Anda di halaman 1dari 30

2

TINJAUAN PUSTAKA

Eklampsia dan pre-eklampsia dulunya dikenal dengan istilah toksemia


gravidarum, karena diperkirakan adanya racun dalam aliran darah. Namun istilah
ini sudah tidak dipakai lagi karena mencakup berbagai penyakit hipertensif dalam
kehamilan dengan etiologi berbeda-beda. Di Indonesia eklampsia masih
merupakan sebab utama kematian ibu dan perinatal yang tinggi. Oleh karena itu,
diagnosis dini pre-eklampsia perlu dilaksanakan untuk menurunkan angka
mortalitas ibu dan anak.1
A. DEFINISI
Pre-eklampsia adalah kelainan multisistem spesifik pada kehamilan,
etiologi belum diketahui. Kelainan ini mempengaruhi sekitar 5-7% kehamilan
menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Kriteria minimum untuk
menegakkan diagnosis pre-eklampsia ialah hipertensi, edema disertai proteinuria
yang terjadi umumnya pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu.1,2,3
Eklampsia merupakan komplikasi serius dari kehamilan ditandai dengan
timbulnya satu atau lebih kejang yang berhubungan dengan sindrom preeklampsia.4 Eklampsia, ialah kejadian akut pada wanita hamil, dalam persalinan,
atau nifas yang ditandai dengan adanya gejala dan tanda pre-eklampsia disertai
dengan kejang atau koma. Eklampsia sering timbul pada trimester terakhir
kehamilan dan semakin sering terjadi apabila kehamilan mendekati aterm. Tanda
khas eklampsia yaitu adanya kejang tonik-klonik yang timbul pada wanita dengan

hipertensi dalam kehamilan. Pada kondisi seperti ini resiko kematian maternal dan
perinatal meningkat.5
Terminologi HELLP diperkenalkan pertama sekali oleh Weinstein (1982)
yang merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver Enzymes dan Low
Platelet counts. Sindroma ini merupakan kumpulan dari gejala multisistem pada
pre-eklampsia berat dan eklampsia dengan karakteristik trombositopenia,
hemolisis (anemia hemolisis mikroangiopatik) dan enzim hepar yang abnormal.
Insidensi sindroma HELLP terjadi 4-12% dari kasus komplikasi pre-eklampsia.
Adanya sindroma HELLP ini merupakan salah satu indikator progresifitas yang
memburuk dari pre-eklampsia berat karena morbiditas dan mortalitas maternal
dan perintal tinggi sehingga perlu segera dilahirkan.6
Pre-eklampsia dibagi menjadi ringan dan berat. Dikategorikan berat jika
ditemukan:7
1. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau diastolik > 110mmHg
2. Proteinuria > 5 gram/24 jam atau positif 3 pada pemeriksaan kuantitatif
3. Oliguria, urin 400 ml/24 jam
4. Keluhan serebral, nyeri epigastrium, gangguan penglihatan
5. Sianosis karena edema paru
6. Trombosit turun, enzim hati meningkat

Gangguan tekanan darah lainnya saat hamil, yaitu:


1. Hipertensi kehamilan.
Ibu hamil dengan hipertensi kehamilan, tetapi tidak mengalami kelebihan

protein dalam urin. Hipertensi kehamilan ini juga dapat berkembang menjadi
pre-eklampsia.
2. Hipertensi kronis.
Tingginya tekanan darah yang terjadi sebelum kehamilan usia 20 minggu atau
12 minggu setelah kelahiran.
3. Pre-eklampsia superimpose pada hipertensi kronis.
Ibu hamil dengan hipertensi kronis sebelum kehamilan dan berkembang lebih
buruk, karena memiliki protein dalam urin yang berlebihan saat kehamilan

B. EPIDEMIOLOGI
Di usia kehamilan eklampsia terjadi pada satu dari 2.000 kelahiran, di
negara miskin dan menengah terjadi 1 dari 100 dan 1 dari 1.700 kelahiran.
Eklampsia menyebabkan 50.000 kematian/tahun di seluruh dunia, 10% dari
kematian maternal.4
Di RS Dr. Sardjito selama tahun 1997-2001 kasus pre-eklampsia dan
eklampsia paling banyak terjadi yaitu 34,09% dibandingkan kasus lain seperti,
perdarahan (27,27%), infeksi (11,36%) dan lain-lain (27,28%).8

C. ETIOLOGI
Sampai dengan saat ini etiologi pasti dari pre-eklampsia/eklampsi masih
belum diketahui. Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari
kelainan tersebut di atas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases
of theory. Adapun teori-teori tersebut antara lain:9

1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan.


Pada pre-eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi
penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat,
aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti trombin dan
plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit
fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan
serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
2) Peran Faktor Imunologis.
Pre-eklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada
kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama
pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang
semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. Fierlie FM mendapatkan beberapa
data yang mendukung adanya sistem imun pada penderita pre-eklampsia:
1. Beberapa wanita dengan pre-eklampsia mempunyai komplek imun dalam
serum.
2. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada preeklampsia diikuti dengan proteinuri.
Stirat menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa
sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada pre-eklampsia, tetapi
tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan pre-eklampsia.
3) Peran Faktor Genetik/Familial.
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklampsia antara lain:

1. Pre-eklampsia hanya terjadi pada manusia.


2. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi pre-eklampsia pada anakanak dari ibu yang menderita pre-eklampsia.
3. Kecendrungan meningkatnya frekuensi pre-eklampsia pada anak dan cucu ibu
hamil dengan riwayat pre-eklampsia dan bukan pada ipar mereka.
4) Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS)

D. PATOFISIOLOGI
Vasokonstriksi

merupakan

dasar

patogenesis

pre-eklampsia.

Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan


hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel
setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai
perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain itu Hubel mengatakan bahwa
adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya penurunan
perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta.
Hipoksia/ anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak,
sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi
oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel
Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang
menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan radikal
bebas. Apabila keseimbangan antara peroksidase terganggu, dimana peroksidase
dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut stess
oksidatif.9

Pada pre-eklampsia serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta


menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita hamil
normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang
berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam
aliran darah melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai
kesemua komponen sel yang dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan
mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel
tersebut akan mengakibatkan antara lain:9
a) adhesi dan agregasi trombosit.
b) gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma.
c) terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dari
rusaknya trombosit.
d) produksi prostasiklin terhenti.
e) terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan.
f) terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lemak.

Gambar 1. Patofisiologi pre-eklampsia9

E. PATOLOGI 1
Pre-eklampsia ringan jarang sekali menyebabkan kematian ibu. Oleh
karena itu, sebagian besar pemeriksaan anatomik-patologik berasal dari penderita
eklampsia yang meninggal. Tidak ada perubahan histopatologik yang khas pada
pre-eklampsia dan eklampsia. Perdarahan, infark, nekrosis dan trombosis
pembuluh darah kecil pada penyakit ini dapat ditemukan dalam berbagai alat
tubuh. Perubahan tersebut mungkin disebabkan oleh vasospasme arteriola.
Penimbunan vibrin dalam pembuluh darah merupakan faktor penting juga dalam
patogenesis kelainan-kelainan tersebut.
Perubahan anatomi-patologik
Plasenta: pada pre-eklampsia terdapat spasme arteriola spiralis desidua
mengakibatkab menurunnya alirn darah ke plasenta. Proses penuaan plasenta
seperti menipisnya sinsitium, menebalnya dinding pembuluh darah dalam fili
karena fibrosis dan konversi mesoderm menjadi jaringan fibrotik, menjadi lebih
cepat pada pre-eklampsia.
Ginjal: organ ini besarnya normal atau dapat membengkak. Pada pre-eklampsia
terdapat kelainan glomerolus, hiperplasi sel-sel jukstaglomerular, kelainan pada
tubulus henle, dan spasme pembuluh darah ke glomerolus. Perubahan-perubahan
tersebutlah tampaknya yang menyebabkan proteinuria dan mungkin berhubungan
dengan retensi garam dan air. Sesudah persalinan berakhir, sebagian besar
perubahan yang digambarkan menghilang.

10

Hati: organ ini besarnya normal dengan tempat perdarahan yang tidak teratur.
Tidak ada hubungan antara beratnya penyakit pre-eklampsia dan luasnya
perubahan pada hati.
Otak: pada penyakit yang belum lanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada
korteks serebri, pada keadaan lanjut dapat ditemukan perdarahan.
Retina: kelainan yang ditemukan pada retina ialah spasme pada arteriola dekat
diskus optikus. Terlihat edema pada diskus optikus dan retina.
Paru-paru: terdapat tanda edema perubahan karena bronkopneumonia sebagai
akibat aspirasi.
Jantung: pada eklampsia mengalami perubahan degeneratif pada miokardium.
Sering ditemukan degenerasi lemak dan cloudy swelling serta nekrosis dan
perdarahan.

F. FAKTOR RISIKO
Pre-eklampsia hanya terjadi pada saat hamil, sehingga faktor risikonya, antara
lain:7
a. Riwayat keluarga pre-eklampsia
Ibu hamil dengan sejarah keluarga menderita pre-eklampsia akan
meningkatkan risiko ikut terkena pre-eklampsia.
b.

Kehamilan pertama
Di kehamilan pertama, risiko mengalami pre-eklampsia jauh lebih tinggi.

11

c. Usia
Ibu hamil berusia di atas 35 tahun akan lebih besar risikonya menderita preeklampsia.
d. Obesitas
Pre-eklampsia lebih banyak menyerang ibu hamil yang mengalami obesitas
e. Kehamilan kembar.
Mengandung bayi kembar juga meningkatkan risiko pre-eklampsia
f. Kehamilan dengan diabetes.
Wanita dengan diabetes saat hamil memiliki risiko pre-eklampsia seiring
perkembangan kehamilan
g. Riwayat hipertensi.
Kondisi sebelum hamil seperti hipertensi kronis, diabetes, penyakit ginjal atau
lupus, akan meningkatkan risiko terkena pre-eklampsia
Penelitian di tahun 2006 terhadap ibu hamil dengan kadar protein tinggi,
diketahui mempengaruhi perkembangan dan fungsi pembuluh darah. Kesimpulan
ini membantah teori pre-eklampsia yang disebabkan akibat ketidaknormalan
pembuluh darah menuju plasenta. Tetapi pemeriksaan darah tetap merupakan alat
yang efektif untuk mendiagnosa pre-eklampsia.7
Pada ibu pre-eklampsia bahaya yang mengancam janin adalah prematur,
berat badan lahir rendah hingga kematian janin. Bahaya ibu adalah gagal jantung,
perdarahan otak, kerusakan mata, gagal hati dan ginjal, perdarahan hingga
meninggal. Satu-satunya terapi adalah menghentikan kehamilan, karena dengan
tanpa kehamilan penyakit ini akan perlahan berhenti sendirinya. Tetapi

12

penghentian kehamilan tergantung usia kehamilan, jika usia kehamilan mencukupi


maka dapat dilaksanakan. Tetapi jika masih usia terlalu prematur maka akan
diberikan obat-obat per infus untuk mengatasi proses tersebut hingga menjadi
terkendali. Satu-satunya pengobatan terbaik adalah pencegahan dan deteksi dini,
yaitu kunjungan pemeriksaan hamil yang rutin.7

G. GEJALA KLINIK
a. Pre-eklampsia
Gambaran klinis penderita pre-eklampsia sangat bervariasi, dari penderita
tanpa gejala klinik sampai penderita dengan gajala klinik yang sangat progresif,
berkembang dengan cepat dan membahayakan nyawa penderita. Pada preeklampsia umumnya perubahan patogenik telah lebih dahulu terjadi mendahului
manifestasi klinik. 10
Dalam pengelolaan klinis, pre-eklampsia dibagi sebagai berikut :10
1. Disebut pre-eklampsia ringan jika ditemukan:
- Tekanan darah 140/90 mmHg, tetapi kurang dari 160/110 mmHg
- Proteinuria 300 mg/24 jam, atau pemeriksaan dipstick 1 + c
2. Ditegakkan diagnosa pre-eklampsia berat jika ditemukan tanda dan gejala
sebagai berikut:
- Tekanan darah pasien dalam keadaan istirahat: sistolik 160 mmHg dan
diastolik 110 mmHg
- Proteinuria 5 gr/24 jam atau dipstick 2 +
- Oligourie < 500 ml/24 jam

13

- Serum kreatinin meningkat


- Oedema paru atau cyanosis
3. Dan disebut impending eklampsia apabila pada penderita ditemukan keluhan
seperti:
- Nyeri epigastrium
- Nyeri kepala frontal, scotoma, dan pandangan kabur (gangguan susunan
syaraf pusat)
- Gangguan fungsi hepar dengan meningkatnya alanine atau aspartate amino
transferase
- Tanda-tanda hemolisis dan micro angiopatik
- Trombositopenia < 100.000/mm3
- Munculnya komplikasi sindroma HELLP
4. Dan disebut eklampsia jika pada penderita pre-eklampsia berat dijumpai
kejang klonik dan tonik dapat disertai adanya koma.

b. Eklampsia
Diperhitungkan eklampsia menyebabkan 50.000 kematian maternal di
seluruh dunia dalam satu tahun, disamping itu kematian janin dalam kandungan
dan kematian neonatal mencapai angka 34/1000. Pada penanganan penderita
eklampsia kita harus bertindak lebih aktif. Stabilisasi keadaan ibu, pembebasan
jalan nafas, sirkulasi udara, dan stabilisasi sirkulasi darah harus segera dilakukan,
terutama bila dijumpai hipoksemia dan acidemia. Kehamilan harus segera diakhiri

14

tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin setelah stabilisasi keadaan
ibu tercapai.10
Gambaran klinik penderita eklampsia biasanya lebih berat dan dapat
disertai berbagai komplikasi seperti: koma, oedema paru, gagal ginjal, solusio
plasenta, gangguan pertumbuhan janin, dan kematian janin. Oleh karena itu
penanganan penderita eklampsia harus komprehensif dan melibatkan berbagai
disiplin ilmu.10
Penderita pre-eklampsia berat yang tidak mendapat penanganan yang
memadai atau terlambat mendapat pertolongan bisa mendapat serangan kejangkejang yang disebut eklampsia. Eklampsia sering terjadi pada kehamilan
nullipara, kehamilan kembar, kehamilan mola, dan hipertensi dengan penyakit
ginjal. Lebih kurang 75% penderita eklampsia terjadi antepartum dan 25% sisanya
terjadi pasca-melahirkan. Eklampsia biasanya terjadi akibat oedema otak yang
luas, yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah yang mendadak dan tinggi
yang akan menyebabkan kegagalan autoregulasi aliran darah. Sebelum serangan
kejang pada eklampsia biasanya didahului oleh kumpulan gejala impending
eklampsia yang dapat berupa: nyeri kepala, mata kabur, mual, muntah, dan nyeri
epigastrium, jika keadaan ini tidak segera ditanggulangi maka akan timbul kejang.
Kejang pada eklampsia dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu :1,10
1. Tingkat awal atau aura
Keadaan ini berlangsung sekitar 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa
melihat, kelopak mata dan tangan bergetar dan kepala diputar kekanan atau
kekiri.

15

2. Tingkat kejangan tonik


Berlangsung 30 detik. Pada tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajah
kelihatan kaku, tangan menggenggam dan kaki bengkok ke dalam. Pernafasan
berhenti, wajah menjadi sianotik dan lidah dapat tergigit. Stadium ini akan
disusul oleh tingkat kejangan klonik.
3. Tingkat kejangan klonik
Berlangsung antara 1-2 menit. Spasme tonik menghilang, semua otot
berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka
dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut
keluar lidah yang berbusa, wajah menunjukkan kongesti dan sianotis. Setelah
kejang terhenti, pasien bernafas dengan mendengkur.
4. Tingkat koma
Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan penderita biasa
menjadi sadar lagi

H. DIAGNOSIS
Diagnosis dini harus dutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan
mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadinya preeklampsi sulit
dicegah namun terjadinya pre-eklampsia berat dan eklampsia biasanya dapat
dihindari dengan mengenal secara dini penyakit itu dan dengan penanganan secara
sempurna.1
Pada umumnya diagnosis pre-eklampsia didasarkan atas adanya 2 trias
tanda utama, diantaranya adalah hipertensi, edema dan proteinuria. Hal ini

16

memang berguna atas kepentingan statistik, tetapi dapat membahayakan penderita


karena setiap tanda dapat merupakan bahaya meskipun ditemukan sendiri.1
Diagnosa diferensial antara pre-eklampsia dengan hipertensi menahun atau
penyakit ginjal tidak jarang menimbulkan kesukaran. Pada hpertensi menahun
adanya tekanan darah yang meninggi sebelum hamil, pada kehamilan muda atau 6
bulan postpartum akan sangat berguna untuk membuat diagnosis. Pemeriksaan
funduskopi juga berguna karena perdarahan dan eksudat jarang terjadi pada kasus
pre-eklampsia, kelainan tersebut biasanya terjadi pada hipertensi menahun. Untuk
diagnosis penyakit ginjal saat timbulnya proteinuria banyak menolong, proteinuria
pada pre-eklampsia jarang timbul sebelum triwulan ketiga sedang pada penyakit
ginjal timbul terlebih dahulu. Tes fungsi ginjal juga banyak berguna karena pada
umumnya tes funsi ginjal normal pada kasus pre-eklampsia ringan.1
Uji diagnostik pre-eklampsia :1
1. Uji diagnostik dasar
a. Pengukuran tekanan darah
b. Analisis protein dalam urin
c. Pemeriksaan edema
d. Pengukuran tinggi fundus uteri
e. Pemeriksaan funduskopi
2. Uji laboratorium dasar
a. Evaluasi hematologi (Hematokrit, jumlah trombosit, morfologi eritrosit
pada sediaan darah tepi)

17

b. Pemeriksaan fungsi hati (bilirubin, protein serum, aspartat aminotrasferase


dan sebagainya)
c. Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin)
3. Uji untuk meramalkan hipertensi
a. Roll-over test
b. Pemeberian infus angiotensin II

I. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya penanganan penderita pre-eklampsia dan eklampsia yang
difinitif adalah segera melahirkan bayi dan seluruh hasil konsepsi, tetapi dalam
penatalaksanaannya kita harus mempertimbangkan keadaan ibu dan janinnya,
antara lain umur kehamilan, proses perjalanan penyakit, dan seberapa jauh
keterlibatan organ.10
Tujuan penatalaksanaan pre-eklampsia dan eklampsia adalah :10
- Melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, di samping itu
mencegah komplikasi yang dapat terjadi pada ibu.
- Mencegah terjadinya kejang/eklampsia yang akan memperburuk keadaan ibu
hamil.
Pengelolaan

pre-eklampsia

berat

sedapat

mungkin

berusaha

mempertahankan kehamilan sampai aterm. Pada kehamilan aterm persalinan


pervaginam adalah yang terbaik bila dibandingkan dengan seksio sesarea. Jika
perjalanan penyakitnya memburuk dan dijumpai tandatanda impending eklampsia,
kehamilan harus segera diakhiri tanpa memandang umur kehamilan. Di samping

18

itu pemeriksaan terhadap kesejahteraan janin harus dilakukan secara ketat.


Biometri janin, biophisical profile janin harus dievaluasi 2 x seminggu, bila
keadaan janin memburuk terminasi kehamilan harus segera dilakukan, tergantung
dari keadaan janinnya apakah persalinan dapat dilakukan pervaginam atau
perabdominal. Pada kehamilan preterm 34 minggu yang akan dilakukan
terminasi pemberian kortiko steroid seperti dexamethasone atau betamethasone
untuk pematangan paru harus dilakukan.10
Pemberian terapi farmakoterapi pada kasus preeklamsia dan eklamsia
bertujuan untuk menurunkan angka kematian, mencegah komplikasi dan memperbaiki kondisi eklampsia. Antikonvulsan diberikan pada eklampsia untuk
mencegah kejang lebih lanjut dan juga diberikan pada pre-eklampsia dengan
harapan mencegah kejang pertama dan dengan demikian diharapkan memperbaiki
keadaan ibu dan anak.4
Tabel 1. Kategori keamanan obat-obatan untuk wanita hamil (US FDA)4
Kategori A

Studi kontrol pada wanita hamil gagal memperlihatkan adanya


risiko pada fetus di trimester pertama (dan tidak terdapat bukti
adanya risiko pada penggunaan trimester berikutnya) dan adanya
kemungkinan dapat memberikan efek buruk pada fetus amat sangat

Kategori B

kecil.
Penelitian-penelitian

pada

reproduksi

binatang

gagal

memperlihatkan adanya risiko pada fetus tetapi tidak terdapat studi


kontrol pada wanita hamil atau penelitian pada reproduksi binatang
memperlihatkan adanya efek samping yang tidak dikuatkan pada
studi kontrol pada wanita hamil trimester pertama (dan tidak

19

Kategori C

terdapat bukti adanya risiko pada penggunaan trimester berikutnya).


Studi pada binatang mengungkapkan adanya efek samping pada
fetus (teratogenik, embrio-sidal, atau lainnya) dan tidak terdapat
studi kontrol pada wanita hamil. Atau penelitian baik pada binatang
maupun wanita hamil tidak ada. Obat diberikan hanya bila terdapat
keuntungan potensial yang sebanding dengan risiko buruk pada

Kategori D

fetus.
Adanya bukti berisiko pada fetus manusia, namun karena
keuntungan

dalam

penggunaan

pada

wanita

hamil

maka

penggunaanya masih dapat diterima. (misalnya penggunaannya


pada situasi yang me-ngancam nyawa, sedangkan obat lain yang
Kategori X

lebih aman tidak dapat digunakan atau tidak efektif)


Penelitian pada binatang maupun manusia memperlihatkan adanya
abnormalitas fetus atau terbukti adanya risiko berdasarkan
pengalaman manusia atau keduanya. Penggunaannya pada wanita
hamil jauh lebih merugikan dibandingkan keuntungannya. Penggunaan obat ini merupakan kontraindikasi pada wanita hamil atau
pada mereka yang mungkin akan hamil.

Pada penderita pre-eklampsia berat obat-obat yang dapat diberi untuk


memperbaiki keadaan ibu dan janinnya adalah:10
1. Antikonvulsan

20

Antikonvulsan digunakan untuk mencegah kambuhnya kejang dan


mengakhiri aktivitas klinik dan elektrik kejang. Di United Kingdom, diazepam
popular digunakan sejak 1970 dan fenitoin sejak 1990 namun penggunaan
magnesium sulfat masih jarang. Magnesium sulfat telah digunakan secara luas
selama puluhan tahun di Amerika Serikat dan akhir-akhir ini dikenal sebagai
antikonvulsan terpilih pada eklampsia. Beberapa penelitian telah mengungkapkan
bahwa magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mengobati kejang
eklamptik. Ditambah lagi dengan harganya yang murah maka dapat dikatakan
magnesium sulfat merupakan drug of choice untuk terapi eklampsia. Selain itu
masih ada obat pilihan lain seperti fenitoin, diazepam, hidralazin, labetalol dan
nifedipin.4
a. Magnesium sulfat (MgSO4)
Tujuan utama pemberian magnesium sulfat adalah untuk mencegah kejang
berkelanjutan dan mengakhiri kejang yang sedang berlanjut. Di samping itu juga
untuk mengurangi komplikasi yang terjadi pada ibu dan janin. Pada pemberian
MgSO4 pasien harus dievaluasi bahwa refleks tendon dalam masih ada, pernafasan
sekurangnya 12 kali per menit dan urine output sedikitnya 100 ml dalam 4 jam.4
Magnesium sulfat merupakan antikonvulsan yang efektif dan membantu
mencegah kejang kambuh an dan mempertahankan aliran darah ke uterus dan
aliran darah ke fetus. Magnesium sulfat berhasil mengontrol kejang eklamptik
pada >95% kasus. Selain itu zat ini memberikan keuntungan fisiologis untuk fetus
dengan meningkatkan aliran darah ke uterus.4

21

Mekanisme kerja magnesium sulfat adalah menekan pengeluaran


asetilkolin pada motor endplate. Magnesium sebagai kompetisi antagonis kalsium
juga memberikan efek yang baik untuk otot skelet. Magnesium sulfat dikeluarkan
secara eksklusif oleh ginjal dan mempunyai efek antihipertensi.4
Dapat diberikan dengan dua cara, yaitu IV dan IM. Rute intravena lebih
disukai karena dapat dikontrol lebih mudah dan waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat terapetik lebih singkat. Rute intramuskular cenderung lebih
nyeri dan kurang nyaman, diguna-kan jika akses IV atau pengawasan ketat pasien
tidak mungkin. Pemberian magnesium sulfat harus diikuti dengan pengawasan
ketat atas pasien dan fetos.4
Terapi magnesium biasanya dilanjutkan 12-24 jam setelah bayi lahir, dapat
dihentikan jika tekanan darah membaik serta diuresis yang adekuat. Kadar
magnesium harus diawasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, pada level
6-8 mg/dl. Pasien dengan urine output yang meningkat memerlukan dosis rumatan
untuk mempertahankan magnesium pada level terapetiknya. Pasien diawasi
apakah ada tanda-tanda perburukan atau adanya keracunan magnesium.4
Protokol pemberian magnesium menurut The Parkland Memorial
Hospital, Baltimore, adalah sebagai berikut:

4 g. magnesium sulfat IV dalam 5 menit, dilanjutkan dengan


10 g. magnesium sulfat dicampur dengan 1 ml lidokain 2% IM dibagi pada
kedua bokong. Bila kejang masih menetap setelah 15 menit lanjutkan dengan
pemberian 2 g. magnesium sulfat IV dalam 3-5 menit. Sebagai dosis rumatan,
4 jam kemudian berikan 5 g. magnesium sulfat IM, kecuali jika refleks patella

22

tidak ada, terdapat depresi pernafasan, atau urine output <100 ml dalam 4 jam
tersebut. Atau dapat diberikan magnesium sulfat 2-4 g/jam IV. Bila kadar
magnesium >10 mg/dl dalam waktu 4 jam setelah pemberian bolus maka dosis
rumatan dapat diturunkan. Level terapetik adalah 4,8-8,4 mg/dl.4
Dengan protokol di atas, biasanya serum magnesium akan mencapai 4-7
mg/dl pada pasien dengan distribusi volume normal dan fungsi ginjal yang
normal. Pengawasan aktual serum magnesium hanya dilakukan pada pasien
dengan gejala keracunan magnesium atau pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal.4
Pasien dapat mengalami kejang ketika mendapat magnesium sulfat. Bila
kejang timbul dalam 20 menit pertama setelah menerima loading dose, kejang
biasanya pendek dan tidak memerlukan pengobatan tambahan. Bila kejang timbul
>20 menit setelah pemberian load-ing dose, berikan tambahan 2-4 gram
magnesium.4
Dosis pemberian MgSO4:4
1. Dosis inisial: 4-6 g. IV bolus dalam 15-20 menit; bila kejang timbul setelah
pemberian bolus, dapat ditambahkan 2 g. IV dalam 3-5 menit. Kurang lebih
10-15% pasien mengalami kejang lagi setelah pemberian loading dosis.
2. Dosis rumatan: 2-4 g./jam IV per drip. Bila kadar magnesium > 10 mg/dl
dalam waktu 4 jam setelah pemberian per bolus maka dosis rumatan dapat
diturunkan.
Pada Magpie Study, untuk keamanan, dosis magnesium dibatasi. Dosis
awal terbatas pada 4 g. bolus IV, dilanjutkan dengan dosis rumatan 1 g./jam. Jika

23

diberikan IM, dosisnya 10 g. dilanjutkan 5 g. setiap 4 jam. Terapi diteruskan


hingga 24 jam.4
Kontraindikasi pemberian MgSO4 adalah pada pasien dengan hipersensitif
terhadap magnesium, adanya blok pada jantung, penyakit Addison, kerusakan otot
jantung, hepatitis berat, atau myasthenia gravis.4
Interaksi MgSO4 terhadap obat lain adalah jika penggunaan bersamaan
dengan nifedipin dapat menyebabkan hipotensi dan blokade neuromuskular. Dapat
meningkatkan terjadinya blokade neuromuskular bila digunakan dengan
aminoglikosida, potensial terjadi blokade neuromuskular bila digunakan
bersamaan

dengan

tubokurarin,

venkuronium

dan

suksinilkolin.

Dapat

meningkatkan efek SSP dan toksisitas dari depresan SSP, betametason dan
kardiotoksisitas dari ritodrine.4
Kategori keamanan pada kehamilan : A - aman pada kehamilan.
Perhatikan selalu adanya refleks yang hilang, depresi nafas dan penurunan
urine output: Pemberian harus dihentikan bila terdapat hipermagnesia dan pasien
mungkin membutuhkan bantuan ventilasi. Depresi SSP dapat terjadi pada kadar
serum 6-8 mg/dl, hilangnya refleks tendon pada kadar 8-10 mg/dl, depresi
pernafasan pada kadar 12-17 mg/dl, koma pada kadar 13-17 mg/dl dan henti
jantung pada kadar 19-20 mg/dl. Bila terdapat tanda keracunan magnesium, dapat
diberikan kalsium glukonat 1 g. IV secara perlahan.
Magnesium sulfat harus dipikirkan untuk wanita hamil dengan eklampsia
karena harganya murah, cocok digunakan di negara yang pendapatannya rendah.
Pemberian intravena lebih disukai karena efek sam-pingnya lebih rendah dan

24

masalah yang disebabkan oleh tempat penyuntikan lebih sedikit. Lamanya pengobatan umumnya tidak lebih dari 24 jam, dan bila rute intravena digunakan untuk
terapi rumatan maka dosisnya jangan melebihi 1 g/jam.Pemberian dan pengawasan klinik selama pemberian magnesium sulfat dapat dilakukan oleh staf
medik, bidan dan perawat yang sudah terlatih.4
b. Fenitoin
Fenitoin telah berhasil digunakan untuk mengatasi kejang eklamptik,
namun diduga menyebabkan bradikardi dan hipotensi. Fenitoin bekerja
menstabilkan aktivitas neuron dengan menurunkan flux ion di seberang membran
depolarisasi.
Keuntungan fenitoin adalah dapat dilanjutkan secara oral untuk beberapa
hari sampai risiko kejang eklamtik berkurang. Fenitoin juga memiliki kadar
terapetik yang mudah diukur dan penggunaannya dalam jangka pendek sampai
sejauh ini tidak memberikan efek samping yang buruk pada neonatus.4
Dosis awal: 10 mg/kgbb. IV per drip dengan kecepat-an < 50 mg/min,
diikuti dengan dosis rumatan 5 mg/kgbb 2 jam kemudian.
Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap fenitoin, blok sinoatrial, AV blok
tingkat kedua dan ketiga, sinus bradikardi, sindrom Adams-Stokes.4
Interaksi:

Amiodaron,

benzodiazepin,

kloramfenikol,

simetidin,

flukonazol, isoniazid, metronidazol, mico-nazol, fenilbutazon, suksinimid,


sulfonamid, omeprazol, fenasemid, disulfiram, etanol (tertelan secara akut),
trimethoprim dan asam valproat dapat meningkatkan toksisitas fenitoin.
Efektivitas fenitoin dapat berkurang bila digunakan bersamaan dengan obat

25

golongan

barbiturat,

diazoksid,

etanol,

rifampisin,

antasid,

charcoal,

karbamazepin, teofilin, dan sukralfat. Fenitoin dapat menurunkan efektifitas


asetaminofen,

kortikosteroid, dikumarol,disopiramid,

doksisiklin, estrogen,

haloperidol, amiodaron, karbamazepin, glikosida jantung, kuinidin, teofilin,


methadon, metirapon, mexiletin, kontrasepsi oral, dan asam valproat.
Kategori keamanan pada kehamilan: D-Tidak aman untuk kehamilan
Peringatan: Diperlukan pemeriksaan hitung jenis dan analisis urin saat terapi
dimulai untuk mengetahui adanya diskrasia darah. Hentikan penggunaan bila terdapat skin rash, kulit mengelupas, bulla dan purpura pada kulit. Infus yang cepat
dapat menyebabkan kematian karena henti jantung, ditandai oleh melebarnya
QRS. Hati-hati pada porfiria intermiten akut dan diabetes (karena meningkatkan
kadar gula darah). Hentikan penggunaan bila terdapat disfungsi hati.4
c. Diazepam
Telah lama digunakan untuk menanggulangi kegawatdaruratan pada
kejang eklamptik. Mempunyai waktu paruh yang pendek dan efek depresi SSP
yang signifikan.
Dosis : 5 mg IV
Kontraindikasi: Hipersensitif pada diazepam, narrow-angle glaucoma
Interaksi: Pemberian bersama fenotiazin, barbiturat, alkohol dan MAOI
meningkatkan toksisitas benzodia-zepin pada SSP.
Kategori keamanan pada kehamilan: D-tidak aman digunakan pada wanita hamil
Peringatan : Dapat menyebabkan flebitis dan trombosis vena, jangan diberikan
bila IV line tidak aman; Dapat menyebabkan apnea pada ibu dan henti jantung

26

bila diberikan terlalu cepat. Pada neonatus dapat menyebabkan depresi nafas,
hipotonia dan nafsu makan yang buruk.4
2. Antihipertensi
Hipertensi yang berasosiasi dengan eklampsia dapat dikontrol dengan
adekuat dengan menghentikan kejang. Antihipertensi digunakan bila tekanan
diastolik >110 mmHg. untuk mempertahankan tekanan diastolik pada kisaran 90100 mmHg. Antihipertensi mempunyai 2 tujuan utama:
1. Menurunkan angka kematian maternal dan kematian yang berhubungan
dengan kejang, stroke dan emboli paru
2. Menurunkan angka kematian fetus dan kematian yang disebabkan oleh IUGR,
placental abruption dan infark.
Bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat akan menyebabkan hipoperfusi
uterus. Pembuluh darah uterus biasanya mengalami vasodilatasi maksimal dan
penurunan tekanan darah ibu akan menyebabkan penurunan perfusi uteroplasenta.
Walaupun cairan tubuh total pada pasien eklampsia berlebihan, volume
intravaskular mengalami penyusutan dan wanita dengan eklampsia sangat sensitif
pada perubahan volume cairan tubuh. Hipovolemia menyebabkan penurunan
perfusi uterus sehingga penggunaan diuretik dan zat-zat hiperosmotik harus
dihindari.4
Obat-obatan yang biasa digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi
adalah hidralazin dan labetalol. Nifedipin telah lama digunakan tetapi masih
kurang dapat diterima.
a. Hidralazin

27

Merupakan vasodilator arteriolar langsung yang menyebabkan takikardi


dan peningkatan cardiac output. Hidralazin membantu meningkatkan aliran darah
ke uterus dan mencegah hipotensi. Hidralazin dimetabolisir di hati. Dapat
mengontrol hipertensi pada 95% pasien dengan eklampsia.
Dosis: 5 mg IV ulangi 15-20 menit kemudian sampai tekanan darah <110
mmHg. Aksi obat mulai dalam 15 menit, puncaknya 30-60 menit, durasi kerja 4-6
jam. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap hidralazin, penyakit rematik katup
mitral jantung. Interaksi: MAOI dan beta-bloker dapat meningkatkan toksisitas
hidralazin dan efek farmakologi hidralazin dapat berkurang bila berinteraksi
dengan indometasin. Peringatan: Pasien dengan infark miokard, memiliki
penyakit jantung koroner; Efek sampingnya kemerahan, sakit kepala, pusingpusing, palpitasi, angina dan sindrom seperti idiosinkratik lupus (biasanya pada
penggunaan kronik).
Kategori keamanan pada kehamilan: C - keamanan penggunaanya pada
wanita hamil belum pernah ditetapkan.
b. Labetalol
Merupakan beta-bloker non selektif. Tersedia dalam preparat IV dan per
oral. Digunakan sebagai pe-ngobatan alternatif dari hidralazin pada penderita
eklampsia. Aliran darah ke uteroplasenta tidak dipe-ngaruhi oleh pemberian
labetalol IV.
Dosis: Dosis awal 20 mg, dosis kedua ditingkatkan hingga 40 mg, dosis
berikutnya hingga 80 mg sampai dosis kumulatif maksimal 300 mg; Dapat
diberikan secara konstan melalui infus; Aksi obat dimulai setelah 5 menit, efek

28

puncak pada 10-20 menit, durasi kerja obat 45 menit sampai 6 jam.
Kontraindikasi: Hipersensitif pada labetalol, shock kardiogenik, edema paru,
bradikardi,

blok

atrioventrikular,

gagal

jantung

kongestif

yang

tidak

terkompensasi; penyakit saluran nafas reaktif, bradikardi berat. Interaksi:


Menurunkan efek diuretik dan meningkatkan toksisitas dari metotreksat, litium,
dan salisilat. Menghilangkan refleks takikardi yang disebabkan oleh penggunaan
nitrogliserin tanpa efek hipotensi. Simetidin dapat meningkatkan kadar labetalol
dalam gula darah. Glutetimid dapat menurunkan efek labetalol de-ngan cara
menginduksi enzim mikrosomal. Peringatan: Hati-hati bila digunakan pada pasien
dengan gangguan fungsi hati. Hentikan penggunaan bila terdapat tanda disfungsi
hati. Pada pasien yang berumur dapat terjadi keracunan ataupun respons yang
rendah.
Kategori keamanan pada kehamilan : C-keamanan penggunaanya pada
wanita hamil belum ditetapkan.
c. Nifedipin
Merupakan Calcium Channel Blocker yang mempunyai efek vasodilatasi
kuat arteriolar. Hanya tersedia dalam bentuk preparat oral.
Dosis: 10 mg per oral, dapat ditingkatkan sampai dosis maksimal 120 mg/
hari. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap nifedipin. Interaksi: Hati-hati pada
penggunaan bersamaan dengan obat lain yang berefek menurunkan tekanan darah,
termasuk beta blocker dan opiat; H2 bloker (simetidin) dapat meningkatkan
toksisitas. Peringatan: Dapat menyebabkan edema ekstremitas bawah, jarang
namun dapat terjadi hepatitis karena alergi. Masalah utama penggunaan nifedipin

29

adalah hipotensi. Hipotensi biasanya terjadi bila mengkonsumsi kalsium.


Sebaiknya dihindari pada kehamilan dengan IUGR dan pada pasien dengan fetus
yang terlacak memiliki detak jantung abnormal.
Kategori keamanan pada kehamilan: C - Keamanan penggunaannya pada
wanita hamil belum ditetapkan.
d. Klonidin
Merupakan agonis selektif reseptor 2 ( beta 2-agonis). Obat ini
merangsang adrenoreseptor 2 di SSP dan perifer, tetapi efek antihipertensinya
terutama akibat perangsangan reseptor 2 di SSP.
Dosis: dimulai dengan 0.1 mg dua kali sehari; dapat ditingkatkan 0.1-0.2
mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Penggunaan klonidin menurunkan tekanan darah
sebesar 30-60 mmHg, dengan efek puncak 2-4 jam dan durasi kerja 6-8 jam. Efek
samping yang sering terjadi adalah mulut kering dan sedasi, gejala ortostatik
kadang terjadi. Penghentian mendadak dapat me-nimbulkan reaksi putus obat.
Kontraindikasi: Sick-sinus syndrome, blok artrioventrikular derajat dua atau tiga.
Interaksi: Diuretik, vasodilator, -bloker dapat mening-katkan efek antihipertensi.
Pemberian bersamaan dengan -bloker dan atau glikosida jantung dapat
menurunkan denyut jantung dan disritmia. Pemberian bersamaan dengan
antidepresan trisiklik dapat menurunkan kemampuan klonidin dalam menurunkan
tekanan darah. Peringatan: Hati-hati pada pasien dengan kelainan ritme jantung,
kelainan sistem konduksi AV jantung, gagal ginjal, gangguan perfusi SSP ataupun
perifer, depresi, polineuropati, konstipasi. Dapat menurunkan kemampuan
mengendarai mobil ataupun mengoperasikan mesin.

30

Kategori keamanan pada kehamilan: C - keamanan penggunaannya pada


wanita hamil belum ditetapkan.4
3. Kortikosteroid
Pada pre-eklampsia berat kortikosteroid hanya diberikan pada kehamilan
preterm < 34 minggu dengan tujuan untuk mematangkan paru janin. Semua
kehamilan 34 minggu yang akan diakhiri diberikan kortikosteroid dalam bentuk
dexamethasone atau betamethasone.10
National Institute of Health (NIH, 2000) menganjurkan pemberian
kortikosteroid pada semua wanita dengan usia kehamilan 24-34 minggu yang
berisiko melahirkan preterm, termasuk penderita pre-eklampsia berat. Pemberian
betamethasone 12 mg intra-muskuler dua dosis dengan interval 24 jam, atau
pemberian dexamethasone 6 mg intra-vena empat dosis dengan interval 12 jam.10

J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin, usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita eklampsia. Berikut adalah
beberapa komplikasi yang ditimbulkan pada pre-eklampsia berat dan eklampsia :1
1. Solutio Plasenta, Biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut
dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia.
2. Hipofibrinogemia, Kadar fibrin dalam darah yang menurun.
3. Hemolisis, Penghancuran dinding sel darah merah sehingga menyebabkan
plasma darah yang tidak berwarna menjadi merah.

31

4. Perdarahan Otak Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian


maternal penderita eklampsia
5. Kelainan mata, kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung
selama seminggu.
6. Edema paru, pada kasus eklampsia, hal ini disebabkan karena penyakit
jantung.
7. Nekrosis hati, nekrosis periportan pada pre-eklampsia, eklamsi merupakan
akibat vasopasmus anterior umum. Kelainan ini diduga khas untuk
eklampsia.
8. Sindrome Hellp, Hemolysis, elevated liver enymes dan low platelete.
9. Kelainan

ginjal,

kelainan

berupa

endoklrosis

glomerulus,

yaitu

pembengkakkan sitoplasma sel endotial tubulus. Ginjal tanpa kelainan


struktur lain, kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal
ginjal.
10. Komplikasi lain, lidah tergigit, trauma dan faktur karena jatuh akibat
kejangkejang preumania aspirasi, dan DIC (Disseminated Intravascular
Coogulation)
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra uteri.
TINJAUAN PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai