PENGKAJIAN HUKUM
TENTANG
ASPEK HUKUM WAKAF UANG
Editor
Ajarotni Nasution, S.H., M.H.
KATA PENGANTAR
vi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................
vii
14
24
43
59
59
68
92
117
119
123
vii
126
131
147
A. Kesimpulan ...........................................................
147
B. Saran .....................................................................
150
151
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wakaf adalah salah satu lembaga yang sangat dianjurkan dalam
hukum Islam untuk dipergunakan oleh seseorang sebagai sarana
penyaluran rezeki yang di berikan oleh Allah kepadanya. Meskipun
wakaf tidak jelas dan tegas disebutkan dalam al-Quran, tetapi ada
beberapa ayat yang di gunakan oleh para ahli sebagai dasar hukum
di syariatkannya wakaf. Sebagai contoh misalnya firman Allah yang
artinya lebih kurang sebagai berikut Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari usahamu yang baik-baik
dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu
Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan
dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
(al-Baqarah, ayat 267).
Di samping beberapa ayat ada juga beberapa Hadits yang
memerintahkan manusia untuk berbuat baik kepada sesama manusia
dalam masyarakat. Adapun hadits yang di jadikan landasan khusus
perbuatan mewakafkan harta yang di miliki seseorang adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Jamaah; yang mana hadits itu menyebutkan
bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, kemudian
ia bertanya (kepada Rasulullah): Ya Rasulullah, saya mendapat sebidang
tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah kudapat sama
sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak
engkau perintahkan kepadaku? Kemudian Nabi menjawab; Jika engkau
mau, tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya. Kemudian Umar
menyedekahkannya dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh
dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Adapun hasilnya itu
disedekahkan untuk orang-orang fakir dan keluarga dekat, untuk
memerdekakan hamba sahaya, untuk menjamu tamu, untuk orang
1
Asy-Syaukany, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Authar, Musthafaal-Babi al-Halaby,
Mesir, t.t, hlm. 127.
Kalau dilihat dari Pasal 48 ayat (2) PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun
2004 tentang Wakaf dinyatakan bahwa Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf
uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan/atau instrumen keuangan
syariah. Ini artinya bahwa investasi akan berdampak positif (mendapat untung) atau negatif
(mendapatkan kerugian), dengan demikian wakaf tunai dikelola akan memiliki risiko untuk musnah
akibat dari pengelolaan yang tidak tepat yang berakhir rugi.
Lihat dalam wakaf Tunai Sebagai Penekan Biaya Sosial, http://abiaqsa.blogspot.com/2008/09/
wakaf-tunai-sebagai-instrumen-penekan.html
2.
3.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Lihat Ahkam Al-Ahkam, Ibn Daqiq Al-Id, Jilid 3, hlm 3, hlm 209. Dan Ahkam Al-Auqaf, AlKhashaf, hlm 1. Dalam Dr. Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Dompet Dhuafa
dan IIMAN, Jakarta, 2004, hlm. 23.
Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fikih al-Islami wa Adilatuhu, Dar al Fikr, Damaskus, 1985, hlm.
169; muhammad bin Hazn, Al-Muhalla, Darul Fikr, Damaskus, hlm. 180
8
9
10
Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa, Jakarta, 2005, hlm. 78.
Lihat Mundzie Qahaf, An-Nushush al-Iqtishodiyah, nash no. 658 dan 659 dalam Mundzir Qahaf,
Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa, Jakarta, 2005, hlm. 77
ibid
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Dompet Duafa dan IIMAN, Jakarta, 2003
hlm. 68
Muhammad Amin Ali, Tarikhu al-Awqof fi Mishri Salathin al-Mamalik, Disertasi Doktor, hlm. 49.
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Dompet Dhuafa dan IIMAN, Jakarta,
2004, hlm. 28
11
12
ibid
masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh penguasa
dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang
mewakafkan budaknya untuk merawat masjid. Manfaat wakaf pada
masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti
wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk
kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat
dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih
membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah
Mekkah dan Madinah, seperti kain kabah (kiswatul kabah).
Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang
membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Kabah
setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi saw dan mimbarnya
setiap lima tahun sekali.13
Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi
tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk
mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara
pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut
berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf
pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq
(1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut
Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab
Sunni. Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi
tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa
kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu
haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat
umum.
Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas
wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian
besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti
Utsmani secara otomatis mempermudah untuk menerapkan Syariat
Islam, di antaranya ialah peraturan tentang perwakafan. Di antara
undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan
tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal
19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-Undang tersebut
13
ibid
13
14
Ibid
15
Definisi wakaf menurut ahli fikih adalah sebagai berikut: Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf
sebagai menahan materi benda (al-ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya
kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan Definisi wakaf tersebut menjelaskan
bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti ditangan Wakif itu sendiri.
Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan
hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya. Kedua, Malikiyah
berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya
dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam
jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif . Definisi wakaf tersebut hanya menentukan
pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja. Ketiga, Syafiiyah mengartikan
wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-ain)
dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada
Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang di wakafkan harus
harta yang kekal materi bendanya (al-ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau
musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan. Keempat, Hanabilah mendefinisikan
wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat
yang dihasilkan. Itu menurut para ulama ahli fikih. Di ambil dari: http://baitul-maal.com/artikel/
wakaf-dalam-islam.html, tgl, 20 Okt 2009
15
16
Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam DEPAG
RI tahun 2008
17
18
20
Achmad Djunaidi dan Thobieb Al Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, hlm. 41
ibid
23
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam DEPAG RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf
Tunai, hlm. 112
M.A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai, Ciber dan PKTTI-UI, Jakarta, 2001, hlm. 11
21
2.5. Yordania
Secara administratif pelaksanaan pengelolaan wakaf di
Kerajaan Yordania didasarkan pada Undang-Undang Wakaf
Islam Nomor 25 Tahun 1947. Dalam undang-undang tersebut
di sebutkan bahwa yang termasuk dalam urusan Kementerian
Wakaf dan Urusan Agama Islam adalah Wakaf Masjid,
Madrasah, lembaga-lembaga Islam, Rumah-rumah Yatim,
tempat pendidikan, lembaga-lembaga Syariah, kuburankuburan Islam, urusan-urusan Haji dan urusan-urusan Fatwa.
UU Wakaf yang mengatur tentang pengaturan wakaf tersebut
kemudian diperkuat oleh Undang-Undang Wakaf Nomor 26
Tahun 1966.24 Dalam Pasal 3, secara rinci disebutkan bahwa
tujuan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam antara
lain adalah sebagai berikut:
(1) memelihara masjid dan harta wakaf serta mengendalikan
urusan-urusannya;
(2) mengembangkan masjid untuk menyampaikan risalah
Nabi Muhammad saw., dengan mewujudkan pendidikan
Islam;
(3) membakar semangat jihad dan menguatkan jiwa Islam
serta meningkatkan kualitas keimanan;
(4) menumbuhkan akhlak Islam dan menguatkannya dalam
kehidupan kaum Muslimin;
(5) menguatkan semangat islam dan menggalakkan pendidikan
agama dengan mendirikan lembaga-lembaga dan sekolah
untuk menghafal Alquran;
(6) mensosialisasikan budaya Islam, menjaga peninggalan
Islam, melahirkan kebudayaan baru Islam dan
menumbuhkan kesadaran beragama.25
24
25
22
Lihat Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, dalam
Disertasi Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, 1997,
hlm. 102.
Uswatun Hasanah. Perwakafan di Yordania. www.modalonline.com, 21 April 2004.
2.
3.
4.
Muslim, Shahih Muslim, Dar al Kutub al Ilmiah, Bairut, 2003, cet II, hlm. 637
27
27
28
28
M.A. Manan, Sertifikat Wakaf Tunai, Ciber dan PKTTI-UI, Jakarta, 2001, hlm. 32
31
35
36
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, Data Tanah Wakaf di Seluruh Indonesia: menurut
status dan Prosentase, 2008. (lihat Hendra Kholid, Peranan Wakaf uang Dalam Menanggulangi
Kemiskinan di Indonesia, Disertasi Doktor, Jakarta, 2008, hlm.10)
38
Hakikat wakaf
Wakaf telah tumbuh dan berkembang sepanjang
perjalanan sejarah Islam. Di beberapa negara yang
penduduknya muslim, hasil dari wakaf property dan tanah,
banar-banar menjadi jaringan layanan kesejahteraan dan derma
(layanan sosial) seperti, sekolah panti asuhan yatim piatu
dan dapur umum bagi penduduk Muslim, dan dapat membiayai
pemeliharaan masjid-masjid dan kuburan-kuburan terkenal,
pasokan air, serta jembatan-jembatan. Birokrasi-birokrasi
besar dan berpengaruh bermunculan untuk mengelola wakaf.
Jaringan layanan dan pengelolaan telah dirancang oleh
sarjana hukum Islam, J.N.D. Anderson, menjadi sistem
40
J.N.D. Anderson, The Muslim World 42, No.4 Oktober 1952, hlm. 257-76.
S. vesey-Fitzgerald, London Oxford University Press, 1931
41
42
Pearl,Muslim Law,1935
(Gibb dan Bowen, Islamic Society, 1952).
Departemen Agama RI, Proses Lahirnya UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Dir. Pengembangan
Zakat dan Wakaf, Ditjend Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, 2005, hlm.1- 2
45
2.
3.
Pembangunan Sosial
Sertifikat wakaf tunai juga menawarkan untuk masyarakat. Dengan
profit dari wakaf tunai, seseorang dapat membantu bantuan
yang berharga bagi pendirian ataupun operasionalisasi lembagalembaga pendidikan termasuk masjid, madrasah, rumah sakit,
sekolah, kursus, akademi, dan universitas. Pembelian sertifikat
ini dapat membantu terlaksananya proyek-proyek pendidikan,
riset, keagamaan, kesejahteraan, pengobatan dan perawatan
kesehatan untuk orang miskin dan untuk penghapusan kemiskinan.
46
4.
Keamanan dalam berinvestasi ini paling tidak mencakup 2 aspek: yaitu aspek keamanan nilai
pokok dana abadi sehingga tidak terjadi penyusutan (jaminan keutuhan, dan aspek produktif artinya
investasi dana abadi tersebut harus produktif, yang mampu mendatangkan hasil/pendapatan (incoming
generating allocation) karena dari pendapatan inilah pembiayaan kegiatan organisasi akan dilakukan
dan sekaligus menjadi sumber utama pembiayaan (lihat, Departemen Agama RI, Proses Lahirnya
UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Dir. Pengembangan Zakat dan Wakaf, Ditjend Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, 2005, hlm. 4-5)
47
proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya.
Dari berbagai paparan di atas, keberadaan model wakaf tunai
dirasakan perlu sebagai instrumen keuangan alternatif yang dapat
mengisi kekurangan-kekurangan badan sosial yang telah ada.
Persoalannya adalah bagaimana model dan mekanisme penerapan
sertifikat wakaf tunai ini dapat applicable dan feasible diterapkan di
Indonesia dengan melibatkan infrastruktur yang telah ada sebelumnya
dan menyesuaikan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan
Indonesia itu sendiri.37
Sebagai upaya konkret agar wakaf tunai dapat diserap dan
dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat yang perlu diperhatikan
adalah: Metode penghimpunan dana, yaitu bagaimana wakaf tunai
itu dimobilisasikan, yang kedua bagaimana pengelolaan dana yang
berhasil dihimpun, yang terakhir bagaimana distribusi hasil yang
dapat diciptakan kepada para penerima manfaat.
Dari beberapa wacana yang mengemuka tentang wakaf tunai
dan realitas respon dari berbagai kalangan di atas, menjadi dasar
pemikiran pentingnya penyusunan RUU Wakaf yang mengatur tentang
wakaf tunai (karena PP No. 28 Tahun 1977 sebagai satu-satunya
peraturan perundang-undangan tentang wakaf tidak mengcover tentang
masalah wakaf tunai tersebut).
Peraturan Pemerintah tersebut telah berjalan lebih dari sepuluh
tahun tetapi pengelolaan harta benda wakaf masih saja belum terlihat
hasilnya bagi kesejahteraan umat. Hal ini disebabkan antara lain
masyarakat tidak mengetahui adanya peraturan tersebut disebabkan
antara lain kurangnya sosialisasi peraturan tersebut. Padahal, potensi
wakaf sebagai salah satu instrumen dalam membangun sosial ekonomi
kehidupan umat, sesungguhnya tidak dapat dipandang sebelah mata.
Wakaf telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit di beberapa
37
Dengan menimbang dan mengakomodir keberatan sebagian golongan terhdap status hukum wakaf
tunai, seperti kalangan Syafiiyyah yang mengkhawatirkan habisnya pokok wakaf, maka sangat
mendesak untuk dirumuskan dan diformulasikan model dan mekanisme semacam early warning
system untuk menghindari risiko pengurangan modal wakaf dalam konteks risk management
meskipun dananya diputarkan dalam investasi sektor riil. (ibid, hlm 7)
49
50
51
54
a.
b.
c.
d.
55
57
58
BAB III
KAJIAN WAKAF UANG DARI BERBAGAI
ASPEK
Al-Mawardi, Al Hawi Al Kabir, tahqiq Dr.Mahmud Mathraji, Dai-Al Fikr, Beirut, 1994, juz 14
hlm. 379;
61
44
62
Wahbah Al Zuhaili, Al Fikih Al-Islami Wa Adillatuhu, Dai Al Fikr, Damsyik, 1985, juz VIII, hlm.
162;
Keputusan Komisi Fatun MUI di keluarkan tanggal 11 Mei 2002 yang ditandatangani oleh K.H.Makruf
Amin (sebagai ketua) dan Dai Hasanuddin M.Ag (sebagai sekretaris).
2.
45
63
64
Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga wakaf nasional kiranya dapat mencontoh pola
pengembangan wakaf yang ada di Bangladesh atau setidaknya mengadobsi dengan menyesuaikan
karakteristik budaya masyarakat Indonesia. Diversifikasi program dan juga instrumen kebijakan
yang lebih mudah dicerna dan mengakomadasi budaya-budaya lokal yang ada di Indonesia, dapat
diterapkan mulai saat ini seperti yang terjadi di Bangladesh. Keragaman budaya lokal yang sangat
dinamis dan suku bangsa yang banyak di negara kita, menjadi permasalahan sekaligus potensi
tersendiri bagi Badan Wakaf Indonesia dalam menghimpun dan mengelola dana masyarakat secara
luas. Jika pendekatan yang dilakukan kepada masyarakat di lakukan sesuai dengan budaya lokal
yang ada dimasyarakat, bukan tidak mungkin efektivitas penghimpunan dana dan pengelolaan
dana akan tercipta dan lebih efektif. (Lihat Peran BWI dalam Pengembangan Wakaf Indonesia
http://sigitsoebroto.blogspot.com/2009/06/peran-bwi-Didownload tgl. 20 September 2009).
ORI dan instrumen pinjaman modal lain yang pada intinya berusaha
menarik dana masyarakat untuk dipinjam oleh negara dalam rangka
membiayai pembangunan. Wakaf sebenarnya dapat memainkan peran
sebagai instrument pengganti jika dikelola dengan maksimal. Sayangnya
pengelolaan sumber dana wakaf ini masih kurang maksimal. Sehingga
untuk menuju kearah itu masih dibutuhkan waktu yang lama.
Lembaga wakaf nasional seperti Badan Wakaf Indonesia,
seharusnya sudah mulai dapat menjalin kerja sama dengan pihak
swasta dalam pengelolaan wakaf untuk produktifitas benda wakaf
yang dikelolanya. Aset wakaf yang ada dapat dibedakan secara kolektif
dengan swasta profesional untuk mengerjakan proyek-proyek yang
mengikutsertakan aset wakaf tersebut sebagai bagian utama kegiatan
usaha seperti di bidang pertanian.
Mencermati lebih lanjut mengenai faktor penyebab utama mengapa
potensi wakaf di Indonesia belum produktif, pada prinsipnya masalah
ini terletak di tangan Nazhir, selaku pemegang amanah dari Waqif
(orang yang berwakaf) untuk mengelola dan mengembangkan harta
wakaf. Artinya, pengelolaan harta wakaf belum dilakukan secara
profesional.
Dilihat dari cara pengelolaannya selama ini, ada tiga tipe Nazhir
di Indonesia. Pertama, dikelola secara tradisional. Harta wakaf masih
dikelola dan ditempatkan sebagai ajaran murni yang dimasukkan
dalam kategori ibadah semata. Seperti untuk kepentingan pembangunan
masjid, madrasah, mushala dan kuburan. Kedua, harta wakaf dikelola
semi profesional. Cara pengelolaannya masih tradisional, namun para
pengurus (nazhir) sudah mulai memahami untuk melakukan
pengembangan harta wakaf lebih produktif. Namun, tingkat kemampuan
dan manajerial nazhir masih terbatas. Ketiga, harta wakaf dikelola
secara profesional. Nazhir dituntut mampu memaksimalkan harta
wakaf untuk kepentingan yang lebih produktif dan dikelola secara
profesional dan mandiri.
Peran Badan Wakaf Indonesia (BWI), selaku lembaga independen
yang lahir berdasarkan amanat UU No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, memiliki tanggung jawab besar dalam memajukan dan
mengembangkan perwakafan di Indonesia (Pasal 47). Selain itu, Badan
66
68
ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan faktorfaktor produksi yang tersedia di masyarakat.47
Kebutuhan masyarakat adalah keinginan masyarakat untuk
memperoleh barang (fisik) dan jasa (layanan). Keinginan
masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dapat dibedakan
menjadi dua: a) keinginan yang disertai kemampuan untuk membeli
(disebut permintaan efektif); dan b) keinginan yang tidak disertai
kemampuan untuk membeli.48
Barang dapat dibedakan dari banyak sudut pandang. Dari
segi cara perolehannya, barang dibedakan menjadi dua: a) barang
ekonomi, yaitu barang yang diperoleh melalui usaha tertentu;
dan b) barang cuma-cuma, yaitu barang yang dinikmati tanpa
melalui kegiatan produksi. Dari segi penggunaan, barang dibedakan
menjadi: a) barang konsumsi; dan b) barang modal (seperti mesin).
Dari segi proses, barang dibedakan menjadi: a) barang jadi (seperti
roti), b) barang setengah jadi (seperti tepung), dan c) barang
mentah (seperti singkong). Dari segi kepentingannya, barang
dibedakan menjadi: a) barang inferior (pelengkap), dan b) barang
esensial (pokok); serta a) barang biasa (normal), dan b) barang
mewah.49
Dari segi hukum, barang dibedakan dari beberapa segi: barang
(benda) bergerak dan tidak bergerak; dan barang terdaftar dan
tidak terdaftar. Di samping itu, dalam konteks wakaf, benda
dapat dibedakan menjadi benda yang habis sekali pakai (konsumtif)
dan benda yang tidak habis satu kali pakai.
Dari segi latar belakang ekonomi dapat diketahui bahwa
latar belakang ekonomi adalah kelangkaan atau kekurangan sebagai
akibat dari kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dan faktorfaktor produksi. Oleh karena itu, umat Islam Indonesia yang
telah mendorong pemerintah untuk membentuk peraturan mengenai
wakaf perlu kiranya melakukan identifikasi: pertama, kebutuhan
47
48
49
Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi: Teori Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, cet.
ke-3, hlm. 4-5.
Ibid, hlm. 5.
Ibid, hlm. 5-6.
69
51
52
70
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Lembaga Studi Agama dan Filsafat,
Jakarta, 1999, cet. ke-1, hlm. 5-6.
Boediono, Ekonom Mikro, BPFE, Yogyakarta, 1982, cet. ke-1, hlm. 1.
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE, Yogyakarta 2004, cet. ke-1, hlm. 3.
71
Parameter Kesejahteraan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
dibentuk dalam rangka mengisi semangat pembukaan UndangUndang Dasar 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum.56
Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tidak
terdapat bab (pasal-pasal) yang menjelaskan kesejahteraan umum
yang dimaksud oleh para penyusun undang-undang tersebut.
Sementara dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil
amandemen ke-4 terdapat bab perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial (bukan kesejahteraan umum). Ketentuanketentuan yang menyangkut kesejahteraan sosial adalah: a)
perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
b) fakir miskin dan anak-anak yang terlantar di pelihara oleh
negara; c) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; dan d) negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanaan kesehatan
dan fasilitas pelayanan umum yang layak.57
Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum
amandemen), dikatakan bahwa demokrasi ekonomi yang maksud
adalah bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di
56
57
72
Tujuan pembentukan Negara Indonesia yang dijelaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 adalah: (1) melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan
kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Undang-Undang Dasar 1945 (Hasil Amandemen ke-4), Pasal 33, (4), dan 34 ayat (1)-(3).
60
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 33 & 34.
Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1995, cet. ke-1, hlm. 275.
M. Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Usaha Nasional, Surabaya: t.th, hlm.
128.
73
63
64
74
Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, op. cit., hlm. 275.
Parsudi Suparlan, Kemiskinan, dalam A. W. Widjaya (ed.), Manusia Indonesia, Individu, Keluarga,
dan Masyarakat: Topik-topik Kumpulan Bahan Bacaan Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar, Akademika
Pressindo, Jakarta, 1986, hlm. 129.
Ibid., hlm. 130.
Mubyarto, Etika Keadilan Sosial dalam Islam, dalam Mubyarto, dkk., Islam dan Kemiskinan,
Pustaka, Bandung, 1988, hlm. 1. Mubyarto tidak menginformasikan jumlahnya: apakah 1.700
kalori itu perorang atau perkeluarga.
yang sama, yaitu orang yang hidup dalam keadaan tidak memiliki
harta yang cukup untuk memenuhi keperluannya sehari-hari.
Oleh karena itu, mereka memerlukan pertolongan orang lain.
Akan tetapi, sikap orang yang hidup dalam keadaan tidak memiliki
harta yang cukup untuk memenuhi keperluannya sehari-hari dapat
dibedakan menjadi dua: a) ada yang bersifat sahaja dengan tidak
meminta-minta meskipun memerlukan pertolongan, mereka disebut
fakir; dan b) ada yang meminta-minta karena memerlukan
pertolongan, mereka disebut miskin. Oleh karena itu, Imam alSyafii berpendapat bahwa keadaan fakir lebih buruk daripada
miskin.65
Dalam pandangan Mubyarto, kesejahteraan adalah perasaan
hidup senang dan tenteram, tidak kurang apa-apa dalam batasbatas yang mungkin dicapai oleh orang perorang. Selajutnya
Mubyarto menjelaskan bahwa orang yang hidupnya sejahtera
adalah: a) orang yang tercukupi sandang pangannya, pakaian
dan rumah yang nyaman (betah) ditempati (tempat tinggal); b)
kesehatannya terpelihara; dan c) anak-anaknya dapat memperoleh
pendidikan yang layak. Di samping itu, Mubyarto juga menjelaskan
bahwa kesejahteraan mencakup juga unsur batin yang berupa
perasaan diperlakukan adil dalam kehidupan.66
Kesejahteraan pada dasarnya berawal dari kebutuhan. Para
ahli berbeda-beda dalam merumuskan dan menjelaskan komponenkomponen kebutuhan. Imam Masykoer Alie (ket.) menjelaskan
bahwa kebutuhan manusia dikelompokkan menjadi tiga: a)
kebutuhan vital biologis atau jasmani (berupa pakaian, makanan,
perumahan, dan kesehatan); b) kebutuhan rohani (berupa agama
dan moral); dan c) kebutuhan sosial kultural (berupa pergaulan
dan kebudayaan).67
Sedangkan KH. Ali Yafi menjelaskan bahwa komponen biaya
hidup sejahtera mencakup: a) makanan pokok beserta lauk-pauknya
65
66
67
Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, op. cit., hlm. 278.
Mubyarto, op. cit., hlm. 1.
Imam Masykoer Alie (ket.), Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Sakinah, Departemen Agama RI,
Jakarta, 2001, hlm. 286.
75
68
69
76
KH Ali Yafie, Menggagas Fikih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah,
Mizan, Bandung, 1994, cet. ke-1, hlm. 171.
Mubyarto, op. cit., hlm. 3.
71
72
73
74
Iswandono Sardjonpermono, Uang dan Bank (Yogyakarta: BPFE-UGM. T.th), hlm. 1-2; lihat juga
Asfia Murni, Ekonomika Makro (Bandung: Reflika Aditama. 2006), cet. ke-1, hlm. 153-154.
Iswandono Sardjonpermono, loc. cit.
Ibid.
Ibid., hlm. 3.
Ibid.
77
78
78
Ibid.
Ibid., hlm. 4.
Lihat juga Ace Partadireja, Pengantar Ekonomika, BPFE, Yogyakarta, 1990, cet. ke-4, hlm. 132142. Membandingkan nilai uang dengan harga barang secara terbalik bukan satu-satunya pendekatan
dalam menentukan inflasi. Paling tidak, inflasi dibedakan menjadi tiga: 1) inflasi permintaan (demand-pull inflation); 2) inflasi penawaran (supply inflation); dan 3) inflasi campuran (mixed
inflation). Lihat Soediyono Reksoprayitno, Ekonomi Makro: Analisis IS-LM dan PermintaanPenawaran Aagregatip, Liberty, Yogyakarta, 1985, cet. ke-3, hlm. 188-204.
Iswandono Sardjonpermono, op. cit., hlm. 9; Robertson menjelaskan bahwa uang dapat dikelompokan
menjadi: 1) uang bank dan uang biasa; uang biasa berfungsi sebagai: a) alat pembayaran yang sah/
legal tender; b) uang bebas/optional; dan c) uang tambahan/subsidiary; 2) alat pembayaran yang
sah mencakup uang konvertibel dan uang definitif; dan 3) uang konvertibel, uang definitive, uang
dan uang bebas mencakup uang tanda dan uang penuh. Lihat Sir Denis Robertson, Uang, terj.
Gusti Ngurah Gedhe, Bhratara, Jakarta, 1963, hlm. 47.
81
82
79
85
86
80
87
88
81
90
82
Wawancara di Bandung dengan pengelola Dompet Duafa Bandung. Berdasarkan informasi lisan,
hal tersebut juga terjadi di Depok dan beberapa tempat lainnya.
Salah satu penelitian mengenai praktik wakaf uang dilakukan oleh Suci Zuharni. Lihat Suci Zuharni,
Pengaruh Implementasi Wakaf Uang terhadap Pendapatan Masyarakat: Kajian pada Pondok
Modern Gontor, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Program Pascasarjana IAIN [sekarang UIN]
SGD, Bandung, 2004, t.d.
92
93
Abu Suud Muhammad, Risalah fi Jawaz Waqf al-Nuqud, Dar Ibn Hazm, Beirut, 1977, hlm. 2021.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fikih al-Islami, Dar al-Fikr, Beirut2006, juz VIII, hlm. 162.
Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir Dar al-Fikr, Beirut, 1994, juz IX, hlm. 379.
83
94
95
96
97
98
99
100
84
Uswatun Hasanah, Wakaf Uang, dalam Republika, 28 Juli 2005, hlm. 15.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 28.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 29, ayat (1).
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 29, ayat (2).
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 29, ayat (3).
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 30.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 22, ayat (1) dan (2).
102
103
104
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 23. Lima Lembaga Keuangan Syariah yang
telah di tunjuk oleh Menteri Agama sebagai LKS-PWU adalah: a) PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk. Divisi Syariah, b) PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, c) PT Bank DKI Jakarta,
d) PT Bank Syariah Mandiri, dan e) PT Bank mega Syariah Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 22, ayat (3) a.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 22, ayat (4).
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 22, ayat (3), b, c, dan d.
85
105
106
107
108
86
111
Ibid., hlm. 7.
Selanjutnya lihat Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam
yang hampir Terlupakan, Yogyakarta, 2007, hlm. 99-117; dan Uswatun Hasanah, Wakaf Produktif
untuk Kesejahteraan Sosial dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia, naskah pidato pengukuhan
Guru Besar Ilmu Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 22 April
2009, hlm. 45-46.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 21, huruf a.
87
112
113
88
8.
114
Asas yang dianut adalah asas nasionalitas; dan mata uang merupakan salah satu bentuk identitas
nasional.
89
115
116
90
Lihat Said Amir Arjomand, Filantropi, Hukum dan Kebijakan Publik di Dunia Islam, dalam
Warren F. Iichman dkk (ed.), Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia terj. Tim CRCS UIN Syarif
Hidayatullah. Jakarta, 2006, cet. ke-1, hlm. 126-127. Dalam konteks bisnis di Indonesia, hal
tersebut menginspirasikan bahwa uang wakaf dapat di investasikan untuk membangun jembatan;
setiap yang lewat dikenai biaya (seperti jalan tol), keuntungannya di gunakan untuk mengembangkan
kehidupan umat Islam.
Said Amir Arjomand, op. cit., hlm. 127-128.
Ibid.,
Ibid.,
Ibid.,
Ibid.,
hlm.
hlm.
hlm.
hlm.
130.
131.
132.
143.
91
92
Wakaf dalam sejarah Islam di mulai setelah Nabi hijrah ke Madinah ditandai dengan pembangunan
Masjid Quba atas dasar taqwa dan menjadi wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan agama.
Kemudian disusul dengan pembangunan Masjid Nabawi di atas tanah anak yatim dari Bani Najjar
setelah dibeli Rasulullah dengan harga 800 dirham Rasulullah mewakafkannya untuk pembangunan
Masjid tersebut. Dalam buku: Sirah Nabawiyah diberitahukan bahwa Rasulullah menganjurkan
pembelian sumur Raumah yang mempersulit dalam masalah harga, maka sahabat Utsman Bin
Affan membelinya dan mewakafkan airnya dipergunakan untuk memberi minum kaum muslimin.
Dan berkaitan dengan sumur ini Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang membeli sumur Raumah
Allah swt mengampuni dosa-dosanya. Dr. Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, penerbit
Khalifa, Jakarta, 2007, hlm. 6 dan 7. Wakaf lain yang dilakukan pada masa Rasulullah yaitu
wakaf tanah Khaibar dari Umar bin Khatab. Tanah ini sangat disukai oleh Umar karena subur dan
banyak hasilnya. Menurut riwayat Bukhari dan Muslim secara ittifaq (di sepakati oleh ulama
hadits pada umumnya) dari Abdullah bin Umar bin Khatab, Umar bin Khatab berkata kepada
Rasulullah swt: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, yang aku
belum pernah memiliki tanah sebaik itu. Apa nasihat engkau kepadaku? Rasulullah menjawab:
jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu, sedekahkanlah hasilnya. Lalu Umar mewakafkan
tanahnya yang ada di Khaibar (di sekitar kota Madinah) itu dengan pengertian tidak boleh dijual,
dihibahkan atau diwariskan. Ibnu Umar selanjutnya menyatakan bahwa Umar bin Khatab
menyedekahkan hasil tanah itu kepada fakir miskin dan kerabat serta untuk memerdekakan budak
untuk kepentingan di jalan Allah swt, orang terlantar dan tamu. Dalam Hadits Muttafaq Alaih
(sahih menurut Bukhori dan Muslim) dikatakan: Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya
(Nazhir = pengelola wakaf) memakan sebagian harta itu secara patut atau memberi makan keluarganya,
asal tidak untuk mencari kekayaan. Prof. Dr Azyumardi Azra, M A, dkk; Ensiklopedi Islam 5,
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 1997, hlm. 168 dan 169.
topik ini ingin melihat kelanjutan dari pada undang-undang dan peraturan
pemerintah tentang wakaf yang notabene merupakan produk perundangundangan yang tidak mudah mewujudkannya tetapi harus melalui
proses yang panjang, di mulai dari perencanaan, persiapan, teknik
penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan
penyebarluasan. Undang-Undang dan PP Wakaf ini diperhatikan sejak
dari pengesahan oleh Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
pada tanggal 27 Oktober 2004 dan diundangkan pada tanggal, 27
Oktober 2004 serta Peraturan Pemerintah (PP) tentang Wakaf ditetapkan
pada tanggal 15 Desember 2006, maka Undang-Undang Wakaf ini
pada tanggal 27 Oktober 2009 telah genap berumur 5 (lima) tahun
dan PP Wakaf pada 15 Desember 2009 genap berumur 3 (tiga)
tahun; maka sesungguhnya UU dan PP ini relatif tidak muda lagi,
UU dan PP ini tidak bisa dipisahkan karena UU Wakaf merupakan
induknya dan PP-nya merupakan pengaturan lebih lanjut atau penjelas.
Demikian selanjutnya apabila perundang-undangan di atasnya
mengamanatkan pengaturan lebih lanjut apakah dengan Peraturan
Menteri atau Keputusan Direktur Jenderal maka keharusan untuk
mewujudkannya, sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam
implementasinya, dan menentukan efektivitas suatu perundangundangan. Sebaliknya, tidak diwujudkan perundang-undangan boleh
jadi bisa berjalan sebagian tetapi dalam pelaksanaannya tidak sempurna.
1.
122
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf membawa perubahan fundamental dan
kemajuan luar biasa dalam perwakafan di Indonesia karena sebelum tahun 2004 wakaf di Indonesia
umumnya dipahami dan diimplementasikan untuk kepentingan ibadah dalam bentuk: Masjid, mushola,
madrasah, rumah yatim piatu, kuburan dan lain sebagainya berakibat selain Indonesia ketertinggalan
dalam pembangunan wakaf produktif dapat dilihat dari kebijakan wakaf berdasarkan PP Nomor
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Nazhir sebagai penerima harta benda wakaf
tidak memiliki kemampuan mengelola dan mengembangkan. Sebaliknya setelah merespon dan
mengakomodir paradigma wakaf para ulama salap dan khalap membawa perubahan paradigma
dan kebijakan wakaf 100 derajat di Indonesia.
93
94
B.N. Marbun mengatakan kebijakan: Rangkaian konsep dan asas menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan satu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan atau organisasi,
pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman dalam mencapai sasaran.
B.N. Marbun, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hlm. 263. Beberapa pakar
lain mengemukakan mengenai kebijakan antara lain:1) Robert Eyestone mengatakan kebijakan
adalah hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Konsep ini mengandung pengertian
sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup
banyak hal, 2) Thomas R. Dye, kebijakan adalah apapun yang dipilih oleh pemeintah untuk
dilakukan dan tidak dilakukan. Pengertian ini tidak cukup memberikan perbedaan yang jelas
antara apa yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan
oleh pemerintah, 3) Richard Rose, bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian
kegiatan sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang
bersangkutan daripada suatu keputusan tersendiri. Definisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun
definisi ini berguna karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan sekedar suatu
keputusan untuk melakukan sesuatu, 4) Carl Friedrich, kebijakan sebagai suatu arah tindakan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang
memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan
untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan
suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini cukup luas, karena kebijakan tidak hanya
dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun
oleh individu, 5) Anderson, kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang
ditetapkan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu
persoalan, 6) Amir Santoso, pandangan mengenai kebijakan dibagai dalam dua kategori: Pertama,
kebijakan dengan tindakan pemerintah atau semua tindakan pemerintah dianggap sebagai kebijakan.
Kedua; kebijakan sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud
tertentu dan menganggap kebijakan sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan, yang di
mulai dari perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dr. Joyakin Simbolon,
M.Si., dalam mata kuliah, Analisis Kebijakan Publik pada kuliah semeter ke-2 Program Pascasarjana
STIA YAPPAN, Jakarta, tahun perkuliahan 2006, hlm. 1-4; dan Sumuran Harahap, Kontroversi
Pembentukan Unit Kerja Presiden Untuk Program Pengelolaan Reformasi Indonesia (Suatu
Tinjauan Analisis Kritis Dari Aspek Kebijakan Publik), tesis Magister Ilmu Administrasi Program
Pascasarjana Sekolah Tinggi Administrasi Publik YAPPAN, Jakarta, 2007, hlm. 77 dan 78.
124
1.
2.
Departemen Agama RI. Ditjen Bimas Islam, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Departemen Agama RI. Ditjen Bimas Islam, Jakarta, 2007,
hlm. 10-12.
95
126
96
Negara adalah bagian dunia yang ada di bawah kekuasaan suatu pemerintahan yang berdaulat,
merupakan organisasi yang di adakan oleh suatu atau beberapa bangsa yang berdiam dalam suatu
daerah tertentu, untuk memelihara hukum yang berlaku di kalangan mereka, membela kepentingan
dan kesejahteraan bersama terhadap serangan dari luar dan menyelenggarakan cita-cita kemakmuran
bersama baik di lapangan kerohanian maupun materi. Hassan Shadily dkk; Ensiklopedi Indonesia
3, Ichtiar Baru-Van Houve, Jakarta, 1983, hlm. 2345.
Damanhuri Zuhri, Mari Berwakaf Uang, dalam Tabloid Republika Dialog Jumat, edisi tanggal
9 Oktober 2009, Jakarta, 2009, hlm. 3.
Indonesia Muslim terbesar di dunia dapat dilihat dari sepuluh besar negara berpenduduk Muslim
di seluruh penjuru dunia. Ada negara di mana Muslim menjadi mayoritas pun menjadi komunitas
minoritas. Sepuluh negara dan persentasi penduduk Muslimnya: 1). Indonesia penduduk 202.867.000
jiwa (88, 2% Muslim); 2). Pakistan penduduk 174.082.000 jiwa (96,3% Muslim); 3). India penduduk
160.945.000 jiwa (13,4% Muslim); 4). Bangladesh penduduk 145.312.000 jiwa (89,6% Muslim);
5). Mesir penduduk 78.513.000 jiwa (94,6% Muslim); 6). Nigeria penduduik 78.056.000 (50,4%
Muslim); 7). Iran. Penduduk 73.777.000 jiwa (99,4% Muslim); 8). Turki penduduk 73.619.000
jiwa (sekitar 98% Muslim); 9). AlJazair penduduk 34.199.00 jiwa (98% Muslim); dan 10). Maroko
penduduk 31 juta 993.000 jiwa (99% Muslim). Dan di lihat dari dunia saat ini, satu dari empat
penduduk dunia Muslim. Menurut laporan yang dirilis Pew Forum on Religion on Public Life
dengan judul Mapping the Global Muslim Population, terdapat 1,57 miliar Muslim di seluruh
dunia. Jumlah ini merepresentasikan 23 % dari populasi dunia yang mencapai 6,8 miliar jiwa.
Sementara, berdasarkan proyeksi World Religions Database tahun 2005, jumlah penganut Kristen
di seluruh dunia mencapai 2,25 miliar orang. Menurut Brian Grim, peneliti senior di Pew Forum,
ia merasa terkejut dengan terungkapnya jumlah Muslim di seluruh dunia itu. Secara keseluruhan
jumlahnya lebih tinggi di bandingkan dengan yang diperkirakan. Ia menyatakan, berdasarkan
laporan itu 1 dari 4 orang di dunia adalah Muslim; dan 2 dari 3 orang di Asia adalah Muslim,
terbentang dari Indonesia hingga Turki. Berdasarkan laporan ini, India yang menjadi negara
berpenduduk mayoritas Hindu, memiliki lebih banyak Muslim di bandingkan negara lainnya,
kecuali Indonesia dan Pakistan. Jumlah Muslim di India bahkan 2 kali lipat lebih banyak dibandingkan
Mesir. Tidak hanya itu, kejutan lain juga terungkap, China, memiliki jumlah Muslim lebih banyak
daripada di Suriah. Sedangkan Jerman, jumlah Muslimnya juga lebih banyak daripada Libanon.
Sementara jumlah Muslim di Rusia, lebih banyak daripada gabungan jumlah Muslim di Yordania
dan Libya. Menurut Reza Aslan, penulis buku berjudul No God but God laporan ini memiliki
implikasi pada kebijakan Amerika Serikat (AS). Ia menyatakan AS tak bisa lagi hanya berfokus
di Timur Tengah. Ini artinya, kata Aslan, kebijakan luar negeri AS terkait upaya menjalin hubungan
lebih baik dengan dunia Islam harus fokus di Asia Selatan dan Tenggara, bukan lagi di Timur
Tengah. Asia Selatan dan Tenggara harus menjadi perhatian. Menurut Grim, Pew Forum
menghabiskan waktu hampir tiga tahun untuk melakukan analisis data dari 232 negara dan wilayah.
Tujuannya jelas, untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai jumlah Muslim di
dunia. Alan Cooperman, salah satu direktur penelitian Pew Forum, mengungkapkan, ada sejumlah
negara yang diperkirakan tak ada Muslimnya sama sekali, namun ternyata jumlah Muslimnya
besar. Negara-negara tersebut adalah India, Rusia, dan China. Menurut Cooperman, sebagian orang
juga berpikir; populasi Muslim Eropa hanya terbentuk dari para imigran. Ternyata fakta ini hanya
benar di Eropa Barat. Di bagian Eropa lainnya, seperti Rusia, Albania, dan Kosovo, Muslim adalah
penduduk asli negara itu. Republika, Satu Dari Empat Penduduk Dunia Muslim, dalam Republika,
edisi tanggal 9 Oktober 2009, Jakarta, 2009, hlm. 12.
97
129
98
Heri Ruslan, Wakaf Uang Potensinya Sungguh Luar Biasa, dalam Tabloid Republika Dialog
Jumat, edisi tanggal 9 Oktober 2009, Jakarta, 2009, hlm. 4.
Heri Ruslan, Wakaf Uang Potensinya Sungguh Luar Biasa, hlm. 4.
A ct
Te ntuk an
tu ju an
Plan
Perik sa p en garuhny a
Pe ne ra pa n
Do
Ch ec k
99
1.
Plan
130
Syahu Sugian, Kamus Manajemen (Mutu), PT. Gramedia, Jakarta, 2006, hlm. 168.
100
b.
c.
102
2.
3.
Wakaf, dalam Pasal 70 menyatakan: Semua peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti peraturan
yang baru berdasarkan Undang-Undang Wakaf.131 Dan khusus
mengenai wakaf uang baik secara umum maupun khusus telah
di atur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 92, 93, 94, 95
dan 96 tentang Penetapan PT Bank Sebagai Lembaga Keuangan
Syariah Penerima Wakaf Uang, demikian pula diatur dalam
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang dan Keputusan Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Dj.II/420 Tahun
2009 tentang Model, Bentuk dan Spesifikasi Formulir Wakaf
Uang. Dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang
Wakaf telah di atur mengenai proses dan pelaksanaan wakaf
uang,132 dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 93, 94, 95
131
132
104
133
Dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 93, 94, 95 dan 96 menetapkan PT Bank sebagai Lembaga
Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang yaitu: PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk. Divisi
Syariah; PT Bank Muamalat Indonesia Tbk; PT Bank DKI Jakarta; PT Bank Syariah Mandiri; dan
PT Bank Mega Syariah.
105
135
Syariah jamak syaraai dari makna bahasa, berarti Jalan yang lempang (lurus). Menurut istilah
berarti peraturan yang ditetapkan Allah swt bagi manusia, berupa hukum-hukum yang disampaikan
oleh Rasul-Nya, baik yang berhubungan iktikad (keyakinan), maupun yang berhubungan dengan
ibadah dan muamalat. Disebut pula dengan istilah hukum syarak. Juga dinamakan addin atau
millah. Dalam arti luas, istilah syariah mencakup segi iktikad, ibadad, dan muamalat. Dalam arti
sempit, syariah mencakup ibadat dan muamalat. Ibadat adalah peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah, seperti shalat, puasa dan haji. Muamalat adalah berbagai macam
peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan antara manusia dengan benda
lainnya. Hassan Shadily dkk; Ensiklopedi Indonesia 6, Icthtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1984,
hlm. 3405.
1.Visi: Kemampuan melihat pada inti persoalan, pandangan, wawasan. BN. Marbun, Kamus Politik,
hlm. 557. 2. Dalam buku The World Book Dictionary antara lain kata visi itu diartikan: The
power of seeing; sense of sight. The art or fact of seeing sight. The power perceiving by
imagination in a dream, in ons thought or the like. A phantom. Something that is very beautiful,
such as a person or sence. Dari beberapa arti itu ahli manajemen menyimpulkan, bahwa visi
adalah suatu angan-angan ataupun impian terhadap sesuatu, yang sangat indah dan mempesona,
sehingga diperlukan usaha keras untuk mewujudkannya. Sedangkan visionary adalah kata sifatnya,
maka bila dikatakan visionary leadership, berarti seorang pemimpin yang memiliki pandangan
jauh ataupun impian indah terhadap sesuatu, yang diupayakan menjadi kenyataan, dan akhirnya
impian itu dapat terjadi. Ada beberapa kegunaan visi: 1) kekuatan terbesar yang dapat membawa
kemajuan dalam kehidupan manusia, adalah keinginan dan harapan yang sangat besar yang hidup
dan dimiliki oleh masyarakat. Mereka menyadari, bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat menghalangi
gelombang besar yang berupa ideologi yang hidup dalam masyarakat, ideologi itulah visi. Visi
yang tepat, akan membuat organisasi pada masa depan dapat bergerak maju, dan dengan gerakan
itu menyebabkan organisasi itu berkembang, dan dengan perkembangan itu akan membuat organisasi
berproses mendapatkan jati dirinya dan memiliki pendukung fanatik. 2) dengan visi yang mantap
akan menarik masyarakat ataupun anggota organisasi bersedia berkorban untuk membantu moral
maupun material yang mereka miliki untuk kepentingan organisasinya. Karena masyarakat merasa
memerlukan eksistensinya sehingga mereka ingin memberikan sesuatu, dan mempertahankan dari
tantangan yang ada. 3) dengan visi yang benar, masyarakat atau anggota organisasi ataupun para
pekerja dapat menimbulkan dan membangkitkan semangat kerja yang lebih kuat, orang ingin
mencari motif baru, selain motif atau dorongan yang ada seperti dorongan agama, keluarga ataupun
kelompok. 4) dengan visi yang mantap, suatu organisasi memiliki keunggulan. Orang ingin bekerja
yang lebih baik, mereka ingin diakui, bahwa ia memiliki potensi dan diakui bahwa ia mempunyai
106
107
1.
2.
3.
Ilmu agama;
ilmu ekonomi: managemen- entrepreneurship, keuangan,
produksi, dan marketing;
Teknologi.
Hard skill dan soft skill yang menuntut wirausaha ini menjadi
jiwa dan solusi bagi seorang Nazhir termasuk metode pelatihan/
pembelajarannya menggunakan nilai-nilai kewirausahaan
(melakukan proses pembelajaran wirausaha dengan cara learning by doing). Pembelajaran wirausaha learning by doing akan
mengasah kreativitas Nazhir kreatif pada praktik usaha, tetapi
juga dalam mencari modal usaha. Ini di lakukan sebagai
pembelajaran untuk menanggung risiko sendiri. Dalam perspektif
ke depan kemampuan entrepreneur Nazhir harus terus diasah;
semakin banyak Nazhir yang menerapkan ilmu wirausaha, semakin
besar pula yang dapat dihasilkan dari pengelolaan dan
pengembangan wakaf di Indonesia ini. Tanpa dengan ilmu Hard
skill dan soft skill seorang Nazhir akan sulit mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf yang potensinya luar biasa
besarnya di Indonesia. Nazhir yang tidak memenuhi kualifikasi
dan standar serta memahami ilmu-ilmu tersebut sesungguhnya
sudah tidak relevan dengan tuntutan kemajuan dan kebijakan
negara yang telah membuka akses seluas-luasnya memajukan
wakaf di Indonesia. Nazhir ini harus diambil kebijakan kongkret
melakukan pendataan kepada mereka minimal: Nama, pendidikan,
lama menjadi Nazhir, pengelolaan yang dilakukan dalam bentuk
apa dan berhasil, tidak berhasil dan status quo. Mereka yang
tidak memenuhi kualifikasi dan standar dilakukan penggantian
dan mereka yang dianggap masih potensial dilakukan pembinaan/
pelatihan sehingga betul-betul standar, profesional dan amanah
karena tanpa itu imposible wakaf di Indonesia dapat diberdayakan
bermanfaat untuk kesejahteraan/kemajuan umat, bangsa dan negara
Indonesia.
Oleh karena itu, dan BWI yang mempunyai tugas dan fungsi
(wewenang) melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf serta
108
137
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa persyaratan Nazhir baik
Nazhir perorangan, Organisasi dan Badan hukum yaitu Warga Negara Indonesia, beragama Islam,
dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan
hukum. Selain persyaratan tersebut khusus bagi Nazhir organisasi disyaratkan organisasi yang
bergerak di bidang sosial, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam. Sedangkan Nazhir Badan
Hukum selain badan hukum yang bentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan juga badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau
keagamaan Islam.
Yang di maksud dengan kekurangan suprastruktur dan beban kerja yang tidak koneksitas dan
seimbang baik Departemen Agama Pusat maupun Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi
dan Kabupaten/Kota ialah suprastruktur Departemen Agama Pusat berdasarkan Peraturan Menteri
Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, di sana di
109
137
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa persyaratan Nazhir baik
Nazhir perorangan, Organisasi dan Badan hukum yaitu Warga Negara Indonesia, beragama Islam,
dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan
hukum. Selain persyaratan tersebut khusus bagi Nazhir organisasi disyaratkan organisasi yang
bergerak di bidang sosial, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam. Sedangkan Nazhir Badan
Hukum selain badan hukum yang bentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan juga badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau
keagamaan Islam.
Yang di maksud dengan kekurangan suprastruktur dan beban kerja yang tidak koneksitas dan
seimbang baik Departemen Agama Pusat maupun Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi
dan Kabupaten/Kota ialah suprastruktur Departemen Agama Pusat berdasarkan Peraturan Menteri
Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, di sana di
sebutkan bahwa struktur organisasi Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam terdiri dari: 1). Subdirektorat Inventarisasi dan Sertifikasi; 2). Subdirektorat
Penyuluhan Wakaf; 3). Subdirektorat Pengelolaan Wakaf; 4). Subdirektorat Bina Lembaga Wakaf
dan 5). Subbagian Tata Usaha. Sementara itu, struktur organisasi Direktorat Pemberdayaan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam pada Kanwil Provinsi dan Kabupaten/ Kota
sekarang ini masih berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama
di mana wakaf merupakan bagian dari struktur organisasi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji, yaitu: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, terdiri dari:
1). Subdirektorat Pemberdayaan Zakat; 2). Subdirektorat Bina Lembaga Pengelola Zakat; 3).
Subdirektorat Pemberdayaan Wakaf; 4). Subdirektorat Bina Lembaga Pengelola Wakaf; 5).
Subdirektorat Pengendalian dan Evaluasi dan 6). Subbagian Tata Usaha. Sedangkan struktur orgnisasi
Kantor Wilayah Departemen gama Provinsi dan Kabupaten/Kota hingga saat ini masih berdasarkan
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, yaitu di
Kanwil Departemen Agama Provinsi struktur organisasinya terdiri dari 3 (tiga) tipologi I,II dan III.
Tipologi I terdiri dari tipologi I-A, I-B, I-C, I-D, I-E, dan I-F; pada tipologi ini terkadang wakaf
masuk dalam struktur: Bidang Penyelenggaan Haji, Zakat dan Wakaf dan terkadang dengan
struktur: Pembimbing Zakat dan Wakaf. Tipologi II hanya 1 (satu) tipologi, wakaf masuk
dalam struktur: Bidang Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Dan tipologi
III terdiri dari tipologi III-A, III-B, dan III-C, yaitu terkadang wakaf masuk sebagaimana tipologi
I kadang wakaf masuk dalam struktur: Bidang Haji, Zakat dan Wakaf, dan kadang menjadi:
Pembimbing Zakat dan Wakaf. Adapun struktur pada Kantor Departemen Agama Kabupaten/
Kota terdiri dari 3 (tiga) tipologi, yaitu tipologi I, II dan III. Tipologi I terdiri dari tipologi I-A,
I-B, dan I-C, I-D, I-F,I-G dan I-H; dalam struktur ini wakaf menjadi: Penyelenggara Zakat dan
Wakaf;. Tipologi II terdiri dari tipologi II-A, II-B, dan II-C, II-D, II-E, II-F,II-G, II-H, II-I, II-J, II-
110
138
139
K, II-L, II-M dan II-N; di mana di sini wakaf secara umum dengan struktur: Penyelenggara Zakat
dan Wakaf kecuali pada tipologi II-I wakaf masuk dalam struktur: Seksi Penyelenggaraan Haji,
Zakat dan Wakaf. Dan Tipologi III terdiri dari tipologi III-A, III-B, III-C, III-D, III-E, III-F, IIIG, III-H, III-I, dan III-J, yaitu dalam tipologi ini struktur wakaf tetap sebagai: Penyelenggara
Zakat dan Wakaf, kecuali tipologi III-D wakaf masuk atau bagian dari struktur: Seksi Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji. Lihat Departemen Agama RI, Sekretariat Jenderal Biro Organisasi,
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Agama, Departemen Agama RI, Sekretariat Jenderal Biro Organisasi,
Jakarta, 2006, hlm. 118; Departemen Agama RI, Sekretariat Jenderal Biro Organisasi, Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, Sekretariat
Jenderal Biro Organisasi, Jakarta, 2001, hlm. 227; dan lihat Keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama Provinsi
dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, hlm 2, 3, 4, 24, 25, 26, 27 dan 28.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dalam Pasal 49 menyatakan Badan Wakaf
Indonesia mempunyai tugas dan wewenang: Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola
dan mengembangkan harta benda wakaf; melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf berskala nasional dan internasional; memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan
peruntukkan dan status harta benda wakaf; memberhentikan dan mengganti Nazhir; memberikan
persetujuan dan penukaran harta benda wakaf; dan memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Di samping itu Badan Wakaf
Indonesia (BWI) dalam melaksanakan tugasnya selain dapat bekerjasama dengan instansi pemerintah
baik pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain
yang dipandang perlu dan juga BWI dalam melaksanakan tugasnya memperhatikan saran dan
pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dalam Pasal 11 dinyatakan bahwa
Nazhir mempunyai tugas: melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, mengawasi
dan melindungi harta benda wakaf dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
111
Nazhir
Selama ini, bahwa wakaf lambat tumbuh berkembang di Indonesia karena umat Islam umumnya
memahami wakaf secara tradisional/konvensional: berwakaf untuk masjid, musholla, madrasah,
kuburan dan rumah yatim piatu; dan kemudian tidak mempunyai kemampuan mengelola dan
mengembangkannya.
113
2.
3.
114
115
116
BAB IV
KAJIAN KOMPREHENSIF
142
143
144
Muhammad Salam Madkur, Ahkam al-Usrat fi al-Islam (Kairo: Dar al-Nahdat at-Arabiyyah,
1970), hlm. 304.
Wahbah az-Zuhaily, Fikih al-Islamy wa Adillatuhu, Juz VIII (Mesir: Dar al-Fikri, t.t.), hlm. 185
Ibid.
Muhammad Ubaid Abdullah al-Kubaisy, Ahkam al-Waqf fi Syariat al-Islamiyyah, Jilid II (Baghdad:
Mathbaah al-Irsyad, 1977), hlm. 351
120
d.
Muhammad Abu Zahrah, Muhadlarat fi al-Waqf (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1971), hlm. 103
Ibid., hlm. 103-104
121
124
147
Munzir Kahaf, Manajemen Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida (Jakarta:
Khalifa, Pustaka al-Kautsar Grup, 2005), hlm. 296
125
Muhammad Ibnu Ismail ash-Shanany, Subul al-Salam, Juz III (Muhammad Ali Sabih, t.t.), hlm.
112
126
M.A. Mannan, Mannan, M. A., Cash-Waqf Certificate Global Apportunities for Developing The
Social Capital Market in 21 -Century Voluntary Sector Banking, di dalam Harvard Islamic
Finance Information Program-Center for Middle Eastern Studies, Proceedings of The Third Harvard
University Forum on Islamic Finance, (Cambridge: Harvard University, 1999), hlm. 247.
128
129
130
4.
c.
d.
e.
Adapun pada ayat (3) Pasal yang sama disebutkan bahwa benda
bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta
benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Undang-Undang tentang Wakaf, wakaf uang juga diatur
dalam bagian tersendiri. Dalam Pasal 28 UU tersebut disebutkan
bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui
lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri. Kemudian
dalam Pasal 29 ayat (1) disebutkan pula bahwa wakaf benda bergerak
berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dilaksanakan
oleh wakif dengan pernyataan kehendak yang dilakukan secara tertulis.
Dalam ayat (2) Pasal yang sama dinyatakan bahwa wakaf benda
bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan
dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Sedangkan dalam ayat (3) Pasal
yang sama diatur bahwa sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditebitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan
syariah kepada wakif dan nazhir sebagai bukti penyerahan harta
benda wakaf. Adapun ketentuan mengenai wakaf benda bergerak
yang berupa uang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pengelolaan wakaf uang ini memang tidak mudah, karena dalam
pengelolaannya harus melalui berbagai usaha, dan usaha ini mempunyai
132
risiko yang cukup tinggi. Oleh karena itu pengelolaan dan pengembangan
benda wakaf, khususnya wakaf uang harus dilakukan oleh nazhir
yang profesional.
Nazhir adalah salah satu unsur perwakafan yang sangat penting.
Hal ini di sebabkan berhasil tidaknya perwakafan sangat ditentukan
oleh kualitas nazhir yang mengelola wakaf. Sayangnya di beberapa
negara, keberadaan nazhir kurang dipertimbangkan dan diperhitungkan,
sehingga cukup banyak harta wakaf yang terlantar yang disebabkan
ketidakmampuan nazhir dalam mengelolanya. Padahal contoh
keberhasilan nazhir dalam mengelola wakaf cukup banyak, baik dalam
sejarah maupun nazhir yang ada pada saat ini.
Agar harta itu dapat berfungsi sebagaimana mesti-nya dan dapat
berlangsung terus-menerus, maka harta itu harus dijaga, dipelihara,
dan jika mungkin dikembangkan. Dilihat dari tugas nazhir, di mana
dia berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan
manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak
menerimanya, jelas bahwa berfungsi dan tidak berfungsinya suatu
perwa-kafan bergantung pada nazhir.
Menurut Mustafa Syalabi, penunjukan wakif pada dirinya sendiri
untuk mengurus wakaf tidak dapat disebut nazhir, dan keabsahan
wakaf juga tidak bergantung pada penunjukan nazhir, baik pada
diri sendiri maupun pada orang lain.154 Walaupun para mujahidin
tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun
para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf
(pengawas wakaf) baik nazhir tersebut wakif sendiri, mauquf alaih
atau pihak lain. Bahkan ada kemungkinan nazhirnya terdiri dari dua
pihak yakni wakif dan mauquf alaihnya.155 Pengangkatan nazhir ini
tampaknya ditujukan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus
sehing-ga harta wakaf itu tidak sia-sia.
Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan
mengurusi wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam
perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan nazhir dalam
154
155
133
134
158
159
Yang wajib dikerjakan oleh nazhir menurut al-Kubaisy adalah mengembangkan wakaf, melaksanakan
hak-hak wakaf dan menjaganya, menyalurkan keuangan wakaf dan menyampaikan hak-hak mustahiq
wakaf. Sedangkan yang sifatnya jaiz (boleh) dilakukan oleh nazhir antara lain adalah menyewakan
wakaf, mengelola tanah wakaf dengan menanami tanah tersebut dengan berbagai tanaman, mendirikan
bangunan di tanah wakaf untuk disewakan dan merubah peruntukan wakaf (jika tidak sesuai lagi
tujuan wakaf).
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 333
Ibid., h. 346
135
Ibid., h. 347
Ibid., h.349. Lihat juga Muhammad UbaidAbdullah al-Kubaisy, juz II, op.cit., h. 219
136
137
b.
c.
d.
138
1.
2.
3.
4.
5.
mengelola keuangan secara professional dan sesuai dengan prinsipprinsip syariah, seperti melakukan investasi dana wakaf. Investasi
ini dapat berupa investasi jangka pendek, menengah maupun
jangka panjang;
6.
7.
8.
Dengan syarat-syarat yang demikian, diharapkan nazhir benarbenar dapat mengembangkan wakaf dengan baik, sehingga hasil investasi
wakaf tersebut dapat dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat,
kredibel di mata masyarakat. Untuk mendapatkan nazhir yang memenuhi
syarat di atas tentu tidak gampang, tetapi memerlukan waktu. Oleh
karena itu untuk menyiapkan pengelolaan dan pengembangan wakaf
tunai, para calon nazhir wakaf uang harus menyiapkan diri.
Dengan berbagai kemampuan tersebut, diharapkan nazhir benarbenar dapat mengembangkan wakaf dengan baik, sehingga hasil investasi
139
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
144
1.
2.
3.
4.
5.
Diharapkan dengan strategi dan program-program kerja divisidivisi yang sudah dikemukakan BWI dapat melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan baik.
Tujuan dibentuknya Badan Wakaf Indonesia adalah untuk
memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. Melihat kondisi
yang ada sekarang memang cukup sulit untuk mengembangkan wakaf
secara produktif di Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa hal antara
lain terbatasnya pemahaman masyarakat tentang wakaf termasuk
wakaf uang. Di samping itu nazhir yang mengelola wakafpun harus
andal, dan untuk pengelolaan wakaf uang memang memerlukan
tekonologi yang tinggi. Sebagus apapun suatu peraturan perundangundangan, kalau tidak disertai dengan kemampuan sumber daya manusia
yang andal, maka peraturan perundang-undangan tersebut pun mubazir.
Namun demikian, penulis yakin bahwa suatu saat masyarakat akan
paham tentang berbagai permasalahan perwakafan. Akan tetapi penulis
yakin bahwa suatu saat wakaf di Indonesia akan berkembang dengan
baik dan dapat meningkatkan kesejahteraan umat sesuai dengan yang
diharapkan dan undang-undang dapat diimplementasikan dengan baik,
asal ada komitmen antara Badan Wakaf Indonesia, para nazir, umat
islam dan pemerintah.
Wallahualam.
145
146
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari uraian dan paparan dalam pengkajian ini dapat disimpulkan
bahwa:
1.
148
2.
3.
150
1.
2.
3.
DAFTAR PUSTAKA
151
152
Notosoesanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada, 1963.
Marbun, B.N., Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Al-Maqdusi, Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid II. Mesir: al-Manar, t.t.
Qahaf, Mundzir, Dr., Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Penerbit
Khalifa, 2007.
Republika, 2009. Satu Dari Empat Penduduk Dunia Muslim, Jakarta:
Republika, edisi tanggal 9 Oktober 2009.
Ruslan, Heri. Wakaf Uang Potensinya Sungguh Luar Biasa, Jakarta:
Tabloid Republika Dialog Jumat, edisi tanggal 9 Oktober 2009.
Shadily, Hassan dkk., Ensiklopedi Indonesia 3, Jakarta: Ichtiar BaruVan Houve, 1983.
-------------------------, Ensiklopedi Indonesia 6, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1984.
Simbolon, Joyakin, Dr. M.Si., tahun perkuliahan 2006, dalam mata kuliah,
Analisis Kebijakan Publik Jakarta: Kuliah semeter ke-2 Program
Pascasarjana STIA YAPPAN.
Sugian, Syahu, Kamus Manajemen (Mutu), Jakarta: PT Gramedia, 2006.
Saleh, Ismail, Wawasan Pembangunan Hukum Nasional, Kompas, 1,
2, 3, Juni 1989.
Shanany, Muhammad Ibn Ismail, Subul al-Salam, Muhammad Ali Sabih,
t. t.
Sabiq, Sayyid, Fikih al Sunnah, Jilid III, (Kuwait: Dai aal-Bayar,
1968).
Saefuddin, Ahmad M., Ekonomi dan Masyarakat Dalam Perspektif
Islam Jakarta: Rajawali Press, 1987.
-------------------------, Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Media
Dawah, 1984).
Sutarmadi, Muhda Haditsaputra dan Amidhan, Pedoman Praktis
Perwakafan , Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid, 1990.
154
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Wakaf, Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004, LN Nomor 159 Tahun 2004, TLN Nomor
4459.
----------------------, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006, LN Nomor 42 Tahun 2006.
155
156
PERSONALIA TIM
Sekretaris
Anggota
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Wiwiek, S.Sos.
157