Anda di halaman 1dari 24

1

Daftar Isi
BAB I...................................................................................................... 3
PENDAHULUAN....................................................................................... 3
1.1.

Latar Belakang...............................................................................3

1.2 Tujuan Penulisan.................................................................................4


1.3. Tujuan Umum.................................................................................... 4
1.4. Tujuan Khusus...................................................................................4
1.5. Metode Penulisan...............................................................................4
BAB II..................................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 5
2.1 Definisi............................................................................................ 5
2.6. Penatalaksanaan Asites 12,13,14...............................................................11
2.7. Terapi Gizi Medis Penderita Sirosis Hati.................................................16
2.8. Terapi cairan pada asites.....................................................................17
2.9. Hepatorenal Sindrome........................................................................18
2.10. Penelitian Baru Di Bidang Nutrisi Pada Sirosis Hepatis.............................19
BAB III.................................................................................................. 21
KESIMPULAN........................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................23

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam penyakit

hati. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1826.
Diambil dari bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang artinya warna oranye dan
dipakai untuk menunjukkan warna oranye atau kuning kecoklatan permukaan hati
yang tampak saat otopsi.1
Batasan

fibrosis

sendiri

adalah

penumpukan

berlebihan

matriks

ekstraseluler (seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati. Respons


fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat reversibel. Namun pada sebagian besar
pasien sirosis, proses fibrosis biasanya tidak reversibel.1,2
Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000
kematian per tahun di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian
utama yang kesembilan di AS, dan bertanggung jawab terhadap 1.2% seluruh
kematian di AS. Banyak pasien yang meninggal pada dekade keempat atau
kelima. Setiap tahun ada tambahan 2000 kematian yang disebabkan karena gagal
hati fulminan (fulminant hepatic failure).3,4,5 FHF dapat disebabkan hepatitis virus
(virus hepatitis A dan B), obat (asetaminofen), toksin (jamur Amanita phalloides
atau jamur yellow death-cap), hepatitis autoimun, penyakit Wilson dan berbagai
macam penyebab lain yang jarang ditemukan.5
Belum ada data resmi nasional tentang sirosis hati di Indonesia. Namun
dari beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, berdasarkan
diagnosis klinis saja dapat dilihat bahwa prevalensi sirosis hati yang dirawat di
bangsal penyakit dalam umumnya berkisar antara 3.6-8.4% di Jawa dan Sumatra,
sedang di Sulawesi dan Kalimantan di bawah 1%. Secara keseluruhan rata-rata
prevalensi sirosis adalah 3.5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit
dalam, atau rata-rata 47.4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.6
Dengan data seperti ini dapat disimpulkan bahwa sirosis hati merupakan
penyakit kronik progressif yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas jika tidak di tindaklanjuti secara profesional. Tindakan yang tepat dapat
dilakukan jika para praktisi medis mengenal dengan baik faktor-faktor risiko,
etiologi, pathogenesis, serta tanda dan gejala klinis dari sirosis hati. Oleh karena
3

itu, penulis mengangkat sirosis sebagai tema prensentasi kasus agar mampu
mengenal lebih dalam mengenai penyakit ini sehingga mampu menerapkan
penatalaksanaan dan terapi yang rasional terhadap pasien.

1.2 Tujuan Penulisan


1.3. Tujuan Umum
Untuk mengetahui patofisiologi komplikasi asites pada Sirosis Hepatis dan
penatalaksanaannya.
1.4. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui penatalaksanaan Asites.
1.5. Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.7 Gambaran ini terjadi
akibat nekrosis hepatoseluler.7 Menurut Sherlock, secara anatomis sirosis hati
ialah terjadinya fibrosis yang sudah meluas dengan terbentukya nodul-nodul pada
semua bagian hati, dan terjadinya fibrosis tidak hanya pada satu lobulus saja. 8
Menurut Gall, sirosis ialah penyakit hati kronis, dimana terjadi kerusakan sel hati
yang terus-menerus, dan terjadi regenerasi noduler serta proliferasi jaringan ikat
yang difus untuk menahan terjadinya nekrosis parenkim atau timbulnya
inflamasi.8
Berikut

manifestasi

klinis

asites

beserta

dengan

penjelasan

patomekanismenya :
Edema dan Asites11,12,13
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hati mempunyai peranan besar dalam
memproduksi protein plasma yang beredar di dalam pembuluh darah,
keberadaan protein plasma terutama albumin untuk menjaga tekanan onkotik
yaitu dengan menjaga volume plasma dan mempertahankan tekanan koloid
osmotic dari plasma. Akibat menurunnya tekanan onkotik maka cairan dari
vaskuler mengalami ekstravasasi dan mengakibatkan deposit cairan yang
menumpuk di perifer dan keadaan ini disebut edema.
Asites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum. Asites
adalah manifestasi kardial sirosis dan bentuk berat lain dari penyakit hati.
Tertimbunnya cairan dalam rongga peritoneum merupakan manifestasi
dari kelebihan garam/ natrium dan air secara total dal tubuh tetapi tidak

diketahui secara jelas faktor pencetusnya. Terbentukknya asites merupakan


suatu proses patofiologis yang kompleks dengan melibatkan berbagai faktor
dan mekanisme pembentukkannya diterangkan dalam 3 hipotesis berdasarkan
temuan eksperimental dan klinis sebagai berikut:
1. Teori underfilling 9,11,12
Pada teori ini mengemukakan bahwa kelainan primer terbentuknya
asites adalah terjadinya sekuestrasi cairan yang berlebihan dalam
splanknik vascular bed disebabkan oleh hipertensi portal yang
meningkatkan tekanan hidrostatik dalam kapiler kapiler splanknik
dengan akibat menurunnya volume darah efektif dalam sirkulasi.
Menurut teori ini penurunan volume efektif intravaskular (underfilling)
direspon oleh ginjal untuk melakukan kompensasi dengan menahan air
dan garam lebih banyak melalui peningkatan aktifasi renin
aldosteron simpatis dan melepaskan anti diuretik hormon yang lebih
banyak.
2. Teori overflow 9,11,12
Teori ini mengemukakan bahwa pada pembentukkan asites, kelainan
primer yang terjadi adalah retensi garam air yang berlebihan tanpa
disertai penurunan darah yang efektif . Oleh karena itu, pada pasien
sirosis hepatis terjadi hipervolemia bukan hipovolemia.
3. Teori vasodilatasi arteri perifer 9,11,12
Teori ini dapat menyatukan kedua teori diatas. Dikatakan bahwa
hipertensi portal pada sirosis hepatis menyebabkan terjadinya
vasodilatasi pada pembuluh darah spanknik dan perifer akibat
peningkatan kadar nitric oxide (NO) yang merupakan salah satu
vasodilator yang kuat sehingga terjadi pooling darah dengan akibat
penurunan volume darah yang efektif.

Pada sirosis hepatis yang makin lanjut aktivitas neurohumoral meningkat,


sistem renin angiotensin lebih meningkat, sensitivitas terhadap atrial peptide
natriuretik menurun sehingga lebih banyak air dan natrium yang di retensi.
Terjadi ekspansi volume darah yang menyebabkan overflow cairan ke dalam
rongga peritoneum dan terbentuk asites lebih banyak. Pada pasien sirosis
hepatis dengan asites terjadi aktivitas sintesis NO lebih tinggi dibanding sirosis
hepatis tanpa asites. Menurut teori vasodilatasi, bahwa teori underfilling
prosesnya terjadi lebih awal, sedangkan teori overflow bekerja belakangan
setelah proses penyakit lebih progresif. 9,12,13

Gambar 1 : Skema teori pembentukkan asites14


Bebepara faktor yang turut terlibat dalam patogenesis asites pada sirosis
hepatis : (1) hipertensi porta, (2) hipoalbuminemia, (3) meningkatnya
pembentukan dan aliran limfe, (4) retensi natrium, (5) gangguan ekskresi air.

1. Hipertensi portal 9,12,14


Hipertensi

portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena

porta yang menetap diatas nilai normal yaitu 6 12 cmH 2O. Tanpa
memandang

penyakit dasarnya mekanisme primer penyebab

hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah


melalui hati, selain itu biasanya terjadi peningkatan aliran arteri
splangnikus. Kombinasi kedua faktor, yaitu menurunnya aliran keluar
vena melalui vena hepatika dan meningkatnya aliran masuk bersama
sama menghasilkan beban berlebihan pada system portal. Pembebanan
berlebihan sistem portal ini merangsang timbulnya aliran kolateral
guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Fungsi hati biasanya
tidak terganggu pada obstruksi aliran prehepatik dan presinusoid
karena suplai darah terjamin oleh adanya mekanisme kompensasi
meningkatnya aliran darah arteri pada hati. Bila terjadi kerusakkan
berupa obstruksi hati di sinusoidal, postsinusoidal dan post hepatik
bisa menyebabkan penyumbatan aliran darah di hati. Sebagai
konsekuensi terjadinya penyumbatan tersebut maka aliran limfe pada
hepar yang kaya akan protein terganggu dan menyebabkan
peningkatan tekanan portal, terkadang hal ini bersinergi dengan
penurunan tekanan onkotik plasma yang disebabkan oleh kerusakkan
hati (hipoalbuminemia), mendorong cairan yang kaya protein masuk
ke dalam rongga abdomen yang menyebabkan terjadinya asites.

Gambar 2 : Skema penyebab dan akibat dari hipertensi portal12


2. Hipoalbuminemia9,12,14
Hipoalbuminemia terjadi karena menurunnya sintesis yang dihasilkan
oleh sel sel hati yang terganggu. Hipoalbuminemia menyebabkan
turunnya tekanan osmotik koloid. Kombinasi antara meningkatnya
tekanan hidrostatik dengan menurunnya tekanan osmotik dalam
jaringan pembuluh darah intestinal menyebabkan transudasi cairan dari
ruang intravaskular ke ruang interstisial sesuai dengan gaya Starling
(ruang peritoneum pada kasus asites).

3. Meningkatnya pembentukkan dan aliran limfe7,8,9


Hipertensi portal meningkatkan pembentukan limfe hepatik yang
menyeka dari hati ke dalam rongga peritoneum. Mekanisme ini
dapat turut menyebabkan tingginya kandungan protein dalam cairan
asites, sehingga meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam cairan
rongga peritoneum dan memicu terjadinya transudasi cairan dari
rongga intravaskular ke ruang peritoneum.
4. Retensi natrium dan gangguan ekskresi air 9,13,14
Retensi natrium dan gangguan ekskresi air merupakan faktor penting
dalam berlanjutnya asites retensi air dan natrium disebabkan oleh
hiperaldosteronisme sekunder (penurunan volume efektif dalam
sirkulasi

mengaktifkan

mekanisme

renin-angiotensin-aldosteron).

Penurunan inaktivasi aldosteron sirkulasi oleh hati juga dapat terjadi


akibat kegagalan hepatoseluler.
Suatu tanda asites adalah meningkatnya lingkar abdomen. Penimbunan
cairan yang sangat nyata dapat menyebabkan nafas pendek karena diafragma
meningkat. Dengan semakin banyaknya penimbunan cairan peritoneum, dapat
dijumpai cairan lebih dari 500 ml pada saat pemeriksaan fisik dengan pekak
alih, gelombang cairan, dan perut yang membengkak.
Kadar albumin rendah terjadi bila kemampuan sel hati menurun. Globulin,
konsentrasinya meningkat pada sirosis, akibat sekunder dari pintasan, antigen
bakteri dari sistem pora ke jaringan limpoid, selanjutnya menginduksi produksi
imonoglobulin. Kadar kolinesterase (CHE) yang menurun kalau terjadi
kerusakan sel hati. Masa protrombin yang memanjang menandakan penurunan
fungsi hati. Pada sirosis fase lanjut, glukosa darah yang tinggi menandakan
ketidakmampuan sel hati membentuk glikogen. Natrium serum menurun

10

terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan


ekskresi air bebas.

Gambar 3 : Skema patofisiologi dampak kerusakkan hati 13


2.6. Penatalaksanaan Asites 12,13,14
Tirah baring dan diawali dengan diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol perhari. Diet rendah garam dikombinasikan
dengan obat antidiuretik. Rata-rata diet di Amerika Serikat mengandung 6 sampai
8 g natrium per hari dan jika pasien makan di restoran atau tempat makan cepat
saji, jumlah natrium dalam diet mereka dapat melebihi jumlah ini. Dengan
demikian, seringkali sangat sulit untuk mendapatkan pasien untuk mengubah
kebiasaan makan mereka untuk mengonsumsi < 2g natrium/ hari yang merupakan
jumlah yang dianjurkan. Seringkali rekomendasi sederhana adalah mengonsumsi
makanan segar atau beku, menghindari kaleng atau makanan olahan yang
biasanya diawetkan dengan natrium. Pada asites sedang terapi diuretik biasanya
diperlukan. Spironolakton dengan dosis 100-200 mg / hari sebagai dosis tunggal.
11

Respons diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari tanpa
adanya edema kaki atau 1 kg/ hari bila ada edema kaki. Bila pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid 40-80 mg /hari
terutama pada pasien yang mengalami edema perifer. Pada pasien yang belum
pernah menerima diuretik sebelumnya, kegagalan dosis yang disebutkan di atas
menunjukkan bahwa mereka tidak mematuhi diet rendah natrium. Jika pengobatan
telah sesuai dosis di atas tetapi masih tidak ada perubahan spironolaton dapat
ditingkatkan sampai 400-600 mg / hari dan furosemid meningkat menjadi 120-160
mg / hari. Jika pengobatan asites belum adekuat dengan dosis diuretik di atas pada
pasien dengan diet rendah natrium maka mereka disebut asites refrakter dan
modalitas pengobatan alternatif lainnya adalah paracentesis atau prosedur
Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS) harus dipertimbangkan.
Studi terbaru menunjukkan bahwa TIPS sambil mengelola ascites tidak
meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien ini. Sayangnya TIPS sering
dikaitkan dengan peningkatan frekuensi ensefalopati dan harus dipertimbangkan
secara hati-hati atas dasar kasus per kasus. Prognosis untuk pasien sirosis dengan
asites sangat buruk dan beberapa studi telah menunjukkan bahwa <50% pasien
bertahan hidup 2 tahun setelah terjadinya ascites. Dengan demikian harus ada
pertimbangan untuk transplantasi hati pada pasien dengan timbulnya asites.
Parasentesis cairan asites sebagai tindakan diagnostik maupun terapeutik
sering dilakukan pada pasien sirosis hati. Parasentesis terapeutik diindikasikan
pada asites yang tidak memperlihatkan respons terhadap terapi obat diuretika,
mempercepat pengeluaran cairan pada keadaan asites masif, mempermudah
pemeriksaan ultrasonografi atau tindakan lain seperti aspirasi hati dan
radiofrequency ablation. Prosedur parasentesis dapat dilakukan pada saat tertentu
sesuai indikasi dapat pula secara berkala seperti pada kasus asites refrakter.
Parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari dengan catatan harus
dilakukan infus albumin sebanyak 6 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan.
Ternyata parasintesa dapat menurunkan lama perawatan pasien di rumah sakit.
Prosedur ini tidak dianjurkan pada Childs C, Protrombin < 40%, serum bilirubin

12

> dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin <
10 mmol/24 jam. Dikatakan sebagai parasentesis cairan asites volume besar (large
volume paracentesis) jika satu kali tindakan mengeluarkan lebih dari 5 liter cairan.
Parasentesis volume besar telah menjadi prosedur rutin dan tercantum dalam
konsensus penatalaksanaan asites pada sirosis bahkan merupakan terapi lini
pertama bagi asites refrakter.
Walaupun dianggap cukup aman parasentesis volume besar bukanlah tindakan
tanpa risiko sama sekali. Pengeluaran cairan dalam jumlah besar tanpa pemberian
pengembang plasma akan berdampak pada gangguan sirkulasi yang ditandai
dengan penurunan volume darah arteri efektif. Kondisi ini selanjutnya diikuti
dengan aktivasi vasokonstriktor dan faktor antinatriuretik. Dampak klinis yang
terlihat adalah berupa rekurensi asites yang cepat, komplikasi sindroma
hepatorenal atau hiponatremia dilusional sampai pemendekan kesintasan
(survival). Pemberian pengembang plasma seperti koloid atau albumin dianjurkan
untuk mencegah komplikasi pada parasentesis volume besar. Uji klinis mengenai
penggunaan albumin pada tindakan ini telah dipublikasikan sejak sekitar 20 tahun
yang lalu. Penelitian yang dilakukan Lucia Tito dan kawan-kawan terhadap 38
pasien sirosis dan dipublikasikan pada tahun 1990 merupakan salah satu publikasi
yang menjadi acuan prosedur parasentesis volume besar. Dalam penelitiannya Tito
mengeluarkan cairan asites sampai habis sehingga disebut parasentesis total. Ratarata cairan yang dikeluarkan sebanyak 10,7 liter dalam waktu 60 menit. Evaluasi
terhadap beberapa parameter yang sering terganggu akibat parasentesis dilakukan
48 jam dan 6 hari pasca tindakan. Terbukti tidak didapatkan perubahan bermakna
pada parameter penting yang diperiksa seperti kadar kreatinin serum, kadar
natrium dan kalium serum begitu juga pada tes fungsi hati seperti bilirubin dan
masa protrombin.
TIPS adalah pengobatan yang efektif perdarahan varises refrakter terhadap
terapi standar (misalnya, endoskopi ligasi pita atau sclerotherapy) dan telah
menunjukkan manfaat dalam pengobatan asites refrakter yang berat. Teknik ini
melibatkan penyisipan sebuah stent logam diperluas antara cabang dari vena
13

hepatika dan vena portal atas kateter dimasukkan melalui vena jugularis internal.
Peningkatan ekskresi natrium ginjal dan kontrol asites refrakter terhadap diuretik
dapat dicapai dalam waktu sekitar 75% dari kasus-kasus tertentu. Tingkat
keberhasilan lebih rendah pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang
mendasarinya. TIPS tampaknya menjadi pilihan perawatan untuk refraktori hati
hidrotoraks (translokasi asites seluruh diafragma ke ruang pleura), dibantu video
torakoskopy dengan pleurodesis menggunakan bedak mungkin efektif bila TIPS
merupakan kontraindikasi. Komplikasi TIPS meliputi ensefalopati pada 20-30%
dari kasus, infeksi, shunt stenosis pada sampai dengan 60% kasus, dan shunt
oklusi pada 30% kasus. Patensi jangka panjang biasanya membutuhkan revisi
shunt periodik. Dalam kebanyakan kasus, patensi dapat dipertahankan oleh
pelebaran balon, trombolisis lokal, atau penempatan stent tambahan. Karena
komplikasi yang terkait dengan TIPS dan ketidakpastian tentang kemanjuran
jangka panjang (dikurangi hati perfusi akibat TIPS dibayangkan dapat
mempersingkat hidup pasien) saat ini lebih disukai pada pasien yang memerlukan
kontrol jangka pendek perdarahan varises atau asites sampai transplantasi hati
dapat dilakukan sebagai lawan untuk pasien yang membutuhkan kontrol definitif
perdarahan atau asites untuk pasien transplantasi hati tidak menjadi pertimbangan.
Pada pasien dengan asites refrakter hasil TIPS di tingkat yang lebih rendah
kekambuhan asites dan sindrom hepatorenal tetapi tingkat yang lebih tinggi
daripada ensefalopati terjadi dengan berulang besar volume paracentesis, manfaat
dalam kelangsungan hidup telah dibuktikan dalam sebuah penelitian, tetapi tidak
pada orang lain atau meta -analisis. Insufisiensi ginjal, ensefalopati refrakter, dan
hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan kematian setelah TIPS.

14

Gambar 4 : Skema pengobatan asites refrakter14


Albumin dan Terapi Diuretik 12,13,14
Albumin juga seringkali dipakai untuk meningkatkan respons terhadap
diuretik pada pasien sirosis dengan komplikasi asites. Latar belakang teorinya
adalah kekurangan albumin untuk mengikat furosemid sehingga obat hanya
beredar di plasma dan tidak berhasil mencapai nefron proksimal. Akibatnya terapi
diuretika tidak akan memberikan respons yang baik. Ketika ditambahkan albumin
volume distribusi akan menurun, obat akan diikat dan dibawa ke ginjal untuk
kemudian keluar bersama urin sehingga diuresis pun membaik. Penelitian pertama
pada pasien sirosis hati dilakukan oleh Wilkinson dan Sherlock dan dilaporkan
dalam jurnal Lancet tahun 1962. Disebutkan bahwa kombinasi albumin dan
diuretika memberikan perbaikan keluhan subyektif. Setelah itu tercatat enam
penelitian lain berkaitan dengan manfaat pemberian albumin bersamaan dengan
diuretika. Penelitian Romanelli, et al membuktikan bahwa pemberiaan albumin
jangka panjang menurunkan angka rekurensi terjadinya asites dan meningkatkan
angka survival pasien. Akibat harga albumin yang mahal dipikirkan pemakaian
koloid sebagai alternatif pengembang plasma. Secara teori alternatif ini cukup
menjanjikan, tetapi pada prakteknya koloid tidak memberikan hasil sama baiknya
dengan albumin. Terapi kombinasi meggunakan albumin tidak menjadi protokol
rutin dalam penatalaksanaan asites akibat harganya yang mahal, kecuali pada
kasus tertentu seperti asites masif, komplikasi hernia atau gangguan pernafasan.
15

2.7. Terapi Gizi Medis Penderita Sirosis Hati

Manajemen diet pada sirosis ditujukan agar status nutrisi penderita tetap terjaga,
mencegah memburuknya penyakit hati, dan mencegah terjadinya ensefalopati
hepatik sehingga kualitas serta harapan hidup penderita juga akan membaik. Pada
pasien ini dilakukan diet tinggi protein dan tinggi kalori untuk memperbaiki status
gizi pasien. Pemberian protein pada penderita sirosis disesuaikan dengan
kompikasi keadaan pasien. Kelebihan protein dapat mengakibatkan peningkatan
amonia darah yang berbahaya, sedangkan kekurangan protein akan menghambat
penyembuhan sel hati. Pada sirosis hati terkompensasi diberikan diet tinggi kalori
tinggi protein dengan maksud agar sel-sel hati dapat beregenerasi. Sedangkan
untuk mengontrol tingkat amonia darah digunakan laktulosa dan atau suatu jenis
antibiotik yang bernama neomisin.
Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino
rantai cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan
sebagai sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan
untuk metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai organ
hati kedua sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang
baik dan bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi
lebih banyak, stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak
mudah jatuh pada keadaan koma.
Menurut Wolf (2011) nutrisi yang seimbang baik dari segi kalori, karbohidrat,
protein dan lemak, akan membawa pengaruh yang baik untuk memperbaiki
kerusakan sel hati. Pada tingkat tertentu, kerusakan sel hati masih bisa diperbaiki
dengan cara memproduksi sel hati baru yang sehat. Widiastuti dan Mulyati (2005)
meneliti bahwa kadar albumin secara umum rata-rata meningkat pada pasien
sirosis hati yang diberikan suplemen asam amino rantai cabang (AARC).
Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari
disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang,
16

cukup kalori, dan mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu, misalnya, asites
perlu diet rendah protein dan rendah garam. Terapi ditujukan mengurangi progresi
penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik
diberikan diet yang mengandung protein 1 gr/KgBB dan kalori sebanyak 20003000 kkal/hari atau 35-40 kcal/kgBB/hari dengan protein berkisar antara 1,2-1,6
g/kgBB bergantung pada derajat malnutrisi dan kondisi lain yang dialami pasien.
Dalam preskripsi diet pasien sirosis hati, tidak ada pembatasan asupan karbohidrat
walaupun pasien mengalami resistensi insulin (Tsiaousi, et.al., 2008).
Pada pasien yang mengalami liver injury pada kasus yang akut dan kronik sering
ditemukan balans nitrogen negative. Oleh karena itu, sering ditemukan adanya
pemecahan protein oleh otot karena sintesis protein atau pemecahan protein yang
dilakukan oleh hati telah menurun fungsinya. Dalam memberikan treatment
mengenai protein, yang perlu diperhatikan adalah menghindarkan pasien sirosis
dari kejadian malnutrisi serta menghindarkan pasien dari encephalopathy hepar.
Untuk itu, selain mengatur protein yang diberikan, asupan karbohidrat dan lemak
juga

perlu

diperhatikan

untuk

mencegah

terjadinya

pemecahan

yang

mengakibatkan malnutrisi. Pada pasien sirosis, rasio asam amino rantai cabang
(BCAA) misalnya isoleusin, leusin, dan valine) terhadap asam amino aromatic
misalnya fenilalanin, triptofan, dan tirosin sering ditemukan abnormal terutama
pada pasien yang mengalami malnutrisi. Menjaga resiko kedua macam asam
amino ini dapat menghindarkan pasien dengan sirosis terhadap kejadan
ensefalopathy hepatic (Lieber, 1999).

2.8. Terapi cairan pada asites

Pada penderita sirosis dengan asites maka terapi diet rendah natrium dan
pengurangan cairan yang menumpuk di perut (ascites) perlu dilakukan. Menurt
Hasse dan Mataresse (2004), pasien hati yang memiliki ascites mengalami
peningkatan energi expenditure. Namun dalam penghitungannya, hendaknya
17

memperhatikan

berat

badan

yang

telah

dikoreksi

untuk

mencegah

terjadinya overfeeding. Sirosis merupakan salah satu penyakit katabolisme, itulah


sebabnya protein diberikan tinggi. Protein 1,2/kg BB diberikan karena
mempertimbangkan kadar albumin dan total protein yang rendah namun tetap
memperhitungkan kadar BUN-kreatinin yang tinggi. Sumber protein yang
diberikan diutamakan berasal dari BCAA. Natrium sebaiknya diberikan secara
terbatas sampai 2 g/hari pada pasien ascites yang diber terapi diuretik. Hal ini
dilakukan untuk menghindari kekurangan maupun kelebihan natrium yang dapat
berakibat pada abnormalitas metabolik (Hasse dan Mataresse, 2004). Lemak
diberikan rendah jika terdapat pembesaran lien dan ikterik. Sebagian kecil
penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif. Pada keadaan
demikian dapat dilakukan parasintesis. Parasintesis cairan asites dapat dilakukan
5-10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infuse albumin sebanyak 6 8
gr/liter cairan asites yang akan dikeluarkan. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa parasintesa dapat menurunkan masa opname pasien. Namun prosedur ini
tidak dianjurkan pada anak-anak, kadar protrombin < 40%, serum bilirubin > dari
10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10
mmol/24 jam.

2.9. Hepatorenal Sindrome

Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian diuretik yang berlebihan,


pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan
dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa ritriksi
cairan,garam, potassium dan protein.
2.10. Penelitian Baru Di Bidang Nutrisi Pada Sirosis Hepatis

Penelitian yang dilakukan Anthony (2012), diketahui pada penderita sirosis


hepatis non alkoholik diketahui bahwa asupan rendah kolin dapat menyebabkan

18

peningkatan terjadinya fibrosis hati pada pasien wanita post-menaupose.


Penelitian yang dilakukan Malaguarnea (2011) pada pasien enchepalopati hepatic
yang diberi oral L-carnitin mengalami perbaikan dalam gejala kelemahan dan
kelelahan (fatique) yang sering muncul pada pasien sirosis hepatis. Penelitian
yang dilakukan Suzanna (2011) pada pasien ensepalopati sirosis yang mengalami
malnutrisi akan mengalami perbaikan jika diberikan treatmen diet jumlah kalori
35-40

kal

kg

BB

dan

1,5 g protein / kg BB yang di dalamnya mengandung BCAA substitusi seperti Lornithine-L-aspartate. Penelitian yang dilakukan Eduard (2005), terhadap
penyerapan dan pengangkutan asam lemak rantai panjang pada sirosis diketahui
bahwa tidak terdapat steatore pada pasien dan menunjukkan adanya penyerapan
yang baik pada penderita sirosis dengan spontaneous portal-systemic shunting.
Cara menghitung kebutuhan diet hati
a. Indentitas pasien :
Nama inisial

: c , prempuan ,61 thn

Berat badan

: 70 kg

Tinggi badan

: 160 cm

Berat badan ideal : 54 kg


BBA

: 56 kg

IMT

: 21,8 kg/m2 ( status gizi normal )

BMR

: 54 x 25 =1350

TEE

: 1700 kkal/hari

Faktor koreksi

: 35 %

b. kebutuhan protein : 1 gr x 54 kg = 54 gr
c. kebutahan lemak

: 20 % x tEE = 340/9 = 37,7 gr

19

BAB III
KESIMPULAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium


akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi
akibat nekrosis hepatoseluler. Sirosis hepatis secara klinis dibagi menjadi sirosis
hepatis kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis
hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas
misalnya ; asites, edema dan ikterus.
Asites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum.
Terbentukknya asites merupakan suatu proses patofiologis yang kompleks dengan
melibatkan berbagai faktor dan mekanisme pembentukkannya diterangkan dalam
tiga hipotesis berdasarkan temuan eksperimental dan klinis sebagai berikut : teori
underfilling, teori overflow, dan teori vasodilatasi arteri perifer. Selain ketiga teori
tersebut terdapat juga beberapa faktor yang turut terlibat dalam patogenesis asites
pada sirosis hepatis antara lain; hipertensi porta, hipoalbuminemia, meningkatnya
pembentukan dan aliran limfe, retensi natrium, dan gangguan ekskresi air.
Penatalaksanaan asites berupa terapi non farmakologis dan farmakologis
serta terapi intervensi. Terapi non farmakologis berupa tirah baring dan diawali
dengan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol
perhari. Terapi farmakologis berupa pemakaian Spironolakton dengan dosis 100200 mg / hari sebagai dosis tunggal. Respons diuretik dapat dimonitor dengan
penurunan berat badan 0,5 kg/hari tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari bila
ada edema kaki. Bila pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi
dengan furosemid 40-80 mg /hari terutama pada pasien yang mengalami edema
perifer. Pada pasien yang belum pernah menerima diuretik sebelumnya, kegagalan
dosis yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa mereka tidak mematuhi diet
20

rendah natrium. Jika pengobatan telah sesuai dosis di atas tetapi masih tidak ada
perubahan spironolaton dapat ditingkatkan sampai 400-600 mg / hari dan
furosemid meningkat menjadi 120-160 mg / hari. Terapi intervensi berupa
parasentesis terapeutik diindikasikan pada asites yang tidak memperlihatkan
respons terhadap terapi obat diuretika, mempercepat pengeluaran cairan pada
keadaan asites masif mempermudah pemeriksaan ultrasonografi atau tindakan lain
seperti aspirasi hati dan radiofrequency ablation. Prosedur parasentesis dapat
dilakukan pada saat tertentu sesuai indikasi dapat pula secara berkala seperti pada
kasus asites refrakter. Parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari
dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 8 gr/l cairan asites
yang dikeluarkan. Albumin dipakai untuk

meningkatkan respons terhadap

diuretik pada pasien sirosis dengan komplikasi asites. Selain parasintesis terapi
intervensi lainnya adalah Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS)
merupakan pengobatan yang efektif perdarahan varises refrakter terhadap terapi
standar (misalnya, endoskopi ligasi pita atau sclerotherapy) dan telah
menunjukkan manfaat dalam pengobatan asites refrakter yang berat. Teknik ini
melibatkan penyisipan sebuah stent logam diperluas antara cabang dari vena
hepatika dan vena portal atas kateter dimasukkan melalui vena jugularis internal.
Peningkatan ekskresi natrium ginjal dan kontrol asites refrakter terhadap diuretik
dapat dicapai dalam waktu sekitar 75% dari kasus-kasus tertentu. Tingkat
keberhasilan lebih rendah pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang
mendasarinya. TIPS tampaknya menjadi pilihan perawatan untuk refraktori hati
hidrotoraks (translokasi asites seluruh diafragma ke ruang pleura), dibantu video
torakoskopy dengan pleurodesis menggunakan bedak mungkin efektif bila TIPS
merupakan kontraindikasi.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Cheney CP, Goldberg EM and Chopra S. Cirrhosis and portal
hypertension: an overview. In: Friedman LS and Keeffe EB, eds.
Handbook of Liver Disease. 2nd ed. China, Pa: Churchill Livingstone;
2004:125-138
2. Friedman SL: Hepatic Fibrosis, In: Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC,
eds. Schiffs Diseases of the Liver. 9 th ed. Philadelphia, Pa: LippincottRaven; 2003:409-28
3. Garcia-Tsao D and . Wongcharatrawee S. (VA Hepatitis C resource center
Program). Treatment of patients With Cirrhosis and Portal Hypertension
Literature Review and Summary of Recommended Interventions. Version
1 (October 2003). Available from URL: www.va.gov/hepatitisc
4. Wolf DC. Cirrhosis.eMedicine Specialities. 1 Juli 2013. Available from
URL: http://www.emedicine.com/med/topic3183.htm
5. Lee D. Cirrhosis of the Live. MedicineNet.com, 1 Juli 2013. Available
from URL: http://www.medicinenet.com/cirrhosis/article.htm
6. Hernomo K. Pengelolaan perdarahan massif varises esophagus pada
sirosis hati. Thesis. Airlangga University Press, Surabaya,1983.
7. Nurdjanah K. Sirosis Hepatis. Dalam: Sudoyo S dkk, eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I, edisi 4, Jakarta, Pa: Balai Penerbit FKUI, 2007:
443-46.
8. Lorraine MW. Sirosis Hati. Dalam: Sylvia AP, Lorraine MW. Sirosis. Edisi
keenam, Volume I. EGC, Jakarta: 2005;1:493-501.
9. Akil HAM. Asites. Dalam : Rasyad SB. Kumpulan Kuliah Hepatologi,
Palembang. 2008. 365-70.
10. Guadalupe Garsia-Tsao et

al.

Prevention

and

Management

of

Gastroesophagal Varices and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. American


Journal of Gastroenterology. United States of America. 2007.
11. Pere Gines et al. Management of Cirrhosis and Ascites. The New England
Journal of Medicine. Massachusetts Medical Society. 2004;350:1646-54.
12. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. 1st ed. Stuttgart.
New York: Thieme; 2000. 170-5.
13. Mcphee SJ, Papadakis MA. Hepatology. In Thierney LM, editor. Current
Medical Diagnosis & Treatment. San Francisco, California: McGraw
Hill ; 2008.
22

14. Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complications. In Harrisons
Principles of Internal Medicine, ed by Fauci AS, Braunwald E et al., 17th
edition, McGraw Hill Inc, New York, 2008: 1858-67.
15. Rosenack,J, Diagnosis and Therapy of Chronic Liver and Biliarry
Diseases
16. Hadi.Sujono, Gastroenterology,Penerbit Alumni / 1995 / Bandung
17. Sherlock.S, Penyakit Hati dan Sitim Saluran Empedu, Oxford,England
Blackwell 1997
18. Hakim Zain.L, Penatalaksanaan Penderita Sirosis Hepatitis
19. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, Penerbit Balai FK UI,
Jakarta 1987
20. Anonymous http://alcoholism.about.com/library/blcirrosis.htm
21. Lesmana.L.A, Pembaharuan Strategi Terapai Hepatitis Kronik C, Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FK UI. RSUPN Cipto Mangunkusumo
22. Lieber, CS dalam Kopple, Joel dalam Shills et.al. 1999. Modern Nutrition
in Health and Disease. Williams and Wilkins: New York
23. Tsiaousi, Eleni T; et.al., 2008. Malnutrition in End Stage Liver Disease:
Recommendations

and

Nutritional

Support.

Gastroenterol

Hepatol. 2008;23(4):527-533.
24. Abeysinghe, M.R.N., Almeida, R., Fernandopulle, M., Karunatiluka, H.,
Ruwanpathirana, S., 2005. Guidlines on Clinical Management of Dengue
Fever/Dengue Haemorrhagic Fever. Sri lanka : SLMH, p. 1- 44
25. Anonim, 2009, MIMS Indnesia Petunjuk Konsultasi, Jakarta: PT
Infomaster, lisensi CMPMedia.
26. Dib, N., Oberti, F., Cales, P., 2006. Current management of the
complications of portal hypertension : Variceal bleeding and
ascites. CMAJ
27. Fauci, et al., 2008, Harrisons Principles of Internal Medicine 17th
Edition. United States:The Mcgraw-Hill Companies.
28. Garcia-Tsao, et
al.,
2007, Prevention
and

Management

of

Gastroesophageal Varices and Variceal Heorrage in Cirrhosis. AASLD


Practice Guidelines.
29. Gines, P., M.D., Cardenas, A., M.D., Arroyo, V., M.D., and Rodes, J.,
M.D., 2004,Management of Cirrhosis and Ascites. The New England
Journal of Medicine.
30. Goldman, et al., 2007, Cecil Medicine 23rd Edition, Saunders:Elsevier.
23

31. Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M.P. and Lance, L.L., 2008, Drug
Information Handbook, 17 th ed., Ohio : Lexi-Comp.
32. McPhee, S.J., Lingappa, V.R., Ganong, W.F. and Lange, J.D. (Eds.),
1995.Pathophysiology

of

Disease

An

Introduction

to

Clinical

Medicine, 21st Edition, Stamford: Appleton & Lange.


33. PMFT RSU Dr.Soetomo, 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3. Surabaya: RSU Dr. Soetomo.
34. Schwinghammer,
T.L.,
2009. In: Wells,
B.G.,
Dipiro,
J.T.,
Schwinghammer, T.L., Hamilton, C.W., Pharmacotheraphy Handbook,
USA: Mcgraw-Hill Comapanies, Inc.
35. Sease, J.M., Timm, E.G., and Stragano, J.J., 2008. Portal hypertension and
cirrhosis. In: J.T. Dipiro, R.L. Talbert, G.C Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells,
and L.M. Posey (Eds.).Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach.
Ed. 7th, New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
36. Sudoyo, A. W et all., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi
Keempat, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
37. Eduard Cabr, Jos M Hernandez-Prez, Lourdes Fluvia`, Cruz Pastor,
August Corominas, and Miquel A Gassull. Absorption and transport of
dietary long-chain fatty acids in cirrhosis: a stable-isotope-tracing study1
3 Am J Clin Nutr 2005;81:692701.

24

Anda mungkin juga menyukai