(Referat)
Penyaji:
I Wayan Eka Dwipayana
(0918011117)
Pembimbing:
dr. Fitriyani, Sp.S, M.Kes
BAB I
PENDAHULUAN
Myasthenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada
manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang
gejala myasthenia pada kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor
(AchR). Sedangkan pada manusia yang menderita myasthenia gravis, ditemukan
adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada neuromuscular
junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada myasthenia gravis dan
peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa
penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada
hampir 90% penderita myasthenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk
penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen)
pada membran post sinaptik, dan efek menguntungkan dari plasmaparesis.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan
fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara
konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada
myasthenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana
antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih
jauh.
Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat
terjadi karena berbagai faktor. Hal ini menyebabkan sindrom miastenik kongenital
banyak
diteliti
dan
diinvestigasi.
Akhirnya,
kelainan
pada
transmisi
BAB II
MYASTHENIA GRAVIS
b. Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas
IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala myasthenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejalagejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun.
Myasthenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti
dibawah ini :
a. Myasthenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Myasthenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Myasthenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain
itu, penderita myasthenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah
serta
menelan
makanan,
sehingga
dapat
terjadi
aspirasi
cairan
yang
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi.
Untuk penegakan diagnosis myasthenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut :
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang
terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak
ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa
suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis myasthenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain :
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh myasthenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji
ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh myasthenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh myasthenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan
lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu myasthenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
myasthenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan myasthenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien thymoma tanpa myasthenia gravis sering kali terjadi false positive antiAChR antibody.
Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang
dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut:
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Myasthenia Gravis
Osserman Class
Percent Positive
0.79
24
2.17
55
IIA
49.8
80
IIB
57.9
100
III
78.5
100
IV
205.3
89
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita myasthenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
Antistriational antibodies
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda
dengan myasthenia gravis.
2.7.2.2 Imaging
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis myasthenia gravis tidak
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk
mencari penyebab defisit pada saraf otak.
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit elain myasthenia gravis, antara lain :
o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
o Paralisis pasca difteri
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otototot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detikdetik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering
kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada myasthenia gravis. Defek
pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan
terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada
myasthenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada
LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak
berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke
membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.
PENATALAKSANAAN
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi
myasthenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada myasthenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada myasthenia gravis yang ringan. Sedangkan pada psien
dengn myasthenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang
rutin.
itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya
perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.
Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating
aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja
dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu
memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan
secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer
antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah
memulai terapi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua
terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.
Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang
sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak
menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis
berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15
hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang
hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi
lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit
kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
Intravenous Methylprednisolone (IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon,
maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak
ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien
menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien
lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam
waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan
dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan myasthenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai
tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3
bulan.
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi
yang pasti terhadap myasthenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid
diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi
dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan
memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di
tempat kelainan imun pada myasthenia gravis. Pasien yang berespon terhadap
kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat
menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal
penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada
pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka
timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta
hipertensi.
Azathioprine
hiperplasia
timus
dianggap
sebagai
penyebab
yang
mungkin
BAB III
KESIMPULAN
Myasthenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. . Penyakit ini
timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction.
Sebelum memahami tentang myasthenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Membran
presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah
sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi myasthenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel
B justru melawan reseptor asetilkolin.
Penatalaksanaan myasthenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,
thymomectomy ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang
dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan myasthenia gravis.
DAFTAR PUSTAKA
Gravis,
Summary.
Available
at
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gra
vis.htm. Accessed : February 7, 2015
5. Newton,
E.
Myasthenia
Gravis.
Available
at
Myasthenia
Gravis.
Available
http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd.
February 7, 2015
8. Anonim,
Thymectomy,
Available
at:
Accessed:
at