Anda di halaman 1dari 17

1

FORUM DIALOG DAN BINSAT SEBAGAI METODA PENCEGAHAN KONFLIK


TNI-POLRI
(SEBUAH ESSAI FIKTIF UNTUK BELAJAR MEMBUAT ESSAY)

Proses reformasi di tubuh TNI dan Polri ditujukan untuk meningkatkan


profesionalisme dan kinerja prajurit TNI dan POLRI sebagai penjaga kedaulatan
dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses reformasi yang
telah berjalan hampir 15 tahun terutama sejak adanya ketetapan MPR tentang
pemisahan TNI dan POLRI ini ternyata mengalami hambatan. Sejak tahun 19992014, konflik yang berujung kekerasan antara anggota TNI dan POLRI berulang
kali terjadi. Dalam kurun waktu ini, data dari Pusat Studi dan Keamanan Unpad
menunjukkan telah terjadi konflik kekerasan antara anggota TNI dengan anggota
POLRI sebanyak 200 kasus yang menyebabkab korban tewas sebanyak 20
orang. Dari data tersebut, pada tahun 2014 telah terjadi konflik kekerasan
sebanyak 8 kali.
Fenomena perkelahian prajurit TNI POLRI ini berkelanjutan sampai
dengan tahun 2015. Pada awal Januari 2015 telah terjadi tindak pidana
penganiayaan dan pengancaman/perbuatan tidak menyenangkan yang diduga
dilakukan oleh anggota Yonif Macan masing-masing atas nama Koptu Rusa
Bulo, koptu Jonastato & pratu flores gona terhadap Bripka Rinaldy Tentenabi dan
Briptu Nanang Saleh anggota Polres Kota Badak. Apabila konflik ini dibiarkan, di
Indonesia dikhawatirkan akan timbul instabilitas yang dapat mengganggu
jalannya pembangunan nasional.
Setiap konflik mempunyai akar masalah yang apabila dilakukan
penganangan yang tepat akan dapat menyelesaikan permasalahan. Konflik yang
dimaksudkan disini sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 7 Tentang Penanganan Konflik Sosial tahun 2012 (UU
PKS) adalah situasi atau kondisi dimana terjadi pententangan dan kekerasan
dalam menyelesaikan masalah antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang
berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang mengakibatkan ketidakamanan
(REPUBLIK INDONESIA, 2012). Beberapa pengamat militer berpendapat bahwa
salah satu penyebab konflik berujung kekerasan adalah karena adanya

pemisahan TNI dan Polri sesuai TAP MPR No. VII/MPR-RI/2000. Pemisahan
yang hitam putih ini mengakibatkan bentrokan dilapangan seperti di Ambon,
Maluku Tengah, Poso, Papua, Palembang, dan Batam. Walaupun sudah
terpisah, menurut beberapa sumber, penyebab konflik TNI dan Polri lainnya
adalah: masih muncul pandangan dikalangan prajurit TNI bahwa kedudukan TNI
dianggap lebih tinggi dibandingkan Polri; anggota TNI dan Polri beranggapan
mereka tidak perlu saling moenghormati lagi karena tidak berada dalam satu
komando;

kesenjangan

penerimaan

fasilitas

saat

melaksanakan

tugas;

kecemburuan karena adanya kesan bahwa gaya hidup anggota Polri lebih
makmur; serta besarnya akses Polri kesumber-sumber ekonomi dibandingkan
TNI. Akan tetapi, pernyataan tentang penyebab konflik tersebut tidak didukung
oleh fakta dilapangan.
Analisis lebih dalam tentang konflik TNI-Polri perlu dilakukan untuk
mendapatkan strategi agar kejadian tersebut tidak berulang. Oleh karena itu,
berdasarkan fakta diatas, dengan berfokus pada kejadian tindak pidana
penganiayaan dan pengancaman/perbuatan tidak menyenangkan yang diduga
dilakukan oleh anggota Yonif Macan terhadap anggota Polres Kota Badak, dapat
ditarik rumusan masalah yaitu: 1. Mengapa konflik TNI-Polri dalam kasus Yonif
Macan terjadi?; 2. Bagaimana strategi agar konflik TNI-Polri seperti kasus Yonif
Macan tidak terjadi lagi?
Pembahasan ini perlu dilakukan agar pihak yang berkepentingan terutama
Danyonif dan Kapolres dapat menerapkan strategi yang benar untuk mencegah
dan pada saat terjadinya konflik kekerasan. Oleh karena itu tulisan ini bertujuan
untuk menggambarkan faktor penyebab konflik TNI dan Polri pada kasus di
Mapolres Badak. Selain itu, penulis juga akan menganalisa faktor masalah
sehingga dapat menghasilkan solusi. Penjelasan akan dimulai dari pemaparan
gambaran fakta secara umum secara kronologis. Selanjutnya, peneliti akan
menganalisis faktor penyebab dan mencari solusinya.
Tindak penganiayaan dan pengancaman/perbuatan tidak menyenangkan
yang diduga dilakukan oleh anggota Yonif Macan terhadap Bripka Rinaldy
Tentenabi dan Briptu Nanang Saleh bermula dari penyitaan kendaraan bodong.
Pada hari Kamis tanggal 8 Januari 2015 sekira pukul 15.30 WITA bertempat di

bengkel kawanua Kel. Ipilo Kec. Kota Timur Kota Badak Polres Kota Badak
Bripka Rinaldy melakukan penyitaan sebuah kendaraan jenis Toyota Avansa
Nopol DB 4995 AS. Kendaran tersebut diduga kendaraan bodong atau tanpa
dilengkapi surat-surat. Kendaraan ini milik Sdr. Gomes alamat Kwandang Kab.
Gorut. Pada hari berikutnya, Pratu Folkman Gahauna mengatakan kepada
Bripka Rinaldy bahwa kendaraan Toyota Avansa Nopol DB 4995 AS adalah
miliknya yang dibeli seharga Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). Uang
tersebut merupakan hasil tabungannya selama bertugas di Papua. Selanjutnya
Bripka Rinaldy menyampaikan kepada Pratu Folkman Gahauna untuk bersabar
karena akan menghadap kepada Kanit Buser dan Kasatreskrim dimana kasus
tersebut sudah ditangani oleh pihak Polres Kota Badak. Pada hari minggu
tanggal 11 Januari Pratu Folkman menyakan keberadaan Bripka Rinaldi dan
kendaraan Toyota Avanza yang disita. Bripka Rinaldy menyarankan agar Pratu
Folkman menghadap Kasatreskrim Polres Kota Badak dengan maksud agar
Kasatreskrim mendengar penjelasan langsung Pratu Folkman.
Pada saat menelepon Bripka Rinaldy, Pratu Folkman sedang berada di
tempat acara makan-makan di rumah Praka Adam Hinelo anggota Kodim
1304/Gtlo. Pratu Folkman menyampaikan kepada teman-teman lainnya sesama
anggota Yonif Macan bahwa ia akan mengambil kendaraan tersebut yang disita
oleh Bripka Rinaldy Tentenabi anggota Polres Kota Badak. Pratu Folkman
selanjutnya berangkat bersama dengan Kopda Ruslianto Bukoting, Kopda Jenli
Tahulending dan Kopda Serles Balatjai menuju ke Polsek Kota Selatan untuk
menemui Bripka Rinaldy Tentenabi. Sesampai di Polsek Kota Selatan mereka
tidak menemukan Bripka Rinaldy. Akhirnya, mereka mendapat info bahwa Serka
Rinaldy dan kendaraan Inova berada di Mapolres Kota Badak, dan mereka
meluncur ke sana.
Sesampainya di Mapolres Kota Badak, selanjutnya Pratu Folkman
Gahauna menemui Saksi dan membicarakan masalah kendaraan tersebut.
Sepuluh menit kemudian datang Kopda Ruslianto Bukoting mendekati Bripka
Rinaldy. Kemudian Kopda Ruslianto Bukoting memukul Bripka Rinaldy dengan
menggunakan tangan kosong sebanyak satu kali mengenai wajah Bripka
Rinaldy. Selanjutnya, Bripka Rinaldyi berusaha membalas sehingga terjadi

perkelahian. Bripka Rinaldy selanjutnya mencabut pistol jenis Revolver 38 dari


pinggangnya sambil berteriak jangan ada yang mendekat .
Dilain sisi, Kopda Jenli Tahulending yang sudah dikenal sebelumnya
dengan Bripka RInaldy berteriak mengatakan Naldy jangan sambil memeluk
dan mengancam/menodongkan sajam jenis badik kebagian leher Briptu Nanang
Saleh. Briptu Nanang Saleh adalah anggota Sabhara Polres Kota Badak yang
berusaha melerai perkelahian tersebut. Bripka Rinaldy selanjutnya mengarahkan
pistolnya kepada Kopda Jenli Tahulending, kemudian ke atas dan menembakan
peluru ke udara sebanyak satu kali. Bripka Rinaldy kemudian menyelipkan
pistolnya kembali ke dalam pinggang. Bersamaan dengan itu, Kopda Jenli
Tahulending melepaskan Briptu Nanang Saleh, selanjutnya bersama dengan
Pratu Muh. Zulkhaidir berjalan menuju ke rumah Wakapolres Kota Badak Kompol
Fikri Sakri, Sik.
Beberapa saat kemudian, datanglah Kompol Fikri Sakri dan ia melerai
pertengkaran. Setelah berkoordinasi dengan Pratu Folkman Gahauna, ia
memerintahkan ketujuh orang anggota Yonif Macan tersebut untuk kembali
pulang. Anggota Yonif Macan yang berada di tempat kejadian saat itu berjumlah
kurang lebih tujuh orang. Bripka Rinaldi Kopda Jenli Tahulending, Pratu Folkman
Gahauna, Kopda Selresi Balatjai, Pratu Muhamad Zulkhaidir serta beberapa
orang lainnya yang tidak dikenal oleh Saksi. Akibat penganiayaan tersebut
Bripka Rinaldy menderita sakit pada pipi sebelah kiri, memar pada wajah
sebelah kiri namun tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Permasalahan diatas dapat didiagnosa dengan menggunakan teori dari
Christopher Moore dalam Furlong (2005) yang menyatakan bahwa dari
pandangan diagnostik terdapat lima penyebab atau penggerak konflik. Penyebab
konflik tersebut diantaranya: konflik hubungan; konflik nilai; konflik eksternal; dan
konflik data (Furlong, 2005). Untuk mendapatkan strateginya, model dari moore
menyarankan bahwa kita dapat menangani atau mengatur konflik hubungan,
namun tidak dapat secara langsung pada keduanya (Furlong, 2005, Hal. 30).
Model tersebut menyarankan agar kita menangani kedua hal tersebut terlebih
dahulu, baru kemudian pada area lain yang ada solusinya (Furlong, 2005, Hal.
30).

Dengan menggunakan kerangka analisis lingkaran konflik dari Moore


dalam Furlong (2005, Hal. 30), terdapat permasalahan terhadap nilai pada kasus
penganiayaan terhadap Brigadir Kepala Renaldy Tentenabi Anggota Reskrim
Polres Kota Badak. Yang pertama, Brigadir Kepala Renaldy Tentenabi
beranggapan bahwa ia telah melakukan perbuatan sesuai aturan. Ia telah
menangkap kendaraan yang bodong. Mobil yang ia sita merupakan sebuah
kendaraan jenis Toyota Avansa Nopol DB 4995 AS yang diduga merupakan
kendaraan tanpa dilengkapi surat-surat milik Sdr. Gomes. Kendaraan tersebut
ternyata milik saudara Eby yang buronan. Di lain pihak, Pratu Folkman Lineker
Junister Gahauna anggota Ru 1 Ton 3 Kipan A Yonif Macan Brigif 22/Om
berpandangan bahwa ia bertindak benar untuk membantu mengambil mobil Sdr
Eby yang disita Brigadir Kepala Renaldy. Begitu pula dengan Kopda Jenli
Tahulending dan Kopda Ruslianto Bukoting anggota Kima Yonif Macan Brigif
22/Om berpandangan melakukan tindakan benar karena membantu mengambil
mobil Avanza milik teman atau yuniornya Pratu Folkman Lineker Junister
Gahauna yang disita di Mapolres Badak. Kopda Jenli Tahulending dan Kopda
Ruslianto melakukan ini karena kedekatannya walaupun berbeda Kompi
disebabkan seringnya kumpul bersama. Kepercayaan Brigadir Kepala (Bripka)
Renaldy Tentenabi terhadap tindakan yang sesuai aturan dan kepercayaan
prajurit Yonif Macan Brigif 22/Om untuk membantu teman tanpa melihat aturan
yang benar ini yang memperjelas perbedaan nilai diantara kedua pihak.
Yang kedua, pada saat terjadi perkelahian, Bripka Renaldy berkeyakinan
bahwa karena ia terdesak, ia dibenarkan mengeluarkan pistol untuk membela
diri.

Sekitar pukul 13.30 WITA Pratu Folkman Gahauna dengan

beberapa

orang temannya dengan menggunakan dua kendaraan jenis Nissan March


warna putih Nopol DM 1147 AG dan Toyota Avansa warna hitam tidak diketahui
Nopolnya datang menemui Brigadir Kepala Renaldy Tentenabi yang pada saat
itu sedang duduk di depan piket Mapolres Kota Badak. Kemudian, Pratu
Folkman Gahauna menemui Saksi dan membicarakan masalah kendaraan
tersebut. Sepuluh menit kemudian datang Kopda Ruslianto Bukoting mendekati
Brigadir Kepala Renaldy Tentenabi. Lalu, ia melakukan penganiayaan terhadap
Brigadir Kepala Renaldy Tentenabi dengan cara memukul dengan menggunakan
tangan kosong sebanyak satu kali mengenai wajah Brigadir Kepala Renaldy

Tentenabi. Brigadir Kepala Renaldy Tentenabi selanjutnya berusaha membalas


sehingga terjadi perkelahian. Karena merasa terdesak, Brigadir Kepala Renaldy
Tentenabi kemudian mencabut pistol jenis Revolver 38 dari pinggangnya sambil
berteriak jangan ada yang mendekat. Dilain pihak, Kopda Jenli Tahulending
memandang bahwa Brigadir Kepala Renaldy telah bertindak emosional dengan
menodongkan pistol. Untuk meredam amarah Brigadir Kepala Renaldy, Kopda
Jenli Tahulending kemudian melakukan pengancaman terhadap Briptu Nanang
Saleh dengan menggunakan senjata tajam jenis Badik yang dibawanya dari
Asmil Yonif Macan. Kopda Jenli Tahulending merangkul Briptu Nanang Saleh
dengan

menggunakan

tangan

kiri,

menodongkannya ke bagian leher

mencabut

sajam

jenis

badik

Briptu Nanang Saleh sambil

dan

berkata

jangan tembak teman saya, kalau tembak sama-sama kita korban . Bripka
Rinaldy Gahauna kemudian melepaskan tembakan sebanyak satu kali ke atas
dan menyelipan kembali senpinya ke pinggang. Sekali lagi, karena berniat untuk
membantu teman, Kopda Jenli Tahuleding berpendapat ia dapat melakukan
perbuatan penodongan terhadap orang lain. Hal ini memperkuat perbedaan nilai
antara kedua pihak.
Konflik ini juga mempunyai permasalahan yang berawal dari hubungan.
Sebelum pemukulan yang dilakukan oleh Kopda Ruslianto Bukoting terhadap
Bripka Renaldy Tentenabi, Kopda Ruslianto Bukoting mempunyai persepsi yang
buruk terhadap Bripka Renaldy. Jenli Tahulending menerangkan penyebab
terjadinya penganiayaan oleh Kopda Ruslianto Bukoting karena merasa jengkel
dipermainkan oleh Bripka Rinaldy Tentenabi yaitu pertama berjanji di Polsek
Kota Selatan dan setelah didatangi tidak ada melainkan berada di Mapolres Kota
Badak. Kemudian, setelah ia sampai di Mapolres Badak, Bripka Renaldy
menyuruh Pratu Folman Gahauna untuk menemui Kasatreskrim Polres Kota
Badak terlebih dahulu, padahal

Bripka Rinaldy Tentenabi sudah berjanji akan

memberikan kendaraan tersebut kepada Pratu Folkman Gahauna. Karena


merasa dipermainkan, Kopda Ruslianto Bukoting selanjutnya melakukan
pemukulan terhadap Bripka Rinaldy. Sedangkan menurut Bripka Rinaldy sendiri,
penyebab kejadian tersebut adalah karena salah paham dari rekan-rekan Pratu
Folkman Gahauna yang mengira Bripka Renaldy Tentenabi mempersulit
pengurusan kendaraan tersebut. Padahal, yang terjadi saat itu adalah Bripka

Rinaldy akan membantu mengeluarkan kendaraan tersebut. Akan tetapi, ia


terlambat karena harus menunggu proses lebih lanjut dari Kasatreskrim. Selain
itu, kunci kendaraan dipegang oleh Kasatreskrim. Kopda Ruslianto memandang
bahwa Bripka Renaldy suka mempermainkan orang dengan memperumit
birokrasi karena pengalamannya dari ucapan dan tindakan dari Bripka Rinaldy.
Pada dimensi struktur, terdapat hal- hal yang secara birokratis
menghambat penyelesaian konflik. Bripka Rinaldy menganggap bahwa ia tidak
berwenang untuk menyerahkan kendaraan tersebut karena telah diambil alih
oleh Kasatreskrim Polres Kota Badak. Untuk menyerahkan kendaraan Avanza
yang diminta oleh Pratu Folkman Gahauna, Bripka Rinaldy bernpandangan
bahwa ia dan Pratu Folman harus menghadap Kasatreskrim terlebih dahulu.
Akibatnya, hal ini dianggap oleh Kopda Ruslianto Bukoting sebagai alasan untuk
memperumit masalah atau mempermainkan. Dari sisi Kopda Ruslianto Bukoting,
Bripka Rinaldy seharusnya dapat dengan cepat menyerahkan kendaraan
tersebut karena ia yang menangkapnya. Kemungkinan ini ada hubungannya
dengan budaya organisasi TNI yang serba cepat berbeda dengan di pihak
Kepolisian yang harus mengikuti aturan birokrasi karena berkaitan dengan
prosedural hukum.
Yang kedua, Pratu Jenli Tahulending menganggap berbeda organisasi
dengan Bripka Nanang Saleh. Karena merasa sebagai anggota organisasi yang
berbeda, Kopda Jenli Tahulending beranggapan tidak bermasalah apabila ia
bertindak kekerasan terhadap Bripka Nanang Saleh. Akhirnya, untuk meredam
kemarahan Bripka Rinaldy, Kopda Jenli Tahulending menyekap dan meodongkan
pisau terhadap Briptu Nanang Saleh.
Kejadian ini mempunyai konflik pada data. Yang pertama, Pratu Folkman
Gahauna menganggap bahwa kendaraan Avanza milik temannya saudara Eby
sah secara hukum karena memiliki STNK. Dilain pihak, Bripka Rinaldy menyita
kendaraan Avanza milik saudara Gomez karena diperkirakan bodong yang
ditunjukkan oleh perbedaan antara nomor yang ada di mesin dengan yang ada di
STNK. Hal ini menyebabkan Pratu Folkman Gahauna bersedia untuk membantu
temannya Eby untuk meminta kendaran tersebut kepada Bripka Rinaldy.
Kemungkinan besar, Bripka Rinaldy menganggap bahwa Pratu Folman

mengetahui bahwa kendaraan tersebut tidak sah, sehingga mengakibatkan


Bripka Rinaldy tidak berani untuk menyerahkan secara langsung karena harus
mengikuti aturan. Yang kedua, Kopda Ruslianto Bukoting dan Kopda Jenli
Tahulending tidak mengetahui bahwa kendaraan Avanza yang disita tersebut
tidak sah karena percaya kepada temannya Pratu Folkman Gahauna yang
menyatakan bahwa kendaraan tersebut milik Pratu Folkman. Perbedaan data
pada kedua pihak ini yang menimbulkan konflik dan persepsi negatif dari kedua
pihak.
Perbedaan data yang ketiga, Bripka Rinaldy tidak mengetahui Kopda
Ruslianto Bukoting adalah anggota TNI AD sedangkan Kopda Ruslianto Bukoting
mengetahui Bripka Rinaldy anggota Polsek Kota Badak. Hal ini menyebabkan
Bripka Rinaldy berani mengeluarkan pistol pada saat perkelahian dengan Kopda
Ruslianto. Setelah kejadian penganiayaan, Bripka Rinaldy akhirnya mengetahui
pelaku penganiayaan terhadapnya adalah anggota TNI AD.
Yang keempat, Kopda Jenli Tahulending menerangkan tidak melihat
kejadian penganiayan yang dilakukan oleh Kopda Ruslianto Bukoting terhadap
Bripka Rinaldy Tentenabi karena saat itu masih berada di dalam mobil. Hal ini
berakibat timbulnya persepsi di dalam diri Kopda Jenli Tahulending bahwa Bripka
Rinaldy bertindak emosional dengan bertindak sewenang-wenang dengan
mengeluarkan pistol dan diarahkan terhadap Kopda Ruslianto. Karena melihat
temannya terancam, Kopda Jenli Tahulending akhirnya mengancam kembali
dengan menodong Briptu Nanang Saleh.
Dari sisi eksternal atau mood, kejadian penganiayaan ini dilatar balakangi
oleh adanya kenjengkelan Kopda Ruslianto terhadap kondisi yang ada. Jenli
Tahulending menerangkan pada hari Minggu tanggal 11 Januari 2015 sekira
pukul 11.45 WITA bersama dengan rekan-rekannya antara lain Pratu Folkman
Gahauna, Kopda Ruslianto Bukoting, Kopda Jenli Tahulending, Pratu Zulkhaidir
dan Kopda Selres Balatjai berada di rumah Praka Adam Hinelo anggota Kodim
1304/Badak dalam rangka acara bakar ikan. Sekitar pukul 13.00 WITA Pratu
Folkman Gahauna menerima telpon dari seseorang yang ia tidak kenal. Tidak
lama kemudian Pratu Folkman Gahauna mengatakan mari torang pergi ambil
mobil di Polsek Kota Selatan sudah ditungga Bripka Rinaldy , Pratu Folkman

Gahauna saat itu menyampaikan bahwa kendaraan yang disita pihak Polres
Kota Badak jenis Toyota Avansa warna Silver Nopol DB 4995 AS adalah miliknya
(Pratu Folkman Gahauna). Karena sedang makan-makan kemudian harus pergi
ke Mapolres Badak, hal ini membuat kondisi yang tidak enak pada diri Kopda
Ruslianto. Kondisi jengkel Kopda Ruslianto ditambah oleh adanya berita dari
Bripka Rinaldy yang berubah-ubah. Akibatnya, Kopda Ruslianto melampiaskan
kejengkelannya terhadap Bripka Rinaldy di Mapolsek Badak dengan memukul.
Terlihat dari uraian diatas bahwa telah terjadi dinamika antara perbedaan
data

yang

mengakibatkan

konflik

nilai

dan

perbedaan

struktur

yang

mengakibatkan konflik hubungan dan keduanya diperkuat konflik eksternal.


Pihak dari Kopda Jenli Tahulending dan kawan-kawan melihat konflik ini dari
perspektif nilai. Sedangkan dari Bripka Rinaldy dan kawan-kawan, mereka
melihat ini dari persoalan data. Bripka Rinaldy berusaha terus untuk memberikan
data-data untuk meyakinkan pihak Kopda Jenli dkk. Pihak Kopda Jenli dkk
sangat sulit untuk merubah pikirannya kalau hanya berdasarkan data. Hal ini
yang mengakibatkan konflik bereskalasi dengan sangat cepat menjadi
kekerasan, yang mana pihak Kopda Jenli dkk menganggap Bripka Rinaldy
sebagai orang yang tidak berprinsip, dan Bripka Rinaldy menganggap Kopda
Jenli dkk sebagai orang yang buruk. Perbedaan struktur karena kedua pihak
berada pada organisasi dan budaya organisasi berbeda mengakibatkan
hubungan yang tidak baik. Bripka Rinaldy bekerja pada organisasi kepolisian
terutama Polres Badak bekerja mengikuti prosedur dan tidak mau bekerja
terburu-buru karena berkaitan dengan hukum. Dilain pihak Kopda Jenli dkk
berada di organisasi Yonif Macan yang pada kasus ini terbiasa dengan
kecepatan

dan

kepercayaan.

Dengan

lamanya

serta

berubah-rubahnya

perkataan atau janji dari Bripka Rinaldy Kopda Jenli dan kawan-kawan
mengaggap Bripka RInaldy tidak mau membantu mereka. Hal ini juga
mempercepat eskalasi dari konflik menjadi kekerasan pada lingkaran konflik.
Untuk menemukan strategi penanganan dan pencegahan dapat dilakukan
dengan menggunakan lebih lanjut dari model lingkaran konflik. Furlong (2005,
Hal. 40) menyarankan agar kita menghindari mempermasalahkan nilai,
hubungan atau isu eksternal. Dalam kasus ini, mempermasalahkan nilai Kopda
Jenli dkk tentang kebersamaan dan komitmen serta kecepatan. Disisi lain

10

pandangan Bripka Rinaldy adalah entang aturan hukum. Pandangan Kopda Jenli
dkk tentang rumit dan lambatnya birokrasi Polres Badak. Dilain sisi Bripka
Rinaldy memandang Kopda Jenli dkk tidak memperhatikan data. Model lingkaran
konflik mengarahkan kita untuk berfokus pada data, struktur dan kepentingan.
Dengan demikian fokus penyelesaian masalah harus menekankan pada
penambahan data dan perbaikan struktur yang mengarah pada kepentingan
bersama.
Untuk menghindari agar konflik tidak mengarah pada kekerasan, satuan
TNI dan Polri di daerah harus mengadakan forum dialog. Pada forum dialog ini
seluruh pihak harus menjelaskan, menguji dan memperbaiki permasalahan data.
Peserta yang hadir pada forum ini sebaiknya merupakan seluruh anggota dari
pangkat terendah sampai tertinggi di satuan. Pihak Polri dapat menjelaskan
kriteria dari aturan yang harus dilakukan oleh prajurit. Pihak anggota polisi harus
menjelaskan bagaimana seharusnya Prajurit bersikap dan bertingkah laku di
tengah kehidupan masyarakat sipil pada masa damai. Pihak anggota polisi harus
menjelaskan prosedur-prosedur, aturan-aturan Polisi dalam menjalankan tugas.
Pada masa damai ini, Polri-lah yang berwenang untuk menangani masalah
ketertiban dan keamanan di dalam negeri, kecuali dalam hal adanya ancaman
yang menjadi tugas TNI sesuai UU no. 34 tentang TNI. Pada kasus ini, pihak
anggota polisi menginginkan anggota TNI AD dari Yonif Macan untuk bersabar
mengikuti prosedur dalam penanganan penarikan mobil sitaan. Selain itu, tentu
saja mereka berharap untuk TNI tidak melakukan beking terhadap kejahatan
pencurian kendaraan bermotor. Disamping itu, anggota Yonif Macan seharusnya
tidak perlu melakukan perbuatan pemukulan terhadap Bripka Rinaldy.
Setelah itu, pihak anggota TNI harus menjelaskan bagaimana seharusnya
anggota Polri dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal ini, pihak anggota Yonif
Macan menginginkan anggota Polisi untuk bersikap transparan dan konsekuen
dalam menjalankan tugas sesuai prosedurnya. Pada saat adanya berita telepon
dari Pratu Folkman Gahauna, Bripka Rinaldy seharusnya menyampaikan
informasi bahwa kendaraan tersebut tidak sah.
Pada forum dialog tersebut, pihak Polri harus menyampaikan motifnya
dalam setiap tindakan dalam menjalankan tugasnya. Bripka Rinaldy harus

11

menjelaskan tindakannya pada saat menyita mobil Inova dan kenapa harus
diserahkan kepada Kasatreskrim. Bripka Rinaldy juga harus menjelaskan kenapa
ia menodongkan pistol dan mengeluarkan tembakan pada saat kejadian di
depan markas Polres Badak. Disisi lain, Pihak TNI juga harus menjelaskan
motifnya pada setiap tindakan yang berbenturan dengan Polisi. Pratu Folkman
Lineker Junister Gahauna harus menjelaskan motifnya dalam upaya membantu
temannya saudara Eby pada saat meminta kendaraan tersebut kepada Bripka
Rinaldy. Pratu Folkman Lineker Junister harus secara jujur mengakui mengapa
ia membawa teman dan seniornya ke Mapolres Badak untuk mengambil mobil
sitaan. Pratu Folkman Lineker Junister Gahauna harus secara jujur mengatakan
alasan menyatakan bahwa kendaraan tersebut adalah miliknya. Kopda Jenli
Tahulending harus juga menjelaskan mengapa ia menodongkan badik pada
Briptu Nanang. Kopda Ruslianto Bukoting harus menjelaskan motifnya mengapa
ia memukul Bripka Rinaldy.
Berikutnya, kedua pihak harus mengemukakan asumsi masing-masing
pada saat bertindak. Bripka Rinaldy harus mengemukakan asumsi pada saat
menyita kendaraan bodong. Misalkan Bripka Rinaldy berasumsi bahwa apabila
tidak disita, maka pelaku pencurian mobil akan merajalela. Atau, dengan
menangkap mobil bodong, Bripka Rinaldy akan mendapat penghargaan dari
atasannya yaitu Kasatreskrim.

Pratu Folkman juga harus mengemukakan

asumsi pada saat membantu temannya Eby. Misalnya, Pratu Folkman


beranggapan bahwa dengan membantu Eby ia akan dihargai oleh temannya itu
atau mendapat balas jasa dalam bentuk materi. Begitupula dengan Kopda
Ruslianto Bukoting.
Kopda Ruslianto Bukoting pada forum dialog harus menyampaikan
asumsinya pada saat memukul Bripka Rinaldy. Misalnya, Kopda Ruslianto
Bukoting kemungkinan berasumsi bahwa dengan memukul Bripka Rinaldy, ia
akan mendapat pujian dan respek dari Pratu Folkman dan teman-temannya
bahwa ia peduli. Sama juga dengan Kopda Jenli. Misalnya, Kopda Jenli
menodong Briptu Nanang karena berasumsi kalau tidak dilakukan ancaman
maka Bripka Rinaldy akan menembak Kopda Ruslianto. Penyampaian motif dan
asumsi diatas untuk mendapatkan ketidakcocokan data pada saat kejadian. Dari
benang merah ini dapat ditemukan informasi seperti apa yang harus

12

disampaikan oleh kedua pihak agar apabila kejadian seperti ini lagi tidak
terulang. Apabila informasi tersebut berhubungan dengan perbedaan struktur,
maka

dimensi

ini

juga

harus

didiskusikan

secara

bersama

untuk

penyelesaiannya.
Dialog

yang

dilakukan

harus

membahas

tentang

bagaimana

menyelesaikan hambatan pada aspek struktural. Yang pertama, kedua pihak


dapat memulai dengan membahas tentang masalah keterbatasan sumberdaya
(Furlong, 2005, Hal.48). Selanjutnya, pembahasan mengarah pada sumber daya
lain apa saja yang dapat membantu (Furlong, 2005, Hal.48). Pihak Polisi atau
dalam kasus ini Bripka Rinaldi harus menyampaikan fakta bahwa posisi dan
tugasnya telah dimandatkan oleh atasannya dalam hal ini oleh Kasatreskrim dan
hal ini berlaku untuk seluruh anggota reskrim. Bripka Rinaldy dapat meminta
pihak Kopda Jenli dan kawan-kawan untuk menanyakannya pada anggota lain di
Polres tersebut. Dalam dialog, Bripka Rinaldy diberi kesempatan untuk
menyampaikan tingkat fleksibilitasnya dan dimana batasannya. PIhak Jenli dan
kawan-kawan harus mengemukakan apakah mereka tahu peran dan tugasnya
sebagai TNI yang dalam kehidupan bermasyarakat dapat bersinggungan dengan
pihak Kepolisian. Kemudian, pihak polisi diberi kesempatan berbicara tentang
bagaimana mereka sebenarnya menginginkan kerjasama dalam melakukan
pemeliharaan ketertiban dan hukum ditengah masyarakat. Selanjutnya, pihak
Jenli dkk diberi kesempatan untuk menyampaikan mengapa mereka tidak
meminta bantuan atau melapor kepada atasannya terutama Danyonif Macan.
Atau, mengapa Kopda Jenli dkk tidak meminta bantuan pihak Polisi Militer untuk
menangani. Pada dialog ini harus diberi kesempatan pada kedua pihak untuk
melakukan brainstorming untuk menyelesaikan perbedaan struktur.
Yang terakhir, setelah membahas perbedaan data dan struktur, kedua
pihak harus membahas kepentingan. Kedua pihak harus menyampaikan apa
yang menjadi kepentingan utamanya (Furlong, 2005, Hal.49). Pihak Polisi dalam
hal ini Bripka Rinaldy menginginkan adanya ketaatan pada tata tertib dan hukum
serta bertingkah laku sesuai prosedur. Pihak Kopda Jenli dkk menginginkan
kendaraan mereka kembali dan diperlakukan dengan penuh konsekuen serta
transparansi. Dari diskusi kedua pihak dapat menarik satu titik yang menjadi
kepentingan bersama. Misalnya, Pihak Polisi dapat menyerahkan kendaraan

13

asal saudara Eby yang menjadi buronan diserahkan ke pihak Polres Badak.
Atau, kedua pihak dapat melakukan kegiatan patrol bersama.
Berikut, strategi apabila masih ada perdebatan tentang nilai maka kedua
pihak harus mengalihkan fokus pada transparansi informasi. Kedua pihak harus
membagi infromasi tentang nilai yang mereka anut (Furlong, 2005, Hal.49).
Dalam hal ini kedua pihak harus berfokus pada nilai yang menjadi nilai bersama.
Bila terpaksa, maka dapat diberi jalan alternatif yaitu kedua pihak tidak boleh ikut
campur pada tugas masing-masing (Furlong, 2005, Hal.49). Secara perlahan
kedua pihak harus membuka nilai yang tidak relevan (Furlong, 2005, Hal.49).
Strategi apabila diskusi hanya berputar pada permasalahan hubungan,
kedua pihak dapat mengambil langkah untuk berfokus pada masa depan
(Furlong, 2005, Hal. 50). Kedua pihak harus menghilangkan asumsi yang salah
tentang pandangan buruk pada keduanya (Furlong, 2005, Hal.50). Pihak polisi
dan TNI harus menemukan apa yang mereka inginkan dari masing-masing pihak
bertingkah laku. Kedua pihak harus berkomiten untuk menerapkan perilaku yang
disetujui (Furlong, 2005, Hal.50). Selanjutnya, kedua pihak berfokus pada
kepentingan dan melupakan isu yang berhubungan dengan masa lalu (Furlong,
2005, Hal. 50). Pihak mediator baik dari atasan Polisi maupun Danyonif harus
membantu masing-masing pihak untuk dapat mengambil langkah kecil yang
dapat menumbuhkan kepercayaan dan mulai untuk merubah persepsi terhadap
pihak lain (Furlong, 2005, Hal. 50).
Strategi untuk menghadirkan pihak ketiga harus dilakukan apabila pihak
Polri dan TNI terkunci pada pembahasan aspek eksternal/mood (Furlong, 2005,
Hal.50). Masing-masing pihak harus mengakui aspek eksternal apa yang tidak
dapat mereka kontrol dan fokus pada yang dapat dikontrol (Furlong, 2005,
Hal.50). Kedua pihak dapat meminta seseorang yang dapat mengontrol emosi
apabila terjadi konflik. Pihak ketiga ini harus yang menjadi penengah yang
dipercaya keduanya (Furlong, 2005, Hal.50). Seperti di kasus Batam, Bupati
dapat menjadi penengah pihak TNI-Polri untuk mereadam agar konflik tidak
berujung kekerasan (Furlong, 2005, Hal.50). Sekali lagi, dalam setiap bertindak,
kedua pihak harus di tekankan untuk berfokus pada kepentingan dan bukan
pada faktor eksternal (Furlong, 2005, Hal.50).

14

Forum Dialog diatas harus diadakan secara kelembagaan agar dapat


dilakukan rekonsiliasi secara terus menerus dan benar-benar mengakar. Polri
yang tugasnya menjaga ketertiban dan keamanan sipil mempunyai kegiatan
yang padat. Begitu pula dengan TNI. TNI juga merupakan organisasi alat utama
pertahanan yang harus terus mengasah diri untuk menempa kekuatan dan
kemammpuan melalui latihan. Forum dialog memang dapat dilakukan pada saat
paska konflik. Akan tetapi, untuk menghindari kejadian konflik yang berujung
pada kekerasan dan untuk menjaga keharmonisan kedua lembaga, TNI dan Polri
harus membentuk suatu lembaga dialog yang organisasinya diawaki oleh
anggota TNI dan Polri yang ada di daerah yang disupervisi oleh lembaga
independen pemerintah seperti Pemda, atau badan lain. Secara berkala kegiatan
dialog harus terus dilakukan untuk menyediakan kesempatan bagi kedua pihak
untuk melakukan update terhadap nilai, hubungan, struktur, informasi atau data
serta kondisi terkini tentang faktor eksternal.
Dalam forum dialog diatas, pihak Kepolisian dapat memberikan
penyuluhan tentang hukum yang berlaku dilingkungan sipil. Dilain pihak, TNI
dapat memberikan penyuluhan terhadap norma dan aturan yang berlaku di
lingkungan TNI. Dengan adanya sinkronisasi informasi serta adanya jembatan
struktural melalui forum dialog. Selain melalui forum dialog, faktor internal seperti
pemahaman terhadap hukum, peningkatan disiplin, dan loyalitas terhadap
atasan yang sesuai aturan juga harus diitngkatkan.
Program Pembinaan Satuan (Binsat) dapat digunakan oleh satuan untuk
meningkatkan pemahaman hukum dan disiplin prajurit. TNI terutama TNI AD
memiliki program pembinaan satuan yang merupakan fungsi komando untuk
meningkatkan kekuatan dan kemampuan satuan agar dapat melaksanakan
tugas. Salah satu aspek kekuatan adalah pemeliharaan disiplin, hukum dan tata
tertib. Tindakan Kopda Ruslianto Bukoting yang dengan tiba-tiba melakukan
pemukulan ke wajah Bripka Rinaldy merupakan tindakan yang bertentangan
dengan hukum Pidana Prajurit. Apabila Kopda Ruslianto mengetahui, memahami
dan menyadari bahwa perbuatan yang ia lakukan adalah salah karena
melanggar hukum dan akan diberi sanksi yang berat, kemungkinan ia akan
mengurungkan niatnya. Apabila Kopda Ruslianto tidak mengetahui, memahami
atau menyadari akan keberadaan hukum pidana yang melarang seseorang

15

untuk melakukan penganiayaan terhadap orang lain, dapat dipastikan kurang


efektifnya pembinaan pemeliharaan disiplin, hukum dan tata tertib di Satuan
Yonif Macan. Oleh karena itu, kedepan, setiap satuan TNI AD harus dengan
sungguh-sungguh dan efektif dalam melakukan pembinaan hukum disiplin dan
tata tertib.
Salah satu metoda dalam Binsat untuk meningkatkan disiplin, kepatuhan
terhadap hukum dan tata tertib adalah melalui penyuluhan, latihan aplikasi dan
pengawan melekat. Komandan satuan dapat menggunakan jam komandannya
untuk memberikan penjelasan tentang hukum-hukum dan tata tertib yang berlaku
dilingkungan TNI dan sipil. Pada jam komandan tersebut, pengarahan harus
disertai sesi tanya-jawab dan praktek sehingga prajurit dapat lebih memahami
dan

menerapkannya.

Untuk

memberikan

pandangan

lain

atau

untuk

menguatkan, penyuluhan dapat diberikan oleh perwira dari lembaga Pembinaan


Mental TNI AD (Bintal AD) dan Korem. Program penyuluhan ini harus ada
dukungan dari komando atas dalam hal penyediaan anggaran dan otorisasi.
Diharapkan dengan adanya peningkatan pemahaman hukum dan tata tertib
serta perbaikan disiplin, terjadi perubahan nilai pada diri prajurit tentang
bagaimana seharusnya keputusan yang dibuat serta perilaku yang diperbuat.
Selanjutnya, unsur komandan harus dapat menerapkan kepemimpinan
yang efektif agar tercipta penerapan loyalitas yang benar bukan solidaritas atau
jiwa korsa yang sempit. Dengan adanya loyalitas yang benar ini, prajurit akan
berusaha menghindari pelanggaran hukum dan selalu akan berkonsultasi pada
unsur komandan apabila terjadi permasalahan. Apabila loyalitas ini ada pada diri
Pratu Folkman Gahauna, maka pada saat mengetahui ada permasalahan ia
akan melaporkan kepada atasannya langsung untuk dimintai pendapat dan
bahkan bantuan. Loyalitas ini tidak akan terbentuk apabila unsur komandan tidak
berperilaku sesuai pada kepemimpinan yang efektif. Komandan harus dapat
mengayomi dan menyelami permasalahan anggotanya. Melalui kepemimpinan
transaksional komandan dapat memberlakukan reward dan punishment. Selain
itu, komandan harus dapat memberikan contoh tentang bagaimana penyelesaian
permasalahan dengan masyarakat secara benar.

16

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor


penyebab terjadinya konflik kekerasan antara TNI dan Polri pada kasus
penganiayaan Bripka Rinaldy dan penodongan Briptu Nanang oleh oknum
anggota Yonif Macan. Faktor yang pertama adalah perbedaan informasi yang
menjurus pada faktor yang kedua yaitu perbedaan nilai pemaknaan pada
pandangan dari setiap kejadian. Faktor yang ketiga, adanya perbedaan struktural
berupa kewenangan yang mengakibatkan faktor yang keempat yaitu hubungan
yang tidak baik antara kedua belah pihak.Dari keempat faktor tersebut terdapat
kepentingan dari masing-masing pihak yang dapat disatukan melalui dialog.
Strategi untuk mencegah agar konflik tidak terulang adalah dengan
pembentukan forum dialog dan penerapan binsat dan kepemimpinan yang
efektif. Forum dialog untuk memediasi atau menjembatani pertukaran informasi
dan perubahan struktural sangatlah penting agar konflik TNI Polri tidak terulang
kembali. Forum diskusi ini harus dimediasi oleh pihak ketiga yang berkompeten
dan netral, seperti misalnya Bupati. Selanjutnya dengan memanfaatkan jam
komandan baik pada jam kerja dan diluar jam kerja, diperkirakan akan
menumbuhkan loyalitas tegak lurus dan keseganan untuk melanggar aturan.
Proses

mediasi

tidak

akan

berjalan

apabila

pihak

ketiga

tidak

berkomitmen untuk membantu proses dialog. Oleh karena itu, akan lebih efektif
apabila ada memorandum of understanding (MOU) antara Panglima Komando
Utama (Pangkotama) dengan bupati dan Kapolren dalam rangka pembentukan
forum dama antara organisasi TNI dan Polri. Selain itu, harus adanya program
yang konsisten terutama dari Binsat tentang bagaimana memeperbaiki
Kesatuannya.

17

Daftar Pustaka
Furlong, G. T. (2005). The conflict resolution toolbox : models & maps for
analyzing, diagnosing, and resolving conflict. Mississauga, Ontario: John
Wiley & Sons Canada, Ltd.
REPUBLIK INDONESIA. (2012). UNDANG UNDANG TENTANG PENANGANAN
KONFLIK SOSIAL. Jakarta: KEMENKUMHAM.

Anda mungkin juga menyukai