Anda di halaman 1dari 34

Klasifikasi Urtikaria

Terdapat beberapa penggolongan urtikaria


Berdasarkan lamanya serangan berlangsung (1-5)
- Urtikaria akut, bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung
selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.
- Urtikaria kronik, bila serangan lebih dari 6 minggu.
Berdasarkan morfologi klinis (1)
- Urtikaria papular bila berbentuk papul.
- Urtikaria gutata bila besarnya sebesar tetesan air.
- Urtikaria girata bila ukuran besar.
Berdasarkan luas dan dalamnya jaringan terkena (1,8)
- Urtikaria lokal
- Urtikaria generalisata
- Angioedema
Berdasarkan penyebab dan mekanisme terjadi urtikaria (1,2,4,6,8)
- Urtikaria imunologik
a. Bergantung pada IgE (reaksi alergik tipe I)
b. Ikut sertanya komplemen
c. Reaksi alergi tipe IV
- Urtikaria nonimunologik
a. langsung memacu sel mas, sehingga terjadi pelepasan mediator. (misalnya obat
golongan opiat dan bahan kontras)

b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat (misalnya aspirin,


obat anti inflamasi non-steroid)
c. Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan dingin, panas atau sinar, dan bahan
kolinergik.
- Urtikaria Idiopatik
Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya.

Patogenesis Urtikaria
Sel mast merupakan sel efektor primer pada patogenesis timbulnya gejala-gejala
urtikaria. Di kulit, sel mast terdapat di dermis. Selain itu sel mast juga terdapat di
pembuluh darah, pembuluh limfe, saraf-saraf, dan organ tubuh.(6) Granul-granul dalam
sel mast mengandung histamin, heparin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA),
dan Eosinophile Chemotactic Factor (ECF). Ada 2 macam sel mast yaitu terbanyak sel
mast jaringan dan sel mast mukosa. Yang pertama ditemukan sekitar pembuluh darah dan
mengandung sejumlah histamin dan heparin. Pelepasan mediator tersebut dihambat
kromoglikat yang mencegah influks kalsium ke dalam sel. Sel mast yang kedua
ditemukan di saluran cerna dan nafas. Proliferasi sel mast oleh dipicu IL-3 dan IL-4 dan
bertambah pada infeksi parasit.(9)
Sel mast akan melepaskan mediator-mediator radang seperti histamin, leukotrin (SRSA),
kinin, serotonin, PEG, PAF, dan lain-lain. Pelepasan mediator-mediator radang ini karena
rangsangan dari beberapa faktor, antara lain faktor imunologik (reaksi alergi tipe I, II, III,

IV, dan genetik yaitu defisiensi C1 esterase inhibitor) dan faktor nonimunologik (bahan
kimia pelepas mediator, faktor fisik, efek kolinergik, alkohol, emosi, demam) (1,10).
Mediator-mediator yang dilepaskan akan memberikan pengaruh-pengaruh yang berbeda.
(12)
Salah satu mediator yang dilepaskan oleh sel mast yang sangat penting dalam proses
timbulnya gejala-gejala pada urtikaria adalah histamin. Ada beberapa mekanisme
pelepasan histamin. Faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya menyebabkan
degranulasi sel mast dan melepaskan histamin ke jaringan dan sirkulasi. Histamin
menyebabkan kontraksi sel endotel sehingga terjadi kebocoran, dimana cairan berpindah
dari intravaskuler ke ekstravaskuler, sehingga timbullah edema.(5)
Bila telah masuk ke dalam kulit, histamin menyebabkan triple response of Lewis, yaitu
eritema lokal (vasodilatasi), suatu flare dengan karakteristik eritema di luar batas dari
eritema lokal, hingga terbentuk suatu wheal akibat kebocoran cairan vena-vena
postkapiler. Pembuluh darah terdiri dari 2 reseptor histamin. Reseptor yang selama ini
diteliti adalah H1 dan H2.(5)
Reseptor H1 ketika dirangsang oleh histamin, akan menyebabkan refleks dari akson,
vasodilatasi dan pruritus. Perangsangan reseptor H1, melalui saraf sensorik,
menyebabkan kontrakasi otot polos pada traktus respiratorius dan gastrointestinal,
pruritus, dan bersin. Ketika reseptor H2 dirangsang, terjadi vasodilatasi. Disamping itu
reseptor H2 juga terdapat di permukaan membrane dari sel mast dan ketika dirangsang,
akan menyebabkan produksi dari histamine. Aktivasi reseptor H2 sendiri akan

menyebabkan peningkatan produksi asam lambung. Aktivasi H1 dan H2 bersamaan akan


mengakibatkan hipotensi, takikardi, kemerahan, dan sakit kepala.(5,10)
Gambaran Klinis
Urtikaria merupakan suatu kondisi kulit dengan manifestasi klinik berupa eritema dan
edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berbatas tegas pada
kulit atau membran mukosa, kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat.
Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibat sengatan serangga, besarnya dapat
lentikular, numular, sampai plakat. Keluhan subyektif biasanya terasa gatal, rasa terbakar,
atau tertusuk. (1,3,6)
Berikut adalah tabel gambaran klinis Urtikaria/Angioedema berdasarkan stimulus dan
tipe respon:

Apabila mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan submukosa atau
subkutan, juga beberapa alat dalam misalnya saluran cerna dan napas, disebut
angioedema. Pada keadaan ini jaringan yang sering terkena adalah muka, disertai sesak
nafas, serak dan rinitis. (1,3,6)
Dermografisme, berupa edema dan eritema yang linear di kulit yang terkena goresan
benda tumpul, timbul dalam waktu kurang lebih 30 menit. Pada urtikari akibat tekanan,
urtika timbul pada tempat yang tertekan, misalnya di sekitar pinggang. Urtikaria
kolinergik dapat timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi, makanan yang merangsang
dan pekerjaan berat. Biasanya terasa sangat gatal, ukuran lesi bervariasi dari beberapa

mm sampai numular dan konfluen membentuk plakat. Serangan berat sering disertai
gangguan sistemik seperti nyeri perut, diare, muntah-muntah, dan nyeri kepala. (1,6,8)
Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, feses rutin.
Pemeriksaan darah, urin, feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi
atau kelainan pada alat dalam.(1) Pemeriksaan darah rutin bisa bermanfaat untuk
mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta, misalnya urtikaria vaskulitis atau
adanya infeksi penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan seperti komplemen, autoantibodi,
elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati dan urinalisis akan membantu
konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat
penting pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria.(12) Cryoglubulin dan cold
hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.(1)
Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan tes
kulit invivo (skin prick test), pemeriksaan IgE spesifik (radio-allergosorbent test-RASTs)
atau invitro yang mempunyai makna yang sama.(6,7,12) Pada prinsipnya tes kulit dan
RAST, hanya bisa memberikan informasi adanya reaksi hipersensitivitas tipe I. Untuk
urtikaria akut, tes-tes alergi mungkin sangat bermanfaat, khususnya bila urtikaria muncul
sebagai bagian dari reaksi anafilaksis. Untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti
histamine-releasing autoantibodies, tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien

sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang
cukup sederhana. (7, 12)
Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes alergi memberi
hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi ini dipertimbangkan
secara hati-hati untuk menjamin keamanannya. Adanya alergen kontak terhadap karet
sarung tangan atau buah-buahan, dapat dilakukan tes pada lengan bawah, pada kasus
urtikaria kontak. Tes provokasi oral mungkin diperlukan untuk mengetahui kemungkinan
urtikaria akibat obat atau makanan tertentu. (1,7)
Tes eleminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk
beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu. Pada urtikaria fisik akibat
sinar dapat dilakukan tes foto tempel.(12)
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria kolinergik.(12)
Tes fisik lainnya bisa dengan es atau air hangat apabila dicurigai adanya alergi pada suhu
tertentu.(12)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. A. Reaksi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan
sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan
Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu
tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi
tipe IVa dan IVb.
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi timbul
segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk ke dalam
tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi,
asma, dan dermatitis atopi.
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau
IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi tipe III disebut juga reaksi
kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh
darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam
DTH (Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated
Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+ (Baratawidjaja, 2006).

Jenis
Hipersensitivitas
Tipe I

Mekanisme Imun
Patologik

Mekanisme Kerusakan Jaringan dan


Penyakit

IgE

Sel mast dan mediatornya (amin


vasoaktif, mediator lipid, dan sitokin)

IgM, IgG terhadap


permukaan sel atau
matriks antigen
ekstraseluler

Opsonisasi & fagositosis sel

Hipersensitivitas cepat
Tipe II
Reaksi melalui
antibody

Pengerahan leukosit (neutrofil, makrofag)


atas pengaruh komplemen dan FcR
Kelainan fungsi seluler (misal dalam
sinyal reseptor hormone)

Tipe III
Kompleks imun
Tipe IV (melalui sel
T)

Kompleks imun (antigen Pengerahan dan aktivasi leukosit atas


dalam sirkulasi dan IgM pengaruh komplemen dan Fc-R
atau IgG)

1. CD4+ : DTH

1. Aktivasi makrofag, inflamasi atas

pengaruh sitokin
Tipe IVa

2. CD8+ : CTL
2. Membunuh sel sasaran direk,

Tipe IVb

inflamasi atas pengaruh sitokin

(Baratawidjaja, 2006).
1.

B. Mekanisme Alergi Hipersensitivitas Tipe I

Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen
bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya
setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti
demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja,
2006).

Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara
imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk
mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan
secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi
oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat
pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast,
juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan
trombosit.
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut,
akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan
berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi,
sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari
hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang
dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti, 2007).
Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif (mediator)
yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit.
1. Mediator jenis pertama
Meliputi histamin dan faktor kemotaktik.
histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan saraf
sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos.
Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of
anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anophylaxis)
untuk sel-sel neutrofil.
1. Mediator jenis kedua
Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid membrannya.
Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase.
Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan
tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh
darah.
Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien. Lekotrien C, D,
E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive substance of anaphylaxis)
karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos dibandingkan dengan histamin.
1. Mediator jenis ketiga

Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2)
kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002)
1. C. Nutrisi dan Alergi
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang berbahaya. Seperti alergen lain,
alergi terhadap makanan dapat bermanifestasi pada salah satu atau berbagai organ target: kulit
(urtikaria, angiodema, dermatitis atopik), saluran nafas (rinitis, asma), saluran cerna (nyeri
abdomen, muntah, diare), dan sistem kardiovaskular (syok anafilaktik) (Rengganis dan
Yunihastuti, 2007). Urtikaria akibat alergi makanan biasanya timbul setelah 30-90 menit setelah
makan dan biasa disertai gejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu,
bronkospasme, hingga gangguan vaskular. Semua gejala ini diperantarai oleh IgE (Baskoro et.al,
2007).
Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi untuk menimbulkan reaksi alergi. Alergen dalam
makanan terutama berupa protein yang terdapat di dalamnya. Namun, tidak semua protein dalam
makanan mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering alergi pada orang dewasa
adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Sedangkan penyebab alergi tersering pada anak
adalah susu, telur, kacang-kacangan, ikan, dan gandum. Sebagian besar alergi hilang setelah
pasien menghindari makanan tersebut, dan melakukan eliminasi makanan, kecuali terhadap
kacang-kacangan, ikan, dan kerang cenderung menetap atau menghilang setelah jangka waktu
yang sangat lama.
Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utama dalam codfish adalah Gad c1 telah
diisolasi dari fraksi miogen. Udang mengandung beberapa alergen. Antigen II dianggap sebagai
alergen utama. Otot udang mengandung glikoprotein otot yang mengandung Pen a1
(tropomiosin).
Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi melalui IgE dan menunjukkan
manifestasi terbatas: gastrointestinal, kulit dan saluran nafas. Tanda dan gejalanya disebabkan
oleh pelepasan histamine, leukotrien, prostaglandin, dan sitokin. Alergen yang dimakan dapat
menimbulkan efek luas, berupa respon urtikaria di seluruh tubuh, karena distribusi random IgE
pada sel mast yang tersebar di seluruh tubuh (Rengganis dan Yunihastuti, 2007). .
1. D. Penegakan Diagnosis Penyakit Alergi
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar menderita
penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab, selain
juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut.
1) Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan
penyakit dengan alergi.

2) Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian ditujukan
terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan
difokuskan pada manifestasi yang timbul.
3) Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun
tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah
leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.
4) Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya
dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien.
5) Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada
pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan
ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes
provokasi nasal dan tes provokasi bronkial (Tanjung dan Yunihastuti, 2007).
1. E. Penatalaksanaan Penyakit Alergi
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui), cara-cara
sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan harapan di masa
mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi dari bahan penyebab, bahan
pencetus atau antigen.
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan ketiga.
Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik yang bekerja dengan
menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah dengan penggunaan kortikosteroid,
sementara pengobatan lini ketiga adalah penggunaan imunosupresan (Baskoro et.al, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu timbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak
terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke
jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara
rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian
kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga
menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos
dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.

ASI berisi substansi alamiah yang membantu maturitas usus bayi sehingga melindungi terhadap
reaksi alergi, meningkatkan pertumbuhan postnatal dari epitel intestinal dan maturasi fungsi
mukosa, serta menjaga keseimbangan Th1 dan Th2 yang menyebabkan penurunan risiko
terjadinya alergi.
Anak-anak, terutama bayi, lebih rentan mengalami alergi, karena maturitas barier imunitasnya
belum sempurna, sehingga belum dapat melindungi tubuh dengan maksimal. Selain itu, sekresi
enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi
alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi yang dapat membaik,
karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga
dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu,
sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena disertai
dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan
histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam mekanisme
pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah
eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.
Ibunya Siti yang mengalami pilek, hidung gatal, bersin-bersin, dan juga menderita asma, dengan
gejala sesak nafas dan mengi, menunjukkan bahwa ibunya Siti juga memiliki riwayat alergi.
Mekanisme alergi pada ibunya Siti juga tetap diperantarai histamin, namun, alergi pada ibunya
Siti bermanifestasi pada saluran pernafasan. Contohnya, bronkokonstriksi yang menyebabkan
sesak nafas dan mengi (ekspirasi berbunyi) adalah akibat dari kerja histamin yang menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus. Sedangkan pilek, hidung gatal, dan bersin, adalah upaya mukosa
dan sekretnya untuk menyingkirkan alergen yang masuk ke saluran pernafasan. Asma, dalam hal
ini adalah alergi bronkus yang dikhawatirkan menurun, memang mempunyai kemungkinan
diturunkan. Dengan mempunyai hanya satu orang tua yang memiliki riwayat alergi saja, anak
telah memiliki risiko alergi sebesar 20-40%.
Syok anafilaktik yang terjadi ketika ibunya Siti disuntik merupakan salah satu reaksi alergi hebat
akibat pelepasan histamin yang diantaranya ditandai dengan penurunan kesadaran dan penurunan
tekanan darah. Apabila dijumpai syok anafilaktik, hendaknya pada pasien segera diberikan
antagonis fisiologis histamin, yaitu berupa injeksi adrenalin.
Apabila dijumpai pasien dengan kecurigaan penyakit alergi, maka pertama kali dilakukan
anamnesis, kemudian pemeriksaan fisik dan laboratorium, kemudian tes kulit yang sederhana.
Apabila belum ditemukan penyebab yang pasti, barulah dilakukan tes provokasi.
Dalam kasus, kemungkinan besar pasien alergi terhadap makanan tertentu seperti udang dan
kepiting, karena gejala-gejala alergi yang ada timbul setelah pasien makan makanan tersebut.
Penatalaksanaan yang paling baik untuk alergi adalah menghindari alergennya. Namun apabila
diperlukan, dapat digunakan antihistamin, obat-obat kortikosteroid, serta imunosupresan yang
seluruhnya digunakan untuk menekan respon sistem imun yang berlebihan yang terjadi pada
reaksi alergi.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah dasar dari reaksi alergi dengan perantara IgE.
2. Pasien dalam kasus mengalami alergi terhadap makanan.
3. Alergi dapat membaik, dan dapat juga menetap seumur hidup.
4. Sifat alergi mempunyai kemungkinan diturunkan.
5. Diagnosis penyakit alergi ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit, dan
apabila perlu tes provokasi.
6. Cara terbaik menangani alergi adalah dengan menghindari alergen. Apabila perlu dapat
digunakan antihistamin, kortikosteroid, dan imunosupresan.
B. SARAN
1. Sebaiknya Siti segera menjalani skin prick test agar diagnosis penyakit dapat segera
dipastikan, dan dibandingkan dengan diagnosis banding bintul kulit lainnya, yaitu herpes,
pemfigoid bulosa, atau penyakit gula kronik.
2. Sebaiknya Siti menghindari makanan-makanan penyebab alergi, seperti udang dan
kepiting, dan menggunakan makanan lain sebagai sumber protein pengganti.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Baskoro, Ari. Soegiarto, Gatot. Effendi, Chairul. Konthen, P.G. 2007. Urtikaria dan Angiodema
dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21.
Jakarta: Salemba Medika.
Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUI
Rengganis, Iris. Yunihastuti, Evy. 2007. Alergi Makanan dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Tanjung, Azhar. Yunihastuti, Evy. 2007. Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi dalam Sudoyo, Aru
W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Wahab, A Samik. Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta:
Widya Medika.

Reaksi Hipersensitivitas
Filed under: Farmakologi Tinggalkan Komentar
23 Mei 2012
Reaksi imun spesifik dan nonspesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh. respon
tersebut berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula
menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang di sebut sebagai
reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas dan sensitivitas terhadap
antigen yang pernah di pajankan atau dikenal sebelumnya. Berdasarkan waktu timbul, rekasi
hipersensitivitas dibagi menjadi :
1. Reaksi tipe cepat

Terjadi dalam Hitungan detik, menghilang dalam 2 jam

Ikatan silang antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast> pelepasan mediator
vasoaktif

2. Reaksi tipe Intermediet

terjadi setelah beberapa jam, menghilang dalam 24 jam

Melibatkan Pembentukan Kompleks Imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi
komplemen atau sel NK/ADCC

3. Reaksi tipe lambat

Terjadi sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen akibat aktivasi sel
Th

Berdasarkan Mekanisme reaksi Imunologi yang terjadi, secara umum reaksi hipersensitivitas di
bagi menjadi 4 golongan, yaitu hipersensitivitas tipe I,II,III, dan IV.
No

Jenis
Mek. imun patologik
HiperSensitivitas

Mekanisme kerusakan jar. dan


penyakit

Tipe I (HS cepat)

IgE
Ig M,Ig G thd permukaan
Tipe II(rx mell Ab) sel /matrix Ag ekstraselular

Sel mast dan mediatornya (amin


vasoaktif,mediator lipid,sitokinin)
Opsonosasi dan fagosito-sis sel
Pengerahan
leukosit(neutrofil,makrofag) atas pengaruh kom-plemen dan FcRKelainan fungsi selular\

Tipe III(komplex
imun)
Komplex imun (Ag dlm
sirkulasidan Ig M/IgG)

Pengerahan dan aktivasi leukosit atas


pengaruh komplemen dan Fc-R

1. CD 4 : DTH
Tipe IV(mell. Sel T)

2. CD 8 : CTL

1. Aktivasi makrofag, inflamasi


atas pengaruh sitokin.
2. Membu-nuh sel sa-saran direk, infla-masi atas pengaruh
sitokin

4
A. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

Disebut juga sebagai reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi> timbul
segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen

Urutan Kejadian reaksi tipe I

1. Fase Sensitasi> waktu yang di butuhkan untuk pembentukan IgE sampai di ikat silang
oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mast/basofil
2. Fase aktivasi> waktu antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel mast/basofil
melepaskan granul yang menimbulkan reaksi
Fase efektor> waktu terjadi respon kompleks sebagai efek mediator yang di lepas sel
mast/basofil.
Manifestasi reaksi tipe I
1. Reaksi lokal : rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi
2. Reaksi Sistemik : anafilaksis

3. Reaksi Pseudoalergi atau anafilaktoid


Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas tipe I
Antigen mengaktifkan Th2> Sel Th2 merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang
memproduksi IgE. Molekul IgE> di ikat oleh FceR1 pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua
dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen an IgE yang di ikat sel mast>
melepaskan mediator farmakologis aktif> kontraksi otot polos, meningkatkan permeabiitas
vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis
B. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II

Disebut juga reaksi Sitotoksik atau Sitolitik

Dibentuk Antibodi IgG dan IgM terhadap antigen

IgG dan IgM mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R dan sel NK>
menimbulkan kerusakan melalui ADCC

Mekanisme Sitolisis dengan bantuan antibodi dikenal sebagai ADCC bermanfaat untuk
membantu sel sitotoksik menghancurkan sel sasaran yang berukuran terlalu besar untuk
di fagositosis

Mekanisme sitolisis dengan bantuan antibodi bermanfaat untuk menghancurkan sel


patologis, misalnya sel tumor, terutama apabila antibofi yang terbentuk justru melindungi
permukaan sel sasaran dari serangan sel T sitotoksik secara langsung

tetapi apabila immunoglobulin melepas sel tubuh> reaksi ADCC> sitolisis dalam hal
ini merugikan

Kepekaan berbagai jenis sel sasaran terhadap aksi pengrusakan oleh sel efektor maupun
oleh aktivasi komplemen berbeda-beda, tergantung jumlah antigen pada permukaan sel
sasaran dan saya tahan sel sasaran terhadap pengrusakan.

Contoh Reaksi Hipersensitifitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit


1. Reaksi Tranfusi
2. HDN
3. Anemia Hemolitik
C. Reaksi Hipersensitivitas tipe III

Disebut juga sebagai kompleks imun

Kompleks Imun terbentuk setiap antibodi bertemu dengan antigen

a. Dalam keadaan normal> di singkirkan secara efektif oleh jaringan retukuloendotelia


b. Reaksi Hipersensitivitas

Keadaa Imunopatologik

a. Kombinasi infeksi kronis ringan dengan respon antibodi lemah> pembentukan kompleks
imun kronis yang dapat mengendap di berbagai jaringan.
b. Komplikasi penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi terus menerus yang
berikatan dengan jaringan (self)
c. Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh> contohnya; dalam paru-paru akibat
terhirupnya antigen secara berulang kali

Kompleks Imun menyulut berbagai jenis proses Inflamasi.

a. Kompleks imun bereaksi dengan sistem komplemen>c3a dan c5a> pelepasan vasoaktive
amin (termasuk histamin dan faktor kemotaktik dari mastosit dan basofil. C5a adalah faktor
kemotaktik bagi basofil, eosinofil dan neutrofil.
b. Makrofag> Sitokin (TNF- dan IL-a)> Inflamasi
c. Kompleks Imun berinteraksi dengan basofil dan trombosit melalui reseptor Fc>vasoaktive
amin

Terjadi retraksi sel endotel > meningkatnya permeabilitas vaskuler> pengendapan


kompleks imun pada dinding pembuluh darah> membentuk C3a dan C5a

Sel PMN ( Polimorphy Nuclear) di tarik ke tempat tersebut dan seharusnya dapat
menekan kompleks simun tersebut> sulit dilakukan karena kompleks imun melekat pada
dinding pembuluh darah> pelepasan enzim lisosom oleh PMN dengan cara eksositosis
untuk menghancurkan deposit kompleks imun> tetapi karena fagosit menempel pada
kompleks imun yang melekat erat pada jaringan pembuluh darah> lisosom merusak
jaringan,

Manifestasi Reaksi tipe III

a. Reaksi lokal atau fenomena arthus.


b. Reaksi sistemik- serum sickness.
D. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

Hipersensitivitas granulomatosis

Fase pada respon tipe IV

1. Fase Sensitasi
1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th diaktifkan oleh APC melalui MHC II.
Berbagai APC ( sel langerhans dan makrofag) menangkap antigen yang membawanya ke
kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan sel T. Sel T yang di aktifkan umumnya sel CD4+
terutama Th, tetapi pada beberapa hal sel CD8+ dapat pula di aktifkan . Pajanan dengan antigen
menginduksi sel efektor.
2. Fase Efektor
Sel Th1 melepas berbagai sitokin yang mengerahkan dan mengaktifkan makrofag dan sel
inflamasi non spesifik lain. Makrofag merupakan efektor utama respon DTH. Sitokin yang di
lepas sel Th1 menginduksi monosit menempel ke endotel vaskular dan bermigrasi dari sirkulasi
darah ke jaringan sekitar.

Manifestasi klinis reaksi tipe IV


1. dermatitis kontak
2. hipersensitivitas tuberkulin
3. reaksi jones Mote
4. T Cell Mediated Cytolisis

Mekanisme reaksi hipersensitivitas menurut Gell


dan Coombs

Mekanisme

Klinis

Waktu reaksi

Reaksi imun

Kompleks IgE-obat
Urtikaria, angioedema, Menit sampai
berikatan dengan sel mast bronkospasme, muntah, jam setelah
melepaskan histamin dan diare, anafilaksis

Tipe I (diperantarai mediator lain


IgE)

paparan

Antibodi IgM atau IgG


spesifik terhadap sel
Tipe II (sitotoksik) hapten-obat

Anemia hemolitik,
neutropenia,
trombositopenia

Deposit jaringan dari


kompleks antibodi-obat
Tipe III (kompleks dengan aktivasi
komplemen
imun)

Serum sickness,
1-3 minggu
demam, ruam, artralgia, setelah paparan
limfadenopati,
vaskulitis, urtikaria

Tipe IV (lambat,
diperantarai oleh
selular)

Presentasi molekul obat


oleh MHC kepada sel T
dengan pelepasan sitokin

Dermatitis kontak
alergi

Variasi

2-7 hari setelah


paparan

(Dikutip dari Riedl MA dan Casillas AM, 2003)


Ikatan obat dengan protein jaringan dapat mengubah struktur dan sifat jaringan sebagai antigen
diri menjadi antigen yang tidak dikenal oleh sistem imun tubuh, sehingga dapat terjadi reaksi
autoimun. Contoh obatnya antara lain klorpromazin, isoniazid, penisilamin, fenitoin dan
sulfasalazin. Bila sel sasaran ini adalah endotel pembuluh darah, maka dapat terjadi vaskulitis
akibat aktivasi komplemen oleh kompleks imun pada permukaan sel endotel (misalnya pada
serum sickness). Aktivasi komplemen ini mengakibatkan akumulasi sel polimorfonuklear dan
pelepasan lisozim sehingga terjadi reaksi inflamasi dan kerusakan dinding pembuluh darah. Obat
yang dapat menimbulkan reaksi seperti ini antara lain penisilin, sulfonamid, eritromisin, salisilat,
isoniazid, dan lain-lain.
Reaksi tipe I merupakan hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan menyebabkan
reaksi seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria, edema laring,
wheezing dan kolaps kardiorespiratorius. Penyebab umum adalah molekul biologis dan beberapa
obat, seperti penisilin dan insulin.

Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan
antibodi sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah
membran permukaan sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh
metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin. Obat lain yang
bekerja melalui mekanisme ini antara lain sefalosporin, sulfonamida dan rifampisin.
Pada reaksi tipe III terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode
yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen.
Reaksi terkadang baru timbul setelah obat dihentikan. Reaksi tersebut dapat pula berupa reaksi
setempat yang dikenal sebagai reaksi Arthus. Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat
pada tempat antigen berada, misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini terjadi oleh karena
penderita telah mempunyai kadar antibodi yang tinggi sehingga terjadi presipitasi pada tempat
masuk antigen yang terjadi dalam waktu 2 sampai 5 jam setelah pemberian. Manifestasi utama
berupa demam, ruam, urtikaria, limfadenopati dan artralgia. Contoh obat tersebut antara lain
penisilin, salisilat, sulfonamida, klorpromazin, tiourasil, globulin antilimfositik dan fenitoin.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen, misalnya
pada dermatitis kontak. Obat topikal yang secara antigenik biasanya berbentuk hapten, bila
berikatan dengan protein jaringan kulit yang bersifat sebagai karier dapat merangsang sel
limfosit T yang akan tersensitisasi dan berproliferasi. Pada pajanan berikutnya, sel T yang sudah
tersensitisasi akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat
antigen berada sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering menimbulkan reaksi
tipe IV antara lain benzil alkohol, derivat merkuri, neomisin, nikel, antibiotik topikal, krim
steroid, antihistamin topikal, anestesi lokal, serta beberapa zat aditif yang sering terdapat pada
obat topikal seperti parabens atau lanolin.
Reaksi non imun yang tidak dapat diprediksi diklasifikasikan dalam pseudoalergi, idiosinkrasi
atau intoleransi. Reaksi pseudoalergi merupakan hasil aktivasi sel mast secara langsung, tidak
melibatkan IgE spesifik dan degranulasi oleh agen seperti opiat, koloid ekspander, polipeptida,
antiinflamasi non-steroid dan media radiokontras. Reaksi yang bersifat non imunologi ini dapat
terjadi saat pertama kali paparan. Reaksi idiosinkrasi hanya terjadi pada sebagian kecil populasi,
seperti hemolisis yang diinduksi obat pada orang dengan defisiensi glucose-6-phosphate
dehydrogenase (G6PD). Intoleransi obat merupakan ambang batas yang lebih rendah terhadap
aksi farmakologi obat, seperti terjadinya tinitus setelah pemberian aspirin.

Provided by
DR WIDODO JUDARWANTO SpA
childrens ALLERGY CLINIC
JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210
PHONE : (021) 70081995 5703646

email : judarwanto@gmail.com\
htpp://www.childrenallergyclinic.wordpress.com/

SKEP URTIKARIA

ASKEP URTIKARIA
KONSEP PENYAKIT
1. Pengertian
Urtikaria merupakan istilah kilnis untuk suatu kelompok kelainan yang di tandai
dengan adanya pembentukan bilur-bilur pembengkakan kulit yang dapat hilang
tanpa meninggalkan bekas yang terlihat. ( robin graham, brown. 2205 )
Urtikaria yaitu keadaan yang di tandai dengan timbulnya urtika atau edema
setempat yang menyebabkan penimbulan di atas permukaan kulit yang di sertai
rasa sangat gatal ( ramali, ahmad. 2000 )
Urtikaria adalah reaksi vascular di kulit akibat bermacam-macam sebab,
biasanya di tandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang
perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit,
sekitarnya di kelilingi halo (kemerahan). Keluhan subjektif biasanya gatal, rasa
tersengat atau tertusuk.
Dikenal dua macam bentuk klinik urtikaria, yaitu bentuk akut ( <> 6 minggu).
Urtikaria yang mengenai lapisan kulit yang lebih dalam daripada dermis, dapat di
submukosa, atau di subkutis, juga dapat mengenai saluran nafas, saluran cerna,
dan organ kardiovaskuler dinamakan angiodema.
Sinonim : Hives, nettle rash, biduran, kaligata.
2. Klasifikasi
Terdapat bermacam - macam paham penggolongan urtikaria, berdasarkan
lamanya serangan berlangsung di bedakan urtikaria akut dan kronik. Disebut akut
bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama 4
minggu tetapi timbul setiap hari, bila melebihi waktu tersebut di golongkan sebagai
urtikaria kronik. Urtikaria akut sering terjadi pada anak muda, umumnya laki-laki

lebih sering daripada perempuan. Urtikaria kronik lebih sering pada wanita usia
pertengahan. Penyebab urtikaria akut lebih mudah di ketahui, sedangkan pada
urtikaria kronik sulit di temukan. Ada kecenderungan urtikaria lebih sering di derita
oleh penderita atopik.
Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria di bedakan menurut bentuknya, yaitu
urtikaria papular bila berbentuk papul, gutata bila besarnya sebesar tetesan air dan
girata bila ukuranya besar-besar. Terdat pula yang anular dan arsinar. Menurut
luasnya dan dalamnya jaringan yang terkena, di bedakan urtikaria lokal,
generalisata dan angioedema. Ada pula yang mengolongkan berdasarkan penyebab
urtikaria dan mekanisme terjadinya, maka di kenal urtikaria imunologik, non
imunologik,dan idiopatik sebagai berikut:
Urtikaria atas dasar reraksi imunologik
a) Bergantung pada IgE (reaksi alergi tipe I)
Pada Atofi
Antigen spesifik (polen, obat, venom)
b) Ikut sertanya komplemen
Pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II)
Pada reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)
Defisiensi tipe I esterase inhibitor (genetik)
c) Reaksi alergi tipe IV (urtikaria kontak)
Urtikaria atas dasar reaksi non imunologik
a. Langsung memacu sel mas sehingga terjadi pelepasan radiator (misalnya
obat golongan opiat dan bahan kontras).
b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat
(aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid golongan azodyes)
c. Trauma fisik, misalnya dermo grafisme, rangsangan dingin, panas atau
sinar dan bahan kolinergik.
Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan idiopatik

3. Bentuk Bentuk Klinis Urtikaria


a. URTIKARIA AKUT
Urtikaria akut hanya berlansung selama beberapa jam atau beberapa hari. yang
sering terjadi penyebabnya adalah:
-

Adanya kontak dengan tumbuhan ( misalnya jelatang ), bulu binatang/


makanan.

Akibat pencernaan makanan, terutama kacang-kacangan, kerangan-

kerangan dan strouberi.


-

Akibat memakan obat misalnya aspirin dan penisilin.

b. URTIKARIA KRONIS
Biasanya berlangsung beberapa minggu, beberapa bulan, atau beberapa tahun.
pada bentuk urtikaria ini jarang didapatkan adanya faktor penyebab tunggal.
c. URTIKARIA PIGMENTOSA
Yaitu suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang berlangsung
sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.
d. URTIKARIA SISTEMIK ( PRURIGO SISTEMIK )
Adalah suatu bentuk prurigo yang sering kali terjadi pada bayi kelainan khas
berupa urtikaria popular yaitu urtikaria yang berbentuk popular-popular yang
berwarna kemerahan.
Berdasarkan penyebabnya, urtikaria dapat dibedakan menjadi:
Heat rash yaitu urtikaria yang disebabkan panas
Urtikaria idiopatik yaitu urtikaria yang belum jelas penyebabnya atau sulit
dideteksi
Cold urtikaria adalah urtikaria yang disebabkan oleh rangsangan dingin. Yang
timbul setelah beberapa menit atau beberapa jam setelah terpapar hawa

dingin/ air dingin. Dapat ringan/setempat, sampai berat (disertai hipotensi,


hilangnya kesadaran dan sesak nafas)
Dermografik urtikaria (urtikaria fisik) bila timbul akibat tekanan berbentuk linier
sesuai dengan bagian tekanan/garukan/goresan. Tes dermografisme positif
(digarus,digores akan keluar urtikaria).
Urtikaria alergika, bila karena alergi makanan
Aquagenic urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan oleh rangsangan air
Solar urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan sengatan sinar matahari
Vaskulitik urtikaria
Cholirgening urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan panas, latihan berat dan
stress, bentuknya kecil-kecil tersebar dan sangat gatal
Urtikaria kronis, bila tiap hari terkena urtikaria selama 6 minggu berturut-turut
4. Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Di duga
penyebab urtikaria bermacam-macam, diantaranya :
a. Obat
Bermacam macam obat dapat menimbulkan urtika, baik secara imunologi
maupun nonimunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria secara
imunologi tipe I atau II. Contohnya ialah obat obat golongan penisilin, sulfonamid,
analgesik, pencahar, hormon, dan uretik. Adapun obat secara nonimunologi
langsung merangsang sel mas untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium,
dan zat kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis
prostaglandin dari asam arakidonat.

b. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria yang akut, umumnya
akibat reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau berupa bahan lainnya yang

dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan pengawet,
sering menimbulkan urtikaria alergika. Contoh makanan yang sering menimbulkan
urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbey, baby, keju, bawang,
dan semangka ; bahan yang dicampurkan seperti asam nitrat, asam benzoat, ragi,
salisilat, dan panisilin. CHAM-PION 1969 melaporkan 2% urtikaria kronik
disebabkan sensitisasi terhadap makanan.
c. Gigitan/sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat, agaknya
hal ini menyebab diperantai oleh IgE (Tipe I) dan tipe seluler (tipe IV). Tetapi venom
dan toksin bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk,
kepinding dan serangga lainnya menimbulkan urtika bentuk papular di sekitar
gigitan, biasanya sembh dengan sendirinya setelah beberapa hari, minggu, atau
bulan.
d. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, gleseofulvin, fenotiazin, sulfonamin, bahan kosmetik, dan
sabun germisin sering menimbulkan urtikaria.
e. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu binatang, dan
aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergi (Tipe I). Reaksi ini
sering di jumpai pada penderita atofi dan disertai gangguan nafas.
f. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil,
air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect
refelent (penangkis serangga) dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan bahan
tersebut menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.

TUFT (1975) melaporka urtikaria akibat sefalosporin pada seorang apoteker, hal
yang jarang terjadi ; karena kontak dengan antibiotik umumnya menimbulkan
dermatitis kontak. Urtikaria akibat kontak dengan klorida kobal, indikator warna pada
tes provokasi keringat, telah dilaporkan oleh SMITH (1975).
g. Trauma fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, yakni berenang atau
memegang benda dingin ; faktor panas, misalnya sinar matahari, sinar UV , radiasi,
dan panas pembakaran ; faktor tekanan, yaitu goresan, pakain ketat, ikat pinggang,
air yang menetes atau semprotan air, vibrasi, dan tekanan berulang-ulang
contohnya pijatan, keringat, pekerjaan, demam, dan emosi menyebabkan urtikaria
fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik. Klinis biasanya terjadi
ditempat yang mudah terkena trauma. Dapat timbul urtikaria setelah goresan
dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena
ini disebut dermografisme atau fenomena darier.
h. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri,
virus, jamur, maupun investasi parasit. Infeksi oleh bakteri, contohnya pada infeksi
tonsil, infeksi gigi dan sinusitis. Masih merupakan pertanyaan, apakah urtikaria
timbul karena toksik bakteri atau oleh sensitisasi. Infeksi visrus hepatitis,
mononukleosis, dan infeksi virus Coxsackie pernah dilaporkan sebagai faktor
penyebab. Karena itu pada urtikaria yang idiopatik perlu dipikirkan kemungkinan
infeksi virus subklinis. Investasi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang, juga
Schistosoma atau Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria.
i. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mas atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Ternyata hampir 11,5% penderita urtikari
menunjukkan gangguan psikis. Penyelidikan memperlihatkan bahwa hipnosis dapat

menghambat eritema dan urtikaria. Pada percobaan induksi psikis, ternyata suhu
kulit dan ambang rangsang eritema meningkat.
j. Genetik
Faktor genetik ternyata berperan pentik pada urtikaria dan angioedema,
menunjukkan penurunan autosoma dominan.
Diantaranya ialah angioneurotik edema herediter, familial cold urtikaria, familial
lokalized heat urtikaria, vibratory angioedema, heredo-familial symdrom of urtikaria
deafness and amyloidosis, dan erythropoietic protoporphyria.
k. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi
lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibody. Penyakit vesiko-bulosa,
misalnya pemfigus dan dermatitis herpetiformis duhring sering menimbulkan
urtikaria. Sejumlah 7-9% penderita lupus eritematosus sitemik dapat mengalami
urtikaria. Beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria antara lain
limfoma, hifertiroid, hepatitis, urtikaria pigmentosa, artritis pada demam rematik, dan
artritis reumatoid zuvenilis.
5. Patofisiologi
Faktor-faktor pencetus :
Fx. Imunologik/non imunologik
Kulit
Melakukan Pertahanan
Induksi Respon Antiodi IgE
Sel Mast Basofil

Pelepasan mediator
(H, SRSA, Serotonin,Kinin)
Anafilaksis Sistemik
Urtikaria
6. Manifestasi Klinik
Gatal
Rasa terbakar/tertusuk
Tampak eritema & oedema setempat berbatas tegas, kadang bagian tengah
tampak lebih pucat
Bentuk popular
Dermografisme : oedema & eritema yg linear di kulit bila terkena
tekanan/goresan benda tumpul, timbul 30 menit
7. Komplikasi
Lesi-lesi urtikaria bisa sembuh tanpa komplikasi. Namun pasien dengan gatal yang
hebat bisa menyebabkan purpura dan excoriasi yang bisa menjadi infeksi sekunder.
Penggunaan antihistamin bisa menyebabkan somnolens dan bibir kering. Pasien
dengan keadaan penyakit yang berat bisa mempengaruhi kualitas hidup. Dapat pula
terjadi angioedema
8. Pemeriksaan Diagnostik
Darah, urine & faeces rutin
Pemeriksaan gigi, THT, usapan vagina
Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil & komplemen
Tes kulit
Tes eliminasi makanan
Histopatologik
Tes Provokasi
Injeksi mecholyl IC

Tes dengan es
Tes dengan air hangat
9. Penatalaksanaan Medis
Edukasi pasien untuk menghindari pencetus (yang bisa diketahui). Obat opiat dan
salisilat dapat mengaktivasi sel mast tanpa melalui IgE.
Pada urtikaria generalisata mula-mula diberikan injeksi larutan adrenalin 1/1000
dengan dosis 0,01 ml/kg intramuskular (maksimum 0,3 ml) dilanjutkan dengan
antihistamin penghambat H1 seperti CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis sehari 3 kali
yang dikombinasi dengan HCL efedrin 1 mg/tahun/kali sehari 3 kali. (Lihat
penanggulangan anafilaksis). Bila belum memadai ditambahkan kortikosteroid misalnya
prednison (sesuai petunjuk dokter).
Pada urtikaria yang sering kambuh terutama pada anak sekolah, untuk menghindari
efek samping obat mengantuk, dapat diberikan antihistamin penghambat H1 generasi
baru misalnya setirizin 0,25 mg/kg/hari sekali sehari.
10. Pengobatan
Hilangkan faktor pencetus
Anti histamin
Anti enzym (antiplasmin)
Desensitasi
Eliminasi diet
11. Pencegahan
o

Hindari alergen yang diketahui. Termasuk beberapa makanan dan penyedap


makanan, obat-obatan dan beberapa situasi seperti panas, dingin atau stress
emosional

Membuat catatan. Mencatat kapan dan dimana urtikaria terjadi dan apa yang kita
makan. Hal ini akan membantu anda dan dokter untuk mencari penyebab
urtikaria.

Hindari pengobatan yang dapat mencetuskan urtiakria seperti antibiotik golongan


penisilin, aspirin dan lainnya.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Untuk menetapkan bahan alergen penyebab urtikaria kontak alergik diperlukan
anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji tempel.
Anamnesis ditujukan selain untuk menegakkan diagnosis juga untuk mencari kausanya.
Karena hal ini penting dalam menentukan terapi dan tindak lanjutnya, yaitu mencegah
kekambuhan. Diperlukan kesabaran, ketelitian, pengertian dan kerjasama yang baik
dengan pasien. Pada anamnesis perlu juga ditanyakan riwayat atopi, perjalanan
penyakit, pekerjaan, hobi, riwayat kontaktan dan pengobatan yang pernah diberikan
oleh dokter maupun dilakukan sendiri, obyek personal meliputi pertanyaan tentang
pakaian baru, sepatu lama, kosmetika, kaca mata, dan jam tangan serta kondisi lain
yaitu riwayat medis umum dan mungkin faktor psikologik.
Pemeriksaan fisik didapatkan, biasanya klien mengeluh gatal, rasa terbakar, atau
tertusuk. Klien tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang
bagian tengah tampak lebih pucat. Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria
akibat sengatan serangga, besarnya dapat lentikular, numular, sampai plakat. Kriteria
diagnosis urtikaria alergik adalah :
Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan satu kali tetapi lama, beberapa
kali atau satu kali tetapi sebelumnya pernah atau sering kontak dengan
bahan serupa.
Terdapat tanda-tanda urtikaria terutama pada tempat kontak.
Terdapat tanda-tanda urtikaria disekitar tempat kontak dan lain tempat yang
serupa dengan tempat kontak tetapi lebih ringan serta timbulnya lebih
lambat, yang tumbuhnya setelah pada tempat kontak.

Rasa gatal
Uji tempel dengan bahan yang dicurigai hasilnya positif.
1. Identitas Pasien.
2. Keluhan Utama.
Biasanya pasien mengeluh gatal, rambut rontok.
3. Riwayat Kesehatan.
a. Riwayat Penyakit Sekarang :
Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada
keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien untuk
menanggulanginya.
b. Riwayat Penyakit Dahulu :
Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit
lainnya.
c. Riwayat Penyakit Keluarga :
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini atau
penyakit kulit lainnya.
d. Riwayat Psikososial :
Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah sedang
mengalami stress yang berkepanjangan.
e. Riwayat Pemakaian Obat :
Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yang dipakai pada kulit,
atau pernahkah pasien tidak tahan (alergi) terhadap sesuatu obat.
f. Pemeriksaan fisik
KU : lemah
TTV : suhu naik atau turun.
Kepala
Bila kulit kepala sudah terkena dapat terjadi alopesia.
Mulut
Dapat juga mengenai membrane mukosa terutama yang disebabkan oleh
obat.
Abdomen

Adanya limfadenopati dan hepatomegali.


Ekstremitas
Perubahan kuku dan kuku dapat lepas.
Kulit
Kulit periorbital mengalami inflamasi dan edema sehingga terjadi ekstropion
pada keadaan kronis dapat terjadi gangguan pigmentasi. Adanya eritema ,
pengelupasan kulit , sisik halus dan skuama.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang umumnya muncul pada klien penderita kelainan kulit
seperti
Urtikaria adalah sebagai berikut :
1. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka akibat gangguan
integritas
2. Resiko kerusakan kulit berhubungan dengan terpapar alergen
3. Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan pruritus
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritus
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.
6. Kurang pengetahuan tentang program terapi berhubungan dengan inadekuat
informasi

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
No.

Diagnosa Keperawatan

Potensial terjadinya
infeksi b.d. adanya luka
akibat gangguan
integritas

Resiko kerusakan kulit


b.d. terpapar alergen

Perubahan rasa nyaman


b.d. pruritus

Tujuan/Kriteria Hasil
Tujuan :
Tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
Hasil pengukuran tanda vital dalam
batas normal.
- RR :12-24 x/menit
- N : 70-82 x/menit
- T : 36-37 OC
- TD : 120/85 mmHg
Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi
(kalor,dolor, rubor, tumor,
infusiolesa)
Hasil pemeriksaan laboratorium
dalam batas normal Leuksosit darah
: 4.400 11.300/mm3
Tujuan :
Tidak terjadi kerusakan pada kulit
klien
Kriteria hasil :
Klien akan mempertahankan
integritas kulit, ditandai dengan
menghindari alergen

Tujuan :
Rasa nyaman klien terpenuhi
Kriteria hasil :
Klien menunjukkan berkurangnya
pruritus, ditandai dengan
berkurangnya lecet akibat garukan,
klien tidur nyenyak tanpa terganggu
rasa gatal, klien mengungkapkan
adanya peningkatan rasa nyaman

Perencanaan
Intervensi
1. Lakukan tekni aseptic da
antiseptic dalam melakuk
tindakan pada pasien
2. Ukur tanda vital tiap 4-6 j

3. Observasi adanya tandainfeksi


4. Kolaborasi dengan ahli g
pemberian diet TKTP
5. Libatkan peran serta kelu
dalam memberikan bantu
klien.
6. Jaga lingkungan klien ag
bersih.
1. Ajari klien menghindari ata
menurunkan paparan terha
alergen yang telah diketah
2. Baca label makanan kalen
terhindar dari bahan maka
mengandung alergen
3. Hindari binatang peliharaa

4. Gunakan penyejuk ruanga


rumah atau di tempat kerja
memungkinkan.
1. Jelaskan gejala gatal
berhubungan dengan
penyebabnya (misal keri
kulit) dan prinsip terapiny
hidrasi) dan siklus gatal-g
gatal-garuk.
2. Cuci semua pakaian seb
digunakan untuk menghi
formaldehid dan bahan k
serta hindari menggunak
pelembut pakaian buatan
3. Gunakan deterjen ringan
pakaian untuk memastika
tidak ada sabun yang ter

4. Jaga kebersihan kulit pas

Gangguan pola tidur b.d.


pruritus

Gangguan citra tubuh


b.d. penampakan kulit
yang tidak bagus

Tujuan :
Klien bisa beristirahat tanpa adanya
pruritus.
Kriteria Hasil :
1.Mencapai tidur yang nyenyak.
2.Melaporkan gatal mereda.
3.Mempertahankan kondisi
lingkungan yang tepat.
4.Menghindari konsumsi kafein.
5.Mengenali tindakan untuk
meningkatkan tidur.
6.Mengenali pola istirahat/tidur yang
memuaskan.

Tujuan :
Pengembangan peningkatan
penerimaan diri pada klien tercapai
Kriteria Hasil :
1.Mengembangkan peningkatan
kemauan untuk menerima keadaan
diri.
2.Mengikuti dan turut berpartisipasi
dalam tindakan perawatan diri.
3.Melaporkan perasaan dalam
pengendalian situasi.
4.Menguatkan kembali dukungan
positif dari diri sendiri.
5.Mengutarakan perhatian terhadap
diri sendiri yang lebih sehat.
6.Tampak tidak meprihatinkan
kondisi.
7.Menggunakan teknik
penyembunyian kekurangan dan
menekankan teknik untuk
meningkatkan penampilan

5. Kolaborasi dengan dokte


pemberian obat pengura
gatal
1. Mengerjakan hal ritual m
tidur.

2. Menjaga agar kulit selalu

3. Menghindari minuman ya
mengandung kafein men
tidur.
4. Melaksanakan gerak bad
secara teratur.
5. Nasihati klien untuk menj
kamar tidur agar tetap m
ventilasi dan kelembaban
baik.

1. Kaji adanya gangguan ci


(menghindari kontak mat
merendahkan diri sendiri

2. Identifikasi stadium psiko


terhadap perkembangan

3. Berikan kesempatan
pengungkapan perasaan

4. Nilai rasa keprihatinan da


ketakutan klien, bantu kli
cemas mengembangkan
kemampuan untuk menil
mengenali masalahnya.

5. Dukung upaya klien untu


memperbaiki citra diri , s
merapikan.

Kurang pengetahuan
tentang program terapi
b.d. inadekuat informasi

Tujuan :
Terapi dapat dipahami dan
dijalankan
Kriteria Hasil :
1.Memiliki pemahaman terhadap
perawatan kulit.
2.Mengikuti terapi dan dapat
menjelaskan alasan terapi.
3.Melaksanakan mandi,
pembersihan dan balutan basah
sesuai program.
4.Menggunakan obat topikal dengan
tepat.
5.Memahami pentingnya nutrisi
untuk kesehatan kulit.

6. Mendorong sosialisasi de
orang lain.
1. Kaji apakah klien memah
mengerti tentang penyak
2. Jaga agar klien mendapa
informasi yang benar,
memperbaiki kesalahan
konsepsi/informasi.

3. Peragakan penerapan te
seperti, mandi dan pengg
obat-obatan lainnya.
4. Nasihati klien agar selalu
hygiene pribadi juga lingk

Anda mungkin juga menyukai