Anda di halaman 1dari 2

DUALISME KURIKULUM

K13 yang dilematis


Pendidikan bukanlah proses mengisi wadah yang kosong. Pendidikan adalah proses
menyalakan api pikiran W.B. Yeats
Indonesia dengan berbagai warnanya menunjukkan keunikan tersendiri ketika
disandingkan dengan Negara lain. Begitupun dengan satu Budaya dalam pemerintahan yang unik
juga menurut saya yaitu ketika struktur pemerintahan berganti maka kebijakan kebijakan akan
berganti-ganti pula. Tidak luput produk kebijakan kurikulum 2013 yang baru seumur jagung
diterapkan di zamannya bapak Muh.Nuh (Menteri pendidikan dan kebudayaan RI periode 20092014), layaknya di sulap, tiba-tiba kini di pemerintahan yang baru harus dilakukan evaluasi
besar-besaran (baca permendikbud no 159 th 2014) dan akhirnya untuk sekolah angkatan
pertama yang menerapkan K13 harus dihentikan sementara dan kembali ke kurikulum 2006
(KTSP) .Surat edaran menteri pun di keluarkan kepada 6.326 sekolah angkatan pertama yang
sudah menerapkan kurikulum 2013, kepada sekolah-sekolah tersebut dipersilahkan untuk
meneruskan kurikulum 2013 bagi yang siap.
Kebijakan tersebut menimbulkan banyak polemik baik di tataran pengamat pendidikan
sampai pelakunya. Ada yang pro terhadap kebijakan penghentian penerapan kurikulum 2013
disatu sisi ada yang menyayangkan. Diantara alasan-alasan yang menolak kebijakan tersebut
adalah seperti yang diungkapkan Mantan menteri pendidikan Muhammad Nuh bahwa Kurikulum
2013 adalah jawaban atas tantangan masa kini dan masa depan di mana setiap peserta didik di
tuntut untuk mengembangkan semua aspek dalam dirinya baik spiritual,intelektual, maupun
sikap dan karakter. Disisi lain kurikulum 2013 sudah menghabiskan hampir sekitar 2,4 milyar
anggaran Negara, buku pegangan pun sudah di cetak, penataran- penataran untuk para guru juga
sudah dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. dan akhirnya sang kurikulum harus di
cabut.ini merupakan suatu kemunduran pendidikan tegas m.nuh ketika di Tanya pendapatnya
di

media.
Pendapat yang berkebalikan datang dari tim evaluasi kurikulum yang dibentuk oleh

Mendikbud Anies Baswedan, tim telah sepakat menyimpulkan bahawa kurikulum 13 mengalami
banyak masalah pada implementasinya di lapangan, banyak factor yang mempengaruhi salah

satunya adalah Kesiapan Guru.Pendapat yang sama juga dating dari ICW yang mendesak
diberhentikannya kurikulum 2013. ICW menilai implementasi kurikulum 2013 sangat carut
marut di lapangan sehingga mereka menilai anggaran Negara akan terbuang dengan hasil yang
tidak maksimal.
Akibat dari kebijakan tersebut menimbulkan dulaisme kurikulum yang diterapkan di
Indonesia, kurikulum 2006 (KTSP) dan Kurikulum 2013. Ini juga menjadi permasalah tersendiri
bagi system pendidikan Nasional. Kesenjangan pendidikan akan terjadi di berbagai daerah,
bukan hanya kualitas tetapi juga sarana dan prasarana pendukung .Kebingungan juga nantinya
akan sampai kepada siswa dan orang tua. Kita juga tidak biss membandingkan peserta didik
diantara keduanya karena system evaluasi di masing-masing kurikulum berbeda. Mahasiswa juga
cukup direpotkan dalam hal ini karena saya baru saja mendengar cerita adik saya di BEM,
Mahasiswa akhirnya harus belajar RPP dan kurikulum dua jenis, bahkan ada mahasiswa yang
sudah melakukan penelitian dan mengerjakan Skripsi dengan kurikulum 2013 harus mengulangi
dengan menggunakan kurikulum 2006.
Beberapa hari yang lalu setelah berdiskusi dengan prof.Furqon Hidayatullah,Mpd, saya
mengutip bebera hal.Beliau mengatakan kurikulum nya apa saja yang penting jangan keluar dari
UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kurikulum 2013 adalah
penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya.Tetapi memang implementasinya ada beberapa
masalah, terutama pada gurunya. Hasil survey beliau setidaknya ada Delapan masalah yang ada,
diantaranya adalah sulitnya mengubah mindset guru, perubahan proses pembelajaran dari teacher
centered ke student centered, rendahnya moral spiritual, budaya membaca dan meneliti masih
rendah.Kemudian, kurangnya penguasaan teknologi informasi, lemahnya penguasaan bidang
administrasi, dan kecenderungan guru yang lebih banyak menekankan aspek kognitif. Padahal,
semestinya guru juga harus memberikan porsi yang sama pada aspek afektif dan psikomotorik.
Permasalahan kedelapan atau yang terakhir, masih banyak guru yang belum mau menjadi
manusia pembelajar.

Anda mungkin juga menyukai