1. Pendahuluan
Gerak pelayanan gereja dalam perjalanan sejarahnya selalu didorong oleh motifmotif dan paradigma-paradigma tertentu. Warneck, misalnya, melihat ada dua dasar misi
yang berpengaruh bagi gerak misi gereja yaitu yang bersifat adikodrati1 dan kodrati2
(Bosch 1997:6). Motif atau paradigma misi ini sangat berpengaruh bagi pola misi gereja
yang menganutnya. Bosch mengidentifikasi bahwa paradigma misi yang dianut pada
masa patristik Yunani adalah Yohanes 3:16 (Bosch 1997:327), kemudian pada abad
pertengahan paradigma misi yang dianut oleh Gereja Katolik Roma menurut Bosch
adalah Lukas 14:23 yang berbunyi, Lalu kata tuan itu kepada hambanya: Pergilah ke
semua jalan dan lintasan dan paksalah orang-orang, yang ada di situ, masuk, karena
rumahku harus penuh (Bosch 1997:327). Hal ini dapat dilihat dalam pertikaian
Agustinus dengan kaum Donatis. Menurut teks ini ia berpendapat bahwa kaum Donatis
harus dipaksa kembali ke kawanan Katolik (Bosch 1997:368). Teks ini kemudian juga
diberlakukan pada pertobatan paksa misalnya: Orang-orang Jerman Utara memaksa
tetangganya Jerman Timur dan Polandia Utara untuk masuk Kristen, Eropa Utara
1
Terdapat dua unsur: misi didirikan berdasarkan Kitab Suci (khususnya Amanat
Agung dari Matius 28:18-20) dan sifat iman Kristen yang monoteistik (Bosch 1997:6).
2
Dasar-dasar misi yang kodrati: (a) kemutlakan dan superioritas agama Kristen
dibandingkan dengan agama-agama lain; (b) bahwa kekristenan dapat diterima dan
diadaptasi kepada segala bangsa dan kondisi; (c) keberhasilan-keberhasilan yang unggul
dari misi Kristen di lapangan-lapangan misi; dan (d) kenyataan bahwa kekristenan, di
masa lalu dan sekarang, membuktikan dirinya lebih kuat daripada semua agama lainnya
(Bosch 1997:6-7).
1
oleh Theodore Beza pengganti Calvin di Geneva dan oleh Johanna Gerhard seorang
Lutheran (Bosch 1997:384).
Pada tahun 1792 William Carey menerbitkan sebuah buku yang berjudul: An
Enquiry into The Obligations of Christians, to Use Means for The Conversion of the
Heathens. Dalam buku tersebut Carey mempercayai bahwa Amanat Agung masih
berlaku. Ada tiga argumen yang diajukan oleh Carey (MDCCXCII:8-9) untuk
meyakinkan bahwa Amanat Agung masih berlaku yaitu,
FIRST, If the command of Christ to teach all nations be restricted to the
apostles, or those under the immediate inspiration of the Holy Ghost,
then that that of baptizing should be so too; and every denomination of
Christians, except the Quakers, do wrong in baptizing with water at all.
SECONDLY, If the command of Christ to teach all nations be confined to
the apostles, then all such ordinary ministers who have endeavoured to
carry the gospel to the heathens, have acted without a warrant, and run
before they were sent. Yea, and though God has promised the most
glorious things to the heathen world by sending his gospel to them, yet
whoever goes first, or indeed at all, with that message, unless he have a
new and special commission from heaven, must go without any
authority for so doing.
THIRDLY, If the command of Christ to teach all nations extend only to
the apostles, then, doubtless, the promise of the divine presence in this
work must be so limited; but this is worded in such a manner as
expressly precludes such an idea. Lo, I am with you always, to the end
of the world.
Paling tidak sejak masa itulah Matius 28:16-20 menjadi sebuah teks yang selalu
digunakan dan dirujuk ketika orang membicarakan masalah misi dan penginjilan. Misi
dan penginjilan selalu dikaitkan dengan Matius 28:16-20. Teks ini menjadi sebuah teks
yang ampuh untuk mendorong gereja, orang Kristen untuk terlibat ke dalam penginjilan.
Nissen (2003) menuliskan bahwa, The so-called Great Commission of Matth 28:16-20
remains to this day the most important element of motivating missionary paraenesis.
Demikian juga Bosch menyatakan bahwa, The so-called Great Commission,
3
particularly in its Matthean form (Mt 28:19-20), has always been a powerful inspiration
to Protestant mission (1983:218). Tentu tidak salah untuk menjadikan teks ini sebagai
dasar bagi penginjilan, namun tentunya tidak salah juga untuk memberi penafsiran dari
sisi lain terhadap teks ini dengan memperhatikan konteks Indonesia.
Kedua, merupakan sebuah kenyataan bahwa teks Matius 28:16-20 paling tidak
sampai pada masa William Carey tidak pernah menjadi sebuah dasar bagi misi yang
dominan atau dalam bahasa Ulirch Luz menjadi Magna Carta of Mission (Pathrapankal
2004). Sebagaimana diungkapkan oleh Lesslie Newbigin3,
It has, at least in Anglo-Saxon Protestant circles, come to be seen as
the essential mandate for mission and has often been taken in
isolation from other texts that we have been considering in these
studies. Harry Boer, in his valuable book Pentecost and Mission, has
demonstrated the fact that this text was never used as the basis for
missions until the time of William Carey (1987:32, bnd. Guder 2005:4).
Demikian juga menurut Boer sebagaimana yang dikutip oleh Nissen,
. . . That nowhere in the New Testament does the Great Commission
play a role concomitant to the role it played in modern Western
mission. The decisive initiating factor for mission in the early church
was not obedience to a command, but the activity of the Holy Spirit
since Pentecost (2003).
Artinya bahwa pemahaman pada sebuah teks itu dinamis, berkembang sesuai dengan
dinamika perkembangan zaman. Teks itu sendiri tetap, tidak berubah, tetapi cara
memahaminya yang berubah, tidak terkecuali pemahaman tehadap teks Matius 28:16-20,
perlu memahaminya dalam pengertian yang lebih utuh atau holistik dan yang relevan
dengan konteks zamannya maupun konteks teksnya. Tentu hal ini tidak bermaksud untuk
menafsirkan teks keluar dari konteksnya dan juga tidak bermaksud untuk memaksakan
teks untuk konteks zamannya. Namun, sebuah re-aplikasi berita teks Alkitab pada situasi
Setelah periode gereja perdana, ternyata kurang lebih selama 1000 tahun tidak
ada misi dan tidak ada anggapan yang menonjolkan Mat 28:16-20 sebagai Amanat
Agung. Mereka yang mempelajari sejarah Misi tentu maklum bahwa Mat 28:16-20 baru
disebut-sebut pada zaman pasca reformasi di daerah-daerah berbahasa Jerman dan baru
dilihat sebagai Amanat Agung pada abad ke-19 di dunia Anglo-Saxon, dan tidak
kebetulan bahwa pemahaman ini bertepatan dengan kejayaan imperialisme Barat
(Singgih 1993:26).
5
yang baru yang mempunyai tantangan dan permasalahannya sendiri tentunya sangat
diperlukan.
Ketiga, menurut beberapa sarjana teks Matius 28:16-20 telah dipahami keluar dari
konteksnya. Nissen mengatakan, . . . the text has been misused and/or used out of
context. The text is mostly understood to be about sending people out in order to bring
people into the community of faith (2003). Untuk itu Bosch menyarankan, . . . it cannot
be read and understood on its own, but only against the background of the entire first
Gospel and of the community to which the author belonged (1983:241). Dalam bukunya
Transformasi Misi Kristen Bosch lebih tegas mengatakan,
Sebuah hal yang disepakati oleh para ahli masa kini ialah bahwa Matius
28:18-20 harus ditafsirkan berdasarkan latar belakang Injil Matius
secara keseluruhan dan kecuali kita mengingat terus akan hal ini, kita
akan gagal memahaminya. Tak suatu pun eksegesis tentang Amanat
Agung yang diceraikan dari konteksnya di dalam Injil tersebut dapat
dianggap sah (1997:89).
Singgih dalam sebuah studinya menggambarkan Matius 28:16-20 dalam bentuk
bagan jika dibaca keluar dari konteksnya sebagai berikut,
Amanat --------- pergilah!
Isi Amanat ----- memuridkan,
membaptiskan,
mengajar
Beritanya
nonholistik
(rohani)
Orangnya bisa
holistik
(rohani-jasmani)
Ditambah dengan
Extra/alat ------- pelayanan sosial
(tidak termasuk ke dalam isi amanat)
(Singgih 1993:28)
Pemahaman seperti ini tentunya justru membatasi luasnya horison makna Matius 28:1620. Untuk itu perlu memahami Matius 28:16-20 dalam pemahaman yang lebih utuh.
Bukan hanya itu saja, tetapi teks ini perlu di kaji ulang, ditafsir ulang dan diaplikasikan
ulang dalam konteks sejarah, dan sosial-budaya yang berubah.
the understanding of the whole of Matthews gospel and that this periscope is the
summary of the whole gospel (Arias dan Johnson 1992:17). Menanggapi pendapat ini
Arias dan Johnson dengan cerdasnya mengatakan bahwa,
This scholarly opinion would mean that we need to understand the last
commission in order to understand the gospel of Matthew. Conversely,
I would also like to suggest that we need to understand the whole
Gospel of Matthew to rightly comprehend the real meaning and the
implications of the last commission (1992:17).
Sangat tepat apa yang diungkapkan oleh Arias dan Johnson untuk memahami last
commission dengan baik maka harus memahaminya dari keseluruhan Injil Matius. Ini
merupakan sebuah prinsip tafsir yang tidak boleh dilupakan. Dalam ilmu hermeneutika
disebut dengan sebutan analisa konteks dekat umum yaitu menafsirkan sebuah teks
Alkitab dengan memperhatikan teks tersebut dalam keseluruhan kitab. Artinya dalam
menafsirkan Matius 28:16-20 tidak boleh terpisah dari keseluruhan Injil Matius.
Sebelum memberikan perintah kepada murid-murid-Nya Tuhan Yesus
mengakatan bahwa, Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa (exousia) di sorga dan di
bumi sama dengan kuasa sewaktu Dia mengajar pada Khotbah di Bukit: sebab Ia
mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa (exousia), . . . (Matius 7:29). Atas dasar
ini kemudian Tuhan Yesus memberikan perintah, karena itu (oun) pergilah (poreuqentej),
jadikanlah murid (maqhteusate), baptislah (baptizontej), dan ajarlah (didaskontej).
Kata poreuqentej telah menjadi sebuah kata yang penting dalam pemikiran para
misionaris dari Barat (Bosch 1983:229). Blauw misalnya mengatakan,
The fact that this participium is put first . . . places the emphasis on
going, on traveling. One will have to pass Israels boundaries
consciously and intentionally to be able to fulfill the order (1974:86).
Kata ini biasanya dilihat sebagai perintah untuk menjadikan murid semua bangsa,
membaptis dan mengajar mereka (Singgih 1993:29). Kata ini sering dilihat sebagai kata
yang utama dalam Matius 28:16-20. Bahkan ada yang mengartikan secara harfiah
sebagai perintah untuk pergi meninggalkan negerinya sendiri menjadi misionaris
(Singgih 1993:29). Namun, mengambil kesimpulan bahwa kata poreuqentej sebagai kata
yang mendapat tekanan dalam teks Matius 28:16-20 merupakan sebuah kekeliruan
(Singgih 1993:29; Larosa 2003:308; Ramachandra 2006). Kata ini ditempatkan oleh
Matius sebagai aksi persiapan sebelum kata kerja utama (Larosa 2003:308) atau sebagai
tahap pertama dari melakukan suatu amanat (Singgih 1993:29)4 sehingga menurut
Singgih, . . . memuridkan, membaptiskan, dan mengajar dilihat sebagai bagian dari
amanat itu dan tidak mesti atau bukan isi dari amanat itu . . . Amanat pergi, memuridkan,
membaptiskan dan mengajar merupakan suatu kesatuan (Singgih 1993:29).
Kata kerja utama dalam Matius 28:19-20 adalah maqhteusate (Bosch 1983:230;
Larosa 2003:305),5 dua kata kerja lainnya baptislah (baptizontej) dan ajarlah
(didaskontej) merupakan kata kerja partisipatif yang menerangkan kata kerja utama.
Dua kata ini merupakan bagian yang penting dan harus terjadi dalam proses maqhteusate,
bahkan Rengstorf mengatakan, There is no maqhthj without a didaskaloj (1967:416).
The mission of the disciples consists of three activities, which are related to their
going (poreuthentes), namely, making disciples (matheteusate) from all nations, baptizing
(baptizontes) them and teaching (didaskontes) them to keep everything that Jesus had
commanded them. Of these three, the main activity of the disciples is the making of the
disciples, and this is the principal verb (Pathrapankal 2004).
9
10
sebuah proses yang harus dilalui oleh seorang murid. Pengajaran merupakan langkah
empowering dan equipping para murid supaya mereka dikemudian hari juga mampu
untuk memuridkan yang lain. Dengan kata lain dalam Matius 28:19-20 juga terdapat
perintah untuk memberdayakan para murid. Pemberdayaan para murid ini bisa disebut
sebagai pelayanan gereja ke dalam. Itulah sebabnya dalam Matius 28:19-20 kecuali
dimaknai sebagai mandat untuk penjangkauan ke luar juga harus dimaknai sebagai
amanat untuk pemberdayaan kepada orang-orang yang telah menjadi murid, kedua
pemaknaan ini tidak bisa dipisahkan karena merupakan kesatuan yang integral.
Empowering dan equipping bagi mereka yang sudah menerima Kristus sebagai Juru
Selamat merupakan bagian yang integral dan tak dapat dipisahkan dari amanat akhir
Tuhan Yesus, dan itu harus dilakukan oleh gereja.
Lalu apa yang harus diajarkan? Ayat 20a dengan jelas menyebutkan, ajarlah
mereka melakukan (threin) segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Kata
threin artinya to observe or to practice tidak muncul dalam Lukas dan hanya muncul
satu kali dalam Markus, namun Matius menggunakannya sebanyak enam kali, dan
kebanyakan dikaitkan dengan pemeliharaan terhadap perintah atau hukum (Bosch
1983:234). Ini artinya bahwa murid Kristus bukan hanya diajar dalam hal ortodoksi
tetapi juga dalam ortopraksis. Hal ini bisa dilihat dari struktur Injil Matius pasal 5-7
Tuhan Yesus mengajarkan tentang doktrin kepada para murid-Nya dan pasal 8-9
merupakan karya Yesus dalam mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam masyarakat.
Frase segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu oleh para sarjana
disetujui menunjuk kepada: Khotbah di Bukit (Mat. 5:1-7:29); Hukum yang terutama
11
(Mat. 22:37-40); dan Khotbah Tentang Akhir Zaman (Mat. 25:31-46) (Bosch 1983; Arias
1991; Singgih 1993; Pathrapankal 2004).
Khotbah di Bukit dijadikan sebagai dasar hidup bagi para murid Kristus. Para
murid Kristus dalam hidup praktis sehari-hari harus mencerminkan nilai-nilai yang
terdapat dalam Khotbah di Bukit sebagai nilai-nilai Kerajaan Allah. Kelompok pertama
(5:3-6) orang yang dianggap berbahagia jika miskin dalam roh sehingga ia harus percaya
total kepada Allah, yang bersedih, lemah lembut dan yang haus dan lapar akan
kebenaran. Kelompok kedua (5:7-10) orang dianggap akan berbahagia jika berbelas
kasih, jujur, pembawa damai, dan mereka yang menderita karena mencari kebenaran.
Menjadi murid Kritus dituntut untuk bisa hidup lebih dari sekedar menjadi baik. Matius
5:46-48 mengatakan,
Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah
upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan
apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja,
apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang
tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu
sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."
Tuntutan ini beralasan karena murid Kristus dituntut untuk bisa menjadi garam dan
terang bagi dunia (Mat. 5:13-16). Untuk bisa menjadi garam dan terang maka sang murid
itu dituntut untuk hidup di atas rata-rata. Mengenai hidup di atas rata-rata penulis
mengartikan lebih luas bukan hanya mencakup tataran etika, etiket, kesopanan, dan cinta
kasih tetapi dalam konteks kekinian juga termasuk dalam tataran prestasi di semua bidang
kehidupan sosial kemasyarakatan. Tepat seperti yang dikatakan oleh Singgih bahwa,
Menjadi warga Kerajaan Sorga memang tidak berarti menjadi pemabuk,
penjudi, pencuri, dan penzinah. Tetapi tidak terbatas sampai hal-hal ini
saja. Seorang Kristen yang alim tetapi tidak menghubungkan imanya
pada masalah-masalah struktural dalam masyarakat belum dapat
dikatakan menghayati khotbah di gunung. Menyoroti dosa individual
12
tapi mengabaikan dosa struktural berarti belum sampai titik lebih dari
sekedar menjadi baik (1993:35).
Murid Kristus harus bisa menjadi teladan dan berpengaruh dalam semua segmen
kehidupan masyarakat. Karena hanya dengan begitulah murid Kristus baru bisa menjadi
garam dan terang bagi dunia, sebaliknya jika kualitas totalitas kehidupan murid Kristus
lebih rendah dengan orang-orang di luar Kristus maka mereka tidak akan bisa menjadi
garam dan terang bagi dunia.
Perintah berikutnya berkaitan dengan Matius 22:37-40. Teks ini merupakan
ringkasan Hukum Taurat yang berbunyi,
Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang
kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh
hukum Taurat dan kitab para nabi."
Sangat jelas dalam teks di atas bahwa mengasihi Allah harus dengan segenap totalitas
kehidupan (holistic life) yaitu segenap hati, segenap jiwa dan dengan segenap akal budi.
Kasih kepada Allah juga harus disertai dengan kasih kepada sesama, yang vertikal tidak
bisa dilepaskan dengan yang horisontal begitu juga sebaliknya. Bosch mengatakan
bahwa, To love ones neighbors means to have compassion on them (see also Lukes
Good Samaritan) and to see that justice is done (1983:234).
Khotbah Tentang Akhir Zaman dalam Matius 25:31-46 memberi tekanan pada
perintah Yesus untuk memberi pertolongan kepada mereka yang mengalami
ketidakberdayaan dan pertolongan yang diberikan dilihat sebagai ibadat kepada Tuhan
Yesus. Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling
hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (25:40). Dari titik dasar inilah
13
seharusnya Matius 28:16-20 bisa menjadi dasar bagi pengembangan misi holistis dan
misi hoslitis tersebut sekaligus sebagai wujud dari kesalehan sosial kita. Kesalehan
sejati tidak hanya ditujukan kepada diri kita sendiri tetapi juga ditujukan kepada sesama
(kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri). Kesalehan sejati selalu
mempunyai kandungan kesalehan sosial, kesalehan yang hanya mengejar kesenangan
pribadi, berorientasi pada kepuasan pribadi, itu adalah bentuk-bentuk kesalehan
hedonistik.
6. Kesimpulan
Cukuplah untuk menarik kesimpulan bahwa dalam amanat terkahir Tuhan Yesus
jika dilihat dari isi amanat yang harus diajarkan maka amanat tersebut bersifat sangat
holistik. Amanat yang bersifat holistik inilah seharusnya yang menjadi landasan bagi
orang Kristen untuk mengembangkan kesalehan sejati, yaitu kesalehan yang mencakup
kesalehan sosial. Sayangnya sering penafsiran atas Matius 28:19-20 dilepaskan dari
konteks keseluruhan Injil Matius sehingga dimensi holistik dari amanat terakhir tersebut
menjadi kabur bahkan hilang sama sekali (bnd. Singgih 1993:37).
14
DAFTAR PUSTAKA
Arias, Mortimer
1991
Rethinking the Great Commission. Theology Today. Vol. 47, No. 4
(January):410-418.
Arias, Mortimer and Alan Johnson
1992
The Great Comission: Biblical Models for Evangelism. Nashville:
Abingdon Press.
Barth, Karl
1979
An Exegetical Study of Matthew 28:16-20. Dalam Classics of
Christian Missions. Francis M. DuBose, ed. Hal. 43-52. Nashville,
Tennessee: Broadman Press.
Beyer
1974
Blauw, Johannes
1974
The Missionary Nature of The Church. Grand Rapids, Michigan:
William B. Eerdmans Publishing Company.
Bosch, David J.
1983
The Structure of Mission: An Exposition of Matthew 28:16-20.
Dalam Exploring Church Growth. Wilbert R. Shenk, ed. Hal. 218-248.
Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company.
1991
1997
Carey, William
MDCCX An Enquiry Into The Obligations of Christians, To Use Means For The
CII
Conversion of The Heathens. Leicester: Ann Ireland.
Guder, Darrell L.
2005
The Challenges of Evangelization in America: Theological
Ambiguities. Bulletin of The Boston Theological Institute. Fall.
Number 5.1:3-6.
Hultgren, Arland J.
1998
Mission and Ministry in Matthew. Word & World. Vol. XVIII,
15
No. 4 (Fal):341-347.
Jacobs, Tom
1992
Dasar-dasar Misi dan Evangelisasi Dalam Perjanjian Baru. Orientasi
Baru. No. 6:95-136.
Kane, J. Herbert
1978
A Concise History of The Christian World Mission: A Panoramic View
of Missions From Pentecost to The Present. Grand Rapids, Michigan:
Baker Book House.
Larosa, Arliyanus
2003
Dialog Dalam Perspektif Amanat Agung. Penuntun. Vol. V. No.
19:305-317.
Nissen, Johannes
2003
The Use of the New Testament in Mission: Methodological and
Hermeneutical Reflections. SNTS. (http://www.vanderbilt.edu/AnS/religious_studies/SNTS/nissen.htm). Akses 9 Desember 2006.
Pathrapankal, Joseph
2004
Making Disciples (Matt 28:16-20) and Being Witnesses of Christ
(Acts 1:8): Theology of Mission and A Study in Contrast. SNTS,
Barcelona August 3-7. (http://www.vanderbilt.edu/AnS/religious_studies/SNTS/pathra04.htm). Akses 9 Desember 2006.
Ramachandra, Vinoth
2006
What Is Integral Mission? Artikel Tidak Diterbitkan.
Rengstorf
1967
Sider, Ronald J.
1984
Rich Christians in an Age of Hunger A Biblical Study. Downers Grove,
Illinois: Inter-Varsity Press.
Singgih, E.G
1993
Memahami Kembali Amanat Agung Dalam Konteks Injil Matius
Sebagai Dasar Kesaksian dan Pelayanan Kita. Dalam Bersaksi dan
Melayani Untuk Mempersatukan: Buku Peringatan HUT ke-75 Pdt.
D.J. Lumenta. J. Lekahena, ed. Hal. 25-42. Jakarta: Gereja Protestan di
Indonesia.
Thomas, Norman E.
1998
Teks-teks Klasik Tentang Misi dan Kekristenan Sedunia. Jakarta: PT
16
17