BAB V
DISKUSI HASIL PENELITIAN
147
berupa TTK dominan pada semua konsep yang diujikan. Ke tujuh konsep tersebut
berpotensi menyebabkan MK pada tingkatan MK3 cenderung dominan daripada
MK1 dan MK2, hal ini dapat terlihat jelas pada Gambar 4.2a, 4.2b, dan 4.2c. Pada
kelas X-2 konsep yang berpotensi menyebabkan terjadinya MK3 yang dominan
terjadi 5 dari 7 konsep yang diujikan, sedangkan pada kelas X-3 dan X-4 terjadi
pada 3 konsep dari 7 konsep yang diujikan.
Merupakan gambaran yang wajar, profil prakonsepsi siswa pada ketiga
kelas tersebut dominan pada status TTK, hal ini memberikan gambaran bahwa
siswa belum pernah mengikuti pembelajaran konsep reaksi redoks. Siswa belum
dilibatkan pembelajaran yang melatihkan tahapan pembangunan konsep (menurut
teori konstruktivis). Ditemukan prakonsepsi individu pada MK1, MK2, atau MK3
yang menurut Suparno (2005) guru harus memberikan perhatian lebih pada
individu-individu tersebut, sebab berpotensi menyebabkan terjadinya miskonsepsi
dalam menerima konsep yang baru. Keberadaan yang wajar ditemukan siswa
mempunyai konsepsi alternatif, hal sesuai dengan pendapat Ibrahim (2012) bahwa
prakonsepsi (konsep awal) merupakan hasil pemahaman terhadap suatu fenomena
alam, dalam pembahasan ini adalah reaksi redoks yang belum dipelajari secara
formal di sekolah. Sebagian dari konsep awal pada diri siswa ada yang sesuai
dengan konsep ilmiah, namun ada yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah, yang
disebut mempunyai konsepsi alternatif. Ketika pemahaman siswa atas konsep
tertentu berbeda dengan konsep ilmiah, maka tidak boleh dihakimi sebagai
miskonsepsi, namun dapat dinyatakan sebagai konsepsi altenatif. Hal ini sesuai
dengan pendapat Horton (2004) bahwa istilah miskonsepsi tampaknya terlalu
menghakimi dalam pandangan dari sifat tentatif dari ilmu pengetahuan dan fakta
148
bahwa banyak dari konsepsi pada diri anak telah berguna bagi siswa di masa lalu.
Sifat tentatif ilmu pengetahuan yang dimaksud di sini adalah kebenarannya dapat
berubah jika ditemukan bukti lain yang lebih dipercaya secara ilmiah. Didasarkan
atas fakta bahwa konsepsi alternatif tadi banyak timbul selama pengajaran,
akhirnya penggunaan istilah konsepsi alternatif lebih disepakati. Hal ini juga
sesuai dengan pendapat Barke et al. (2009).
Gambaran prakonsepsi siswa, bagaimanapun keadaannya, sesuai atau tidak
sesuai dengan konsep ilmiah, adalah hal yang sangat penting yang harus diketahui
oleh guru. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Barke el al. (2009), bahwa data
prakonsepsi siswa jangan digunakan untuk menyimpulkan siswa dalam status
MK, TTK, dan TK semata, namun digunakan sebagai pemahaman guru tentang
kondisi awal siswa yang bermanfaat untuk perencanaan pembelajaran yang akan
dilakukan, dan untuk memastikan bahwa konsep redoks belum pernah diterima
oleh siswa sebelumnya.
B. Keterlaksanaan dan Kualitas Pembelajaran Redoks dengan Model
Learning Cycle 7E
Sebelum dilaksanakan pembelajaran prevensi miskonsepsi dengan Learning
Cycle 7E dilakukan pre-test untuk mengetahui prakonsepsi siswa dan pre-test
konsep prasyarat. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya bahwa
prakonsepsi siswa digunakan guru untuk memastikan bahwa konsep redoks belum
pernah diterima sebelumnya oleh siswa, sedangkan sehubungan dengan konsep
prasyarat, seperti saran Gagne et al. (1988) menyatakan bahwa sebelum mengawali pada pembelajaran perlu dilakukan tes kemampuan prasyarat. Pengetahuan
149
150
151
152
kompleks bagi diri sendiri, membangun pengetahuan dari kegiatan, refleksi dan
interpretasi pemahaman oleh siswa berdasarkan skemata yang dimilikinya. Guru
dapat membantu proses belajar dengan cara membuat informasi menjadi sangat
bermakna dan sangat relevan dengan kehidupan siswa.
Pelaksanaan fase explore, dalam pertemuan 1 dan 3 berbasis laboratorium,
sedangkan pada pertemuan kedua berbasis pustaka, yang hanya berdasarkan pada
struktur Lewis, dan data keelektronegatifan. Pada pertemuan kedua, walaupun
tidak berbasis laboratorium, namun sangat menantang bagi siswa, berdasarkan
sruktur Lewis dan data keelektronegatifan, bilangan oksidasi dapat ditentukan,
jadi siswa tidak terpaku pada aturan penentuan biloks, melainkan terdapat proses
pemahaman secara mendasar tentang bilangan oksidasi suatu unsur. Misalnya
unsur oksigen dapat bernilai positif pada senyawa H 2O ataupun negatif pada
senyawa
OF2
seperti
terlihat
dalam
Gambar
5.1a
dan
5.1b.
Data
153
yang
tertuang dalam LKS dan worksheet dipresentasikan semua oleh siswa. Menurut
Piaget (di dalam Suparno, 2000)
154
dan manakah zat yang mengalami reduksi? Pada fase extend: Mengapa daging
buah apel yang dilapisi jeruk nipis berubah menjadi coklat lebih lama jika
dibandingkan dengan tanpa dilapisi jeruk nipis? Pertanyaan ini untuk dikerjakan
dan dilakukan percobaan di rumah secara berkelompok.
155
156
157
158
gelas ukur untuk mengukur volume larutan berturut-turut adalah 88%, 85%, dan
89%. Kemampuan psikomotorik dalam menggunakan pipet volume masingmasing adalah 89% pada kelas X-2, 87% pada kelas kelas X-3, dan 89% pada
kelas X-4. Simpulan yang diperoleh bahwa kemampuan psikomotorik siswa
dalam menggunakan gelas ukur dan pipet volum dalam kategori sangat baik.
Berdasarkan indikator aktivitas sikap dan keterampilan sosial, siswa diamati
selama mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas dan laboratorium. Siswa-siswa
pada umumnya telah bekerja sama dengan teman yang lain. Sikap siswa saling
menghargai pendapat satu teman dengan teman yang lain juga tampak sesuai hasil
pengamatan terhadap karakter dan keterampilan sosial pada ketiga kelas. Sikap
dan keterampilan sosial merepresentasi perilaku berkarakter, yaitu kehidupan
hidup bersih di lingkungan sekolah, baik di kelas maupun di laboratorium dan
menunjukkan kerjasama dan kelompok kecil maupun kelompok besar (kelas)
dalam kategori baik. Jujur dalam mencatat data percobaan dan membuat simpulan
berdasarkan analisis data-data tesebut (Lampiran 21-29).
Aktivitas psikomotorik, sikap, dan keterampilan sosial siswa selama
berlangsungnya kegiatan pembelajaran merupakan perfomance yang tampak pada
diri siswa sebagai respon skenario pembelajaran yang dijalankan oleh guru. Data
psikomotorik dan sikap sosial ini merupakan verifikator bagi data kualitas
pembelajaran yang diberikan pengamat terhadap pelaksananaan pembelajaran.
Berdasarkan skor yang diperoleh pada penilaian terhadap kemampuan
psikomotorik siswa pada ketiga kelas pada umumnya siswa dapat menggunakan
gelas ukur dan pipet volum dengan rentangan kriteria baik hingga sangat baik
dengan rubrik tertentu. Berkaitan dengan kemampuan psikomotorik siswa,
159
ke
dalam
pembelajaran
telah
dilaksanakan
guru
dengan
baik.
160
161
namun yang lebih besar adalah siswa yang mengalami miskonsepsi terutama pada
MK3.
Hal yang positif dijumpai pada siswa kelas X-4 adalah sebagian besar
siswa mampu menjelaskan terjadinya serah terima atom oksigen pada suatu
reaksi. Zat pereaksi yang menangkap atom oksigen mengalami reaksi oksidasi
dan zat pereaksi yang melepas atom oksigen mengalami reaksi reduksi. Adanya
temuan Barke et al. (2009) terhadap miskonsepsi siswa bahwa oksidasi hanya
melibatkan oksigen memberikan kewaspadaan guru dalam menyampaikan konsep
tersebut sehingga pada konsep ini sebagian besar siswa memahaminya dengan
baik. Akan tetapi, pada konsep bilangan oksidasi, reaksi redoks ditinjau dari
perubahan bilangan oksidasi, dan tata nama senyawa anorganik menurut tinjauan
bilangan oksidasi menunjukkan bahwa siswa banyak yang mengalami
miskonsepsi pada tingkatan MK3. Pada kelas X-4 juga ditemukan siswa yang
masih berstatus TTK.
Pada kelas X-2, X-3, dan X-4 banyak siswa yang mengalami miskonsepsi
pada tingkatan MK3, hal yang hampir sama dengan siswa yang mengalami TTK,
siswa masih kurang memahami terhadap konsep yang dipelajari, hanya saja
membentuk skema yang seolah-olah merupakan konsep yang benar dan siswa
yakin terhadap konsep yang dipahami tersebut. Oleh Khaltaksi (2006)
disebutnya siswa mengalami miskonsepsi pada tingkatan MK3.
Keadaan ini
sesuai dengan Teori Piaget (di dalam Suparno, 2000) bahwa skema seseorang
dibentuk oleh pengalaman sepanjang waktu. Skema menunjukkan taraf pengertian
162
dan pengetahuan orang saat ini tentang dunia sekitarnya. Skema ini suatu
konstruksi, bukan tiruan dari kenyataan dunia yang ada.
Ditemukannya miskonsepsi, apa lagi pada tingkatan MK3 harus diatasi
karena akan berpengaruh pada pembelajaran konsep berikutnya. Jika siswa
berhasil mempelajari pada suatu konsep, hasil tersebut dengan sendirinya dapat
memberikan penguatan pada dirinya untuk mempelajari konsep berikutnya
(Gagne et al.,1988). Fenomena ini tidak sesuai dengan dua harapan ideal yaitu
tidak ada miskonsepsi dalam pembelajaran, dan jika terjadi miskonsepsi pada
suatu konsep, maka jumlah siswa yang berstatus miskonsepsi tidak melebihi
jumlah siswa yang tidak tahu konsep.
Berdasarkan hasil analisis dari post-test I siswa setelah pembelajaran
prevensi miskonsepsi dengan Learning Cycle 7E. Tiga konsep yang sangat perlu
perhatian dari guru untuk diremediasi adalah konsep bilangan oksidasi, reaksi
oksidasi reduksi ditinjau dari bilangan oksidasi, dan tata nama senyawa anorganik
menurut tinjauan bilangan oksidasi. Pemahaman siswa pada ketiga konsep ini
pada umumnya masih kurang, hal ini ditunjukkan masih banyak siswa mengalami
miskonsepsi, dan yang terbanyak pada tingkatan MK3. Siswa belum bisa
menjawab suatu soal dan memilih/memberikan alasan dengan benar, namun
merasa yakin terhadap jawaban yang telah diberikan pada pengerjaan post-test.
Penentuan biloks pada ion, unsur, ataupun senyawa yang belum benar akibat
siswa ada yang belum bisa membedakan ion, unsur, ataupun senyawa dan belum
terampil dalam mengoperasikan hitungan matematika. Hal ini didukung oleh
Sidauruk (2003) yang telah meneliti kesulitan siswa dalam memahami reaksi
redoks salah satunya adalah siswa kesulitan dalam menentukan bilangan oksidasi
163
dengan alasan di antaranya adalah siswa belum bisa membedakan unsur, senyawa,
dan ion, serta kesulitan dalam operasi matematika.
Tiga konsep yang menyebabkan status TK yang paling rendah dibandingkan
dibandingkan konsep-konsep lainnya adalah pada konsep bilangan oksidasi,
reaksi redoks ditinjau dari bilangan oksidasi, dan tata nama senyawa anorganik
menurut tinjauan bilangan oksidasi. Ketiga konsep ini sangat terkait dengan
bilangan penentuan bilangan oksidasi. Keadaan ini terutama terjadi pada siswa
kelas X-3 dan X-4. Misalnya siswa masih kesulitan dalam menentukan bilangan
oksidasi karena belum memahami aturan bilangan oksidasi dengan baik, seperti
pada soal di bawah ini:
Bilangan oksidasi unsur F pada suatu senyawa bisa +1 atau -1 tergantung dengan
atom mana atom tersebut berikatan seperti halnya bilangan oksidasi S pada H 2S
adalah -2 sedangkan S dalam SO2 adalah +4.
Bagaimanakah pendapat Anda terhadap pernyataan tersebut?
A. Benar
B. Salah
Pada umumnya siswa menjawab A (benar), padahal unsur F adalah unsur yang
paling elektronegatif, sehingga biloksnya dalam senyawa selalu -1. Contoh yang
lain adalah Berapakah biloks S dalam SO42-? Sebagian siswa menjawab -2.
Semestinya bilangan oksidasi S pada SO 42- adalah +6, dan -2 menunjukkan jumlah
muatan dalam ion SO42-, dengan mengikuti aturan jumlah bilangan oksidasi unsurunsur dalam ion poliatomik sama dengan muatannya. Contoh yang lain yang
ditemui di lapangan adalah siswa belum bisa membedakan unsur dan senyawa,
seperti senyawa MgCl2. Ada beberapa siswa dalam menentukan biloks Mg dan Cl
pada seyawa tersebut masing-masing nol, karena siswa beranggapan MgCl 2
terdiri atas unsur bebas Mg yang biloksnya nol, dan Cl 2 yang biloksnya nol.
164
165
sangat tampak, maka diperlukan persiapan bagi guru secara matang agar peran
guru sebagai motivator dan fasilitator dapat berjalan dengan baik. Akibat dari dua
hal tersebut, maka hal yang tidak dapat dipungkiri adalah waktu yang dibutuhkan
lebih lama, karena siswa diajak untuk dapat mengeksplorasi pengetahuannya
sendiri.
Meskipun model pembelajaran Learning Cycle 7E yang berbasis inkuiri
dapat memprevensi terjadinya miskonsepsi siswa, namun berdasarkan hasil-hasil
penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilakukan dengan model
inkuiri masih menyisakan miskonsepsi. Berdasarkan hal tersebut wajar bahwa
dengan pengajaran menerapkan Learning Cycle 7E masih menyisakan adanya
miskonsepsi. Sebagai contoh Bartlow (2011) melakukan penelitian tentang
efektivitas
pembelajaran
inkuiri
terbimbing
(POGIL)
untuk
mereduksi
166
mengalami
miskonsepsi
disebabkan
terbatasnya
kemampuan
167
pada tier-3, sehingga banyak ditemukan siswa berstatus TTK. Hal ini juga
didukung oleh angket siswa, sebagian besar siswa merasakan kurang waktu dalam
memahami konsep reaksi redoks menurut skenario pembelajaran yang
dilaksanakan. Menurut pendapat siswa pemahaman konsep reaksi redoks perlu
waktu yang cukup agar dapat memahaminya dengan baik. Sebagian kecil siswa
merasa pengajaran guru terlalu cepat, siswa belum menguasai benar konsep pada
petemuan sebelumnya, sudah dilanjutkan ke materi berikutnya. Apalagi bahwa
siswa terbiasa dengan pembelajaran yang berpusat pada guru yang dibawa siswa
sejak masih belajar di SMP, sehingga ketika siswa dilibatkan dalam pembelajaran
yang berpusat pada siswa seperti Learning Cycle 7E maka dirasakan berat bagi
siswa. Hal ini sesuai dengan kelemahan pembelajaran dengan Learning Cycle 7E
bahwa waktu yang dibutuhkan lebih lama, karena siswa diajak untuk dapat
mengeksplorasi pengetahuannya sendiri (Budiasih, 2003).
Jika ditinjau dari faktor-faktor penyebab terjadinya miskonsepsi yang telah
dibahas pada penelitian ini, bahwa konsep prasyarat menempati urutan ke-2 di
bandingkan dengan prakonsepsi dan cara mengajar guru. Fakta ini memberikan
petunjuk bahwa belum bagusnya pemahaman siswa pada konsep reaksi redoks,
karena pemahaman terhadap konsep prasyarat
diharapkan. Hal ini sesuai dengan Gagne et al.(1988) bahwa konsep prasyarat
mendasari pemahaman konsep berikutnya. Atau dengan kata lain jika siswa
mengalami kesulitan dalam pemahaman konsep prasyarat, maka akan ditemukan
juga kesulian pada pembelajaran konsep berikutnya.
168
169
3.
170
171
tidak terlepas dari pemahaman konsep siswa yang memerlukan proses. Piaget (di
dalam Dahar, 1988) menjelaskan bahwa tahap perkembangan kemampuan
kognitif anak, mulai dari tahap sensori motorik (konkret) sampai tahap
formal/abstrak. Pada tahap perkembangan dari konkret menjadi abstrak inilah
peserta didik banyak mengalami miskonsepsi disebabkan terbatasnya kemampuan
mengonstruksi pengetahuan dan tidak lengkapnya pengetahuan yang dimiliki
sebagai bekal mengonstruksi suatu konsep secara tepat dan benar. Secara perlahan
sesuai dengan tahap perkembangannya, mereka akan terus-menerus memperbaiki
dan mengurangi miskonsepsi dalam dirinya hingga akhirnya diperoleh
pemahaman yang benar tentang konsep tertentu. Sebagai bahan pertimbangan,
menurut Miller et al. (di dalam Dazhi and Inanc S., 2013) bahwa prevensi
miskonsepsi dengan pembelajaran berbasis inkuiri tidak berhasil dilakukan di
sekolah tingkat SLTP dan SLTA), dan baru berhasil pada tingkat universitas.
Jika melihat kembali pada amanat Permendikanas nomor 22 tahun 2006,
bahwa pengajaran di kelas adalah harus berbasis inkuiri, pembelajaran harus
dihadapkan langsung dengan fenomena alam, bersifat induktif, pembelajaran
dengan Learning Cycle 7E tetap dilanjutkan walaupun belum berhasil jika ditinjau
dari ketuntasan belajar. Perlu adanya tahapan refleksi pada pembelajaran baik sisi
dari guru maupun siswa. Guru perlu merefleksikan bagaimana respon siswa
terhadap materi yang dibawakan dengan menggunakan model Learning Cycle 7E
dan dari sisi siswa bagaimana kegiatan tindak lanjut pembelajaran siswa masingmasing di rumah dilakukan atau tidak. Jika belajar hanya mengandalkan
pertemuan di kelas, maka konsep yang seharusnya harus direview lagi di rumah
172
dan latihan soal pun tidak banyak dikerjakan. Materi redoks di kelas X banyak
konsep yang perlu latihan soal, seperti pada penentuan bilangan oksidasi.
Seperti pada analisis konsepsi siswa setelah pembelajaran yang telah
dipaparkan dalam grafik pada bab IV, bahwa status siswa miskonsepsi yang
dominan yaitu pada konsep bilangan oksidasi, reaksi redoks ditinjau dari
perubahan bilangan oksidasi, dan tata nama senyawa anorganik menurut bilangan
oksidasi. Dilihat dari sudut pandang penguasaan konsep redoks, berarti pada
ketiga konsep ini pada umumnya siswa belum menguasai dengan baik. Hal ini
sesuai penelitian Sidauruk (2010) bahwa kesulitan siswa kelas X dalam
mempelajari materi reaksi redoks, siswa kesulitan menentukan bilangan oksidasi,
mengidentifikasi reaksi termasuk redoks atau bukan, serta menentukan zat yang
berperan sebagai reduktor ataupun oksidator dalam suatu reaksi reaksi. Padahal
penguasaan bilangan oksidasi sangat penting, karena untuk mengidentifikasi
reaksi yang panjang dan yang terdiri atas molekul yang tidak sederhana, maka
keterampilan siswa dalam menentukan bilangan oksidasi merupakan suatu
keharusan.
E. Pemetaan Miskonsepsi Siswa pada Setiap Butir Tes pada Setiap Kelas
Sebelum Pembelajaran dengan Model ECIRR
Langkah awal sebelum pembelajaran dengan model ECIRR adalah konsepsi
siswa dipetakan terlebih dahulu, terutama pada siswa yang mengalami MK. Hasil
pemetaan siswa MK pada setiap butir tes pada kelas X-2, X-3, dan X-4 disajikan
pada Tabel 4.12 menunjukkan bahwa setiap siswa memiliki beban MK yang
menyebar pada semua butir tes yang diujikan.
173
Di antara siswa yang berstatus MK, status MK3 paling banyak dijumpai,
diikuti MK2, dan yang paling sedikit adalah individu yang berstatus MK1. Di
antara MK1, MK2, dan MK3 tidak dijumlahkan jika digunakan untuk
menganalisis konsepsi seseorang pada suatu konsep, karena ketiganya
kedudukannya tidak persis sama, MK1 dan MK2 kedudukannya hampir sama,
pada status MK1 dan MK2 siswa kurang utuh menangkap informasi tentang suatu
konsep, karena siswa hanya bisa menjawab salah satu dari tier 1 atau 2 dan
menjawab yakin pada tier 3. Hal ini dapat dikatakan bahwa siswa bisa
menjawab tetapi tidak dapat memilih salah satu alasan yang tersedia, atau tidak
dapat memberikan alasan tertulis pada kolom isian yang tersedia. Kemungkinan
lainnya adalah siswa tidak dapat menjawab, namun dapat menilai pernyataanpernyatan yang mengarah pada soal yang semestinya dijawab. Tidak utuhnya
pemahaman konsep inilah yang menyebabkan siswa pada status MK1 ataupun
MK2. Lain halnya dengan status MK3, jika seorang siswa mempunyai beban
miskonsepsi pada tingkatan ini, ada 2 hal yang tidak dikuasai siswa adalah
memberikan jawaban dan alasan, namun siswa merasa yakin terhadap jawaban
dan alasan yang diberikan adalah benar, maka pada tingkatan MK3 dikatakan
Turker (2005), Khaltaksi (2006), dan Arslan et al. (2012) merupakan tingkatan
miskonsepsi yang mempunyai tingkat retensi paling kuat.
Berdasarkan hasil pemetaan tersebut pengajaran prevensi dengan model
Learning Cycle 7E, yang masih menyisakan miskonsepsi pada semua konsep
redoks yang diajarkan dan dialami oleh seluruh anggota kelas, maka peneliti
berketetapan untuk melakukan pembelajaran remedial dengan model ECIRR yang
telah dipersiapkan sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis ini, maka model
174
175
176
2 Na+ (g) + 2 e
2Na(g)
Cl2 (g) + 2e
Cl2 (g)
(oksidasi)
(reduksi)
penguasaan
prasyarat-prasyarat
yang
diperlukan
sebelum
177
Learning Cycle 7E terdapat fase elicit, fase yang mengarahkan konsep awal siswa
dapat tergali sebagai konsep prasyarat yang sangat membantu pada pemahaman
konsep yang baru (Gagne et al., 1988).
Berdasarkan data dalam Tabel 4.14 bahwa pada kelas X-2, X-3, dan X-4
dapat ditarik simpulan bahwa di antara empat faktor penyebab miskonsepsi yang
diidentifikasi intensitasnya, maka faktor terbesar adalah prakonsepsi, diikuti
konsep prasyarat, dan cara mengajar guru. Urutan tersebut berlaku pada semua
kelas yang diteliti, kelas X-2, X-3, dan X-4.
Keberadaan prakonsepsi siswa dan kemampuan prasyarat penting bagi
siswa, karena keduanya merupakan batu loncatan untuk mencapai suatu
pemahaman konsep tertentu. Ditinjau dari hirarki belajar dari Gagne et al., (1988)
konsep awal sangat membantu dalam pembentukan struktur kognitif berikutnya,
tetapi mengapa menjadi sumber miskonsepsi. Hal ini sama halnya air sangat
bermanfaat bagi manusia, bahkan PDAM (perusahaan air minum daerah)
mempunyai motto Setetes air adalah kehidupan, tetapi banyak juga kerugian
karena air. Petani gagal panen karena menjelang panen, padinya kebanjiran, dan
banyak kerugian lainnya akibat banjir. Jadi air mempunyai sisi positip sebagai
sumber kehidupan, namun kebalikannya menjadi sisi negatif kalau jumlahnya
berlebihan (banjir). Sama halnya prakonsepsi dan konsep prasyarat bermanfaat
pada pembelajaran berikutnya jika penguasaan keduanya adalah benar, namun jika
salah malahan menyulitkan untuk pemahaman konsep berikutnya (Gagne et al.,
1988). Menurut Horton (2004) dari konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep
ilmiah malahan menyulitkan kepada pemahaman berikutnya dan yang menjadikan
178
siswa mengalami miskonsepsi. Hal ini juga dibenarkan oleh Ibrahim (2012)
bahwa dengan konsep awal dan prakonsepsi siswa yang salah akan menyebabkan
miskonsepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu kewaspadaan dari guru, jika
prakonsepsi siswa banyak yang mengarah ke miskonsepsi siswa maka guru perlu
hati-hati dan senantiasa mengikuti pemikiran siswa, namun selalu mengarahkan
untuk menuju status tahu konsep.
Terkait pada cara mengajar guru sebagai faktor penyebab miskonsepsi
adalah di antara siswa merasa guru yang menyebabkan siswa kurang memahami
konsep yang dipelajari, beralasan guru terlalu cepat dalam mengajar. Ditinjau dari
penguasaan konsep guru, tidak ada jawaban siswa yang mengarah pada alasan
tersebut. Namun jika ditarik simpulan sebenarnya, karena siswa tersebut kurang
waktu dalam memahami suatu konsep. Dengan demikian faktor cara mengajar
guru tidak dominan faktor terjadinya miskonsepsi dalam penelitian ini, namun
yang lebih besar adalah faktor prakonsepsi siswa.
G. Keterlaksanaan Model Pembelajaran ECIRR
Sebelum dilakukan remediasi dengan model ECIRR, maka terlebih dahulu
dilakukan pemetaan konsepsi siswa, pemetaan yang menggambarkan hasil posttest I siswa TK, TTK, MK1, MK2, dan MK3. Hasil pemetaan menunjukkan
hampir semua tes yang diujikan menyebabkan siswa berstatus MK1, MK2, dan
MK3. Berdasarkan peta konsepsi setelah pembelajaran Learning Cycle 7E bahwa
semua siswa pada kelas X-2, X-3, dan X-4 mempunyai beban miskonsepsi (MK).
Hampir setiap siswa mempunyai beban ketiga beban MK yaitu MK1, MK2, dan
MK3. Sebagian siswa hanya menanggung beban MK2 dan MK3, sebagian siswa
pada MK1, dan TTK. Karakteriktik siswa yang yang menonjol pada siswa kelas
179
X-2 bahwa sebelum diremediasi banyak ditemukan siswa yang berstatus TTK.
Keadaan sebaliknya terjadi pada kelas X-3 bahwa siswa yang berstatus TTK
sangat sedikit, namun siswa berstatus MK1, MK2, atau dan MK3 sangat banyak.
Pada kelas X-4 keadaannya antara X-2 dan X-3 siswa yang berstatus TTK juga
banyak, namun tidak sebanyak pada kelas X-2. Berdasarkan hasil pemetaan ini,
maka pembelajaran ECIRR dilakukan secara klasikal yang diikuti oleh semua
siswa di kelas tersebut, namun sintaksnya tidak berubah, yaitu Elicit, Confront,
Identify, Resolve, dan Reinforce. Siswa pun tetap duduk bersama dalam kelompok
belajar seperti pada pembelajaran prevensi dengan Learning Cycle 7E.
Kegiatan identifikasi miskonsepsi ini sesuai dengan langkah awal dalam
pembelajaran remedial seperti Mulyadi (2008) dan Tarigan (2009) bahwa
pengajaran remedial adalah pengajaran khusus yang bertujuan memperbaiki
sebagian atau seluruh kesulitan belajar yang dihadapi oleh murid, yang
pelaksanaannya terdiri atas kegiatan diagnosis, penanggulangan, perawatan,
penyembuhan, dan perbaikan terhadap kesalahankesalahan belajar siswa sehingga
hasil belajar yang kurang memuaskan untuk diusahakan menjadi hasil belajar yang
optimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswa.
Menurut Mulyadi (2008) dan Tarigan (2009) bahwa pengajaran remedial
180
181
182
Salah satunya adalah sterlund et al. (2010) bahwa satu hal yang paling penting
kontribusi dari teori konstruktivism dari Piaget (1896-1980) bagaimana
seharusnya individu mengkonstruksi pengetahuan yang diorganisir dalam skema.
Interaksi dengan lingkungan diubah dalam skema, yang berimplikasi bahwa
struktur kognitif akan berubah oleh proses adaptasi, asimilasi, dan akomodasi.
Infomasi baru akan lebih mudah dipahami dan dipelajari jika informasi sesuai
dengan skema yang ada. Skema ini akan dikonfirmasi dan dikonsolidasi dari
informasi. Informasi yang tidak sesuai dalam skema akan menyebabkan konflik
kognitif, hingga terjadi sebuah ketidakseimbangan. Proses akomodasi terjadi
pengantian konsep yang lama dengan konsep baru menyesuaikan dengan skema
yang ada untuk mencapai kesetimbangan. Piaget mendefinisikan proses ini
sebagai belajar (Cakir, 2008, di dalam sterlund et al., 2010) (Suparno, 2000).
Ketiga, Identify; guru mengidentifikasi miskonsepsi (konsepsi alternatif)
yang dihimpun di lembar jawab siswa dan yang dikonfirmasi langsung pada fase
elicit dan dijejerkan dengan konsep yang benar (konsep ilmiah). Fase ini penting
sekali sebagai model pembelajaran perbaikan terhadap pembelajaran conceptual
change, maka Wening mengusulkan perlu dua fase untuk perbaikan, yaitu fase
Identify dan Reinforce. Langkah identifikasi digunakan untuk menjadikan siswa
sadar bahwa ada miskonsepsi dalam diri mereka. Penyadaran ini tidak boleh
dilakukan dengan mengatakan kepada mereka bahwa mereka salah. Langkah ini
harus mengikuti langkah benturkan secara halus.
183
184
hingga siswa memahami konsep dengan benar dan mengerjakan latihan soal akhir
untuk mempertahankan konsep yang benar berdasarkan teori tingkat pemrosesan
mental. Siswa memberikan komentar dan bertanya terhadap konsep yang telah
dikuatkan guru. Hal yang berkesan pada siswa adalah dibenarkannya konsep
siswa yang sebelumnya dalam kategori miskonsepsi adalah endapan warna coklat
kemerahan pada paku besi yang dicelupkan ke dalam larutan tembaga (II) sulfat,
dikiranya adalah karat besi ternyata endapan tersebut adalah adalah ion Cu 2+ yang
mengalami reduksi dan menempel pada paku besi. Kesan ini dituliskan pada
worksheet yang dikerjakan siswa.
Langkah penguatan harus dilakukan secara berulang, setiap saat, dan dalam
berbagai kondisi di antaranya adalah meningkatkan perhatian siswa dengan katakata, misalnya Sekarang kamu hebat sudah dapat menentukan bilangan oksidasi
suatu unsur dalam baik dalam ion, unsur bebas, ataupun senyawa. Dapat juga
dengan mempermudah proses belajar, misalnya suasana kelas rileks, belajar dalam
kelompok, namun masih fokus terhadap konsep yang sedang dibahas Sehubungan
dengan penguatan terhadap konsep yang sudah dipahami siswa dengan baik,
jangan sampai bergeser kembali ke arah miskonsepsi atau tidak tahu konsep. Oleh
karena pembelajaran dilaksanakan secara klasikal, maka penguatan untuk seluruh
siswa. Komponen keterampilan penguatan dalam langkah ini adalah (1)
penggunaan lisan (verbal reinforcement) : kata-kata: baik, bagus, hebat sekali,
benar sekali, sangat teliti dan sebagainya; kalimat: Itu suatu pikiran yang baik,
Terima kasih ternyata kamu bisa, (2) penguatan isyarat (gestural reinforcement)
wajah tersenyum, memberikan anggukan, tepukan tangan, dan sebagainya, (3)
185
186
dari pre-test, maka pada ketiga kelas mempunyai gambaran yang mirip (Gambar
4.1a, 4.1b, 4.1c hlm. 89).
menunjukkan bahwa status TTK dominan pada setiap konsep yang diujikan, hal
ini menunjukkan bahwa siswa belum pernah mempelajari konsep reaksi redoks
secara formal di dalam kelas.
Didapatkan gambaran yang berbeda setelah dilakukan pembelajaran
prevensi miskonsepsi dengan Learning Cycle
187
Lain halnya dengan fenomena yang terjadi pada siswa kelas X-3, dengan
dominannya status MK, baik pada tingkatan MK1, MK2, dan MK3 menunjukkan
lebih sedikit yang menggeser ke arah tahu konseptual. Sesuai dengan teori Piaget
(di dalam Suparno, 2000), siswa yang mempunyai beban MK lebih sulit
melakukan asilimilasi. Asimilasi
skema yang dimiliki siswa. Hal ini terjadi karena pengalaman baru sama sekali
tidak sesuai dengan skema yang ada. Pada keadaan tersebut siswa perlu
melakukan akomodasi. Waktu yang terbatas dalam pembelajaran remedial
sehingga proses akomodasi tidak semua terjalani oleh siswa, sehingga siswa
belum mampu menggeser semua beban miskonsepsi yang diembannya menjadi
tahu konsep.
I. Pergeseran Konsepsi Siswa setelah Pembelajaran Menggunakan Model
ECIRR
Pengajaran remedial dengan ECIRR mampu menggeser siswa yang
berstatus MK menuju TK, masing-masing dari MK1 menuju TK pada kelas X-2
sebesar 84%, dari MK2 menuju TK sebesar 77%, dan pergeseran dari MK3
menuju TK sebesar 68%. Pergeseran yang terjadi pada kelas X-3 sebesar 68%,
dari MK2 menuju TK sebesar 65%, dan pergeseran dari MK3 menuju TK sebesar
54%. Pergeseran yang terjadi pada kelas X-4 sebesar 74%, dari MK2 menuju TK
sebesar 65%, dan pergeseran dari MK3 menuju TK sebesar 54%. Perbandingan
proporsi dalam persen profil konsepsi setelah remediasi pada kelas X-2 adalah TK
: TTK : MK1 : MK2 : MK3 = 87 : 1 : 6 : 8 : 1.
persen profil konsepsi setelah remediasi pada kelas X-3 adalah TK : TTK : MK1 :
MK2 : MK3 = 72 : 0 : 7: 13 : 9. Perbandingan proporsi dalam persen profil
188
konsepsi setelah remediasi pada kelas X-4 adalah TK : TTK : MK1 : MK2 : MK3
= 75 : 1 : 8 : 10 : 1. Secara deskriptif ada pergeseran yang signifikan dari MK
menuju TK dengan menggunakan model ECIRR jika dibandingkan dengan profil
konsepsi siswa sebelum remediasi. Pada kelas X-2 perbandingan proporsi dalam
persen TK : TTK : MK1 : MK2 : MK3 = 26 : 29: 10 : 16: 19. Pada kelas X-3
perbandingan proporsi dalam persen TK : TTK : MK1 : MK2 : MK3 = 32 : 0:
14 : 18: 34. Pada kelas X-4 perbandingan proporsi dalam persen TK : TTK : MK1
: MK2 : MK3 = 27 : 16: 10 : 16: 10.
1. Pergeseran Konsepsi Secara Individual setelah Pembelajaran ECIRR
Pada umumnya setiap individu siswa terkurangi beban MK baik pada
tingkatan MK1, MK2, dan MK3. Secara inferensial penurunan MK2 dan MK3
terjadi pada ke tiga kelas yang diteliti, namun penurunan MK1 sebelum dan
sesudah remediasi hanya signifikan terjadi pada kelas X-3. Secara deskriptif
sebenarnya pada kelas X-2 dan X-3 terjadi penurunan jumlah beban MK setelah
dilakukan remediasi, namun hanya sedikit terjadi penurunannya.
Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari individu-individu dalam
kelas ini masih saja mempunyai beban MK tertentu yang belum berubah, bahkan
ada individu-individu yang mempunyai beban miskonsepsi semakin besar setelah
mengikuti pembelajaran remediasi. Ada juga kasus, seorang siswa telah terbebas
dari MK1 pada konsep tertentu, namun pada konsep yang lain siswa tersebut
justru menggeser ke MK1 yang bisa jadi berasal dari MK2 ataupun MK3.
Pergeseran miskonsepsi setiap individu adalah unik berbeda individu satu dengan
lainnnya, namun dengan program Excel pergeseran konsepsi siswa dapat
189
diidentifikasi secara otomatis (mengikuti rumus yang diterapkan, dan hasil seperti
pada Gambar 4.6a, 4.7b, dan 4.8c.
Secara deskriptif pada umumnya secara individual baik pada kelas X-2, X3, dan X-4 mengalami penurunan jumlah MK. Simpulan tersebut perlu diperkuat
dengan
simpulan
inferensial.
Berdasarkan
analisis
inferensial
dengan
190
Menurut Carrol dan Block (di dalam Ischak dan Warji, 1987) bahwa tidak
semua siswa mempunyai kecepatan yang sama dalam memahami konsep-konsep
tersebut, hal ini erat sekali hubungan antara tingkat penguasaan belajar siswa
dengan waktu yang disediakan. Belum berhasilnya semua siswa mengurangi
beban miskonsepsinya merupakan sebuah kewajaran karena banyak ahli
pendidikan yang berpendapat, betapa sulitnya memperbaiki miskonsepsi pada
siswa. Barke et al.(2009) misalnya, berpendapat bahwa miskonsepsi bersifat
resisten, sehingga cenderung bertahan. Pendapat ini diperkuat Ibrahim (2012)
yang menyatakan bahwa walaupun konsep yang benar telah diperkenalkan kepada
siswa, masih terdapat peluang kembali kepada prakonsepsinya sendiri yang salah
(miskonsepsi).
Berdasarkan pada Tabel 4.19, Tabel 4.20, dan Tabel 4.21 bahwa hampir
semua siswa masih mempunyai beban MK, hal ini juga didukung pada penurunan
MK1 pada kelas X-2 dan X-4 yang tidak signifikan, maka perlu dilakukan
remediasi secara klasikal selama 2 x 45 menit yang dilakukan oleh guru di sekolah
untuk menurunkan beban MK yang masih tersisa. Hal ini karena keterbatasan
waktu yang tersedia untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut.
2. Pergeseran Konsepsi Secara Klasikal setelah Pembelajaran ECIRR
Secara klasikal pada masing-masing konsep yang diujikan, dengan pembelajaran
remedial dengan model pembelajaran ECIRR berhasil menurunkan beban MK1,
MK2, dan MK3, walaupun belum turun sampai angka nol. Hal ini adalah wajar
karena pengajaran ECIRR terpaksa dilakukan secara klasikal karena semua siswa
mempunyai beban MK pada semua konsep yang diujikan dan dengan waktu yang
191
terbatas. Bila guru menindaklanjuti remediasi baik secara klasikal maupun secara
individual terhadap siswa yang masih mempunyai beban MK pada waktu
berikutnya kemungkinan besar beban miskonsepsinya berkurang lagi. Seperti
pada uraian sebelumnya Carrol dan Block (di dalam Ischak dan Warji, 1987)
bahwa ada hubungan yang sangat erat antara tingkat penguasaan belajar siswa
dengan waktu yang disediakan.
Sehubungan dengan pergeseran konsepsi siswa secara klasikal mengacu
pada Gambar 4.6a, 4.6b, dan 4.6c bahwa MK1 dan MK2 lebih mudah bergeser ke
arah tahu konsep dibandingkan dari MK3. Sesuai dengan temuan Khaltaksi
(2006) bahwa MK3 lebih kecil yang bergeser ke arah tahu konsep, karena pada
tingkatan MK3 siswa tidak dapat menjawab pada tier-1 maupun pada tier-2. Sifat
retensi MK3 mengarah ke tahu konsep lebih kuat dibandingkan dengan MK1 dan
MK2. Sementara pada tingkatan MK1 dan MK2 siswa hanya tidak dapat
memberikan jawaban atau tidak dapat memberikan alasan, namun merasa yakin
bahwa kedua jawaban yang telah diberikan adalah benar. Khaltaksi (2006)
menyebut MK1 sebagai negative false dan MK2 sebagai positive false yang
mempunyai tingkat miskonsepsi lebih rendah dibandingkan MK3. Berdasarkan
analisis secara deskriptif bahwa jumlah MK3 yang besar pada pengajaran setelah
prevensi (setelah pembelajaran dengan Learning Cycle 7E)
menurun paling
banyak dibandingkan penurunan jumlah beban MK1 dan MK2, namun sebagian
besar bergeser ke arah MK1 atau MK2 dan sebagian kecil bergeser ke arah tahu
konsep.
192
193
matematika.
Seperti halnya penurunan MK secara tinjauan individual, berdasarkan pada
Tabel 4.19, Tabel 4.20, dan Tabel 4.21 bahwa hampir semua siswa masih
mempunyai beban MK, hal ini juga didukung pada penurunan MK1 secara
klasikal pada kelas X-2 dan X-4 yang tidak signifikan, maka perlu dilakukan
194
195
196
197
K. Temuan-temuan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas, maka diperoleh temuantemuan sebagai berikut:
1. Prakonsepsi siswa secara individual pada masing-masing konsep, dari tujuh
konsep yang diujikan semua menyebabkan individu-individu mengalami
miskonsepsi (memiliki prakonsepsi alternatif), baik sebagai status MK1, MK2,
dan MK3. Profil prakonsepsi individual di atas mencerminkan gambaran yang
wajar dari keadaan siswa sebelum mengikuti pembelajaran konsep reaksi
redoks.
2. Pembelajaran Learning Cycle 7E untuk mencegah miskonsepsi siswa pada
konsep redoks telah dilaksanakan oleh guru dengan kualifikasi sangat baik
3. Setelah dilakukan analisis konsepsi individual pada masing-masing konsep
setelah pembelajaran dengan model Learning Cycle
7E
didapati temuan
198
MK2, dan MK3 yang menyebar pada sebagian besar butir tes yang diujikan.
Memperhatikan hal itu, maka dengan model ECIRR
diberlakukan kepada