Toxoplasma
Toxoplasma
1. Definisi
AIDS berasal dari kata acquired yang artinya didapat atau bukan penyakit
keturunan, immune berarti sistem kekebalan tubuh, deficiency atau kekurangan dan
syndrome yang berarti kumpulan gejala-gejala penyakit. Jadi, dari kata-kata tersebut
dapat diartikan bahwa AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang
disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Toxsoplasma adalah parasit protozoa dengan sifat
alami dengan perjalanannya dapat akut atau menahun, juga dapat menimbulkan gejala
simtomatik maupun asimtomatik.
Insiden komplikasi SSP pada penderita AIDS cukup besar. Manifestasi klinis AIDS
pada SSP dapat terjadi karena 2 hal yaitu virus AIDS itu sendiri atau akibat infeksi
oportunistik atau neoplasma.
Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi
oportunistik yang paling banyak terjadi pada pasien AIDS. Ensefalitis toksoplasma muncul
pada kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh parasit
Toxoplasma gondii yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat
ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah
atau kurang matang.
Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana, tetapi sistem
kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga mencegah
penyakit. Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak menanggapi
pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat,
masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan
kepribadian.
2. Etiologi
Ensefalitis toksoplasma disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa
oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh
tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk
ke dalam sistem kekebalan, parasit tersebut menetap di sana, sistem kekebalan pada
orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, dan dapat mencegah
terjadinya suatu penyakit. Namun, pada orang pasien HIV/AIDS mengalami penurunan
kekebalan tubuh sehingga tidak mampu melawan parasit tersebut. Sehingga pasien
mudah terinfeksi oleh parasit tersebut.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba
yang mentah dan mengandung oocyst (bentuk infektif dari Toxoplasma gondii). Bisa juga
dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu
dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ.
Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia
dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan
mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.
3. Daur Hidup Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk yaitu thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst (yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir
dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing
merupakan pejamu definitif dari Toxoplasma gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada
pejamu perantara (termasuk manusia). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst
diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara
berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoite, organisme ini menyebar ke
seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik.
Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer.
Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada
otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai
o
67 C, didinginkan sampai -20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial
dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan
daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan
jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi
(pembentukan spora). Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi
biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih
dari 1 tahun.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau
kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat
transplasental,transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang
imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang
rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya
infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan
invasive tropozoit (tachyzoite). Tachyzoite ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan
focus nekrosis.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200
sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi
yangmungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis
carinii, CD4 < 100 sel/mL adalah toxoplasma gondii , dan CD4 < 50 adalah M. Avium
Complex, sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan
candida species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
4. Patofisiologi
a. Patofisiologi HIV/AIDS
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas
kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang
mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4
adalah sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan
sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus
kepermukaan
sel
reseptor
CD4,
yang
menyebabkan
kematian
sel
dengan
meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem
kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan dapat
mengakibatkan kelainan pada saraf.
HIV/AIDS.
Infeksi
tersebut
dapat
menyerang
sistem
saraf yang
bagaimana
HIV
menginduksi
infeksi
oportunistik
seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan
produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel
dari pasien yang terinfeksi HIVmenunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFNgamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap
Toxoplasma gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan
toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.
Ensefalitis toksoplasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus
HIV dengan CD4 T sel <100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang
subakut. Manifestasi klinis yangtimbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%),
nyeri kepala (55%), bingung atau kacau(52%), dan kejang (29%). Pada suatu studi
didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada
75% kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, nyeri kepala pada 50 % kasus,
demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus.
Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan
gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan,
gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan
menifestasi neuropsikiatri.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor untuk validasi ke mungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien
dengan CD4< 200sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.
5. Manifestasi Klinis
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang
meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan
perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi.
Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan
ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi
toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya
kekebalan pada penderita-penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan
parasit ini. Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan
mengalami kejang dan penurunan kesadaran
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-Toxoplasma gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked
immunosorbentassay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah
terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan
elevasi protein.
c. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis
yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti
terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah
infeksi akut.
d. CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple dan biasanya
ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema
vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan
lesi tunggal atau tanpa lesi.
e. Biopsi otak
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
7. Penatalaksanaan
a. Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua
obat ini dapat melalui sawar-darah otak.
b. Toxoplasma gondii, membutuhkan vitamin
untuk
hidup.
Pirimetamin
c. Kombinasi
pirimetamin
50-100mg
perhari
yang
dikombinasikan
dengan
1. Pengkajian
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala
:
kelelahan.
b. Tanda
:
b. Tanda
3. Integritas ego
a. Gejala
:
b. Tanda
4. Eliminasi
a. Gejala
b. Tanda
:
:
abdominal, lesi pada rectal, ikterus, perubahan dalam jumlah warna urin.
5. Makanan/cairan
a. Gejala
:
b. Tanda
:
kulit jelek, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih/perubahan warna
mukosa mulut
6. Hygiene
a. Tanda
b. Tanda
napas
pendek
yang
nyeri tekan,
progresif,
batuk
10. Keamanan
a. Gejala
penyembuhan.
b. Tanda
:
11. Seksualitas
a. Tanda
:
riwayat
luka lambat
proses
demam berulang
riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido,
infeksi toksoplasma.
IgG adalah antibodi yang muncul setelah IgM dan biasanya akan menetap
hamil.
Bila IgG (+) dan IgM (-). Pernah terinfeksi sebelumnya. Bila pemeriksaan
dilakukan pada awal kehamilan, berarti infeksinya terjadi sudah lama
(sebelum hamil) dan sekarang telah memiliki kekebalan, untuk selanjutnya
b.
c.
4. Perencanaan keperawatan
a. Nyeri kronik berhubungan dengan adanya proses infeksi/inflamasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam nyeri dapat
berkurang, pasien dapat tenang dan keadaan umum cukup baik
Kriteria Hasil:
Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan hilang dan terkontrol
Klien tidak menyeringai kesakitan
TTV dalam batasan normal
Intensitas nyeri berkurang (skala nyeri berkurang 1-10)
Klien menunjukkan rileks, istirahat tidur, peningkatan aktivitas dengan cepat
Intervensi
INTERVENSI
RASIONAL
1. Selidiki keluhan nyeri, perhatikan
1. Nyeri insisi bermakna pada pasca
lokasi, itensitas nyeri, dan skala
2.
3.
operasi
awal
diperberat
oleh
gerakan
2. Intervensi dini pada kontrol nyeri
memudahkan
pemulihan
otot
3. Respon
nyeri
4. Dengan sebab dan akibat nyeri
diharapkan
klien
berpartisipasi
6.
nyeri
5. Mengurangi nyeri yang diperberat
oleh gerakan
6. Menurunkan
relaksasi
meningkatkan
meningkatkan
7.
8.
rasa
kontrol
latihan
rentang
gerak
otot,
dan
dan
kemampuan koping
7. Menurunkan gerakan yang dapat
meningkatkan nyeri
dukungan
emosional,
Berikan
relaksasi,
8. Memberikan
kondusif
9.
tegangan
meningkatkan
(fisik,
rasa
ketegangan
meningkatkan
10. Kolaborasi
dengan
tim
medis
otot
yang
reduksi
nyeri/rasa
10. Menghilangkan
RASIONAL
1. Infeksi pada umumnya menyebabkan
suhu
tubuh
yang
2. Deteksi
yang
dihubungkan
3.
4.
Berikan
suhu
lingkungan
nyaman
bagi
pasien.
tertentu,
yang
ekstrem,
dengan
menurun
patogen
dihubungkan
Kenakan
3. Kehilangan
melalui
hindari
penggunaan alcohol
pola
4.
Dapat
membantu
mengurangi
dapat
menyebabkan
5.
6.
5.
7.
aspirin.
Monitor
komplikasi
neurologis
akibat demam.
yang menetap.
7. Febril dan enselopati bisa terjadi bila
Intervensi
INTERVENSI
RASIONAL
1. Kaji tanda-tanda dehidrasi.
1. Intervensi lebih dini
2. Pantau Tanda-tanda vital, status
2. Sebagai indikator
membran mukosa dan turgor kulit
3. Pantau tekanan darah atau denyut
3.
jantung
ke
adekuatan
sirkulasi
Pengurangan dalam sirkulasi volume
cairan dapat mengurangi tekanan
4.
darah.
Denyut yang lemah dan mudah hilang
5.
6.
7.
Mengatur
8.
urine, diare).
8. Ukur semua intake cairan.
keseimbangan
keseimbangan
antara
nutrisi
pasien
DAFTAR PUSTAKA
Doenges Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3, Penerbit Buku Keoikteran EGC,
Tahun 2002, Hal ; 52 64 & 240 249.
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
http://id.scribd.com/doc/97328423/Asuhan-Keperawatan-HIV. diakses tanggal 7 april 2013
jam 3.13
http://id.scribd.com/doc/22745321/Hiv-Aids. diakses tanggal 7 april 2013 jam 3.13
http://id.scribd.com/doc/51505153/makalah-HIV-aids. diakses tanggal 7 april 2013 jam
3.15