Anda di halaman 1dari 22

PARADIGMA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

TENTANG STATUS SAKSI NIKAH


Endang Hamzah, Jejen Abdullah, Imam Sucipto
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Nurul Hikmah

ABSTRAK
Pernikahan menurut Islam bertujuan memperoleh kedamaian,
kecintaan, dan kasih sayang. Dalam akad pernikahan terdapat
syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Salah satu rukun akad
pernikahan menurut jumhur ulama adalah harus dihadiri oleh dua
orang saksi yang adil. Tetapi kehadiran saksi dalam akad
pernikahan tersebut terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama,
Undang-Undang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
Penelitian ini mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa: Status
saksi nikah menurut pendapat empat madzhab adalah sebagai
berikut: menurut Madzhab Hanafi, saksi merupakan rukun dalam
akad nikah, tetapi menurutnya untuk menjadi saksi dalam
pernikahan tidak disyaratkan harus orang yang adil, menurutnya
pernikahan yang disaksikan oleh dua orang laki-laki sekalipun fasik
atau dengan seorang laki-laki dan dua orang perempuan hukumnya
adalah sah. Madzhab Maliki berpendapat bahwa saksi bukan
merupakan rukun dalam akad pernikahan, sesungguhnya yang
menjadi
syarat
adalah
pemberitahuan.
Madzhab
Syafi`i
berpendapat bahwa saksi merupakan rukun dalam akad nikah.
Pernikahan tersebut harus diakadkan di hadapan dua orang saksi
laki-laki yang adil. Madzhab Hanbali berpendapat, saksi tidak
termasuk rukun nikah. Pernikahan yang tanpa di hadiri oleh saksi
hukumnya tetap sah. Karena Nabi Muhammad SAW pernah
memerdekakan Shafiyah dan menikahinya tanpa disaksikan
seorang saksi. Status saksi nikah menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 adalah saksi wajib ada dalam akad nikah. Hal itu sesuai
pada pasal 26 ayat 1 yang berbunyi: Perkawinan yang
dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan
tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus
keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
Sedangkan status saksi dalam akad nikah menurut KHI adalah
sebagai rukun, yakni dalam akad nikah harus disaksikan oleh dua
orang saksi sebagaimana terdapat pada bagian keempat Pasal 24
1

yang bunyinya sebagai berikut, Pasal 24 ayat 1. saksi dalam


perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Dan ayat 2
setiap perkawinan harus di saksikan oleh dua orang saksi.

TUJUAN
pernikahan menurut konsepsi Islam terdapat syarat-syarat
dan rukun-rukun yang harus ditempuh, karena tanpa memenui
aturan yang ada, maka pernikahan dianggap tidak sah. adapun
syarat pernikahan agak tersamar dengan rukun pernikahan itu
sendiri. Sebagaimana kita ketahui, syarat dan rukun itu berbeda,
syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu perbuatan,
namun berada di luar perbuatan itu. Sedangkan rukun adalah, suatu
yang harus ada dan menjadi bagian dari perbuatan tersebut. Di
antara rukun nikah yang banyak di perdebatkan adalah masalah
status saksi dalam akad pernikahan.1 Berkaitan dengan masalah
tersebut dapat di jelaskan tujuan penelitian adalah ntuk
menjelaskan bagaimana status saksi nikah menurut hukum islam
dan hukum positif.

METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan
penelitian pustaka (library
research). Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan
informasi dengan
bantuan bermacam-macam material yang
terdapat di ruangan perpustakaan, seperti: buku-buku, majalah,
dokumen, catatan, kisah-kisah sejarah dan
lain-lainnya. Pada
hakekatnya data yang diperoleh dengan penelitian perpustakaan
ini dapat dijadikan landasan dasar dan alat utama bagi
pelaksanaan penelitian. Penelitian ini dikatakan juga sebagai
penelitian yang membahas data-data sekunder.2 Riset pustaka tidak
hanya sekedar urusan membaca dan mencatat literatur
1Rahmat Hakim, Hukum, hlm. 82

sebagaimana yang sering dipahami banyak orang selama ini. Apa


yang disebut dengan riset kepustakaan ialah serangkaian kegiatan
yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka,
membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.3
Bisa dikatakan juga penelitian ini menggunakan metode
Content Analisys yaitu model yang digunakan dalam penelitian
yang bersifat normatif, dalam arti untuk menganalisis teks
pemikiran ulama (empat madzhab) Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam.

TEMUAN
A. Saksi nikah menurut pendapat Madzhab Hanaf
Berbicara tentang saksi dalam akad nikah banyak terjadi
perbedaan pendapat, hal itu terjadi karena pebedaan dalam
memahami al-Qur`an dan al-Hadits, sehingga istinbath hukumnya
juga berbeda. Adapun pendapat madzhab hanafi adalah sebagai
berikut: dalam kitab al-Ikhtiyar lita`lil al-Mukhtar dijelaskan,





Pernikahan orang Islam hukumnya tidak akan terjadi (tidak
sah) kecuali dihadiri (disaksikan) oleh dua orang laki-laki atau
satu laki-laki dan dua orang perempuan. wajib didalam diri
seorang saksi adanya sifat merdeka, dan Islam. Dan tidak

2Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi


Aksara, 1999), hlm. 28
3Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008), hlm. 3

disyaratkan adanya sifat adil. Dan akad nikah hukumnya sah


dengan disaksikan oleh orang buta.4
Menurut madzhab Hanafi, saksi merupakan syarat akad nikah,
hal itu mengacu pada hadits nabi la nikaha illa bi syuhud
(pernikahan tidak sah kecuali adanya saksi) dan diriwayatkan dari
ibn Abbas dari nabi Saw, sesungguhnya nabi bersabda al-Zaniyatu
allati tankihu nafsaha bighairi al-Bayyinah (perempuan pezina
adalah perempuan yang menikahkan dirinya tanpa di saksikan oleh
saksi). Adapun kriteria saksi menurut madzhab hanafiyah adalah
merdeka, berakal, dan baligh. Sedangkan seorang hamba sahaya,
anak kecil, dan orang gila tidak boleh menjadi saksi.5
Sedangkan dalam kitab Jauhar al-Nayyirah di terangkan
tentang saksi dalam akad nikah sebagai berikut:

)
(








)
(
Pernikahan orang Islam hukumnya tidak sah tanpa di saksikan
oleh dua saksi yang merdeka, Islam, baligh, dan berakal.
Disyaratkan kedatangan saksi tersebut saat akad nikah terjadi,
bukan ketika saat resepsi. Disyaratkan harus merdeka, karena

4Maududi, Abdullah bin Muhammad bin, al-Ikhtiyar li al-Ta`lil al-Mukhtar, juz 3-5,
(Araby: Dar al-Fikr, t.t,), hlm. 83

5Ibid.

sesungguhnya hamba sahaya tidak mempunyai persaksian.


Dan disyaratkan harus baligh dan berakal karena karena tidak
ada kekuasaan kecuali dengan keduanya. Dan wajib adanya
kriteria Islam karena orang kafir tidak boleh menjadi saksi
terhadap orang Islam. Sesungguhnya orang kafir tidak boleh
menjadi saksi terhadap anak perempuannya yang muslimah.
Mushanif juga berkata, selain kedua saksi harus merdeka,
muslim, aqil, dan baligh, akad nikah juga boleh disaksikan oleh
satu laki-laki dan dua perempuan. Baik adanya saksi tersebut
bersifat adil atau tidak adil.6
Sedangkan dalam kitab Bidayah al-Mujtahid dijelaskan pula
tentang saksi nikah,



:


.
Menurut pendapat Abu Hanifah pernikahan hukumnya sah
dengan disaksikan oleh orang fasik, karena tujuan persaksian
adalah untuk mengumumkan saja. Adapun menurut imam
Syafi`i, Syahadah itu mempunyai dua pengertian, pertama
pengumuman dan yang kedua adalah penerimaan. Maka dari
itu disyaratkan saksi harus adil. Adapun menurut malik, kata
syahadah hanya mengandung arti pengumuman, dengan itu
ketika akad nikah di saksikan oleh dua saksi, tetapi saksi
tersebut di minta untuk merahasiakan akad tersebut, hukum
pernikahan tidak sah.7

6Yumna, Abi Bakr ibn Ali ibn Muhammad al-Haddadi al-Jauharah al-Nayyirah, juz 2
(Pakistan: Maktabah Haqqaniyyah, 800 H), hlm. 66

7Ryusdi, Ibnu, II, penerjamah Imam Ghazali, Ahmad Zaidun, Bidayah al-Mujtahid,
(Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hlm. 17

Adapun dalam kitab al-Mabsuthat al-Syarkhasi dijelaskan pula


tentang saksi dalam akad nikah:






Pada dasarnya menurut kita (madzhab hanafiyah) setiap orang
yang boleh melakukan akad dengan dirinya sendiri, maka
hukumnya boleh juga menjadi saksi. Dan setiap orang yang
patutt menjadi saksi, maka hukumnya sah menjadi saksi. dan
masih berbicara dalam masalah pernikahan, menurut kita akad
nikah hukumnya sah dengan disaksikan oleh orang fasik.8

Sedangkan dalam kitab al-Binayah fi Syarh al-Hidayah di


jelaskan pula tentang masalah saksi:




Pernikahan orang Islam hukumnya tidak sah tanpa dihadiri oleh
dua orang saksi yang merdeka, berakal, baligh, islam, dua lakilaki atau satu laki-laki dan dua orang perempuan, baik saksi
tersebut adil atau tidak.

B. Saksi nikah menurut pendapat Madzhab Maliki


Sebagaimana madzhab yang lain, madzhab maliki yang
didirikan oleh Imam Malik juga mempunya pendapat tersendiri
tentang saksi nikah, adapun pendapat tersebut bisa dilihat dalam
kitab Bidayah al-Mujtahid:

:

8Syarkhasi, Syam al-Din, Kitab al-Mabsuthat, (Bairut: Dar al-Ma`rifah, t.t), hlm. 31


.
Abu Tsur dan jama`ah berkata, saksi itu tidak termasuk syarat
dari syarat sahnya akad nikah dan juga tidak termasuk syarat
sempurnanya akad nikah, hal itu di lakukan oleh al-Hasan bin
Ali, diriwayatkan darinya bahwa sesungguhnya nabi menikah
tanpa di saksikan oleh saksi, tetapi kemudian mengumumkan
pernikahan tersebut.9
Sedangkan dalam kitab al-Mabsuthat dikatakan,








Malik dan ibn Abi Laily dan Ustman al-Baty Rahimahullah
berkata, saksi tidak termasuk syarat dalam akad nikah,
sesungguhnya syarat nikah adalah mengumumkan. Dan ketika
akad nikah tersebut diumumkan walau dihadapan anak-anak
kecil dan orang-orang gila, maka pernikahan hukumnya sah.10
Begitu pula di jelaskan dalam kitab al-Kafi fi al-Fiqh Ahli
Madinah al-Maliki,

9Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi al-Qurtubi,
Bidayah al-Mujtahid, (Lebanon Bairut: Dar al-Ma`rifah, 140 H), hlm. 18
10Syarkhasi, Syam al-Din, Kitab al-Mabsuthat, (Bairut: Dar al-Ma`rifah, t.t), hlm.
30-31




Pernikahan hukumnya sah tanpa dihadiri dan disaksikan oleh
saksi, hal itu menurut Malik sebagaimana sahnya akad jual beli
tanpa adanya saksi, dengan catatan ketika antara laki-laki
yang perempuan yang akad sama-sama ridha. Dan menurut
Malik yang termasuk fardhu nikah adalah mengumumkan
pernikahan tersebut, tujuannya adalah untuk menjaga nasab.11

Sedangkan dalam kitab al-Tafrig Malik juga berpendapat


sebagai berikut,




Malik rahimahullah berkata, akad nikah hukumnya boleh tanpa
disaksikan
oleh
saksi,
tetapi
di
sunnahkan
untuk
mengumumkannya.12
C. Saksi nikah menurut pendapat Madzhab Syaf`i
Untuk selanjutnya, adalah pendapat Imam Syafi`i tentang
saksi nikah, sebagaimana imam-imam yang lain, al-Syafi`i dan para
pengikutnya juga punya pendapat tersendiri, salah satunya yang di
jelaskan dalam kitab al-Muhaddab sebagai berikut:
11Qurtuby, Abi Umar Yusuf ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Abd al-Birri al-Namri,
al-Kafi fi Fiqh Ahl Madinah al-Maliki, (Bairut Lebanon: Dar al-Kitab al-Alamiyah,
t.t), hlm. 229

12Bashri, Abi Qasim Ubaidillah bin al-Hasan bin al-Hasan bin al-Jallab, al-Tafrig,
Juz 2, (Bairut: Dar al-`Arab al-Islami,378 H), hlm. 33







Pernikahan hukumnya tidak sah kecuali disaksikan oleh dua
orang saksi. Dan pernikahan hukumnya tidak sah tanpa
disaksikan oleh dua saksi laki-laki. Maka ketika akad nikah
disaksikan oleh satu laki-laki dan dua orang perempuan hukum
pernikahan tidak sah. Sebagaimana hadits `Aisyah radhiyallahu
anha pernikahan hukumnya tidak sah tanpa disaksikan oleh
dua saksi yang adil sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu
Mas`ud, sesungguhnya nabi bersabda: tidak sah suatu
pernikahan kecuali adanya wali dan dua orang saksi yang
adil.13
Dan dijelaskan pula dalam kitab al-Umm,

Akad nikah harus disaksikan oleh oleh dua saksi yang adil,
ketika akad nikah kurang dari satu (hanya disaksikan oleh satu
saksi) maka pernikahan hukumnya rusak (tidak sah) dan ketika
pernikahan disaksikan oleh orang yang tidak sah kesaksiannya
walaupun orang banyak dari orang Islam atau disaksikan

13Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Syaerazi Abu Ishaq, al-Muhaddab fi al-Fiqh al-Imam
al-Syafi`i, Juz 2, (Bairut: Dar al-Ma`rifah, 160), hlm. 40

hamba-hamba orang Islam atau disaksikan ahli dzimmi, maka


pernikahan hukumnya tidak sah sehingga akan sah ketika di
saksikan oleh dua orang saksi yang adil.14
Selanjutnya dijelaskan pula dalam kitab al-Bajuri,







Akad nikah hukumnya tidak sah kecuali dihadiri oleh dua orang
saksi yang adil. Mushannif berkata dari syarat wali dan dua
orang saksi dalam perkataannya, seorang wali dan dua orang
saksi dibutuhkan adanya enam syarat, pertama Islam, kedua
baligh, ketiga berakal, keempat merdeka, kelima laki-laki dan
keenam adil.15
Di dalam kitab Minhaj al-Thalibin juga menyinggung tentang
masalah saksi,



Pernikahan hukumnya tidak sah kecuali dihadiri oleh dua orang
saksi, adapun kriteria seorang saksi harus merdeka, laki-laki,
adil, mendengar, dan melihat.16
14Syafi`i, al-Imam Muhammad bin Idris al-, al-Umm, juz 6, (Bairut: Dar al-Kutub
al-Alamiyah, 604 H), hlm. 57-59

15Ghazzi, Ibn Qasim, Hasiyah al-Syaikh Ibrahim al-Baejuri, Juz 2, (Bairut:


Lebanon, t.t), hlm. 190-195

10

Sedangkan dalam kitab Raudhah al-Thalibin di jelaskan,





Rukun nikah yang ketiga adalah persaksian, maka pernikahan
hukumnya tidak sah kecuali dihadiri oleh dua orang laki-laki
yang muslim, mukallaf, merdeka, adil, mendengar, melihat,
mampu mengetahui lisan (perkataan) dua orang yang sedang
berakad, diucapkan dalam suatu riwayat, pernikahan
hukumnya sah disaksikan oleh orang buta dengan catatan
orang buta tersebut benar-benar kenal dengan suara kedua
orang yang berakad.17
Adapun menurut kitab Mughni al-Muhtaj,



)
(
Pernikahan hukumnya tidak sah kecuali dihadiri oleh dua orang
saksi karena adanya hadits dari ibnu Hibban didalam kitab
shahihnya dari `Aisyah, tidak ada pernikahan kecuali adanya
wali dan dua orang saksi yang adil, ketika ada pernikahan
tanpa ada hal tersebut maka pernikahan hukumnya batal.18
Selanjutnya dijelaskan pula dalam kitab al-Bayan.
16Nawawi, Muhyi al-Din Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-, Minhaj al-Thalibin wa
`Umdah al-Muftin, (Bairut: Dar al-Minhaj, 676 H), hlm. 375

17Dimsyiqi, Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-, Raudloh alThalibin, Juz 5, (Bairut: Dar `Alim al-Kutub, 676 H), hlm. 391-392

11






Pernikahan hukumnya tidak sah kecuali dihadiri oleh dua saksi
laki-laki yang adil, hal itu diriwayatkan dari Umar ibn Khattab
dan ali bin Abi Thalib dan Ibn Abbas dan Hasan al-Bhasri dan
ibn Musayyab dan Nakha`I dan Sya`yi dan Auza`I dan Ahmad.19
D. Saksi nikah menurut pendapat Madzhab Hanbali
Imam Ahmad Ibn Hanbal di dalam kitab al-Kafi berpendapat
tentang bagaimana hukum status saksi dalam akad nikah, menurut
pandangan dia bahwa dalam akad nikah tidak disyaratkan adanya
saksi. Pernikahan yang tanpa di hadiri oleh saksi hukumnya tetap
sah. Karena Nabi Muhammad pernah memerdekakan Shafiyah dan
menikahkannya tanpa seorang saksi. Dan juga menurut Ahmad
sesungguhnya pernikahan adalah akad mu`awadhah (serah terima)
maka tidak syaratkan adanya persaksian sebagaimana dalam akad
jual-beli.

:



Dari Ahmad, sesungguhnya persaksian itu tidak termasuk
syarat sahnya pernikahan, karena Nabi Muhammad Saw

18Syarbiny, Syams al-Din Muhammad bin al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Bairut


Lebanon: Dar al-Ma`rifah, 676 H), hlm. 194-195

19Yamani, Abi al-Husaini Yahya Abi al-khair ibn Salim al-Imrani al-Syafi`i, alBayan fi Madzhab al-Imam al-Syafi`i, juz 7, (Bairut: Dar al-Minhaj, 558 H), hlm.
221-226

12

pernah memerdekakan Shafiyah dan mengawininya tanpa


menghadirkan saksi. Dan Karena sesungguhnya pernikahan
adalah akad mu`awadhah (serah terima), maka tidak
distaratkan adanya persaksian sebagaimana di dalam akad jual
beli.20
Kejadian itu di bulan Muharram tahun ke tujuh Selepas perang
khaybar setelah pembagian ghanimah, shahabat Diyyah mendapat
bagian yang diantranya ada wanita cantik, kemudian Rasulullah
Saw menukarnya dengan 7 (ada yg mengartikan "dibeli" sesuai
bahasa aslinya 7 qurus), kemudian wanita cantik itu (selanjtnya
dikenal sebagai Siti Shafiyah) oleh Rasulullah Saw dimerdekakan
oleh Nabi dan diserahkan kepada Ummu Sulaym untuk "diurus" (di
sini terkait dengan konsep istibro sebagi padanan `iddah bagi amat)
di perkemahan sampai selesai masa istibra, yaitu satu kali haid.
kemudian diantara para shahabat ada yang tidak tahu posisi
Shafiyah saat itu, maka salah satunya menjawab, kita lihat saja, jika
Shafiyah dihijab maka berarti ia sudah jadi istrinya Nabi, namun bila
tidak maka ia hanya sebagai budak. ternyata shafiyah itu dihijab,
dan itu menandakan ia telah menjadi isterinya, dari kondisi
tersebut, sebagian ulama menafsirkan bahwa Rasulullah menikahi
Shafiyah tanpa wali dan tanpa saksi.


:


: .
}
:



{
: .

20Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn, al-Kafii, juz
4. (Bairut: Hjr, 620 H), hlm. 238

13

Ibn Mundzir berkata, sesungguhnya nabi Muhammad Saw telah


memerdekakan Shafiyya binti Huyayyi kemudian menikahinya
tanpa disaksikan oleh saksi, Anas bin Malik berkata, Rasulullah
membeli seorang wanita jariyah dengan harga tujuh qurus,
kemudian umat manusia waktu itu berkata, kita tidak tahu
apakah rasulullah akan menikahinya atau menjadikan ummu
walad? Maka ketika melihat Safiyyah ternyata dihijab, dengan
kejadian
itu
berarti
sesungguhnya
Rasulullah
telah
21
menikahinya.
Pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal bahwa saksi tidak
termasuk syarat dalam akad nikah juga terdapat di dalam kitab alMughni,

.



.





Dari Ahmad, sesungguhnya akad nikah itu hukumnya sah
tanpa menghadirkan saksi. Hal itu juga dilakukan oleh Ibn
Umar, Hasan bin `Ali, Ibn Zubair, Salim, Hamzah. Dan berkata
Abdullah bin Idris, Abdul al-Rahman bin Mahdi, Yazid bin Harun,
`Anbari, Abu Tsaur, Ibn Mundir, sesuai dengan perkataan alZuhri dan Malik ketika pernikahan tersebut sudah di
umumkan.22

Dengan penjelasan di atas berarti sudah jelas bahwa


pandangan Ahmad Ibn Hanbal tentang status saksi dalam akad
nikah adalah bukan termasuk syarat sahnya pernikahan, pernikahan
tanpa dihadiri oleh saksi hukumnya sah. Pernyataan Ahmad Ibn
21Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn, al-Mughni,
juz 7, Riyad, `Alamu al-Kutub, 541), hlm. 7

22Ibid.

14

Hanbal yang lainnya bahwa tidak ada satupun ketetapan dalam alQur`an dan dari Rasulullah Saw yang mewajibkan adanya saksi
dalam akad pernikahan. Jika itu diwajibkan maka hal tersebut harus
bersumber dari Nabi Saw. Padahal dalam kenyataannya nabi sendiri
pernah menikahkan seseorang tanpa menghadirkan saksi untuk
menyaksikan akad nikah tersebut, Karena sesuatu yang wajib
adanya termasuk adanya saksi dalam akad pernikahan, hukumnya
wajib untuk dipublikasikan. Kedudukan hukum tentang adanya
persyaratan saksi dalam akad pernikahan di dalam Islam adalah
lemah (dha`if), sebab tidak ada dasar hukum penetapannya di
dalam sumber hukum Islam, baik dalam al-Qur`an ataupun Sunnah.
Sedangkan hadits tentang masalah saksi nikah yang diriwayatkan
oleh al-Daruqutni,

: }

{

Tidak dipandang sah pernikahan tanpa wali dan dua orang
saksi laki-laki yang adil.23
Menyikapi hadits diatas, Imam Ahmad sepakat dengan
pendapat Ibnu Mundir di dalam kitab al-Mugni bahwa sesungguhnya
tidak ada hadits yang menjelaskan tentang disyaratkannya saksi
dalam akad nikah.

:


Ibnu Mundir berkata: tidak ada ketetapan hadits yang
menjelaskan tentang disyaratkannya saksi dalam akad nikah.24

Tentang ketidak sahihannya hadits


yang mensyaratkan
adanya saksi dalam akad nikah juga dipertegas oleh Ibn Abdul alBirri, menurut beliau bahwa hadits di atas yang diriwayatkan oleh
al-Daru Qutni adalah hadits yang lemah.
23Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn, alKafii, juz 4. (Bairut: Hjr, 620 H), hlm. 21
24Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn, al-Mughni,
juz 7, Riyad, `Alamu al-Kutub, 541), hlm. 7

15


:

: }



Ibnu Abd al- Birri berkata: diriwayatkan dari Nabi Muhammad
Saw tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi
yang adil dari hadits yang diriwayatkan di atas dari Ibn Abbas
dan Abi Huraerah dan Ibn Umar adalah termasuk hadits dhoif.25

Begitu pula Ibn Mundzir berpendapat, dengan melihat


peristiwa bahwa Nabi pernah memerdekakan Shafiyah dan
mengawinkannya tanpa menghadirkan saksi, maka menurutnya
bahwa status saksi dalam akad pernikahan bukanlah suatu
kewajiwan yang harus di jalankan.

Ibnu Mundir berkata: sesungguhnya Nabi memerdekakan


Shafiyah kemudian mengawininya tanpa ada saksi.26
Kenyataannya, persyaratan mahar dalam pernikahan lebih
utama dari pada adanya saksi. Akan tetapi mengapa mereka tidak
mengangkat adanya mahar menjadi permasalahan yang penting
dalam akad pernikahan? Seharusnya adanya mahar itu dijelaskan
karena para sahabat pun tidak akan mengabaikan sesuatu yang
harus diketahui oleh semua orang muslim. Ada sebuah kekeliruan
berpikir dalam masyarakat yang suka mempermasalahkan sesuatu
yang bukan merupakan masalah, tetapi suka menganggap penting
sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan kewajiban. Contohnya
adalah masalah mahar dan saksi. Karena Anas bin Malik telah
berkata:
25Ibid.
26Ibid.

16

} :

:



{

Anas bin Malik r.a berkata: Rasulullah Saw pernah membeli


hamba sahaya dengan tujuh qurus, orang-orang berkata: kami
tidak tau apakah Rasulullah menikahinya atau menjadikannya
pengasuh? Ketika beliau hendak membuka hijabnya, maka
mereka mengetahui bahwa beliau telah menikahinya.27

Dengan melihat hadits diatas, Ahmad berpendapat,


pernikahan tanpa adanya saksi itu sah karena setiap akad
pernikahan cukuplah Allah sebagai saksi. Oleh karena itu, orang
orang yang menetapkan persyaratan adanya saksi dalam akad
penikahan merasa kebingungan karena mereka telah merusak
tatanan pokok hukum dan mereka juga tidak mempunyai
pernyataan yang berdasar pada hukum syar`i. yang lebih
mengherankan
lagi
yaitu
bahwa
sesungguhnya
Allah
memerintahkan persaksian itu adalah dalam rujuk bukan dalam
pernikahan. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an surat alThalaq ayat 2 menjelaskan:








Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa

27Ibid.

17

kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan


keluar.28
Akan tetapi mereka memerintahkan persaksian dalam
pernikahan dan kebanyakan tidak mewajibkan persaksian dalam
rujuk. Pendapat Yazid bin Harun yang menemukan kerancauan
berpikir ahli ra`yi, yaitu Allah memerintahkan persaksian dalam
jual-beli tidak dalam pernikahan,

:



Yazid bin Harun berkata: Allah Swt memerintahkan persaksian
didalam jual-beli tidak didalam pernikahan, tetapi para ahli
ra`yi justru mensyaratkan persaksian didalam pernikahan.29

E. Status saksi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974
Adapun hasil akhir Undang-Undang Perkawinan yang
disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam
67 (enam puluh tujuh) pasal.30 Sedangkan rancangan semula yang
diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal. Setelah
melalui perdebatan yang cukup sengit hingga timbul keteganganketegangan di dalam masyarakat, akhirnya pada tanggal 22
Desember 1973 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat
mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1973
(untuk selanjutnya ditulis RUUP 1973) menjadi Undang-Undang, dan
pada tanggal 02 Januari 1974 pemerintah telah mengundangkannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974
dengan nama Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
28Dkk, Soenarjo, al-Qur`an Terjamah, (Semarang: Toha Putra, 1971), hlm. 945
29Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn, al-Mughni,
juz 7, Riyad, `Alamu al-Kutub, 541), hlm. 7

30Yaitu undang-undang perkawinan yang berlaku sampai saat ini yang


diundangkan pada tanggal 02 Januari 1974. Dan penjelasannya dimuat
dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3019. C,S,T, Cansil, Pengantar,
hlm. 222.

18

1974 tentang Perkawinan. Dengan berlakunya Undang-Undang ini


maka berakhirlah keanekaragaman hukum perkawinan yang dulu
pernah berlaku bagi berbagai golongan warga Negara dan berbagai
daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 26
ayat 1 berbunyi: Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak
sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang
saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam
garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami
atau isteri.
F. Status saksi menurut Kompilasi Hukum Islam
Dijelaskan dalam kompilasi hukum Islam Bagian ke empat
tentang saksi nikah, Pasal dua puluh empat ayat satu. saksi dalam
perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Dan ayat
dua setiap perkawinan harus di saksikan oleh dua orang saksi. Pasal
dua puluh lima. Yang dapat di tunjuk menjadi saksi dalam akad
nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, baligh, tidak terganggu
ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani
akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah di langsungkan31
KESIMPULAN
Menurut Madzhab Hanafi, saksi merupakan rukun dalam akad
nikah, tetapi menurutnya untuk menjadi saksi dalam pernikahan
tidak disyaratkan harus orang yang adil, menurutnya pernikahan
yang disaksikan oleh dua orang laki-laki sekalipun fasik atau
dengan seorang laki-laki dan dua orang perempuan hukumnya
adalah sah.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa saksi bukan merupakan
rukun dalam akad pernikahan, sesungguhnya yang menjadi syarat
adalah pemberitahuan, sehingga pernikahan tersebut walau hanya
dihadiri oleh anak-anak dan orang gila sekalipun, maka pernikahan
tersebut adalah sah.
31Abdurrahman bin Muhammad bin Audli al-Jaziri, juz I, al-Fiqh `Ala Madzahib alArba`ah, (Baerut: Dar al-Kitab, 2005), hlm.119

19

Madzhab Syafi`i berpendapat bahwa saksi merupakan rukun


dalam akad nikah. Jika pernikahan di saksikan oleh orang yang tidak
boleh kesaksiannya, walaupun mereka itu banyak, maka pernikahan
tersebut tidak sah, sehingga pernikahan tersebut diakadkan di
hadapan dua orang saksi laki-laki yang adil.
Madzhab Hanbali berpendapat, saksi tidak termasuk rukun
nikah. Pernikahan yang tanpa di hadiri oleh saksi hukumnya tetap
sah. Karena Nabi Muhammad SAW pernah memerdekakan Shafiyah
dan menikahinya tanpa disaksikan seorang saksi.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 26
ayat 1 berbunyi: Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak
sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang
saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam
garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami
atau isteri.
Sedangkan saksi dalam Kompilasi hukum Islam sebagai
berikut: Bagian ke empat tentang saksi nikah, Pasal dua puluh
empat ayat satu. saksi dalam perkawinan merupakan rukun
pelaksanaan akad nikah. Dan ayat dua setiap perkawinan harus di
saksikan oleh dua orang saksi. Pasal dua puluh lima. Yang dapat di
tunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu
atau tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad
nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat
akad nikah di langsungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra, Muhammad, Tarikh al-Madzahib fi Tarikh al-Madzahib alFiqhiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958).
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV
Akademika Pressindo, 2007).
Abd al-Rahman bin Muhammad Balw, Bughyah al-Mustarsyidn
(Surabaya: al-Hidyah, t.t.).
Abdurrahman bin Muhammad bin Audli al-Jaziri,I, al-Fiqh `Ala
Madzahib al-Arba`ah, (Baerut: Dar al-Kitab, 2005).
Amak FZ. Proses Undang-Undang Perkawinan,. (Bandung: al Ma'arif,
1976).
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia: (Studi Kritis perkembangan Hukum Islam dari Fiqh,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI), (Jakarta:
Kencana, 2004).
20

Arifin,

Bustanul, Pemahaman Hukum Islam dalam Konteks


Perundang-Undangan, wahyu, No. 108 Th. VII Mei 1985.
Abi Bakr ibn Ali ibn Muhammad al-Haddadi al-Yumna, Jauharah alNayyirah, juz 3, (Pakistan: Maktabah Haqqaniyyah, 800 H).
Ahmad Ibn Ahmad ibn Salamah al-Qalyubi, al-Qalyubi, juz 3, (Bairut:
Mustafa al-Ba`I, 957 H).
Ali ibn Khalaf al-Maliki al-Misri, Kifayah al-Thalab al-Rabbani, juz 2,
(Bairut: Maktabah al-Khanaji, 1987). Al-Imam al-Syafi`i, alUmm, (Mathba`ah al- Amiriyah Kubra, 1321, jilid 1, t.th).
Abdurrahman bin Muhammad bin Audli al-Jaziri, juz I, al-Fiqh `Ala
Madzahib al-Arba`ah, (Baerut: Dar al-Kitab, 2005).
Abdullah ibn Mahmud ibn Maudud al-Mushalli al-Hunaeni, al-Ikhtiyar
li al-Ta`lil al-Mukhtar,juz 1,(Bairut Lebanon: Dar al-Kutub alAlamiyah,t.t).
Abu al-Walid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad, Bidayah
al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtashid.Juz 2, (Mesir: Dar alSalam, 1416).
Abdullah Mustafa Al Maraghi, Fath al-Mubin fi Tabaqat al Ushuliyyin,
Terj. Husein Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah,
Yogyakarta: LKPSM, 2001.
Abi Zakariyya Muhyiddin ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu` Syarh alMuhadzab, juz 4( Jiddah: Mamlakah al-`Arabiyyah alSu`udiyyah, Maktabah al-Irsyad, t.ht)
Bashri, Abi Qasim Ubaidillah bin al-Hasan bin al-Hasan bin al-Jallab,
al-Tafrig, Juz 2, (Bairut: Dar al-`Arab al-Islami,378 H).
Basran H. Masrani, Kompilasi Hukum Islam Mimbar Ulama, No. 105.
Th. X, Mei 1986
Dimsyiqi, Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-,
Raudloh al-Thalibin, Juz 5, (Bairut: Dar `Alim al-Kutub, 676 H).
Ghazzi, Ibn Qasim, Hasiyah al-Syaikh Ibrahim al-Baejuri, Juz 2,
(Bairut: Lebanon, t.t).
Ibn Qudamah, al-kafi fi al-Fiqhi Ahmad Ibn Hanbal, juz VI, (Bairut, t,
p. t,t,).
Ibnu Rusyd, II, Bidayah al- Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989).
Ibn Qudamah, al-Kafii fi al-fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, juz 4.
(Bairut: Maktaba al-Islami. 541).
Ibnu Rusyd, II, penerjamah Imam Ghazali, Ahmad Zaidun, Bidayah
al-Mujtahid, (Jakarta, Pustaka Amani, 1989).
Ibn Qudamah, al-Kafii fi al-Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, juz 3.
(Bairut: Maktabah al-Islami. t.t).
Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Syaerazi Abu Ishaq, al-Muhaddab fi alFiqh al-Imam al-Syafi`i, Juz 2, (Bairut: Dar al-Ma`rifah, 160).
21

Muhammad Bultaji, Manhaj al-Tasyri` al-Islami fi al-Qarni al-Tsani,


(Arab Saudi: Universitas Islam bin Saud, 1977).
Muhammad Ibn Idris al-Syafi`i Abu `Abdillah, al-Umm , 5, (Bairut:
Dar al-Ma`rifah, 1393).
Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn Qudamah, alMughni, juz 7, ( Riyad: `Alamu al-Kutub, 541).
M.Abu Zahrah, Muhad}arat fi Tarikh fi al-Madhahib al-Fiqhiyyah
(Beirut: Dirasat al-Islamiyyah,tt).
Maududi, Abdullah bin Muhammad bin, al-Ikhtiyar li al-Ta`lil alMukhtar, juz 3-5, (Araby: Dar al-Fikr, t.t,).
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi alQurtubi, Bidayah al-Mujtahid, (Lebanon Bairut: Dar alMa`rifah, 140 H).
Muhammad Abdul Chalim, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum
Islam Sebagai Pranata Hukum Nasional, (Pesantren: 2/Vol. VII/
1990).
Nawawi, Muhyi al-Din Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-, Minhaj alThalibin wa `Umdah al-Muftin, (Bairut: Dar al-Minhaj, 676 H).
Nourouzzaman
Shiddiqi,
Fiqh
Indonesia:
Penggagas
dan
Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn,
al-Kafii, juz 4. (Bairut: Hjr, 620H).
Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn, alMughni, juz 7,( Riyad: `Alam al-Kutub, 541H).
Qurtuby, Abi Umar Yusuf ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Abd alBirri al-Namri, al-Kafi fi Fiqh Ahl Madinah al-Maliki, (Bairut
Lebanon: Dar al-Kitab al-Alamiyah, t.t).
Syafi`i, al-Imam Muhammad bin Idris al-, al-Umm, juz 6, (Bairut: Dar
al-Kutub al-Alamiyah, 604 H).
Syarbiny, Syams al-Din Muhammad bin al-Khatib, Mughni al-Muhtaj,
(Bairut Lebanon: Dar al-Ma`rifah, 676 H).
Yumna, Abi Bakr ibn Ali ibn Muhammad al-Haddadi al-Jauharah alNayyirah, juz 2 (Pakistan: Maktabah Haqqaniyyah, 800 H).
Yamani, Abi al-Husaini Yahya Abi al-khair ibn Salim al-Imrani alSyafi`i, al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafi`i, juz 7, (Bairut:
Dar al-Minhaj, 558 H).

22

Anda mungkin juga menyukai