Anda di halaman 1dari 13

BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba",
istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia
adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Jenis Narkotika adalah : Tanaman
papaver, opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko), opium obat, morfina, kokaina,
ekgonina, dan ganja. Garam-garam dan turunan-turunan dari morfina dan kokaina, serta
campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan tersebut di atas. 1
Semua istilah ini, baik "narkoba" atau napza, mengacu pada sekelompok zat yang
umumnya mempunyai risiko kecanduan bagi penggunanya. Ketergantungan NAPZA adalah
suatu penyakit yang pada ICD-10 digolongkan dalam Gangguan Mental dan Perilaku akibat zat
psikoaktif. 1
Selain itu, dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung pada jenis
narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai. Secara umum,
dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada fisik, psikis maupun sosial seseorang.

BAB II
Isi

2.1 Definisi narkotika


Narkotika merupakan zat atau obat yang dapat menyebabkan penurunan, perubahan
kesadaran, berkurang atau hilangnya rasa nyeri, serta menimbulkan ketergantungan bagi
penggunanya. Oleh karena itu, jika narkotika disalahgunakan atau penggunaan narkotika tidak
sesuai dengan standar pengobatan, dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi setiap
orang dan masyarkat, serta nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat
melemahkan ketahanan nasional.1
Namun, apabila penggunaan narkotika dilakukan sesuai dengan standar, prosedur, dan ukuran
atau dosis yang diizinkan serta melalui pengawasan yang ketat dari dokter atau pejabat yang
berwenang maka narkotika dapat bermanfaat di bidang medis atau kedokteran, serta
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.1
2.2 Penggolongan narkotika
Penggolongan Narkotika menurut undang-undang RI No. 35 Tahun 2009 adalah:
berdasarkan pasal 6 ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 tentang narkotika, narkotika digolongkan
menjadi 3 yaitu narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III.1
Menurut pasal 8 UU Narkotika No.35 Tahun 2009, narkotika golongan I adalah narkotika
yang dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah yang terbatas,
narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan untuk reagensia diagnostic, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan dari Menteri atau rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Narkotika golongan ini mempunyai potensi sangat tinggi untuk mengakibatkan ketergantungan.
Beberapa narkotika yang termasuk dalam golongan I misalnya tanaman Papaver somniferum L,
Opium, tanaman koka, dan ganja.1

Untuk narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
pengembangan

ilmu

pengetahuan

serta

mempunyai

potensi

tinggi

mengakibatkan

ketergantungan. Beberapa narkotika yang termasuk kedalam golongan II, misalnya Metadona,
Fentanil, Morfina, dan Petidina.1
Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Beberapa narkotika yang termasuk ke dalam
golongan III misalnya Asetildihidrokodeina, Dokstropropoksifena, Dihidroko-deina, Etilmorfin,
Kodeina, Buprenorfina dan lain-lain. 1

2.3 Macam Narkotika dan efeknya


2.3.1 Opioida
Opioida dibagi dalam tiga golongan besar yaitu :
a.
b.
c.

Opioida alamiah (opiat): morfin, cpium, kodein


Opioida semi sintetik : heroin/putauw, hidromorfin
Opioida sintetik : meperidin, propoksipen, metadon

Nama jalannya putauw, ptw, black heroin, brown sugar. Heroin yang murni berbentuk bubuk
putih, sedangkan heroin yang tidak murni berwarna putih keabuan.2
Dihasilkan dari cairan getah opium poppy yang diolah menjadi morfin kemudian dengan proses
tertentu menghasil putauw, dimana putauw mempunyai kekuatan 10 kali melebihi morfin.
Opioid sintetik yang mempunyai kekuatan 400 kali lebih kuat dari morfin.2
. Efek samping yang ditimbulkan:
a.
b.
c.
d.

Mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara


Kerusakan penglihatan pada malam hari
Mengalami kerusakan pada liver dan ginjal
Peningkatan resiko terkena virus HIV dan hepatitis dan penyakit infeksi lainnya

melalui jarum suntik dan penurunan hasrat dalam hubungan sex


e. Kebingungan dalam identitas seksual
f. Kematian karena overdosis

Gejala intoksitasi opium seperti konstraksi pupil atau dilatasi pupil karena anoksia akibat
overdosis berat dan satu atau lebih tanda berikut, yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian opium, yaitu:
o Mengantuk atau koma bicara cadel
o Gangguan atensi atau daya ingat
o Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
misalnya:
Euforia awal diikuti oleh apatis
Disforia
Agitasi atau retardasi psikomotor
Gangguan pertimbangaan
Gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berkembang selama atau
segera setelah pemakaian opium
Seseorang dengan ketergantungan opium jarang meninggal akibat putus opium, kecuali
orang tersebut memiliki penyakit fisik dasar yang parah, seperti penyakit jantung. Gejala residual
seperti insomnia, bradikardia, disregulasi temperatur, dan kecanduan opiat mungkin menetap
selama sebulan setelah putus zat. Pada tiap waktu selama sindroma abstinensi, suatu suntikan
tunggal morfin atau heroin menghilangkan semua gejala. Gejala penyerta putus opioid adalah
kegelisahan, iritabilitas, depresi, tremor, kelemahan, mual, dan muntah. Turunan opium yang
sering disalahgunakan, adalah morfin, heroin, codein.2
2.3.2 Kokain
Kokain merupakan sejenis stimulansia yang di Indonesia saat ini belum begitu popular.
Namun bertambahnya sitaan kokain secara illegal dan meningkatnya kasus-kasus pengguna
kokain akihir-akhir ini, bukan tidak mungkin epidemic kokain akan merajai pasaran peredaran
NAPZA dalam masa-masa mendatang. 2,3
Kokain dihasilkan dari daun tumbuhan yang disebut Erythroxylon coca. Tanaman
tersebut tumbuh subur di sebelah timur pegunungan Andes di Amerika Selatan. Tanaman ini juga
tumbuh di beberapa tempat di Asia Tenggara, Eropa dan Amerika Serikat.
Bentuk kokain yang diperjualbelikan di Indonesia dalam bentuk bubuk putih. Ada 3 cara
penggunaan kokain untuk memasukkannya ke dalam tubuh, yaitu:

1. Bubuk kokain (dalam bentuk garam kokain hidrokhlorid) langsung diinhalasi


memalui lubang hidung (sering disebut dengan istilah snorting) dan kemudian
diabsorbsi ke dalam pembuluh darah melalui mukosa lubang hidung
2. Free-base cocain, adalah garam kokain yang dikonversikan dengan larutan yang
mudah menguap. Setelah dipanaskan, uap diinhalasi melalui bibir (seperti
merokok), dengan cepat diabsorbsi melalui membrane alveoli paru
3. Garam kokain yang disuntikkan melalui intravenous
Kokain merupakan suatu zat stimulansia, sehingga efek dari kokain ialah memicu kerja
tubuh kita agar bekerja lebih lagi. Efek yang didapatkan dari pemakaian kokain dapat bermacammacam, dan dosispun mempengaruhi efek tersebut. Pada dosis yang rendah, dapat terjadi efek
anestesi local, vasokonstriksi, dilatasi pupil, peningkatan pada pernapasan, denyut jantung,
tekanan darah, dan suhu tubuh.
Efek pada dosis yang tinggi juga sangatlah banyak, seperti membuat orang merasa panik,
menjadi agresif, adanya rasa kebingungan, hingga halusinasi dimana yang sering didapat ialah
halusinasi dengar. Efek lain yang dapat diakibatkan dari pemakaian dosis tinggi ialah adanya
kedutan otot, adanya peningkatan refleks, nyeri dada, edema paru, gagal ginjal akut, penglihatan
yang kabur, sakit kepala dan dapat terjadi nyeri pada bagian perut sehingga menimbulkan rasa
mual dan muntah. 3
Pada penggunaan yang sudah cukup lama dapat terjadi beberapa masalah seperti
insomnia, depresi, pemakai menjadi agresif, hilangnya nafsu makan sehingga terjadi penurunan
berat badan. Dan dari pemakaian yang sudah cukup lamapun dapat menimbulkan gejala psikotik
pada pengguna seperti adanya waham dan halusinasi.3
Untuk gejala putus kokain, yang terjadi setelah beberapa hari penggunaan kokain, dapat
terjadi mood disforia, dimana bisa terjadi kesedihan yang mirip dengan depresi, kelelahan karena
merasa badan ingin bergerak terus, insomnia, adanya agitasi psikomotor atau retardasi,
peningkatan nafsu makan karena saat memakai kokain, pengguna tidak merasa lapar, tetapi
setelah tidak memakai, maka rasa lapar yang timbul menjadi meningkat. Ada juga rasa craving,
dimana pemakai ingin menggunakan kokain kembali.

2.3.3 Canabis

Canabis atau marijuana adalah zat kimia yang dihasilkan dari ekstrak tumbuhan budidaya
penghasil serat, namun lebih dikenal karena kandungan zat narkotika pada bijinya. Bahan aktif
yang terkandung dalam marijuana adalah tetrahydrocannabinol (THC) yang efeknya membuat
halusinasi, cemas dan paranoid. Ini tidak berlangsung lama sampai kadar cannabis hilang.
Namun bila pemakaian yang lama, gejala yang timbul adalah depresi. Bahan ini dalam dunia
medis banyak dipergunakan salah satunya adalah sebagai obat yang disebut dronabinol dan
digunakan dalam penelitian dan kadang digunakan untuk mengatasi mual dan muntah yang
disebabkan oleh kemoterapi kanker.4,5
Bahan aktif yang kedua adalah cannabinoids (CBD), yang efeknya memberikan rasa
relax, senang, seperti mimpi, warna terlihat lebih cerah, suara terdengar lebih indah. Para musisi
mengatakan bahwa merokok marijuana dapat memberikan mereka inspirasi yang dibutuhkan
untuk memainkan musik mereka. Marijuana bisa memberi mereka visi kontemplatif dan
perasaan kebebasan dan semangat yang luar biasa.4
Efek fisik kanabis yang paling sering adalah dilatasi pembuluh darah konjungtiva (mata
merah) dan takikardia ringan. Pada dosis yang lebih tinggi hipotensi ortostatik dapat timbul.
Peningkatan nafsu makan sering disebut the munchies dan mulut kering merupakan efek lazim
intoksikasi kanabis.4
Kehilangan ambisi, yang digambarkan bahwa pemakai hanya duduk-duduk atau
berbaring lesu, bicara pelan dan tidak bersemangat. Selama pemakaian marijuana, kemampuan
komunikasi dan kemampuan motorik menurun. Marijuana juga dapat mengurangi ketegangan
dan menimbulkan perasaan nyaman.4
Reaksi putus obat berupa peningkatan aktivitas otot dan tidak bisa tidur. Tetapi karena
marijuana dibuang dari tubuh secara perlahan, maka reaksi putus obat cenderung bersifat
ringan.4,5
2.3.4 Metadon
Metadon adalah agonis opioid sintetik ampuh yang diserap dengan baik secara oral dan
memiliki waktu paruh yang panjang. Efek metadon secara kualitatif mirip dengan morfin dan
opioid lainnya. Metadon juga diberikan sebagai terapi substitusi bagi orang pengguna heroin,
morfin dan kokain. 6

Kebanyakan orang yang telah menggunakan heroin akan mengalami beberapa efek
samping dari metadon. Setelah mencapai dosis stabil, toleransi berkembang sampai pada taraf
keterampilan kognitif dan perhatian tidak terganggu lagi. Gejala sembelit , disfungsi seksual dan
peningkatan produksi keringat kemungkinan masih menetap selama dalam terapi metadon.
Metadon larut dalam lemak dan terikat ke berbagai jaringan tubuh termasuk paru-paru , ginjal,
hati dan limpa sehingga konsentrasi metadon dalam organ ini jauh lebih tinggi dibandingkan
dalam darah . Karena bioavailabilitas oralnya yang baik dan mempunyai waktu paruh yang
panjang maka metadon diminum dalam dosis oral harian.6
Metadon terutama dipecah dalam hati melalui sistem enzim sitokrom P450.
Sekitar 10% dari metadon yang diberikan secara oral tidak berubah , sedangkan sisanya
dimetabolisme dan dieliminasi dalam urin dan tinja. Metadon juga disekresikan dalam keringat
dan air liur.6
2.3.5 Petidin
Petidin

adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi

mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Seperti halnya morfin, petidin
menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh
petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi lebih tinggi dari
kodein. Efek samping petidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat,
euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkop dan sedasi.7
2.4 Terapi dan rehabilitasi
Menurut pasal 54 UU Narkotika No. 35 Tahun 2009, setiap pecandu narkotika dan
korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Dimana rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui
pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita
sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin melalui
sarana pelayanan rehabilitasi yang merupakan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA, berupa kegiatan pemulihan
dan pengembangan secara terpadu baik fisik, mental, sosial, dan agama. Salah satunya ialah

proses detoksifikasi, suatu proses dimana seorang individu yang ketergantungan fisik terhadap
zat psikoaktif (khususnya Opioida), dilakukan pelepasan zat psikoaktif tersebut secara tiba-tiba
atau secara gradual. 1
Ketergantungan NAPZA merupakan penyakit yang kompleks, ditandai oleh dorongan
yang tidak tertahan untuk menggunakan NAPZA yang disebut craving, dan karena itu ada upaya
yang keras untuk memperolehnya walaupun diketahui konsekuensi-konsekuensi yang menjadi
akibatnya. Penyakit ini sering menjadi kronik dengan adanya episode sembuh dan kambuh:
walaupun kadang-kadang dijumpai abstinensia yang lama. 1
Sampai saat ini belum ditemukan ada metode yang cocok untuk semua individu. Metode
yang cocok pada satu individu belum tentu cocok untuk individu lain. Untuk itu dilakukan
psikoterapi. Dan untuk terapi medis, beberapa dilakukan terapi secara simptomatis, dan beberapa
mempunyai antidotum.
Untuk kasus seperti opiad dan kanabis, terdapat antidotumnya. Untuk opiad dapat
diberikan Nalokson 1-2 mg secara IV atau IM atau dengan Naltrekson dan juga Metadon. Dan
untuk kanabis, biasa digunakan Lorazepam 1-2 mg secara oral dan bila terdapat gejala psikotik,
dapat diberikan haloperidol 1-2 mg secara oral atau IM.
Psikoterapi dilakukan dengan cara terapi kognitif perilaku yang merupakan suatu bentuk
psikoterapi yang ditekankan pada apa yang pasien pikirkan dan lakukan. Terapi kognisi-perilaku
(CBT) merupakan suatu proses mengajar, melatih dan menguatkan perilaku positif. Terapi ini
membantu seorang individu untuk mengidentifikasi pola kognitif atau pikiran dan emosi yang
berhubungan dengan perilaku. Terapi ini merupakan gabungan antara terapi kognitif dengan
terapi perilaku. Terapi ini menganggap kesulitan-kesulitan emosional berasal dari pikiran atau
keyakinan yang salah (kognisi) yang menyebabkan perilaku yang tidak produktif. Kondisikondisi psikiatrik tampaknya membaik apabila cara berpikir pasien menjadi lebih akurat dan jika
perilaku individu lebih tepat. Oleh karena itu, terapis bekerjasama dengan pasien
mengidentifikasi dan mengoreksi salah persepsi dan perilaku yang salah. Terapi ini sangat
berdasar pada realitas dan menekankan hal yang terjadi di sini dan saat ini (apa yang
dipikirkan pasien saat ini; bagaimana perilaku pasien saat ini). 9

Prinsip dasar dari terapi perilaku kognitif adalah mengajarkan kepada pasien bahwa
kepercayaan dan pemikiran tidak rasional adalah penyebab dari gangguan emosional dan tingkah
laku. Sebelum proses terapi dimulai, terapis perlu terlebih dahulu menjelaskan susunan terapi
kepada subjek, yang meliputi penjelasan tentang sudut pandang teori modifikasi perilaku dan
teori terapi kognitif terhadap perilaku yang tidak adaptif, prinsip yang melandasi prosedur
modifikasi perilaku kognitif, dan tentang langkah-langkah di dalam terapi. Penjelasan ini penting
perannya untuk meningkatkan motivasi individu dan menjalin kerjasama yang baik. 9
Perlu pula dijelaskan bahwa fungsi terapis hanyalah sebagai fasilitator timbulnya perilaku
yang dikehendaki, dan individu yang berperan aktif dalam proses terapi. Oleh karena itu individu
harus benar-benar terampil menggunakan prinsip-prinsip terapi kognitif dan modifikasi perilaku
dengan masalah yang dialaminya, dan peran terapis penting dalam mengajak individu memahami
perasaannya dan teknik terapi yang efektif untuk terjadinya perubahan perilaku yang
dikehendaki. Terkait dengan perlunya pemahaman tentang prinsip-prinsip modifikasi perilakukognitif, Meichenbaum mengemukakan 10 hal yang harus diperhatikan seorang terapis dalam
penggunaan modifikasi perilaku-kognitif, yaitu:
1. Terapis perlu memahami bahwa perilaku klien ditentukan oleh pikiran, perasaan,
proses fisiologis, dan akibat yang dialaminya. Terapis dapat memasuki sistem interaksi
dengan memfokuskan pada pikiran, perasaan, proses fisiologis, dan perilaku yang
dihasilkan klien.
2. Proses kognitif sebenarnya tidak menyebabkan kesulitan emosional, namun yang
menyebabkan kesulitan emosional adalah karena proses kognitif itu sendiri merupakan
proses interaksi yang kompleks. Bagian penting dari proses kognisi adalah metakognisi yaitu klien berusaha untuk memberi komentar secara internal pada pola
pemikiran dan perilakunya saat itu. Struktur kognisi yang dibuat individu untuk
mengorganisasi pengalaman adalah personal schema. Terapis perlu memahami
personal schema yang digunakan oleh klien untuk lebih mamahami masalah yang
dialami klien. Perubahan personal skema yang tidak efektif adalah bagian yang
penting dari terapi
3. Tugas penting dari seorang terapis adalah menolong klien untuk memahami cara klien
membentuk dan menafsirkan realitas.
4. Modifikasi perilaku-kognitif memahami persoalan dengan pendekatan psikoterapi

yang diambil dari sisi rasional atau objektif.


5. Modifikasi perilaku-kognitif ditekankan pada penjabaran serta penemuan proses
pemahaman pengalaman klien
6. Dimensi yang cukup penting adalah untuk mencegah kekambuhan kembali.
7. Modifikasi perilaku-kognitif melihat bahwa hubungan baik yang dibangun antara klien
dan terapis merupakan sesuatu yang penting dalam proses perubahan klien.
8. Emosi memainkan peran yang penting dalam terapi, untuk itu klien perlu dibawa ke
dalam suasana terapi yang mengungkap pengalaman emosi.
9. Terapis perlu menjalin kerjasama dengan pihak keluarga ataupun pasangan klien.
10. Modifikasi perilaku-kognitif dapat diperluas sebagai proses pencegahan timbulnya
perilaku maladaptif.
Pendekatan terapi perilaku kognitif adalah pendekatan pemberian bantuan yang bertujuan
mengubah suasana hati dan perilaku individu dengan mempengaruhi pola berfikirnya. Pada
dasarnya pendekatan terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengenali kejadian yang memberi
tekanan, mengenali dan memantau gangguan-gangguan kognitif yang muncul dalam menanggapi
kejadian atau peristiwa, dan mengubah cara berfikir dalam menginterpretasikan dan menilai
kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat.9

BAB III
Kesimpulan

Narkotika merupakan zat atau obat yang dapat menyebabkan penurunan, perubahan
kesadaran, berkurang atau hilangnya rasa nyeri, serta menimbulkan ketergantungan bagi
penggunanya. Ketergantungan NAPZA adalah suatu penyakit yang pada ICD-10 digolongkan
dalam Gangguan Mental dan Perilaku akibat zat psikoaktif. Terdapat macam-macam narkotika

yang telah digolongkan menurut UU terbaru Narkotika no. 35 Tahun 2009. Narkotika
digolongkan ke dalam 3 golongan, yaitu golongan I, II, dan III. Golongan I merupakan narkotika
yang dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, terutama karena golongan I
dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat tinggi. Golongan II dan III lebih sering
digunakan untuk terapi meskipun ketergantungan pada golongan II juga tinggi, tetapi golongan II
seperti Metadon masih digunakan sebagai terapi substitusi dari pemakai opioid.
Banyak juga efek yang ditimbulkan oleh penggunaan narkotika dimana efek yang
biasanya diharapkan dari penggunaan narkotika adalah adanya rasa euphoria atau rasa dimana
mereka merasa senang. Tetapi banyak juga efek merugikan lain yang dihasilkan oleh penggunaan
narkotika. Seperti dapat memicu rasa depresi, memicu perilaku psikotik, dan sebagainya.
Untuk terapi yang dipakai pada pengguna narkotika, menurut pasal 54 UU Narkotika No.
35 Tahun 2009, setiap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Tidak ada terapi yang spesifik atau metode yang cocok
untuk pengobatan ketergantungan NAPZA, metode seseorang belum tentu cocok untuk orang
lain. Maka terapi yang lebih berperan pada terapi ketergantungan NAPZA ialah dengan
psikoterapi. Terdapat beberapa antidotum untuk kasus ketergantungan tertentu seperti Opioid
dan Cannabis. Opioid dapat diterapi dengan metode substitusi, dan untuk Cannabis atau ganja,
dapat dengan pemberian Lorazepam.
Salah satu psikoterapi yang dapat digunakan ialah dengan Cognitive Behaviour Therapy
yang merupakan suatu bentuk psikoterapi yang ditekankan pada apa yang pasien pikirkan dan
lakukan. Terapi ini membantu seorang individu untuk mengidentifikasi pola kognitif atau pikiran
dan emosi yang berhubungan dengan perilaku. Terapi ini merupakan gabungan antara terapi
kognitif dengan terapi perilaku.

Daftar Pustaka
1.

Undang-undang narkotika dan psikotropika edisi terbaru. Bandung: Fokusmedia;

2.

2013.
Kurniadi H. Wreksoatmodjo B. Napza dan Tubuh Kita. Jakarta : Yayasan
Jendela; 2004

3.

Greydanus DE. Use and misuse of stimulant. Dalam: Stimulant misuse :


Strategies to manage a growing problem. Michigan. Diunduh dari :
http://www.acha.org/Continuing_Education/docs/ACHA_Use_Misuse_of_Stimu
lants_Article2.pdf (26 Desember 2014)

4.

Benowitz, N.L. Marijuana. Lange Poisoning & Drug Overdose. 5th ed. United
States of America: Mc Graw Hill, 2007: 252-3.

5.

Cannabis use and mental health in young people: cohort study (2002) George C
Patton et al. British Medical Journal, 325: 1195-1198.

6.

Gazelle G, Fine PG. Methadone for the treatment of pain. J Palliat Med: 2003

7.

Latief, S.A. Petunjuk praktis anestesiologi. edisi kedua. Jakarta : FKUI; 2007

8.

Drug-drug interactions in opioid maintenance: a focus on buprenorphine &


methadone. 3rd edition. Pharmacom Media. 2008.

9.

Cognitive Behavioral Therapy. Diunduh dari www.nacbt.org/whatiscbt.htm (26


Desember 2014)

Anda mungkin juga menyukai