Anda di halaman 1dari 27

MYASTHENIA GRAVIS

(Referat)

Penyaji:
I Wayan Eka Dwipayana
(0918011117)
Pembimbing:
dr. Fitriyani, Sp.S, M.Kes

SMF PENYAKIT SARAF RSUD ABDOEL MOELOEK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Myasthenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada
manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang
gejala myasthenia pada kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor
(AchR). Sedangkan pada manusia yang menderita myasthenia gravis, ditemukan
adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada neuromuscular
junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada myasthenia gravis dan
peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa
penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada
hampir 90% penderita myasthenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk
penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen)
pada membran post sinaptik, dan efek menguntungkan dari plasmaparesis.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan
fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara
konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada
myasthenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana
antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih
jauh.
Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat
terjadi karena berbagai faktor. Hal ini menyebabkan sindrom miastenik kongenital
banyak

diteliti

dan

diinvestigasi.

Akhirnya,

kelainan

pada

transmisi

neuromuskular yang berbeda dari myasthenia gravis yaitu The Lambert-Eaton


Myasthenic Syndrome ternyata juga merupakan kelainan yang berbasis autoimun.
Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari membran presinaptik merupakan target
dari autoantibodi yang patogen baik secara langsung maupun tidak langsung.

Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi myasthenia gravis


yang berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan
imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini.
Ironisnya, beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan
pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat kurang.

BAB II
MYASTHENIA GRAVIS

2.1 DEFINISI MYASTHENIA GRAVIS


Myasthenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih
kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Myasthenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat
terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada
usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan
pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita myasthenia gravis
adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda,
yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada
usia 42 tahun.
2.3 ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR
JUNCTION
Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang myasthenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat

suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan


neuromuskular.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian
pembentuk neuromuscular junction.

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction


Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran
post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu
lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa
yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi
asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun
dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam
keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor
end plate).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila
potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion

kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga


mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan
bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps.
Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan
reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction
dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang
disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal
(sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu
vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca 2+ ini memerankan
peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi
kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps
ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian
yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin
(AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf.
Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini
akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor
yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan
menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end

plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di


dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut
saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif
di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran
yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri
dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein
beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat
bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi
depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan
menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot
yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir).
Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu
potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi
otot.
Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah
sebagai berikut:

Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)

Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275 kDa.

Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion,


yang memungkinkan aliran baik Na+ maupun K+.

Autoantibody terhadap reseptor termasuk penyebab myasthenia grafis.

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction


PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi myasthenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita myasthenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita myasthenia gravis secara langsung melawan konstituen pada
otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot
penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada
reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot
pasien dengan myasthenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor
(anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired
myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita myasthenia gravis belum sepenuhnya dapat
dimengerti. Myasthenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel
B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan
reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis myasthenia gravis mulai

semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang


terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau
thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.
Pada pasien myasthenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam
berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan
area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan
binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor
asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui
beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi
anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada
membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat
digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.
GEJALA KLINIS
Myasthenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis
myasthenia gravis antara lain :

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis


Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius,
seing menjadi keluhan utama penderita myasthenia gravis. Walupun pada
myasthenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otototot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot
okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis myasthenia gravis. Kelemahan
otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi
kepala.

Gambar 3. Penderita Myasthenia Gravis yang mengalami kelemahan


otot esktraokular (ptosis).

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.


Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher,
hingga ke otot ekstremitas.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga
mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari
otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara
sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya.

KLASIFIKASI MYASTHENIA GRAVIS


Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), myasthenia gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:
a. Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.

b. Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas
IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala myasthenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejalagejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun.
Myasthenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti
dibawah ini :
a. Myasthenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Myasthenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Myasthenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

DIAGNOSIS MYASTHENIA GRAVIS


Penegakan Diagnosis Myasthenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu myasthenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat
yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris
di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam
batas normal.
Myasthenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like
face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan myasthenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)

serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain
itu, penderita myasthenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah
serta

menelan

makanan,

sehingga

dapat

terjadi

aspirasi

cairan

yang

menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot


rahang pada myasthenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup
mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot
leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta
ekstensi dari leher.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan
otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih
sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.
Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari
tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi
cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran
napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien
myasthenia gravis fase akut sangat diperlukan.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan
sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya
terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan
tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu myasthenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan

terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi.
Untuk penegakan diagnosis myasthenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut :
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang
terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak
ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa
suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis myasthenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain :
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh myasthenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji
ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh myasthenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh myasthenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan
lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti
Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu myasthenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
myasthenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan myasthenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien thymoma tanpa myasthenia gravis sering kali terjadi false positive antiAChR antibody.
Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang
dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut:
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Myasthenia Gravis
Osserman Class

Mean antibody Titer

Percent Positive

0.79

24

2.17

55

IIA

49.8

80

IIB

57.9

100

III

78.5

100

IV

205.3

89

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB =


moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita
myasthenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit myasthenia gravis.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita myasthenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita myasthenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab


negatif (myasthenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk
anti-MuSK Ab.

Antistriational antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan myasthenia gravis menunjukkan adanya


antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin
dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan myasthenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody

merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda
dengan myasthenia gravis.
2.7.2.2 Imaging

Chest x-ray (foto roentgen thorak)

Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.

Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya


thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan
untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus myasthenia gravis,
terutama pada penderita dengan usia tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis myasthenia gravis tidak
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk
mencari penyebab defisit pada saraf otak.

Gambar 4. CT scan of chest showing an anterior mediastinal mass


(thymoma) in a patient with myasthenia gravis.
Pendekatan Elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi


neuromuscular melalui 2 teknik :

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita myasthenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,


sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam


serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal.
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis myasthenia gravis,
antara lain:

Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit elain myasthenia gravis, antara lain :
o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
o Paralisis pasca difteri

o Pseudoptosis pada trachoma

Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya


suatu sklerosis multipleks.

Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otototot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detikdetik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering
kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada myasthenia gravis. Defek
pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan
terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada
myasthenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada
LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak
berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke
membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

PENATALAKSANAAN
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi
myasthenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada myasthenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada myasthenia gravis yang ringan. Sedangkan pada psien
dengn myasthenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang
rutin.

Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan


pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mapu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita myasthenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat dan terpai yang memiliki onset lebih lambat tetapi
memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan2.
Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
Plasma Exchange (PE)
Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam
waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis
dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan
memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga
pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani
periode postoperative.
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang
mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi
setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan
kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul
pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama
pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang
dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada
berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal

itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya
perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.
Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating
aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja
dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu
memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan
secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer
antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah
memulai terapi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua
terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.
Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang
sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak
menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis
berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15
hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang
hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi
lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit
kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
Intravenous Methylprednisolone (IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon,
maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak

ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien
menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien
lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam
waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan
dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan myasthenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai
tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3
bulan.
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi
yang pasti terhadap myasthenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid
diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi
dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan
memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di
tempat kelainan imun pada myasthenia gravis. Pasien yang berespon terhadap
kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat
menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal
penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada
pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka
timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta
hipertensi.
Azathioprine

Azathioprine biasanya digunakan pada pasien myasthenia gravis yang secara


relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin
yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan
RNA.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.
Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai.
Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik
oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.
Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam
12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali
penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel Thelper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi
antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi
dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat
dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping
berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
Cyclophosphamide (CPM)
CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara
tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki
efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.
Thymectomy (Surgical Care)

Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan myasthenia gravis


sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa myasthenia
gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian tentang
hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian myasthenia gravis. Germinal
center

hiperplasia

timus

dianggap

sebagai

penyebab

yang

mungkin

bertanggungjawab terhadap kejadian myasthenia gravis. Penelitian terbaru


menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan
berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada myasthenia
gravis.
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.
Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki
peranan yang penting untuk terapi myasthenia gravis, walaupun kentungannya
bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar
yang seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan
dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan
remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli
percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%
tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa
remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara
40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan.

Gambar 5. Kelenjar Thymus8

BAB III
KESIMPULAN

Myasthenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. . Penyakit ini
timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction.
Sebelum memahami tentang myasthenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Membran
presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah
sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi myasthenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel
B justru melawan reseptor asetilkolin.
Penatalaksanaan myasthenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,
thymomectomy ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang
dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan myasthenia gravis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol


16: Page: 519-534. 1984.
2. Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological
Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.
3. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University
Press. Page: 301-305. 1991.
4. Howard, J. F. Myasthenia

Gravis,

Summary.

Available

at

http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gra
vis.htm. Accessed : February 7, 2015
5. Newton,
E.
Myasthenia

Gravis.

Available

at

http://en.wikipedia.org/wiki/Myasthenia_gravis. accessed : February 7, 2015


6. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A. Biokimia Harper: Dasar Biokimia
Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC. Jakarta. Page: 816-835.
1999.
7. Anonim,

Myasthenia

Gravis.

Available

http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd.
February 7, 2015
8. Anonim,

Thymectomy,

Available

at:
Accessed:

at

http://www.myasthenia.org/amg_treatments.cfm. Accessed : February 7, 2015

Anda mungkin juga menyukai