Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN PUSTAKA

Manfaat Lahan Sawah


Lahan sawah dapat dianggap sebagai barang publik, karena selain
memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan
manfaat yang bersifat sosial. Lahan sawah memiliki fungsi yang sangat
luas yang terkait dengan manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat
bawaan. Manfaat langsung berhubungan dengan perihal penyediaan pangan,
penyediaan kesempatan kerja, penyediaan sumber pendapatan bagi masyarakat
dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana
pelestarian kebudayaan tradisional, sarana pencegahan urbanisasi, serta sarana
pariwisata. Manfaat tidak langsung terkait dengan fungsinya sebagai salah satu
wahana pelestari lingkungan. Manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai
sarana pendidikan, dan sarana untuk mempertahankan keragaman hayati
(Rahmanto, dkk, 2002).

Defenisi Alih Fungsi


Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut
sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu
sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk
penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi

Universitas Sumatera Utara

keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah


jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Fakta Alih Fungsi Lahan


Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur
perekonomian. Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan
tersebut. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi
lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi
secara progresif. Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu
lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin
kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga
harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya
dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996)
menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk
setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara
umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) secara
nasional, luas lahan sawah kurang lebih 7,8 juta Ha, dimana 4,2 juta Ha berupa
sawah irigasi dan sisanya 3,6 juta Ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI
tidak kurang dari 61.000 Ha lahan sawah telah berubah menjadi penggunaan lahan

Universitas Sumatera Utara

nonpertanian. Luas lahan sawah tersebut telah beralih fungsi menjadi perumahan
(30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan tanah lain.
Penelitian yang dilakukan Irawan (2005) menunjukkan bahwa laju alih
fungsi lahan di luar Jawa (132 ribu Ha per tahun) ternyata jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan di Pulau Jawa (56 ribu ha per tahun). Sebesar 58,68 persen
alih fungsi lahan sawah tersebut ditujukan untuk kegiatan nonpertanian dan
sisanya untuk kegiatan bukan sawah. Alih fungsi lahan sebagian besar untuk
kegiatan pembangunan perumahan dan sarana publik.
Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan pertanian yang paling rentan
terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh :
1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan
sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan
kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih inggi.
2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah
perkotaan.
3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah
persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering
4. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan
sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar,
dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa)
ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.
Fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah menjadi perhatian semua
pihak. Penelitian yang dilakukan Winoto (2005) menunjukkan bahwa sekitar
187.720 Ha sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di

Universitas Sumatera Utara

Pulau Jawa. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan total lahan sawah
beririgasi seluas 7,3 juta Ha dan hanya sekitar 4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat
dipertahankan fungsinya sedang sisanya sekitar 3,01 juta HA (42,4%) terancam
beralih fungsi ke penggunaan lain.

Faktor-Faktor Terjadinya Alih Fungsi Lahan


Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan
nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor
penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
1. Faktor Eksternal.
Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan
perkotaan, demografi maupun ekonomi.
2. Faktor Internal.
Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi
rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor Kebijakan.
Yaitu

aspek

regulasi

yang

dikeluarkan

oleh

pemerintah

pusat

maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.


Kelemahan pada aspekregulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait
dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan
yang dilarang dikonversi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) diketahui
faktor penyebab alih fungsi dari sisi eksternal dan internal petani, yakni tekanan
ekonomi pada saat krisis ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyak petani

Universitas Sumatera Utara

menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak
meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan
pada pihak-pihak pemilik modal. Sawah tadah hujan paling banyak mengalami
alih fungsi (319 ribu Ha) secara nasional. Lahan sawah di Jawa dengan berbagai
jenis irigasi mengalami alih fungsi, masing-masing sawah tadah hujan 310 ribu
Ha, sawah irigasi teknis 234 ribu Ha, sawah irigasi semi teknis 194 ribu Ha dan
sawah irigasi sederhana 167 ribu Ha. Sementara itu di Luar Jawa alih fungsi
hanya terjadi pada sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan. Tingginya alih
fungsi lahan sawah beririgasi di Jawa makin menguatkan indikasi bahwa
kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah yang ada tidak efektif.
Menurut Wicaksono (2007), faktor lain penyebab alih fungsi lahan
pertanian terutama ditentukan oleh :
1. Rendahnya nilai sewa tanah (land rent); lahan sawah yang berada disekitar
pusat pembangunan dibandingkan dengan nilai sewa tanah untuk pemukiman
dan industri.
2. Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.
3. Semakin menonjolnya tujuan jangka pendek yaitu memperbesar pendapatan
asli daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian (sustainability)
sumberdaya alam di era otonomi.
Produksi padi secara nasional terus meningkat setiap tahun, tetapi dengan
laju pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian
menjadi lahan nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai
salah

satu

penyebab

utama

melandainya

pertumbuhan

produksi

padi

(Bapeda, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah


Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dapat berdampak
terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang
lebih luas dimana berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi,
sosial, budaya, dan politik masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmanto, dkk (2002),
ditinjau dari aspek produksi, kerugian akibat alih fungsi lahan sawah di Jawa
selama kurun waktu 18 tahun (1981-1998) diperkirakan telah menyebabkan
hilangnya produksi beras sekitar 1,7 juta ton/tahun atau sebanding dengan jumlah
impor beras tahun 1984-1997 yang berkisar antara 1,5- 2,5 juta ton/tahun.
Alih fungsi lahan sawah juga menyebabkan hilangnya kesempatan
petani

memperoleh

pendapatan

dari

usahataninya.

Dalam

penelitian

Rahmanto, dkk (2002) juga menyebutkan, hilangnya pendapatan dari usahatani


sawah di Jawa Barat dan Jawa Timur mencapai Rp 1,5 - Rp 2 juta/Ha/tahun
dan kehilangan kesempatan kerja mencapai kisaran 300 - 480 HOK/Ha/tahun.
Perolehan

pendapatan

pengusaha

traktor

dan

penggilingan

padi

juga

ikut berkurang, masing-masing sebesar Rp 46 - Rp 91 ribu dan Rp 45 - Rp 114


ribu/Ha/tahun akibat terjadinya alih fungsi lahan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006)
terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa, di satu
sisi menambah terbukanya lapangan kerja di sektor nonpertanian seperti jasa
konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang
kurang menguntungkan. Dampak negatif tersebut antara lain :

Universitas Sumatera Utara

1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang


mengganggu tercapainya swasembada pangan dan timbulnya kerawanan
pangan serta mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian
ke nonpertanian.

Apabila tenaga kerja tidak terserap seluruhnya akan

meningkatkan angka pengangguran.


2. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan
menjadi tidak optimal pemanfaatannya.
3. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun
industri, sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan
mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh, sehingga
meningkatkan luas tanah tidur yang pada gilirannya juga menimbulkan
konflik sosial seperti penjarahan tanah.
4. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa
sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau
Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak menunjukkan dampak positif.
Menurut Sudirja (2008) alih fungsi lahan pertanian bukan hanya sekedar
memberi dampak negatif seperti mengurangi produksi beras, akan tetapi dapat
pula membawa dampak positif terhadap ketersediaan lapangan kerja baru bagi
sejumlah petani terutama buruh tani yang terkena oleh alih fungsi tersebut serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Irawan dan Friyatno (2005) proses alih fungsi lahan pertanian
pada tingkat mikro dapat dilakukan oleh petani sendiri atau dilakukan pihak lain.
Alih fungsi lahan yang dilakukan oleh pihak lain secara umum memiliki dampak
yang lebih besar terhadap penurunan kapasitas produksi pangan karena proses alih

Universitas Sumatera Utara

fungsi lahan tersebut biasanya mencakup hamparan lahan yang cukup luas,
terutama ditujukan untuk pembangunan kawasan perumahan. Alih fungsi lahan
yang dilakukan oleh pihak lain tersebut biasanya berlangsung melalui pelepasan
hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain yang kemudian diikuti dengan,
pemanfaatan lahan tersebut untuk kegiatan non pertanian. Dampak alih fungsi
lahan pertanian terhadap masalah pengadaan pangan pada dasarnya terjadi pada
tahap kedua. Namun tahap kedua tersebut secara umum tidak akan terjadi tanpa
melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh petani.
Oleh karena itu pengendalian pemanfaatan lahan untuk kepentingan pengadaan
pangan pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu:
1. Mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain, dan
2. Mengendalikan dampak alih fungsi lahan tanaman pangan tersebut terhadap
keseimbangan pengadaan pangan.

Aspek Kebijakan Dalam Alih Fungsi Lahan


Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih
fungsi

lahan

sawah

sudah

banyak

dibuat. Akan

tetapi,

hingga kini

implementasinya belum berhasil diwujudkan secara optimal. Menurut Iqbal dan


Sumaryanto (2007) hal ini antara lain karena kurangnya dukungan data dan
minimnya sikap proaktif yang memadai ke arah pengendalian alih fungsi lahan
sawah tersebut. Terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan mengapa
peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu :
1. Kendala Koordinasi Kebijakan. Di satu sisi pemerintah berupaya melarang
terjadinya alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih

Universitas Sumatera Utara

fungsi lahan tersebut melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan


sektor nonpertanian lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah
pertanian.
2. Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturan-peraturan pengendaliah alih fungsi
lahan baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaanperusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan
merubah lahan pertanian ke nonpertanian. Oleh karena itu, perubahan
penggunaan

lahan

sawah

ke

nonpertanian

yang

dilakukan

secara

individual/perorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut,


dimana perubahan lahan yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat
luas.
3. Kendala Konsistensi Perencanaan. RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan
mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam
pengendalian untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi
teknis. Namun dalam kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan
untuk mengalih fungsikan lahan sawah beririgasi teknis menjadi nonpertanian.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) dalam
konteks pembangunan di Pulau Jawa, jumlah keluarga atau rumah tangga yang
hidup dari sektor nonpertanian mencapai 100%. Beberapa faktor penting yang
berpengaruh pada perubahan pola pemanfaatan lahan pertanian di Pulau Jawa
yaitu faktor privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan pemukiman
skala besar dan kota baru, serta deregulasi investasi dan kemudahan perizinan.
Tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan
pertanian ke nonpertanian ialah:

Universitas Sumatera Utara

1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan


Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada
pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan
industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak
kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak
tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari
ketersediaan infrastruktur ekonomi.
2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan
fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar
dan kota baru. Akibat ikutan dari penerapan kebijakan ini ialah munculnya
spekulan yang mendorong minat para petani menjual lahannya.
Sehingga terlihat bahwa sering sekali terjadi ketidakserasian antar kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi alih fungsi yang justru sering sekali
justru meningkatkan laju alih fungsi lahan terutama lahan sawah.

Teori Lokasi
Mekanisme perubahan penggunaan lahan melibatkan kekuatan-kekuatan
pasar, sistem administratif yang dikembangkan pemerintah, dan kepentingan
politik. Pemerintah di sebagian besar negara di dunia pada kenyataannya
memegang peran kunci dalam alokasi lahan seperti pajak, zonasi (zoning),
maupun kebijakan langsung seperti kepemilikan lahan misalnya hutan, daerah
lahan tambang, dan sebagainya (Prayudho, 2009).
Model klasik dari alokasi lahan adalah model Ricardo (Ricardian Rent).
Menurut model ini, alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang

Universitas Sumatera Utara

menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang lebih tinggi, yang tergantung
pada derajat kualitas lahan yang ditentukan oleh kesuburannya serta kelangkaan
lahan. Menurut pendekatan von Thunen nilai land rent bukan hanya ditentukan
oleh kesuburannya tetapi merupakan fungsi dari lokasinya. Pendekatan ini
mengibaratkan pusat perekonomian adalah suatu kota yang dikelilingi oleh lahan
yang kualitasnya homogen. Tataguna lahan yang dihasilkan dapat dipresentasikan
sebagi cincin-cincin lingkaran yang bentuknya konsentris yang mengelilingi kota
tersebut. Pendekatan von Thunen mencoba untuk menerangkan berbagai jenis
pertanian dalam arti luas yang berkembang disekeliling daerah perkotaan yang
merupakan pasar komoditi pertanian tersebut (Prayudho, 2009).
Keterangan :
A : Pusat Pasar
B : Industri
C : Perumahan

Land rent

Kurva A

Kurva B
Kurva C
Kurva D

B C

Jarak dari pasar

Sumber : Tarigan, 2006

Gambar 2. Diagram cincin dan perbedaan kurva sewa tanah dari Von Thunen
Cincin A merepresentasikan aktivitas penggunaan lahan untuk jasa
komersial (pusat kota). Land rent pada wilayah ini mencapai nilai tertinggi.
Cincin-cincin B, C, dan D masing-masing merepresentasikan penggunaan lahan

Universitas Sumatera Utara

untuk industri, perumahan, dan pertanian. Meningkatnya land rent secara relatif
akan meningkatkan nilai tukar (term of trade) jasa-jasa komersial sehingga
menggeser kurva land rent A ke kanan dan sebagian dari area cincin B (kawasan
industri) terkonversi menjadi A. Demikian seterusnya, sehingga konversi lahan
pertanian (cincin D) ke peruntukan pemukiman (cincin C) juga terjadi. Dalam
sistem pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas yang menghasilkan land
rent

lebih

rendah

ke

aktivitas

yang

menghasilkan

land

rent

lebih

tinggi (Tarigan, 2006).


Alih fungsi lahan sawah tidak terlepas dari situasi ekonomi secara
keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor
ekonomi tumbuh dengan cepat sehingga sektor tersebut membutuhkan lahan yang
lebih luas. Lahan sawah yang terletak dekat dengan sumber ekonomi akan
mengalami pergeseran penggunaan kebentuk lain seperti pemukiman, industri
manufaktur dan fasilitas infrastruktur. Hal ini terjadi karena land rent persatuan
luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi daripada yang dihasilkan
sawah (Prayudho, 2009).
Hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumber daya lahan diantara
berbagai kompetisi penggunaan sektor komersial dan strategis, mempunyai
hubungan yang erat. Sektor tersebut berada pada kawasan strategis dengan
land rent yang tinggi, sebaliknya sektor yang kurang mempunyai nilai komersial
nilai rentnya semakin kecil. Economic rent sama dengan surplus ekonomi yang
merupakan kelebihan nilai produksi total diatas biaya total. Suatu lahan sekurangkurangnya memiliki empat jenis rent, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1. Ricardian rent, menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan.


2. Locational rent, menyangkut fungsi eksesibilitas lahan.
3. Ecological rent, menyangkut fungsi ekologi lahan.
4. Sosiological rent, menyangkut fungsi sosial dari lahan.
Umumnya land rent yang mencerminkan mekanisme pasar hanya
mencakup ricardian rent dan locational rent. Ecological rent dan sosiological
rent tidak sepenuhnya terjangkau mekanisme pasar (Prayudho, 2009).
Alih fungsi lahan sawah yang terjadi ditentukan juga oleh pertumbuhan
sektor tanaman pangan, dalam hal ini mengenai nilai hasil sawah. Nilai inilah
yang menjadi dasar individu mengalihfungsikan lahannya. Menurut teori
oportunitas yang menjadi dasar asumsi Wiliamson bahwa oportunisme merupakan
tindakan mengutamakan kepentingan diri dengan menggunakan akal untuk berusaha
mengeksploitasi situasi demi keuntungan (Priyadi, 2009). Hal tersebut sesuai dengan
teori lokasi neo klasik yang menyatakan bahwa substitusi diantara berbagai

penggunaan faktor produksi dimungkinkan agar dicapai keuntungan maksimum.


Artinya alih fungsi lahan sawah terjadi akibat penggantian faktor produksi
sedemikian rupa semata-mata untuk memperoleh keuntungan maksimum
(Prayudho, 2009).

Proyeksi Alih Fungsi Lahan dengan Analisis Tren


Pembangunan ekonomi di Indonesia yang terus berkembang telah
mengakibatkan tingginya permintaan akan lahan. Lahan merupakan sumberdaya
yang terbatas sehingga alih fungsi lahan, terutama dari pertanian ke non pertanian
tidak dapat dihindari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sudirja (2008),

Universitas Sumatera Utara

lahan sawah dalam periode 1999 2001, mengalami penurunan sebesar 63.686
Ha untuk padi sawah, sebesar 231.973 Ha untuk padi ladang, sementara hutan
rakyat berkurang sebanyak 24.033 Ha yang menunjukkan betapa lahan menjadi
suatu sumberdaya yang semakin langka.
Hasil penelitian Sudirja (2008) menunjukkan pula bahwa sampai tahun
2020 diperkirakan akan terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 807.500 Ha yakni
680.000 Ha di Jawa, 30.000 Ha di Bali, 62.500 Ha di Sumatera dan 35.000 Ha di
Sulawesi. Proyeksi tersebut di teliti melalui suatu metode proyeksi dengan analisis
tren.
Tren adalah salah satu peralatan statistik yang dapat digunakan untuk
memperkiraan keadaan dimasa yang akan datang berdasarkan pada data
masa lalu. Tren juga merupakan gerakan dan data deret berkala selama
beberapa tahun dan cenderung menuju pada suatu arah, dimana arah tersebut bisa
naik, turun maupun mendatar (Ibrahim, 2009).
Perhitungan tren linear menggunakan analisis regresi linier sederhana
dengan metode kuadrat terkecil (least square method), yang dapat dinyatakan
dalam bentuk : Y = a + b (x). Proyeksi ini menjelaskan hubungan antara satu
variabel dengan variabel lainnya. Tren linear dilihat melalui garis lurus pada
grafik tren

yang dibentuk berdasarkan data proyeksi. Penyimpangan tren

menunjukkan besarnya kesalahan nilai proyeksi dengan data yang aktual


(Pasaribu, 1981).
Analisis tren memperlihatkan kecendrungan ketersediaan lahan dalam hal
ini yaitu usahatani padi dan kecenderungan alih fungsi lahan sawah serta
kemungkinan pencetakan sawah baru di masa yang akan datang. Hasil proyeksi

Universitas Sumatera Utara

ini dapat memperkirakan kebutuhan pangan masyarakat serta kebutuhan lain yang
berbasis pada penggunaan lahan. Melalui proyeksi ini dapat diperkirakan apa yang
akan terjadi di masa akan datang apabila tidak ada intervensi terhadap
kecenderungan yang ada saat ini (Ibrahim, 2009).

Kerangka Pemikiran
Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai ekonomis.
Luasan tanah pertanian tiap tahunnya terus mengalami penurunan. Berkurangnya
jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan
aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan
permintaan akan lahan pun meningkat sehingga timbul alih fungsi lahan pertanian
ke non pertanian seperti perumahan, industri, infrastruktur dan lain sebagainya
untuk memenuhi permintaan yang ada. Alih fungsi lahan yang terjadi tidak lepas
dari kepentingan berbagai pihak seperti pemerintah, swasta dan komunitas
(masyarakat). Alih fungsi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh
kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi
lain yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu
sendiri.
Masalah alih fungsi lahan pertanian terus meningkat dan sulit
dikendalikan, terutama di wilayah-wilayah dengan tingkat intensitas kegiatan
ekonomi tinggi. Laju alih fungsi lahan yang tinggi pada daerah pusat
perekonomian ataupun yang berada disekitar pusat perekonomian menyebabkan
tekanan terhadap lahan pertanian pada penggunaan nonpertanian. Tekanan
terhadap lahan pertanian tersebut berwujud terhadap penyempitan rata-rata

Universitas Sumatera Utara

penguasaan lahan oleh petani. Keadaan tersebut jelas tidak kondusif bagi
keberlangsungan pertanian dan perwujudan kebijakan pangan nasional dalam
jangka panjang. Pembukaan areal baru yang sangat terbatas dan tidak sebanding
dengan peningkatan jumlah penduduk yang terus meningkat juga menjadi faktor
pendorong semakin meningkatnya laju alih fungsi lahan selain petani sendiri
kurang memiliki motivasi atau keinginan yang cukup kuat untuk mempertahankan
lahan sawahnya. Kondisi atau dorongan ekonomi bisa menjadi motivasi atau
faktor pendorong petani untuk mengalihfungsikan lahnnya.
Kabupaten Langkat adalah salah satu Kabupaten yang dalam 10 (sepuluh)
tahun terakhir terus mengalami alih fungsi lahan yang mengakibatkan luas lahan
pertanian di Kabupaten Langkat cenderung mengalami penurunan. Lahan yang
paling banyak beralih fungsi adalah jenis lahan sawah, yang beralih fungsi
menjadi lahan kering serta lahan non pertanian. Laju alih fungsi dilihat
berdasarkan data luas lahan sawah di Kabupaten Langkat yang diperoleh dari BPS
serta berdasarkan motivasi petani dalam mempertahankan maupun mengalih
fungsikan lahannya. Proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi akan dianilis
trennya melalui kecenderungan laju alih fungsi secara regresi linier sederhana.
Hasil proyeksi ini nantinya akan menjadi alat analisis untuk melihat dampak
alihfungsi terhadap kecukupan pangan di Kabupaten Langkat sepuluh tahun yang
akan datang dengan kondisi alih fungsi lahan sawah sekarang.
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar skema kerangka pemikiran berikut :

Universitas Sumatera Utara

Luas Lahan Sawah


Kab. Langkat

Laju Alih Fungsi Lahan

Proyeksi Luas Lahan dan


Produksi Padi

Motivasi Petani

Dampak Alih Fungsi


Lahan Sawah
Terhadap Kecukupan Pangan

Keterangan :
: menunjukkan pengaruh

Gambar 3. Skema kerangka pemikiran

Hipotesa Penelitian
Proyeksi tren linier dengan metode analisis regresi membuat asumsi
bahwa kondisi yang terjadi dimasa lampau akan terus berlanjut ke masa yang akan
datang (Tarigan, 2006). Oleh karena itu dapat ditarik hipotesa 1, diproyeksi luas
lahan sawah dan produksi beras sepuluh tahun mendatang di Kabupaten Langkat
cenderung menurun dan hipotesa 2, diproyeksikan pula bahwa dampak alih fungsi
lahan sawah terhadap kecukupan pangan sepuluh tahun mendatang akan
menyebabkan defisit kebutuhan beras di Kabupaten Langkat.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai