Referat Ascites
Referat Ascites
Daftar Isi
BAB I...................................................................................................... 3
PENDAHULUAN....................................................................................... 3
1.1.
Latar Belakang...............................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam penyakit
hati. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1826.
Diambil dari bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang artinya warna oranye dan
dipakai untuk menunjukkan warna oranye atau kuning kecoklatan permukaan hati
yang tampak saat otopsi.1
Batasan
fibrosis
sendiri
adalah
penumpukan
berlebihan
matriks
itu, penulis mengangkat sirosis sebagai tema prensentasi kasus agar mampu
mengenal lebih dalam mengenai penyakit ini sehingga mampu menerapkan
penatalaksanaan dan terapi yang rasional terhadap pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.7 Gambaran ini terjadi
akibat nekrosis hepatoseluler.7 Menurut Sherlock, secara anatomis sirosis hati
ialah terjadinya fibrosis yang sudah meluas dengan terbentukya nodul-nodul pada
semua bagian hati, dan terjadinya fibrosis tidak hanya pada satu lobulus saja. 8
Menurut Gall, sirosis ialah penyakit hati kronis, dimana terjadi kerusakan sel hati
yang terus-menerus, dan terjadi regenerasi noduler serta proliferasi jaringan ikat
yang difus untuk menahan terjadinya nekrosis parenkim atau timbulnya
inflamasi.8
Berikut
manifestasi
klinis
asites
beserta
dengan
penjelasan
patomekanismenya :
Edema dan Asites11,12,13
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hati mempunyai peranan besar dalam
memproduksi protein plasma yang beredar di dalam pembuluh darah,
keberadaan protein plasma terutama albumin untuk menjaga tekanan onkotik
yaitu dengan menjaga volume plasma dan mempertahankan tekanan koloid
osmotic dari plasma. Akibat menurunnya tekanan onkotik maka cairan dari
vaskuler mengalami ekstravasasi dan mengakibatkan deposit cairan yang
menumpuk di perifer dan keadaan ini disebut edema.
Asites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum. Asites
adalah manifestasi kardial sirosis dan bentuk berat lain dari penyakit hati.
Tertimbunnya cairan dalam rongga peritoneum merupakan manifestasi
dari kelebihan garam/ natrium dan air secara total dal tubuh tetapi tidak
porta yang menetap diatas nilai normal yaitu 6 12 cmH 2O. Tanpa
memandang
mengaktifkan
mekanisme
renin-angiotensin-aldosteron).
10
Respons diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari tanpa
adanya edema kaki atau 1 kg/ hari bila ada edema kaki. Bila pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid 40-80 mg /hari
terutama pada pasien yang mengalami edema perifer. Pada pasien yang belum
pernah menerima diuretik sebelumnya, kegagalan dosis yang disebutkan di atas
menunjukkan bahwa mereka tidak mematuhi diet rendah natrium. Jika pengobatan
telah sesuai dosis di atas tetapi masih tidak ada perubahan spironolaton dapat
ditingkatkan sampai 400-600 mg / hari dan furosemid meningkat menjadi 120-160
mg / hari. Jika pengobatan asites belum adekuat dengan dosis diuretik di atas pada
pasien dengan diet rendah natrium maka mereka disebut asites refrakter dan
modalitas pengobatan alternatif lainnya adalah paracentesis atau prosedur
Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS) harus dipertimbangkan.
Studi terbaru menunjukkan bahwa TIPS sambil mengelola ascites tidak
meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien ini. Sayangnya TIPS sering
dikaitkan dengan peningkatan frekuensi ensefalopati dan harus dipertimbangkan
secara hati-hati atas dasar kasus per kasus. Prognosis untuk pasien sirosis dengan
asites sangat buruk dan beberapa studi telah menunjukkan bahwa <50% pasien
bertahan hidup 2 tahun setelah terjadinya ascites. Dengan demikian harus ada
pertimbangan untuk transplantasi hati pada pasien dengan timbulnya asites.
Parasentesis cairan asites sebagai tindakan diagnostik maupun terapeutik
sering dilakukan pada pasien sirosis hati. Parasentesis terapeutik diindikasikan
pada asites yang tidak memperlihatkan respons terhadap terapi obat diuretika,
mempercepat pengeluaran cairan pada keadaan asites masif, mempermudah
pemeriksaan ultrasonografi atau tindakan lain seperti aspirasi hati dan
radiofrequency ablation. Prosedur parasentesis dapat dilakukan pada saat tertentu
sesuai indikasi dapat pula secara berkala seperti pada kasus asites refrakter.
Parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari dengan catatan harus
dilakukan infus albumin sebanyak 6 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan.
Ternyata parasintesa dapat menurunkan lama perawatan pasien di rumah sakit.
Prosedur ini tidak dianjurkan pada Childs C, Protrombin < 40%, serum bilirubin
12
> dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin <
10 mmol/24 jam. Dikatakan sebagai parasentesis cairan asites volume besar (large
volume paracentesis) jika satu kali tindakan mengeluarkan lebih dari 5 liter cairan.
Parasentesis volume besar telah menjadi prosedur rutin dan tercantum dalam
konsensus penatalaksanaan asites pada sirosis bahkan merupakan terapi lini
pertama bagi asites refrakter.
Walaupun dianggap cukup aman parasentesis volume besar bukanlah tindakan
tanpa risiko sama sekali. Pengeluaran cairan dalam jumlah besar tanpa pemberian
pengembang plasma akan berdampak pada gangguan sirkulasi yang ditandai
dengan penurunan volume darah arteri efektif. Kondisi ini selanjutnya diikuti
dengan aktivasi vasokonstriktor dan faktor antinatriuretik. Dampak klinis yang
terlihat adalah berupa rekurensi asites yang cepat, komplikasi sindroma
hepatorenal atau hiponatremia dilusional sampai pemendekan kesintasan
(survival). Pemberian pengembang plasma seperti koloid atau albumin dianjurkan
untuk mencegah komplikasi pada parasentesis volume besar. Uji klinis mengenai
penggunaan albumin pada tindakan ini telah dipublikasikan sejak sekitar 20 tahun
yang lalu. Penelitian yang dilakukan Lucia Tito dan kawan-kawan terhadap 38
pasien sirosis dan dipublikasikan pada tahun 1990 merupakan salah satu publikasi
yang menjadi acuan prosedur parasentesis volume besar. Dalam penelitiannya Tito
mengeluarkan cairan asites sampai habis sehingga disebut parasentesis total. Ratarata cairan yang dikeluarkan sebanyak 10,7 liter dalam waktu 60 menit. Evaluasi
terhadap beberapa parameter yang sering terganggu akibat parasentesis dilakukan
48 jam dan 6 hari pasca tindakan. Terbukti tidak didapatkan perubahan bermakna
pada parameter penting yang diperiksa seperti kadar kreatinin serum, kadar
natrium dan kalium serum begitu juga pada tes fungsi hati seperti bilirubin dan
masa protrombin.
TIPS adalah pengobatan yang efektif perdarahan varises refrakter terhadap
terapi standar (misalnya, endoskopi ligasi pita atau sclerotherapy) dan telah
menunjukkan manfaat dalam pengobatan asites refrakter yang berat. Teknik ini
melibatkan penyisipan sebuah stent logam diperluas antara cabang dari vena
13
hepatika dan vena portal atas kateter dimasukkan melalui vena jugularis internal.
Peningkatan ekskresi natrium ginjal dan kontrol asites refrakter terhadap diuretik
dapat dicapai dalam waktu sekitar 75% dari kasus-kasus tertentu. Tingkat
keberhasilan lebih rendah pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang
mendasarinya. TIPS tampaknya menjadi pilihan perawatan untuk refraktori hati
hidrotoraks (translokasi asites seluruh diafragma ke ruang pleura), dibantu video
torakoskopy dengan pleurodesis menggunakan bedak mungkin efektif bila TIPS
merupakan kontraindikasi. Komplikasi TIPS meliputi ensefalopati pada 20-30%
dari kasus, infeksi, shunt stenosis pada sampai dengan 60% kasus, dan shunt
oklusi pada 30% kasus. Patensi jangka panjang biasanya membutuhkan revisi
shunt periodik. Dalam kebanyakan kasus, patensi dapat dipertahankan oleh
pelebaran balon, trombolisis lokal, atau penempatan stent tambahan. Karena
komplikasi yang terkait dengan TIPS dan ketidakpastian tentang kemanjuran
jangka panjang (dikurangi hati perfusi akibat TIPS dibayangkan dapat
mempersingkat hidup pasien) saat ini lebih disukai pada pasien yang memerlukan
kontrol jangka pendek perdarahan varises atau asites sampai transplantasi hati
dapat dilakukan sebagai lawan untuk pasien yang membutuhkan kontrol definitif
perdarahan atau asites untuk pasien transplantasi hati tidak menjadi pertimbangan.
Pada pasien dengan asites refrakter hasil TIPS di tingkat yang lebih rendah
kekambuhan asites dan sindrom hepatorenal tetapi tingkat yang lebih tinggi
daripada ensefalopati terjadi dengan berulang besar volume paracentesis, manfaat
dalam kelangsungan hidup telah dibuktikan dalam sebuah penelitian, tetapi tidak
pada orang lain atau meta -analisis. Insufisiensi ginjal, ensefalopati refrakter, dan
hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan kematian setelah TIPS.
14
Manajemen diet pada sirosis ditujukan agar status nutrisi penderita tetap terjaga,
mencegah memburuknya penyakit hati, dan mencegah terjadinya ensefalopati
hepatik sehingga kualitas serta harapan hidup penderita juga akan membaik. Pada
pasien ini dilakukan diet tinggi protein dan tinggi kalori untuk memperbaiki status
gizi pasien. Pemberian protein pada penderita sirosis disesuaikan dengan
kompikasi keadaan pasien. Kelebihan protein dapat mengakibatkan peningkatan
amonia darah yang berbahaya, sedangkan kekurangan protein akan menghambat
penyembuhan sel hati. Pada sirosis hati terkompensasi diberikan diet tinggi kalori
tinggi protein dengan maksud agar sel-sel hati dapat beregenerasi. Sedangkan
untuk mengontrol tingkat amonia darah digunakan laktulosa dan atau suatu jenis
antibiotik yang bernama neomisin.
Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino
rantai cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan
sebagai sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan
untuk metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai organ
hati kedua sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang
baik dan bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi
lebih banyak, stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak
mudah jatuh pada keadaan koma.
Menurut Wolf (2011) nutrisi yang seimbang baik dari segi kalori, karbohidrat,
protein dan lemak, akan membawa pengaruh yang baik untuk memperbaiki
kerusakan sel hati. Pada tingkat tertentu, kerusakan sel hati masih bisa diperbaiki
dengan cara memproduksi sel hati baru yang sehat. Widiastuti dan Mulyati (2005)
meneliti bahwa kadar albumin secara umum rata-rata meningkat pada pasien
sirosis hati yang diberikan suplemen asam amino rantai cabang (AARC).
Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari
disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang,
16
cukup kalori, dan mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu, misalnya, asites
perlu diet rendah protein dan rendah garam. Terapi ditujukan mengurangi progresi
penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik
diberikan diet yang mengandung protein 1 gr/KgBB dan kalori sebanyak 20003000 kkal/hari atau 35-40 kcal/kgBB/hari dengan protein berkisar antara 1,2-1,6
g/kgBB bergantung pada derajat malnutrisi dan kondisi lain yang dialami pasien.
Dalam preskripsi diet pasien sirosis hati, tidak ada pembatasan asupan karbohidrat
walaupun pasien mengalami resistensi insulin (Tsiaousi, et.al., 2008).
Pada pasien yang mengalami liver injury pada kasus yang akut dan kronik sering
ditemukan balans nitrogen negative. Oleh karena itu, sering ditemukan adanya
pemecahan protein oleh otot karena sintesis protein atau pemecahan protein yang
dilakukan oleh hati telah menurun fungsinya. Dalam memberikan treatment
mengenai protein, yang perlu diperhatikan adalah menghindarkan pasien sirosis
dari kejadian malnutrisi serta menghindarkan pasien dari encephalopathy hepar.
Untuk itu, selain mengatur protein yang diberikan, asupan karbohidrat dan lemak
juga
perlu
diperhatikan
untuk
mencegah
terjadinya
pemecahan
yang
mengakibatkan malnutrisi. Pada pasien sirosis, rasio asam amino rantai cabang
(BCAA) misalnya isoleusin, leusin, dan valine) terhadap asam amino aromatic
misalnya fenilalanin, triptofan, dan tirosin sering ditemukan abnormal terutama
pada pasien yang mengalami malnutrisi. Menjaga resiko kedua macam asam
amino ini dapat menghindarkan pasien dengan sirosis terhadap kejadan
ensefalopathy hepatic (Lieber, 1999).
Pada penderita sirosis dengan asites maka terapi diet rendah natrium dan
pengurangan cairan yang menumpuk di perut (ascites) perlu dilakukan. Menurt
Hasse dan Mataresse (2004), pasien hati yang memiliki ascites mengalami
peningkatan energi expenditure. Namun dalam penghitungannya, hendaknya
17
memperhatikan
berat
badan
yang
telah
dikoreksi
untuk
mencegah
18
kal
kg
BB
dan
1,5 g protein / kg BB yang di dalamnya mengandung BCAA substitusi seperti Lornithine-L-aspartate. Penelitian yang dilakukan Eduard (2005), terhadap
penyerapan dan pengangkutan asam lemak rantai panjang pada sirosis diketahui
bahwa tidak terdapat steatore pada pasien dan menunjukkan adanya penyerapan
yang baik pada penderita sirosis dengan spontaneous portal-systemic shunting.
Cara menghitung kebutuhan diet hati
a. Indentitas pasien :
Nama inisial
Berat badan
: 70 kg
Tinggi badan
: 160 cm
: 56 kg
IMT
BMR
: 54 x 25 =1350
TEE
: 1700 kkal/hari
Faktor koreksi
: 35 %
b. kebutuhan protein : 1 gr x 54 kg = 54 gr
c. kebutahan lemak
19
BAB III
KESIMPULAN
rendah natrium. Jika pengobatan telah sesuai dosis di atas tetapi masih tidak ada
perubahan spironolaton dapat ditingkatkan sampai 400-600 mg / hari dan
furosemid meningkat menjadi 120-160 mg / hari. Terapi intervensi berupa
parasentesis terapeutik diindikasikan pada asites yang tidak memperlihatkan
respons terhadap terapi obat diuretika, mempercepat pengeluaran cairan pada
keadaan asites masif mempermudah pemeriksaan ultrasonografi atau tindakan lain
seperti aspirasi hati dan radiofrequency ablation. Prosedur parasentesis dapat
dilakukan pada saat tertentu sesuai indikasi dapat pula secara berkala seperti pada
kasus asites refrakter. Parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari
dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 8 gr/l cairan asites
yang dikeluarkan. Albumin dipakai untuk
diuretik pada pasien sirosis dengan komplikasi asites. Selain parasintesis terapi
intervensi lainnya adalah Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS)
merupakan pengobatan yang efektif perdarahan varises refrakter terhadap terapi
standar (misalnya, endoskopi ligasi pita atau sclerotherapy) dan telah
menunjukkan manfaat dalam pengobatan asites refrakter yang berat. Teknik ini
melibatkan penyisipan sebuah stent logam diperluas antara cabang dari vena
hepatika dan vena portal atas kateter dimasukkan melalui vena jugularis internal.
Peningkatan ekskresi natrium ginjal dan kontrol asites refrakter terhadap diuretik
dapat dicapai dalam waktu sekitar 75% dari kasus-kasus tertentu. Tingkat
keberhasilan lebih rendah pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang
mendasarinya. TIPS tampaknya menjadi pilihan perawatan untuk refraktori hati
hidrotoraks (translokasi asites seluruh diafragma ke ruang pleura), dibantu video
torakoskopy dengan pleurodesis menggunakan bedak mungkin efektif bila TIPS
merupakan kontraindikasi.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Cheney CP, Goldberg EM and Chopra S. Cirrhosis and portal
hypertension: an overview. In: Friedman LS and Keeffe EB, eds.
Handbook of Liver Disease. 2nd ed. China, Pa: Churchill Livingstone;
2004:125-138
2. Friedman SL: Hepatic Fibrosis, In: Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC,
eds. Schiffs Diseases of the Liver. 9 th ed. Philadelphia, Pa: LippincottRaven; 2003:409-28
3. Garcia-Tsao D and . Wongcharatrawee S. (VA Hepatitis C resource center
Program). Treatment of patients With Cirrhosis and Portal Hypertension
Literature Review and Summary of Recommended Interventions. Version
1 (October 2003). Available from URL: www.va.gov/hepatitisc
4. Wolf DC. Cirrhosis.eMedicine Specialities. 1 Juli 2013. Available from
URL: http://www.emedicine.com/med/topic3183.htm
5. Lee D. Cirrhosis of the Live. MedicineNet.com, 1 Juli 2013. Available
from URL: http://www.medicinenet.com/cirrhosis/article.htm
6. Hernomo K. Pengelolaan perdarahan massif varises esophagus pada
sirosis hati. Thesis. Airlangga University Press, Surabaya,1983.
7. Nurdjanah K. Sirosis Hepatis. Dalam: Sudoyo S dkk, eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I, edisi 4, Jakarta, Pa: Balai Penerbit FKUI, 2007:
443-46.
8. Lorraine MW. Sirosis Hati. Dalam: Sylvia AP, Lorraine MW. Sirosis. Edisi
keenam, Volume I. EGC, Jakarta: 2005;1:493-501.
9. Akil HAM. Asites. Dalam : Rasyad SB. Kumpulan Kuliah Hepatologi,
Palembang. 2008. 365-70.
10. Guadalupe Garsia-Tsao et
al.
Prevention
and
Management
of
14. Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complications. In Harrisons
Principles of Internal Medicine, ed by Fauci AS, Braunwald E et al., 17th
edition, McGraw Hill Inc, New York, 2008: 1858-67.
15. Rosenack,J, Diagnosis and Therapy of Chronic Liver and Biliarry
Diseases
16. Hadi.Sujono, Gastroenterology,Penerbit Alumni / 1995 / Bandung
17. Sherlock.S, Penyakit Hati dan Sitim Saluran Empedu, Oxford,England
Blackwell 1997
18. Hakim Zain.L, Penatalaksanaan Penderita Sirosis Hepatitis
19. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, Penerbit Balai FK UI,
Jakarta 1987
20. Anonymous http://alcoholism.about.com/library/blcirrosis.htm
21. Lesmana.L.A, Pembaharuan Strategi Terapai Hepatitis Kronik C, Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FK UI. RSUPN Cipto Mangunkusumo
22. Lieber, CS dalam Kopple, Joel dalam Shills et.al. 1999. Modern Nutrition
in Health and Disease. Williams and Wilkins: New York
23. Tsiaousi, Eleni T; et.al., 2008. Malnutrition in End Stage Liver Disease:
Recommendations
and
Nutritional
Support.
Gastroenterol
Hepatol. 2008;23(4):527-533.
24. Abeysinghe, M.R.N., Almeida, R., Fernandopulle, M., Karunatiluka, H.,
Ruwanpathirana, S., 2005. Guidlines on Clinical Management of Dengue
Fever/Dengue Haemorrhagic Fever. Sri lanka : SLMH, p. 1- 44
25. Anonim, 2009, MIMS Indnesia Petunjuk Konsultasi, Jakarta: PT
Infomaster, lisensi CMPMedia.
26. Dib, N., Oberti, F., Cales, P., 2006. Current management of the
complications of portal hypertension : Variceal bleeding and
ascites. CMAJ
27. Fauci, et al., 2008, Harrisons Principles of Internal Medicine 17th
Edition. United States:The Mcgraw-Hill Companies.
28. Garcia-Tsao, et
al.,
2007, Prevention
and
Management
of
31. Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M.P. and Lance, L.L., 2008, Drug
Information Handbook, 17 th ed., Ohio : Lexi-Comp.
32. McPhee, S.J., Lingappa, V.R., Ganong, W.F. and Lange, J.D. (Eds.),
1995.Pathophysiology
of
Disease
An
Introduction
to
Clinical
24