Chapter II
Chapter II
nonpertanian. Luas lahan sawah tersebut telah beralih fungsi menjadi perumahan
(30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan tanah lain.
Penelitian yang dilakukan Irawan (2005) menunjukkan bahwa laju alih
fungsi lahan di luar Jawa (132 ribu Ha per tahun) ternyata jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan di Pulau Jawa (56 ribu ha per tahun). Sebesar 58,68 persen
alih fungsi lahan sawah tersebut ditujukan untuk kegiatan nonpertanian dan
sisanya untuk kegiatan bukan sawah. Alih fungsi lahan sebagian besar untuk
kegiatan pembangunan perumahan dan sarana publik.
Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan pertanian yang paling rentan
terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh :
1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan
sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan
kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih inggi.
2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah
perkotaan.
3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah
persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering
4. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan
sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar,
dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa)
ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.
Fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah menjadi perhatian semua
pihak. Penelitian yang dilakukan Winoto (2005) menunjukkan bahwa sekitar
187.720 Ha sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di
Pulau Jawa. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan total lahan sawah
beririgasi seluas 7,3 juta Ha dan hanya sekitar 4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat
dipertahankan fungsinya sedang sisanya sekitar 3,01 juta HA (42,4%) terancam
beralih fungsi ke penggunaan lain.
aspek
regulasi
yang
dikeluarkan
oleh
pemerintah
pusat
menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak
meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan
pada pihak-pihak pemilik modal. Sawah tadah hujan paling banyak mengalami
alih fungsi (319 ribu Ha) secara nasional. Lahan sawah di Jawa dengan berbagai
jenis irigasi mengalami alih fungsi, masing-masing sawah tadah hujan 310 ribu
Ha, sawah irigasi teknis 234 ribu Ha, sawah irigasi semi teknis 194 ribu Ha dan
sawah irigasi sederhana 167 ribu Ha. Sementara itu di Luar Jawa alih fungsi
hanya terjadi pada sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan. Tingginya alih
fungsi lahan sawah beririgasi di Jawa makin menguatkan indikasi bahwa
kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah yang ada tidak efektif.
Menurut Wicaksono (2007), faktor lain penyebab alih fungsi lahan
pertanian terutama ditentukan oleh :
1. Rendahnya nilai sewa tanah (land rent); lahan sawah yang berada disekitar
pusat pembangunan dibandingkan dengan nilai sewa tanah untuk pemukiman
dan industri.
2. Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.
3. Semakin menonjolnya tujuan jangka pendek yaitu memperbesar pendapatan
asli daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian (sustainability)
sumberdaya alam di era otonomi.
Produksi padi secara nasional terus meningkat setiap tahun, tetapi dengan
laju pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian
menjadi lahan nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai
salah
satu
penyebab
utama
melandainya
pertumbuhan
produksi
padi
(Bapeda, 2006).
memperoleh
pendapatan
dari
usahataninya.
Dalam
penelitian
pendapatan
pengusaha
traktor
dan
penggilingan
padi
juga
fungsi lahan tersebut biasanya mencakup hamparan lahan yang cukup luas,
terutama ditujukan untuk pembangunan kawasan perumahan. Alih fungsi lahan
yang dilakukan oleh pihak lain tersebut biasanya berlangsung melalui pelepasan
hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain yang kemudian diikuti dengan,
pemanfaatan lahan tersebut untuk kegiatan non pertanian. Dampak alih fungsi
lahan pertanian terhadap masalah pengadaan pangan pada dasarnya terjadi pada
tahap kedua. Namun tahap kedua tersebut secara umum tidak akan terjadi tanpa
melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh petani.
Oleh karena itu pengendalian pemanfaatan lahan untuk kepentingan pengadaan
pangan pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu:
1. Mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain, dan
2. Mengendalikan dampak alih fungsi lahan tanaman pangan tersebut terhadap
keseimbangan pengadaan pangan.
lahan
sawah
sudah
banyak
dibuat. Akan
tetapi,
hingga kini
lahan
sawah
ke
nonpertanian
yang
dilakukan
secara
Teori Lokasi
Mekanisme perubahan penggunaan lahan melibatkan kekuatan-kekuatan
pasar, sistem administratif yang dikembangkan pemerintah, dan kepentingan
politik. Pemerintah di sebagian besar negara di dunia pada kenyataannya
memegang peran kunci dalam alokasi lahan seperti pajak, zonasi (zoning),
maupun kebijakan langsung seperti kepemilikan lahan misalnya hutan, daerah
lahan tambang, dan sebagainya (Prayudho, 2009).
Model klasik dari alokasi lahan adalah model Ricardo (Ricardian Rent).
Menurut model ini, alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang
menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang lebih tinggi, yang tergantung
pada derajat kualitas lahan yang ditentukan oleh kesuburannya serta kelangkaan
lahan. Menurut pendekatan von Thunen nilai land rent bukan hanya ditentukan
oleh kesuburannya tetapi merupakan fungsi dari lokasinya. Pendekatan ini
mengibaratkan pusat perekonomian adalah suatu kota yang dikelilingi oleh lahan
yang kualitasnya homogen. Tataguna lahan yang dihasilkan dapat dipresentasikan
sebagi cincin-cincin lingkaran yang bentuknya konsentris yang mengelilingi kota
tersebut. Pendekatan von Thunen mencoba untuk menerangkan berbagai jenis
pertanian dalam arti luas yang berkembang disekeliling daerah perkotaan yang
merupakan pasar komoditi pertanian tersebut (Prayudho, 2009).
Keterangan :
A : Pusat Pasar
B : Industri
C : Perumahan
Land rent
Kurva A
Kurva B
Kurva C
Kurva D
B C
Gambar 2. Diagram cincin dan perbedaan kurva sewa tanah dari Von Thunen
Cincin A merepresentasikan aktivitas penggunaan lahan untuk jasa
komersial (pusat kota). Land rent pada wilayah ini mencapai nilai tertinggi.
Cincin-cincin B, C, dan D masing-masing merepresentasikan penggunaan lahan
untuk industri, perumahan, dan pertanian. Meningkatnya land rent secara relatif
akan meningkatkan nilai tukar (term of trade) jasa-jasa komersial sehingga
menggeser kurva land rent A ke kanan dan sebagian dari area cincin B (kawasan
industri) terkonversi menjadi A. Demikian seterusnya, sehingga konversi lahan
pertanian (cincin D) ke peruntukan pemukiman (cincin C) juga terjadi. Dalam
sistem pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas yang menghasilkan land
rent
lebih
rendah
ke
aktivitas
yang
menghasilkan
land
rent
lebih
lahan sawah dalam periode 1999 2001, mengalami penurunan sebesar 63.686
Ha untuk padi sawah, sebesar 231.973 Ha untuk padi ladang, sementara hutan
rakyat berkurang sebanyak 24.033 Ha yang menunjukkan betapa lahan menjadi
suatu sumberdaya yang semakin langka.
Hasil penelitian Sudirja (2008) menunjukkan pula bahwa sampai tahun
2020 diperkirakan akan terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 807.500 Ha yakni
680.000 Ha di Jawa, 30.000 Ha di Bali, 62.500 Ha di Sumatera dan 35.000 Ha di
Sulawesi. Proyeksi tersebut di teliti melalui suatu metode proyeksi dengan analisis
tren.
Tren adalah salah satu peralatan statistik yang dapat digunakan untuk
memperkiraan keadaan dimasa yang akan datang berdasarkan pada data
masa lalu. Tren juga merupakan gerakan dan data deret berkala selama
beberapa tahun dan cenderung menuju pada suatu arah, dimana arah tersebut bisa
naik, turun maupun mendatar (Ibrahim, 2009).
Perhitungan tren linear menggunakan analisis regresi linier sederhana
dengan metode kuadrat terkecil (least square method), yang dapat dinyatakan
dalam bentuk : Y = a + b (x). Proyeksi ini menjelaskan hubungan antara satu
variabel dengan variabel lainnya. Tren linear dilihat melalui garis lurus pada
grafik tren
ini dapat memperkirakan kebutuhan pangan masyarakat serta kebutuhan lain yang
berbasis pada penggunaan lahan. Melalui proyeksi ini dapat diperkirakan apa yang
akan terjadi di masa akan datang apabila tidak ada intervensi terhadap
kecenderungan yang ada saat ini (Ibrahim, 2009).
Kerangka Pemikiran
Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai ekonomis.
Luasan tanah pertanian tiap tahunnya terus mengalami penurunan. Berkurangnya
jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan
aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan
permintaan akan lahan pun meningkat sehingga timbul alih fungsi lahan pertanian
ke non pertanian seperti perumahan, industri, infrastruktur dan lain sebagainya
untuk memenuhi permintaan yang ada. Alih fungsi lahan yang terjadi tidak lepas
dari kepentingan berbagai pihak seperti pemerintah, swasta dan komunitas
(masyarakat). Alih fungsi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh
kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi
lain yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu
sendiri.
Masalah alih fungsi lahan pertanian terus meningkat dan sulit
dikendalikan, terutama di wilayah-wilayah dengan tingkat intensitas kegiatan
ekonomi tinggi. Laju alih fungsi lahan yang tinggi pada daerah pusat
perekonomian ataupun yang berada disekitar pusat perekonomian menyebabkan
tekanan terhadap lahan pertanian pada penggunaan nonpertanian. Tekanan
terhadap lahan pertanian tersebut berwujud terhadap penyempitan rata-rata
penguasaan lahan oleh petani. Keadaan tersebut jelas tidak kondusif bagi
keberlangsungan pertanian dan perwujudan kebijakan pangan nasional dalam
jangka panjang. Pembukaan areal baru yang sangat terbatas dan tidak sebanding
dengan peningkatan jumlah penduduk yang terus meningkat juga menjadi faktor
pendorong semakin meningkatnya laju alih fungsi lahan selain petani sendiri
kurang memiliki motivasi atau keinginan yang cukup kuat untuk mempertahankan
lahan sawahnya. Kondisi atau dorongan ekonomi bisa menjadi motivasi atau
faktor pendorong petani untuk mengalihfungsikan lahnnya.
Kabupaten Langkat adalah salah satu Kabupaten yang dalam 10 (sepuluh)
tahun terakhir terus mengalami alih fungsi lahan yang mengakibatkan luas lahan
pertanian di Kabupaten Langkat cenderung mengalami penurunan. Lahan yang
paling banyak beralih fungsi adalah jenis lahan sawah, yang beralih fungsi
menjadi lahan kering serta lahan non pertanian. Laju alih fungsi dilihat
berdasarkan data luas lahan sawah di Kabupaten Langkat yang diperoleh dari BPS
serta berdasarkan motivasi petani dalam mempertahankan maupun mengalih
fungsikan lahannya. Proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi akan dianilis
trennya melalui kecenderungan laju alih fungsi secara regresi linier sederhana.
Hasil proyeksi ini nantinya akan menjadi alat analisis untuk melihat dampak
alihfungsi terhadap kecukupan pangan di Kabupaten Langkat sepuluh tahun yang
akan datang dengan kondisi alih fungsi lahan sawah sekarang.
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar skema kerangka pemikiran berikut :
Motivasi Petani
Keterangan :
: menunjukkan pengaruh
Hipotesa Penelitian
Proyeksi tren linier dengan metode analisis regresi membuat asumsi
bahwa kondisi yang terjadi dimasa lampau akan terus berlanjut ke masa yang akan
datang (Tarigan, 2006). Oleh karena itu dapat ditarik hipotesa 1, diproyeksi luas
lahan sawah dan produksi beras sepuluh tahun mendatang di Kabupaten Langkat
cenderung menurun dan hipotesa 2, diproyeksikan pula bahwa dampak alih fungsi
lahan sawah terhadap kecukupan pangan sepuluh tahun mendatang akan
menyebabkan defisit kebutuhan beras di Kabupaten Langkat.