salah satu LSM yang
berdiri saat itu adalah Yadesa dan Citra Desa Indonesia
(CDI) yang bergerak dibidang lingkungan. Lalu tumbuh
LSM yang mengusung isu-isu perempuan, yaitu Yayasan
Flower Aceh.
Terbentuknya Forum LSM Aceh pada tahun 1990
juga menjadi inspirasi terhadap lahirnya berbagai OMS
lainnya di Aceh. Beberapa OMS yang dibentuk saat itu
lahir atas inisiasi dari beberapa kalangan yang
memahami betapa pentingnya peran OMS dalam
membangun demokrasi, social dan kesejahteraan bagi
rakyat. Data dari Forum LSM Aceh menunjukkan bahwa
68 LSM telah bergabung dalam Forum LSM Aceh.
Selain itu, berbagai yayasan yang juga terbentuk sejak
tahun 1990-an merupakan bagian dari pertumbuhan

30

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

OMS di Aceh.22 Tahun 2000 - 2005 menjadi puncak


pertumbuhan OMS di Aceh, yang umumnya bekerja
untuk agenda bersama yaitu melawan operasi militer di
Aceh, serta mendorong terbukanya ruang demokrasi. Di
samping itu yang paling dominan adalah keinginan
untuk terlibat secara langsung maupun tidak langsung
dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh paska
tsunami 2004. Pertumbuhan OMS di Aceh juga
dipelopori oleh berbagai elemen masyarakat, baik dari
kalangan akademisi, pemuda, masyarakat paguyuban,
kelompok agama, maupun kelompok perempuan.
Selain terbentuknya Forum LSM Aceh, beberapa
komunitas juga membentuk aliansi baru, seperti Walhi,
The Aceh Institute, Kelompok Kerja Transformasi
Gender Aceh (KKTGA), Sulh: Jaringan Informasi dan
Pemberdayaan Rakyat, Koalisi NGO HAM, Acehnese
Civil Society Task Force (ACSTF), Gerakan Anti
Korupsi (Gerak) Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh
(MaTA), Cordova, Katahati Institute, (Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Aceh, KontraS Aceh, Center for
Community Development and Education (CCDE),
Yayasan Pengembangan Wanita, Lembaga Ikatan
Pemuda Gayo Antara, dan lain-lain.

22

Forum LSM Aceh, Database Anggota Forum LSM Aceh,

2013

31

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Lembaga-lembaga tersebut tumbuh seiring


dengan dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM)
di Aceh pada tahun 1998 oleh Pemerintah RI.
Penghentian operasi militer secara massif ini juga
membuka ruang bagi organisasi sipil untuk menggugat
terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama 30
tahun lamanya di Aceh. Berbagai LSM dan organisasi
buffer aksi pada saat itu pada umumnya bekerja untuk
isu-isu penegakan HAM, demokrasi dan hak-hak sipil
khususnya hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Salah satu organisasi buffer aksi yang sangat
kritis saat itu adalah Solidaritas Mahasiswa Untuk
Rakyat (SMUR). Sebagaimana disampaikan oleh
Tarmizi23, paska lengsernya Soeharto, gerakan reformasi
menjalar sampai ke Aceh hingga tumbuh berbagai
gerakan sipil yang kritis terhadap kebijakan pemerintah
yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, salah
satunya adalah praktek pemerkosaan terhadap
perempuan-perempuan Aceh oleh pihak militer selama
DOM diberlakukan di Aceh.
Selain SMUR juga muncul beberapa buffer aksi
mahasiswa lainnya, seperti Koalisai Aksi Reformasi
Mahasiswa Aceh (KARMA) yang merupakan
perkumpulan gerakan senat mahasiswa se-Aceh, dan
23

Tarmizi adalah aktivisi SMUR dan pendiri LSM Aceh


People Forum (APF) dan sekarang menjadi salah satu Caleg DPRA
dari Partai Nasional Aceh (PNA) untuk Pemilu Legislatif 2014

32

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

juga Farmi-DIA (Forum Aksi Reformasi Mahasiswa


Islam Daerah Istimewa Aceh) yaitu kelompok
mahasiswa yang mendorong lahirnya ruang demokrasi di
Aceh serta mendukung pencabutan dwi fungsi ABRI di
Indonesia. Selain itu terdapat kelompok mahasiswa
lainnya yang tergabung dalam Aksi Mahasiswa Islam
untuk Reformasi (AMIR), Forum Koetaradja (Forkoet)
(Forum Komunikasi Gerakan Mahasiswa dan Pemuda
Pidie (FOKUSGAMPI), Koalisi Gerakan Mahasiswa dan
Pemuda Aceh Barat (KAGEMPAR), Kesatuan Aksi
Mahasiswa Aceh Utara (KAMAUT), Ikatan Mahasiswa,
Pemuda dan Pelajar Aceh Timur (IPPAT), Wahana
Komunikasi Mahasiswa Aceh Selatan (WAKAMPAS),
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam
Indonesia (PII), Rabithah Thaliban Aceh (RTA),
Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Forum
Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh (FoPKRA), Komite
Mahasiswa Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN), dan
juga ormas yang relatif status qou seperti Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah. Secara umum, organisasi di
atas menjadi frontline dalam menyuarakan penegakan
HAM, pembentukkan ruang demokrasi, pencabutan
operasi militer, dan mewujudkan keadilan di Aceh.
Menurut Fazloen Hasan, artikulasi dari gerakan
mahasiswa ini mempunyai peran yang sangat strategis
dalam mempengaruhi konstalasi sosial, politik, stabilitas
keamanan dan juga pembangunan di Aceh. Secara lebih
33

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

khusus, gerakan progresif mahasiswa ini tidak hanya


mendukung gerakan reformasi di Indonesia, namun juga
menuntut agar Aceh dibebaskan dari berbagai bentuk
operasi militer lainnya.24
Disisi lain, berbagai kampanye di dunia
internasional oleh para mahasiswa dan LSM yang
concern terhadap isu-isu pelanggaran HAM di Aceh
dianggap sebagai ancaman oleh pihak keamanan dan
pemerintah Jakarta. Berbagai dinamika muncul untuk
menentukan sikap saat itu, termasuk Gubernur Aceh
Prof.Dr.Syamsuddin Mahmud yang mengusulkan agar
Aceh menjadi negara bagian RI dalam bentuk federal.25
Namun pada akhirnya diputuskan bahwa harus ada
mekanisme penentuan status Aceh yaitu melalui
mekanisme referendum. Tuntutan refendum ini
mengemuka pada saat dilakukannya Kongres Mahasiswa
Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) pada tanggal 31
Januari - 4 Februari 1999 yang telah melahirkan satu
rekomendasi yaitu persoalan ini harus ditempuh melalui
jalur referendum di mana rakyat diberi kebebasan untuk
memilih apakah tetap bergabung atau pisah dari NKRI.
24

Fazloen Hasan, Gerakan Mahasiswa 1998 dan


Penyelamatan MoU Helsinki untuk Damai Aceh, The Globe Journal,
22 Agustus 2013
25
M. Alkaf, Pasang Surut Gerakan Politik di Aceh (Studi
Kasus Power Movement Referendum Aceh 1998-1999), Tesis (tidak
dipublikasi), 2012

34

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Untuk menggalang dukungan nasional dan internasional


terhadap ide referendum ini dibentuklah Sentral
Informasi Referendum Aceh (SIRA).
Disisi lain, gerakan aktivis GAM semakin kuat,
dimana pemuda-pemuda desa banyak yang bergabung
dengan GAM dan ikut berbagai latihan di pengunungan
Aceh. Kondisi ini kemudian direspon oleh Pemerintah
Indonesia dengan melakukan berbagai operasi-operasi
terbatas, seperti operasi rencong, operasi Ahmad
Kandang, dll. Namun disisi lain, Gusdur juga
meletakkan dasar-dasar perdamaian melalui jalur
diplomasi. Salah satunya melalui peran HDC (Hendry
Dunart Centre), salah satu LSM Internasional yang
berbasis di Genewa Swiss. Peran HDC sebagai mediator
antara pemerintah Indonesia dan GAM menjadi cikal
bakal lahirnya proses perdamaian di Aceh. Meskipun
HDC kemudian gagal mewujudkan perdamaian, karena
pada pertengah Mei 2003 pemerintah Indonesia
mengumumkan bahwa penyelesaian Aceh harus
diselesai melalui jalur operasi militer, bukan dialog.
Sehingga seluruh perunding GAM ditangkap serta
diberlakukannya status Darurat Militer di Aceh. Namun
demikian, setidaknya sejak tahun 2001 sampai 2002
sudah pernah diwujudkan jeda damai dan genjatan
senjata (Cessation of Hostalities) diantara kedua pihak.
Operasi militer di bawah keppres presiden No.28
tahun 2003 tentang Penetapan Darurat Militer di Aceh
35

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

yang ditanda tangani oleh Presiden Megawati telah


memberikan legitimasi kepada militer untuk melakukan
penumpasan terhadap aktivis GAM. Militer juga diberi
kewenangan untuk mengontrol fungsi administrasi sipil
serta membatasi gerakan organisasi sipil. Seluruh rapat
baik terbuka maupun tertutup yang dilakukan oleh OMS
harus mendapatkan izin dari penguasa militer, begitu
juga dengan segal program-program yang dilakukan oleh
masyarakat sipil harus mendapat izin serta melaporkan
hasil rapatnya kepada militer.
Penerapan darurat militer ini juga mempunyai
dampak langsung terhadap gerakan sipil saat itu.
Beberapa aktivis gerakan sipil ditangkap oleh militer,
dan sebagian lainnya hilang tak diketahui sampai
sekarang. Sementara itu SIRA di bawah kepemimpinan
Muhammad Nazar, S.Ag menyatakan bahwa seluruh
aktivis mahasiswa dan pemuda, khususnya yang
bergabung dalam SIRA bergabung dengan GAM. Hal
ini seperti dikatakan oleh Faisal Ridha, salah satu
presedium SIRA saat itu yang dikutip oleh M.Alkaf
bahwa SIRA dan GAM merasa mempunyai kesamaan
visi dalam gerakan yaitu memerdekakan Aceh dari
penindasan, ketidakadilan dan juga karena alasan historis

36

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

bahwa Aceh pernah menjadi negara kerajaan yang


berdaulat.26
Meskipun pada awalnya GAM tidak menerima
tuntutan referendum yang diperjuangan oleh masyarakat
sipil Aceh saat itu, namun setelah dijelaskan bahwa
Aceh akan menjadi Timor Leste kedua yaitu merdeka
dari Indonesia, dan pilihan referendum lebih
konstitusional serta
mendapat
dukungan
dari
internasional, maka kemudian GAM mendukung
gerakan referendum yang dilaksanakan oleh gerakan
sipil ini.
Upaya ini mendapat tantangan yang besar dari
TNI/Polri, sehingga sejumlah aktivis sipil di tangkap
oleh TNI/Polri termasuk ketua SIRA Muhammad Nazar,
S.Ag, dan lainnya menyelamatkan diri dengan naik
gunung bersama pasukan GAM, atau keluar dari Aceh
seperti ke Jakarta, Bandung, Jogya, Malaysia bahkan
sebagian lain ke Amerika dan Eropa untuk mencari
suaka politik.
Fase ini merupakan fase anti-klimak terhadap
gerakan sipil di Aceh, sekaligus masa terbentuknya
konsepsi untuk tidak membangun relasi dengan simbolsimbol pemerintahan Indonesia, termasuk partai politik
yang ada di Aceh. Tidak sedikit OMS yang melakukan
26

M. Alkaf, Pasang Surut Gerakan Politik di Aceh, Tesis


(tidak dipublikasi), 2012

37

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

upaya untuk memboikot pemilu pada Juli 2004 karena


dianggap bagian dari upaya memperpanjang identitas
demokrasi Indonesia di Aceh.
Kondisi ini muncul karena proses politik tersebut
membuktikan bahwa demokrasi hanya menjadi
legitimasi bagi penguasa untuk terus berkuasa dan
melahirkan berbagai kebijakan yang menindas rakyat,27
disamping mereka yakin bahwa proses demokrasi yang
dijalankan di bawah bayang-bayang operasi militer tidak
akan melahirkan prinsip-prinsip demokrasi yang jujur,
aman, bebas dan rahasia. Apalagi kemudian seperti
diakui oleh TAF Haikal, penguasa darurat militer
Mayjen TNI Endang Suwarya ketika itu menyatakan
akan memaksa masyarakat untuk memilih ke TPS agar
pemilu di Aceh sukses, dan internasional tidak lagi
melihat Aceh bermasalah secara politik. 28

3.1.1. Fase Paska Gempa dan Tsunami


Gempa dan gelombang tsunami yang menimpa
provinsi Aceh 2004 telah menyebabkan 150.000 orang
dinyatakan meninggal, 37.000 hilang, 700.000 orang

27

Andi Widjajanto, dkk., Transnasionalisasi Masyarakat


Sipil, Jogjakarta: LkiS, 2007, hlm. 132
28
Wawancara dengan TAF Haikal, mantan Sekjen Forum
LSM Aceh, November 2013

38

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

kehilangan tempat tinggal dan kehancuran ekonomi


diperkirakan mencapai 5 milyar US dollar.29
Merespon bencana yang sangat dasyat tersebut,
berbagai negara dan LSM internasional memberikan
sejumlah bantuan untuk memulihkan kembali korban
dan pembangunan di Aceh. Pembangunan kembali Aceh
paska tsunami juga tercatat sebagai pembangunan
terbesar di dunia pada abad ini. Berbagai negara donor
dan ribuan NGO Internasional dan Nasional serta para
relawan dari seluruh dunia baha membahu menolong
korban tsunami dan membangun kembali berbagai
infrastruktur.
Hal ini juga mendorong tumbuhnya organisasi
masyarakat sipil, khususnya LSM di Aceh yang bekerja
untuk isu-isu recovery gempa dan tsunami, dan
umumnya organisasi yang bekerja tidak teregistrasi baik
di UN OCHA maupun di BRR sebagai lembaga khusus
pemerintah RI untuk pemulihan bencana Gempa dan
Tsunami Aceh dan Nias.

29

Azwan Hasan, People to People, An Alternative Way of


Delivering Humanitarian Aid, Humanitarian Practice Network,
Desember 2005

39

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gambar 2: Jumlah OMS dan Partai Politik

Sumber: Teuku Ardiansyah, 2011

Data di atas menunjukkan perkembangan OMS


khususnya LSM sangat pesat ketika Aceh dilanda
bencana gempa dan tsunami. Sebelum tsunami hanya
berjumlah 189 LSM namun berubah menjadi 600 LSM
paska tsunami. Sebaliknya setelah program tsunami
berakhir, jumlah LSM mengalami penurunan yang
sangat drastis, bahkan lebih dari 100% menyusut dan
hanya tinggal 80 LSM.
Sementara data di Kesbangpol dan Linmas
Provinsi Aceh tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat
67 Ormas, 8 Yayasan, 8 Lembaga Profesi, serta 39
perhimpunan yang sudah terdaftar dan sudah memiliki
SKT (Surat Keterangan Terdaftar) di lembaga Kesbanpol

40

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dan Linmas diwilayah hukum masing-masing didomisi


oleh lembaga/ yayasan/ perkumpulan tersebut. Namun
secara umum direktur ICAIOS Dr.Saiful Mahdi
menyatakan bahwa jumlah OMS di Aceh diperkirakan
lebih dari 9.870 dan 700 diantaranya adalah Lembaga
Swadaya Masyarakat. Sementara jumlah yayasan juga
lebih dari 1000 yayasan dalam berbagai bidang kerja30
Sementara menurut Afrizal Tjoetra, pertumbuhan
LSM lokal saat itu dapat dipahami karena beberapa LSM
internasional membutuhkan mitra lokal yang lebih
paham sosial budaya masyarakat lokal. Selain itu juga
trend kerja di LSM relatif mempunyai pendapatan yang
lebih
tinggi
dibandingkan
menjadi pengawai
31
pemerintahan(PNS).
Lebih jauh ia menjelaskan setelah proses
rehabilitasi dan rekonstruksi dinyatakan selesai pada
tahun 2009 dan ditandai dengan ditutupnya berbagai
kegiatan BRR di Aceh, yang diikuti oleh berbagai NGO
internasional dan negara donor lainnya, maka seiring itu
pula ratusan LSM lokal harus gulung tikar karena
kekurangan dukungan secara financial, ketika dana
milyaran dollar US dilimpahkan ke Aceh maka
30

Saiful Mahdi, LSM di Aceh Dianggap Kurang


Professional,
dikutip
dari
Afifuddin
Acal,
2012,
http://theglobejournal.com/sosial/lsm-di-aceh-dianggap-kurangprofesional/index.php
31
Wawancara dengan Afrizal Tjoetra, 15 November 2013

41

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pertumbuhan LSM lokal juga berbanding lurus dengan


banyaknya dana tersebut, sebaliknya ketika pemerintah
Indonesia dan juga LSM internasional menutup
programnya di Aceh, maka itu juga berimbas pada LSM
lokal, hanya beberapa saja yang masih tetap menjalankan
aktivitas LSMnya, seperti Forum LSM Aceh, The Aceh
Institute, Koalisi NGO HAM, Gerak Aceh, Masyarakat
Transparansi Aceh, KontraS Aceh, LBH Aceh, ASCTF
dan beberapa yang lainnya.
3.1.2. Paska MoU Helsinki dan UUPA
Sejak tahun 2005 sampai 2009, ratusan bahkan
ribuan OMS lokal terbentuk di Aceh. Namun seperti
disebutkan di atas yaitu bertujuan untuk program
tsunami. Pembentukan OMS ini juga tidak terlepas dari
banyaknya dana untuk program rebah-rekons Aceh.
Beberapa LSM internasional membutuhkan mitra lokal
untuk menjalankan programnya, demikian juga
pembentukan OMS lokal ini akan memberikan
kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan
pekerjaan.
Pada fase ini relasi OMS di Aceh dengan negara
asing dan LSM asing begitu dekat, dan menjadi mitra
dalam merealisasikan berbagai program pembangunan
kembali Aceh. Sebaliknya relasi antara OMS lokal
sendiri dengan pemerintah relatif kecil, dan cenderung
OMS dalam bentuk perkumpulan atau koperasi.
42

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Setelah proses rehab dan rekons berakhir pada


tahun 2009 beberapa aktivis OMS melakukan
metamorposis orientasi gerakan dari gerakan sipil ke
gerakan politik, khususnya politik lokal. Sebagaimana
diketahui bahwa pemilu legislatif pertama paska
perjanjian damai di Aceh dilakukan pada tahun 2009,
dan sejumlah partai lokal mendaftar diri ke kementerian
Hukum dan HAM kantor wilayah Aceh. Beberapa partai
lokal yang lolos verfifikasi mengikuti pemilu tahun 2009
antara lain: (1) Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), (2)
Partai Daulat Aceh (PDA), (3) Partai Suara Independent
Rakyat Aceh (SIRA), (4) Partai Rakyat Aceh (PRA), (5)
Partai Aceh (PA), dan (6) Partai Bersatu Aceh (PBA).
Dari sekian partai lokal tersebut, terdapat
beberapa aktivis OMS yang ikut menjadi pelopor dan
bagian dari terbentuknya partai politik yang berbasis
lokal tersebut, antara lain terdapat Ghazali Abas Adan,
yang mendirikan partai Paas dan merangkap sebagai
pembina pada ormas DDII (Dewan Dakwan Islam
Indonesia), sementara di Partai Daulat Aceh ada Tgk
Muhibusabri, Tgk.Ali Imran, Waled Husaini, dan
lainnya yang umumnya adalah aktivis dari Rabithah
Thaliban Aceh (RTA) dan Himpunan Ulama Dayah
Aceh (HUDA). Sedangkan di Partai SIRA terdapat
sejumlah nama seperti Teuku Banta Syahrizal yang juga
pernah menjabat sebagai program manager ACSTF, dan
juga Wiratmadinata yang ikut melahirkan PRA. Begitu
43

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

juga halnya dengan beberapa aktivis KontraS Aceh yang


mendukung pembentukan Partai Aceh (PA) seperti
Kausar, Hendra Fadli, serta tokoh sipil Humam Hamid
yang mendirikan PBA.
Disamping partai lokal juga terdapat beberapa
tokoh OMS yang bergabung dengan partai nasional,
seperti TAF Haikal yang bergabung dengan PAN pada
pemilu 2009, dan Akhiruddin Mahjuddin bergabung
dengan partai demokrat, Hendra Budian dengan Partai
Golkar dan beberapa aktivisi gerakan sipil lainnya.
Proses transformasi beberapa aktivis OMS ke
partai politik juga tidak terlepas dari upaya untuk
merebut parlemen dan posisi-posisi strategis dalam
upaya mengambil jabatan-jabatan publik. Seperti halnya
trend yang berkembang di Indonesia paska reformasi,
dimana sejumlah aktivis mahasiswa reformasi menjadi
pengurus partai politik dan juga menjadi anggota
parlemen. Beberapa contoh aktivis seperti Anas
Urbaningrum, Fahri Hamzah, Nasir Djamil, Budiman
Sujatmiko, dll.
Proses transformasi beberapa tokoh sentral dari
OMS ke partai politik juga secara tidak langsung
mempengaruhi eksistensi dari OMS tersebut, dimana
orientasi OMS tidak terlalu progresif lagi untuk
menentang berbagai kebijakan partai politik yang
dianggap kebijakannya tidak berorientasi kepada
kerakyatan. Setidaknya terdapat dua faktor yang
44

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

mempengaruhi hal ini, yaitu (1) faktor pengkaderan di


OMS tidak berjalan dengan baik, tidak reguler dan
terstruktur, hanya bersifat natural (alami) saja (2) faktor
ikatan emosional masih berdasarkan senioritas dan
junioritas, sehingga regenerasi dipersiapkan berdasarkan
faktor kedekatan, bukan berdasarkan kapasitas. Realitas
ini juga ikut mempengaruhi secara tidak langsung
terhadap regenerasi pengurus OMS selanjutnya.
Selain itu, perkembangan OMS paska MoU dan
UUPA yang terkait dengan program paska konflik,
umumnya dibentuk oleh personal yang mempunyai relasi
dengan Badan Reintegrasi Aceh. 32 Namun OMS yang
mendapatkan bantuan atau kerjasama dengan BRA ini
cenderung tidak dikenal public, dan keberadaannya
hanya temporer. Sehingga sulit untuk menginventarisir
jumlahnya secara pasti. Salah satu organisasi sipil yang
dekat dengan lembaga ini dalah ASG (Aceh Security
Group). Lembaga ini didirikan oleh sejumlah mantan
kombatan GAM, dan sering bekerja untuk mendata
korban konflik dan dijanjikan akan mendapatkan
bantuan rumah.

32

Badan Reintegrasi Aceh adalah lembaga non dinas yang


dibentuk melalui peraturan Gubernur No. 330/032/2006 yang
bertujuan untuk melakukan pembangunan terhadap rumah korban
konflik, membantu ekonomi eks-kombatan GAM, tahanan politik
dan masyarakat sipil yang menjadi korban konflik.

45

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

3.2.

Bentuk-Bentuk OMS

Sebagai organisasi sipil, OMS kemudian terbagi


dalam beberapa bentuk. Pembentukan model OMS ini
didasari kepada karakteristik, fungsi dan sifat organisasi
yang berbeda satu sama lainnya. Seperti disebutkan oleh
Larry Diamond, yang mengelaborasi OMS menjadi
beberapa karakter. Menurutnya masyarakat sipil
terepresentasi oleh berbagai jenis organisasi masyarakat
sipil (OMS) yang luas, seperti organisasi yang bergerak
dibidang isu politik, ekonomi, budaya, agama, etnik,
kelompok komunal, dan institusi serta asosiasi lain yang
mempertahankan hak kolektif, nilai, kepercayaan publik.
Kedua dari segi kepentingan, dimana kelompok yang
bertujuan memajukan atau melindungi kepentingan
anggotanya seperti perserikatan buruh, asosiasi
pensiunan, dan kelompok professional, dan ketiga dari
segi relasi dengan pembangunan, yaitu organisasi yang
mengumpulkan resource dan bakat individual untuk
memajukan infrastuktur, institusi dan kualitas kehidupan
masyarakat.33
Untuk konteks Indonesia, UU No.17 tahun 2013
tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) membagi
organisasi ke dalam dua bentuk, yaitu organisasi
33

Larry Diamond, Civil Society and Development of


Democracy, Working Paper, 2007.

46

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

berbadan hukum dan organisasi tidak berbadan hukum.


Organisasi berbadan hukum tersebut berupa (1) Yayasan
dan (2) Perkumpulan. Sementara organisasi tidak
berbadan hukum adalah organisasi yang proses
pendiriannya tidak didasarkan kepada keputusan Menteri
Hukum dan HAM, namun teregistrasi di Notaris dan
Kesbangpol dan Linmas masing-masing kabupaten/kota
tempat organisasi tersebut terbentuk.
Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) atau dikenal
juga dengan sebutan Civil Society Organization (CSO)
mempunyai berbagai bentuk dan jenis. Secara umum
OMS ini merupakan lembaga non-profit yang
digerakkan oleh sejumlah sukarelawan, baik berskala
lokal, nasional maupun internasional. Begitu juga bentuk
organisasinya, baik dalam bentuk perkumpulan, yayasan,
lembaga dan juga perhimpunan massa. OMS juga
terlihat dalam berbagai dinamika, dari yang menerapkan
sistem demokratis, sampai otokratis. Sementara dari segi
isu, mulai dari isu kemanusian, lingkungan,
perlindungan satwa, agama sampai isu anti-agama
sekalipun.34

34

Farah Monika,. Bentuk Organisasi Masyarakat Sipil dan


Tantangan Global, Resensi Artikel karya Helmut Anhier dan Nuno
Themudo, diterbitkan oleh Jurnal CIVIC, Jakarta: Fisip UI, 2003.

47

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Lebih lanjut, Helmut & Salamon menyatakan


terdapat beberapa bentuk OMS yang ada, antara lain: 35
1)
Network form, yaitu OMS yang berbentuk
jaringan-jaringan yang muncul ketika afiliasiafiliasi nasional dari International Non-Goverment
Organization (INGO) meningkatkan kerjasama dan
koordinasi dalam kegiatan kegiatan lintas negara,
sekaligus membuka jaringan organisasi yang
mengangkat isu tertentu, seperti isu global
warming, lingkungan, dst.
2)
Special Form, dimana OMS ini mempunyai bentuk
khusus dan mempunyai agenda yang khusus pula,
seperti bentuk Yayasan, lembaga donor, organisasi
keuangan, organisasi pendidikan dan pelatihan, dll.
Bentuk OMS ini berada diluar klasifikasi OMS
konvensional lainnya, dan jumlah bentuk oms ini
berkembang dari masa ke masa.
3)
Dependent Bodies, yaitu badan-badan atau
organisasi-organisasi yang bergantung pada
organisasi lain atau merupakan organisasi yang
tergantung kepada organisasi induknya, seperti
organisasi-organisasi Caritas Gereja.

35

Lester M.Salamon & Helmut K.Anheier, The Emerging


Non-Profit Sector, Manchester: Mancherter University Press, 1996.

48

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

4)

Lembaga non-konvensional yang terlibat dalam


berbagai isi baik yang aktif maupun yang tidak
aktif.

Selain itu, OMS juga terbentuk karena didasarkan


kepada kepentingan isu yang diusung dari terbentuknya
OMS tersebut. Ada beberapa faktor yang dianggap
sebagai penyebab munculnya berbagai bentuk organisasi
baru, yaitu:
1)
Berhubungan dengan lingkungan organisasi
dimana organisasi itu berada, lingkungan yang
lebih luas dimana OMS tersebut beroperasi, dan
mendorong OMS untuk memperluas diri.
Perluasan OMS dalam bentuk-bentuk baru, yaitu
spesial dan non-konvensional yang mencerminkan
adanya peningkatan carrying capacity istilah
yang merujuk kepada ukuran populasi organisasi
yang dapat didukung oleh sebuah lingkungan
dengan sumber daya yang ada.
2)
Berhubungan dengan ketidakleluasaan dalam
bentuk-bentuk organisasi yang telah ada,
memberikan fokus pada kendala dan dilema yang
dihadapi oleh OMS dalam lingkungannya, dan
mendorong OMS untuk melakukan berbagai
inovasi. Perluasan OMS dalam kerangka berbagai
bentuk untuk menyesuaikan dengan kebutuhan
perkembangan zaman
49

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Namun demikian, bentuk-bentuk OMS juga dapat


dikategorikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan
perspektif dan sudut panjang proses klasifikasi OMS
tersebut. Hal ini seperti ditulis oleh Sutoro dalam
pengantar buku Larry Daymond bahwa ada dua bentuk
atau tipologi organisasi, yakni mutualitas dan identitas
organisasional.36
Kedua kriteria tersebut dibuat rendah dan ringgi
yang kemudian menghasilkan empat model organisasi,
yang bisa digunakan sebagai kerangka kerja hubungan
antara OMS dengan pemerintah atau antara OMS dengan
lembaga lainnya, seperti donor, pemerintah ataupun
partai politik. Begitu juga ketika tingkat mutualisme
dibangun rendah, sementara identitas organisasi
ditonjolkan maka relasi itu disebut dengan relasi model
kontrak. Kemudian jika mutualisme rendah dan identitas
organisasi juga rendah maka akan terbangun hubungan
yang disebut sebagai perpanjangan tangan (extension).
Sementara kalau identitas organisasi rendah tetapi
mutualisme tinggi disebut sebagai organisasi kooptasi.
Kemudian terakhir model relasi kolaborasi atau
kemitraan, dimana dalam konsep ini OMS membangun

36

Larry Daymond, Developing Democracy


Consolidation, (Yogyakarta. IRE Press), 2003.

50

Toward

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

konsep mutualisme dan identitas organisasi yang samasama tinggi.37


Gambar 3: Tipologi Organisasi Masyarakat Sipil
Mutualitas

Tinggi

Rendah

Tinggi
Kontra

Kemitraan/
kolaborasi

Identitas
Organisasional
Perpanjangan

Kooptasi

Rendah

Sumber:

Jennifer Brinkerhoff, Government-Nonprofit


Partnership: A Defining Framework, 2002.

Gambar tersebut menjelaskan bahwa tipologi


OMS dapat dilihat dari empat indikator (1) kontrak, (2)
kepanjangan, (3) kemitraan, dan (4) kooptasi. Hubungan
kontrak menggambarkan semakin tinggi relasi
37

Sutoro, dkk. Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah,


Pembelajaran Penguatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil di
Aceh, Jakarta: Yappika, 2009

51

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

keuntungan baik secara politik, ekonomi maupun


ideologi dengan partai politik, maka semakin jelas
hilangnya identitas independensi organisasi. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh mutualisme. Sedangnya arti
indikator dari kepanjangan adalah posisi OMS dibentuk
oleh partai politik, sehingga kerja-kerja OMS menjadi
perpanjangan dari kerja-kerja partai politik. Istilah ini
sering disebut dengan relasi klientalistik. Sementara
relasi kemitraan/kelaborasi mencerminkan hubungan
timbal baik yang meletakkan relasi pada kepentingan
publik. Pola ini juga disebut dengan relasi partisipatory
dimana masing-masing organisasi baik OMS maunpun
parpol berdiri sesuai dengan core-nya masing-masing.
Terakhir pola relasi kooptasi. Pola ini menjadikan posisi
OMS sebagai pemanfaat fungsi OMS untuk kepentingan
partai politik dan OMS tidak menyadari proses
pemanfaatan itu, artinya OMS dikoptasi oleh
fungsionaris partai politik tertentu untuk bekerja bagi
kepentingan parpol tersebut.
Selain itu, bentuk OMS juga dipengaruhi dari
definisi OMS itu sendiri. Definisi tentang konsep
organisasi masyarakat sipil sangat bervariatif, tergantung
cara pandang kita mengartikulasikan dan memahami
OMS itu sendiri. Sehingga tidak bisa di ditarik satu
definisi tunggal. Ada pandangan yang mengatakan OMS
merupakan peristilahan umum yang mengakomodasikan
berbagai bentuk organisasi yang tumbuh di tengah
52

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

masyarakat untuk melakukan kegiatan secara mandiri


dan terbebas dari intervensi maupun kelompok
pengusaha. Dengan demikian, OMS bukanlah sebuah
istilah yang hanya diperuntukkan bagi Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) semata saja, tetapi juga
mencakup organisasi-organisasi keagamanan, organisasi
rakyat, kelompok sosial, organisasi perempuan,
organisasi kepemudaan, kelompok tani, organisasi
buruh, organisasi profesi, dan lain-lain.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa OMS
terpetakan berdasarkan issue; agama, perempuan, hak
asasi
manusia,
buruh,
petani,
kepemudaan,
pemerintahan, dan demokrasi. Ada hal baru pada fokus
issue dalam kerja atau peran OMS di Aceh yakni isu
perdamaian, rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurut
Sutoro Eko et. al, dalam literatur kontemporer,
perdamaian mempunyai spektrum yang lebih luas, yaitu
tidak hanya bicara tentang resolusi konflik dan
perdamaian semata, tetapi juga mengaitkan perdamaian
dengan berbagai agenda yang kompleks. Sedangkan isu
rehabilitasi dan rekonstruksi tercipta dikarenakan karena
faktor dalam merespon bencana, khususnya bencana
tsunami di Provinsi Aceh. Banyak sekali OMS terbentuk
untuk membantu dan mempercepat pengembalian
kehidupan masyarakat Aceh ke dalam kondisi normal.
Jadi keseluruhan batasan isu terfokuskan kepada
kerja sosial yang dipraktekkan dalam merespon
53

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

permasalahan di setiap isu tersebut. Disinilah keberadaan


OMS membantu kerja-kerja pemerintah yang belum
maksimal memenuhi kebutuhan atau hak masyarakat di
setiap isu tersebut.
Selanjutnya keberadaan organisasi partai politik
tidak dikatagorikan bagian dari OMS, tampaknya ada
kesepakatan di kalangan para ahli dan pengamat untuk
tidak memasukan organisasi partai politik. Ini tercermin
dalam pandangan-pandangan yang dikemukakan dalam
pertemuan NAG (National Advisory Group) yang
pertama. Organisasi partai politik juga dilihat sebagai
organisasi yang berada pada aras masyarakat
(infrastruktur) sekaligus pada negara (suprastruktur)
yang terlihat dari keberadaan orang-orang yang
merupakan representasi partai di parlemen dan
kekuasaan pemerintah negara. 38
Namun OMS juga didefinisikan sebagai sektor
ketiga (setelah negara/pemerintah dan pasar/sektor
bisnis/sektor swasta). Dengan demikian sektor swasta
memang tidak dimasukan ke dalam katagori masyarakat
sipil. OMS didefinisikan juga sebagai sektor nirlaba
(profit). Dalam konteks ini, ada para ahli yang
memasukan koperasi sebagai sektor nirlaba, karena
tujuan koperasi bukanlah mengejar laba apalagi
38

Lili Hasanuddin, dkk., Indeks Indeks Masyarakat Sipil


Indonesia 2006: Jalan (Masih) Panjang Menuju Masyarakat Sipil,
Laporan Penelitian, Yappika, Jakarta, 2006

54

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

maksimalisasi laba, akan tetapi lebih memberikan


pelayanan kepada anggota-anggotanya. Karena itu
koperasi dimasukan ke dalam katagori masyarakat sipil.
Akan tetapi dikalangan OMS sendiri masih ada yang
melihat bahwa koperasi sebagai badan usaha yang
mencari keuntungan.
Sudut pandang lainnya yang memperkaya
definisi organisasi masyarakat sipil adalah seperti
dikatakan Djamal bahwa pembentukan organisasiorganisasi masyarakat sipil dilakukan oleh individu
masyarakat yang mempunyai sebuah perspektif untuk
melakukan suatu perubahan pada diri mereka dan
masyarakat secara umum. Konteks pembentukan
organisasi adalah untuk mempertemukan para individu
tersebut dalam sebuah pemahaman bersama untuk
mencapai tujuan, karena perjuangan untuk membangun
perubahan harus dikembangkan secara massif menuju
sebuah kekuatan besar yang mampu mendobrak
kekuatan yang sedang berkuasa.39
Dari berbagai pemikiran akan konsep OMS,
kalangan pemerhati sosial mendefinisikan OMS adalah
gerakan masyarakat sipil melalui organisasi untuk
merespon masalah-masalah sosial masyarakat serta
memperjuangkan hak-hak yang melekat di masyarakat
39

Wawancara
dengan
Juanda
Jamal,
ACSTF/Konsorsium Aceh Baru, 2 November 2013

55

Sekjen

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

itu sendiri. Keberadaan OMS telah menjadi pilar untuk


melakukan kontrol jalannya pemerintahan, dimana
kontrol fungsi pelayanan publik serta kebutuhan dasar
lainnya harus dipenuhi pemerintah atas nama negara.
Memperkuat argumentasi di atas, Kemunculan
OMS merupakan reaksi atas melemahnya peran kontrol
lembaga-lembaga Negara, termasuk partai politik, dalam
menjalankan fungsi pengawasan ditengah dominasi
pemerintah terhadap masyarakat. Sehingga pada awal
sejarah perkembangan lahirnya OMS, terutama yang
bergerak dibidang sosial politik, tujuan utama
pembentukan OMS adalah bagaimana mengontrol
kekuasaan Negara, tuntutan pers yang bebas, tuntutan
kebebasan berorganisasi, advokasi terhadap kekerasan
Negara dan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat.
Pada masa orde baru OMS menjadi sebuah kelompok
kritis yang memberikan tekanan pada pemerintah.
Meuthia Ganie-Rochman menyebut pola hubungan LSM
pada masa ini sebagai pola hubungan yang konfliktual,
dimana dari sisi pemerintah juga berupaya mencampuri
dan mempengaruhi organisasi, cara kerja dan orientasi
OMS .
Terakhir, kita dapat memahami bahwa OMS
adalah organisasi sipil yang terbagi ke dalam berbagai
bentuk, diantaranya organisasi kemasyarakatan yang
terbagi menjadi organisasi massa, organisasi rakyat,
organisasi profesi, organisasi komunitas, dan organisasi
56

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

NGO/Lembaga Swadaya Masyarakat. Fokus kerja


organisasi sangat ditentukan berdasarkan visi dan misi
serta kemampuan merealisasikan mandat tertuang dalam
visi dan misi tersebut.

3.3.

Peran dan Fungsi OMS

Organisasi Masyarakat Sipil merupakan bagian


yang tidak terpisahkan dalam sebuah negara yang
menganut prinsip-prinsip demokrasi. UU No.17 tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) menyebutkan bahwa salah satu aspek
yang penting dalam membangun demokrasi di Indonesia
adalah meningkatkan peran masyarakat sipil secara aktif
dalam pembangunan serta mandiri dan otonom.
Makna otonom dan mandiri disini dimaksudkan
sebagai bentuk yang dapat memajukan diri sendiri, dan
dapat membatasi diri dari intervensi negara atau
pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif, serta
senantiasa memperhatikan sikap kritis dalam kehidupan
politik. Hal ini diperkuat oleh Otho H.Hadi yang
menyebutkan ada dua aspek yang harus dimiliki oleh
gerakan masyarakat sipil yaitu keswadayaan (self
supporting), dan keswasembadaan (self generating).40
40

Otho H. Hadi, Peran Masyarakat Sipil Dalam Proses


Demokratisasi, diterbitkan oleh Jurnal Makara, Sosial Humaniora,
Vol.14. No.2, Desember 2010, hlm.120

57

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Masyarakat sipil merupakan sebuah konsep yang


sangat luas. Cohen dan Arato (1992) mendefinisikan
masyarakat sipil sebagai wilayah interaksi sosial yang di
dalamnya mencakup semua kelompok sosial paling
akrab seperti keluarga, asosiasi seperti kelompok
sukarela, gerakan kemasyarakatan, dan berbagai wadah
komunikasi publik lainnya yang diciptakan melalui
bentuk-bentuk pengetahuan dan mobilisasi diri.
Lebih jauh secara prinsip OMS berperan untuk
memperkuat peran kehidupan bermasyarakat. Peran
memperkuat itu tentu tak mudah, dimana OMS
menghadapi berbagai tantangan, baik dari internal
organisasi maupun dari eksternal organisasi. Umumnya
kalangan aktivis OMS memberikan penjelasan bahwa
peran dan fungsi OMS adalah memperjuangkan
kebutuhan dasar atau publik masyarakat yang harus
dipenuhi oleh pemerintah. Caranya melalui advokasi,
memfasilitasi dan mediasi agar terpenuhi kebutuhan
dasar/publik bagi masyarakat.
Pandangan lainnya dari kalangan aktivis
menjelaskan peran dan fungsi OMS, dimana kegiatan
yang dilaksanakan adalah meliputi aspek-aspek
kehidupan sosial masyarakat yang meliputi aspek pribadi
dan aspek antar pribadi. Lembaga kemasyarakatan yang
merupakan penyatuan dari aspek kehidupan pribadi
didasarkan pada upaya pemenuhan atau pencapaian
kepentingan pribadi yang dilakukan secara bersama58

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

sama. Bahkan peran dan fungsi OMS bisa diposisikan


membantu kerja-kerja pemerintah dalam mendukung
keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan. Tentunya
harus diiringi dengan trust dan partnership yang kuat
dari kedua belah pihak. Sehingga menghasilkan
sinergisasi dan keselarasan kerja secara bersama-sama
demi kepentingan publik atau masyarakat banyak yang
memerlukan.
3.3.1. Advokasi Draft UUPA
Salah satu bentuk kerja nyata OMS dalam
relasinya dengan partai politik setelah ditanda tangani
MoU antara Pemerintah RI dan Perwakilan GAM adalah
mendorong terbentuknya Undang-Undang Otonomi
Khusus untuk Aceh yang partisipatif dan sesuai dengan
keinginan rakyat secara umum yaitu Undang-Undang
Pemerintah Aceh (UUPA). Dalam melakukan advokasi
undang-undang ini, OMS Aceh membangun komunikasi
intensif dengan partai politik, sebagai sebuah strategi
untuk mengontrol dan mengawal proses legislasi UUPA
tersebut di Parlemen.
Proses advokasi ini dilakukan oleh beberapa
LSM yang bergabung dalam Jaringan Demokrasi Aceh
atau dikenal dengan JDA. Jaringan ini dibentuk dan
diinisiasi oleh beberapa aktivis dan didukung oleh
beberapa tokoh sipil lainnya. Beberapa LSM yang
tergabung dalam JDA ini antara lain;, ACSTF, AJMI,
59

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Aceh Institute, KMPD, Kontras Aceh, Koalisi NGO


HAM, Flower, Mispi, APF, Forum LSM Aceh, SoRAK
Aceh, Lappeka, KKP Aceh, PDRM, Forum Akademisi
Aceh, Katahati Institute, Yappika, Cetro, ELSAM,
Kontras, Imparsial, Perkumpulan Demos, Aceh Kita,
HRW, dan Konsorsium Aceh Baru (KAB).
Menurut Juanda Djamal gerakan sipil yang
tergabung dalam JDA ini adalah berupaya untuk
melakukan advokasi terhadap lahirnya UUPA yang
sesuai dengan butir-butir MoU Helsinki dan juga
keinginan masyarakat Aceh secara umum. Sebagaimana
diketahui bahwa draft UUPA dibahas oleh Panja DPR
dan pemerintah untuk menurunkan kesepakatan damai
dalam bentuk perundang-undangan di Indonesia, dan
Aceh merupakan provinsi yang berstatus otonomi
khusus.
Beberapa point yang didorong oleh JDA kepada
pemerintah RI, antara lain: (1) mengesahkan UUPA
sesegera mungkin sebelum April 2006, (2) menyiapkan
draft UUPA sesuai dengan aspirasi yang berkembang
ditingkat masyarakat bawah (grassroots), dan juga
disesuaikan dengan butir-butir MoU Helsinki, (3)
melakukan upaya-upaya komunikasi dengan lintas partai
agar mengesahkan draft UUPA tersebut sesuai dengan
aspirasi dan butir-butir MoU Helsinki, (4) melakukan
diskusi-diskusi dengan para stakeholders dan lintas
komunitas serta elemen yang ada di Aceh, untuk meng60

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

input berbagai informasi tentang keinginan rakyat Aceh


terkait dengan pasal-pasal yang diatur dalam UUPA.
Diskusi ini juga sebagai bentuk kampanye kepada publik
tentang pentingnya pengawalan draft UUPA. Untuk
mengkoordinasikan gerakan sipil ini, ditunjuk ACSTF
sebagai sekretariat di Aceh, dan Yappika sebagai
sekretariat gerakan sipil untuk pusat (Jakarta).41
Dalam gerakan bersama memperjuangkan
UUPA, OMS di Aceh menjalin dan membina
komunikasi intens dengan partai politik di Parlemen, hal
ini seperti diungkapkan oleh Juanda Jamal, selaku
Sekretaris Jendral ACSTF. Dalam advokasi UUPA ini,
ACSTF sebagai salah satu bagian dari JDA, membentuk
Parliament Watch yang bertujuan sebagai media
mengontrol parlemen agar parlemen memenuhi aspirasi
rakyat Aceh dalam UUPA:
....kita membangun komunikasi intensif dengan
partai demokrat, guna mendorong mereka
memperjuangkan aspirasi masyarakat Aceh
ketingkatan pusat, ini tentu dalam kapasitas
konteks kepentingan kita memantau proses
penyusunan undang-undang tersebut. Relasi
yang dibangun tersebut fokusnya ada yang ke
partai lansung, dan ketika diparlemen kita juga
berhubungan dengan individu-individu partai
41

Tim Salemba Tengha, Mengawal Demokrasi: Pengalaman


Jaringan Demokrasi Aceh dan RUUPA, Jakarta: Yappika, 2007

61

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

politik yang sebenarnya itu juga bagian dari


institusi partai politik42

Terbangunnya relasi OMS dengan partai politik


dalam advokasi UUPA ini sangat dipengaruhi oleh
kedekatan individu anggota DPR Aceh dengan kalangan
OMS sehingga memudahkan aktifis OMS membangun
komunikasi dengan partai politik, seperti Amir Helmi
anggota DPR Aceh dari Partai Demokrat, sehingga OMS
mudah menjalin komunikasi dengan partai Demokrat,
selain itu juga ada Azhari Basyar (Anggota DPR Aceh
dari partai Golkar), Khairul Amal (Anggota DPR Aceh
dari PKS) dan Abdullah Saleh (Anggota DPR Aceh dari
PPP)43. Parliament Watch yang dibentuk ACSTF,
disamping bagian dari pemantauan dan pengawalan
proses-proses di parlemen untuk advokasi UUPA dan
membangun komunikasi dengan partai politik, juga
punya tujuan untuk penguatan perdamaian Aceh.
Bentuk-bentuk kerja yang dilakukan ACSTF dengan
parliament watch ini diantaranya mendatangi individuindivu partai politik tersebut, untuk menyampaikan
42

Wawancara dengan Juanda Jamal, 5 November 2013


Pada saat advokasi UUPA, Abdulah Saleh adalah anggota
DPRA dari Partai Persatuan Pembangunan, pada pemilu parlemen
2009, Abdulah Saleh mencalonkan diri dari Partai Aceh dan saat ini
adalah Anggota DPR Aceh dari Partai Aceh
43

62

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pandangan-pandangan sipil yang dinginkan dalam


UUPA, berdiskusi dan meminta kepada individuindividu tersebut untuk memperjuangkan pandanganpandangan dan keinginan masyarakat sipil ini bersama
partai mereka
Dalam proses advokasi ini, ada beberapa poin
dalam draft UUPA yang diperjuangkan antara lain:
Pertama, tentang pembagian kewenangan, agar
pemerintah Aceh diberi kewenangan dalam semua sektor
publik, kecuali dalam hal wewenangan pemerintah pusat
seperti politik luar negeri, pertahanan luar, keamanan
nasional, moneter, fiskal, kehakiman dan sebagian
masalah agama. Kedua, masalah ekonomi, khususnya
terkait dengan SDA yang ada di Aceh agar diberikan
kewenangan yang luas kepada pemerintahan Aceh.
Ketiga, terkait dengan keuangan, antara lain hak yang
harus dimiliki oleh Aceh yaitu pendapatan asli daerah,
dana perimbangan, dana otsus, dana pembagian hasil
migas, pinjaman pemerintahan Aceh, dan lainnya yang
sah menurut perundang-undangan. Keempat, terkait
dengan masalah calon independen. Kelima terkait
dengan partai politik lokal. Keenam masalah pengadilan
Hak Asasi Manusia. Ketujuh, masalah pendidikan dan
kesehatan. dan kedelapan, terkait dengan kewenangan
menjalankan syariat Islam secara kaffah
Kegiatan advokasi ini menjadi klimak bagi
gerakan sipil di Aceh yang mampu mempengaruhi
63

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

parlemen di Indonesia, dimana draft yang diusulkan oleh


sipil menjadi bagian dalam proses finalisasi draft yang
kemudian disahkan oleh pemerintah Indonesia dan ini
juga dipengaruhi oleh relasi yang dibangun oleh OMS
dengan partai politik, karena proses legislasi ada pada
parlemen, dan untuk mempengaruhi legislasi tersebut di
parlemen maka otomatis sangat diperlukan relasi dengan
partai politik.
Model relasi yang dibangun oleh OMS dalam
upaya untuk mengesahkan UUPA, khususnya draft versi
sipil adalah model relasi partisipatif, dimana masyarakat
sipil membangun relasi dengan partai politik untuk
mencapai visi dan misinya yang didasarkan kepada
kepentingan publik secara luas. Disamping itu OMS
tetap kritis, kreatif serta pro-aktif secara independen
dalam mempengaruhi kebijakan fungsionaris partai
politik diparlemen dalam pembahasan dan pengesahan
draft UU tersebut.
3.3.2. Advokasi Qanun KKR
Selain itu, paska disahkannya UUPA, gerakan
sipil tidak berhenti dengan UU itu saja. Melainkan
berlanjut dalam memperjuangkan berbagai turunan dari
UU tersebut, atau yang lebih dikenal dengan qanun.44
44

Qanun adalah bentuk dari peraturan daerah, baik peraturan


daerah tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.

64

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Beberapa qanun yang strategis menjadi agenda dari


gerakan sipil. Salah satunya adalah mendorong lahirnya
Qanun KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di
Aceh. Pembentukan KKR di Aceh merupakan amanah
dari pasal 229 UU No.11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Proses ini dilakukan dengan membangun
komunikasi secara aktif dan progressif dengan berbagai
pihak di parlemen Aceh. Kegiatan yang diinisiasi oleh
mitra CAFOD, terdiri dari AJMI, ACSTF, KontraS
Aceh, The Aceh Institute, dan LBH Banda Aceh
mendesak agar qanun tersebut segera disahkan.
Namun demikian, upaya ini mendapat tantangan,
khususnya oleh Pemerintah Aceh dan juga sebagian
DPRA. Pemerintah Aceh beralasan bahwa pembentukan
qanun KKR di Aceh tidak dapat ditindaklanjuti karena
UU No.27 tahun 2004 tentang KKR nasional telah
dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Pencabutan UU
KKR Nasional ini dianggap menghilangkan payung
hukum qanun yang merupakan produk hukum yang lebih
rendah dari UU. Selain itu, pemerintah Aceh dan
legislatif beralasan bahwa pembentukan KKR dengan

65

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dasar hukum qanun juga akan membebankan anggaran


daerah.45
Sementara pendapat ini dibantah oleh Mawardi
Ismail, pakar hukum tata negara Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh, bahwa pembentukan KKR di Aceh sudah
disebutkan secara khusus dalam UUPA yang merupakan
UU bersifat lex specialist, artinya keberadaan qanun
KKR di Aceh bukanlah turunan dari UU No.27 tahun
2004 yang telah di cabut oleh MK, melainkan langsung
turunan dari UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh.
Terkait dengan advokasi qanun KKR ini, OMS di
Aceh juga melakukan hal yang sama seperti apa yang
mereka lakukan ketika mengadvokasi UUPA, yaitu juga
membangun relasi dengan partai politik. LBH misalnya,
sebagai sebuah lembaga yang punya mandat advokasi
dan terlibat secara aktif dalam advokasi qanun KKR
Aceh, ketika melakukan upaya-upaya advokasi, tentu
sangat perlu membangun relasi terutama dengan partai
politik, karena proses perumusan dan legislasi qanun
KKR ada diparlemen, oleh karena itu proses parlemen

45

Chairul Fahmi, (ed), Aceh Pasca MoU, Reformasi


Keamanan, Peradilan dan KKR di Aceh, Banda Aceh:The Aceh
Institute, 2011

66

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

harus dikawal, agar parlemen juga memasukkan aspirasi


masyarakat korban kedalam qanun KKR Aceh. 46
Demikian juga KontraS Aceh, OMS lainnya yang
berada di garda depan dalam advokasi qanun KKR
Aceh, juga membangun relasi dengan partai politik.
Kedua lembaga ini bersama-sama dengan komisi A DPR
Aceh dari partai Aceh, berkeliling bersama dengan
anggota parlemen dari Partai Aceh untuk menjumpai
para korban sebagai bagian dari menjalankan mandat
advokasi. Tujuannya adalah memfasilitasi anggota
parlemen berjumpa dengan masyarakat korban, untuk
menjaring masukan-masukan sesuai keinginan korban
dan penjaringan itupun, LBH dan KontraS Aceh
mengawalnya sampai proses di Parlemen seperti
mengadakan diskusi antara masyarakat korban dengan
Komisi A DPR Aceh sebelum paripurna qanun tersebut.
3.3.3. Advokasi Qanun lainnya
Selain qanun tentang KKR, beberapa kegiatan
advokasi lainnya adalah mendorong lahirnya beberapa
qanun yang lebih aspiratif, seperti qanun tentang Komisi
Informasi Aceh, qanun tentang penerapan syariat Islam
di Aceh, baik qanun Jinayat maupun qanun Acara

46

Mustiqa Saputra, Direktur LBH Aceh, dalam FGD Relasi


OMS dan Partai Politik di Kota Banda Aceh, November 2013

67

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Jinayat, qanun Perlindungan Anak, qanun Baitul Mal


Aceh, dan qanun Pendidikan Aceh.
Sementara qanun yang bersifat politis seperti
qanun Bendera dan qanun Lembaga Wali Nanggroe
tidak perlu diadvokasi oleh OMS, karena kedua produk
qanun tersebut cenderung dipaksakan oleh parlemen
Aceh, khususnya dari partai Aceh yang merupakan partai
mayoritas.
Sebaliknya,
sikap
OMS
adalah
mempertanyakan kewenangan Wali Nanggroe (WN)
yang dicantumkan dalam qanun tersebut, serta efesiensi
anggaran untuk belanja lembaga WN tersebut. Kondisi
ini juga mendorong beberapa OMS di daerah cenderung
menolak terhadap qanun Lembaga Wali Nanggroe
karena dianggap tidak demokratis dan lebih bersifat
feodalistik serta memboroskan dana publik.
Kedua qanun ini juga menimbulkan pro-kontra
antara elemen sipil yang didukung oleh partai Aceh
dengan elemen sipil yang didukung oleh TNI/Polri
seperti kelompok PeTA (Pembela Tanah Air). Dalam
konteks ini, posisi OMS dengan partai politik cenderung
kritis, mengkritik qanun tersebut, misalnya dari segi
anggaran kelembagaan Wali Nanggroe yang dinilai
sangat boros dan melukai perasaan masyarakat.
3.3.4. Dukungan terhadap Good Governance
Peran lainnya yang dilakukan oleh LSM di Aceh
adalah mendorong lahirnya pemerintah yang baik, jujur
68

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dan bersih (good governance). Proses mendorong


lahirnya good governance dilakukan dengan berbagai
macam kontrol kebijakan pemerintah, salah satunya
adalah dengan mengkritik kebijakan pemerintah yang
koruptif, kolutif dan nepotis.
Salah satu contoh yang dilakukan oleh The Aceh
Institute melalui riset Barometer Korupsi di Aceh pada
tahun 2010 bekerjasama dengan Transparansi
Internasional Indonesia (TII), menunjukkan bahwa
tingkat korupsi yang paling tinggi menurut perspektif
masyarakat terjadi di lembaga pemerintahan Aceh.
Setidaknya ada tiga lembaga yang disurvey yaitu
lembaga kepolisian provinsi Aceh, dewan perwakilan
rakyat Aceh dan pemerintah provinsi Aceh.
Hasil riset ini mendapat tantangan yang keras
dari pemerintahan Aceh. Melalui ketua TAKPA (Tim
Anti-Korupsi Pemerintahan Aceh) Amrizal J Prang
mengatakan bahwa hasil penelitian ini tidak valid dan
diragukan. Namun hasil riset The Aceh Institute ini
diperkuat oleh laporan Gerak Indonesia pada tahun 2011
yang menyatakan bahwa dugaan korupsi pada masa
pemerintahan Irwandi Yusuf kerugian Negara mencapai
Rp.1.8 Triliun dengan 170 kasus korupsi. 47
47

Suara Pembaharuan, Gerak Desak KPK Usut Korupsi di


Aceh,
http://www.suarapembaruan.com/home/gerak-desak-kpkusut-korupsi-di-aceh/7391, diunduh 5 Januari 2014

69

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Tabel 1: Persepsi masyarakat terhadap lembaga yang


berwajah korup di Aceh
No. Lembaga yang di Survey
Jumlah Persepsi
Responden
1.
Pemerintah Eksekutif
79%
2.
Legislatif DPRA
77%
3.
Kepolisian
75%
4.
Kejaksaan
68%
5.
Pengadilan Tinggi
66%
6.
Perguruan Tinggi
50%
Sumber: Hasil Survey Barometer Korupsi Aceh, The Aceh Institute
&Transparansi Internasional Indonesia, 2010.

Hasil survey ini juga menjadi cemeti terhadap


pengelolaan pemerintahan di Aceh, setidaknya setelah
transformasi politik di Aceh dari konflik bersenjata ke
pembangunan. Dimana hasil survey ini diharapkan akan
melahirkan pengelolaan pemerintahan menjadi lebih
baik, jujur, amanah dan akuntabel.
Dukungan terhadap lahirkan good governance
lainnya dilakukan oleh Gerak dalam melaporkan
berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh sejumlah
pengelola negara di provinsi dan seluruh kabupaten/kota
di Aceh. Beberapa kebijakan lain yang dianggap
berpotensi kepada pelanggaran penggunaan anggaran
seperti kebijakan perjalanan dinas, pengadaan peralatan

70

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

kesehatan di RSUZA yang diidentifikasi praktek


korupsi, dll.
Sementara MaTA juga bekerja sangat progressif
dalam mewujudkan penerapan good governance di
Aceh. Proses ini dilakukan dengan melaporkan berbagai
indikasi korupsi ke kejaksaan, serta meminta sejumlah
data tentang dana kampanye partai politik di Aceh, baik
partai lokal maupun partai nasional. Salah satu yang
dilakukan oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA),
adalah mengajukan perkara sengketa keterbukaan
informasi publik terkait dengan anggaran partai politik,
dan hanya Partai Aceh yang keberatan untuk
menyerahkan laporan dana partai tersebut kepada
MATA. 48

48

AJNN, MaTA dituduh sebagai antek-antek asing


http://www.ajnn.net/2013/11/diminta-data-anggaran-partai-acehtuding-mata-mata-mata-asing/, diunduh 5 Januari 2014

71

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

TRANFORMASI GERAKAN
ORGANISASI MASYARAKAT
SIPIL DI ACEH

Bab ini akan menjelaskan gerakan organisasi masyarakat


sipil di Aceh yang terbagi menjadi empat sub-bab,
terdiri dari: gerakan OMS paska reformasi, gerakan
OMS paska gempa dan tsunami, gerakan OMS paska
MoU Helsinki, dan gerakan OMS paska disahkan UU
No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Secara umum gerakan organisasi masyarakat sipil di
Aceh tumbuh setelah era reformasi di Indonesia, dan
dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) pada
tahun 1998 oleh Panglima ABRI Wiranto. Gerakan OMS
yang pada awalnya menolak penerapan operasi militer
72

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pada saat ditetapkan darurat militer dan darurat sipil


pada tahun 2003, sampai kepada perubahan gerakan dari
anti terhadap simbol politik pemerintah Republik
Indonesia, menjadi bagian dari pendiri partai politik,
khususnya partai lokal. Secara lengkap hal ini akan
dibahas pada bab ini.

4.1. Gerakan OMS Paska Reformasi


Tumbangnya orde baru menuju reformasi telah
membuka ruang gerakan masyarakat sipil diranah
publik. Gerakan reformasi yang dipelopori oleh
mahasiswa juga menjadi momentum bangkitnya gerakan
masyarakat sipil lebih luas, baik dalam hal politik,
ekonomi, sosial-budaya. Selain itu, pembagian
kekuasaan dari konsep sentralistik berubah menjadi
desentralisasi mendorong lahirnya berbagai gerakan
OMS diseluruh daerah di Indonesia, termasuk di Aceh.
Namun karena kondisi pemberlakuan operasi militer
menyebabkan gerakan OMS masih sangat terbatas.
Secara umum, gerakan OMS paska reformasi di
Aceh memiliki agenda bersama saat itu. Menurut M.
Alkaf49 gerakan masyarakat sipil paska reformasi telah
bersepakat membangun agenda bersama, tidak hanya
49

M.Alkaf,Pasang Surut Gerakan Politik di Aceh (Studi


Kasus Power Movement Referendum Aceh 1998-1999), Thesis
tidak dipublikasi, 2012, hlm. 1-2.

73

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

sebatas agenda bersama akan tetapi dilakukan secara


nyata. Agenda bersama terbagi menjadi dua aras di level
nasional dan level lokal. Untuk level nasional terdiri
dari; tegakkan supremasi hukum, Adili Soeharto,
Amandemen UUD 1945, Otonomi daerah seluasluasnya, Berantas KKN dan Perlindungan HAM.
Sedangkan pada konteks lokal Aceh, dimana OMS
memiliki agenda berbeda dengan nasional. Agendanya
adalah tuntuan pencabutan Daerah Operasi Militer
(DOM). Setelah itu berturut-turut isu-isu kemanusiaan
dan keadilan dijadikan sebagai masalah yang harus
diselesaikan pemerintah pusat di Aceh, seperti
pengusutan pelanggaran HAM, menarik tentara nonorganik, aksi boikot pemilu dan akhirnya tuntutan
referendum untuk Aceh.
Seperti dijelaskan di atas, bahwa paska reformasi
Aceh dilanda konflik. Ketika itu pembagian peran antar
OMS sangat solid, terarah, dan terkoordinasi. Namun
tidak semua yang dikatagorikan OMS melakukan upaya
gerakan bersama. Faktanya hanya Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat (buffer
aksi) yang berani bersikap untuk melaksanakan agenda
bersama yang telah disepakati bersama dengan
mahasiswa. Ketika itu OMS yang berbentuk ormas
umumnya mengambil posisi menjadi oposisi dengan

74

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pemerintah dan terdapat juga pihak-pihak yang


mendukung kebijakan operasi militer di Aceh50
....Beberapa OMS, khususnya ormas tidak
berani untuk mengambil posisi sebagai oposisi
terhadap pemerintah, khususnya ketika Aceh
dalam kondisi darurat militer. Hal ini
dikarenakan kondisinya sangat tidak aman.
Sehingga sikap keabu-abuan terkadang sebagai
upaya untuk menyelamatkan diri dari klaim
sebagai lawan pemerintah. Inilah yang membuat
tekanan dalam gerakan tidak begitu masif dan
kuat terhadap berbagai kebijakan pemerintah saat
itu.

Selain itu, kondisi di Aceh pada saat itu berbeda


dengan gerakan sipil di Indonesia secara umum, dimana
gerakan sipil di Aceh masih berjuang mewujudkan
perdamaian dan demokrasi. Gerakan sipil pada saat ini
bahkan tidak terlalu tertarik dengan partai politik,
bahkan sebagian menentang eksistensi partai politik
karena dianggap tidak mampu memperjuangan
perdamaian di Aceh. Gerakan OMS yang dipelopori oleh
LSM dan buffer aksi lebih cenderung bekerja untuk isuisu kemanusian di Aceh. Seperti membantu para
pengungsi yang melakukan eksodus dari kampungnya
50

Wawancara dengan Helmy M Hakim, di Banda Aceh pada


tanggal 25 November 2013.

75

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

karena menghindari kontak senjata antara TNI/Polri


dengan GAM.
Data dari PCC (People Crisis Center)
menunjukkan bahwa pengungsian di Aceh mencapai
250.000 jiwa yang tersebar di sepanjang jalan Banda
Aceh-Medan sejak penerapan Darurat Militer dan
Darurat Sipil. Pengungsian terjadi paska kontak senjata
antara TNI dengan GAM, masyarakat berupaya untuk
mengamankan diri dengan menciptakan rasa keamanan
bersama-sama di kamp-kamp pengungsian. Beberapa
organisasi
mahasiswa
membentuk
kelompok
pendamping kemanusiaan, misalnya SMUR membentuk
PCC, KARMA dan SIRA membentuk PEMRAKA.
Kegiatan yang dilakukan antara lain: pertama,
manajemen pengungsian, pendidikan dan pendidikan
keagamaan, sanitasi, dan mengumpulkan bantuan
kemanusiaan51.
Sementara perkembangan gerakan aktivis
melakukan transformasi dengan membentuk berbagai
lembaga perkumpulan seperti; Forum LSM Aceh52,
Suloh Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh dan beberapa
51

Data People Crisis Center, 2008.


Pada Musyawarah II tahun 1992 di Saree Aceh Besar
dibentuk lembaga dipermanenkan dengan nama Forum Regional
LSM (FR-LSM) Aceh. Selanjutnya dalam perjalanan dan dinamika
organisasi pada akhirnya berdasarkan hasil Musyawarah IV tanggal
2 s/d 4 Januari 1997 Forum Regional LSM Aceh berubah menjadi
Forum LSM Aceh.
52

76

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

yang lain53. Tetapi terdapat juga gerakan aktivis yang


tidak tergabung dalam lembaga perkumpulan melainkan
berdiri sendiri, seperti; ACSTF, The Aceh Institute,
Gerak Aceh, Katahati Institute, dll54.
4.2. Gerakan OMS Paska Gempa &Tsunami
Bencana tsunami yang terjadi di Aceh telah
mengakibatkan kerusakan yang parah, korban jiwa dan
kehancuran di beberapa kawasan Asia Selatan, bahkan
hingga Afrika. Kerusakan dan kerugian akibat gempa
dan tsunami yang diderita masyarakat di Indonesia
sangat besar, melampaui negara-negara lainnya. Korban
meninggal dilaporkan sebanyak 128.845 jiwa, dan yang
hilang 94.682 jiwa. Sementara itu, jumlah orang yang
menjadi pengungsi (IDPs) sebanyak 513.278 jiwa di
Aceh dan 19.620 di Sumatera Utara. Pada sisi lain,

53

Koalisi NGO HAM Aceh didirikan pada 7 Agustus 1998.


Sebagai lembaga advokasi hak asasi manusia, Koalisi NGO HAM
Aceh bersifat nirlaba, non partisipan dan memiliki mandat
membangun aliansi dengan organisasi masyarakat sipil di tingkat
lokal, nasional, regional dan internasional.
54
54 orang yang berasal dari komponen yang berbeda dalam
masyarakat sipil Aceh menghadiri Brotherly Dialog among
Acehnese for a Just Peace in Aceh di Washington DC, 5 s.d. 8
Oktober 2001 membentuk ACSTF (Acehnese Civil Society Task
Force). Konferensi ini diadakan oleh International Forum For Aceh
(IFA) dan Global peace Centre of American University.

77

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

tsunami telah membuka beberapa peluang bagi


kehidupan di Aceh.
Perkiraan terakhir total korban jiwa sekitar
230.000 jiwa. Sedangkan Badan Pusat Statistik NAD
memperkirakan korban jiwa hampir setengah juta
penduduk Aceh. Bencana yang cukup besar ini telah
memicu kehadiran bantuan internasional, baik untuk
mengatasi kondisi darurat (emegency) maupun program
rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat jangka
panjang.
Sejak 26 Desember 2004, Aceh menjadi wilayah
terbuka untuk dimasuki oleh sekitar 300 organisasi
internasional yang memberikan bantuan kemanusiaan
dan terlibat dalam proses-proses rekonstruksi. Selain itu,
penandatangan MoU antara pemerintah Indonesia
dengan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki,
telah menyebabkan situasi yang lebih kondusif bagi
OMS untuk terlibat dalam proses rekonstruksi dan
pembangunan di Aceh pada masa-masa mendatang.
Kehadiran lembaga internasional, baik negara
asing maupun international NGO telah membentuk
kesadaran masyarakat sipil dan OMS untuk bekerja
mengatasi kondisi darurat (emegency) maupun program
rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat jangka
panjang. OMS juga sudah bekerja secara praktis dalam
kegiatan rekonstruksi seperti pembangunan perumahan,
prasarana jalan dan pasar, serta mengembangkan struktur
78

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

sosial masyarakat. Kondisi ini secara tidak langung


memberikan penguatan terhadap organisasi masyarakat
sipil di Aceh, baik secara kapasitas personal maupun
kapasitas kelembagaan. Selain itu, lahir beberapa
kesadaran sekaligus persoalan sosial di Aceh paska
bencana tsunami seperti: 55:
Adanya kesenjangan antara OMS yang ada
dengan kemampuan yang mereka miliki untuk
memperkuat modal sosial di dalam komunitas
(kelemahan dalam analisis sosial dan kapasitas
pengorganisasian masyarakat)
Kesadaran mengenai pentingnya membangun
organisasi
rakyat
yang
solid
untuk
memperjuangkan kepentingan bersama sudah
muncul, tetapi masih ada masalah dalam
kapasitas membangun organisasi
Masyarakat pada umumnya sadar bahwa
tanggungjawab
pemerintah
menyediakan
pelayanan publik yang paling mendasar (seperti
kesehatan dan pendidikan) tetapi kurang
dorongan untuk menuntut tanggung jawab
pemerintah menyangkut kebutuhan mereka

55

Sutoro Eko, dkk., Masyarakat Sipil Mendemokrasikan


Daerah, Program Acehnesse Civil Society Organization
Strengthening ANCORS, Jakarta: CIDA dan Yappika, 2009

79

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Adanya kesenjangan pengetahuan masyarakat


mengenai proses penyusunan kebijakan dan
saluran-saluran untuk menyampaikan aspirasi
mereka, termasuk tidak mengetahui bagaimana
cara berpartisipasi dalam proses penyusunan
kebijakan
Ada peningkatan jumlah organisasi baru, tetapi
tidak memiliki visi yang jelas untuk
pemberdayaan masyarakat dan lemah dalam
membangun jaringan atau aliansi strategis

Pertumbuhan OMS pada fase ini juga


dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya jumlah
dana pembangunan untuk Aceh yang berlimpah baik dari
dana APBN maupun dari lembaga dan negara asing.
Faktor kedua Aceh sudah sangat terbuka paska bencana
gempa dan tsunami, dikarenakan pemerintah pusat
membuka seluas-luasnya bagi pihak asing memberikan
bantuan bencana.
Table 2: On Budget (APBN) Dana yang dikelola oleh
BRR NAD-Nias
Bidang
Perumahan
dan

Program Utama
Perumahan dan
permukiman

80

Dalam Rupiah
2.819.336.906.609

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Infrastruktur

Sosial
Kemasyarakata
n
Perekonomian
Kelembagaan
dan Hukum

Tata Ruang dan pertanahan


Perhungunan, ASDP dan
ESDM
Jalan dan Jembatan
Air Bersih, Sampah dan
Irigasi
Pendidikan
Kesehatan
Peran Perempuan dan Anak
Sosial dan Budaya

883.913.433.837
774.108.505.194

Pengembangan Ekonomi
Kelembagaan dan
Pemerintahan
Hukum dan Keamanan
Biaya Manajemen

968.498.929
686.181.114.269

TOTAL
Sumber : http://www.e-aceh-nias.org,
Desember 2006

800.032.250.603
781.049.807.678
400.157.959.445
600.491.793294
42.077.362.497
757.660.076.317

278.726.875.934
642.866.772.394
9.467.571.357.000
dan Gerak Aceh,

Data GeRAK Aceh, mencatat pada tahun 20052006 khususnya alokasi anggaran yang telah
dibelanjakan melalui bantuan off budget cukup tinggi,
hal ini tercatat berdasarkan penulusuran data-data yang
dikeluarkan sehingga perlu untuk diperjelas soal berapa
alokasi anggaran yang sudah dibelanjakan sehingga
menjadi aset bagi masyarakat Aceh.

81

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Table 3: Off Budget (Bantuan NGO) Tahun Anggaran


2005-2006
Bidang
Perumahan dan
permukiman

Program Utama
Perumahan dan
permukiman
Tata Ruang dan
pertanahan
Jalan dan Jembatan
Listrik
Infrastruktur
Air Bersih, Sampah dan
Irigasi
Pendidikan
Kesehatan
Sosial
Peran Perempuan dan
Kemasyarakatan
Anak
Sosial dan Budaya
Perekonomian
Pengembangan Ekonomi
Kelembagaan dan
Kelembagaan dan
Pemerintahan
Hukum
Hukum dan Keamanan
Biaya Manajemen
TOTAL

Dalam Rupiah
3.678.832.106.000
255.886.389.600
806.758.515.600
5.807.785.200
1.337.171.525.200
1.783.247.297.600
2.182.454.314.000
266.144.895.600
373.258.306.000
1.823.313.601.200
1.058.604.541.200
275.413.960.000
983.295.632.200
14.830.188.869.400

Sumber : BRR NAD-Nias dan GeRAK Aceh, 2011.

Salah satu dampak negatif dalam gerakan OMS


paska program rehab-rekon dampak dari bencana gempa
dan tsunami adalah perubahan sebagian maindset di
kalangan aktivis, dimana perubahan sifat kerelawanan
82

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

berubah menjadi sifat material. Hal ini dikarenakan


fasilitas gaji yang tinggi. Secara tidak langsung kondisi
ini melahirkan depedensi (ketergantungan) dari gerakan
OMS terhadap dukungan dari lembaga asing. Disamping
juga berdampak pada munculnya kesenjangan satu
organisasi dengan organisasi lainnya, serta hilangnya
agenda bersama karena sudah terfokus pada program
masing-masing lembaga. 56
Tumbuhnya OMS karena mendapat sokongan
dari LSM internasional tidak mengherankan, karena
kebutuhan terhadap mitra lokal akan mempermudah
kerja-kerja LSM asing di Aceh. Kondisi ini digambarkan
oleh Afrizal Tjoetra, bahwa kemunculan LSM pada fase
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh seperti jamur adalah
sesuatu yang sifatnya alamiah, yang pada akhirnya juga
akan hilang seperti halnya kemarau dimusim hujan.57
Selain itu, menurutnya, saat ini LSM atau OMS
yang tersisa di Aceh adalah lembaga-lembaga yang dari
awal berkomitmen tinggi melakukan kerja-kerja untuk
mendorong perubahan paska gempa dan tsunami bagi
Aceh. Jadi fenomena 8 tahun paska tsunami dan

56

Wawancara dengan Mulyadi Rusman (Peneliti Jaringan


Survey Inisiatif), pada 15 November 2013
57
Afrizal Tjoetra, Delapan tahun tsunami dan matinya
ratusan LSM di Aceh, http://www.bisnisaceh.com, Rabu, 26
Desember 2012

83

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

banyaknya LSM lokal yang tidak lagi aktif adalah


seleksi alam.
Menurut Gading Hamonangan, bentuk relasi
OMS dengan partai politik paska gempa dan tsunami di
Aceh sudah mulai terbuka, namun masih terjebak pada
kepentingan urusan kepartaiannya sendiri, dimana fokus
pemberdayaan hanya terhadap organisasi masyarakat di
bawah partai alias underbow partai. Sebaliknya relasi
yang dibangun secara kontinue antara OMS nonunderbow dengan partai politik hanya sebatas personal
orangnya dengan OMS. Tetapi tidak memiliki relasi
dengan OMS melalui agenda bersama merespon dan
membantu advokasi hak-hak korban tsunami. 58

4.3. Gerakan OMS Paska MoU Helsinki dan UU


Pemerintahan Aceh
Secara umum, paska ditanda-tangani MoU
Helsinki dan pengesahan UUPA oleh Pemerintah
Republik Indonesia pada tahun 2006, beberapa OMS
terlibat langsung dalam pembentukan partai politik
berbasis lokal. Sementara aksi-aksi kontra-politik
(gerakan jalanan) yang digerakkan oleh aktivis sipil
menjadi meredup.

58

Wawancara dengan Gading Hamonangan, Politisi Partai


Demokrasi Indonesia Perjuangan, 30 November 2013

84

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Proses meredupnya gerakan jalanan yang


menjadi ciri khas gerakan OMS juga dipengaruhi oleh
faktor pengkaderan yang tidak berjalan. Sementara
senior aktivis OMS telah merubah orientasi pergerakan
dari jalanan ke parlemen.
Disisi lain, pengaruh dari pembangunan paska
tsunami yang membuat beberapa OMS bekerja untuk
isu-isu tertentu, telah menyebabkan hilangnya isu
bersama seperti halnya terjadi sebelum adanya MoU dan
tsunami. Perpecahan dikalangan aktivis OMS yang
disebabkan oleh perbedaan orientasi politik juga
memperparah melemahnya pergerakan sipil di Aceh.
Bebarapa aktivis senior OMS terjebak dalam
memperjuangkan kepentingan partai politik tertentu.
Secara tidak langsung hal ini mempengaruhi pada
gerakan OMS dalam menyingkapi dinamika yang
berkembang karena relasi senioritas yang sangat kental
mempengaruhi indepedensi dari organisasi itu sendiri.
Hal ini terlihat dalam sikap OMS di Aceh yang
menyingkapi perdebatan terhadap pasal 256 UUPA
tentang Calon Independen. Disatu sisi beberapa aktivis
yang bergabung dalam Partai Aceh mencoba
mempengaruhi beberaba OMS untuk menolak calon
independen. Disisi lain, terdapat OMS yang berjuang
untuk tetap diberlakukannya Calon Independen pada
pemilukada tahun 2012.

85

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Terkait dengan tranformasi aktivisi OMS ke


dalam partai politik yang makin terbuka dan menjadi
bagian di dalam sistem partai politik menjadi fenomena
menarik dalam gerakan sipil di Aceh. Sayangnya masih
terdapat personal aktivis yang pasang dua kaki, dimana
disatu sisi tetap aktif di LSM dan disisi lain aktif di
partai politik atau kegiatan politik lainnya. Sebaiknya hal
itu harus dipisahkan. Ini terkait dengan etika dalam
dunia gerakan di LSM. Selain itu makin membuat aktivis
bertanggung jawab terhadap mandat secara kelembagaan
di LSM. Akan tetapi fenomenanya sekarang banyak
aktivis hijrah ke partai politik, sehingga membuat
kekosongan kader di tingkat gerakan OMS.59
Meskipun demikian, dengan adanya aktivis OMS
di partai politik menjadi hal yang juga akan
memudahkan kegiatan advokasi kebijakan yang
dilakukan OMS sendiri. Hal ini seperti diungkapkan oleh
Juanda Djamal salah satu aktivis yang tergabung dalam
Jaringan
Demokrasi
Aceh
(JDA)
dalam
memperjuangakan rancangan UUPA versi masyarakat
sipil. Menurutnya, dengan adanya anggota parlemen dari
aktivis sipil akan memudahkan komunikasi dengan
partai politik dalam memperjuangkan aspirasi OMS.
59

FGD dilakukan di Takengon (31 Oktober 2013),


Lhokseumawe (3 November 2013), dan Banda Aceh (25 November
2013)

86

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Hal yang sama juga dikatakan oleh Burhanuddin,


yang menulis disatu sisi adanya aktivisi OMS di partai
politik akan memberikan akses bagi kita dalam
mempengaruhi kebijakan parlemen sesuai dengan
kebutuhan publik. Namun disisi lain, OMS harus tetap
independen dan tidak terjebak dalam kepentingan
pragmatisme politisi tersebut 60.
Hal ini juga terungkap dalam FGD The Aceh
Institute (2013) tentang Pemetaan Relasi Politik OMS
dan dampaknya61, dimana kondisi gerakan OMS tidak
begitu kuat lagi secara independen keorganisasian,
dikarenakan hampir sebagian besar senior telah hijrah ke
partai politik, dan disisi lain dukungan dari LSM
internasional berkurang. Kondisi ini memerlukan
strategi-strategi lain dalam menjalankan visi dan misi
OMS di Aceh. Salah satunya adalah membangun stretegi
relasi dengan politisi di partai politik untuk menjalankan
kebijakan yang sesuai dengan gerakan OMS, seperti:
1. Melakukan advokasi agar terbentuknya Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dengan
mempengaruhi kader OMS yang sudah masuk
kepartai penguasa, seperti ke partai Aceh.

60

Mohamad Burhanudin, Paradoks Demokrasi Aceh dan


Problem Rekonsiliasi, http://regional.kompas.com. 28 Oktober 2011
61
Hasil FGD, Pemetaaan Relasi Politik OMS dan
Dampaknya, Banda Aceh: The Aceh Institute, 5 November 2013

87

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

2. Melakukan advokasi kewenangan turunan UU


tentang Pemerintah Aceh yang belum dibuat dan
disahkan Pemerintah Pusat melalui dorongan di
media massa.
3. Membantu implementasi dari kewenangan
UUPA yang telah dimandatkan pada pasalpasalnya.
4. Mengontrol dan mengevaluasi implementasi dari
kewenangan UUPA bagi Provinsi Aceh.
Kegiatan-kegiatan ini sebagai bentuk strategi dari
gerakan OMS untuk menemukan kembali format dan
agenda kerja-kerja OMS paska konflik dan
pembangunan akibat gempa dan tsunami. Sehingga
posisi dan peran OMS tetap terjaga dalam membangun
demokrasi dan pembangunan yang berkeberlanjutan.

88

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

DINAMIKA RELASI POLITIK


OMS DENGAN PARTAI
POLITIK

Bab ini membahas tentang tentang dinamika relasi


politik OMS dengan partai politik, dimulai dengan
gambaran gerakan OMS di Indonesia, kemudian proses
pembentukan gerakan OMS di Aceh. perkembangan
partai politik di Aceh pasca MoU dan UU No.11 tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, relasi OMS dengan
partai politik, pola relasi yang berkembang serta dampak
dari relasi politik yang dibangun OMS dengan partai
politik.
89

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

5.1. Gerakan OMS di Indonesia


Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan partai
politik (parpol) merupakan dua dunia yang terpisah.
James N. Sater dalam bukunya Civil Society and
Political Change in Morocco menggambarkan bahwa
Civil Society sebagai organisasi yang bekerja secara
horizontal, yaitu organisasi yang membangun hubungan
antara masyarakat dengan masyarakat, sebaliknya Partai
Politik sebagai organisasi vertikal yang menghubungkan
antara negara dengan rakyat.62
Selain itu, OMS dinyakini sebagai organisasi
yang memperjuangkan kepentingan masyarakat atau
kepentingan publik melalui sebuah gerakan sosial untuk
mempengaruhi kekuasaan dan/atau kebijakan. Mereka
bersifat independen dan non partisan serta membawa
nilai-nilai humanis, partisipasi dan demokrasi.
Sementara partai politik adalah organisasi kekuasaan,
yang menggalang kekuatan massa untuk merebut dan
mengendalikan kekuasaan, guna melaksanakan fungsi
dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang.
Pelaksanaan dari fungsi kekuasaan itu merupakan titik

62

James James N., Sater, Civil Society and Political Change


in Morocco, USA: New York, 2007, hlm. 40

90

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

temu antara fungsi dari OMS dan fungsi dari partai


politik, yang berujung pada kesejahteraan rakyat.63
Meskipun antara OMS dan parpol merupakan
dunia yang terpisah, tetapi keduanya bukan berarti tidak
saling berhubungan. Secara empiris ada tiga pola relasi
antara OMS dengan parpol, yakni pola korporatis,
partisipatif dan oposisi. Pola relasi korporatis
memperlihatkan bahwa OMS merupakan bagian dari
partai politik atau disebut juga underbow partai politik.
Ormas membentuk partai politik atau dibentuk oleh
partai politik, yang menjalankan fungsi untuk
mewujudkan kepentingan partai politik seperti
pendidikan
politik,
kaderisasi,
pemberdayaan
masyarakat, hingga menjadi mesin politik yang
memobilisasi massa untuk kepentingan parpol.
Sedangkan pola partisipatif yaitu pola saling
mempengaruhi namun tetap pada posisi indepedensinya.
Sementara relasi oposisional, menunjukkan bahwa posisi
OMS menjadi lawan dari partai politik, dimana
keduanya tidak saling berhubungan positif satu sama
lainnya, bahkan terus-menerus melakukan kontrol dan
perlawanan terhadap partai politik.
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bisa
menjadi contoh terkemuka tentang relasi korporatis yang
63

Ketut Suwando, Pluralitas Civil Society dan Upaya


Demokratisasi Lokal, Jurnal Analisis Sosial, Vol.7 No.2, 2002, hlm.
23

91

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

berkembang secara dinamis dari periode ke periode. NU


adalah organisasi sosial yang lahir jauh lebih lama dari
pada lahirnya partai politik. Tetapi pada tahun 1950-an
NU secara institusional berubah menjadi partai politik.
NU menjalankan misi politik dan tetap menjalankan misi
sosial, yang mempunyai banyak organisasi underbow.
Pada tahun 1970-an, partai NU dibubarkan dan melebur
ke dalam Partai Persatuan Pembangunan, dan sekaligus
menjadi organisasi underbow di bawah partai Kabah ini.
Pada tahun 1984, NU kembali ke khittah, yang secara
organisatoris keluar dari ranah politik dan kembali
menjadi organisasi sosial. Namun kondisi perpolitikan
pada waktu pemilihan umum 1987 menunjukkan bahwa
NU membangun hubungan politik klientelistik dengan
Soeharto dan Golkar, sehingga mampu menggembosi
suara PPP dan memperbesar suara Golkar. Setelah
reformasi, NU mengalami perubahan kembali. Secara
organisasi NU tetap NU yang independen. Tetapi para
petinggi NU dan para pengikutnya masing-masing
terbelah ke dalam banyak partai seperti PKB, PKNU
maupun PPP. Gus Dur adalah pendiri PKB, yang
membawa pendukungnya di NU untuk memberikan
dukungan terhadap PKB.
Berbeda dengan NU yang pernah menjadi partai
politik, Muhammadiyah tidak pernah menjadi partai
politik. Pada tahun 1950-an Muhammadiyah tetap
Muhammadiyah, tetapi organisasi Islam modernis ini
92

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

membentuk dan mendukung Masyumi. Pada awal Orde


Baru Musyumi berubah menjadi Parmusi, yang terlibat
dalam pemilihan umum 1971. Namun dalam pemilu
1977 Parmusi melebur ke dalam PPP, bersamaan dengan
komponen NU. Semasa Orde Baru Muhammadiyah tetap
Muhammadiyah, tidak terlibat dalam partai politik
secara kelembagaan, sekaligus juga melarang bahkan
memberhentikan anggotanya yang terlibat dalam partai
politik. Bahkan pada tahun 1990-an, Muhammadiyah di
bawah pimpinan M. Amien Rais, hadir sebagai oposisi
yang terus melawan Orde Baru. Setelah Orde Baru
tumbang, dan reformasi hadir, sikap Muhammadiyah
serupa dengan NU. Pemimpin beserta pengikutnya
terbelah ke dalam banyak partai seperti PAN, PKS, PPP
maupun PBB. Namun secara organisatoris-institusional,
sampai sekarang tidak berhubungan dengan partai
politik, bahkan menjadi opisisi terhadap partai politik,
meskipun organisasi ini mampu menempatkan orangorang pentingnya ke dalam pemerintahan tanpa jalur
partai.
Jika ormas mempunyai pengalaman yang panjang
menjalin relasi korporatis dengan partai politik, LSM
independen di masa lalu umumnya menjadi kekuatan
oposisional di hadapan negara dan partai politik. Dengan
sikap yang anti politik, mereka mengontrol dan melawan
negara maupun partai politik melalui strategi gerakan
sosial. Negara, birokrasi, parlemen maupun partai
93

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dianggap sebagai sumber segala sumber masalah bagi


rakyat, sehingga harus terus-menerus dilawan. Namun
di era reformasi ada perdebatan wacana dan gerakan
baru yang mengarah pada reposisi politik LSM di
hadapan negara dan partai politik. LSM mulai
melakukan perubahan dari gerakan sosial ke gerakan
politik, baik dalam bentuk persenyawaan (engagement)
dengan partai dan negara maupun merebut posisi-posisi
politik (jabatan publik) dalam pemerintahan.
Studi Sutoro Eko bersama YAPPIKA (2009) di
Aceh juga menunjukkan pergeseran strategi gerakan
LSM dari melawan negara (konfrontasi) menuju
berkawan (engagement) dengan negara maupun merebut
negara (reclaiming the state). Pergeseran ini merupakan
bentuk perubahan dari relasi oposisional menjadi relasi
partisipatoris.

5.2. Perkembangan Partai Politik di Aceh Paska


MoU dan UUPA
Posisi gerakan sipil terhadap partai politik di Aceh
mengalami dinamika yang sangat fluktuatif. Sebelum
adanya perjanjian damai antara pemerintah Republik
Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
di Helsinki, aktivis sipil di Aceh umumnya mengambil
posisi anti terhadap partai politik. Gerakan anti terhadap
94

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

partai politik karena partai politik dianggap sebagai


perpanjangan tangan pemerintah Jakarta. Partai politik
juga dianggap tidak mampu merubah kondisi Aceh yang
tertindas oleh operasi militer yang terus berkelanjutan,
sebaliknya mendukung proses demokrasi dan eksistensi
parpol dianggap hanya akan membuktikan bahwa Aceh
menjadi bagian dari sistem Indonesia. Sehingga
kesimpulan untuk memboikot boikot pemilu pada tahun
1999 dan tahun 2004 merupakan bentuk perjuangan
melawan hegemoni Indonesia dalam perspektif politik.64
Pasca ditanda-tangani MoU Helsinki antara
pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, dan
pengesahan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh (UUPA) terjadi perubahan yang signifikan dalam
sistem perpolitikan dan demokrasi di Indonesia secara
singnifikan. Salah satu terobosan yang dituangkan dalam
UUPA adalah pembentukan partai politik berbasis lokal
seperti disebutkan pada Bab XI pasal 75 sampai pasal 95
UUPA. Pembentukan partai lokal ini juga dituangkan
dalam Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2007 tentang
Partai Politik Lokal (Parlok).
Kehadiran Parlok ini memberikan warna politik
berbeda di Aceh jika dibandingkan sebelum adanya
partai lokal. Disatu sisi, pembentukan Parlok sebagai
64

Wawancara dengan Tarmizi, Ketua Aceh People Forum


(APF), Banda Aceh, 19 November 2013

95

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

bagian dari konsesi politik dari perjanjian damai,


dimana Parlok menjadi instrumen perjuangan politik
eks-GAM untuk berkuasa di Aceh, dan disisi lain
pembentukan Parlok sebagai bentuk re-integrasi arah
politik eks-GAM dari gerakan untuk memerdekaan Aceh
dari NKRI kepada gerakan penguatan demokrasi dalam
NKRI.
Proses pembentukan Parlok pertama diinisiasi
oleh aktivis sipil yang bergabung dari Solidaritas
Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR), yang membentuk
Partai Rakyat Aceh (PRA). Kemudian, mantan aktivis
GAM membentuk Partai GAM yang kemudian berubah
nama menjadi Partai Aceh (PA), Politisi senior PAN
Dr.Farhan Hamid membentuk Partai Aceh Bersatu
(PAB), kemudian ormas Islam membentuk Partai Aceh
Aman Sejahtera (PAAS) yang dipelopori oleh Ghazali
Abbas Adan yang juga ketua dewan Pembina Dewan
Dakwah Islam Indonesia (DDII). Disisi lain, aktivis yang
berbasis pesantren dan didukung oleh ulama tradisional
membentuk Partai Daulat Aceh (PDA). Terakhir aktivis
yang tergabung dari Sentral Informasi Referendum Aceh
(SIRA) membentuk partai Suara Independen Rakyat
Aceh (SIRA).
Pesta demokrasi pertama setelah perjanjian damai
dilakukan pada tahun Juli 2009 menjadi pertarungan
politik pertama antara partai lokal (Parlok) dan partai
nasional (Parnas). Ada hal yang menarik dimana partai
96

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

lokal yang dibentuk oleh eks-GAM yaitu Partai Aceh


membangun koalisi dengan Partai Demokrat yang
merupakan partai berbasis nasional. Sebuah kontrak
politik dimana untuk calon legislatif tingkat nasional
(DPR-RI), Partai Aceh akan mendukung calon yang
diusulkan oleh partai Demokrat, sebaliknya untuk calon
legislatif provinsi dan kabupaten/kota akan dikuasai oleh
Partai Aceh. Hasil pemilu menunjukkan skenario itu
berjalan, dimana dari 10 DPR-RI perwakilan Aceh, 7
diantaranya berasal dari partai Demokrat. Hal yang sama
juga perolehan kursi ditingkat provinsi dari 53 jumlah
kursi, 33 diantaranya dikuasai oleh PA, 1 kursi oleh
PDA dan sisanya partai 5 kursi Golkar, 10 partai
Demokrat, 6 PAN, 2 PPP, 5 PKS dan 1 PKPI. Sementara
Parlok lainnya tidak memperoleh satupun kursi.
Salah satu faktor kemenangan Partai Aceh adalah
euforia keacehan dan harapan rakyat yang besar terhadap
Partai Aceh bentukan GAM itu. Rakyat berharap PA
mampu mengubah kondisi Aceh menjadi lebih baik,
disisi lain, Partai Aceh juga mendapat sokongan yang
besar dari berbagai pengusaha yang mendukung secara
financial kampanye partai. Pengaruh Gubernur Irwandi
Yusuf dari mantan GAM juga menjadi faktor dukungan
pengusaha ke Partai Aceh menjadi lebih dominan
dibandingan dengan partai lain, dan terakhir karena
pengikut Partai Aceh yang umumnya eks-kombatan

97

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

mempunyai sifat militansi yang kuat dalam


memenangkan pemilu legislatif saat itu.65
Konstelasi politik dan demokrasi semakin tajam
ketika pelaksanaan pemilukada kedua setelah
perdamaian Aceh ditanda tangani. Konstelasi pertama
dimulai ketika aksi boikot untuk ikut pemilukada yang
dilakukan oleh Partai Aceh (PA) sebagai partai
mayoritas di Aceh. Aksi boikot ini dilakukan karena
Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia
menerima judicial review untuk membatalkan pasal 256
UUPA tentang calon independen yang membatasi hanya
untuk sekali saja. Sehingga konsekuensinya setiap orang
berhak mencalonkan diri melalui calon independen,
disamping yang diajukan oleh partai politik.
Keputusan MK yang membatalkan pasal 256
UUPA dianggap oleh PA sebagai bentuk kebijakan
Jakarta yang tidak menghargai UUPA sebagai UU
khusus bagi Aceh. Disisi lain, secara politis juga
memberikan peluang bagi incumbent untuk kembali
mencalonkan diri melalui jalur independen pada
pemilukada 2011 tersebut.
Akibat dari dinamika ini telah menyebabkan
pelaksanaan pemilukada ditunda. Karena keputusan MK
memberikan konsekuensi terhadap tahapan pelaksanaan
65

Aryos Nivada, Pemetaan Political Marketing Partai


Nasional dan Partai Lokal Pada Pemilu 2009 di Provinsi Aceh,
(Jakarta: Universitas Atmajaya dan UNDP), 2013, hlm. 24

98

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pemilukada itu sendiri. Disisi lain, upaya untuk menunda


pemiluka sampai masa jabatan Gubernur berakhir juga
dilakukan dengan berbagai skenario politik. Salah
skenarionya
adalah
kebijakan
Dirjen
OTDA
Kementerian Dalam Negeri yang membuat nota
kesepahaman antara Kemendagri dengan petinggi PA.
Salah satu item yang disepakati yaitu PA akan
mendaftarkan calonnya pada pemilukada 2012, dan
Kemendagri akan mengungat ke MK terkait tahapan
pelaksanaan pemilukada yang sedang berlangsung.
Dominasi PA dalam setiap perkembangan politik
di Aceh sangatlah kental. Proses perubahan jadwal
pemilukada sebenarnya hanya dibenarkan oleh UU
No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yaitu
terdapat 4 sebab, diantaranya, (1) calon tunggal, (2) tidak
ada dana daerah, (3) keadaan darurat karena bencana
alam, (4) gangguan keamanan/konflik.
Secara
perundang-undangan,
penundaan
pemilukada tidaklah memenuhi satupun kriteria di atas,
namun kebijakan politik dilakukan oleh Kementerian
Dalam Negeri RI dan juga keputusan politis MK
tentang perpanjangan tahapan pelaksanaan pemiluka,
telah menyebabkan pemiluka tertunta sampai 4 kali,
yang akhirnya dilaksanakan pada 9 April 2012.66
66

Kemendagri Daftarkan Perkara ke MK Terkait Tahapan


Pemilukada Aceh, Serambi Indonesia, 15 Desember 2011

99

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Pemilukada ini akhirnya dimenangkan pasangan


yang diusulkan oleh PA yaitu Zaini Abdullah dan
Muzakkir Manaf yang ditetapkan sebagai Gubernur dan
wakil Gubernur terpilih untuk periode 2012-2017.
Dalam pelaksanaan tahapan tersebut, beberapa
tindakan kekerasan menjadi potret pelaksanaan
pemilukada tersebut, disamping juga kecurangan lainnya
seperti money politic. Namun demikian, tidak satupun
kekerasan dan temuan politik uang (money politics)
tersebut diproses secara hukum dengan delik pidana
pemilu. Satu-satunya perbuatan melawan hukum yang
diproses adalah kasus pembunuhan etnis jawa yang
dilakukan oleh salah satu aktivis PA dengan UU antiterorisme.67
Menjelang pelaksanaan pemilu nasional pada
April dan Juli 2014, beberapa partai berbasis lokal yang
tidak menempatkan wakilnya di parlemen akhirnya
membubarkan diri dan atau tidak lulus verifikasi faktual.
Dari 6 Parlok yang ikut pemilu 2009 lalu hanya 1 partai
yang lulus parliamentary thresold yaitu Partai Aceh.
Namun demikian, terdapat 2 Parlok lainnya yang lolos
verifikasi akhir dari Kementarian Hukum dan HAM dan
Komisi Independen Pemilu (KIP) provinsi Aceh, yaitu:
(1) Partai Damai Aceh, dulu namanya Partai Daulat
67

Chairul Fahmi dan Sudarman (Ed), Kekerasan dalam


Demokrasi, Banda Aceh: The Aceh Institute dan Forum LSM
Aceh), 2012

100

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Aceh (PDA), dan (2) Partai Nasional Aceh (PNA), yaitu


partai yang didirikan oleh mantan Gubernur Aceh
Irwandi Yusuf bersama dengan mantan eks-komandan
GAM seperti Sofwan Dawod, Irwansyah, Muharram,
Abu Sanusi, Ligadinsyah, Abrar Muda, dan beberapa
mantan kombatan lainnya.
Secara umum, perkembangan partai politik di
Aceh, khususnya Parlok terdapat 3 partai politik, 2
diantaranya merupakan partai politik yang didirikan oleh
mantan eks-kombatan GAM, dan 1 (satu) lagi
merupakan partai yang berbasis santri di pesantren.
Secara khusus, pemilu Legisatif 2014 di Aceh akan
diikuti oeh 13 partai Nasional dan 3 partai lokal Aceh.
Beberapa partai yang tidak lolos verifikasi melakukan
pembubaran diri dan atau melakukan merger dengan
partai politik lainnya, seperti yang dilakukan oleh PRA
yang bergabung dengan PNA.
Proses pendirian Parlok di Aceh, baik oleh
mantan kombatan GAM maupun oleh para aktivis
menunjukkan kesadaran berpolitik dalam proses
penguatan demokrasi di Aceh menjadi lebih positif,
khusus dari perspektif struktur demokrasi itu sendiri.
Pemilu pada 9 April 2014 akan menjadi ajang yang
menarik untuk melihat kekuatan parpol mana yang akan
mendominasi kekuasaan secara politik di Aceh dimasa
yang akan datang. Setidaknya ada dua Parlok yang
memiliki kekuatan basis karena relasi eks-kombatan
101

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dengan warga dibeberapa wilayah mempunyai kedekatan


emosional yaitu PA dan PNA. Namun posisi Parnas juga
sudah mulai mengambil hati masyarakat lagi, setelah dua
periode pemerintahan di Aceh dipegang oleh mantan
kombatan belum menunjukkan arah pembangunan yang
merata dan berkelanjutan. Namun meminjam istilah
Sidney Jones (2012) pertentangan eks-GAM versus eksGAM akan menjadi bagian yang akan terlibat dalam
konstelasi perpolitikan di Aceh pada 9 April 2014.
Hal menarik yang akan terlihat dalam pemilu 9
April 2014 mendatang juga terkait dengan koalisi PA
dengan partai Gerindra, yang secara langsung
menunjukkan proses re-integrasi politik antara mantan
eks-kombatan yang merupakan refleksi dari PA, dengan
mantan kopassus yang merujuk kepada pribadi Prabowo
sebagai pendiri dan ketua pembina partai Gerindra.
Lebih dari itu, seperti dikatakan oleh Ruslan bahwa
koalisi dengan partai Gerindra karena ada kepentingan
partai Aceh yang diperjuangan dan didukung secara
penuh oleh partai milik Prabowo tersebut.68
Disisi lain, kehadiran Partai Nasdem yang
membawa slogan restorasi juga menjada fenomana
baru dalam proses demokrasi khususnya di Aceh.
Setidaknya partai ini menjadi pilihan anak muda, dan
68

Ruslan adalah salah satu aktivis Partai Aceh untuk


Kabupaten Pidie, disampaikan pada FGD Potensi Konflik di Aceh
pasca MoU dan UUPA, Sigli, 3 Desember 2013

102

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

beberapa aktivis OMS yang bergabung dengan partai


tersebut. Secara umum struktur kepengurusan umumnya
diisi oleh para aktivis muda Aceh, seperti Wiratmadinata
yang menjabat sebaga wakil ketua umum DPW Partai
Nasdem, Ramadhana Lubis sebagai sekjen, dan sejumlah
elit partai ini umumnya merupakan aktivis gerakan sipil
baik ditingkat DPW maupun ditingkat DPD
kabupaten/kota.
Namun melihat kenyataan yang ada, Fuad
Mardhatillah melihat dari sisi yang berbeda.
Menurutnya, OMS seharusnya berada pada backstage
atau dipanggung belakang dari panggung politik praktis.
Namun tumbuhnya libido untuk berkuasa, telah
mendorong mereka untuk tampil ke frontstage. Namun
sayangnya meskipun telah berada di frontstage yang
lebih banyak ditonjolkan adalah pencitraan, kemunafikan
dan kepalsuan. Salah satu contoh bentuk kepalsuan itu
adalah penampilan dibaliho-baliho dengan tanpa ada
bukti yang
nyata
terhadap
kata-kata
yang
diucapkannya. 69
Berdasarkan uraian di atas memperlihatkan
bahwa dinamika politik di Aceh paska ditanda-tangani
perdamaian pada 15 Agustus 2005 dan disahkannya
69

Fuad Mardhatillah adalah salah satu pendiri dan pembina


The Aceh Institute, aktivis kemanusiaan Aceh serta akademisi di
UIN Ar-Raniry, disampaikan pada Seminar Para Stakeholders OMS
di Banda Aceh, November 2013

103

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

UUPA
tahun
2006
menunjukkan
keinginan
berpartisipasi dalam proses demokrasi sangat tinggi.
Bahkan semua elemen yang ada, baik yang berasal dari
eks-kombatan GAM, aktivisi sipil dan para politisi
lainnya mempunyai libido yang sangat tinggi dalam
memperebutkan kekuasan ditingkat lokal Aceh, baik
dilevel eksekutif maupun legislatif.

5.3. Relasi Politik OMS dengan Partai Politik


Salah satu hal yang menarik terkait dengan
perkembangan perpolitikan dan demokrasi di Aceh
paska perdamaian adalah relasi dan sikap gerakan sipil
terhadap partai politik. Relasi politik antara OMS dengan
partai politik menjadi fenomena menarik untuk dikaji,
karena disatu sisi gerakan sipil dianggap berbeda dengan
gerakan politik yang didominasi oleh partai politik,
sehingga gerakan dianggap harus berdiri secara
independen dan tidak boleh membangun relasi dengan
partai politik, sebaliknya gerakan sipil harus membangun
power position dengan gerakan politik.
Disisi lain, gerakan sipil dianggap harus
mempunyai relasi dengan partai politik, agar dapat
mempengaruhi kebijakan parpol terhadap kepentingan
publik itu sendiri. Karena tidak tidak ada relasi apapun
dengan partai politik, apalagi partai politik yang
berkuasa, maka akan sangat sulit mempengaruhi

104

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

berbagai kebijakan khususnya parlemen yang sesuai


dengan kebutuhan dan kepentingan publik. Pendapat ini
disampaikan oleh Abdullah, aktivis Masyarakat
Transparansi Aceh (MaTA) bahwa relasi itu penting agar
kebijakan partai dapat dikontrol oleh OMS melalui lobilobi progresif, artinya jika tidak ada relasi akan sulit
mempengaruhi para politisi parpol. Pastinya, relasi itu
tidak berarti OMS itu sebagai bagian dari parpol,
melainkan OMS tetap independen sesuai dengan visi dan
misi organisasinya.70
Perlunya membangun relasi dengan partai politik
juga didasarkan kepada kenyakinan bahwa parpol
merupakan bagian dari organisasi politik yang bekerja
untuk kepentingan rakyat, dan negara. Artinya, kerjakerja parpol perlu disinergikan dan dikontrol dengan
gerakan sipil agar tetap on the track. Dimana tujuan
akhir dari gerakan sipil dan begitu juga prinsip adanya
parpol dalam sistem negara demokrasi yaitu
mewujudkan
kesejahteraan
rakyat,
membangun
infrastruktur dan pembangunan yang merata.
Kedua, relasi gerakan sipil dengan parpol juga
dianggap penting agar membuka ruang dan jalan bagi
sipil dalam proses advokasi terhadap berbagai peraturan
perundangan-undangan, yang merupakan wilayah kerja
70

Wawancara dengan Abdullah, Manager Program MaTA,


15 November 2013

105

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dari politisi, khususnya yang yang menjadi anggota


legislatif. Salah satu contoh dalam konteks Aceh,
gerakan advokasi terhadap qanun KKR (Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi) Aceh, qanun Tata Ruang,
qanun komisi informasi Aceh, qanun Syariat Islam, dll.
Namun demikian, seperti dikatakan oleh Roy
Fahlevi71 dan Juanda Jamal bahwa relasi OMS-parpol
tersebut disertai dengan berbagai catatan atau ramburambu diantaranya:
1) Posisi OMS harus tetap independen, netral, tidak
ada relasi apapun dengan dunia politik praktis,
sesuai dengan aturan yang ada di AD-ART
organisasi.
2) Relasi yang dibangun menjadi bagian dari misi
kontrol sosial OMS terhadap parpol.
3) Relasi yang dibangun harus dibatasi dengan jelas,
karena semua orang memandang bahwa parpol
cenderung berjuang untuk kepentingan partainya
saja sekalipun itu kepentingannya juga untuk
kepentingan kita.
4) Jika ada aktivis OMS bergabung dengan parpol,
maka aktivis ini tidak boleh menarik kepentingan
71

Roys Vahlevi adalah Sekjen Forum LSM Aceh dan Juanda


Djamal Sekjen Aceh Civil Society Task Force (ACSTF) juga
merangkap sebagai Sekjen Konsorsium Aceh Baru. Ia juga pernah
bekerja di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias 20062009

106

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

5)

6)

7)
8)

9)

10)
11)
12)

partainya ke dalam OMS-nya, misalnya untuk


berkampanye atau memenangkan partainya.
Aktivis OMS yang bergabung dengan parpol
tidak menjadikan OMS-nya sebagai organisasi
underbow yang bekerja untuk partainya.
Ketika aktivis OMS bergaung dengan parpol,
maka secara struktur kelembagaan mereka harus
terputus. Namun secara personal tetap menjalin
hubungan komunikasi, seperti berbagi data
penyelewengan yang terjadi di parlemen, maka
OMS akan memperjuangkan isu ini.
Relasi kerja yang dibangun sesuai dengan visi,
misi, dan tupoksi OMS
Relasi yang perlu dibangun oleh OMS adalah
melalui sharing SDM dalam kegiatan FGD,
seminar, dll.
Relasi yang perlu dibangun oleh OMS adalah
dengan cara memfasilitasi kontrak politik
masyarakat dengan parpol
Relasi yang dibangun harus yang bersinergi.
Menjadi mitra yang menyuarakan ide-ide kerja
parpol
Relasi yang dibangun harus mempunyai batasan
yang tertuang di dalam MOU yang jelas, agar
masing-masing pihak tetap pada garis
perjuangannya

107

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

13) Ada dua kepentingan yang saling mendukung,


satu pihak ingin menang dan pihak yang lain
membutuhkan
dana
untuk
menjalankan
programnya
14) Relasi yang perlu dibangun adalah relasi
monitoring dan evaluation (monev) terhadap
kerja-kerja parpol, karena ketika monev
dilakukan hingga tuntas maka hasilnya akan
berdampak positif pada rakyat.
15) Relasi yang perlu dibangun berbentuk ikatan
emosional yang mendorong mereka untuk duduk
bersama memikirkan ide-ide untuk membangun
bangsa
16) Relasi perlu dibangun sesuai dengan kebutuhan
17) Relasi yang perlu dibangun adalah dalam bentuk
penyampaian pendapat atau menjadi struktur di
parpol
18) Relasi yang perlu dibangun adalah sebagai
jembatan antara masyarakat dan parpol untuk
melakukan kontrol sosial, yang didukung oleh
kontrak politik yang mempunyai payung hukum.
Dalam konteks ini, Forum LSM Aceh sebagai
lembaga yang menaungi lebih dari 50 OMS lainnya di
Aceh secara kelembagaan tidak melarang anggota atau
pengurusnya menjadi pengurus partai politik tertentu.
Beberapa mantan pengurus dan atau pembina dari Forum
108

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

LSM bahkan menjadi petinggi partai politik tertentu,


seperti Wiratmadinata, TAF Haikal dan juga Ramadhana
Lubis, semuanya merupakan mantan sekjen Forum LSM
Aceh. Sayangnya mereka tidak mendapatkan dukungan
baik secara moril maupun materil dari Forum LSM Aceh
khususnya secara kelembagaan terhadap pencalonannya
sebagai calon anggota legislatif. Hal ini seperti diakui
oleh Wiratmadinata:
....sepertinya ini sulit dipahami, begitu saya
menetapkan diri menjadi seorang calon
legislatif, saya tiba-tiba seperti menjadi musuh
bagi OMS, jangankan ada dukungan secara
materil atau moril, diundang menjadi pemateri
atau peserta dalam kegiatan-kegiatan organisasi
teman-teman OMS tempat saya bekerja dulu
tidak pernah lagi, atau sekedar duduk untuk
minum kopi, atau bertukar pikiran dll, mereka
sepertinya menjauh karena saya sudah jadi
Caleg.
Berbeda dengan ACSTF, AJMI dan kelompok
Konsorsium Aceh Baru (KAB) dimana secara prinsip
tidak ada persoalan membangun relasi dengan partai
politik dan mendukung kadernya untuk menjadi anggota
legislatif, karena hal itu merupakan bagian dari
tranformasi gerakan sipil ke gerakan politik, khususnya
untuk kerja-kerja advokasi. Seperti dikemukakan oleh

109

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Agusta Mukhtar72 bahwa Jadi tidak ada salahnya jika


OMS ber-relasi dengan partai politik untuk
memaksimalkan kerja kerja advokasi yang dilakukan
oleh masayarakat selama ini. Kalau tidak ada relasi
apapun yang kita bangun dengan parpol maka tidak akan
ada hasil apapun yang kita peroleh.
Lebih jauh, Mukhtar memberi contoh kerja-kerja
advokasi dengan adanya relasi akan lebih mudah
dibandingkan jika tidak ada relasi. Sebagai contoh
advokasi draft UUPA (Undang-Undang Pemerintahan
Aceh) versi sipil yang dirancang oleh aktivis OMS pada
awal tahun 2006. Hasil lobi politik dengan beberapa
petinggi partai yang ada di Aceh atau Jakarta, maka versi
sipil dijadikan sebagai salah satu landasan dalam
mengkombinasikan baik draft DPRA dan draft dari
Kemendagri, serta draft dari sipil Aceh. Sebaliknya,
ketika AJMI melakukan aksi demontrasi menuntut
pembangunan rumah bagi korban konflik di Aceh
Tengah dan Bener Meriah, tidak membuahkan hasil
apapun, karena tidak adanya dukungan dari anggota
legislatif di DPRA yang juga berfungsi sebagai
pengawas kerja-kerja eksekutif.
72

Agusta Mukhtar, Direktur Aceh Judicial Monitoring


Institute (AJMI) dan salah satu anggota Konsorsium Aceh Baru,
serta Koordinator Aksi Demontrasi Korban Konflik Aceh
Kabupaten Aceh Tengah yang menuntut pembangunan rumah bagi
korban konflik tahun 2011

110

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Dengan demikian, AJMI dan beberapa komponen


KAB lainnya tidak keberatan membangun relasi itu,
dalam istilah Sutoro disebut sebagai relasi positif
antara OMS dengan partai politik. Demikian juga, tidak
menjadi persoalan ketika fungsionaris KAB mendukung
salah satu pengagas KAB itu sendiri seperti Iqbal Farabi
yang maju sebagai calon legislatif untuk DPRA dari
partai Demokrat, dan Teuku Kamaruzzaman untuk DPDRI, serta Hendra Budian untuk DPRA dari partai Golkar.
Dukungan terhadap kader ini merupakan bagian dari
memperkuat posisi gerakan sipil di parlemen.
Pola relasi seperti di atas juga dikemukakan oleh
Lilis dari Balai Syura Ureung Inong Aceh, bahwa
dukungan terhadap aktivis OMS yang masuk menjadi
legislatif melalui parpol apapun itu perlu didukung. Hal
ini juga sesuai dengan rekomendasi hasil Duek Pakat
Ureung Inong Aceh tahun 2012, yang salah satu hal
penting untuk diperjuangkan adalah pembagian peran
perempuan di gerekan sipil dan di gerakan politik. Hal
ini direspon secara kongkret oleh Balai Syura Ureung
Inong Aceh dengan membentuk Rumah Pemilu
Perempuan, yang bertujuan untuk memberikan kapasitas
(capacity building) untuk Caleg perempuan dari partai
apapun itu. Pola relasi ini menurut Adiya Perdana yang

111

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dikutip dari Beavis sebagai bentuk relasi yang


mendukung kadernya diberbagai partai politik.73
Konteks ini tidak terlepas dari kondisi demokrasi
transisi. Dalam konteks Aceh berkembang adigium
pilih orangnya dan jangan pilih partainya. Artinya,
gerakan sipil yang mendukung konsep relasi positif
adalah relasi yang dibangun dengan personal pengurus
tertentu dari partai politik tertentu, dan bukan bentuk
dukungan terhadap partai politik tertentu. Begitupun
kampanye yang dicetuskan adalah kampanye terhadap
kepentingan personal, bukan kepentingan untuk partai
secara kolektif dan masif.
Fenomena ini membuktikan bahwa OMS tidak
percaya atau belum dapat menyakini partai politik secara
organisasi ketika melihat prilaku fungsionaris partai
politik yang masih korup dan tidak mampu menjadi
instrumen dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Sehingga membutuhkan orang-orang yang dianggap
bersih dari OMS untuk merebut kursi kepemimpinan di
legislatif. Meminjam istilah TAF Haikal Tanda tangan
kita aktivis OMS tidak akan pernah berlaku dan dihargai
dalam mewujudkan negara menjadi lebih baik sebelum

73

Aditya Perdana, Civil Society dan Partai Politik dan


Demokratisasi di Indonesia, disampaikan pada Seminar
Internasional Dinamika Politik Lokal di Indonesia, Salatiga, 28-30
Juli 2009

112

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

kita mampu meraih kursi kepemimpinan baik dilegislatif


maupun dieksekutif.
Kenyakinan kepada personal aktivis OMS yang
mencalonkan diri menjadi Caleg dari partai tertentu juga
diaktualisasikan oleh Gerak Aceh, dimana terdapat tiga
pengurus aktif Gerak Aceh yang mencalonkan diri
sebagai Caleg dari partai berbeda, yaitu PKS, PPP dan
PNA. Artinya, secara prinsip tidak ada hambatan bagi
organisasi sipil seperti Gerak Aceh untuk memberikan
akses kepada kadernya untuk mencalonkan diri sebagai
calon legislatif dari partai politik tertentu. Karena hal ini
menurut Yulinda74 bukanlah bagian dari underbow-nya
partai, melainkan bentuk partisipasi aktif dalam proses
demokrasi.
Selain itu TAF Haikal mengatakan bahwa
gerakan sipil di Aceh memang harus mengambil alih
posisi-posisi stretegis lembaga negara melalui proses
demokrasi yang baik. Perjalanan demokrasi di Aceh
harus diisi oleh orang-orang baik, jika tidak ingin negara
atau provinsi Aceh menjadi lebih buruk, apalagi ketika
masa transisi dari konflik ke damai, maka praktek kartel
74

Yulindawati adalah pengurus aktif organisasi Gerak Aceh


yang mencalonkan diri dari Partai Nasional Aceh. Terdapat dua
pengurus aktif lainnya dari Gerak Aceh yaitu Isra Safril yang
mencalonkan diri sebagai Caleg DPRK Kabupaten Aceh Jaya dari
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Udin dari Partai Persatuan
Pembangunan (PPP)

113

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

politik akan berpeluang sangat besar tumbuh, apalagi


cost politik dalam sistem demokrasi begitu mahal. Kartel
antara pemodal dengan calon penguasa jika tidak sehat
akan menyebabkan pengelolaan negara menjadi tidak
baik. Oleh karena itu tidak ada yang salah jika aktivis
sipil atau organisasi sipil mendukung kadernya masuk ke
partai politik. Yang penting adalah adanya komitmen
bahwa kita tidak akan mengulangi perbuatan yang
pernah kita benci ketika berjuang di OMS, seperti
perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. 75
Trens relasi aktivis sipil dengan partai politik di
Aceh mulai berkembang sejak ditanda-tangani perjanjian
damai melalui MoU perdamaian Aceh di Helsinki, dan
disahkannya UU No.11 tahun 2006 yang memberikan
hak bagi Aceh untuk mendirikan partai lokal. Meskipun
sebelum adanya UU ini sudah banyak aktivis sipil yang
bergabung atau menjadi kader partai, namun tidak terlalu
signifikan yang terjadi sekarang. Bahkan setelah
diberikannya kewenangan membentuk partai lokal,
banyak aktivis sipil yang dulunya anti-partai politik
sudah menjadi pendiri partai politik.
Transformasi gerakan sipil ke gerakan politik ini
menurut Asiah Uzia agar isu-isu yang berkembang di
75

TAF Haikal, Caleg untuk DPR-RI Dapil 2 Provinsi Aceh


dari Partai Nasdem, disampaikan pada Seminar Stakeholders
Gerakan Sipil di Aceh dan Relasi dengan Partai Politik, Banda Aceh
16 September 2013

114

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

masyarakat dapat langsung direspon oleh legislator yang


berasal dari gerakan sipil. Disamping itu, relasi dengan
OMS perlu dibangun karena OMS bekerja ditingkat
grassroots dan dengan adanya kader OMS di parlemen
akan memudahkan proses advokasi serta berbagai
kebijakan pembangunan eksekutif akan mudah dikontrol
secara politis.
Hal ini juga membuktikan bahwa demokrasi di
Aceh sudah mulai menarik perhatian sejumlah aktivis
OMS yang menyakini bahwa pengaruh kerja-kerja OMS
tidak terlalu optimal seperti halnya ketika masa rehab
dan rekon Aceh. Disisi lain, terbentuknya libido untuk
menguasai parlemen karena melihat fenomena anggota
legislatif di Aceh pada pemilu 2009 lalu yang banyak
dikuasai oleh lulusan paket C, dan tidak profesional
dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota dewan,
baik fungsi legislasi, budgeting maupun monitoring.
5.3.1. Dinamika Relasi Politik OMS dalam Pemilu
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa fenomena
migrasi aktivis gerakan sipil ke partai politik menjadi
trens baru terjadi di Aceh paska konflik. Trens ini sudah
tumbuh ketika sejak pembentukan partai lokal oleh
beberapa aktivisi sipil di Aceh. Disisi lain, perbedaan
pendapat dan pilihan juga menjadi hal yang menarik,
karena secara tidak langsung pilihan politik terhadap

115

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

partai politik yang berbeda mempengaruhi relasi gerakan


sosial pada tataran OMS di Aceh.
Perbedaan orientasi pertama aktivis dalam
merespon kepentingan partai politik terlihat pada
pemilukada tahun 2012, dimana beberapa aktivis
mencoba membangun relasi secara terselubung dengan
partai politik tertentu. Hal ini terlihat pada sebagian
melakukan kampanye penundaan pemilukada, dan disisi
lain mendukung pelaksanaan pemilukada tepat waktu,
serta pihak yang ambigu antara menuntut penundaan dan
tidak.
Disisi lain, tidak sedikit aktivis secara personal
juga menjadi bagian dari tim pemenangan kandidat
tertentu. Baik menjadi tim sukses dari pasangan Zaini
Abdullah dan Muzakkir Manaf yang diusung oleh Partai
Aceh, pasangan Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan dari
jalur independen, pasangan Muhammad Nazar dan Nova
Iriansyah dari partai Demokrat, pasangan Prof.Darni
Daud yang berpasangan dengan Dr. Ahmad Fauzi serta
pasangan pasangan Tgk. Ahmad Tajuddin atau dikenal
dengan Abi Lampisang dengan Ir. Suryansyah. Secara
umum, relasi yang dibangun dalam pemilukada itu
adalah relasi personal bukan atas nama lembaga tempat
aktivis tersebut bekerja.
Pertentangan orientasi politik yang terjadi pada
pemilukada tahun 2012 lalu yang paling kontras adalah
antara pasangan dr. Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf
116

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dari partai Aceh dengan pasangan drh. Irwandi Yusuf,


MSc dengan Ir. Muhyan Yunan dari jalur perseorangan.
Hal ini juga berdampak kepada tim sukses ditingkat
grassroots. Pertentangan orientasi dan pandangan politik
diantara aktivis sipil yang tergabung dalam pertarungan
para kandidat tersebut juga mempengaruhi pada relasi
diantara sesama aktivis OMS itu sendiri. Klaim terhadap
friksi-friksi dikalangan aktivis juga menghilangkan
romantisme diantara para aktivis yang pernah bersama
dan bersatu dalam gerakan melawan tirani dan rezim
militer di Aceh ketika masa konflik.
Pasca pemilukada yang dimenangkan oleh
pasangan dr.Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, terjadi
polarisasi pilihan politik aktivis, dimana yang
mendukung pasangan Zikir76 umumnya menjadi
pengurus partai Aceh, dan sebaliknya yang mendukung
drh.Irwandi Yusuf, M.Sc dengan Ir. Muhyan Yunan
bergabung dengan Partai Nasional Aceh (PNA) yang
juga didirikan oleh drh. Irwandi Yusuf bersama dengan
sejumlah mantan komandan eks-kombatan.
Disamping terpolarasisasi ke dalam dua Parlok,
beberapa aktivis lainnya juga menjadi kader sekaligus
76

Zikir adalah istilah populer yang ditujukan kepada


pasangan dr. Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Istilah ini
digunakan saat kampanye Pemilukada 2012 dan cukup efektif
mempengaruhi pemilih untuk mengingat akronim tersebut pada hari
pemilihan

117

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Caleg partai yang berbasis nasional, baik partai Golkar,


Demokrat, Gerindra, Nasdem, PDIP, PKS, PKB, PPP,
dll. Secara umum relasi personal aktivis dengan partai
politik tertentu ini terjalin lebih disebabkan kepentingan
kontekstual pemilu 2014, dan partai politik dijadikan
sebagai kendaraan untuk mencapai kursi legislatif. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya calon dari partai
tertentu yang sebelumnya tidak pernah terlibat dipartai
tersebut, artinya fenomana loncat dari satu partai ke
partai lainnya menjadi hal yang fenomenal terjadi.

Tabel 4: Contoh Beberapa Nama Aktivis Yang


bergabung dengan Partai Politik dan DPD
Nama Aktivis

Partai
Politik

Status

Hendra Budian
Risman
A.Rachman
T.Masduhulsyah
Amri Yusuf
Sabri Badruddin
Yusdarita

Partai Golkar
Partai Golkar

Caleg DPRA
Caleg DPRA

Partai Golkar
Partai Golkar
Partai Golkar
Partai
Nasdem
Partai
Nasdem
Partai
Nasdem

Caleg DPRK
Caleg DPRK
Caleg DPRK
Caleg DPRK

Fatimahsyam
Sri Wahyuni

118

Lembaga
Pernah
Bekerja
Koord. AJMI
Aceh Kita

Caleg DPRK

KNPI
KNPI
LSM
Lingkungan
LBH Apik

Caleg DPRK

CPCRS

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

T. Banta Syahrizal

Lukman Age

Partai
Nasdem
Partai
Nasdem
Partai
Nasdem
Partai
Nasdem
PNA

Miswar Fuadi
Muhammad Saleh
Asiah Uziah
Tarmizi
Tamrin Ananda
Yulindawati
Mohd. July Fuady
Cici Darmayanti

PNA
PNA
PNA
PNA
PNA
PNA
PNA
PNA

Kautsar
Hendra Fadli
Kamaruddin

PA
PA
PA

Dahlan

PA

Cut Meutia
(Farah)
Erwanto

PA

Nurul Kamal

PA

Imran Mahmudi

PDIP

Ramadhana Lubis
TAF Haikal
Wiratmadinata

Pengurus
Partai
Caleg DPRA
Caleg DPR
RI
Caleg DPRA
Pengurus
Partai
Caleg DPRA
Caleg DPRA
Caleg DPRK
Caleg DPRA
Caleg DPRA
Caleg DPRK
Caleg DPRA
Caleg DPRK
Caleg DPRA
Caleg DPRA
Pengurus
Partai
Pengurus
Partai
Caleg DPRA

PA

Pengurus
Partai
Pengurus
Partai
Pengurus

119

ACSTF/SIRA
Forum LSM
Aceh
Forum LSM
Aceh
Forum LSM
Aceh
The Aceh
Institute
Sorak
Tabloid Modus
KontraS Aceh
AFP
SMUR/PRA
Gerak Aceh
LBH
Forum LSM
Aceh
SMUR
KontraS
LBH
Pengacara
SMUR
SMUR
The Aceh
Institute
Pengacara

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gading
Hamonangan
Mustawalad
Hadi Surya
Amri Saldin
Riswati
Ida Riyani
Isra Safril
Irwansyah
Naimah Hasan

Iqbal Faraby
Ernani Moza Putri
Faisal Ridha
Tgk. Muhibban
Tgk.Khaidir Rijal
Fazlon Hasan
Fachrulrazi, MIP
Ghazali Abas
Adan
Teuku
Kamaruzaman

PDIP
Partai
Gerindra
Partai
Gerindra
Partai
Gerindra
Partai
Gerindra
Partai
Demokrat
PKS
PKS
Partai
Demokrat
Partai
Demokrat
PPP
PKB
PDA
PDA
DPD
DPD
DPD

Partai
Pengurus
Partai
Caleg DPRA

120

KontraS Aceh

Ketua Partai

MPK

Caleg DPRK

JKMA

Caleg DPRK

LSM

Caleg DPRK

LSM

Caleg DPRK
Caleg DPRK
Caleg DPR
RI

Gerak Aceh
Kammi
Balai Syura
Ureung Inong
Aceh
KAB

Caleg DPRA
Caleg DPRA
Caleg DPR
RI
Caleg DPRK
Caleg DPRA
Jubir PA
Mantan
Ketua PAAS
Mantan Juru
Runding
GAM

DPD

Center Politik

SIRA
RTA
RTA
KMPA
SP3
DDII
KAB

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Daftar nama di atas hanya refleksi dari beberapa


aktivisi OMS yang bergabung dengan partai politik atau
menjadi calon DPD pada pemilu 9 April 2014
mendatang. Sebaliknya masih banyak aktivis yang tidak
tercantum, khususnya yang bekerja diberbagai ormas
atau lembaga penguyuban lainnya yang juga masuk ke
dalam bursa pencalonan legislatif.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa secara
umum, aktivis menjadikan partai politik sebagai
instrumen untuk berkuasa, sehingga berpindah dari satu
partai ke partai lain tidak menjadi hal yang aneh. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut,
diantaranya adalah ketidaksesuaian antara elit partai
dengan kepentingan yang diperjuangkan oleh aktivis
tersebut. Selain itu, ideologi prakmatisme masih
mendominasi gerakan sipil di parpol, karena tidak ada
parpol yang didirikan oleh aktivis selain PRA, SIRA
yang sudah tereleminasi dan hanya tinggal PDA saja
yang lolos verifikasi KPU untuk pemilu 9 April 2014.
Artinya, tujuan utama dari bergabungnya ke partai
adalah hanya untuk memperoleh kursi pada pemilu
legislatif.

121

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

5.3.2. Persepsi Aktivis terhadap Relasi Politik OMS


dengan Partai Politik
Hal yang menarik adalah persepsi aktivis yang
masih aktif di berbagai OMS yang ada di Aceh,
khususnya dalam kategori pekerja LSM. Mereka
menyatakan bahwa terdapat banyak pandangan terkait
dengan relasi politik aktivisi OMS dengan partai politik.
Secara umum, tidak ada persoalan dan hal wajar jika ada
aktivis mencalonkan diri sebagai calon legislatif, karena
itu adalah suatu hak konstitusional setiap warga.
Disamping itu, maju sebagai legislatif sebagai proses
pembuktian diri dari kerja-kerja sipil yang lebih konkret
dalam konteks pengelolaan negara. Dimana ketika
menjadi legislator maka kebijakan pemerintah akan lebih
mudah dikontrol sesuai dengan kerja-kerja OMS
ditingkat grassroots. 77
Disisi lain, Abdullah78 secara umum juga
berpendapat sama. Namun demikian harus ada garis
demarkasi antara kerja politik dengan kerja sipil.
Artinya, jika seseorang aktivis OMS yang sudah memilih
untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dari
77

Wawancara dengan Yulinda, aktivis Gerak Aceh yang


mencalonkan diri sebagai Caleg Kota Banda Aceh dari Partai
Nasional Aceh
78
Abdullah, pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
yang berprinsip bahwa harus ada pemisahan antara masyarakat sipil
dengan masyarakat politik (political society)

122

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

partai tertentu, maka ia harus mundur dari kerja OMS.


Pengunduran diri dari OMS menjadi penting untuk
menghilangkan bias dari kerja-kerja OMS ditingkat
komunitas, bahwa kerja OMS haruslah independen,
maka ketika aktivis yang sudah menjadi Caleg masih
tercatat sebagai pengurus aktif sebuah LSM tertentu
secara tidak langsung akan mempengaruhi persepsi
masyarakat terhadap independensi LSM tersebut dari
pengaruh kepentingan politik calon legislatif atau partai
yang mengampu Caleg tersebut atau sering disebut
dengan konflik kepentingan.
Hal yang sama juga dikatakan Dahlan Isa,
direktur LSM SAHARA, bahwa setiap pengurusnya
dibolehkan menjadi aktivis Parpol dan atau mencalonkan
diri sebagai Caleg pada pemilu. Namun harus mengikuti
kode etik lembaga yaitu setiap aktivis organisasi berhak
berpolitik tetapi harus melepaskan poisisinya di dalam
organisasi agar tidak menimbulkan konflik kepentingan.
Lebih jauh Dahlan menyatakan:
....hampir setiap pemilu pasti ada staf SAHARA
yang mencalonkan diri sebagai calon anggota
legislatif, tapi itu tidak berpengaruh terhadap
organisasi. Diinternal Sahara ada kode etik, ini
diterapkan khusus kepada staf yang sudah terlibat
dalam partai politik ataupun yang mencalon diri
sebagai calon bupati dari jalur independen.
Secara otomatis mereka tidak bisa dilibatkan lagi

123

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dalam program yang sedang dikerjakan oleh


lembaga SAHARA.79
Sementara MaTA berpandangan lebih ekstrem,
dimana mereka yang terlibat secara langsung dengan
partai politik tidak hanya dieliminasi dari kerja-kerja
program keorganisasian, melaikan harus mengundurkan
diri secara permanen dari kepengurusan lembaga. Hal ini
sesuai dengan statuta lembaga MaTA yang melarang
secara keras keanggotaannya atau kepengurusannya
terlibat aktif dalam partai politik. Hal ini sebagaimana
disampaikan oleh Abdullah bahwa:
...tidak ada pengurus, mantan pengurus MaTA
yang menjadi pengurus Parpol. Dalam aturan AD
ART MaTA memperketat, tidak dibenarkan bagi
pengurus terlibat dalam politik praktis, kalau ada
yang memilih untuk bergabung dengan parpol,
maka harus mengundurkan diri. MaTA tidak
melarang seseorang tentang pilihan hak politik
anggota, tetapi lembaga membatasi, agar tidak
muncul kepentingan yang lain dalam lembaga,
jika seseorang bergabung dengan partai, maka
akan ada kepentingan partai.80

79

Wawancara dengan Dahlan Isa, Direktur LSM SAHARA


Lhokseumawe, 4 September 2013
80
Wawancara dengan Abdullah Abdul Muthaleb, Manager
Program MaTA pada 12 November 2013

124

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Dalam konteks relasi OMS atau LSM sebagai


sebuah organisasi dengan partai politik yang juga
sebagai sebuah organisasi, maka relasi itu patut
dibangun. Relasi yang dibangun itu adalah relasi yang
bertujuan untuk sinergisasi program-program stretegis
untuk kepentingan publik semata, bukan kepentingan
pragmatisme-materialistik dan politis diantara keduanya.
Sinergisasi program strategis yang dimaksud disini
adalah upaya mempengaruhi peran partai di parlemen
untuk mengambil kebijakan yang berorientasi kepada
kepentingan publik. Salah satu contoh adalah yang
dilakukan oleh KontraS Aceh dalam mempengaruhi
Partai Aceh dalam pengesahan qanun KKR Aceh sejak
tahun 2006 sampai disahkan pada tahun 2013 lalu.
Begitu juga yang dilakukan oleh Katahati Institute dalam
mengadvokasi qanun Komisi Informasi Aceh (KIA),
atau relasi yang dibangun oleh Gerak Aceh dalam
mengadvokasi penyusunan anggaran daerah yang
berbasis gender, atau Sekolah Demokrasi Aceh Utara
membangun relasi dengan membangun kapasitas
(capacity building) setiap politisi dari berbagai partai
politik yang ada melalui sekolah politik bagi para
politisi.
Berdasarkan hal di atas maka relasi OMS secara
organisasi dengan partai politik dibangun atas dasar
polas relasi partisipatoris. Relasi partisipatori ini
umumnya dibangun atas dasar lobi-lobi personal tokoh
125

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

OMS dengan tokoh Parpol untuk kepentingan agenda


organisasi. Secara umum OMS tidak ada yang
mengklaim dirinya sebagai organisasi sipil bagian dari
organisasi partai politik, meskipun secara program
organasasi sipil tersebut berorientasi untuk kepentingan
partai politik tertentu, seperti yang dilakukan oleh
Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh (KMPA) yang
bekerja untuk pemenangan Partai Aceh atau sesuai
setidaknya berjuang terhadap isu yang juga diperjuangan
oleh partai politik. Namun mereka tidak mau disebut
sebagai partisan (klientalistik) dari partai tersebut,
seperti halnya NDI (National Democratic Institute) yang
merupakan underbow-nya Partai Demokrat di Amerika
Serikat, atau IRI (International Republic Institute)
sebagai partisannya partai Republik.
Begitu juga sebaliknya, tidak ditemukan adanya
organisasi yang secara nyata kontras dan anti-terhadap
partai politik, selain FPI (Front Pembela Islam) dan
Hizbut Tahrir. Kedua organisasi massa ini secara
ideologis tidak hanya kontras terhadap partai politik,
akan tetapi juga terhadap konsep demokrasi. Konsep
anti-terhadap demokrasi merupakan konsekuensi dari
ideologi
pergerakan
yang
menganut
sistem
81
kekhalifahan.
81

Ke-khalifah-an merupakan sistem kedaulatan Islam (addaulah islamiyah) yang mengaliminer konsep negara moderen (trias

126

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Jadi secara umum relasi yang dibangun oleh


OMS di Aceh adalah relasi partisipatory secara
organisasi, dan relasi klientalistik secara personal aktivis
organisasi dengan tanpa membawa nama organisasi.
Meskipun demikian, sulit dipisahkan bahwa antara
popularitas aktivis dari organisasi tertentu dengan
personalitasnya yang bekerja untuk partai politik
tertentu. Ketidakberanian untuk menyeret organisasi
sipilnya dari kegiatan partai tertentu juga sebagai upaya
untuk menjaga kemurnia organisasi dari keperpihakan
kepada partai politik tertentu.
Sikap semacam ini menunjukkan apa yang
disebut Ghia Nodia sebagai narsisisme masyarakat
sipil, yakni sikap yang sangat bangga memandang
masyarakat sipil sebagai aktor yang memiliki moralitas
tinggi, idealis, bersih, independen, netral dan pro rakyat;
sementara mereka memandang politik dan partai politik
sebagai dunia yang kotor dan pragmatis. Ini yang
melandasi sikap pertama di kalangan OMS: relasi OMSpartai sangat diperlukan dan harus dilakukan, tetapi
harus disertai idealisme (narsisisme) masyarakat sipil. 82
politica), dan kembali kepada konsep pemerintahan Islam klasik
pada masa kejayaan ke-khalifah-an Usmaniyah dan atau Abbasyiah.
Baca: KH. M. Shiddiq al-Jawi, Empat Pilar Negara Khalifah,
diunduh dari http://hizbut-tahrir.or.id
82
Ghia Nodia, Civil Society Development in Georgia:
Achievements and Challenges, Policy Paper, Tbilisi: Caucasus

127

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Sementara Sutoro menyatakan bahwa itu adalah


bentuk relasi malu-malu dan cenderung mengambang
(floating relation).83 Relasi malu-malu ini adalah
bentuk untuk menyatakan kepada kepada publik bahwa
organisasinya bukanlah organisasi yang bekerja untuk
kepentingan partai politik. Meskipun publik mengetahui
bahwa secara tidak langsung organisasi tersebut bekerja
untuk partai politik tertentu.
Gambar 4: Pola Relasi OMS Terhadap Partai Politik
Lembaga

OMS

Langsung

Partai Politik
Personal

Pola
Relasi

Personal
OMS

Tidak
Langsung

Partai Politik
Kegiatan

Grafik di atas menunjukkan bahwa pola relasi


yang dibangun ada yang langsung dan ada juga yang
Institute for Peace, Democracy and Development, 2005
83

Sutoro Eko, Konsultan Ahli The Aceh Institute, 2013

128

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

tidak langsung. Secara langsung ada dua pola, yaitu


langsung relasi kelembagaan dan relasi personal.
Temuan The Aceh Institute menunjukkan bahwa relasi
yang dominan dibangun oleh OMS adalah relasi
personal dengan partai politik baik langsung maupun
tidak langsung. Relasi personal langsung ini artinya,
personal yang bersangkutan sebagai pengurus OMS
sekaligus pengurus partai politik. Sementara relasi
personal tidak langsung, ia bekerja untuk partai politik
atas
profesionalisme
personalnya,
serta tidak
mengkaitkan dengan lembaga OMS yang dipimpinnya,
atau tempat dia bekerja.
Sementara lembaga yang mempunyai relasi
langsung secara kelembagaan dengan partai politik tidak
ada, kecuali hanya beberapa lembaga organisasi sipil
yang langsung dibentuk oleh partai politik tersebut,
seperti ORMAS Nasdem, AMPI, Kosgoro, dll.
Sebaliknya kalau organisasi sipil yang mempunyai relasi
dalam bentuk kegiatan atau istilah Sutoro relasi
programatik banyak dilakukan oleh berbagai lembaga,
seperti ormas Muhammadiyah, NU, dan beberapa yang
lain.
Relasi programatik yang dimaksud disini adalah
organisasi masyarakat tersebut menerima dukungan
finansial baik berupa dana pribadi politisi maupun dana
aspirasi dari partai politik tertentu dan digunakan untuk
kerja-kerja organisasi masyarakat tersebut.
129

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Relasi dengan parpol untuk mendapatkan dana


aspirasi ini juga dipengaruhi oleh relasi personal atau
relasi ideologi ORMAS tertentu dengan partai politik
tertentu. Adapun skema bantuan aspirasi biasanya
diambil dari pos dana hibah, yang mana setiap organisasi
sipil terlebih dahulu mengusulkan program dan
pertanggungjawaban kepada lembaga pemerintah tempat
dana hibah dititip oleh anggota legislatif tertentu, dan
harus mendapatkan persetujuan pemilik dana aspirasi.
Adapun kerja-kerja ORMAS dari dana aspirasi
menjadi kewenangan ormas tersebut. Namun demikian,
terdapat juga beberapa organisasi yang menerima
aspirasi bekerja untuk komunitas pemilik dana aspirasi
tersebut. Artinya, ada keuntangan bersama (muatulisme)
antara yang memberi aspirasi dan yang menerima
aspirasi.
Dahlan Isa, direktur SAHARA, menyatakan
bahwa fenomena relasi antara OMS dengan partai politik
paska program rehab-rekon tsunami umumnya
dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Kondisi ekonomi LSM
di Aceh saat ini sudah berbeda pada saat Aceh konflik
dan tsunami, dimana paska tahun 2009 sudah sedikit
sekali sumber pendanaan bagi gerakan LSM di Aceh,
sehingga tidak sedikit membangun relasi klientalistik

130

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

atau programatik dengan partai politik tertentu agar


mendapat sumber dana dari dana hibah aspirasi dewan. 84
Selain relasi karena faktor ekonomi, faktor karir
aktivis OMS yang menyakini bahwa parpol sebagai
kelanjutan dari kerja-kerja sipil, sehingga perlu untuk
masuk ke partai politik. Hal yang menarik adalah
migrasi aktivis menjadi politisi itu cenderung
memperlihatkan karir individual ketimbang sebagai
gerakan dan politik representasi dari gerakan sipil itu
sendiri. Menurut Aditya Perdana bahwa terdapat
beberapa faktor yang mendorong aktivis bergabung
dengan parpol. Pertama, alasan karir dan regenerasi
dalam tubuh OMS. Pilihan terhadap karir ini didorong
kepada posisi baru yang ia nyakini akan lebih
mempunyai pengaruh terhadap perubahan yang lebih
baik, melalui jabatannya sebagai pejabat negara.
Lebih jauh Adiyta menulis bahwa pilihan untuk
bergabung dengan partai politik lebih disebabkan alasan
yang emosional yaitu berdasarkan kedekatan, baik secara
etnisitas ataupun secara garis perjuangan. Maka tidaklah
heran bila beberapa aktor masyarakat sipil yang dikenal
dekat dengan kelompok masyarakat di desa/kampung
lebih memilih partai yang juga dikenal memiliki
kedekatan tersebut.

84

Wawancara dengan Dahdan Isa, 12 November 2013

131

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Secara nasional misalnya pada Pemilu 2009, para


aktivis yang menjadi anggota partai dan tercatat sebagai
caleg DPR RI semakin semarak. Diantaranya terdapat
nama Ratna Bantara Mukti (aktivis perempuan-PDIP),
Apong Herlina (aktivis perempuan-PDIP), Indra Jaya
Piliang (akademisi/peneliti-Golkar), Hetifah Sj Sumarto
(aktivis planologi-Golkar), ataupun Binny Buchori
(aktivis perempuan-Golkar), yang resmi bertarung dalam
sebagai caleg di masing-masing daerah pemilihannya.
Namun demikian, diantara nama-nama tersebut hanyalah
Hetifah SJ Sumarto yang sukses memperoleh kursi di
Senayan dalam periode 2009-2014 nanti.
Ada pandangan masyarakat (pemilih), munculnya
kenyakinan bahwa anggota legislatif yang sudah ada
sekarang tidak mampu membawa perubahan yang lebih
baik dan signifikan bagi pembangunan dan mewujudkan
negara lebih baik. Oleh karena itu dirasa penting untuk
mengambil alih kekuasaan pemerintahan baik ditingkat
legislatif maupun eksekutif agar pemerintahan dapat
diwujudkan sesuai dengan cita-cita konstitusi dan
prinsip-prinsip good governance
Trens yang terjadi ditingkat nasional pada pemilu
tahun 2009 juga berkembang dan menular ditingkat
provinsi Aceh, dimana ketiga faktor yaitu faktor
ekonomi, kedekatan emosional, kemajuan karir dan
terakhir karena faktor ingin merubah pemerintahan dan
atau negara kearah yang lebih baik. Apalagi seperti
132

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dikatakan Kausar bahwa gerakan OMS di Aceh paska


MoU dan UUPA sudah melemah, dan tidak terlihat
agenda politik yang jelas. Sehingga memilih untuk
bergabung dengan partai politik menjadi instumen untuk
mengaktualisasikan cita-cita politik yang lebih nyata,
yaitu mensejahterakan masyarakat melalui berbagai
kebijakan secara politis. Lebih jauh Kausar sepakat
bahwa gerakan OMS harus menganut aliran Gramsky
tentang relasi negara (political society) dan warga (civil
soceity), dimana satu sama lain tidak dapat dipisahkan. 85
Gambar 5: Pola orientasi politik aktivis sipil terhadap
partai politik
Gambar ini menunjukkan
bahwa pola orientasi
yang paling dominan
terjadinya migrasi aktivis
OMS ke partai politik
adalah
untuk
meningkatkan karir, dan
hanya sedikit diantaranya
yang punya konsep dan
komitmen awal untuk menjadi pelopor perubahan
85

Kausar, Relasi Politik OMS dengan Parpol, disampaikan


pada Seminar Para stakholders dan OMS di Aceh pada 12
November 2013, di Oasis Hotel, Banda Aceh

133

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

(reform) dalam penyelengaraan negara menjadi lebih


baik sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.
Beberapa aktivis yang mempunyai komitmen
untuk menjadi agent of change untuk reformasi di
birokrasi
dan
parlemen
melalui
mekanisme
pengambilalihan kekuasaan belum ada kesepakatan
bersama diantara aktivis OMS itu sendiri. Artinya,
sebagian besar aktivis OMS yang masih berpikir tidak
percaya dengan komitmen itu karena melihat
fenomena yang ada, bahwa tidak sedikit aktivis sipil
yang sudah menjadi anggota legislatif terjebak dalam
budaya pragmatisme-materialistik.
5.3.3. Pola Relasi Politik OMS yang Berkembang
Secara umum, relasi yang terbentuk antara OMS
dengan partai politik di Aceh, secara organisasi adalah
relasi partisipatory. Yaitu membangun kemitraan dengan
parpol dalam mempengaruhi kebijakan. Salah satu
contoh yang dilakukan oleh Gerak Aceh terkait dengan
kebijakan pemerintah dalam hal pemerataan guru di
Aceh. dalam hal ini Gerak Aceh melakukan konsultasi
dengan Komisi D untuk memberi tekanan kepada
pemerintah agar benar-benar menata dan meratakan
distribusi guru. Komisi D menyampaikan hal ini melalui
pandangan umum misalnya, sehingga akan lebih
menguatkan misi mempengaruhi kebijakan ini. Tekanan
tersebut disampaikan dengan cara mengundang mereka
134

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

untuk berdiskusi atau mengadakan FGD, di mana Gerak


Aceh dapat berbagi data kepada mereka, untuk kemudian
disampaikan dalam forum pandangan fraksi di awal atau
akhir anggaran.
Sementara secara personal, aktivis OMS
melakukan penyebaran diri kesejumlah partai politik
yang ada, baik partai politik berbasis lokal maupun
nasional. Proses penyebaran ini, baik sebagai pendiri
partai maupun sebagai pengikut partai yang sudah ada.
Dari sekian pertai lokal tersebut, terdapat beberapa
aktivis OMS yang ikut menjadi pelopor dan bagian dari
terbentuknya partai politik yang berbasis lokal tersebut,
antara lain terdapat Ghazali Abas Adan, yang
mendirikan partai Paas dan merangkap sebagai pembina
pada ormas DDII (Dewan Dakwan Islam Indonesia),
sementara di Partai Daulat Aceh ada Tgk Muhibutabri,
Tgk.Ali Imran, Waled Husaini, dan lainnya yang
umumnya adalah aktivis dari Rabithah Thaliban Aceh
(RTA) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA).
Sedangkan di Partai SIRA terdapat sejumlah nama
seperti Teuku Banta Syahrizal yang juga pernah
menjabat sebagai program manager ACSTF, dan juga
Wiratmadinata yang ikut melahirkan PRA. Begitu juga
halnya dengan beberapa aktivis KontraS Aceh yang
mendukung pembentukan Partai Aceh (PA) seperti
Kautsar, Hendra Fadli, serta tokoh sipil Humam Hamid
yang mendirikan PBA.
135

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Disamping partai lokal juga terdapat beberapa


tokoh OMS yang bergabung dengan partai nasional,
seperti TAF Haikal yang bergabung dengan Partai
Amanat Nasional (PNA) pada pemilu 2009, dan
Akhiruddin Mahjuddin bergabung dengan Partai
Demokrat, Hendra Budian dengan Partai Golkar dan
beberapa aktivisi gerakan sipil lainnya.
Hasil temuan ini serupa dengan hasil penelitian
Teuku Ardiansyah (2011) yang menunjukkan bahwa
relasi yang dibangun oleh OMS mayoritas melalui
penyebaran kadernya disuluruh partai politik yang ada,
baik parpol berbasis nasional maupun lokal. Kedua,
sebagian LSM tidak ada relasi secara khusus dengan
partai politik, seperti LSM yang bergerak diisu HAM,
Lingkungan dan LSM Anti-Korupsi. Sementara hanya
sedikit yang membangun relasi dengan partai tertentu
secara pragmatis karena ada unsur ekonomis atau
lainnya.
Sayangya, penyebaran aktivis OMS dalam
berbagai partai politik ini tidak diberangi dengan agenda
bersama yang diperjuangkan di berbagai partai politik
yang berbeda itu pula. Sebaliknya, yang muncul adalah
lahirnya agenda-agenda personal yang disesuaikan
dengan agenda partai politik. Dengan kata lain, disatu
sisi migrasi aktivis OMS ke dalam partai politik tertentu
merupakan agenda pribadi/personal OMS tersebut, dan

136

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

disisi lain, personal tersebut terjebak dalam budaya


partai politik yang cenderung prakmatis.
Gambar 6: Model Relasi LSM dan Partai Politik

Sumber: Teuku Ardiansyah, 2011

Beberapa LSM lainnya mempunyai agenda


secara sadar untuk mendukung kadernya menjadi
fungsionaris partai politik tertentu. Hal ini seperti yang
dilakukan LBH APIK, dimana organisasi yang bergerak
di isu-isu penguatan partisipasi perempuan diruang
publik ini, mendukung pengurusnya atau kadernya untuk
berpartisipasi aktif dalam politik praktis diberbagai
partai politik yang ada.
Disamping juga untuk
memperjuangkan visi dan platform politik LBH APIK
137

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

yaitu terwujudnya keterwakilan perempuan diparlemen,


sekaligus memperjuangkan hak-hak politik perempuan. 86
Secara umum, relasi politik yang dibangun oleh
LBH Apik dengan anggota parlemen perempuan adalah
relasi untuk melakukan advokasi kebijakan, khususnya
regulasi dibidang perempuan dan anak. Relasi yang
dibangun oleh LBH APIK sama halnya juga dilakukan
oleh Jaringan Perempuan untuk Keadilan (JARI). Bagi
JARI Aceh87 (Womens Network for Justice
Aceh/Jaringan Perempuan untuk Keadilan) pilihan
politik ini dilandasi dua hal. Pertama, sebenarnya LSM
harus membangun relasi dengan partai politik, karena
banyak orang saat ini terlibat dalam partai politik malah
tidak mengetahui politik, tidak mengetahui berpolitik
dengan benar. Kedua, dimaksudkan untuk memperkuat
representasi politik kaum perempuan.
Melihat fenomena ini, dapat dikatakan bahwa
transformasi aktivis OMS ke partai politik disatu sisi
untuk memudahkan kegiatan-kegiatan advokasi yang
menjadi core dari gerakan OMS sendiri, dan disisi lain
sebagai upaya untuk merebut kekuasaan dan kedudukan
strategis dalam pemerintahan. Namun demikian,
menurut Rahmat Hidayah dalam artikelnya Dari
Jalanan ke Parlemen yang dirilis oleh Republika (15
86

Wawancara dengan Roslina Rasyid, Direktur LBP APIK,


3 November 2013
87
Direktur JARI Aceh, Khairul Hasni, 2 November 2013

138

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Mei 2013) menyatakan bahwa perubahan orientasi


gerakan dari sipil ke politik umumnya tidak membawa
pengaruh apapun terhadap kebijakan partai politik,
sebaliknya terjebak dalam prilaku partai politik yang
sangat pragmatisme dan realistis. Beberapa contoh
aktivis seperti Anas Urbaningrum, Fahri Hamzah, Nasir
Djamil, Budiman Sujatmiko, dll pada akhirnya juga
terjebak dalam kebiaasan lazim politisi yang
pragamtisme-materialistik.
Kesimpulan serupa meskipun tidak sama juga
dikatakan oleh Marcus Mietzner (2013), yang
menganalisis masuknya (hijrah) para aktivis prodemokrasi ke ranah politik. Jumlah aktivis yang masuk
ke DPR (2009-2014) cukup signifikan, yaitu 7%, lebih
tinggi dari pensiunan tentara/polisi yang hanya 2%.
Mereka tersebar diberbagai partai politik dengan
mengusung isu dan kepentingan yang berbeda, dan untuk
menyamakan penggunaan istilah, maka kita sebut
sebagai aktivis-politisi. Secara umum ada tiga tipe
orientasi aktivis-politisi tersebut, yaitu: (1) Aktivispolitisi yang berorientasi pada karir. Karir identik
dengan kedudukan dan pencarian nafkah. (2) aktivispolitisi yang berorientasi politik: membangun political
capital, memanfaatkan momentum politik untuk
memperbesar kekuasaan baik individu maupun
organisasinya. (3) aktivis-politisi yang berorientasi pada
perubahan (reformasi dan birokrasi). Tipe yang pertama
139

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dan kedua tumbuh menjadi elite baru yang masuk ke


lubang oligarkhi dan membangun jaringan patronase
ekonomi politik.
5.3.4. Analisis Terhadap Relasi Politik OMS di Aceh
Berdasarkan temuan di atas, maka secara umum
relasi yang dibangun oleh OMS di Aceh adalah relasi
partisipatif (participatory). Dimana beberapa OMS,
khususnya LSM membangun relasi dengan partai politik
melalui tokoh tertentu dari partai politik dalam kerjakerja advokasi.
Disisi lain, relasi secara personal ini tidak sedikit
yang kemudian menyebabkan banyaknya aktivis OMS
yang melakukan migrasi ke dalam partai politik. Upaya
melakukan migrasi, istilah lain infiltrasi secara
personal ke dalam partai politik tertentupun belum
mampu mempengaruhi terhadap kebijakan partai politik
itu sendiri secara internal.
Artinya, relasi partisipatoris antara OMS dengan
partai politik yang cenderung efektif adalah relasi
mempengaruhi kebijakan partai politik untuk
kepentingan rakyat secara eksternal, tidak secara
internal. Karena pengaruh secara internal, jika tidak
dikatakan lemah, maka cenderung bersifat mengambang
(floating linkage), dan umumnya terbawa arus
kepentingan partai ensich. Kondisi ini seperti dikatakan
Sutoro diakibatkan oleh kondisi aktivis OMS di partai
140

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

politik belum mempunyai cantolan ke atas yang kuat dan


juga tidak mempunyai basis di bawah yang kuat. Hal ini
juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
Pertama, beberapa aktivisi OMS yang migrasi
ke partai politik belum mempunyai modalitas yang
memadai untuk mengimbangi apalagi merebut
kekuasaan di partai politik di posisi strategis. Sebaliknya
beberapa aktivis OMS yang mempunyai posisi strategis
tidak mampu mengintegrasikan agenda masyarakat sipil
dengan agenda partai politik. Umumnya yang terlihat
adalah agenda partai politik semata.
Kedua, relasi dan komunikasi antara OMS
dengan partai politik secara institusional relatif tidak
terbangun dengan baik. Kecuali pada saat menjelang
pemilu beberapa partai politik membangun komunikasi
untuk kepentingan politis partai, dan komunikasi
dibangunpun tidak melalui institusi secara resmi,
melainkan secara personal pengurus OMS tersebut.
Disamping itu belum tercipta hubungan yang saling
mempercayai satu sama lain. OMS dianggap organisasi
idealis dan partai politik cenderung lebih pragmatis.
Asiah Uzia, Mantan Koordinator Kontras Aceh,
pengurus Partai PNA dan Caleg untuk DPRK Banda
Aceh mengatakan:
...Relasi yang terbangun itu positif, tapi bisa
menjadi negatif, ini ketika ada aktivis yang
menjadi caleg, sedikit sekali aktivis OMS yang
141

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

mendukungnya, ketika diawal OMS terlalu


banyak menuntut aktivis untuk maju sebagai
caleg
agar bisa membawa agenda-agenda
perubahan seperti yangdiinginkan OMS, tapi
kemudian ketika aktivis ini maju, OMS tidak
memberikan dukungan real dan konkret, kita
melihat banyak teman-teman OMS yang
menyuruh aktivis untuk menjadi caleg, tapi
ketika DPT keluar, OMS-OMS yang meminta
aktivis untuk caleg tadi, tidak memberikan
dukungan lagi.
Kecenderungan OMS secara institusi menjaga
jarak dengan aktivis sipil yang menjadi Caleg dari partai
politik tertentu adalah bagian dari menjadi stigma
idealisme tentang independensi, integritas dan netralitas
dalam berhubungan dengan partai politik.
Namun beberapa LSM secara personal
membangun relasi dengan fungsionaris partai politik
tertentu. Relasi ini terbentuk akibat hubungan emosional,
ideologi, modal politik dan juga faktor ekonomi
personal dan juga untuk lembaga--. Namun terkait faktor
ekonomi untuk kepentingan kelembagaan yang didukung
oleh partai politik tertentu, juga umumnya dipengaruhi
oleh kedekatan personal, bukan kelembangaan. Lembaga
hanya dijadikan untuk proses administrasi dalam
mendapatkan dukungan dana tersebut, khususnya dana
aspirasi.
142

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Sedangkan relasi personal pengurus OMS dengan


personal partai politik tertentu yang disebabkan
hubungan emosional atau ideologi lebih ditunjukkan
dengan dukungan secara personal pula bagi modal
politik Caleg partai tertentu, dan tidak terlihat (samar)
adanya pengakuan dukungan secara institusional.
Di tengah kondisi yang samar-samar itu
Muhammadiyah menunjukkan sikap terbuka dan jujur
mengakui relasi yang dibangun dengan partai politik,
khususnya relasi programatik. Muhammadiyah sering
menerima dana aspirasi dari anggota parlemen yang
berasal dari pengikut Muhammadiyah. Hal ini
sebagaimana disampaikan oleh Hiqzil Apandi, bahwa:
... Ormas Pemuda Muhammadiyah sering
menerima dana aspirasi dewan, hampir setiap
tahun
menerima
dari
senior-senior
Muhammadiyah di DPR. Tetapi dana itu tidak
dipakai untuk kerja-kerja dan kepentingan partai,
melainkan digunakan untuk kegiatan organisai,
misalnya untuk rehab masjid, membangun
sekolah dan lain-lain...,
Lebih jauh Hiqzil Apandi mengatakan bahwa
meskipun organisasinya menerima dana aspirasi dari
kedekatan secara ideologi dengan anggota dewan,
namun secara institusional Muhammadiyah tetap
melakukan kontrol terhadap partai politik.

143

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Relasi secara ideologi yang bermanfaat bagi


kepentingan masyarakat ini adalah bentuk dari visi-misi
dari lembaga Muhammadiyah itu sendiri, dan dana
aspirasi pun bagian dari dari masyarakat yang
dialokasikan oleh anggota legislatif. Disamping itu,
dukungan dari partai politik tidak hanya partai tertentu,
melainkan dari berbagai partai. Artinya relasi itu
terbentuk karena dari ideologi kemuhammadiyahan,
bukan kepartaian.
Beberapa OMS lain yang membangun relasi
secara institusional dan personal dengan partai politik
tertentu, dan bekerja untuk partai politik tertentu
umumnya organisasi sipil yang dibentuk dan atau
terbentuk secara temporer. Beberapa organisasi sipil
tersebut cenderung tidak dikenal oleh publik, kecuali
organisasi yang berbentuk underbow partai.
5.4. Faktor Yang Mempengaruhi Relasi Politik OMS
di Aceh
Secara umum, faktor terbentuknya relasi antara
OMS dengan partai politik adalah karena relasi personal
pengurus OMS dengan pengurus partai politik, atau
salah satu kader OMS menjadi anggota legislatif. Hal ini
sebagaimana disampaikan oleh Azriana dari RPUK,

144

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

bahwa relasi itu dibangun melalui kontak personal untuk


tujuan mencapai tujuan-tujuan kerja lembaga OMS.88
Selain itu, faktor lainnya adalah terkait dengan
ide-ide
perubahan.
Artinya,
sejumlah
OMS
berkenyakinan bahwa perubahan itu harus dilakukan
melalui penyelengara negara, baik legislatif maupun
eksekutif. Oleh karena, mempengaruhi kebijakan baik
langsung maupun tidak langsung merupakan satu
keniscayaan dari kerja-kerja OMS. Bahkan lebih radikal
berkenyakinan bahwa penyelengara negara harus direbut
oleh aktivis OMS.
Visi misi dari parpol, juga track record dari
orang-orang kunci di parpol, ini salah satu yang bisa
mempengaruhi relasi dengan OMS. Visi misi partainya
dan sokongan orang-orangnya dan hasil kerja. Misal, ada
satu kebijakan yang diskriminatif, lahir dari suatu
periode, kalau saya akan lihat partai mana yang
mayoritas di legislatif ketika kebijakan itu dilahirkan.
Itu juga bisa menjadi faktor yang mempengaruhi adanya
relasi. Ada kesadaran di OMS untuk melakukan
perubahan, yang terkadang juga membutuhkan
keterlibatan mereka di partai politik. namun, kepentingan
adalah hal yang paling utama yang memperngaruhi relasi
politik OMS dan Parpol. Rata-rata aktivis yang masuk
88

Wawancara dengan Azriana, Direktur Relawan Perempuan


Untuk Kemanusiaan (RPUK), 15 Desember 2013

145

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

parpol, tentu tidak datang dengan tanpa kepentingan,


aktivis masuk parpol tahu apa yang mau dilakukan, ini
berbeda dengan orang-orang biasa yang masuk parpol
adalah untuk belajaf berpolitik.
Faktor-faktor relasi OMS dan Ormas lainnya
seperti di Aceh Utara dan Lhokseumawe dipengaruhi
kepentingan kekuasaan dan kesejahteraan (uang). Faktor
kekuasaan karena paska konflik telah memberikan ruang
partisipasi dalam politik cenderung terbuka, salah
satunya adalah adanya partai lokal, dan calon
independen. Disamping itu kekuasaan secara politik juga
meningkatkan prestise dalam masyarakat. Selain itu
faktor kesejahteraan karena donor di Aceh sangat
terbatas sehingga membuat OMS dan Ormas
membangun hubungan dengan partai politik dan
penguasa dari partai politik. Intinya saling membutuhkan
finansial dan dukungan politik.
Disisin lain, faktor terbentuknya relasi antara
OMS dengan partai politik adalah untuk kepentingan
advokasi terhadap kepentingan masyarakat yang
dilakukan oleh OMS. Hal ini seperti yang dilakukan oleh
LSM MATA, GeRAK Aceh, LBH Banda Aceh, RpuK,
ACSTF, Forum LSM Aceh, WALHI dan lain-lain.
Advokasi melalui partai politik, khususnya politisi yang
menjadi anggota dewan, karena anggota dewan dapat
mempengaruhi kebijakan pemerintah eksekutif. Kedua,
anggota dewan merupakan orang yang mempunyai peran
146

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dalam menyusun berbagai regulasi. Sehingga kegiatan


advokasi tersebut dilakukan agar setiap kebijakan
berpihak kepada kepentingan masyarakat secara luas.
Faktor lainnya adalah karena bosan menjadi
aktivis OMS yang tidak menentu secara pendapatan juga
keinginan untuk berbuat lebih banyak bagi kepentingan
rakyat dan negara. Setidaknya bahwa lahir keinginan
aktivis OMS untuk menjadi anggota partai politik,
dengan harapan terpilih menjadi anggota dewan, dan
atau menjadi kepala daerah dalam pemilukada. Faktor
memperbaharui keberadaannya dari OMS ke Parpol juga
menjadi faktor relasi itu tersebut, meskipun relasi ini
lebih cenderung bersifat personal.
Menurut Juanda Jamal, beberapa aktivis OMS
yang membangun relasi dengan partai politik, dan
kemudian menjadi pengurus partai politik karena mereka
menyakini bahwa agenda perubahan di OMS banyak
tidak jelas, sementara mereka menyakini bahwa agenda
partai politik jauh lebih jelas dan terdapat anggaran
secara pasti dalam melakukan perubahan itu. Sebaliknya
agenda-agenda OMS sering kekurangan dana, khususnya
setelah program tsunami berakhir di Aceh.89
Faktor lainnya adalah kenyakinan beberapa
aktivis OMS yang menyakini bahwa mereka lebih baik
dari politisi-politisi tua di partai politik. Kenyakinan
89

Interview, Juanda Jamal, 5 November 2013

147

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

akan lebih baik itu juga sebagai bagian untuk merebut


kekuasaan dalam rangka memperjuangkan isu-isu yang
diperjuangkan selama ini melalui institusi OMS melalui
institusi Negara. Misalnya OMS yang concern pada isu
perempuan, beberapa OMS perempuan akhirnya
membangun relasi dengan partai politik tertentu
khususnya secara personal untuk menjadi pengurus
partai dan bersaing memperebutkan kursi parlemen.
Terakhir, beberapa aktivis OMS yang
membangun relasi secara aktif menjadi bagian dari partai
politik karena menggangap kerja-kerja OMS pasca
Tsunami dan Konflik telah berakhir, dan orientasi OMS
menjadi tidak jelas lagi. Sehingga migrasi ke partai
politik menjadi pilihan strategis untuk mendapatkan
posisi dan eksistensi diri di publik.

5.5. Dampak Relasi Politik Dengan Partai Politik


Terhadap Indepedensi OMS
Secara umum, dampak dari relasi politik dengan
partai politik terhadap indepedensi OMS di Aceh dapat
dilihat perkembangan perpolitikan di Aceh, peran dan
fungsi OMS sebagai agen perubahan sekaligus sebagai
salah satu pillar Negara yang demokratis, disamping tiga
lembaga Negara (trias politica) dan media.

148

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Melihat temuan yang ada, maka OMS yang


membangun hubungan secara korporatis, yaitu OMS
yang menjadi bagian dari kepentingan partai politik
semata, maka independensi OMS sebagai pillar
demokrasi menjadi tidak ada. Hilangnya independensi
ini terlihat dari hilangnya agenda-agenda OMS secara
visi-misi dan program-program lembaga secara
independen. Sebaliknya yang muncul adanya menjadi
lembaga pekerja bagi keuntungan partai politik.
Sementara OMS yang mengambil keuntungan
dari partai politik, baik secara politis maupun ekonomis.
Begitu juga partai politik mendapat sokongan secara
politis dari OMS tersebut, maka kondisi ini
menyebabkan indepedensi OMS tersebut diragukan,
khususnya jika keuntungan secara mutualisme tersebut
hanya bersifat sektoral, tidak untuk kepentingan dan
keuntungan masyarakat secara luas. Beberapa OMS
model seperti ini tidak terlalu populis bagi publik, karena
umumnya lahir secara temporer pada saat pesta
demokrasi, khususnya pada pemilukada.
Beberapa OMS yang populis, atau dikenal
dengan LSM yang aktif dalam memperjuangkan
berbagai agenda kepentingan publik cenderung menjaga
independensinya secara institusional sebuah lembaga
yang independen. Meskipun secara personal beberapa
diantaranya
tidak
independen,
namun
secara
kelembagaan tetap menjadi netralitas sebagai lembaga
149

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

non-pemerintah. Sehingga relasi yang dibangun secara


organisasi dengan partai politik umumnya bersifat relasi
partisipatif.
Relasi secara partisipatif ini juga memberikan
manfaat bagi kerja-kerja OMS yang terkait dengan
kebijakan partai politik di parlemen. Beberapa
pengalaman KontraS Aceh misalnya menjadi lebih
mudah dalam membangun koordinasi dengan politisi di
DPRA dalam mengadvokasi berbagai aturan daerah.
Namun meskipun mempunyai akses yang mudah karena
adanya relasi personal tersebut, namun dalam beberapa
kebijakan yang tidak merakyat KontraS tetap kritis.
Misalnya dalam pembentukan BP2A (Badan
Pembangunan Perdamaian Aceh) yang dianggap
mubazir dan tidak ada payung hukumnya.
Independensi OMS terhadap partai politik ini
juga tetap terjaga ketika posisi OMS baik secara
institusional maupun personal tetap mandiri, meskipun
saling mempengaruhi (dalam hal positif). Namun ketika
terdapat pengurus/personal OMS yang juga menjadi
pengurus partai politik tertentu, maka keindependensian
OMS menjadi samar, bahkan menjadi hilang karena
adanya conflict interest. Hal ini dikarenakan tidak
mungkin adanya split personality (personalitas ganda) di
OMS dan partai politik, disamping akan menghilangkan
daya kritis terhadap kebijakan partai politik yang
bertentangan dengan kenyakinan OMS.
150

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Artinya, masyarakat sipil di Aceh percaya bahwa


untuk menjadi indepedensi gerakan OMS, maka tidak
boleh adanya dualisme kepengurusan seorang aktivis, di
partai politik dan di organisasi sipil. Sebaliknya, harus
memilih salah satu diantaranya. Hal inilah yang akan
menjadi independensi baik independensi OMS maupun
partai politik itu sendiri.
Namun demikian, irisan saling mempengaruhi
tetap dibutuhkan agar mencapai tujuan yang sama
(common agenda) antara OMS dengan partai politik.
Karena kedua organisasi tersebut, meskipun pada posisi
yang berbeda namun mempunyai orientasi yang sama,
yaitu mensejahterakan rakyat Indonesia. Sehingga check
and balace sangat diperlukan, bahkan harus membangun
membangun sinergisasi secara orientasi, bukan secara
institusi.
Hal ini dikarenakan, ketika aktivis OMS
bergabung dengan partai politik, maka harapannya
adalah mampu mempengaruhi kebijakan internal dan
eksternal partai untuk kepentingan publik, termasuk
kebijakan dan prilaku partai politik dan politisinya yang
lebih baik. Misalnya bagaimana mereka mampu
membangun prilaku yang lebih demokratis, tidak
melakukan kekerasan, tidak melakukan money politic,
dan lainnya yang sesuai dengan perundang-undangan,
moral dan etika.

151

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Kalau model relasi itu menjawab kebutuhan dari


perubahan yang diharapkan OMS, relasi itu bisa
berkontribusi pada perubahan yang diharapkan OMS,
tentu kerja-kerja OMS akan semakin mudah. OMS
bekerja membangun daya kritis masyarakat, masyarakat
yang cerdas ini ketika masuk ke parpol, maka akan
memperkuat parpol, atau kalau tidak bergabung di
parpol, masyarakat yang daya kritisnya sudah terbangun,
akan jadi pemilih yang cerdas. Kalau relasi berjalan
sebagaimana harusnya (dan bukan relasi eksploitatif),
maka perubahan di masyarakat akan lebih mudah
dicapai.
Abdullah dari MATA menyatakan bahwa
dampak dari relasi ini yang paling nyata terlihat ialah
kelompok masyarakat yang ingin menemui anggota
parlemen (politisi) menjadi lebih mudah, jika MATA
tidak membangun relasi yang baik dengan parpol
maupun person anggota partai, maka susah untuk
mengajak mereka turun lansung kemasyarakat untuk
melihat permasalahan masyarakat, seperti dalam kasus
pembebasan lahan. Meskipun kemudian relasi antara
MATA dengan salah satu partai berkuasa di Aceh
mengalami keretakan karena terkait dengan
permintaan data dana partai tersebut melalui Komisi
Informasi Aceh yang ditolak diberikan oleh partai itu ke

152

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

MATA, bahkan mencap lembaga MATA sebagai


lembaga antek-antek asing. 90
Terakhir, independensinya sebuah institusi baik
itu OMS maupun partai politik adalah sejauh mana
institusi lembaga tersebut mampu menjalankan visi, misi
dan program-programnya sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan yang ada. Meskipun diantara
keduanya mempunyai relasi, namun selam relasi itu
bertujuan dan berdampak bagi kepentingan dan
kesejahteraan publik maka independensinya tetap
terjaga. Namun ketika OMS, dan atau partai politik
sekalipun sudah mengadaikan visi, misi dan amanah
dari statuta lembaganya, maka disitulah independensi
menjadi tiada, yang ada ada dependensi (ketergantungan
terhadap lembaga lain, dan bekerja untuk yang
mengantungkannya).

90

Abdullah, Program Manager LSM MaTA, 2013

153

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

POSISI OMS TERHADAP


DINAMIKA DEMOKRASI
DAN PEMERINTAHAN

Bab ini difokuskan untuk mengkaji posisi OMS terhadap


dinamika demokrasi dan pemerintahan. Dimana peran
dan posisi OMS dalam mewujudkan demokrasi dengan
mendorong dan melahirkan kebijakan partai politik
secara aktif dan progresif sesuai dengan kebutuhan
publik. Kemudian juga melihat peran OMS dalam proses
demokrasi melalui pemilihan legislatif dan pemilihan
kepala daerah, serta kontribusi OMS dalam mendorong

154

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

kemajuan tata kelola pemerintahan yang baik sesuai


dengan prinsip-prinsip good governance. 91

6.1. Pengaruh OMS terhadap Kebijakan Partai


Politik
Partai politik bagian yang tidak terpisahkan
dalam sistem demokrasi, bahkan menjadi syarat utama
mewujudkan dari sistem tersebut. Melalui partai politik
kebijakan dibuat dengan mekanisme proses pembuatan
produk perundang-undangan. Sehingga keberadaan
OMS sangat dibutuhkan guna mengontrol dan
mengevaluasi kinerja partai politik yang berada di
legislatif, baik secara internal maupun ekstrenal.
Pengawasan internal ini dilakukan dengan peran kader
OMS yang menjadi politisi partai politik tertentu.
Sementara pengawasan eksternal dilakukan dengan
kegiatan advokasi melalui public hearing, demontrasi
dan kritikan melalui media massa.
Secara umum, ada beberapa contoh pengaruh
OMS terhadap kebijakan parpol diparlemen, baik
ditingkat nasional maupun ditingkat lokal. Setidaknya
91

Prinsip Good Governance antara lain: Akuntabilitas,


Pengawasan, Daya Tangkap, Profesionalisme, Efisiensi,
Transparansi, Kesetaraan, Wawasan Ke Depan, Partisipasi dan
Penegakan Hukum, diunduh dari Komite Nasional Kebijakan
Governance, 10 Januari 2014

155

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

ada dua produk hukum yang dilahirkan oleh parlemen


dan mempunyai pengaruh advokasi dari gerakan sipil,
seperti Undang-undang No.10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan92 dan UU
No.2 tahun 2011 partai politik serta yang terakhir UU
Pedesaan93. Sementara di tingkat lokal, OMS berhasil
mendorong disahkannya Qanun No.17 tahun 2013
tentang Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di
Aceh, Qanun No.4 tahun 2010 tentang Tentang Tata
Cara Pembentukan Qanun, dan beberapa produk hukum
daerah lainnya.
Meskipun demikian, gerakan OMS ini belum
terbentuk secara masif. Beberapa advokasi kebijakan
terhadap partai politik juga lebih mengedepankan relasi
personal dibandingkan dengan bergaining position
kelembagaan OMS sebagai sebuah komunitas. Seperti
halnya advokasi terhadap Qanun KKR, relasi personal
aktivis KontraS di parlemen mempunyai pengaruh yang
signifikan dalam proses pengesahan qanun tersebut. Hal
ini terlepas dari kepentingan Parpol untuk mendapatkan
simpati rakyat pada pemilu 2014, namun setidaknya
92

Wawan Ichwanuddin, Aditya Perdana dan Fransisca Fitri,


Masyarakat Sipil dan Kebijakan Publik: Studi Kasus Aktivitas
Masyarakat Sipil dalam Mempengaruhi Kebijakan Publik, Jakarta,
YAPPIKA, 2006
93
Lihat Siaran Pers Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik
tanggal 18 Januari 2008 tentang Pilihan Sistem Pemilu 2009, dapat
diakses di www.parlemen.net

156

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

peran relasi personal aktivis Kontras dan LBH dengan


politisi partai penguasa setidaknya berpengaruh pada
pengesahan qanun tersebut.
Artinya, peran secara masif keorganisasian belum
terbentuk, seperti temuan penelitian ini dimana relasi
OMS secra organisasi belum cukup kuat. Meskipun
dengan masuknya kalangan aktivis Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat (Ormas)
ke partai politik, namun belum mampu mempengaruhi
kebijakan partai politik secara masif. Hal ini dikarenakan
keberadaan aktivis menjadi kader partai tidak memiliki
dukungan dari pihak luar yakni kalangan LSM dan
Ormas. Selain itu, beberapa aktivis LSM atau Ormas
yang menjadi kader partai politik tidak memback-up ideide gerakan OMS untuk kepentingan publik secara
penuh. Disamping juga sikap LSM yang menjaga jarak
dengan politisi partai politik secara organisasi, karena
khawatir diklaim sebagai underbow partai.
Hal ini juga dikatakan oleh Zaini Djalil94, Ketua
Partai Nasdem Provinsi Aceh. Menurutnya kebanyakan
dari aktivis yang telah menjadi kader partai politik
sangat kurang memiliki komitmen melakukan upaya
memperjuangkan
kebijakan
bersumber
kepada
kebutuhan publik.

94

Tanggal 7 Desember 2013, Pukul 10.20

157

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

...Seharusnya aktivis OMS yang bergabung


dalam partai politik mampu menunjukkan ke
publik agar publik mengetahui bahwa kader
partai berasal dari aktivis serius memperjuangkan
aspirasi dari konsistuennya ataupun masyarakat
dampingannya. Sebaliknya hal ini tidak terjadi
secara penuh, meskipun di Nasdem umumnya
berasal dari aktivis OMS
Namun pendapat Zaini Djalil ini berbeda dengan
pengakuan dari Ketua Umum PNA Irwansyah alias
Muksalmina. Ia menyatakan bahwa pengalaman PNA
terhadap para aktivis OMS yang menjadi kader di PNA
telah banyak berkontribusi dalam merumusakan arah
kebijakan partai melalui pemikiran mereka yang jelas,
terukur, terarah, dan mereka tetap memiliki konsisten
kepedulian terhadap masyarakat.95
Namun demikian, menurut Muksalmina tidak
semua ide ataupun pemikiran mantan aktivis yang
bertransformasi menjadi kader partai diterima sangat
tergantung dari persetujuan forum ketika memutuskan
kebijakan di partai tersebut. Dirinya menambahkan,
ketika mantan aktivis bergabung menjadi kader partai
politik maka bentuk mekanisme partisipasi di internal
dengan memberikan kontribusi pemikiran/ide. Bahkan
95

Wawancara dengan Muksalmina, Ketua Umum Partai


Nasional Aceh, 7 Desember 2013

158

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

lebih daripada itu, PNA memberikan kesepakatan


kepada kader partai berasal dari aktivis menawarkan
produk berupa konsep arah kebijakan partai.
Dinamika terhadap peran OMS dalam
mempengaruhi kebijakan parpol juga terdapat berbagai
pandangan. Sebagian menyatakan bahwa untuk
mempengaruhi kebijakan parpol tidak harus melakukan
tranformasi ke dalam parpol, melainkan cukup diluar
partai politik. Hal yang perlu dilakukan hanya
membangun komunikasi secara aktif dan progresif
dengan partai politik. Dengan demikian kalangan LSM
maupun Ormas mampu menunjukan bahwa tidak harus
masuk partai pun mampu mendorong perubahan
kebijakan di partai politik.
Tabel 5: Beberapa contoh peran aktivis OMS terhadap
kebijakan pemerintah dan partai politik di
Aceh.
Lembaga
Achehnese Civil
Society Task
Force (ACSTF)
dan Jaringan
Demokrasi Aceh
(JDA)

Program
Pertemuan rutin
stakeholder dan
komponen
masyarakat sipil
Menginisiasi
perumusan UU
Pemerintah Aceh

159

Tujuan
1. Membicarakan terkait
permasalahan serta
mencari solusi
mengatasinya.
2. Mendiskusikan
agenda bersama guna
mendorong pelayanan
publik dan tata kelola

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

CARe Aceh

versi Masyarakat
Sipil, serta
advokasi proses
pembentukan
RUU sampai
ditetapkan
menjadi UU
No.11 Tahun
2006 (Support
Yappika dan
DRSP).
Pembentukan
Forum
Komunikasi
Partai Politik
Dalam Mengatasi
Kebutuhan
Konstituen
(Support
International
Republican
Institute, 2010
dan 2011)

Forum LSM

1) Advokasi

160

pemerintahan
Mengusulkan draf UU
No. 11 tahun 2006 versi
masyarakat sipil

1. Menjembatani
komunikasi intensif
antara partai politik
dengan konstituennya.
2. Mengidentifikasikan
masalah-masalah dan
kebutuhan dari
konstituennya.
3. Menguat dan
meningkatnya akses
partisipasi dari
berbagai komponen
masyarakat sipil dan
pihak pihak yang
dianggap strategis
untuk memenuhi hak
dasar rakyat.
1. Memperbaiki kualitas

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Aceh

Katahati
Institute

Revisi Qanun
Pilkada
2) Advokasi
Qanun
Penyelenggara
an
Pemerintahan
dan Partisipasi
Publik
3) Dll.
Penguatan
Pemilu 2009
Kerja
Pelayanan
Publik Aceh

The Aceh
Institute

Penguatan
Peran
Masyarakat,
Bappeda dan
DPRK Banda
Aceh
terhadap
pembangunan
partisipatif
melalui

161

demokrasi melalui
implementasi pemilu.
2. Memberikan
perlindungan terhadap
hak-hak pemilih
dalam melaksanakan
pemilu.

Program ini mendorong


interaksi dan sinergisasi
antar kekuatan pemilu,
sehingga terpetakannya
isu dan kebutuhan dasar
masyarakat serta
harapannya (masyarakat)
kepada partai politik
peserta pemilu 2009.
Untuk mewujudkan
sigernisasi antara
kebijakan partisipatif
(warga), birokratis
(Bappeda) dan politis
(partai politik)

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gerak Aceh

program
musrenbang
Program
Penyusunan
anggaran
APBK yang
berbasis
gender

Untuk mewujudkan
kebijakan partai,
khususnya diparlemen
dalam pembahasan
anggaran yang
memperhatikan
kebutuhan perempuan
diranah social.

Dalam mempengaruhi kebijakan tersebut, OMS


akan beririsan (berkorelasi) dengan kepentingan partai
politik, dan juga pemerintah. Dengan kondisi seperti itu
maka aktivitas LSM dituntut untuk mampu
mempengaruhi para politisi diparlemen agar kebijakankebijakan pemerintah harus berorientasi kepada
kepentingan publik secara umum. Jika tidak maka peran
OMS tidak mampu melahirkansubtansi produk kebijakan
sesuai dengan keinginan OMS dan masyarakat sipil
secara khusus.
Sementara pengaruh secara internal, aktivis OMS
yang menjadi pengurus partai politik sangat sulit
diwujudkan, khususnya dalam mewujudkan lahirnya
prinsip-prinsip good governance secara totalitas. Hal ini
dikarenakan posisi aktivis OMS dipartai politik
tersandera oleh sistem partai politik yang lebih
162

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

cenderung prakmatis. Salah satu contoh adalah partai


Aceh sebagai partai mayoritas di Aceh saat ini, dimana
salah satu prinsip good governance, yaitu transparansi
dalam hal dana kampanye pemilu tahun 2014 tidak dapat
ditunjukkan kepada publik, bahkan permintaan dari LSM
MATA melalui proses mediasi ke Komisi Informasi
Aceh (KIA) tidak terwujud. Sebaliknya, LSM MATA
dituduh sebagai antek-antek asing. Satu-satunya partai
politik yang menyerahkan data keuangan secara lengkap
dan tepat waktu adalah PKS. Selain itu juga
menyerahkan namun tidak selengkap PKS.

163

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gambar di atas menunjukkan bahwa intervensi


OMS terhadap kebijakan partai politik dilakukan melalui
posisi di eksternal dan juga diinternal, dimana secara
internal para aktivis OMS menjadi bagian dari partai
politik. Sementara dari eksternal OMS secara organisasi
melakukan proses advokasi-advokasi ke partai politik untuk
mempengaruhi kebijakan diparlemen atau dipemerintahan.
Dari kedua posisi tersebut, maka posisi ekternal
cenderung lebih efektif dalam mempengaruhi kebijakan
partai politik di parlemen, dibandingkan dengan intervensi
melalui internal partai politik. Kecenderungan posisi
eksternal lebih efektif dibandingkan dengan posisi internal
karena posisi eksternal posisi OMS lebih independen.
Sementara
intervensi
secara
internal,
sudah
terkontaminasi oleh kepentingan partai politik itu sendiri.

6.2. Pengaruh OMS


Demokrasi

terhadap

Pembangunan

Dalam satu dekade (2004-2013) terakhir, Provinsi


Aceh sudah berhasil membangun proses politik melalui
instrument sistem demokrasi. Mekanisme menjalankannya
dengan pemilihan kepala Negara dan daerah serta pemilihan
legislatif. Ukuran berhasil tentunya menjadi perdebatan dari
kita dan para penggiat demokrasi. Sangat relatif melihat

165

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

kemajuan dan keberhasilan dari upaya OMS membangun


nilai-nilai demokrasi di Serambi Mekah.
Data Badan Pusat Statistik Indonesia tentang Indeks
Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2010, menunjukkan skor
IDI keseluruhan Indonesia, posisi Provinsi Aceh secara
umum memperoleh nilai 65,36.
Berdasarkan aspek
kebebasan sipil Aceh mendapatkan nilai 69,98, aspek hakhak politik nilainya 62,63, dan aspek lembaga demokrasi
nilainya 63,87. Berpedoman pada data tersebut maka posisi
Demokrasi di Aceh berada di tengah-tengah (aman).
Berkembang demokrasinya tapi tidak terlalu maju.
Meskipun demikian data dari KIP tahun 2012 menunjukkan
partisipasi pemilih dalam pemilukada mencapai 76% dari
total penduduk yang berhak memilih. Artinya kesadaran
berdemokrasi di Aceh paska damai cenderung baik.
Keberadaan OMS Aceh berkontribusi besar
mendorong dan mewujudkan pembangunan demokrasi
dibuktikan tersebut, salah satunya adalah pembentukan
Jaringan Demokrasi Aceh96. Salah satu tujuannya
memperjuangkan Undang-undang Pemerintah Aceh sesuai
96

Proses ini dilakukan oleh beberapa LSM yang bergabung


dalam Jaringan Demokrasi untuk Aceh atau dikenal dengan istilah JDA.
Jaringan ini dibentuk dan diinisiasi oleh beberapa aktivis dan didukung
oleh beberapa tokoh sipil lainnya. LSM yang tergabung dalam JDA
antara lain: The Aceh Institute, ACSTF, KMPD, Kontras Aceh, Koalisi
NGO HAM, Flower, Mispi, APF, Forum LSM Aceh, SoRAK Aceh,
Lappeka, KKP Aceh, PDRM, Forum Akademisi Aceh, Katahati
Institute, Yappika, Cetro, LSAM, KontraS, Imparsial, Perkumpulan
Demos, Aceh Kita, HRW, dan Konsorsium Aceh Baru (KAB)

166

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dengan MoU Helsinki dan kepentingan masyarakat Aceh


serta menyukseskan pembangunan demokrasi di Aceh.
Kesadaran masyarakat sipil dalam membangun dan
mengkonsolidasikan demokrasi juga tidak terlepas dari
pendidikan demokrasi yang dilakukan oleh berbagai
lembaga demokrasi internasional dan nasional. Peran
lembaga trans-nasional tersebut secara langsung telah
membentuk karakter demokrasi secara lokal di Aceh.
Bahkan pembentukan partai lokal di Aceh menjadi contoh
proses demokrasi yang lebih maju dan otonom
dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Hal ini
menjadi peluang bagi publik untuk mengisi instrumen yang
sudah terbentuk ini agar lebih terisi lagi dengan nilai-nilai
good governance dan humanis.
Selain itu kerja-kerja OMS untuk melahirkan system
demokrasi yang baik dilakukan sejak Aceh masih dalam
kondisi konflik, baik pada masa DOM, Darurat Militer,
Darurat Sipil dan pada masa paska perjanjian perdamaian
pada 15 Agustus 2005.
Program pengawasan pemilu yang dilakukan oleh
Forum LSM sejak tahun 1990 sampai sekarang, dan juga
oleh beberapa LSM lainnya adalah bukti peran OMS dalam
mewujudkan pelaksanaan demokrasi di Indonesia,
khususnya di Aceh.
Disamping program pemilu legislatif dan pemilu
presiden, namun dalam pelaksanaan pemilukada, OMS di
Aceh juga turut serta dalam mengawasi proses
167

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pelaksanaannya, seperti dilakukan oleh The Aceh Institute


dalam kegiatan pemantauan pemilukada tahun 2012. Dalam
pemantauan tersebut ditemukan berbagai bentuk
pelanggaran yang dilakukan oleh para pendukung kandidat
tertentu. Laporan ini kemudian disampaikan kepada
Panwaslu, KIP dan media massa sebagai bentuk kontrol dan
dukungan bagi penyelengara pemilu. Selain itu, The Aceh
Institute juga secara berkelanjutan membangun demokrasi
melalui penulisan artikel populer tentang perkembangan
politik dan demokrasi di Aceh yang dipublikasikan
diwebsitenya. Disamping juga berbagai penelitian terkait
dengan pembangunan demokrasi di Aceh, seperti penelitian
hasil kerjasama dengan ICLD Sweden dengan topic Ruang
Demokrasi di Aceh Selatan.
Pembangunan demokrasi di Aceh juga dilaksanakan
melalui kegiatan-kegiatan pendidikan politik bagi warga,
juga bagi calon legislatif. Salah satu OMS yang aktif
melaksanakan pendidikan politik adalah Sekolah
Demokrasi Aceh Utara (SDAU), di bawah dukungan
Kemitraan AusAID, SDAU secara konsisten melaksanakan
program pendidikan politik secara berkelanjutan.

6.3. Posisi OMS dalam Dinamika Pemilu 2014


Pesta demokrasi, pemilihan umum pada 9 April
2014 akan memilih calon legislatif baik untuk DPR-RI,
DPRA, DPRK maupun DPD. Setidaknya terdapat 15 partai
politik yang akan bertarung, dan 3 diantaranya adalah partai
168

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

lokal, yaitu Partai Aceh, Partai Damai Aceh dan Partai


Nasional Aceh. Pelaksanaan pemilu ini sangat menentukan
arah pembangunan Indonesia, dan Aceh secara khusus
untuk lima tahun berikutnya. Sehingga peran semua pihak,
baik pemerintah, penyelengara pemilu, organisasi
masyarakat sipil dan juga pemilih sangat menentukan
kesuksesan dan keberhasilan pelaksanaan pemilu tersebut.
Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah mewujudkan
pemilu yang demokratis, bersih, jujur dan damai.
Dalam konteks konteks, geo-politik pada pemilu
2014 berbeda dengan kondisi pemilu sebelumnya yaitu
pemilu 2009. Hal ini dikarenakan partai politik yang
bertarung berbeda, calon anggota legislatif yang ikut serta
pun banyak yang baru, serta perubahan kekuatan-kekuatan
politik yang terjadi baik secara nasional maupun ditingkat
lokal.
Selain itu terdapat dinamika baru terkait dengan
politik ditingkat lokal. Dimana partai Aceh sebagai
pemenang mayoritas pada pemilu 2009, mendapat rival
baru yaitu partai Nasional Aceh yang merupakan
perpecahan dari partai Aceh. Hal ini secara tidak langsung
akan mempengaruhi posisi dan kekuatan partai Aceh
ditingkat komunitas, khususnya di daerah basis GAM.
Karena PNA juga merupakan partai yang didirikan oleh
mantan kombatan GAM.
Namun dengan adanya koalisi antara partai Gerindra
dengan partai Aceh akan membuat partai Aceh akan
169

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

mendapatkan dukungan baru, khususnya dukungan secara


geo-politik nasional dan juga dukungan secara ekonomi.
Sebagaimana diindikasikan bahwa Partai Aceh mendapat
dukungan dana dari Prabowo pada pemilukada tahun 2012
mencapai 50 milyar.97
Selain itu, dengan jumlah anggota mencapai 33
orang di DPRA dan sejumlah lainnya di berbagai
kabupaten/kota, dukungan dana melalui dana aspirasi juga
akan memperkuat logistik dana kampanye para calon
legislatif incumbent untuk pemilu yang akan datang.
Meminjam istilah Sutoro bahwa dana aspirasi ini sering
dijadikan sebagai pork barrel (kentong babi) yang menjadi
pemancing pemilih agar memilihnya. Istilah lain adalah
vote-buying akan menjadi fenomena masif dilakukan
melalui mekanisme dana aspirasi ini.
Selain itu, dana aspirasi juga seringkali
dimanfaatkan oleh organisasi sipil yang menjadi sayap dari
partai politik tertentu baik secara langsung maupun tidak
langsung. Dimana sulit sekali mengidentifikasi lembagalembaga yang bekerja secara langsung terhadap
kepentingan partai politik tertentu dengan kompensasi dana
aspirasi tersebut.
Penelitian ini menemukan bahwa relasi OMS
terhadap partai politik menjelang pemilu sangat mungkin
97

Inilah.com, Partai Aceh Dapat Subsidi 50 M dari Prabowo,


http://sindikasi.inilah.com/read/detail/1845933/partai-aceh-dapatsubsidi-rp50-m-dari-prabowo

170

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

terjadi, baik karena relasi personal dengan calon tertentu


ataupun relasi karena mendaptkan kompensasi ekonomi.
Namun relasi OMS yang bukan underbow partai secara
langsung dengan partai politik sulit dibuktikan. Hal ini
dikarenakan jika relasi dibangun secara organisasi, maka
akan merugikan kredibilitas OMS sekaligus melahirkan
stigma buruk dikalangan OMS itu sendiri.
Hal inilah yang menyebabkan beberapa aktivis OMS
yang bergabung dengan partai politik tidak mendapat
sokongan dan dukungan dari organisasi OMS meskipun
tempat ia belajar berorganisasi atau tempat ia pernah
menjabat sebagai pemimpin di organisasi sipil tersebut.
Meskipun demikian, dukungan secara personal
terhadap kandidat tertentu dari partai politik tertentu
menjadi fenomena yang terus berkembang dalam proses
pemilu. Dukungan secara personal adalah hak konstitusi,
selama tidak mengiring institusi dalam dukungan sektoral
tersebut. Maka hal demikian tidak berdampak secara
langsung terhadap orientasi institusi OMS sendiri, dimana
personal tersebut aktif dalam institusi itu.
Meskipun demikina, beberapa OMS yang dibentuk
secara khusus, sengaja dan atau didukung oleh politisi
tertentu, baik langsung maupun tidak langsung. Maka yang
mempunyai agenda dukungan secara langsung terhadap
politisi tersebut adalah OMS yang menjadi bagian dari
underbow partai atau politisi dari partai politik tersebut.

171

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gambar 8: Posisi OMS dalam Pemilu 2014

Gambar di atas menunjukkan bahwa secara umum posisi


OMS yang membangun afiliansi dengan partai politik
secara organisatoris hanyalah OMS yang masuk dalam
kategori undebow partai, atau organisasi yang dibentuk
secara langsung oleh pengurus dan atau partai politik itu
sendiri. Beberapa partai politik mempunyai sayap digerakan
social, seperti Ormas Nasdem miliknya partai Nasdem,
ormas SATRIA (Satuan Relawan Indonesia Raya) yaitu
organisasi sayap dari partai Gerindra, atau organisasi
Persatuan Masyarakat Indonesia (Perindo) yang bekerja
untuk kepentingan partai Hanura, dll.
Sementara untuk wilayah Aceh terdapat beberapa
organisasi sipil yang secara nyata bekerja untuk
172

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

kepentingan partai politik lokal. PA (Partai Aceh) misalnya


didukung oleh KPA (Komite Peralihan Aceh) yang juga
merupakan sayap politik dari PA, selain itu juga terdapat
juga organisasi yang mempunyai afiliansi secara tidak
langsung seperti FoPKRA (Forum Perjuangan Keadilan
Rakyat Aceh), KMPA (Komite Mahasiswa Pemuda Aceh),
GISA (Gerakan Intelektual Seluruh Aceh), dll. Sementara
PNA (Partai Nasional Aceh) juga didukung oleh organisasi
underbow dan menjadi sayap politik PNA yang dinamakan
dengan TNA (Tameng Nasional Aceh) yang didalamnya
merupakan kumpulan dari mantan kombatan GAM.
Artinya, TNA adalah replika dari KPA sekaligus menjadi
lawan dalam mempertahankan eksistensi partainya
masing-masing.
Sedangkan partai lokal lainnya yaitu PDA (Partai
Damai Aceh) tidak mempunyai organisasi sipil secara
khusus yang merupakan sayap politik partainya. Melainkan
relasi dibangun karena adanya kesamaan ideologi, seperti
dengan HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh), dan RTA
(Rabithah Thaliban Aceh). Relasi ini juga terbentuk karena
pengurus teras dari partai ini umumnya berasal dari kedua
organisasi tersebut.

173

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gambar 9: Contoh Surat Dukungan Organisasi Masyarakat Sipil


terhadap Kepentingan Partai Politik Tertentu
Pernyataan dukungan koalisi gerakan masyarakat sipil Aceh
Jakarta
Written By Partai Aceh on Sabtu, 24 Maret 2012 | 11.45

PERNYATAAN DUKUNGAN
KOALISI GERAKAN MASYARAKAT SIPIL ACEH JAKARTA
KEPADA Dr. ZAINI ABDULLAH DAN TGK. MUZAKKIR
MANAF

Kami segenap jajaran dan jaringan gerakan organisasi sipil,


organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa, organisasi pemuda
dan sosial masyarakat yang ada di Aceh dan Jakarta atas nama
FOPKRA (Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh), FORKAB
(Forum Komunikasi Anak Bangsa), PETA (Pembela Tanah Air),
IPTR (Ikatan Pemuda Tanah Rencong) JAWA BARAT, Organisasi
Lingkungan Hidup BALE JURONG, KMPA (Komite Mahasiswa
Pemuda Aceh), LIRA (Lumbung Informasi Rakyat Aceh), KoLSA
(Koalisi Lembaga Sipil Aceh), KMPAN (Komite Mahasiswa
Pemuda Aceh Nusantara), ABA (Aliansi Budayawan Aceh),
menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Mendukung dan memperjuangkan pemenangan Calon
Gubernur dan Wakil Gubernur pasangan Dr. Zaini
Abdullah dan Tgk. Muzakkir Manaf periode 2012-2017,
dimana
Dr.
Zaini
Abdullah
adalah
sebagai
penandatanganan MoU Helsinki, yang merupakan
lambang rakyat Aceh di mata masyarakat Nasional dan
Internasional. Seterusnya, Tgk. Muzakkir Manaf
merupakan simbol pemersatu dan perdamaian rakyat Aceh
di masa akan datang.

174

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

2. Mendukung pelaksanaan Pemilukada Aceh 2012 secara damai,


adil, sehat, demokratis dan berkualitas. Prinsip-prinsip ini
perlu disadari dan menjadi komitmen bersama agar perjuangan
dan perdamaian yang diidamkan-idamkan rakyat Aceh dapat
dapat terwujud.
3. Meminta kepada seluruh pendukung pasangan Calon Gubernur
dan Wakil Gubernur Dr. Zaini Abdullah dan Tgk. Muzakkir
Manaf agar menjaga dan menjamin seluruh rangkaian
pemilukada berlangsung tertib, aman, mewaspadai aksi curang,
tidak mudah diprovokasi bertindak anarkhis dan menjaga
ukhuwah islamiyah.
4. Menyerukan kepada seluruh masyarakat Aceh khususnya
semua pemilik hak pilih agar secara aktif memperjuangkan dan
mempergunakan hak pilihnya untuk memenangkan pasangan
Dr. Zaini Abdullah dan Tgk. Muzakkir Manaf baik pada hari H
pelaksanaan pemilukada, serta aktif melakukan pengawalan
dan pengamanan kotak suara sampai perhitungan suara
dinyatakan
selesai
di setiap
TPS
(Tempat
Selain itu,
posisidan
OMSlengkap
yang paling
rentan
adalah
Pemungutan Suara)
5. Meminta kepada seluruh pendukung pasangan Calon Gubernur
dan Wakil Gubernur Dr. Zaini Abdullah dan Tgk. Muzakkir
Manaf menjadikan Pemilukada 2012 ini sebagai momentum
rekonsiliasi dan penyelamat perdamaian yang abadi. Semua
organisasi yang masing-masing memiliki jaringan di setiap
dikabupaten/kota se-Aceh ini agar benar-benar siap berada
digarda terdepan untuk PERJUANGAN dan PERDAMAIAN
ACEH.
Demikian dukungan ini kami nyatakan untuk dijalankan dengan
jujur, amanah, ikhlas dan penuh tangggungjawab.
Banda Aceh, 17 Maret 2012.
Tertanda,
Fazloen Hasan (FOPKRA); Sarbini (FORKAB); Syukur Kobar
(PETA); Bakhtiar Rusli (IPTR JAWA BARAT); El-Amin (BALE
JURONG); Cut Lem (LIRA); Safrijal (KMPA); Sulaiman Daud
(KoLSA); Rasyidin (KMPAN); Samsul Bahri (ABA);

175

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

OMS yang tidak mempunyai managemen dan atau


tidak mempunyai eksistensi secara kelembagaan dalam
kerja-kerja publik yang baik. Lebih konkret, OMS yang
eksistensinya sangat tergantung kepada ketua/ direktur/
pimpinan/ sekjen-nya semata. Sebaliknya, tidak ada fungsi
kontrol terhadap kepemimpinannya baik oleh manajemen
maupun oleh pembina/ pengawasnya atau bahkan tidak ada
manajemen sama sekali, sementara organisasi tersebut
identik dengan ketuanya. Kondisi ini menyebabkan
organisasi yang dipimpinnya sering menjadi bagian dari
pilihan politik dari ketuanya.
Maka beberapa kategori OMS, seperti yang
disebutkan dalam UU No.17 tahun 2013 tentang Organisasi
Masyarakat (Ormas) yaitu organisasi berbadan hukum,
seperti Yayasan dan Perkumpulan/LSM, serta organisasi
tidak berbadan hukum, yaitu organisasi yang proses
pendiriannya tidak didasarkan kepada keputusan Menteri
Hukum dan HAM, namun teregistrasi di Notaris dan
Kesbangpol dan Linmas masing-masing kabupaten/kota
tempat organisasi tersebut terbentuk.
Dari kedua bentuk tersebut, maka keduanya
mempunyai potensi untuk mendukung salah satu atau lebih
partai politik tertentu secara klientalistik (saling
menguntungkan) dan atau participatory (berpihak kepada
kepentingan publik). Namun organisasi yang termasuk
kategori organisasi yang tidak berbadan hukum lebih rentan
menjadi organisasi yang dieksploitasi oleh partai politik
176

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

untuk kepentingannya, dan atau mengeksploitasi98 partai


politik atas dasar saling menguntungkan.
Kecenderungan organisasi bukan badan hukum
karena proses pendiriannya lebih cepat, praktis dan tidak
membutuhkan biaya yang besar seperti halnya mendirikan
Yayasan. Bahkan tidak sedikit organisasi tidak berbadan
hukum ini didirikan oleh para politisi99 untuk dapat
mengambil dana aspirasi melalui skema dana hibah.
Organisasi-organisasi seperti ini umumnya tidak masyhur
bagi publik, bahkan ada yang tidak diketahui alamatnya.
Namun pastinya organisasi ini akan bekerja untuk
kepentingan tuannya dalam mempengaruhi pemilih atau
setidaknya komunitasnya. Sebaliknya organisasi berbadan
hukum, termasuk LSM yang pembentukannya tidak
dibentuk oleh politisi dana atau pertai politik tertentu
cenderung akan independen dan menjadi bagian dari posisi
check and balance terhadap pemerintah, partai politik, dan
terhadap proses pelaksanaan pemilu di Aceh, Indonesia.

98

Mengeksploitasi partai politik yang dimaksud di sini adalah


membangun relasi dengan lebih dari satu partai politik untuk
mendapatkan keuntungan secara material (double or triple relationship)
99
Para politisi (legislator) membentuk berbagai organisasi tidak
berbadan hukum, di mana kepengurusannya terdiri dari tim suksesnya
dan atau ralasi politiknya. Organisasi ini mendapat bantuan dana hibah
dari sumber dana aspirasi mereka (dewan)

177

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

PENUTUP

7.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang
dapat disimpulkan dari temuan penelitian ini, yaitu:
1) Secara umum, relasi yang dibangun oleh OMS
terhadap partai politik di Aceh adalah berbentuk
relasi participatory (partisipatif dan mendorong
kepada kebijakan yang didasarkan kepada
kepentingan masyarakat) dan beberapa lainnya
mempunyai relasi klientalistik (relasi yang dibangun
atas dasar saling menguntungkan). Adapun bentuk
participatory yang terjadi adalah berupa tindakan
advokasi kebijakan pemerintah melalui anggota
dewan di parliamen dari berbagai partai politik yang
178

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

ada. Salah satu contohnya adalah advokasi terkait


dengan UUPA, Qanun KKR, Qanun Jinayat, Qanun
Tata Cara Pembentukan Qanun, Qanun Komisi
Informasi Aceh, Qanun Kesehatan, Qanun
Pendidikan, Qanun Perlindungan dan lainya.
Sedangkan relasi klientelistik yaitu dengan cara
menjadi bagian dari kerja-kerja partai politik yang
dilakukan secara aktif untuk kepentingan partai en
sich. Relasi ini juga terbentuk karena adanya
kepentingan kekuasaan dan ekonomi. Hal ini
dibuktikan dengan adanya beberapa OMS yang
menerima bantuan langsung dari partai politik
tertentu dan bekerja untuk memperkuat posisi tawar
partai politik di tingkat komunitas
2) Beberapa aktivis OMS yang melakukan migrasi
dari gerakan sipil ke gerakan politik dipengaruhi
oleh beberapa factor, diantaranya faktor relasi
personal aktivis sipil dengan fungsionaris partai
politik, faktor kebutuhan eksistensi diri dan
finansial, faktor untuk memperkuat kapasitas
personal dalam hal perpolitikan, dan faktor upaya
untuk merubah kebijakan pemerintah melalui
pencalonan menjadi anggota legislatif. Dari
keseluruhan faktor tersebut di atas, yang paling
dominan adalah faktor menjaga eksistensi dan
mendapatkan financial serta beberapa lainnya adalah
upaya untuk merubah kebijakan menjadi lebih baik.
179

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Namun demikian, melihat fenomena dari


performance anggota legislatif di Aceh saat ini yang
pernah aktif diberbagai organisasi sipil belum
terlihat adanya anggota yang kritis-konstruktif
terhadap tata kelola pemerintah yang belum
didasarkan kepada prinsip good government secara
totalitas.
3) Relasi yang dibangun oleh beberapa LSM aktif,
khususnya di kota Banda Aceh dengan partai politik
adalah relasi yang berbentuk partisipatory, yaitu
mempengaruhi kebijakan pemerintah dan anggota
legislative secara kritis-konstruktif, baik dalam
perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan.
4) Beberapa organisasi sipil lainnya, khususnya
organisasi tidak berbentuk badan hukum dan
didirikan oleh kepentingan partai politik tertentu
cenderung menjadi organisasi underbow dan bekerja
untuk kepentingan partai politik tertentu secara tidak
langsung ditingkat komunitas, namun umumnya
organisasi ini tidak mengakui secara terbuka sebagai
underbownya partai politik tertentu. Relasi ini
seperti dikatakan Sutoro adalah bentuk relasi malumalu.

180

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

7.2. Rekomendasi
Ada beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan sebagai
bahan untuk evaluasi bagi seluruh stakeholders dalam
upaya meningkatkan peran OMS sebagai salah satu pillar
demokrasi di Indonesia, antara lain:
1) Perlunya konsolidasi kembali gerakan OMS yang
didasarkan kepada prinsip-prinsip demokratis,
independensi, mandiri, kritis, dan partisipatif serta
komitmen terhadap agenda-agenda perubahan
negara ke arah yang lebih baik
2) Perlunya pembuatan grand desain gerakan sipil
dalam upaya memperkuat demokrasi dan
pembangunan di Aceh paska pemilu 2014 yang
didasarkan pada visi-misi dan orientasi gerakan sipil
secara integratif, baik melalui gerakan organisasi
sipil, maupun melalui anggota legislatif yang
mempunyai background aktivis sipil.
3) Perlunya penguatan kapasitas OMS dari berbagi
segi, baik secara managerial, financial maupun
pengkaderan terhadap kerja-kerja yang lebih kritiskonstruktif, partisipatif dan kontinuitif.
4) Perlunya agenda bersama OMS dalam mewujudkan
demokrasi yang lebih baik tanpa adanya kecurangan
dan kekerasan, serta mendorong terbentuknya
pengelolaan pemerintahan yang sesuai dengan
prinsip-prinsip good governance.

181

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

5) OMS harus membangun sektor-sektor ekonomi dan


orientasi politik yang lebih mandiri untuk
melahirkan fungsi check and balance terhadap
political society, baik dilegislatif maupun
dieksekutif sesuai dengan konteks demokrasi dan
perundang-undangan yang berlaku.

182

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

DAFTAR PUSTAKA
Alistair Clark, Political Parties in the UK, (United
Kingdom: Palgrave Macmillan), 2012.
Azwan Hasan, People to People, an alternative way of
delivering humanitarian aid, Humanitarian Practice
Network, December 2005.
Andi Widjajanto, dkk. Transnasionalisasi Masyarakat
Sipil. (Jogjakarta: LkiS), 2007.
Ahmad Ainur Rohman, Politik, partisipasi, dan demokrasi
dalam pembangunan, (Jakarta: Program Sekolah
Demokrasi), 2009.
Alkaf, Pasang Surut Gerakan Politik di Aceh (Studi Kasus
Power Movement Referendum Aceh 1998-1999),
Thesis tidak dipublikasi, 2012.
Aditya Perdana, Civil Society dan Partai Politik dan
Demokratisasi di Indonesia, disampaikan pada
Seminar Internasional Dinamika Politik Lokal di
Indonesia, Salatiga, 28-30 Juli 2009.
Afrizal Tjoetra, Delapan tahun tsunami dan matinya ratusan
LSM di Aceh, http://www.bisnisaceh.com, Rabu, 26
Desember 2012.
AJNN, Diminta Dana Anggaran Partai, Partai Aceh
Tunding MATA antek-antek Asing, diunduh dari
http://www.ajnn.net/2013/11/diminta-data-anggaran-

183

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

partai-aceh-tuding-mata-mata-mata-asing/
Januari 2014.

pada

Aryos Nivada, Pemetaan Political Marketing Partai


Nasional dan Partai Lokal Pada Pemilu 2009 di
Provinsi Aceh, (Jakarta: Universitas Atmajaya dan
UNDP), 2013.
Budi Setyono, Pengawasan Pemilu oleh LSM, diterbitkan
oleh Suara Merdeka, 15 Oktober 2003, diunduh 12
November 2013
Chairul Fahmi, (ed), Aceh Pasca MoU, Reformasi
Keamanan, Peradilan dan KKR di Aceh, (Banda
Aceh:The Aceh Institute), 2011.
Chairul Fahmi & Sudarman (Ed), Kekerasan dalam
Demokrasi, (Banda Aceh:The Aceh Institute &
Forum LSM Aceh), 2012.
Carl J.Friedrich, Definisi Partai Politik, diunduh dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik, pada 15
Desember 2013.
Carl Gershman, The Relationship of Political Parties and
Civil Society,. (Washington: National Endowment for
Democracy, Supporting freedom around the world),
2004.
Dennis Compton Canterbury, Neo-Liberal Democratization
and New Authoritarianism, (England: Ashgate
Publishing Limited), 2005.

184

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Fazloen Hasan, Gerakan Mahasiswa 1998 dan


Penyelamatan MoU Helsinki untuk Damai Aceh, The
Globe Journal, 22 Agustus 2013.
Forum LSM Aceh, Database Anggota Forum LSM Aceh,
2013.
Farah Monika,. Bentuk Organisasi Masyarakat Sipil dan
Tantangan Global, Resensi Artikel karya Helmut
Anhier dan Nuno Themudo, diterbitkan oleh Jurnal
CIVIC, (Jakarta: Fisip UI), 2003.
Ghia Nodia, Civil Society Development in Georgia:
Achievements and Challenges, Policy Paper, (Tbilisi:
Caucasus Institute for Peace, Democracy and
Development), 2005.
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka), 2008.
Helmut K Anheir,. How to measure Civil Society,
(London: Economic and Political Science Journal),
2005.
Inilah.com, Partai Aceh Dapat Subsidi 50 M dari Prabowo,
diunduh dari http://sindikasi.inilah.com/read/detail/
1845933/partai-aceh-dapat-subsidi-rp50-m-dariprabowo
James James N. Sater, Civil Society and Political Change
in Morocco, (USA: New York), 2007.
Kay Lawson & David Clark, Political Parties and Linkage:
A Comparative Perspective, (Oxford: Oxford
Universities), 2009.
185

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Ketut Suwando, Pluralitas Civil Society dan Upaya


Demokratisasi Lokal, dalam Jurnal Analisis Sosial,
vol.7 No.2, tahun 2002., hlm.23
Kemendagri daftarkan perkara ke MK terkait Tahapan
Pemilukada Aceh, Serambi Indonesia, 15 Desember
2011.
Luiz Carlos Bresser-Pereira, State, Civil Society and
Democracy Ligitimacy dalam http://webcache.
googleusercontent.com/, diunduh pada 12 Desember
2014.
Lester M. Salamon & Helmut K.Anheier, Social Origins
for Civil Society Explaining The Non-Profit Sector
Cross Nationality, Working Paper, (The John
Hopkins University, Institute for Policy Studies),
1996.
Lester M.Salamon & Helmut K.Anheier, The Emerging
Non-Profit
Sector,
(Manchester:
Mancherter
University Press), 1996.
Larry Diamond, Civil Society and Development of
Democracy, Working Paper, 2007.
Larry

Diamond, Developing Democracy Toward


Consolidation, (Yogyakarta. IRE Press), 2003.

Lili Hasanuddin, dkk., Hasi riset Indeks Indeks Masyarakat


Sipil Indonesia 2006: Jalan (Masih) Panjang Menuju
Masyarakat Sipil, Yappika, Jakarta, 2006

186

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Mohamad Burhanudin, Paradoks Demokrasi Aceh dan


Problem Rekonsiliasi, http://regional.kompas.com.,
2011.
Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama), 2007.
Moh.Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Galia Indonesia),
2011.
Nanna Thue, dkk, Report of a study on Civil Society in
Uganda, NORAD, 2002.
Otho H. Hadi, Peran Masyarakat Sipil Dalam Proses
Demokratisasi, diterbitkan oleh Jurnal Makara, Sosial
Humaniora, Vol.14. No.2 Desember 2010.
Pasal 1 ayat (1) UU No.2 tahun 2011 tentang Partai Politik
Robert Teigrob, The Politics of Linkage: Power,
Interdependence, and Ideas in Canada-US Relations,
Canadian Public Policy Volume 37, Number 1,
March/mars 2011.
Sahya Anggara, Ruang Politik Hubungan Aktivisme Civil
Society dan Pemerintah dalam Mengembangkan Tata
Pemerintahan
Demokratis,
diunduh
dari
https://www.academia.edu pada 2 November 2013
Saiful Mahdi, Dkk. Ruang Demokrasi di Aceh Selatan,
(Banda Aceh: The Aceh Institute), 2011..
Suara Pembaharuan, Gerak Desak KPK Usut Korupsi di
Aceh,http://www.suarapembaruan.com/home/gerakdesak-kpk-usut-korupsi-di-aceh/7391, pada 5 Januari
2014.
187

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK:


Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Sutoro Eko,. Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah,


Program Acehnesse Civil Society Organization
Strengthening ANCORS, (Jakarta:CIDA dan
Yappika), 2009.
Sutoro Eko, Pelajaran dari Aceh: Masyarakat Sipil
Mendemokrasikan Daerah, (Jakarta: Yappika), 2009.
Saiful Mahdi, LSM di Aceh dianggap Kurang Professional,
http://theglobejournal.comsosial/lsm-diacehdianggap-kurang-profesional/index.php, 2012.
Sutoro, dkk. Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah,
Pembelajaran Penguatan Kapasitas Organisasi
Masyarakat Sipil di Aceh, Jakarta: Yappika, 2009
Tim Salemba Tengha, Mengawal Demokrasi: Pengalaman
Jaringan
Demokrasi
Aceh
dan
RUUPA,
(Jakarta:Yappika), 2007
Wawan Ichwanuddin, Aditya Perdana dan Fransisca Fitri,
Masyarakat Sipil dan Kebijakan Publik: Studi Kasus
Aktivitas Masyarakat Sipil dalam Mempengaruhi
Kebijakan Publik, (Jakarta, YAPPIKA), 2006.

188

Anda mungkin juga menyukai