Anda di halaman 1dari 15

Seandainya kamu melihat seseorang yang diberi kemampuan khusus (keramat),

sehingga ia bisa terbang di angkasa, maka jangan terburu tergiur padanya,


sehingga kamu melihat bagaimana dia menjalankan perintah, meninggalkan
larangan menjaga hukum yang ada.
( al-Qusyairi )
Source : http://darulhadis.wordpress.com/tarekat/
http://sufimuda.wordpress.com/2008/05/07/
7-tanya-jawab-tantang-thariqat/
7 Tanya Jawab Tentang Thariqat
Ditulis pada Mei 7, 2008 oleh sufimuda
Assalamualaikum Wr. Wb
Pengunjung sufimuda yang dirahmati Allah, terima kasih atas kunjungan dan
tanggapannya terhadap blog sufimuda, tentu lebih banyak kurangnya dari pada
lebihnya, setelah sebulan sufi muda menerbitkan artikel-artikel, kami menerima
banyak pertanyaan (45 pertanyaan) yang dikirim ke email sufimuda@gmail.com,
sebagian besar bertanyaannya seputaran Thariqat, Mursyid dan Wasilah. Masalah
thariqat bagi sebagian awam masih ragu-ragu, apakah memang bagian dari ajaran
Islam atau suatu amalan yang diadakan oleh orang-orang sufi tanpa ada dasar
dalilnya. Karena pertanyaannya sebagian besar menginginkan dalil-dalil, maka kami
menjawabnya dengan dalil-dalil, sebagian besar kami ambil dari buku:
Permasalahan Thariqah, Hasil Kesepakatan Muktamar & Musyawarah Besar Jamiah
Ahlith Thariqah Al-Muktabarah Nahdlatul Ulama (1957-2005M), Penghimpun : K.H. A.
Aziz Masyhuri diterjemahkan oleh : Achmad Zaidun.

1.
Hukum Masuk Thariqah
Tanya : Bagaimana pendapat muktamirin tentang hukum masuk Thariqah dan
mengamalkannya?
Jawab : Jikalau yang dikehendaki masuk thariqah itu belajar membersihkan dari
sifat-sifat yang rendah, dan menghiasi sifat-sifat yang dipuji, maka hukumnya
fardhu ain. Hal iniseperti hadis Rasulullah Saw, yang artinya: Menuntut ilmu
diwajibkan bagi orang Islam laki-laki dan Islam perempuan. Akan tetapi kalau yang
dikehendaki masuk Thariqah Mutabarah itu khusus untuk dzikir dan wirid, maka
termasuk sunnah Rasulullah Saw. Adapun mengamalkan dzikir dan wirid setelah
baiat, maka hukumnya wajib, untuk memenuhi janji. Tentang mentalqinkan

(mengajarkan) dzikir dan wirid kepada murid, hukumnya sunat. Karena sanad
Thariqah kepada Rasulullah Saw, itu sanad yang shahih.
Keterangan dari kitab:
1.
Al-Maaarif al-Muhammadiyah, hal. 81;
2.
Al-Adzkiyaa
Al-adzkiyaa: Pelajarilah ilmu yang membuat sah ibadahnya.
Al-Maararifah al-Muhammadiyyah, hal. 81: Sanad para wali kepada Rasulullah Saw.
Itu benar (shahih), dan shahih pula hadis bahwa Ali ra. Pernah bertanya kepada
Nabi Saw. Kata Ali, Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan terdekat kepada
Allah yang paling mudah bagi hamba-hamba-Nya dan yang paling utama bagi
Allah! Rasulullah Saw. Bersabda, Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi
masih terdapat orang yang mengucapkan Allah. Dasar lainnya adalah firman Allah
Swt. Penuhilah janji, sesunggunhya janji itu akan diminta
pertanggungjawabannya. (Al-Israa; 34).

2.
Murid Pindah Thariqah

Tanya : Apakah boleh seorang murid Thariqah pindah dari satu thariqah kepada
Thariqah yang lain?
Jawab : Haram pindah dari satu Thariqah kepada Thariqah yang lain. Namun dapat
dikatakan : Boleh pindah, apabila dia dapat menetapi kepada Thaiqah yang sudah
dimasuki dan istiqamah (tekun) pada tuntunannya.
Keterangan dari kitab-kitab:2 )
1.
fataawa al-Haditsiyah, hal.50;
2.
majmuah al-rasail, hal. 114;

3.
ahkaamul Fuqaha, soal no. 173.
Al-fataawa al-hadiitsiyah, hal 50: Barangsiapa telah menyatakan baiat kepada
seorang mursyid, dan mampu melaksanakan isi baiatnya, dan telah mendapat
pancaran rohani darinya dengan sifat yang pertama dan kedua, maka haram
baginya menurut mereka (para ulama)-meninggalkan mursyid tersebut dan beralih
ke mursyid yang lain.
Majmuah al-rasaail,. Hal: 114: Ketahuilah bahwa Thariqah-Thariqah yang matsur,
yang masyhur, yang sanadnya bersambung dari para guru thariqah terdahulu
sampai belakangan adalah seperti empat madzhab dalam hal perpindahan dari satu
madzhab ke madzhab yang lain, yaitu boleh, dengan syarat bidang yang dimasuki
oleh orang yang berpindah madzhab itu harus utuh dengan senantiasa menetapi
tata kramanya.

3. Mursyid Melarang Muridnya Menerima Baiat dari Mursyid lain


Tanya : Apakah boleh seorang mursyid melarang sebagian muridnya menerima
baiat dari mursyid yang lain?
Jawab : Boleh, kalau di dalam melarang itu untuk mengarahkan murid pada apa
yang menjadikan kemaslahatannya.
Keterangan dari kitab:
Tanwiir al-quluub hal. 536: Yang kedua belas adalah mursyid tidak boleh lengah
dalam membimbing murid-muridnya kepada apa yang menjadikan kebaikan bagi
diri mereka.

4. Tidak Bersanad Mengajarkan Thariqah


Tanya : Apakah boleh orang yang tidak mempunyai sanad yang sambung kepada
Rasulullah Saw mengajarkan thariqah kepada murid? Apakah boleh memberi ijazah
kepadanya?
Jawab : Tidak boleh, kalau thariqah itu Thariqah Mutabarah seperti Thariqah
Naqsyabandiyah, Qadriyah, Khalidiyah, dan semacamnya, yaitu Thariqah yang
silsilahnya sampai kepada Rasullullah.

Keterangan dari kitab:


1.
Khaziinah Al-asraar, hal. 188.
2.
Ushuul al-Thariiq, hal. 89.
3.
Tanwir al-Quluub, hal. 534
Khaziinah Al-asraar, hal. 188: Orang yang silsilah/sanadnya tidak bersambung
kehadirat Nabi saw. Itu terputus dari pancaran rohani dan ia bukanlah pewaris
Rasullullah Saw. Serta tidak boleh membaiat dan memberi ijazah.
Ushuul al-Thariiq, hal. 89: Semua ulama salaf sepakat bahwa orang silsilahnya tidak
bersambung kepada guru-guru thariqah dan tidak mendapat izin untuk memimpin
umat di majlis thariqah, tidak boleh menjadi mursyid, tidak boleh membaiat, tidak
boleh mengajarkan dzikir dan amalan-amalan lain dalam thariqah.
Tanwir al-Quluub, hal. 534: tidak boleh menjadi guru thariqah dan mursyid kecuali
setelah mendapat penempaan dan izin, sebagaimana kata para imam, karena
sudah jelas bahwa orang yang menjadi guru thariqah tanpa mendapat izin itu
bahayanya lebih besar daripada kemashlatannya, dan ia memikul dosa sebagai
pembegal/penjambret thariqah, serta jauh dari derajat murid yang benar, apalagi
dari derajat guru thariqah yang arif.

5. Hukum Peringatan Haul (Hari Wafat)


Tanya : Apakah peringatan hari wafat (haul) termasuk bidah atau memang ada
nash dari hadis?
Jawab : Sesungguhnya peringatan hari wafat (haul) ada nash hadis dariperbuatan
Rasullullah Saw., Abu Bakar, Umar ra, dan utsman ra.
Keterangan dari kitab:
1.
Syaarah al-Ihyaa,X
2.

Kitab nahju al- balaaqhah, hal. 394-396.


3.
Kitab manaaqib sayyidi al-syuhada Hamzah ra., hal. 15.
Syaarah al-Ihyaa, juz X Yang menjelaskan ziarah kubur. Al-Baihaqi meriwayatkan
dari Al-Waqidi mengenai kematian, bahwa Nabi Saw. Senantiasa berziarah ke
makama para syuhada di bukit Uhud setiap tahun dan sesampainya disana beliau
mengucapkan salam dengan mengeraskan suaranya, Salaamunalaikum bimaa
shabartum fanimauqbaddaar (QS. Al-Rad: 24. Artinya: keselamatan tetap
padamu berkat kesabaranmu, maka betapa baiknya tempat kesudahan itu). Abu
bakar juga berbuat seperti itu setiap tahun, kemudian Umar lalu Utsman. Fatimah
juga pernah berziarah ke bukit Uhud dan berdoa. Sad bin Abi Waqqash
mengucapkan salam kepada para syuhada tersebut kemudian ia menghadap
kepada para sahabatnya lalu berkata, mengapa kamu tidak mengucapkan salam
kepada orang-orang yang akan menjawab salam mu?
Keterangan yang sama juga terdapat dalam kitab Nahju al- balaaqhah, hal. 394396, dan Kitab manaaqib sayyidi al-syuhada Hamzah ra. Oleh sayyid jafar al
Barzanji hal. 15: Rasulullah Saw. Senantiasa berkunjung ke makam para syuhada di
bukit Uhud pada penghujung setiap tahun dan beliau mengucapkan
Salaamunalaikum bimaa shabartum fanimauqbaddaar (Artinya: keselamatan
tetap padamu berkat kesabaranmu, maka betapa baiknya tempat kesudahan itu.
QS. Al-Rad: 24.). ini tepat sebagai dalil/dasar orang-orang madinah yang
melakukan ziarah rajabiyyah (pada bulan rajab) ke makam sayyidina Hamzah yang
di tradisikan oleh Syaikh Junaid al-MasyraI karena ia pernah bermimpi bertemu
dengan sayyidina Hamzah yang menyuruhnya melakukan ziarah tersebut.3)

6. Cara Rabithah kepada Mursyid dengan Tata Sila Kesembilan


Tanya : Bagaimana cara rabithah kepada syaikh mursyid yang disebut dalam tata
sila kesembilan dalam kitab Tanwiir al-Quluub tentang cara berdzikir?
Jawab : Cara rabithah yang ditanyakan tersebut yaitu menggambarkan rupa guru
antara dua matanya, kemudian menghadapkan jiwa kepada rohaniyah dalam
gambar itu pada permulaan dzikir sampai hasilnya merasa jauh dari dunia. Itulah
yang dikehendaki tata sila yang kesepuluh.
Keterangan dari kitab:
1.

Tanwiir al-Quluub, hal. 518.


2.
Al-Bahjah a-Saniyyah, 40.
Al-Bahjah a-Saniyyah, 40: Ketahuilah bahwa menghadirkan rabithah itu bermacammacam. Pertama, murid menggambarkan/ membayangkan rupa gurunya yang
sempurna di hadapannya, kemudian ia bertawajjuh (berkonsentrasi) kepada
rohaniyyah di dalam rupa gurunya tersebut dan terus bertawajjuuh seperti itu
sampai ia jauh dari dunia atau mendapatkan atsar/dampak kejadzaban.
Tanwiir al-Quluub, hal. 518: Murid wajib berusaha memperoleh pancaran rohani ari
gurunya yang sempurna yang fana di dalam Allah (larut/tenggelam di dalam sifatsifat ketuhanan pen), dan sering berkonsentrasi pada rupa gurunya agar semakin
kuat pancaran rohani yang diterima dari gurunya pada saat tidak bertemu secara
fisik seperti ketika bertemu secara fisik, sehingga dengan konsentrasi tersebut
murid merasakan gurunya benar-benar hadir dan merasakan nur yang sempurna

7. Ocehan Bahwa Thariqah tidak Termasuk Sunah Nabi


Tanya : Bagaimana hukumnya orang yang melarang orang masuk Thariqah
Mutabarah seperti Thariqah Naqsyabandiyah khalidiyyah, Qadiriyah, syathariyyah
dan sebagainya, dan dia berkata bahwa Thariqah tersebut tidak termasuk sunah
Rasulullah Saw.?
Jawab : Kalau tujuan melarang itu ingkar kepada thariqah maka orang itu menjadi
kufur.

Keterangan dari kitab:


Jaamiu al-ushuuli al-auliyaa,hal. 136: Jauhilah ucapan, Thariqah orang-orang sufi
itu tidak diajarkan dalam Al-Quran dan hadis, karena orang yang berkata seperti
itu adalah kafir. Semua thariqah orang-orang sufi itu sesuai dengan akhlak dan
perilaku Nabi Muhammad Saw.serta ajaran Allah.
Demikian jawaban yang kami berikan atas pertanyaannya, Jawaban yang kami kutip
langsung dari buku ini mudah-mudahan bisa menjawab beberapa pertanyaan yang
pernah diajukan oleh pengunjung, pada kesempatan lain akan kami lanjutkan lagi
tanya jawabnya, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi kami berikan jawaban
langsung via email.

Wassalam
Sufi Muda
http://sufimuda.wordpress.com/2008/05/07/7-tanya-jawab-tantang-thariqat/

hakikat tarekat naqsybandi haqqani



al-Hujjah al-Sathiah fi Bayan al-Thariqah
al-Naqsyabandiyyah al-Haqqaniyyah
(Argumentasi Cemerlang
dalam Menyingkap Hakikat
Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah yang benderang)
Oleh: H. Abbas Arfan Baraja, Lc., M.H.[1]
A. Islam dan Sufisme
Pengertian Sufisme.
Tasawuf atau Sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam Islam atau secara
keilmuan ia adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah
wafat.. Menurut Hakim Hassan dalam al-Tasawwuf fi Syiri al-Arab, istilah tasawuf
baru terdengar pada pertengahan abad kedua hijriyah dan menurut Nicholson
dalam bukunya al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi, pertengahan abad ketiga hijriyah.
[2]
Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab, Tasawwafa. Namun para ulama
berbeda pendapat dari mana asal usulnya (akar katanya). Ada yang mengatakan
dari kata Shuf (bulu domba), Shaf (barisan), Shafi/Shofa (jernih) dan dari kata
Shuffah (emper Masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian shahabat Nabi saw.).
Pemikiran masing-masing pihak itu dilatarbelakangi obsesinya dan fenomena yang
ada pada diri para sufi.[3]
Dan Imam al-Qusyairi[4] dalam hal ini memberikan komentarnya yang dinukil
Shodiq bin Hasan al-Qonuji dalam kitabnya Abjad al-Ulum al-Wasyi al-Marqum fi
Bayani ahwal al-Ulum sebagai berikut:
: : - -
: : :

[5].
Imam al-Qusyairi RA berkata: Tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa kata benda

ini ( tasawwuf) adalah berakar kata dari bahasa arab juga tidak dianalogikan dari
bahasa arab. Secara lahiriyah itu hanya laqab (julukan) saja, adapun pendapat yang
mengatakan bahwa kata (tasawwuf) itu berasal dari kata shofa atau shuffah adalah
sangatlah jauh dari sudut pandangan qiyas (analogi) ilmu bahasa, begitu juga orang
yang berpendapat bahwa itu berasal dari kata Shuf adalah tidak berdasar, karena
mereka para sufi tidak mengkhususkan harus memkai pakaian dari shuf (bulu
domba). Walau memang mereka pada umumnya memakai pakaian dari wol itu
karena mereka ingin memakai pakaian yang yang tidak menunjukan kebanggaan
atau kemewahan seperti umumnya orang-orang, lantas mereka yang sebagai besar
memakai pakaian sedarhana itu (bahkan rendah dan hina pada masa itu) terkenal
dengan sifat zuhud, uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian dan memfokuskan
diri pada beribadah, maka orang-orang menjuluki mereka dengan istilah sufi
(sebagai identitas) yang mudah dari apa yang orang-orang ketahuai.
Secara terminologispun banyak dijumpai definisi yang berbeda-beda, yang oleh
Syekh Yusuf al-Rifai[6] dianalisa mencapai lebih kurang dua ribu definisi[7] dan
yang paling simpel menurutnya adalah definisi tasawuf yang dibuat oleh Ibn
Ajibah[8], yaitu:

Kesungguhan tawajjuh (ibadah) kepada Allah dengan melaksanakan apa-apa yang
diridloi-Nya sesuai dengan apa yang diridloi-Nya (diingini-Nya)
Al-Qonuji mendefinisikan tasawuf dengan;
]
[9
Sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana meningkatkan derajat kesempurnaan
sebagai manusia dalam tingkatan-tingkatan kebahagiaan dan persoalan-persoalan
yang menghadang (ujian) dalam upaya meningkatan derajat tersebut sesuai
dengan kemampuan manusia.
Dari sekian definisi yang ada dapat dikatakan, bahwa tasawuf adalah moralitas
Islam yang pembinaannya melalui proses tertentu (mujahadah dan riyadlah)
dengan tetap berpegang teguh pada syariat Islam.
2. Kedudukan Tasawuf dalam Ajaran Islam.
Dan sufisme adalah bagian dari syariah Islamiyah, yakni wujud dari Ihsan, salah
satu dari tiga kerangka ajaran Islam. Dua sebelumnya ialah Iman dan Islam. Oleh
karena itu perilaku sufi harus tetap berada dalam kerangka syariah Islam. alQusyairi mengatakan: Seandainya kamu melihat seseorang yang diberi
kemampuan khusus (keramat), sehingga ia bisa terbang di angkasa, maka jangan
terburu tergiur padanya, sehingga kamu melihat bagaimana dia menjalankan
perintah, meninggalkan larangan menjaga hukum yang ada.[10]
Sebagaimana dikatakan bahwa tasawuf adalah identik dengan Ihsan. Dalam hadits

Nabi SAW dalam Sahih Muslim, Hadits No. 09;[11] arti ihsan ialah:

Beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, jika kalian tidak bisa melihatNya, maka harus diketahui bahwa Dia melihat kita.
Pernyataan ini mengandung makna ibadah dengan penuh ikhlas dan khusyu,
penuh ketundukan dengan cara yang baik.[12] Namun dalam pandangan penulis
Hadits di atas mengindikasikan ada dua maqam (tingkatan) dalam beribadah, yaitu:
pertama, maqam musyahadah; mampu melihat Allah dengan mata hati atau ilmu
pengetahuan yang dimiliki. Kedua, maqam muraqabah; mampu menghadirkan Allah
dalam kesehariannya, sehingga memunculkan rasa diawasi Allah. Kedua maqam itu
sama-sama akan memberikan dampak khusu dalam beribadah. Dan ilmu tasawuf
berusaha mencapai kedua maqam itu dan maqam-maqam yang lain.
Ihsan meliputi semua tingkah laku muslim, baik tindakan lahir maupun tindakan
batin, dalam ibadah maupun muamalah, sebab ihsan adalah jiwa atau roh dari iman
dan islam. Iman sebagai pondasi yang ada pada jiwa seseorang dari hasil
perpaduan antara ilmu dan keyakinan, penjelmaannya yang berupa tindakan
badaniah (ibadah lahiriah) disebut Islam. Perpaduan antara iman dan islam pada
diri seseorang akan menjelma dalam pribadi dalam bentuk akhlak al-karimah atau
disebut ihsan[13] sebagaimana tersebut dalam surat Luqman/31: 22.
Oleh karena itu, maka kedudukan tasawuf dalam ajaran Islam adalah sebuah bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Karena memang dasar
rujukan dalam tasawuf adalah al-Quran, al-Sunnah dan al-Atsar (peninggalan) para
ulama terpercaya.[14] Maka dalam keyakinan ini pula, Imam al-Syatibi dalam
kitabnya al-Itisham membela mati-matian tasawuf dan para sufi dari tuduhan
orang-orang yang menuduhnya sebagai ilmu yang keluar dari syariat Islam dan
membersihkan para sufi dari julukan sebagai ahli bidah, bahkan beliau sebaliknya
menjuluki orang yang menolak tasawuf dan para sufi sebagai orang bodoh yang ahli
bidah. Dan beliau menegaskan bahwa para sufi adalah orang selalu menimbang
awal perbuatan dan perkataannya dengan itba sunnah Nabi dan menjauhi segala
yang dilarang dan bertentangan dengan sunnah Nabi.[15]
Dukungan dan pembelaan terhadap tasawuf dan sufi tidak hanya datang dari Imam
Syatibi sendirian, namum hampir sebagian besar ulama tradisional dan modern pun
turut memperkuat barisan ini, seperti dituliskan Syekh Yusuf al-Rifai dalam bukunya
bahwa diantara ulama-ulama tradisional (salaf) yang mendukung tasawuf dan para
sufi adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Abdul Qahir al-Bagdadi, Imam Ghazali, Imam al-Razi, Imam Izzuddin Abd.
Salam, Imam Nawawi, Imam Taj al-Din al-Subki, Imam Suyuthi dan lain-lain.
Sedangkan dari kalangan ulama kontemporer, Syekh Yusuf al-Rifai mencantumkan
fatwa-fatwa mufti timur tengah, yaitu: Syekh Muhammad al-Sayid al-Thanthawi
(Syekh al-Azhar yang mantan mufti Mesir), Syekh Ahmad Kaftar (Mufti Suriah),
Syekh Muhammad bin Ahmad Hasan al-Khozrazi (mantan menteri wakaf dan urusan
Islam Uni Emirat Arab), Syekh Nuh Salman (Mufti militer Yordania), Stekh Hasan
Kholid (Mufti Lebanon) dan Syekh al-Sayid Muhammad Abd. Rahman bin Syekh Abu

Bakar bin Salim (Mufti Juzur Qamar).[16]


Oleh karenanya, apabila tasawuf diperbandingkan dengan teologi, maka keduaduanya mempunyai kesamaan tujuan, yakni marifatullah (mengenal Allah), hanya
saja berbeda dalam yang ditempuh. Teologi melalui pembuktian yang dapat
diterima rasio, sedang tasawuf secara langsung dengan mata hati. Teologi
mengkonstruksikan dan memahami keyakinan melalui rasio, sedang tasawuf
berusaha merasakan keyakinan itu dengan Qalb (hati nurani). Adapun
perbandingan dengan ilmu fiqh, kedua-duanya sama-sama membicarakan
bagaimana berkomunikasi dengan Allah SWT. hanya bedanya, fiqh lebih
menitikberatkan pada lahiriah sedang tasawuf pada batiniyah. Fiqh memakai
pendekatan legal formal, sedang tasawuf berbicara pada hakikat sesuatu dan
memberi makna terhadap perilaku lahir itu dengan ikhlas dan menghindarkan diri
dari sifat-sifat tercela. Meskipun demikian, secara keilmuan ketiganya dapat
dibedakan dalam aspek metode, obyek dan tujuan, namun secara ideal ketiganya
menyatu dalam pribadi secara utuh. Sehingga dapat diwujudkan akidahnya benar,
ibadahnya benar serta dapat terselamatkan dari sifat-sifat tercela dan berhias
dengan sifat-sifat terpuji.[17]
AI-Hujwiri menyatakan. bahwa sufi adalah sebuah nama yang diberikan kepada
wali-wali dan ahli-ahli kerohanian yang sempurna. Pengikut sufi ada tiga derajat,
yaitu sufi, mutasawwif dan mustaswif. Sufi adalah yang mati pada dirinya dan hidup
oleh Kebenaran: ia bebas dari batas-batas kemampuan manusiawi dan benar-benar
telah sampai kepada Tuhan. Dan Mutasawwif adalah orang yang berusaha keras
untuk mencapai tingkatan ini dengan cara menundukkan hati dan hawa nafsu
(mujahadah) dan dalam pencariannya ia meluruskan tingkah lakunya sesuai dengan
teladan mereka (para sufi). Sedanggkan Mustaswif adalah orang yang membuat
dirinya secara lahiriah serupa dengan mereka (sufi-sufi) untuk sekedar mencari
uang, kekayaan, kekuasaan serta keuntungan-keuntungan duniawi, tapi sedikitpun
tidak mempunyai pengetahuan tentang kedua hal ini (kesufian dan tasawuf). Kaum
sufi yang beutujuan mencari Tuhan menyebut dirinya sebagai pengembara (salik) la
meningkat secara perlahan melalui tahap-tahap (maqomat) setelah melalui
sejumlah lintasan (thuruqot) guna mencapai tujuan bersatu dengan kenyataan (alHaqq).[18]
Namun dalam pandangan penulis, istilah sufi dan mutaswwif adalah sama. Karena
sama-sama orang yang sedang salik/berjalan menuju Allah SWT dengan melakukan
mujahadah lahir dan batin dalam mendapatkan posisi yang dekat dengan Allah
SWT. Dan dalam literatur klasik tidak ditemukan perbedaan antara dua istilah di
atas, baru kemudian pada literatur modern ada upaya penjelas atau pembeda
dengan munculnya tiga istilah di atas. Walau pada hakikatnya kita sulit
membuktikan bahwa seseorang yang nyamar sebagai seorang sufi atau
mutasawwif yang di sebut mustaswif itu bisa kita tuduhkan pada seseorang yang
secara lahiriah seakan-akan ia mengeruk keuntungan duniawi dengan baju sufi,
karena kita hanya bisa melihat secara lahiriyah dan batiniah seseorang kita tidak
tahu.
Tasawuf atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang diletakkan oleh Tuhan untuk

menunjukkan kehidupan rohani sesuai dengan ajaran AI-Quran. Tasawuf menarik


kembali manusia dari keadaan assfala safilin yang hina dalam rangka mengembalikannya ke dalam kesempurnaan.. Jalan mistik, sebagaimana lahir dalam
bentuk tasawuf, adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan
nafsunva dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanva
mengalami persatuan dengan Yang Benar (al-Haqq). Ajaran-ajaran sufi berkisar di
sekitar dua ajaran dasar; tentang kesatuan transenden wujud dan manusia
universal atau manusia sempurna. Menjadi seorang wali dalam Islam adalah dengan
melaksanakan semua kemunginan dari keadaan manusia menjadi insan kamil. [19]
3. Sejarah Munculnya Tasawuf dan Sufi.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa menurut sebagain besar ahli sejarah
mengatakan bahwa pada pertengahan abad kedua atau dipenghujung abad kedua
adalah masa di mana munculnya istilah tasawuf dan sufi, walau hakikatnya secara
praktis dan realita lapangan prilaku yang mencerminkan kesufian, -seperti
ketawakalan, kesabaran dan rajin beribadah bahkan cenderung tajarrud/tajrid[20]
(totalitas) dalam beribadah sehingga terkesan mengenyampingkan
mutasabbib/kasab (bekerja) untuk kehidupan dunia- itu sudah ada sejak era
sahabat yang hidup bersama Rasul SAW.
Mereka adalah adalah sahabat Nabi SAW yang tinggal dan hidup di emper masjid
Nabawi yang populer di kenal sebagai Ahl Suffah. Dan Nabi SAW men-taqrir
(mendiamkan tanda setuju) apa yang dilakukan Ahl Suffah yang tajrid dalam ibadah
dan tidak mutasabbib (tidak bekerja). Hal itu dikarenakan Nabi SAW melihat mereka
kuat dan bisa mengambil manafaat dari ke-tajridan tersebut. Di samping Nabi SAW
pun men-taqrir prilaku sebagian sahabat yang lain yang tidak tajrid tapi mutasabbib
dalam mencari rizqi Allah SWT, karena memang Nabi SAW melihat hal itu lebih
cocok bagi jenis sahabat yang tidak tinggal di emper masjid.[21]
Senada dengan hal tersebut di atas, al-Qonuji menukil pendapatnya Imam alQusyairi bahwa hakikatnya tasuwuf dan sufi sudah lahir sejak lahirnya Islam itu
sendiri, namun orang yang hidup pada generasi pertama bersama Nabi SAW tidak
disebut kaum sufi, tapi sahabat Nabi SAW, karena tidak ada julukan yang paling pas
dan mulia bagi mereka selain sebutan sahabat Nabi SAW. Begitupun bagi generasi
kedua yang di kenal dengan nama tabiin. Inilah perkataan Imam Qusyairi yang
dinukil al-Qonuji dalam bukunya;
- - :
: . - -
. : . .
- -
[22] . .
Imam al-Qusyari berkata: Ketahuilah bahwa kaum muslimin sepeninggal
Rasulullah SAW tidak dijuluki dengan julukan yang mencerminkan keutamaan
mereka pada masa itu dengan nama selain nama para sahabat Nabi SAW, karena
tidak ada nama yang lebih utama dan mulia selain nama tersebut. Begitu juga bagi

generasi kedua, yaitu orang-orang yang belajar dan hidup bersama para sahabat
tidak dinamai selain nam tabiin. Namun pada generasi berikutnya (ketiga) saat
kaum muslimin sudah berbeda-beda (kekutan iman dan ibadahnya), maka orang
yang khusus yang teguh memegang dan mengamalkan agamanya dikenal dengan
sebutan zuhhad (jamaknya zahid; orang yang zuhud) dan Ubbad (jamaknya abid;
orang yang ahli ibadah). Kemudian bidah meluas di mana-mana dan saling
membanggakan golongannya masing-masing; setiap kelompok mengklaim bahwa
mereka memilki orang-orang zahid dan abid. Oleh sebab itu sebagian orang khusus
(zahid atau abid) dari golongan ahlus sunnah wal jamaah yang hanya mencari ridlo
Allah SWT dan selalu menjaga hatinya dari bisikan-bisikan yang melalaikan Allah
SWT, maka mereka inilah yang disebut kaum sufi yang mengamalkan ilmu tasawuf
sehingga nama ini mulai terkenal dan melekat pada tokoh-tokoh sufi sejak sebelum
abad kedua Hijriah.
Imam Ibn Kholdun[23] pun berpendapat sama dengan Imam al-Qusyairi; yang
pendapat beliau dinukil al-Qonuji dalam kitabnya:
: :
[24] .
Abdurahman bin Kholdun berkata: Ilmu (tasawuf) ini termasuk bagian dari ilmu
syariat yang baru lahir dalam Islam (baru dalam pengertian menjadi sebuah ilmu
yang teoritis dan independen-penulis). Dan pondasi yang membentuknya adalah
mereka (para sufi) adalah orang-orang yang berpegang ada prilaku tokoh-tokoh
umat Islam, yaitu para sahabat dan tabiin.
Memang mengenai asal-usul atau timbulnya sufisme dalam Islam. terdapat
berbagai teori yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan pengaruh ajaran Kristen
dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Atau
ajaran filsafat mistik Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi
berkontemplasi juga dipandang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam
Islam. Demikian pula filsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini
memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan, dan karena
pengaruh dunia materi roh menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke alam asalnya
roh terlebih dahulu harus dibersihkan dengan meninggalkan dunia dan mendekati
Tuhan sedekat mungkin, kafau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan, filsafat ini
mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum wihdah al-wujud (manunggaling
kawula-Gusti) dan sufi dalam Islam. Bahkan ajaran Buddha dengan faham
nirwananya dan ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan
dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Tan Brahman
juga dianggap berpengaruh terhadap sufisme Islam. Namun penelitian modern
telah membuktikan bahwa asal-usul sufisme tidak dapat dilacak hanya melalui satu
lintasan tunggal saja. Sufisme adalah sesuatu yang rumit, tak ada jawaban yang
bersahaja. Ada pengaruh-pengaruh non Islami, Nasrani, Neoplatonisme,
Gynostisisme dan Buddhisme dan pengaruh eksternal itu bisa saja terjadi. tetapi

laku tasawuf itu sebenarnya telah inheren dalam ajaran Islam. Dalam Al Quran
Tuhan menerangkan diri-Nya sebagai al-Dzahir (Lahir) dan yang al-Bathin (Batin).
Karena itu. semua realitas dari dunia ini juga memilki aspek lahir (eksoteris) dan
batin (esoteris). Dalam Islam dimensi batin atau esoteris dari wahyu ini sebagian
besar berhubungan dengan tasawuf.[25]
Maka dari sudut pandang Islam; Tasawuf seperti al-din atau al-Islam dalam
pengertiannya yang universal adalah abadi dan sekaligus universal. Hal ini tidak
berarti bahwa adalah mungkin melaksanakan tasawuf di luar kerangka Islam.
Tasawuf yang bisa dilaksanakan secara sah harus merupakan sesuatu yang
bersumber dari wahyu AI-Quran. Seseorang tidak dapat melaksanakan esoterisme
Buddha dalam konteks syariat Islam atau sebaliknya.[26] Dan kalau ada persamaan
antara ajaran tasawuf dengan ajaran agama lain; baik dengan ajaran agama
samawi (seperti, Yahudi dan Kristen) atau non samawi (seperti, Hindu dan Budha)
itu adalah sesuatu hal yang tidak mustahil terjadi. Ajaran Islam saja dengan ajaran
samawi lainnya bukankah memilki kesamaan sumber, yaitu sama-sama bersumber
dari Allah SWT, bukankah ibadah dalam Islam seperti khitan, kurban, haji, puasa
dan lain-lain adalah warisan dari ibadah umat terdahulu. Adapun adanya
persamaan ajaran tasawuf dengan ajaran agama non samawi itu adalah sebuah
kebetulan saja; bukankah cara berpakaian para biksu agama Budha sama persis
dengan orang yang sedang berpakaian kain ihram untuk ibadah haji atau umrah,
yaitu sama-sama dari dua helai kain tidak berjait dan sama-sama membuka lengan
kanan dalam memakainya, walau ada perbedaan tapi dari warna kainnya saja. Lalu
apakah langsung kita katakan bahwa haji dan umrah adalah dipengaruhi ajaran
Budha?
Lalu siapakah yang di maksud para sufi atau mutasawwif pada zaman sekarang ini?
Ada analisa dan ungkapan menarik dan sederhana yang disampaikan Syekh Yusuf
al-Rifai dalam bukunya ketika mendiskripsikan siapakah yang bisa di sebut sufi pada
masa ini. Beliau menulis dalam pengantar bukunya al-Sufiyah wa al-Tasawwuf fi
Dlau al-Kitab wa al-Sunnah sebagai berikut;
Julukan sufi, jika dimutlakkan pada zaman sekarang ini, maka yang dimaksud
adalah mayoritas kaum muslimin yang bertaqlid pada salah satu Imam empat
mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) dalam masalah al-Furu (mazhab fiqh)
dan secara ushul (aqidah) mengikuti pada salah satu dari beberapa ulama salaf
yang salih, maka sebagian mereka berpegang teguh pada prinsip teologi Imam Abu
Hasan al-Asyari yang menjadi pegangan hampir sebagian besar golongan ahlus
sunnah wal jamaah di hampir seluruh penjuru dunia. Prinsip ajaran mazhab ahlus
sunnah wal jamaah ini (yang bermazhab fiqh pada salah satu Imam empat mazhab
dan berteologi dengan teologi Asyariyyah) adalah ajaran yang sampai sekarang di
ajarkan dan dipraktekkan di hampir sebagian besar negara Islam, seperti
Universitas al-Azhar Mesir, kecuali lembaga-lembaga pendidikan Islam di negara
Saudi Arabia atau negara lain yang dalam naungan dan bantuan saudi Arabia yang
berpegangan pada prinsip ajaran Islam yang digagas oleh Syekh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan para pengikutnya (Wahhabiyyah) yang menamakan diri dengan
nama al-Dawah al-Salafiyyyah. Identitas sufi atau sufiyyah pada zaman ini juga

identik dengan kaum muslimin yang merayakan peringatan-peringatan hari besar


Islam bahkan menjadi hari libur nasional, seperti peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW, Isra miraj dan lain-lain. Di samping itu mereka tetap menjaga
tradisi ziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW setelah atau sebelum ibadah
haji, mengkhatamkan al-Quran saat ada kematian, menggunakan hitungan tasbih
dalam berzikir pada Allah (atau bershalawat pada Nabi SAW), mentalqin mayit (saat
naza dan baru selesai dikuburkan), berziarah kubur (pada orang tua, kerabat dan
sesama muslim) saat hari raya atau momentum lainnya untuk menganbil pelajaran
kematian (kesadaran akan tibanya ajal) dan menghadiahkan pahala baca al-Quran
(atau tahlil, tasbih, takbir, shalawat dan lainnya) pada arwah-arwah mereka dan
masih banyak lagi prilaku-prilaku keagamaan yang telah membudaya dan
mentradisi di tengah masyarakat Islam sejak jaman lampau (sebelum munculnya
wahabiyyah dan tidak ada penolakan dari ulama-ulama besar saat itu dan hal ini
terus bertahan sampai sekarang walau mendapat rongrongan dan penolakan kaum
wahabiyyah). Walhasil tradisi sufi ini adalah tradisi mayoritas umat Islam (maka
hakikatnya mayoritas umat Islam adalah para sufi) dan mayoritas umat Islam ini
dalam Hadits Nabi SAW disebut dengan al-Sawad al-Aadlom. Dan Nabi SAW
memerintahkan umatnya untuk tetap berada pada barisan al-Sawad al-Aadlam:
Alaikum bi al-Sawad al-Aadlom![27]
B. Sufisme dan Gerakan Tarekat
1. Pengertian Tarekat
Kata Tarekat di ambil dari bahasa arab, yaitu dari kata benda thoriqoh yang secara
etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat dalam terminologis
(pengertian) ulama sufi; yang dalam hal ini akan saya ambil definisi tarekat
menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi[28] dalam
kitab Tanwir al-Qulub-nya[29] adalah;
Tarekat adalah beramal dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah
(berat) daripada yang rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat
yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri
dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah
SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh
atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang
semuamnya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang
guru/syekh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi
seorang Syekh/Mursyid).[30]
Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan
syariat Islam secara azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti
rokok ada yang berpendapat haram dan makruh, maka lebih memilih yang haram)
dengan mengerjakan semua perintah baik yang wajib atau sunah; meninggalkan
larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah
(boleh secara syariat) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat; minimal manfaat

duniawiah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna
menunjukan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (marifatullah), maka
posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui
jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat
jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum
diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat apalagi jika kita tidak
membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam tarekat tidak hanya membimbing
secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai
mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT.
Dengan bahasa yang lebih mudah, tarekat adalah sebuah kendaraan baik berupa
bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya
izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan
beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.
Tasawuf dapat dipraktekkan dalam setiap keadaaan di mana manusia menemukan
dirinya, dalam kehidupan tradisional maupun modern. Tarekat adalah salah satu
wujud nyata dari tasawuf. Ia lebih bercorak tuntunan hidup praktis sehari-hari
daripada corak konseptual yang filosofis. Jika salah satu tujuan tasawuf adalah alWushul ila Allah SWT (sampai kepada Allah) dalam arti marifat, maka tarekat
adalah metode, cara atau jalan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan
tasawuf tersebut. [31]
Tarekat berarti jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara
menyucikan diri, atau perjalanan yana ditempuh oleh seseorang untuk
mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Orang yang bertarekat harus
dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau Syaikh. Syaikh atau
mursyid inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan
lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi perantara
(washilah) antara murid dan Tuhan dalam beribadah. Karena itu, seorang Syaikh
haruslah sempurna dalam ilmu syariat dan hakekat. Di samping itu, untuk (dapat)
wenjadi guru, ustadz atau Syaikh diperlukan syarat-syarat tertentu yang
mencerminkan sikap orang tua yang berpribadi akhlak karimah dan budi pekerti
yang luhur.[32]

Anda mungkin juga menyukai