Anda di halaman 1dari 61

TULISAN TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPR )


A. Sejarah
Masa awal kemerdekaan (1945-1949)
Pada awal kemerdekaan, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945
belum dibentuk. Dengan demikian, Sesuai dengan pasal 4 aturan peralihan dalam UUD
1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal
badan legislatif di Indonesia. Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang tetapi sumber
yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang
sebanyak 6 kali, dalam melakukan kerja DPR dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional
Pusat, Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU disamping pengajuan mosi,
resolusi, usul dan lain-lain.
Masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
Pada masa ini tidak diketahui secara pasti bagaimana keberadaan DPR karena
sedang terjadi kekacauan politik, dimana fokus utama berada di pemerintah federal RIS.
Masa Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)
Pada tanggal 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Rancangan UUDS
NKRI (UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat
RIS mengadakan rapat dimana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang
bertujuan: 1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi; 2.
Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai
berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah
anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat
RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari DPA RI
Yogyakarta.

Masa DPR hasil pemilu 20 Maret 1956 (1956-1959)


DPR ini adalah hasil pemilu 1956 yang jumlah anggota yang dipilih sebanyak 272
orang. Pemilu 1956 juga memilih 542 orang anggota konstituante.Tugas dan wewenang
DPR hasil pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena landasan
hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya
satu dua partai yang kuat, telah memberi bayangan bahwa pemerintah merupakan hasil
koalisi. Dalam masa ini terdapat 3 kabinet yaitu kabinet Burhanuddin Harahap, kabinet
Ali Sastroamidjojo, dan kabinet Djuanda.
Masa DPR Hasil Dekrit Presiden 1959 berdasarkan UUD 1945 (19591965)
Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah.
Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.Dengan Penpres
No. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar
rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Sehubungan dengan hal tersebut, presiden
mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-GR.DPR-GR
beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh Presiden dengan Keppres No.
156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan
laporan kepada Presiden pada waktu-waktu tertentu, yang mana menyimpang dari pasal
5, 20, 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul
pernyataan pendapat.
Masa DPR Gotong Royong tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)
Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang
anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa
kerjanya 1 tahun, telah mengalami 4 kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu: a.
Periode 15 November 1965-26 Februari 1966. b. Periode 26 Februari 1966-2 Mei 1966.
c. Periode 2 Mei 1966-16 Mei 1966. d. Periode 17 Mei 1966-19 November 1966. Secara
hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai pembantu Presiden
sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut.

Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk


membentuk 2 buah panitia: a. Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam
berbagai masalah bidang politik. b. Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan,
bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang
pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.
Masa Orde Baru (1966-1999)
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan
dalam UU No. 10/1966, maka DPR-GR Masa Orde Baru memulai kerjanya dengan
menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde Baru. Kedudukan, tugas dan wewenang
DPR-GR 1966-1971 yang bertanggung jawab dan berwewenang untuk menjalankan
tugas-tugas utama sebagai berikut:
1. Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan pasal 23 ayat 1
UUD 1945 beserta penjelasannya.
2. Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan pasal 5 ayat 1, pasal
20, pasal 21 ayat 1 dan pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.
3. Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan
penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7.
Selama masa orde baru DPR dianggap sebagai Tukang Stempel kebijakan
pemerintah yang berkuasa karena DPR dikuasai oleh Golkar yang merupakan pendukung
pemerintah.
Masa reformasi (1999-sekarang)
Banyaknya skandal korupsi, penyuapan dan kasus pelecehan seksual merupakan
bentuk nyata bahwa DPR tidak lebih baik dibandingkan dengan yang sebelumnya. Mantan
ketua MPR-RI 1999 s.d 2004, Amien Rais, bahkan mengatakan DPR yang sekarang hanya
merupakan stempel dari pemerintah karena tidak bisa melakukan fungsi pengawasannya
demi membela kepentingan rakyat. Hal itu tercermin dari ketidakmampuan DPR dalam

mengkritisi kebijakan pemerintah yang terbilang tidak pro rakyat seperti kenaikan BBM,
kasus lumpur Lapindo, dan banyak kasus lagi. Selain itu, DPR masih menyisakan
pekerjaan yakni belum terselesaikannya pembahasan beberapa undang-undang. Buruknya
kinerja DPR pada era reformasi membuat rakyat sangat tidak puas terhadap para anggota
legislatif. Ketidakpuasan rakyat tersebut dapat dilihat dari banyaknya aksi demonstrasi
yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak dikritisi oleh DPR.
Banyaknya judicial review yang diajukan oleh masyarakat dalam menuntut keabsahan
undang-undang yang dibuat oleh DPR saat ini juga mencerminkan bahwa produk hukum
yang dihasilkan mereka tidak memuaskan rakyat.
DPR juga kerap dikritik oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena
dianggap malas dalam bekerja. Hal ini terbukti dari pemberian fasilitas mewah, seperti
gaji besar, kendaraan, dan perumahan, namun tidak sebanding dengan hasil yang
diberikan. Hal lain yang sudah menjadi rahasia umum adalah banyaknya anggota yang
"bolos" dalam sidang paripurna, atau sekedar "menitip absen", sehingga seolah-olah hadir,
namun kenyataannya tidak. Kalaupun hadir, sebagian oknum anggota ternyata tidur saat
sidang, main game, atau melakukan tindakan lain selain mengikuti proses rapat paripurna.
Kasus terbaru adalah putra Presiden, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), yang tertangkap
kamera sedang menitip absen saat rapat paripurna DPR membahas Undang-Undang
Pencegahan Pendanaan Terorisme.Dalam konsep Trias Politika, di mana DPR berperan
sebagai lembaga legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang dan mengawasi
jalannya pelaksanaan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah sebagai lembaga
eksekutif. Fungsi pengawasan dapat dikatakan telah berjalan dengan baik apabila DPR
dapat melakukan tindakan kritis atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang
tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Sementara itu, fungsi legislasi dapat dikatakan
berjalan dengan baik apabila produk hukum yang dikeluarkan oleh DPR dapat memenuhi
aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat.

B. Fungsi
DPR mempunyai fungsi ; legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan dalam
kerangka representasi rakyat.
1. Legislasi
Fungsi Legislasi dilaksanakan untuk membentuk undang-undang bersama
presiden.
2. Anggaran
Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN
yang diajukan oleh Presiden.
3. Pengawasan
Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undangundang dan APBN.
C. Hak
DPR mempunyai beberapa hak, yaitu; hak interpelasi, hak angket, hak imunitas, dan hak
menyatakan pendapat.
1. Hak interpelasi
Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah
mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Hak angket

Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan
suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Hak imunitas
Hak imunitas adalah kekebalan hukum dimana setiap anggota DPR tidak dapat
dituntut di hadapan dan di luar pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat
yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang
tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik.
4. Hak menyatakan pendapat
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a) Kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di
tanah air atau di dunia internasional
b) Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket
c) Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran
hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
D. Anggota
Hak anggota
Anggota DPR mempunyai hak:

mengajukan usul rancangan undang-undang

mengajukan pertanyaan

menyampaikan usul dan pendapat

memilih dan dipilih

membela diri

imunitas

protokoler

keuangan dan administratif


Kewajiban anggota
Anggota DPR mempunyai kewajiban:

memegang teguh dan mengamalkan Pancasila

melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan


menaati peraturan perundangundangan

mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan


Republik Indonesia

mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan

memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat

menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara

menaati tata tertib dan kode etik

menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain

menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala

menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat

memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah


pemilihannya

Larangan
Anggota DPR tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, hakim pada
badan peradilan, pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada BUMN/BUMD atau
badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.Anggota DPR juga tidak boleh
melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan
publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter praktek dan pekerjaan lain yang ada
hubungannya dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR.
Penyidikan
Jika anggota DPR diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan,
dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. Ketentuan ini tidak berlaku
apabila anggota DPR melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan.
E. Fraksi
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan
kewajiban anggota DPR, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPR. Dalam
mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban
anggota DPR, fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota fraksinya dan melaporkan
kepada publik. Setiap anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. Fraksi dapat
dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan
perolehan kursi DPR. Fraksi mempunyai sekretariat. Sekretariat Jenderal DPR menyediakan
sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi.

Fraksi

Jumlah
Anggota

Ketua

Fraksi Partai Demokrat (F-PD)

148

Mohammad
Hafsah

Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG)

107

Setya Novanto

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F94


PDIP)

Tjahjo Kumolo

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS)

57

Hidayat Nurwahid

Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN)

46

Asman Abnur

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP)

37

Hasrul Azwar

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB)

28

Marwan Ja'far

Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-Gerindra)

26

Mujiyono Haryanto

Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (F-Hanura)

17

Ahmad Fauzi

Jafar

F. Alat kelengkapan
Alat kelengkapan DPR terdiri atas: Pimpinan, Badan Musyawarah, Komisi, Badan
Legislasi, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan Kehormatan, Badan
Kerjasama Antar-Parlemen, Badan Urusan Rumah Tangga, Panitia Khusus dan alat kelengkapan
lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. Dalam menjalankan tugasnya, alat
kelengkapan dibantu oleh unit pendukung yang tugasnya diatur dalam peraturan DPR tentang
tata tertib.

Pimpinan
Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang
berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR. Ketua DPR
ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di

DPR. Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh
kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua ditentukan berdasarkan
urutan hasil perolehan suara terbanyak dalam pemilihan umum. Dalam hal terdapat lebih dari 1
(satu) partai politik yang memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua ditentukan berdasarkan
persebaran perolehan suara.
Dalam hal pimpinan DPR belum terbentuk, DPR dipimpin oleh pimpinan sementara
DPR. Pimpinan sementara DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua
yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di
DPR. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak
sama, ketua dan wakil ketua sementara DPR ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai
politik bersangkutan yang ada di DPR. Ketua dan wakil ketua DPR diresmikan dengan
keputusan DPR. Pimpinan DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji
yang teksnya dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
Tugas

Pimpinan DPR bertugas:

memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan

menyusun rencana kerja pimpinan

melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi


kegiatan dari alat kelengkapan DPR

menjadi juru bicara DPR

melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR

mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya

mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai
dengan keputusan DPR

mewakili DPR di pengadilan

melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi


anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

menyusun rencana anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga yang
pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna

menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk
itu

Berhenti

Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena:

meninggal dunia

mengundurkan diri

diberhentikan

Pimpinan DPR diberhentikan apabila :

tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai
anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun

melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat
paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR

dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan


hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih

diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya

melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini

diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.


Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya, anggota pimpinan

lainnya menetapkan salah seorang di antara pimpinan untuk melaksanakan tugas pimpinan yang
berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan yang definitif. Dalam hal salah seorang
pimpinan DPR berhenti, penggantinya berasal dari partai politik yang sama. Pimpinan DPR
diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Dalam hal
pimpinan DPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan DPR yang bersangkutan
melaksanakan kembali tugasnya sebagai pimpinan DPR.
Badan Musyawarah
Badan Musyawarah (disingkat Bamus) dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan
Musyawarah pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota
Badan Musyawarah berjumlah paling banyak 1/10 (satu persepuluh) dari jumlah anggota DPR
berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi yang ditetapkan oleh rapat paripurna.
Pimpinan DPR karena jabatannya juga sebagai pimpinan Badan Musyawarah.
Tugas

Badan Musyawarah bertugas:


1. menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, atau
sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka
waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak mengurangi kewenangan
rapat paripurna untuk mengubahnya
2. memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijakan yang
menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPR;
3. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPR yang lain
untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai pelaksanaan tugas masing-masing
4. mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam hal undang-undang
mengharuskan Pemerintah atau pihak lainnya melakukan konsultasi dan koordinasi
dengan DPR
5. menentukan penanganan suatu rancangan undangundang atau pelaksanaan tugas DPR
lainnya oleh alat kelengkapan DPR
6. mengusulkan kepada rapat paripurna mengenai jumlah komisi, ruang lingkup tugas
komisi, dan mitra kerja komisi yang telah dibahas dalam konsultasi pada awal masa
keanggotaan DPR
7. melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna kepada Badan
Musyawarah
Komisi
Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
DPR menetapkan jumlah komisi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun
sidang. Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan
pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada
permulaan tahun sidang.

Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua,
yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan
proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah
anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan komisi dalam rapat komisi yang dipimpin oleh
pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan komisi.
Tugas

Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan,


pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang.
Tugas komisi di bidang anggaran adalah:
1. mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan rancangan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersamasama dengan Pemerintah;
2. mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan rancangan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersamasama dengan Pemerintah;
3. membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan
kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi;
4. mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN termasuk
hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
5. menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
dan hasil pembahasan, kepada Badan Anggaran untuksinkronisasi;
6. menyempurnakan hasil sinkronisasi Badan Anggaran berdasarkan penyampaian usul
komisi; dan

7. menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan komisi, untuk bahan
akhir penetapan APBN.
Tugas komisi di bidang pengawasan adalah:
1. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta
peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;
2. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang
lingkup tugasnya;
3. melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan
4. membahas dan menindaklanjuti usulan DPD.
Komisi dalam melaksanakan, dapat mengadakan:
1. rapat kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh menteri/pimpinan lembaga;
2. konsultasi dengan DPD;
3. rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya;
4. rapat dengar pendapat umum, baik atas permintaan komisi maupun atas permintaan pihak
lain;
5. rapat kerja dengan menteri atau rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang
mewakili instansinya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup tugasnya apabila
diperlukan; dan/atau
6. kunjungan kerja.
Komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan tugas komisi. Keputusan dan/atau
kesimpulan hasil rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara
DPR dan Pemerintah. Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan DPR, baik

yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi
pada masa keanggotaan berikutnya. Komisi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan
tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah
Tangga.
Komisi adalah unit kerja utama di dalam DPR. Hampir seluruh aktivitas yang berkaitan
dengan fungsi-fungsi DPR, substansinya dikerjakan di dalam komisi. Setiap anggota DPR
(kecuali pimpinan) harus menjadi anggota salah satu komisi. Pada umumnya, pengisian
keanggotan komisi terkait erat dengan latar belakang keilmuan atau penguasaan anggota
terhadap masalah dan substansi pokok yang digeluti oleh komisi.
Pada periode 2009-2014, DPR mempunyai 11 komisi dengan ruang lingkup tugas, yaitu :

Komisi I, membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi.

Komisi II, membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan
agraria.

Komisi III, membidangi hukum dan perundang-undangan, hak asasi manusia, dan
keamanan.

Komisi IV, membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan


pangan.

Komisi V, membidangi perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan


rakyat, pembangunan pedesaan dan kawasan tertinggal.

Komisi VI, membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, usaha kecil dan
menengah), dan badan usaha milik negara.

Komisi VII, membidangi energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, dan
lingkungan.

Komisi VIII, membidangi agama, sosial dan pemberdayaan perempuan.

Komisi IX, membidangi kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi.

Komisi X, membidangi pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, dan


kebudayaan.

Komisi XI, membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, dan


lembaga keuangan bukan bank.

Badan Legislasi
Badan Legislasi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat
tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota Badan Legislasi ditetapkan
dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi
pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan
kolegial. Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga)
orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan Badan Legislasi
dilakukan dalam rapat Badan Legislasi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan
susunan dan keanggotaan Badan Legislasi.
Tugas

Badan Legislasi bertugas:


1. menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan dan prioritas
rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan untuk
setiap tahun anggaran di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan masukan dari
DPD;
2. mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan Pemerintah;

3. menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR berdasarkan program prioritas yang


telah ditetapkan;
4. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan
undang-undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum
rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR;
5. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh
anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas rancangan undang-undang
tahun berjalan atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program
legislasi nasional;
6. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undangundang yang secara khusus ditugaskan oleh Badan Musyawarah;
7. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan
rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
8. memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas rancangan undang-undang usul DPD
yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan
9. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan pada
akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh Badan Legislasi pada masa
keanggotaan berikutnya.
Badan Legislasi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai
dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Badan Anggaran
Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat
tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan
pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada
permulaan tahun sidang. Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran terdiri atas anggota dari

tiap-tiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota
dan usulan fraksi.
Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan
kolegial. Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga)
orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan
perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan Badan
Anggaran dilakukan dalam rapat Badan Anggaran yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
penetapan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran.
Tugas

Badan Anggaran bertugas:


1. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokokpokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi
setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;
2. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi
terkait;
3. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat
diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah
mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga;
4. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan
anggaran kementerian/lembaga;
5. membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan
6. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi.
Anggota komisi dalam Badan Anggaran harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan
komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas.

Badan Akuntabilitas Keuangan Negara


Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (disingkat BAKN), dibentuk oleh DPR dan
merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan
keanggotaan BAKN pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
Anggota BAKN berjumlah paling sedikit 7 (tujuh) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang
atas usul fraksi DPR yang ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotaan
DPR dan permulaan tahun sidang.
Pimpinan BAKN merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
Pimpinan BAKN terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari
dan oleh anggota BAKN berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan
pimpinan BAKN dilakukan dalam rapat BAKN yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
penetapan susunan dan keanggotaan BAKN.
Tugas

BAKN bertugas:
1. melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan
kepada DPR;
2. menyampaikan hasil penelaahan kepada komisi;
3. menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas
permintaan komisi; dan

4. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan,
hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan.
Dalam melaksanakan tugas BAKN dapat meminta penjelasan dari BPK, Pemerintah, pemerintah
daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan
umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
BAKN dapat mengusulkan kepada komisi agar BPK melakukan pemeriksaan lanjutan. Hasil
kerja disampaikan kepada pimpinan DPR dalam rapat paripurna secara berkala.
Dalam melaksanakan tugas, BAKN dapat dibantu oleh akuntan, ahli, analis keuangan, dan/atau
peneliti.
Badan Kehormatan
Badan Kehormatan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang
bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan dengan
memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan
masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11
(sebelas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotan DPR dan
pada permulaan tahun sidang.
Pimpinan Badan Kehormatan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif
dan kolegial. Pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang
wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan Badan Kehormatan
dilakukan dalam rapat Badan Kehormatan yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan
susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan.
Tugas

Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap
anggota karena:

1. tidak melaksanakan kewajiban;


2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai
anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
3. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi
tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
4. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan
DPRD; dan/atau
5. melanggar ketentuan larangan.
Selain tugas tersebut diatas, Badan Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan
peraturan DPR tentang kode etik DPR. Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait
dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain. Badan Kehormatan membuat laporan kinerja
pada akhir masa keanggotaan.
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh
DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan
keanggotaan BKSAP pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan
jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan
tahun sidang.
Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan
kolegial.P impinan BKSAP terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang
wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk
mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut
perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan BKSAP dilakukan dalam rapat
BKSAP yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BKSAP.

Tugas

BKSAP bertugas:
1. membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama
antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk
organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara
lain;
2. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
3. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan
4. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama
antarparlemen.
BKSAP membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan baik yang sudah maupun yang
belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh BKSAP pada masa keanggotaan
berikutnya.
Badan Urusan Rumah Tangga
Badan Urusan Rumah Tangga (disingkat BURT), dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BURT pada
permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota BURT
ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang dijabat oleh Ketua DPR dan paling banyak
3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan BURT sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BURT yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
penetapan susunan dan keanggotaan BURT.
Tugas

BURT bertugas:
1. menetapkan kebijakan kerumahtanggaan DPR;
2. melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal DPR dalam pelaksanaan kebijakan
kerumahtanggaan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a, termasuk pelaksanaan dan
pengelolaan anggaran DPR;
3. melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPD dan alat kelengkapan MPR yang
berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan DPR, DPD, dan MPR yang ditugaskan
oleh pimpinan DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah;
4. menyampaikan hasil keputusan dan kebijakan BURT kepada setiap anggota DPR; dan
5. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk
itu.
Panitia Khusus
Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat
sementara. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan
dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh
rapat paripurna paling banyak 30 (tiga puluh) orang.
Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan
kolegial. Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga)
orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah panitia khusus yang
ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
Pemilihan pimpinan panitia khusus sebagaimana dilakukan dalam rapat panitia khusus yang

dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus.Panitia
khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh
rapat paripurna. Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR. Panitia khusus dibubarkan oleh
DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai.
Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.
Sekretariat Jenderal
Sekretariat Jenderal DPR-RI merupakan unsur penunjang DPR, yang berkedududukan
sebagai Kesekretariatan Lembaga Negara yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan
dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR. Sekretaris Jenderal
diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPR. Sekretariat
Jenderal DPR RI personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil. Susunan organisasi dan tata kerja
Sekretaris Jenderal ditetapkan dengan keputusan Presiden. Sekretaris Jenderal dibantu oleh
seorang Wakil Sekretaris Jenderal dan beberapa Deputi Sekretaris Jenderal yang diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Pimpinan DPR..DPR dapat mengangkat sejumlah
pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan, dan dalam melaksanakan tugasnya Sekretariat Jenderal
dapat membentuk Tim Asistensi. Sekretaris Jendral DPR-RI saat ini dijabat oleh Dra. Nining
Indra Shaleh, Msi

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT ( MPR )


Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa

yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan
berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa
minggu sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan
sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra Amandemen yang
baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen)
tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari Lembaga Tertinggi Negara hingga

Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembagalembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari sila keempat yang mengedepankan prinsip
demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh didalamnya. Kehendak untuk mengejawantahkan
aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno,
pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip
kerakyatan dalam konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang
mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilah Badan
Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota keluarga
dapat memberikan pendapatnya.
Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo menyampaikan bahwa
Badan Permusyawaratan berubah menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan
anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana
anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan.
Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI
pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra
Amandemen).
Masa Orde Lama (1945-1965)
Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena gentingnya situasi
saat itu. Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri bangsa dengan Pasal IV Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) menyebutkan,
Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan
Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-perubahan
yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran
baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) dimulailah lembaran
pertama sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan UndangUndang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi
ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan
umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang
Dasar.Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar
ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22
April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak
mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan :

Pembubaran Konstituante,

Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950,

Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan


Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5


Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur
Pembentukan MPRS sebagai berikut :

MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan.

Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.

Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I
dan Golongan Karya.

Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut
agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.

MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh
Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199

Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan
Karya, dan 118 Utusan Daerah.Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan
G-30-S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S/PKI, mutlak diperlukan
adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan
kenegaraan. MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi
pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan
MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa
sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS
menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan
Umum terbentuk.
Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI
mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato
pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul Nawaksara ternyata tidak
memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam
Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato
pertanggungjawabannya. Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS
dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama Pelengkap Nawaksara, tetapi
ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut,
Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi
kewajiban Konstitusional. Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya

tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai Nawaksara beserta pelengkapnya berpendapat


bahwa Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis
membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila.Dalam kaitan itu, MPRS
mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan
Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat
Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta
memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan,
pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.
Masa Reformasi (1999-sekarang)
Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para
pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi.
Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembagalembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan
kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi
lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang
dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga
sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.
Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. , setelah perubahan Undang-Undang Dasar
diubah menjadi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh
sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara
yang ditentukan oleh UUD 1945.
Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum
maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan UndangUndang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh
karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar
mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

Tugas dan wewenang


Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR. Setiap usul
pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan
diubah beserta alasannya. Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan
MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan
diubah yang disertai alasan pengubahan yang paling lama dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari
sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR mengadakan rapat
dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan
persyaratan.
Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR
memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta
alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan
persyaratan, pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60
(enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi
kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang
paripurna MPR.
Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima
puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.

Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum


MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang
paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara memiliki
kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak, namun sejak
reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR. Perubahan kewenangan tersebut
diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7
(lanjutan 2) tanggal 09 November 2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).
Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang
paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul.
Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam
sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah
anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir.

Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden


Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.
Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR
untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan
sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan
rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat,Presiden bersumpah
menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan
disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Memilih Wakil Presiden
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam
waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang
diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa
jabatannya.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR menyelenggarakan
sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden,
dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa
jabatannya. Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan
secara bersama-sama.

Keanggotaan
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi, MPR terdiri atas
anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan yang ditetapkan undangundang. Jumlah anggota MPR periode 20092014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560
Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir
bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Anggota MPR
sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu
oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR. Anggota MPR yang berhalangan
mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh
pimpinan MPR.
Hak dan kewajiban anggota
Hak anggota

Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945.

Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.

Memilih dan dipilih.

Membela diri.

Imunitas.

Protokoler.

Keuangan dan administratif.

Kewajiban anggota

Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila.

Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan


menaati peraturan perundang-undangan.

Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara


Kesatuan Republik Indonesia.

Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.

Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.

Fraksi dan kelompok anggota


Fraksi
Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik.
Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam
penentuan perolehan kursi DPR. Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus
menjadi anggota salah satu fraksi. Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan
anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. Pengaturan internal fraksi
sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing.
Kelompok anggota
Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota
DPD. Kelompok Anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan efektivitas kinerja
MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah. Pengaturan internal
Kelompok Anggota sepenuhnya menjadi urusan Kelompok Anggota.
Alat kelengkapan
Alat kelengkapan MPR terdiri atas; Pimpinan dan Panitia Ad Hoc.
Pimpinan

Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat)
orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2
(dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna
MPR.

Panitia Ad Hoc
Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah
anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang susunannya
mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan Kelompok
Anggota MPR.
Sidang
MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Sidang MPR sah apabila dihadiri:

sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR untuk
memberhentikan Presiden/Wakil Presiden

sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan
UUD

sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota MPR sidang-sidang lainnya

Putusan MPR sah apabila disetujui:

sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir untuk memutus usul DPR
untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden

sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah Anggota MPR untuk memutus perkara
lainnya.

Sebelum mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu diupayakan
pengambilan putusan dengan musyawarah untuk mencapai hasil yang mufakat.

6. RUANG LINGKUP DAN FUNGSI KOMISI DPR


KOMISI I
a. Ruang Lingkup
1. Pertahanan
2. Luar Negeri
3. Informasi
b. Pasangan kerja
1. Kementerian Pertahanan
2. Kementerian Luar Negeri
3. Panglima TNI (Mabes TNI AD, AL dan AU)
4. Kementerian Komunikasi dan Informatika
5. Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas)
6. Badan Intelijen Negara (BIN)
7. Lembaga Sandi Negara (LEMSANEG)
8. Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA
9. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)
10. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
11. Televisi Republik Indonesia (TVRI)
12. Radio Republik Indonesia (RRI)
13. Dewan Pers
14. Perum Antara
KOMISI II
a. Ruang lingkup
1. Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
2. Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
3. Kepemiluan
4. Pertanahan dan Reforma Agraria
b. Pasangan kerja
1. Kementerian Dalam Negeri
2. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
3. Menteri Sekretaris Negara
4. Sekretaris Kabinet
5. Lembaga Administrasi Negara (LAN)
6. Badan Kepegawaian Negara (BKN)
7. Badan Pertanahan Nasional (BPN)
8. Arsip Nasional RI (ANRI)
9. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
10. Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU)
11. Ombudsman Republik Indonesia

12. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan


(UKP4)
KOMISI III
a. Ruang lingkup
1. Hukum
2. HAM
3. Keamanan
b. Pasangan kerja
1. Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia
2. Kejaksaan Agung
3. Kepolisian Negara Republik Indonesia
4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
5. Komisi Hukum Nasional
6. Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM)
7. Setjen Mahkamah Agung
8. Setjen Mahkamah Konstitusi
9. Setjen MPR
10. Setjen DPD
11. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
12. Komisi Yudisial
13. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
14. Badan Narkotika Nasional (BNN
15.
KOMISI IV
a. Ruang lingkup
1. Pertanian
2. Perkebunan
3. Kehutanan
4. Kelautan
5. Perikanan
6. Pangan
b. Pasangan kerja
1. Departemen Pertanian
2. Departemen Kehutanan
3. Departemen Kelautan dan Perikanan
4. Badan Urusan Logistik
5. Dewan Maritim Nasional
KOMISI V

a. Ruang lingkup
1. Perhubungan
2. Pekerjaan Umum
3. Perumahan Rakyat
4. Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Tertinggal
5. Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
b. Mitra kerja
1. Departemen Pekerjaan Umum
2. Departemen Perhubungan
3. Menteri Negara Perumahan Rakyat
4. Menteri Negara Pembangunan Daerah Teringgal
5. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
6. Badan SAR Nasional
7. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoardjo (BPLS)
KOMISI VI
a. Ruang lingkup
1. Perdagangan
2. Perindustrian
3. Investasi
4. Koperasi, UKM dan BUMN
5. Standarisasi Nasional
a. Pasangan kerja
1. Departemen Perindustrian
2. Departemen Perdagangan
3. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
4. Menteri Negara BUMN
5. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
6. Badan Standarisasi Nasional (BSN)
7. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
8. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
KOMISI VII
a. Ruang lingkup
1. Energi Sumber Daya Mineral
2. Riset dan Teknologi
3. Lingkungan Hidup
b. Pasangan kerja
1. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
2. Menteri Negara Lingkungan Hidup
3. Menteri Negara Riset dan Teknologi

4. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)


5. Dewan Riset Nasional
6. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
7. Badan Tenaga Nuklir (BATAN)
8. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETAN)
9. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL)
10. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
11. Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas
12. Badan Pelaksana Pengendalian Usaha Hulu Migas
13. PP IPTEK
14. Lembaga EIKJMEN
KOMISI VIII

a. Ruang lingkup
1. Agama
2. Sosial
3. Pemberdayaan Perempuan

Pasangan kerja
1. Kementerian Agama
2. Kementerian Sosia Ril
3. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
4. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
5. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
6. Badan Amil Zakat Nasional
KOMISI IX
a. Ruang lingkup
1. Tenaga Kerja dan Transmigrasi
2. Kependudukan
3. Kesehatan
b. Pasangan kerja
1. Departemen Kesehatan
2. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
3. badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
4. Badan Pengawas Obat dan Makanan
5. BNP2TKI
6. PT Askes ( Persero)
7. PT. Jamsostek( Persero)

KOMISI X
a.

Ruang lingkup
1. Pendidikan
2. Pemuda
3. Olahraga
4. Pariwisata
5. Kesenian
6. Kebudayaan

b. Pasangan kerja
1. Departemen Pendidikan Nasional
2. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
3. Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga
4. Perpustakaan Nasional
KOMISI XI
a. Ruang lingkup
1. Keuangan
2. Perencanaan Pembangunan Nasional
3. Perbankan
4. Lembaga Keuangan Bukan Bank
b. Pasangan kerja
1. Departemen Keuangan
2. Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan/Kepala BAPPENAS
3. Bank Indonesia
4. Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
5. Badan Peengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
6. Badan Pusat Statistik
7. Setjen BPK RI
8. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
9. Lembaga Kebijakan dan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah
3. Perbedaan antara susila dan asusila
Susila berasal dari kata su dan sila. Su adalah awalan yang berarti amat
baik, atau sangat baik, mulia, dan indah. Sedangkan kata sila berarti tingkah laku atau
kelakuan. Jadi Susila berarti tingkah laku atau kelakuan yang baik atau mulia yang harus
menjadi pedoman hidup manusia. Manusia adalah makhluk individu dan juga makhluk
sosial. Sebagai individu manusia mempunyai kemauan dan kehendak yang mendorong

ia berbuat baik dan bertindak. Berbuat yang baik (Susila) yang selaras dengan ajaran
agama atau dharma adalah cermin dari manusia yang Susila. Manusia Susila adalah
manusia yang memiliki budhi pekerti tinggi yang bisa diterima oleh lingkungan di mana
orang itu berada.Sedangkan
Asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari normanorma atau kaidah kesopanan yang saat ini cenderung banyak terjadi kalangan
masyarakat, teruatama remaja. Islam dengan Al Quran dan sunnah telah memasang
bingkai bagi kehidupan manusia agar menjadi kehidupan yang indah dan bersih dari
keruskaan moral. Menurut pandangan Islam, tinggi dan rendahnya spiritualitas (rohani)
pada sebuah masyarakat berkaitan erat dengan segala prilakunya, bukan saja tata prilaku
yang besifat ibadah mahdah (khusus) seperti shalat dan berpuasa, namun juga yang
bersifat prilaku ibadah ghairu mahdah (umum)seperti hal-hal yang berkaitan dengan
sosial kemasyarakatan.

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)


Bagian Pertama
Susunan dan Keanggotaan
Pasal 32
DPD terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 33
Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang.
Jumlah seluruh Anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah Anggota DPR.
Keanggotaan DPD diresmikan dengan Keputusan Presiden.

Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang bertempat tinggal di
ibukota negara Republik Indonesia.
Pasal 34
Masa jabatan Anggota DPD adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat Anggota DPD
yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 35
Anggota DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama
yang dipandu oleh ketua Mahkamah Agung dalam Sidang Paripurna DPD.
Anggota DPD yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPD.
Tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Tata Tertib DPD.

Pasal 36
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 adalah sebagai berikut:
Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua
Dewan Perwakilan Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;
bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundangundangan;
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada
bangsa dan negara;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi daerah yang saya wakili untuk
mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan
Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Pimpinan

Pasal 37

Pimpinan DPD terdiri atas seorang ketua dan sebanyak-banyaknya dua orang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh Anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.
Selama pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPD dipimpin
oleh Pimpinan Sementara DPD.
Pimpinan Sementara DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas seorang ketua
sementara dan seorang wakil ketua sementara yang diambilkan dari anggota tertua dan anggota
termuda usianya.
Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda usianya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota tertua dan/atau anggota termuda berikutnya.
Ketua dan wakil ketua DPD diresmikan dengan Keputusan DPD.
Tata cara pemilihan pimpinan DPD diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD.
Pasal 38
Tugas Pimpinan DPD adalah:
a. memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
c. menjadi juru bicara DPD;
d. melaksanakan dan memasyarakatkan putusan DPD;
e. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai
dengan putusan DPD;
f. mewakili DPD dan/atau alat kelengkapan DPD di pengadilan;
g. melaksanakan putusan DPD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran DPD; dan
i. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna DPD.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata cara pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD.
Pasal 39

Pimpinan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) berhenti atau diberhentikan dari
jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai
pimpinan DPD;
d. melanggar kode etik DPD berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPD; atau
e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman serendahrendahnya lima tahun penjara.
Dalam hal salah seorang pimpinan DPD diberhentikan dari jabatannya, para anggota pimpinan
lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara sampai
terpilihnya pengganti definitif.
Dalam hal pimpinan DPD dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman
hukuman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak diperbolehkan melaksanakan tugas
memimpin sidang-sidang DPD dan menjadi juru bicara DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Dalam hal pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan tidak bersalah
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dinyatakan
bebas dari segala tuntutan hukum, maka pimpinan DPD melaksanakan kembali tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD.
Bagian Ketiga
Kedudukan dan Fungsi
Pasal 40
DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
Pasal 41

DPD mempunyai fungsi :


a. pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan
dengan bidang legislasi tertentu;
b. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.

Bagian Keempat
Tugas dan Wewenang
Pasal 42
DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
DPD mengusulkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada DPR
dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR.
(3) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dimaksud pada ayat (1) dengan pemerintah.

Pasal 43
DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah;
hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah, yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah.
DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai
Peraturan Tata Tertib DPR.
Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama antara DPR,
DPD, dan pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas rancangan
undang-undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga.
Pandangan, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan sebagai

masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah.

Pasal 44
DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk tertulis sebelum
memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan pemerintah.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bahan bagi DPR dalam melakukan
pembahasan dengan pemerintah.

Pasal 45
DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa
Keuangan.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis sebelum
pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.

Pasal 46
DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan,
dan agama.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang.
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Pasal 47
DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan untuk
dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan APBN.

Bagian Kelima

Hak dan Kewajiban

Pasal 48
DPD mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
dan ayat (2) kepada DPR;
b. ikut membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat
(1).
Pasal 49
Anggota DPD mempunyai hak:
a. menyampaikan usul dan pendapat;
b. memilih dan dipilih;
c. membela diri;
d. imunitas;
e. protokoler; dan
f.

keuangan dan administratif.


Pasal 50

Anggota DPD mempunyai kewajiban:


a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
menaati segala peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan
Republik Indonesia;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan
daerah;

g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;


h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah
pemilihannya;
i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD; dan
j. menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.

Pasal 51
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44,
Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 50 diatur dalam Peraturan Tata Tertib
DPD.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI ( DPRD PROVINSI)


Bagian Pertama
Susunan dan Keanggotaan
Pasal 52
DPRD Provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih
berdasarkan hasil pemilihan umum.
Pasal 53

Anggota DPRD Provinsi berjumlah sekurang-kurangnya 35 orang dan sebanyak-banyaknya


seratus orang.
Keanggotaan DPRD Provinsi diresmikan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama
Presiden.
Anggota DPRD Provinsi berdomisili di ibukota provinsi yang bersangkutan.
Pasal 54
Masa jabatan Anggota DPRD Provinsi adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat

Anggota DPRD Provinsi yang baru mengucapkan sumpah/janji.


Pasal 55
Anggota DPRD Provinsi sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara
bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi dalam Sidang Paripurna DPRD
Provinsi.
Anggota DPRD Provinsi yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Pimpinan
DPRD Provinsi.
Tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi.
Pasal 56
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 adalah sebagai berikut:
Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (ketua/wakil ketua) Dewan
Perwakilan Rakyat Provinsi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;
bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan;
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan
nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Pimpinan
Pasal 57
Pimpinan DPRD Provinsi terdiri atas seorang ketua dan sebanyak-banyaknya tiga orang wakil
ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota DPRD Provinsi dalam sidang paripurna DPRD
Provinsi.
Selama Pimpinan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPRD
Provinsi dipimpin oleh Pimpinan Sementara DPRD Provinsi.
Pimpinan Sementara DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas seorang
ketua dan seorang wakil ketua yang berasal dari dua partai politik yang memperoleh kursi

terbanyak pertama dan kedua di DPRD Provinsi.


Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, Ketua
dan Wakil Ketua Sementara DPRD Provinsi ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai
politik bersangkutan yang ada di DPRD Provinsi.
Pimpinan DPRD Provinsi sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 yang dipandu oleh Ketua Pengadilan Tinggi.
Tata cara pemilihan Pimpinan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi.

Pasal 58
Tugas Pimpinan DPRD Provinsi adalah:

a. memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;


b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil Ketua;
c. menjadi juru bicara DPRD Provinsi;
d. melaksanakan dan memasyarakatkan putusan DPRD Provinsi;
e. mengadakan konsultasi dengan gubernur dan instansi pemerintah lainnya sesuai dengan
putusan DPRD Provinsi;
f. mewakili DPRD Provinsi dan/atau alat kelengkapan DPRD Provinsi di pengadilan;
g. melaksanakan putusan DPRD Provinsi berkenaan dengan penetapan sanksi atau
rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna DPRD
Provinsi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata cara pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi.
Pasal 59
Pimpinan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) berhenti atau

diberhentikan dari jabatannya karena:


a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai
Pimpinan DPRD Provinsi;
d. melanggar kode etik DPRD Provinsi berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan
DPRD Provinsi;
e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman serendahrendahnya lima tahun penjara; dan
f. ditarik keanggotaannya sebagai Anggota DPRD Provinsi oleh partai politiknya.
Dalam hal salah seorang Pimpinan DPRD Provinsi diberhentikan dari jabatannya, para anggota
pimpinan lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara
sampai terpilihnya pengganti definitif.
Dalam hal Pimpinan DPRD Provinsi dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan
ancaman hukuman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak diperbolehkan melaksanakan tugas,
memimpin sidang-sidang DPRD Provinsi, dan menjadi juru bicara DPRD Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Dalam hal Pimpinan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan tidak
bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan
dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum, maka Pimpinan DPRD Provinsi melaksanakan
kembali tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Tata cara pemberhentian dan penggantian Pimpinan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi.
Bagian Ketiga
Kedudukan dan Fungsi
Pasal 60
DPRD Provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai

lembaga pemerintahan daerah provinsi.

Pasal 61
DPRD Provinsi mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.

Bagian Keempat
Tugas dan Wewenang
Pasal 62
DPRD Provinsi mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan gubernur untuk mendapat persetujuan
bersama;
b. menetapkan APBD bersama dengan gubernur;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan
perundang-undangan lainnya, keputusan gubernur, APBD, kebijakan pemerintah daerah
dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di
daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur/wakil gubernur kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
e. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap
rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;
f. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam pelaksanaan tugas
desentralisasi.
Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) DPRD Provinsi mempunyai
tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam undang-undang lainnya.
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban

Pasal 63
DPRD Provinsi mempunyai hak:
a.

interpelasi;

b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.

Pasal 64
Anggota DPRD Provinsi mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f.

imunitas;

g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.

Pasal 65
Anggota DPRD Provinsi mempunyai kewajiban:
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
menaati segala peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan negara kesatuan
Republik Indonesia dan daerah;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;

f. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;


g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah
pemilihannya;
i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi; dan
j. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
Pasal 66
DPRD Provinsi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara
tingkat provinsi, pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat untuk
memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan daerah,
bangsa dan negara.
Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat wajib
memenuhi permintaan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi tanpa alasan
yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama lima belas hari sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal pejabat yang disandera sebagaimana dimaksud pada ayat (4) habis masa jabatannya
atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum.
Pasal 67
Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63,
Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA ( DPRD


KOTA)
Bagian Pertama
Susunan dan Keanggotaan
Pasal 68
DPRD Kabupaten/Kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih
berdasarkan hasil pemilihan umum.
Pasal 69
Anggota DPRD Kabupaten/Kota berjumlah sekurang-kurangnya dua puluh orang dan sebanyakbanyaknya empat puluh lima orang.
Keanggotaan DPRD Kabupaten/Kota diresmikan dengan keputusan gubernur atas nama
Presiden.
Anggota DPRD Kabupaten/Kota berdomisili di kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pasal 70
Masa jabatan Anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada
saat Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Pasal 71
Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji
secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri dalam Sidang Paripurna DPRD
Kabupaten/Kota.
Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Pimpinan
DPRD Kabupaten/Kota.
Tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 72
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 adalah sebagai berikut:

Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:


bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (ketua/wakil ketua) Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;
bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan;
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan
nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.
Bab Kedua
Pimpinan
Pasal 73
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota terdiri atas seorang ketua dan dua orang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh Anggota DPRD Kabupaten/Kota dalam Sidang Paripurna DPRD
Kabupaten/Kota.
Selama Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk,
DPRD Kabupaten/Kota dipimpin oleh Pimpinan Sementara DPRD Kabupaten/Kota.
Pimpinan Sementara DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas
seorang ketua dan seorang wakil ketua yang berasal dari dua partai politik yang memperoleh
kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, Ketua
dan Wakil Ketua Sementara DPRD Kabupaten/Kota ditentukan secara musyawarah oleh wakil
partai politik bersangkutan yang ada di DPRD Kabupaten/Kota.
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sebelum memangku jabatannya, mengucapkan sumpah/janji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, dipandu oleh ketua pengadilan negeri.
Tata cara pemilihan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota.

Pasal 74
Tugas Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota adalah:

a. memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;


b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
c. menjadi juru bicara DPRD Kabupaten/Kota;
d. melaksanakan dan memasyarakatkan putusan DPRD Kabupaten/Kota;
e. mengadakan konsultasi dengan bupati/walikota dan instansi pemerintah lainnya sesuai
dengan putusan DPRD Kabupaten/Kota;
f. mewakili DPRD Kabupaten/Kota dan/atau alat kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota di
pengadilan;
g. melaksanakan putusan DPRD Kabupaten/Kota berkenaan dengan penetapan sanksi atau
rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna DPRD
Kabupaten/Kota.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata cara pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 75
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) berhenti atau
diberhentikan dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota;
d. melanggar kode etik DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan hasil pemeriksaan badan
kehormatan DPRD Kabupaten/Kota;
e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman serendahrendahnya lima tahun penjara;
f. ditarik keanggotaannya sebagai Anggota DPRD Kabupaten/Kota oleh partai politiknya.
Dalam hal salah seorang Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota diberhentikan dari jabatannya, para
anggota pimpinan lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas

sementara sampai terpilihnya pengganti definitif.


Dalam hal Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota dinyatakan bersalah karena melakukan tindak
pidana dengan ancaman hukuman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak diperbolehkan
melaksanakan tugas, memimpin sidang-sidang DPRD Kabupaten/Kota, dan menjadi juru bicara
DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Dalam hal Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan
tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
dan dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum, maka Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota
melaksanakan kembali tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Tata cara pemberhentian dan penggantian Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD
Kabupaten/Kota.
Bagian Ketiga
Kedudukan dan Fungsi
Pasal 76
DPRD Kabupaten/Kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan
sebagai lembaga pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Pasal 77
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi:
a.

legislasi;

b.

anggaran; dan

c.

pengawasan.

Bagian Keempat
Tugas dan Wewenang
Pasal 78
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan bupati/walikota untuk mendapat

persetujuan bersama;
b. menetapkan APBD Kabupaten/Kota bersama-sama dengan bupati/walikota;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan
perundang-undangan lainnya, keputusan bupati/walikota, APBD, kebijakan pemerintah
daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional
di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wakil bupati atau walikota/wakil
walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur;
e. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota
terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; dan
f. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam pelaksanaan
tugas desentralisasi.
Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) DPRD Kabupaten/Kota
mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam undang-undang lainnya.
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban
Pasal 79
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak:

c.

a.

interpelasi;

b.

angket; dan

menyatakan pendapat.

Pasal 80
Anggota DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;

e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.

Pasal 81
Anggota DPRD Kabupaten/Kota mempunyai kewajiban:
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
menaati segala peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan
Republik Indonesia dan daerah;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
f. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah
pemilihannya;
i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota; dan
j. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
Pasal 82
DPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, berhak meminta pejabat
negara tingkat kabupaten/kota, pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi
kepentingan bangsa dan negara.
Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat
wajib memenuhi permintaan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi tanpa alasan
yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama lima belas hari sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal pejabat yang disandera sebagaimana dimaksud pada ayat (4) habis masa jabatannya
atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum.
Pasal 83
Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79,
Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82 diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota
dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai