1.
Hukum Masuk Thariqah
Tanya : Bagaimana pendapat muktamirin tentang hukum masuk Thariqah dan
mengamalkannya?
Jawab : Jikalau yang dikehendaki masuk thariqah itu belajar membersihkan dari
sifat-sifat yang rendah, dan menghiasi sifat-sifat yang dipuji, maka hukumnya
fardhu ain. Hal iniseperti hadis Rasulullah Saw, yang artinya: Menuntut ilmu
diwajibkan bagi orang Islam laki-laki dan Islam perempuan. Akan tetapi kalau yang
dikehendaki masuk Thariqah Mutabarah itu khusus untuk dzikir dan wirid, maka
termasuk sunnah Rasulullah Saw. Adapun mengamalkan dzikir dan wirid setelah
baiat, maka hukumnya wajib, untuk memenuhi janji. Tentang mentalqinkan
(mengajarkan) dzikir dan wirid kepada murid, hukumnya sunat. Karena sanad
Thariqah kepada Rasulullah Saw, itu sanad yang shahih.
Keterangan dari kitab:
1.
Al-Maaarif al-Muhammadiyah, hal. 81;
2.
Al-Adzkiyaa
Al-adzkiyaa: Pelajarilah ilmu yang membuat sah ibadahnya.
Al-Maararifah al-Muhammadiyyah, hal. 81: Sanad para wali kepada Rasulullah Saw.
Itu benar (shahih), dan shahih pula hadis bahwa Ali ra. Pernah bertanya kepada
Nabi Saw. Kata Ali, Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan terdekat kepada
Allah yang paling mudah bagi hamba-hamba-Nya dan yang paling utama bagi
Allah! Rasulullah Saw. Bersabda, Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi
masih terdapat orang yang mengucapkan Allah. Dasar lainnya adalah firman Allah
Swt. Penuhilah janji, sesunggunhya janji itu akan diminta
pertanggungjawabannya. (Al-Israa; 34).
2.
Murid Pindah Thariqah
Tanya : Apakah boleh seorang murid Thariqah pindah dari satu thariqah kepada
Thariqah yang lain?
Jawab : Haram pindah dari satu Thariqah kepada Thariqah yang lain. Namun dapat
dikatakan : Boleh pindah, apabila dia dapat menetapi kepada Thaiqah yang sudah
dimasuki dan istiqamah (tekun) pada tuntunannya.
Keterangan dari kitab-kitab:2 )
1.
fataawa al-Haditsiyah, hal.50;
2.
majmuah al-rasail, hal. 114;
3.
ahkaamul Fuqaha, soal no. 173.
Al-fataawa al-hadiitsiyah, hal 50: Barangsiapa telah menyatakan baiat kepada
seorang mursyid, dan mampu melaksanakan isi baiatnya, dan telah mendapat
pancaran rohani darinya dengan sifat yang pertama dan kedua, maka haram
baginya menurut mereka (para ulama)-meninggalkan mursyid tersebut dan beralih
ke mursyid yang lain.
Majmuah al-rasaail,. Hal: 114: Ketahuilah bahwa Thariqah-Thariqah yang matsur,
yang masyhur, yang sanadnya bersambung dari para guru thariqah terdahulu
sampai belakangan adalah seperti empat madzhab dalam hal perpindahan dari satu
madzhab ke madzhab yang lain, yaitu boleh, dengan syarat bidang yang dimasuki
oleh orang yang berpindah madzhab itu harus utuh dengan senantiasa menetapi
tata kramanya.
Wassalam
Sufi Muda
http://sufimuda.wordpress.com/2008/05/07/7-tanya-jawab-tantang-thariqat/
al-Hujjah al-Sathiah fi Bayan al-Thariqah
al-Naqsyabandiyyah al-Haqqaniyyah
(Argumentasi Cemerlang
dalam Menyingkap Hakikat
Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah yang benderang)
Oleh: H. Abbas Arfan Baraja, Lc., M.H.[1]
A. Islam dan Sufisme
Pengertian Sufisme.
Tasawuf atau Sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam Islam atau secara
keilmuan ia adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah
wafat.. Menurut Hakim Hassan dalam al-Tasawwuf fi Syiri al-Arab, istilah tasawuf
baru terdengar pada pertengahan abad kedua hijriyah dan menurut Nicholson
dalam bukunya al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi, pertengahan abad ketiga hijriyah.
[2]
Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab, Tasawwafa. Namun para ulama
berbeda pendapat dari mana asal usulnya (akar katanya). Ada yang mengatakan
dari kata Shuf (bulu domba), Shaf (barisan), Shafi/Shofa (jernih) dan dari kata
Shuffah (emper Masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian shahabat Nabi saw.).
Pemikiran masing-masing pihak itu dilatarbelakangi obsesinya dan fenomena yang
ada pada diri para sufi.[3]
Dan Imam al-Qusyairi[4] dalam hal ini memberikan komentarnya yang dinukil
Shodiq bin Hasan al-Qonuji dalam kitabnya Abjad al-Ulum al-Wasyi al-Marqum fi
Bayani ahwal al-Ulum sebagai berikut:
: : - -
: : :
[5].
Imam al-Qusyairi RA berkata: Tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa kata benda
ini ( tasawwuf) adalah berakar kata dari bahasa arab juga tidak dianalogikan dari
bahasa arab. Secara lahiriyah itu hanya laqab (julukan) saja, adapun pendapat yang
mengatakan bahwa kata (tasawwuf) itu berasal dari kata shofa atau shuffah adalah
sangatlah jauh dari sudut pandangan qiyas (analogi) ilmu bahasa, begitu juga orang
yang berpendapat bahwa itu berasal dari kata Shuf adalah tidak berdasar, karena
mereka para sufi tidak mengkhususkan harus memkai pakaian dari shuf (bulu
domba). Walau memang mereka pada umumnya memakai pakaian dari wol itu
karena mereka ingin memakai pakaian yang yang tidak menunjukan kebanggaan
atau kemewahan seperti umumnya orang-orang, lantas mereka yang sebagai besar
memakai pakaian sedarhana itu (bahkan rendah dan hina pada masa itu) terkenal
dengan sifat zuhud, uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian dan memfokuskan
diri pada beribadah, maka orang-orang menjuluki mereka dengan istilah sufi
(sebagai identitas) yang mudah dari apa yang orang-orang ketahuai.
Secara terminologispun banyak dijumpai definisi yang berbeda-beda, yang oleh
Syekh Yusuf al-Rifai[6] dianalisa mencapai lebih kurang dua ribu definisi[7] dan
yang paling simpel menurutnya adalah definisi tasawuf yang dibuat oleh Ibn
Ajibah[8], yaitu:
Kesungguhan tawajjuh (ibadah) kepada Allah dengan melaksanakan apa-apa yang
diridloi-Nya sesuai dengan apa yang diridloi-Nya (diingini-Nya)
Al-Qonuji mendefinisikan tasawuf dengan;
]
[9
Sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana meningkatkan derajat kesempurnaan
sebagai manusia dalam tingkatan-tingkatan kebahagiaan dan persoalan-persoalan
yang menghadang (ujian) dalam upaya meningkatan derajat tersebut sesuai
dengan kemampuan manusia.
Dari sekian definisi yang ada dapat dikatakan, bahwa tasawuf adalah moralitas
Islam yang pembinaannya melalui proses tertentu (mujahadah dan riyadlah)
dengan tetap berpegang teguh pada syariat Islam.
2. Kedudukan Tasawuf dalam Ajaran Islam.
Dan sufisme adalah bagian dari syariah Islamiyah, yakni wujud dari Ihsan, salah
satu dari tiga kerangka ajaran Islam. Dua sebelumnya ialah Iman dan Islam. Oleh
karena itu perilaku sufi harus tetap berada dalam kerangka syariah Islam. alQusyairi mengatakan: Seandainya kamu melihat seseorang yang diberi
kemampuan khusus (keramat), sehingga ia bisa terbang di angkasa, maka jangan
terburu tergiur padanya, sehingga kamu melihat bagaimana dia menjalankan
perintah, meninggalkan larangan menjaga hukum yang ada.[10]
Sebagaimana dikatakan bahwa tasawuf adalah identik dengan Ihsan. Dalam hadits
Nabi SAW dalam Sahih Muslim, Hadits No. 09;[11] arti ihsan ialah:
Beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, jika kalian tidak bisa melihatNya, maka harus diketahui bahwa Dia melihat kita.
Pernyataan ini mengandung makna ibadah dengan penuh ikhlas dan khusyu,
penuh ketundukan dengan cara yang baik.[12] Namun dalam pandangan penulis
Hadits di atas mengindikasikan ada dua maqam (tingkatan) dalam beribadah, yaitu:
pertama, maqam musyahadah; mampu melihat Allah dengan mata hati atau ilmu
pengetahuan yang dimiliki. Kedua, maqam muraqabah; mampu menghadirkan Allah
dalam kesehariannya, sehingga memunculkan rasa diawasi Allah. Kedua maqam itu
sama-sama akan memberikan dampak khusu dalam beribadah. Dan ilmu tasawuf
berusaha mencapai kedua maqam itu dan maqam-maqam yang lain.
Ihsan meliputi semua tingkah laku muslim, baik tindakan lahir maupun tindakan
batin, dalam ibadah maupun muamalah, sebab ihsan adalah jiwa atau roh dari iman
dan islam. Iman sebagai pondasi yang ada pada jiwa seseorang dari hasil
perpaduan antara ilmu dan keyakinan, penjelmaannya yang berupa tindakan
badaniah (ibadah lahiriah) disebut Islam. Perpaduan antara iman dan islam pada
diri seseorang akan menjelma dalam pribadi dalam bentuk akhlak al-karimah atau
disebut ihsan[13] sebagaimana tersebut dalam surat Luqman/31: 22.
Oleh karena itu, maka kedudukan tasawuf dalam ajaran Islam adalah sebuah bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Karena memang dasar
rujukan dalam tasawuf adalah al-Quran, al-Sunnah dan al-Atsar (peninggalan) para
ulama terpercaya.[14] Maka dalam keyakinan ini pula, Imam al-Syatibi dalam
kitabnya al-Itisham membela mati-matian tasawuf dan para sufi dari tuduhan
orang-orang yang menuduhnya sebagai ilmu yang keluar dari syariat Islam dan
membersihkan para sufi dari julukan sebagai ahli bidah, bahkan beliau sebaliknya
menjuluki orang yang menolak tasawuf dan para sufi sebagai orang bodoh yang ahli
bidah. Dan beliau menegaskan bahwa para sufi adalah orang selalu menimbang
awal perbuatan dan perkataannya dengan itba sunnah Nabi dan menjauhi segala
yang dilarang dan bertentangan dengan sunnah Nabi.[15]
Dukungan dan pembelaan terhadap tasawuf dan sufi tidak hanya datang dari Imam
Syatibi sendirian, namum hampir sebagian besar ulama tradisional dan modern pun
turut memperkuat barisan ini, seperti dituliskan Syekh Yusuf al-Rifai dalam bukunya
bahwa diantara ulama-ulama tradisional (salaf) yang mendukung tasawuf dan para
sufi adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Abdul Qahir al-Bagdadi, Imam Ghazali, Imam al-Razi, Imam Izzuddin Abd.
Salam, Imam Nawawi, Imam Taj al-Din al-Subki, Imam Suyuthi dan lain-lain.
Sedangkan dari kalangan ulama kontemporer, Syekh Yusuf al-Rifai mencantumkan
fatwa-fatwa mufti timur tengah, yaitu: Syekh Muhammad al-Sayid al-Thanthawi
(Syekh al-Azhar yang mantan mufti Mesir), Syekh Ahmad Kaftar (Mufti Suriah),
Syekh Muhammad bin Ahmad Hasan al-Khozrazi (mantan menteri wakaf dan urusan
Islam Uni Emirat Arab), Syekh Nuh Salman (Mufti militer Yordania), Stekh Hasan
Kholid (Mufti Lebanon) dan Syekh al-Sayid Muhammad Abd. Rahman bin Syekh Abu
generasi kedua, yaitu orang-orang yang belajar dan hidup bersama para sahabat
tidak dinamai selain nam tabiin. Namun pada generasi berikutnya (ketiga) saat
kaum muslimin sudah berbeda-beda (kekutan iman dan ibadahnya), maka orang
yang khusus yang teguh memegang dan mengamalkan agamanya dikenal dengan
sebutan zuhhad (jamaknya zahid; orang yang zuhud) dan Ubbad (jamaknya abid;
orang yang ahli ibadah). Kemudian bidah meluas di mana-mana dan saling
membanggakan golongannya masing-masing; setiap kelompok mengklaim bahwa
mereka memilki orang-orang zahid dan abid. Oleh sebab itu sebagian orang khusus
(zahid atau abid) dari golongan ahlus sunnah wal jamaah yang hanya mencari ridlo
Allah SWT dan selalu menjaga hatinya dari bisikan-bisikan yang melalaikan Allah
SWT, maka mereka inilah yang disebut kaum sufi yang mengamalkan ilmu tasawuf
sehingga nama ini mulai terkenal dan melekat pada tokoh-tokoh sufi sejak sebelum
abad kedua Hijriah.
Imam Ibn Kholdun[23] pun berpendapat sama dengan Imam al-Qusyairi; yang
pendapat beliau dinukil al-Qonuji dalam kitabnya:
: :
[24] .
Abdurahman bin Kholdun berkata: Ilmu (tasawuf) ini termasuk bagian dari ilmu
syariat yang baru lahir dalam Islam (baru dalam pengertian menjadi sebuah ilmu
yang teoritis dan independen-penulis). Dan pondasi yang membentuknya adalah
mereka (para sufi) adalah orang-orang yang berpegang ada prilaku tokoh-tokoh
umat Islam, yaitu para sahabat dan tabiin.
Memang mengenai asal-usul atau timbulnya sufisme dalam Islam. terdapat
berbagai teori yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan pengaruh ajaran Kristen
dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Atau
ajaran filsafat mistik Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi
berkontemplasi juga dipandang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam
Islam. Demikian pula filsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini
memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan, dan karena
pengaruh dunia materi roh menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke alam asalnya
roh terlebih dahulu harus dibersihkan dengan meninggalkan dunia dan mendekati
Tuhan sedekat mungkin, kafau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan, filsafat ini
mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum wihdah al-wujud (manunggaling
kawula-Gusti) dan sufi dalam Islam. Bahkan ajaran Buddha dengan faham
nirwananya dan ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan
dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Tan Brahman
juga dianggap berpengaruh terhadap sufisme Islam. Namun penelitian modern
telah membuktikan bahwa asal-usul sufisme tidak dapat dilacak hanya melalui satu
lintasan tunggal saja. Sufisme adalah sesuatu yang rumit, tak ada jawaban yang
bersahaja. Ada pengaruh-pengaruh non Islami, Nasrani, Neoplatonisme,
Gynostisisme dan Buddhisme dan pengaruh eksternal itu bisa saja terjadi. tetapi
laku tasawuf itu sebenarnya telah inheren dalam ajaran Islam. Dalam Al Quran
Tuhan menerangkan diri-Nya sebagai al-Dzahir (Lahir) dan yang al-Bathin (Batin).
Karena itu. semua realitas dari dunia ini juga memilki aspek lahir (eksoteris) dan
batin (esoteris). Dalam Islam dimensi batin atau esoteris dari wahyu ini sebagian
besar berhubungan dengan tasawuf.[25]
Maka dari sudut pandang Islam; Tasawuf seperti al-din atau al-Islam dalam
pengertiannya yang universal adalah abadi dan sekaligus universal. Hal ini tidak
berarti bahwa adalah mungkin melaksanakan tasawuf di luar kerangka Islam.
Tasawuf yang bisa dilaksanakan secara sah harus merupakan sesuatu yang
bersumber dari wahyu AI-Quran. Seseorang tidak dapat melaksanakan esoterisme
Buddha dalam konteks syariat Islam atau sebaliknya.[26] Dan kalau ada persamaan
antara ajaran tasawuf dengan ajaran agama lain; baik dengan ajaran agama
samawi (seperti, Yahudi dan Kristen) atau non samawi (seperti, Hindu dan Budha)
itu adalah sesuatu hal yang tidak mustahil terjadi. Ajaran Islam saja dengan ajaran
samawi lainnya bukankah memilki kesamaan sumber, yaitu sama-sama bersumber
dari Allah SWT, bukankah ibadah dalam Islam seperti khitan, kurban, haji, puasa
dan lain-lain adalah warisan dari ibadah umat terdahulu. Adapun adanya
persamaan ajaran tasawuf dengan ajaran agama non samawi itu adalah sebuah
kebetulan saja; bukankah cara berpakaian para biksu agama Budha sama persis
dengan orang yang sedang berpakaian kain ihram untuk ibadah haji atau umrah,
yaitu sama-sama dari dua helai kain tidak berjait dan sama-sama membuka lengan
kanan dalam memakainya, walau ada perbedaan tapi dari warna kainnya saja. Lalu
apakah langsung kita katakan bahwa haji dan umrah adalah dipengaruhi ajaran
Budha?
Lalu siapakah yang di maksud para sufi atau mutasawwif pada zaman sekarang ini?
Ada analisa dan ungkapan menarik dan sederhana yang disampaikan Syekh Yusuf
al-Rifai dalam bukunya ketika mendiskripsikan siapakah yang bisa di sebut sufi pada
masa ini. Beliau menulis dalam pengantar bukunya al-Sufiyah wa al-Tasawwuf fi
Dlau al-Kitab wa al-Sunnah sebagai berikut;
Julukan sufi, jika dimutlakkan pada zaman sekarang ini, maka yang dimaksud
adalah mayoritas kaum muslimin yang bertaqlid pada salah satu Imam empat
mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) dalam masalah al-Furu (mazhab fiqh)
dan secara ushul (aqidah) mengikuti pada salah satu dari beberapa ulama salaf
yang salih, maka sebagian mereka berpegang teguh pada prinsip teologi Imam Abu
Hasan al-Asyari yang menjadi pegangan hampir sebagian besar golongan ahlus
sunnah wal jamaah di hampir seluruh penjuru dunia. Prinsip ajaran mazhab ahlus
sunnah wal jamaah ini (yang bermazhab fiqh pada salah satu Imam empat mazhab
dan berteologi dengan teologi Asyariyyah) adalah ajaran yang sampai sekarang di
ajarkan dan dipraktekkan di hampir sebagian besar negara Islam, seperti
Universitas al-Azhar Mesir, kecuali lembaga-lembaga pendidikan Islam di negara
Saudi Arabia atau negara lain yang dalam naungan dan bantuan saudi Arabia yang
berpegangan pada prinsip ajaran Islam yang digagas oleh Syekh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan para pengikutnya (Wahhabiyyah) yang menamakan diri dengan
nama al-Dawah al-Salafiyyyah. Identitas sufi atau sufiyyah pada zaman ini juga
duniawiah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna
menunjukan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (marifatullah), maka
posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui
jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat
jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum
diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat apalagi jika kita tidak
membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam tarekat tidak hanya membimbing
secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai
mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT.
Dengan bahasa yang lebih mudah, tarekat adalah sebuah kendaraan baik berupa
bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya
izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan
beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.
Tasawuf dapat dipraktekkan dalam setiap keadaaan di mana manusia menemukan
dirinya, dalam kehidupan tradisional maupun modern. Tarekat adalah salah satu
wujud nyata dari tasawuf. Ia lebih bercorak tuntunan hidup praktis sehari-hari
daripada corak konseptual yang filosofis. Jika salah satu tujuan tasawuf adalah alWushul ila Allah SWT (sampai kepada Allah) dalam arti marifat, maka tarekat
adalah metode, cara atau jalan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan
tasawuf tersebut. [31]
Tarekat berarti jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara
menyucikan diri, atau perjalanan yana ditempuh oleh seseorang untuk
mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Orang yang bertarekat harus
dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau Syaikh. Syaikh atau
mursyid inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan
lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi perantara
(washilah) antara murid dan Tuhan dalam beribadah. Karena itu, seorang Syaikh
haruslah sempurna dalam ilmu syariat dan hakekat. Di samping itu, untuk (dapat)
wenjadi guru, ustadz atau Syaikh diperlukan syarat-syarat tertentu yang
mencerminkan sikap orang tua yang berpribadi akhlak karimah dan budi pekerti
yang luhur.[32]