Anda di halaman 1dari 4

Pentingnya Ruang Terbuka Hijau di Ibukota

Cara pandang melihat permasalahan kota Jakarta sangat menentukan


perencanaan peruntukan penggunaan lahan yang akan berimplikasi
pada sektor lain, terutama pada sektor lingkungan.
Jakarta sedang melakukan bunuh diri ekologi, demikian kata para ahli
lingkungan. Kualitas lingkungan di ibukota Republik Indonesia ini begitu
buruk. Bahkan menurut data dari Kementerian Lingkunan Hidup, DKI
Jakarta selama dua tahun berturut-turut menempati urutan terendah
dalam Indeks Kualitas Lingkunan Hidup (IKLH).
Pada tahun 2012, polutan karbon dioksida yang dihasilkan dari seluruh
aktivitas di Kota Jakarta mencapai 686.864 ton per tahun. Dari jumlah itu,
sebagian besar atau sekitar 80% sumber pencemaran udara berasal dari
sektor transportasi dan industri. Sisanya sebesar 20% berasal dari
industri serta limbah domestik. Selain kualitas udara, ternyata kualitas air
juga sangat bermasalah. Di musim kemarau, Jakarta kekeringan.
Permukaan tanah turun 2-8 sentimeter per tahun. Intrusi air laut sudah
menjangkau kawasan Monas. Bahkan saat banjir besar Februari lalu,
sekitar 60 persen wilayah kota kebanjiran.
Polusi berefek negatif terhadap kesehatan, minimal akan terserang
penyakit anemia dan infeksi saluran pernafasan atas (ispa). Efek negatif
bagi anak-anak adalah mengalami gangguan kemampuan berpikir, daya
tangkap lambat, dan tingkat IQ rendah. Pada masa pertumbuhan fisik
akan berdampak pada gangguan pertumbuhan dan pendengaran.
Sedangkan bagi orang dewasa, dampak polusi dapat mempengaruhi
sistem reproduksi atau kesuburan, mengganggu fungsi jantung, ginjal,
paru-paru dan menyebabkan penyakit stroke, serta kanker. Diperkirakan,
pada 1998 warga Jakarta harus mengeluarkan biaya hingga Rp 1,8
triliun untuk mengobati penyakit yang disebabkan polusi udara. Angka itu
diperkirakan meningkat menjadi Rp 4,3 triliun pada tahun 2015 nanti
apabila tidak segera dilakukan tindakan pencegahan.
Penyebab terbesar dari kemerosotan kualitas lingkungan di DKI Jakarta
adalah berkurangnya daerah resapan air, menyusutnya areal terbuka
hijau (RTH), kerusakan area terbuka biru (sungai, situ, saluran air, dan
perairan pantai) eksploitasi air bawah tanah yang berlebihan, abrasi
pantai akibat berkurangnya hutan mangrove di pantai utara, sistem
drainase kota yang buruk, serta pengelolaan sampah dan limbah yang
belum baik dan benar.

Hal ini sungguh sangat disayangkan, karena Jakarta pernah punya


rencana tata kota yang sangat pro-lingkungan, yaitu Rentjana Induk
Djakarta 1965-1985, yang sekaligus masterplan pertama kota ini. Dalam
masterplan tersebut semua masalah krusial Ibukota sudah disebut. Pada
urutan pertama adalah banjir; kemacetan lalu lintas; perumahan dan
fasilitas kota lainnya; kebersihan; dan masalah tanah. Dalam masterplan
itu juga sudah disebutkan buruknya tata perairan kota, mulai dari kali
yang dangkal dan sistem drainase buruk.
Untuk melindungi alam Jakarta yang rawan banjir itulah, direncanakan
konsep sabuk hijau atau yang disebut greenbelt. Berupa ruang terbuka
hijau seluas 37,2 persen dari luas Jakarta merupakan konsep yang
sangat ideal. Dalam masterplan tersebut digambarkan ruang hijau di
Jakarta akan mengontrol pengendalian pembangunan kota, selain
menjadi ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan air
dan paru-paru kota, yang bisa berbentuk pohon, situ atau danau, taman
kota, hutan kota, dan jalur hijau, yang mengelilingi Jakarta seperti bentuk
tapal kuda.Artinya, masalah lingkungan akan bisa terkendali.
Kawasan Gelora Bung Karno dan Monas adalah bagian dari sabuk
hijau.Greenbelt juga berfungsi melindungi jalan utama, Gatot Subroto,
Ahmad Yani, hingga Cawang sampai Grogol,
Sayangnya, rencana awal yang sangat pro-lingkungan ini tidak
diteruskan dalam masterplan berikutnya. Terbukti dalam Rencana Tata
Ruang 1985-2005, target ruang terbuka hijau turun menjadi 25,85
persen. Bahkan dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah 2000-2010
target ruang terbuka hijau tinggal 13,94 persen. Kini ruang terbuka hijau
yang benar-benar ada mungkin tak sampai 10 persen dari total luas
Jakarta.
Memang, pertambahan penduduk kota dan pembangunan sering disebut
sebagai alasan berkurangnya RTH. Menurut masterplan 1965-1985,
penduduk Jakarta hanya ditargetkan sekitar enam juta jiwa, sedangkan
pada 2010 sudah dua kali lipat dan akan terus meningkat selama 10
tahun kedepan. Sehingga perencanaan wilayah Jakarta saat ini banyak
berorientasi mengenai peningkatan fasilitas kebutuhan dimasa yang
akan datang berdasarkan konsep tren perkembangan penduduk
tersebut. Dampaknya adalah kebutuhan ruang semakin meningkat, dan
lahan hijau yang menjadi resapan air juga semakin berkurang.Namun
pertambahan penduduk dan laju pembangunan sebenarnya tidak bisa
dijadikan alasan penurunan drastis ruang terbuka hijau.
Peta berikut menunjukkan bahwa zona berwarna ungu merupakan area
perdagangan atau diperuntukkan untuk kegiatan komersil, pemerintahan
dan sedangkan zona kuning merupakan peruntukan lahan untuk
2

pemukiman dan zona hijau merupakan peruntukan untuk kawasan


terbuka hijau budidaya.

Peta Rencana Pemanfaatan Pola Ruang Jakarta 2010-2030


menggambarkan bahwa pusat kegiatan perdagangan, pemerintahan dan
jasa berada di pusat kota dan dikelilingi oleh pemukiman. Pusat kegiatan
yang memicu tingginya bangkitan lalu lintas berpusat ditengah kota,
maka tidak heran pusat kota Jakarta semakin terkepung oleh arus
pergerakan lalu lintas menuju pusat kota. Dampaknya sudah bisa
dibayangkan bahwa kemacetan lalu lintas tentu semakin menjadi, jika
demikian, sebenarnya apa yang telah direncanakan untuk Jakarta
hingga tahun 2030?. Jika penggunaan lahan untuk 2030 saja
menunjukkan porsi ruang terbuka hijau yang sangat kurang, bagaimana
dengan Jakarta 2050? Apakah rencana untuk pengadaan ruang terbuka
hijau masih ada?.
Mengembalikan fungsi kota Jakarta sebagai ibukota negara Republik
Indonesia yang ramah terhadap masyarakat dan lingkungannya harus
menjadi dasar perencanaan kota Jakarta kedepannya. Pertanyaannya
apakah perencanaan fasilitas berdasarkan proyeksi jumlah penduduk
hingga 10 tahun masih relevan digunakan untuk menentukan
pemanfaatan lahan di Jakarta?

Perencanaan sekali lagi bukan perkara menyediakan kebutuhan


berdasarkan proyeksi jumlah penduduk yang terus bertambah,
melainkan perencanaan pengendalian pemanfaatan ruang untuk
mengelola pertumbuhan penduduk melalui strategi pemanfaatan ruang
eksisting secara maksimal
Beberapa hal yang dapat dijadikan strategi antara lain :
Distribusikan pusat-pusat pembangunan dan keramaian secara
merata pada wilayah-wilayah pinggiran dengan pembangunan
vertikal dan multi fungsi sehingga penduduk kota tidak perlu
melakukan perjalanan masal pada satu titik pusat kegiatan karena
setiap wilayah menyediakan fungsi dan pelayanan yang sama.
Tidak memberikan izin bagi pembangunan baru di pusat kota
Pemerintah harus menjadi penguasa dalam menentukan sebuah
daerah untuk dikembangkan menjadi apa, sesuai dengan
perencanaan tata kota dan bukan swasta yang menentukan fungsi
suatu bangunan. Sehingga pemerintah bisa meminta swasta
membangun ruang terbuka hijau bila dia hendak membangun di
suatu tempat.
Menjadikan kampung sebagai beranda/teras kota atau cagar
budaya atau tujuan wisata budaya sehingga kelak tidak ada lagi
kampung kumuh dengan menggiatkan kembali program perbaikan
kampung atau revitalisasi kampung tua, menjaga kelestarian
alamnya,
dan
mengembangkan
potensi
kegiatan
perekonomiannya.
Melakukan pembelian lahan (land banking) untuk ruang terbuka
hijau dan konsisten dengan perencanaan ruang terbuka hijau.
Akses transportasi masal yang nyaman melingkari kota Jakarta
Pembenahan kali dan saluran drainase serta membuat situ atau
embung sebagai tangkapan air
Penerapan car free day yang lebih menyeluruh dan
berkesinambungan waktunya (tidak terbatas pada hari minggu)
namun khusus untuk hari kerja yang boleh melintas hanyalah
kendaraan busway
Penerapan uji emisi kendaraan bermotor untuk setiap
perpanjangan STNK (minimal setiap 5 tahun sekali)
Bandar Lampung, November 2013
Ir. Tuti Sutiarsih, MT

Anda mungkin juga menyukai