Anda di halaman 1dari 168

ASPEK HUKUM WAKAF UANG

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL


KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
JAKARTA, 2011

PENGKAJIAN HUKUM
TENTANG
ASPEK HUKUM WAKAF UANG

Pengkajian Hukum Tentang Aspek Hukum Wakaf Uang

Dikerjakan Oleh Tim Pengkajian


Di bawah Pimpinan
Prof. Dr. Uswatun Hasanah, M.A.

Editor
Ajarotni Nasution, S.H., M.H.

Terbit Tahun 2011


Diterbitkan Oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Jalan Mayjen Sutoyo Cililitan
Telepon (021) 8091908, 8002192
Faksimile (021) 80871742
Jakarta Timur 13640

KATA PENGANTAR

Sepanjang sejarah Islam, wakaf tercatat selalu berperan penting dalam


pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan
masyarakat Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, wakaf uang secara khusus diatur pada bagian kesepuluh dengan
judul Wakaf Benda Bergerak Uang.
Di Indonesia wakaf uang masih merupakan hal baru, karena itu
Badan Pembinaan Hukum Nasional menganggap perlu untuk melakukan
kajian hukum tentang Aspek Hukum Wakaf Uang. Kajian hukum ini
dilaksanakan dengan tujuan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan
hukum yang berhubungan dengan wakaf uang berkenaan dengan mekanisme
instrumen, kelembagaan, dan investasinya. Hasil kegiatan ini dimaksudkan
sebagai bahan masukan untuk melakukan pembinaan hukum nasional.
Penerbitan hasil kajian ini dimaksudkan untuk menambah khazanah
informasi hukum mengenai wakaf uang yang masih relatif langka, dan
hasil kajian akan disebarluaskan kepada Anggota JDI Hukum Nasional
yang ada di seluruh wilayah nusantara. Dengan demikian, dapat dengan
mudah dicari dan ditemukan untuk digunakan, ditanggapi, dan dikembangkan
lebih lanjut oleh berbagai kalangan, khususnya oleh kalangan hukum.
Akhirnya, kepada tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Uswatun Hasanah,
M.A., beserta semua pihak yang berpartisipasi aktif sehingga buku ini
dapat diterbitkan, kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, Juli 2011
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.


v

vi

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................

DAFTAR ISI ..............................................................................

vii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................

A. Latar Belakang .....................................................

B. Rumusan Masalah ................................................

C. Tujuan dan Kegunaan ..........................................

D. Metode Kerja Pengkajian.....................................

E. Sistematika Penulisan ...........................................

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ...................................

A. Sejarah Perwakafan di Indonesia ........................

B. Wakaf Menurut Syariah Islam dan Peraturan


Perundang-undangan tentang Wakaf di Beberapa
Negeri Muslim ......................................................

14

C. Filosofi dan Hakikat Wakaf ................................

24

D. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Tentang


Wakaf No. 41 Tahun 2004 .................................

43

BAB III KAJIAN WAKAF UANG DARI BERBAGAI ASPEK

59

A. Aspek Fiqih Wakaf Uang ....................................

59

B. Aspek Sosial-Ekonomi Wakaf Uang ...................

68

C. Kajian Wakaf Uang Dari Aspek Peraturan


Perundang-undangan ............................................

92

BAB IV KAJIAN KOMPREHENSIF .......................................

117

A. Wakaf dan Wakaf Uang ......................................

119

B. Wakaf dan Permasalahannya di Indonesia .........

123

vii

C. Peranan Wakaf Uang Dalan Pemberdayaan Umat

126

D. Peranan Nazhir Dalam Pengelolaan Wakaf .......

131

BAB IV KAJIAN KOMPREHENSIF .......................................

147

A. Kesimpulan ...........................................................

147

B. Saran .....................................................................

150

DAFTAR PUSTAKA ................................................................

151

vii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wakaf adalah salah satu lembaga yang sangat dianjurkan dalam
hukum Islam untuk dipergunakan oleh seseorang sebagai sarana
penyaluran rezeki yang di berikan oleh Allah kepadanya. Meskipun
wakaf tidak jelas dan tegas disebutkan dalam al-Quran, tetapi ada
beberapa ayat yang di gunakan oleh para ahli sebagai dasar hukum
di syariatkannya wakaf. Sebagai contoh misalnya firman Allah yang
artinya lebih kurang sebagai berikut Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari usahamu yang baik-baik
dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu
Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan
dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
(al-Baqarah, ayat 267).
Di samping beberapa ayat ada juga beberapa Hadits yang
memerintahkan manusia untuk berbuat baik kepada sesama manusia
dalam masyarakat. Adapun hadits yang di jadikan landasan khusus
perbuatan mewakafkan harta yang di miliki seseorang adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Jamaah; yang mana hadits itu menyebutkan
bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, kemudian
ia bertanya (kepada Rasulullah): Ya Rasulullah, saya mendapat sebidang
tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah kudapat sama
sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak
engkau perintahkan kepadaku? Kemudian Nabi menjawab; Jika engkau
mau, tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya. Kemudian Umar
menyedekahkannya dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh
dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Adapun hasilnya itu
disedekahkan untuk orang-orang fakir dan keluarga dekat, untuk
memerdekakan hamba sahaya, untuk menjamu tamu, untuk orang
1

yang kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnussabil) dan tidak berdosa


orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan
cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya)
dengan syarat jangan dijadikan hak milik. Dalam satu riwayat
disebutkan bahwa harta yang diwakafkan tersebut tidak boleh dikuasai
pokoknya.1
Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah berperan sangat penting
dalam pengembangan kegiatan-kegiatan sosial ekonomi dan kebudayaan
masyarakat Islam dan telah memfasilitasi sarjana dan mahasiswa
dengan sarana dan prasarana yang memadai yang memungkinkan
mereka melakukan berbagai kegiatan seperti riset dan menyelesaikan
studi mereka. Cukup banyak program-program yang didanai dari
hasil wakaf seperti penulisan buku, penerjemahan dan kegiatan-kegiatan
ilmiah dalam berbagai bidang termasuk bidang kesehatan. Wakaf
tidak hanya mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga
menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan mahasiswa maupun
masyarakat. Sebagai contoh misalnya di bidang kesehatan, lembaga
wakaf juga menyediakan fasilitas-fasilitas untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat dan fasilitas pendidikan dengan pembangunan rumah
sakit, sekolah medis, dan pembangunan industri obat-obatan serta
kimia. Dilihat dari segi bentuknya wakaf juga tidak terbatas pada
benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak seperti uang dan
saham. Beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki
wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan
juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang, saham, real
estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan
demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan
kesejahteraan umat.
Wakaf uang merupakan hal yang baru di Indonesia. Akan tetapi
wakaf uang tersebut sudah dikaji dan dikembangkan di beberapa
negara, bahkan pada periode Mamluk wakaf uang sudah dikenal.
Hal ini disebabkan karena wakaf uang merupakan wakaf yang sangat
1

Asy-Syaukany, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Authar, Musthafaal-Babi al-Halaby,
Mesir, t.t, hlm. 127.

potensial untuk dikembangkan. Dalam Undang-Undang Nomor 41


Tahun 2004 tentang Wakaf, masalah wakaf uang disebutkan dalam
empat pasal, yakni Pasal 28, 29, 30, 31, bahkan wakaf uang secara
khusus diatur pada bagian kesepuluh Undang-Undang tersebut dengan
judul Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang.
Hal ini menunjukkan bahwa wakaf uang memang harus
dikembangkan di Indonesia. Wakaf uang ini penting sekali untuk
dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian yang kian
memburuk. Contoh sukses pelaksanaan sertifikat wakaf uang di
Bangladesh dan beberapa negara lain dapat dijadikan contoh bagi
umat Islam di Indonesia. Kalau umat Islam mampu melaksanakannya
dalam skala besar, maka akan terlihat implikasi positif dari kegiatan
wakaf uang tersebut. Wakaf uang mempunyai peluang yang unik
bagi terciptanya investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan
pelayanan sosial. Tabungan dari anggota masyarakat yang
berpenghasilan tinggi dapat di manfaatkan melalui penukaran sertifikat
wakaf tunai. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan
wakaf uang tersebut dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang
berbeda-beda, seperti keperluan pendidikan, kesehatan dan untuk
pemeliharaan harta-harta wakaf. Jika ada lembaga wakaf yang mampu
mengelola wakaf uang secara profesional, maka lembaga ini merupakan
sarana baru bagi umat Islam untuk beramal.
Sebagaimana sudah kita pahami bahwa wakaf memang sudah
lama dikenal di Indonesia, namun hanya terbatas pada wakaf tanah.
Oleh karena itu peraturan yang adapun hanya mengatur tentang wakaf
tanah milik. Kita memang sudah lama memiliki peraturan perwakafan,
yakni PP No. 28 Tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1
Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Namun dalam
PP 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik tersebut yang
diatur hanyalah khusus tanah milik. Dalam PP 28 Tahun 1977 tersebut
diatur mengenai hukum wakaf tunai di Indonesia sudah tidak ada
masalah, karena MUI sudah mengeluarkan fatwa tentang bolehnya
wakaf uang (wakaf tunai).
3

Kontroversi dalam undang-undang ini mengemuka dalam


mekanisme wakaf uang yang berkisar pada sah tidaknya menggunakan
dana wakaf di investasikan, yang secara logika memiliki risiko musnah.2
Selain itu, dengan melakukan investasi berarti dana wakaf akan
selamanya berbentuk uang, hal ini akan menimbulkan pertanyaan
tentang nilai intrinsik uang yang pada hakikatnya tidak memiliki
nilai. Berbeda dengan kasus klasik (yang dijadikan landasan dalam
implementasi wakaf tunai) yang nota bene nilai uang terjaga akibat
logam yang di gunakan sebagai uang adalah logam mulia; emas dan
perak (dinar dan dirham). Jadi wakaf tunai dengan sistem mata uang
yang ada saat ini, implementasinya memiliki risiko nilai uang tereduksi
akibat inflasi, di samping risiko pelanggaran kaidah syariat ketika
mekanismenya melalui investasi.3
Selain hal tersebut di atas, pengembangan wakaf uang membawa
risiko berupa kemungkinan berkurangnya atau hilangnya nilai harta
benda wakaf. Risiko-risiko tersebut dapat diakibatkan oleh kerugian
usaha produktif yang dijalankan, risiko kehilangan nilai secara natural (inflasi dan depresiasi), risiko karena force majeur (bencana alam,
kebakaran dsb), atau risiko karena kurang profesionalnya atau tidak
amanahnya nazhir atau pengelola wakaf produktif yang ditunjuk
oleh nazhir.
Manajemen risiko yang harus dilaksanakan dalam pengembangan
wakaf produktif mencakup identifikasi risiko, analisa dan pengukuran
risiko, penanganan dan pengendalian risiko serta monitoring dan
evaluasi. Namun penerapan manajemen risiko secara baik tentunya
membutuhkan biaya di satu sisi, tetapi manfaat terbesarnya adalah
meningkatnya kepercayaan wakif dan masyarakat umum terhadap
institusi wakaf. Meningkatnya kepercayaan itu akan berdampak positif
dalam penggalangan dana wakaf selanjutnya sehingga semakin
2

Kalau dilihat dari Pasal 48 ayat (2) PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun
2004 tentang Wakaf dinyatakan bahwa Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf
uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan/atau instrumen keuangan
syariah. Ini artinya bahwa investasi akan berdampak positif (mendapat untung) atau negatif
(mendapatkan kerugian), dengan demikian wakaf tunai dikelola akan memiliki risiko untuk musnah
akibat dari pengelolaan yang tidak tepat yang berakhir rugi.
Lihat dalam wakaf Tunai Sebagai Penekan Biaya Sosial, http://abiaqsa.blogspot.com/2008/09/
wakaf-tunai-sebagai-instrumen-penekan.html

memperluas perannya dalam meningkatkan kesejahteraan umum sesuai


dengan tujuan dan fungsi wakaf itu sendiri. Peraturan perundangan
yang berkaitan dengan wakaf uang baik berupa Undang-Undang maupun
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang, tentunya
sudah berupaya untuk mengantisipasi permasalahan itu semua.
Beranjak dari paparan tersebut, Tim Pengkajian tentang Aspek
Hukum Wakaf Uang berupaya menelusuri berbagai sisi yang terkait
dengan Wakaf Uang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah di kemukakan, maka
dapat di rumuskan beberapa permasalahan sebagai beikut:
1. Bagaimana hukum dan mekanisme wakaf uang menurut syariah
Islam?
2. Apakah instrumen hukum yang mengatur tentang wakaf uang
sudah memadai bagi pengembangan harta wakaf umumnya dan
khususnya wakaf uang di masa yang akan datang?
3. Usaha-usaha apa saja yang seharusnya dilakukan Badan Wakaf
Indonesia bagi terselenggaranya dan berkembangnya potensi wakaf
uang?
4. Bagaimana cara menginvestasikan wakaf uang dan risikonya?
C. Tujuan dan Kegunaan
Pengkajian hukum ini dilaksanakan dengan tujuan untuk
menganalisa permasalahan-permasalahan hukum yang berhubungan
dengan Wakaf Uang, sedangkan hasil pengkajian hukum ini diharapkan
dapat digunakan sebagai bahan hukum untuk melakukan pembinaan
hukum nasional.
D. Metode Kerja Pengkajian
Dalam surat keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor:
PHN.01.LT.02.01 Tahun 2009 tanggal 8 Januari 2009 jo Keputusan
Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-164B PR.09.03 Tahun
2007 tanggal 2 Juli 2007, dirumuskan bahwa Tim bertugas: pertama,
5

mengidentifikasi permasalahan-permasalahan hukum perwakafan di


Indonesia, kedua, menganalisa permasalahan-permasalahan yang ada,
ketiga, memberikan rekomendasi. Selain itu sesuai dengan hasil rapat
pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional tanggal
16 Februari 2006, bahwa setelah dirumuskan permasalahan hukum
tersebut, maka identifikasi masalah tersebut kemudian dirumuskan
menjadi materi Pengkajian Hukum, lebih lanjut permasalahan hukum
yang telah dipilih tersebut dianalisis, dikaji dan ditinjau dari berbagai
aspek, baik secara intern (hukum) maupun ekstern (interdisipliner)
atau interdepartemental oleh ketua dan seluruh anggota tim.
Dengan demikian dalam rangka menyelesaikan tugas tersebut,
maka langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain adalah:
1. Dalam rapat pertama selain agenda perkenalan antar anggota
tim, juga diagendakan diskusi untuk mengidentifikasi permasalahanpermasalahan yang kemudian ditetapkan menjadi rumusan
permasalahan pengkajian hukum.
2. Bahan diskusi dapat dimulai dengan menganalisis judul pengkajian
hukum yang telah ditentukan oleh BPHN, analisis terhadap judul
tersebut didekati dari sisi aspek hukum, sosial dan ekonomi.
3. Setelah disepakati sejumlah permasalahan hukum, maka tahap
berikutnya adalah pembagian tugas pengkajian hukum yaitu
melakukan analisis atau kajian terhadap permasalahanpermasalahan hukum yang telah di tetapkan.
4. Permasalahan hukum yang telah dipilih dianalisis dari sudut
intern dan ekstern oleh masing-masing anggota tim sesuai dengan
bidang atau keahlian dan kepakaran dari masing-masing anggota
tim pengkajian hukum.
Sesuai dengan Surat Keputusan, maka Pengkajian Hukum
dilaksanakan mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2009,
akan tetapi efektifnya mulai bulan April s.d. Desember 2009, sehingga
waktu efektif tersebut dapat dibuatkan jadwal untuk rapat-rapat Tim
dan alokasi waktu untuk pembuatan kertas kerja atau makalah, sesuai
dengan penugasan oleh ketua atau kesepakatan di antara ketua dan
para anggota Tim Pengkajian Hukum.

Pengkajian Hukum tentang Aspek Hukum Wakaf Uang dilakukan


dengan metode kerja sebagai berikut:
1.

Studi kepustakaan, masing-masing anggota mengumpulkan dan


mempelajari bahan literatur yang berkaitan dengan materi yang
dikaji;

2.

Anggota Tim menulis kertas kerja (berupa makalah) sesuai dengan


topik yang ditugaskan.

3.

Kertas kerja (makalah) yang ditulis kemudian didiskusikan dalam


rapat tim.

Di lain pihak jika dipandang perlu tim pengkajian hukum dapat


mengundang narasumber untuk didengar pendapatnya mengenai suatu
masalah yang masih perlu diketahui kejelasannya.
E. Sistematika Penulisan
Laporan akhir Pengkajian Hukum tentang Aspek Hukum Uang
disusun dalam sistematika sebagai berikut:
Bab I, berisi tentang pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, kerangka
konsepsional, metode penelitian, personalia tim serta
sistematika penulisan.
Bab II, berisi tentang tinjauan kepustakaan, terdiri dari wakaf menurut
syariat Islam, filosofi dan hikmah wakaf, sejarah perwakafan
di dunia Islam, serta latar belakang disahkannya UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Bab III, berisi kajian tentang wakaf uang ditinjau dari aspek syariah,
sosial ekonomi, dan peraturan perundang-undangan di
Indonesia, yakni wakaf uang menurut Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Bab IV, berisi kajian komprehensif.
BAB V, berisi kesimpulan dan saran/rekomendasi.

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Sejarah Perwakafan di Dunia Islam


Dalam sejarah umat Islam ada perbedaan pendapat tentang awal
diberlakukannya wakaf. Menurut golongan anshor yang pertama kali
melaksanakan wakaf adalah Rasulullah saw, yaitu berupa sebidang
tanah untuk dibangun masjid, sebagaimana diceritakan dalam kitab
Maghazi Al-Waqidi.4
Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang
pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab.
Pendapat ini berdasarkan hadits yang di riwayatkan Ibnu Umar ra,
ia berkata:
Dari Ibnu Umar ra, berkata: Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah
saw., untuk meminta petunjuk, Umar berkata: Hai Rasulullah saw.,
saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat
harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?
Rasulullah saw., bersabda: Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya)
tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak
dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir,
kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan
tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya
dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang
lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta (HR. Muslim).5
4

Lihat Ahkam Al-Ahkam, Ibn Daqiq Al-Id, Jilid 3, hlm 3, hlm 209. Dan Ahkam Al-Auqaf, AlKhashaf, hlm 1. Dalam Dr. Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Dompet Dhuafa
dan IIMAN, Jakarta, 2004, hlm. 23.
Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fikih al-Islami wa Adilatuhu, Dar al Fikr, Damaskus, 1985, hlm.
169; muhammad bin Hazn, Al-Muhalla, Darul Fikr, Damaskus, hlm. 180

Selain Umar, para sahabat lain seperti Abu Thalhah yang


mewakafkan kebun kesayangannya, kebun Bairaha.6 Selanjutnya
disusul oleh sahabat Nabi saw., lainnya, seperti Abu Bakar yang
mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada
anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan
hartanya di Khaibar dan membeli sumur Raumah untuk memberi
minum kaum muslimin.7 Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya
yang subur.8 Muads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer
dengan sebutan Dar Al-Anshar. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul
oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan
Aisyah Istri Rasulullah saw.
Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin
Khatab disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun
kesayangannya, kebun Bairaha. Selanjutnya disusul oleh sahabat
Nabi saw., lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang
tanahnya di Mekkah yang di peruntukkan kepada anak keturunannya
yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar.
Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Muads bin
Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan Dar
Al-Anshar. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin
Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri
Rasulullah saw.9
Praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah
dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk
melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir
dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga
pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya,
gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik
perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor
6
7

8
9

10

Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa, Jakarta, 2005, hlm. 78.
Lihat Mundzie Qahaf, An-Nushush al-Iqtishodiyah, nash no. 658 dan 659 dalam Mundzir Qahaf,
Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa, Jakarta, 2005, hlm. 77
ibid
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Dompet Duafa dan IIMAN, Jakarta, 2003
hlm. 68

untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. Wakaf


pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik
dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa
ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan
betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk
mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang
mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta
wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau
keluarga.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah
Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin
Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan
wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana
lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah
yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir,
bahkan di seluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah
mendirikan lembaga wakaf di Basrah.10 Sejak itulah pengelolaan
lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang di kelola
dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang
membutuhkan.
Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut
dengan shadr al-Wuquuf11 yang mengurus administrasi dan memilih
staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada
masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan
oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan
pengaturan administrasinya.
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf
cukup menggembirakan, di mana hampir semua tanah-tanah pertanian
menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi
milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah
Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara
diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana
10
11

Muhammad Amin Ali, Tarikhu al-Awqof fi Mishri Salathin al-Mamalik, Disertasi Doktor, hlm. 49.
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Dompet Dhuafa dan IIMAN, Jakarta,
2004, hlm. 28

11

yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara


fikih Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat
di antara para ulama. Pertama kali orang yang mewakafkan tanah
milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja
Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dikeluarkan
oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu Ishrun dan didukung
oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara
hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan
menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara
pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak
mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti
mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah
mazhab asy-Syafiiyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab
al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan
lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafiiy di
samping kuburan Imam Syafii dengan cara mewakafkan kebun
pertanian dan pulau al-Fil.
Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab
Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572
H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang
wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan
kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa) dan para keturunannya.
Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan
politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan
kekuasaannya. Di mana harta milik negara (baitul mal) menjadi
modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan
menggusur mazhab Syiah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya,
ialah dinasti Fathimiyah.12
Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat
dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat di ambil manfaatnya
boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada
masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung
perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk
terdapat wakaf hamba sahaya yang diwakafkan budak untuk memelihara
12

12

ibid

masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh penguasa
dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang
mewakafkan budaknya untuk merawat masjid. Manfaat wakaf pada
masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti
wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk
kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat
dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih
membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah
Mekkah dan Madinah, seperti kain kabah (kiswatul kabah).
Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang
membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Kabah
setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi saw dan mimbarnya
setiap lima tahun sekali.13
Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi
tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk
mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara
pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut
berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf
pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq
(1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut
Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab
Sunni. Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi
tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa
kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu
haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat
umum.
Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas
wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian
besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti
Utsmani secara otomatis mempermudah untuk menerapkan Syariat
Islam, di antaranya ialah peraturan tentang perwakafan. Di antara
undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan
tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal
19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-Undang tersebut
13

ibid

13

mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan


wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam
upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.
Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang
menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani
dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi
undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah
yang berstatus wakaf dan dipraktikkan sampai saat sekarang. Sejak
masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam
sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di
seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat dari
kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini
telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri.
Di samping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat
banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak
bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf
mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial
yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.14
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan
selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan
berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang,
wakaf Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dan lain-lain.
Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan
oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh
karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus
yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi UndangUndang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004.
B. Wakaf Menurut Syariat Islam dan Peraturan Perundang-undangan
Tentang Wakaf di Beberapa Negeri Muslim
14

14

Ibid

1. Wakaf Menurut Syariat Islam


Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab Waqf
yang berarti al-Habs. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar
(infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti,
atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti
tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik
untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359). Sebagai satu istilah
dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak
milik atas materi benda (al-ain) untuk tujuan menyedekahkan
manfaat atau faedahnya (al-manfaah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan
dalam buku-buku fikih, para ulama berbeda pendapat dalam
memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat
yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan.15
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan
konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq
fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam
menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayatayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di
antara ayat-ayat tersebut antara lain:
Q.S. al-Baqarah (2): 267

15

Definisi wakaf menurut ahli fikih adalah sebagai berikut: Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf
sebagai menahan materi benda (al-ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya
kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan Definisi wakaf tersebut menjelaskan
bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti ditangan Wakif itu sendiri.
Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan
hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya. Kedua, Malikiyah
berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya
dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam
jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif . Definisi wakaf tersebut hanya menentukan
pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja. Ketiga, Syafiiyah mengartikan
wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-ain)
dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada
Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang di wakafkan harus
harta yang kekal materi bendanya (al-ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau
musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan. Keempat, Hanabilah mendefinisikan
wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat
yang dihasilkan. Itu menurut para ulama ahli fikih. Di ambil dari: http://baitul-maal.com/artikel/
wakaf-dalam-islam.html, tgl, 20 Okt 2009

15

Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah)


sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian
dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
Q.S. Ali Imran (3): 92)
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)
sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.
Q.S. Al-Baqarah (2): 261
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus
biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha
Mengetahui.
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk
menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala
dan kebaikan.
Menurut Undang-Undang di Indonesia yaitu Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf diartikan dengan
perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya
guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam
pasal 215 dinyatakan wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya
guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam.
2.

Peraturan Perundang-undangan Tentang Wakaf di Beberapa


Negara Muslim
2.1. Arab Saudi

16

Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia membuat peraturan


bagi Majelis Tinggi Wakaf dengan ketatapan Nomor 574
tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan Surat Keputusan
Kerajaan Nomor M/35, tanggal 18 Rajab 1386. Majelis
Tinggi Wakaf diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf, yakni
Menteri yang mengawasi wakaf dan menguasai berbagai
permasalahan perwakafan sebelum dibentuk Majelis Tinggi
Wakaf. Adapun anggota Majelis Tinggi Wakaf terdiri atas
wakil kementerian Haji dan Wakaf, ahli hukum Islam dari
Kementerian Kehakiman, wakil dari Kementerian (Departemen)
Keuangan dan Ekonomi, Direktur Kepurbakalaan serta tiga
anggota dari kalangan cendekiawan dan wartawan. Majelis
Tinggi Wakaf mempunyai wewenang untuk membelanjakan
hasil pengembangan wakaf dan menentukan langkah-langkah
dalam mengembangkan wakaf berdasarkan syarat-syarat yang
ditentukan wakif dan manajemen wakaf.16
Di samping itu Majelis Tinggi Wakaf juga mempunyai
beberapa wewenang, antara laian:
(1) melakukan pendataan wakaf serta menentukan cara-cara
pengelolaannya;
(2) menentukan langkah-langkah umum untuk penanaman
modal, pengembangan dan peningkatan harta wakaf;
(3) mengetahui kondisi semua wakaf yang ada. Langkah
ini dilakukan untuk menguatkan kedudukannya sebagai
lembaga yang menguasai permasalahan wakaf serta untuk
mencari jalan pemecahannya;
(4) membelanjakan harta wakaf untuk kebajikan menurut
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Wakif dan sesuai
dengan Syariat islam;
(5) menetapkan anggaran tahunan demi kelangsungan wakaf
dan mendistribusikan hasil pengembangan harta wakaf
tersebut menurut pertimbangan-pertimbangan tertentu;
dan
16

Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam DEPAG
RI tahun 2008

17

(6) mengembangkan wakaf secara produktif dan


mengumumkan hasil wakaf yang sudah dikeluarkan oleh
pemerintah.17
Wakaf yang ada di Saudi Arabia bentuknya bermacammacam seperti hotel, tanah, bangunan (rumah) untuk penduduk,
toko, kebun dan tempat ibadah. Dari macam-macam harta
wakaf tersebut ada yang diwakafkan untuk dua kota suci
yakni kota Mekkah dan Madinah. Dengan pengertian lain,
bahwa segala manfaat yang diperoleh dari wakaf itu
diperuntukkan bagi pembangunan kedua kota suci itu seperti
membangun perumahan penduduk, membangun sejumlah hotel
di seputar Masjidil Haram dan fasilitas lain yang diniatkan
untuk melayani kebutuhan jamaah haji.
2.2. Mesir
Di negeri ini wakaf telah berkembang dengan sangat
menakjubkan, karena memang dikelola secara profesional.
Pada awalnya, Hakim Mesir di zaman Hisyam bin Abd
Malik yang bernama Taubah bin Namirah yang pertama
kali melakukan wakaf yang pada waktu itu berupa tanah
untuk bendungan.18 Lalu beberapa puluh tahun kemudian,
wakaf ditangani oleh salah satu departemen dalam
pemerintahan. Meskipun demikian, masih juga ada masalah
yang muncul dalam pengelolaannya, sehingga pemerintah
Mesir terus melakukan pengkajian untuk mengembangkan
pengelolaan wakaf, dengan tetap berlandaskan pada Syariah
Islam.
Mulanya masih terdapat bentuk wakaf yang dilakukan
oleh dan untuk keluarga atau bahkan pribadi. Tetapi pada
tahun 1946 pemerintah Mesir mengeluarkan undang-undang
yang mengatur dan menegaskan bahwa semua Wakaf Keluarga
diubah bersifat sementara. Baru kemudian pada tahun 195219
17
18
19

18

Ibid hlm. 104


M. Abu Zahra. Muhadharah fi al-Waqfi, Darul Fikr al-Aroby, Kairo, 1971, hlm. 11
Jumhuriyyah Misr al-Arobiyyah, Qowanin al Waqf wa al-Hikr wa al-Qororot at-Tanfiziyyah,
Al-Haiah al-Ammah li syuun al-Matabi al-Amiriyyah, Kairo, 1993, hlm. 21, dalam Disertasi
Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, 1997, hlm. 89.

sebuah peraturan baru diluncurkan yang mengatur tentang


tidak diperbolehkannya Wakaf Pribadi (wakaf ahli) kecuali
untuk tujuan-tujuan derma. Sampai akhirnya pada tahun
1971 pemerintah Mesir membentuk Badan Wakaf yang
bertugas melakukan kerja sama dalam memeriksa tujuan
peraturan-peraturan dan program-program pengembangan
wakaf. Badan ini juga bertugas mengusut dan melaksanakan
semua pendistribusian wakaf serta semua kegiatan perwakafan
agar sesuai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Badan ini juga
menguasai pengelolaan wakaf dan memiliki wewenang untuk
membelanjakan dengan sebaik-baiknya.
Untuk mengembangkan dan mengelola harta wakaf secara
lebih efektif, Badan Wakaf menitipkan hasil harta wakaf di
bank-bank Islam. Di samping itu Badan Wakaf juga
berpartisipasi dalam mendirikan bank-bank islam, bekerjasama
dengan sejumlah perusahaan, membeli saham dan obligasi
perusahaan penting dan memanfaatkan lahan-lahan kosong
agar menjadi produktif sehingga pengembangan wakaf yang
dikelola secara profesional sehingga bermanfaat untuk
membantu kehidupan para kaum dhuafa, fakir miskin, bahkan
sampai penyediaan fasilitas kesehatan berupa rumah sakit
dan obat-obatan. Mesir memiliki concern subjeck cukup
tinggi dalam pengembangan wakaf tunai.
2.3. Turki
Lain lagi apa yang telah berkembang di Turki. Negara
yang saat ini dianggap sebagai negara Islam sekuler karena
beberapa praktik kehidupan masyarakatnya yang lebih dekat
dengan Barat ini memiliki sejarah panjang dalam pengelolaan
wakaf, yang kalau diruntut sejarahnya dimulai sejak masa
Utsmaniyah Pada tahun 1925 saja, harta wakafnya mencapai
dari luas lahan produktif di Turki ujar Mustafa Edwin
Nasution, Ketua Program Studi Timur Tengah dan Islam,
Universitas Indonesia. Pusat Administrasi Wakaf juga
berkembang dengan baik. Kini untuk memobilisasi sumbersumber wakaf dan membiayai berbagai macam jenis proyek
19

joinventure telah didirikan Waqf Bank & Finance


Corporation.20
Sebagaimana disinggung pada uraian sebelumnya bahwa
pengelolaan wakaf di Turki juga dikelola oleh Direktorat
Jenderal Wakaf. Sejauh ini ada dua pelayanan yang diberikan
oleh Ditjen Wakaf, yaitu pelayanan kesehatan, pendidikan
dan sosial. Pelayanan kesehatan diberikan melalui wakafwakaf rumah sakit. Peran Ditjen Wakaf di Turki begitu
besar dalam pengelolaan wakaf dengan terus mengembangkan
harta wakaf secara produktif melalui upaya komersial dan
hasilnya untuk kepentingan sosial. Upaya komersial Ditjen
Wakaf Turki terhadap harta wakaf adalah dengan melakukan
kerja sama dan investasi di berbagai lembaga, antara lain
Yvalik and Aydem olive Oil Corporation, Tasdelen Healthy
Water Corporation, Auqaf Guraba Hospital, Taksim hotel
(Sheraton), Turkish Is Bank, Ayden Textile Industry dan
lain-lain.21
2.4. Bangladesh
Di samping terkenal sebagai negara miskin, Bangladesh
juga merupakan negara terbelakang dengan jumlah penduduk
yang besar, yaitu sekitar 120 juta jiwa dengan luas daerah
55.000 mil persegi. Selain itu, kondisi alam yang seringkali
kurang menguntungkan karena negara ini termasuk sering
tertimpa bencana seperti banjir dan angin taufan. Peningkatan
populasi Bangladesh juga cukup padat, yaitu 717 orang per
kilometer persegi dan juga termasuk salah satu dari negara
yang mempunyai sumber daya alam yang sangat terbatas.
Berbagai dimensi kemiskinan ini antara lain tercermin dari
penurunan pendapatan riil sektor pertanian, ketidakmerataan
distribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan
masyarakat perkotaan, perbedaan gaji antar sektor fomal
dan informal, peningkatan dramatis dalam biaya hidup,
mencuatnya beberapa masalah pemenuhan kesehatan
20
21

20

Achmad Djunaidi dan Thobieb Al Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, hlm. 41
ibid

masyarakat, pengangguran dan migrasi internal. Mungkin


jika ditilik dari kehidupan ketatanegaraan, Bangladesh
sebenarnya hanya membutuhkan manajemen SDM yang lebih
baik, agar kehidupan masyarakatnya lebih makmur.22
Di Bangladesh wakaf telah dikelola oleh Social investment
Bank Ltd (SIBL). Bank ini telah mengembangkan Pasar
Modal Sosial (the Voluntary Capital market), instrumeninstrumen keuangan Islam yang telah dikembangkan antara
lain: Surat Obligasi Pembangunan Perangkat Wakaf (Waqf
Properties Development Bond), sertifikat wakaf tunai (Cash
Waqf Deposit Certificate). sertifikat wakaf keluarga (Family Waqf Certificate), obligasi pembangunan perangkat masjid
(Mosque Properties Development Bond), saham komunitas
masjid (Mosque Community Share), Quarde Hasana
Sertificate, sertifikat pembayaran zakat (Zakat/Ushar Payment Certificate), sertifikat simpanan haji (Hajj Saving
Certificate), dan lain-lain.23
Di Bangladesh perpajakan dititikberatkan pada Pajak
Tidak Langsung yang sifatnya regresif, yaitu pajak yang
menerapkan tarif yang semakin rendah dengan semakin
tingginya jumlah penghasilan yang kena pajak. Di Bangladesh
terdapat lebih kurang 85% dari total pendapatan pajak pada
1995-1996 berupa pajak tidak langsung. Sebagian besar
pajak langsung dapat dikonversikan sebagai bentuk tanggung
jawab sosial melalui penerbitan Sertifikat Wakat Tunai.
Sertifikat tersebut dapat menggantikan sebagian atau seluruh
pajak penghasilan untuk pembiayaan pembangunan
infrastruktur kemanusiaan dan sosial. Dalam konteks ini,
Wakaf Tunai dapat dipandang sebagai bentuk gerakan
pembangunan masyarakat dalam mengatasi masalah
pendidikan, sosial, dan ekonomi.
22

23

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam DEPAG RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf
Tunai, hlm. 112
M.A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai, Ciber dan PKTTI-UI, Jakarta, 2001, hlm. 11

21

2.5. Yordania
Secara administratif pelaksanaan pengelolaan wakaf di
Kerajaan Yordania didasarkan pada Undang-Undang Wakaf
Islam Nomor 25 Tahun 1947. Dalam undang-undang tersebut
di sebutkan bahwa yang termasuk dalam urusan Kementerian
Wakaf dan Urusan Agama Islam adalah Wakaf Masjid,
Madrasah, lembaga-lembaga Islam, Rumah-rumah Yatim,
tempat pendidikan, lembaga-lembaga Syariah, kuburankuburan Islam, urusan-urusan Haji dan urusan-urusan Fatwa.
UU Wakaf yang mengatur tentang pengaturan wakaf tersebut
kemudian diperkuat oleh Undang-Undang Wakaf Nomor 26
Tahun 1966.24 Dalam Pasal 3, secara rinci disebutkan bahwa
tujuan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam antara
lain adalah sebagai berikut:
(1) memelihara masjid dan harta wakaf serta mengendalikan
urusan-urusannya;
(2) mengembangkan masjid untuk menyampaikan risalah
Nabi Muhammad saw., dengan mewujudkan pendidikan
Islam;
(3) membakar semangat jihad dan menguatkan jiwa Islam
serta meningkatkan kualitas keimanan;
(4) menumbuhkan akhlak Islam dan menguatkannya dalam
kehidupan kaum Muslimin;
(5) menguatkan semangat islam dan menggalakkan pendidikan
agama dengan mendirikan lembaga-lembaga dan sekolah
untuk menghafal Alquran;
(6) mensosialisasikan budaya Islam, menjaga peninggalan
Islam, melahirkan kebudayaan baru Islam dan
menumbuhkan kesadaran beragama.25
24

25

22

Lihat Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, dalam
Disertasi Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, 1997,
hlm. 102.
Uswatun Hasanah. Perwakafan di Yordania. www.modalonline.com, 21 April 2004.

Secara teknis Kementerian Wakaf membentuk Majelis


Tinggi Wakaf yang diketuai oleh Menteri. Majelis Tinggi
Wakaf menetapkan usulan-usulan yang ada di Kementerian
yang berasal dari Dirjen Keuangan, kemudian menteri
membawanya kepada dewan kabinet untuk mendapat
pengesahan. Dalam menjalankan tugasnya Kementerian Wakaf
selalu bersandar pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun
1966. Hal ini mengingat bahwa di dalam UU tersebut secara
tegas disebutkan bahwa yang berwenang mengelola harta
wakaf dan mengendalikannya adalah Kementerian Wakaf
dan Urusan Agama islam. Selain itu Kementerian Wakaf
juga harus bersandar pada peraturan-peraturan wakaf yang
lain. Seperti UU Wakaf Islam nomor 25 Tahun 1947
sebagaimana tersebut di atas.
Kementerian Wakaf diberi wewenang untuk
membelanjakan hasil pengembangan wakaf sesuai dengan
rencana-rencana yang telah digariskan oleh Direktorat
Keuangan. Pemerintah juga mendirikan Direktorat
Pembangunan dan Pemeliharaan Wakaf Islam yang bertugas
untuk memelihara, memperbaiki, dan membantu tugas-tugas
kementerian wakaf.
Kementerian Wakaf mengelola wakaf dengan
mengutamakan perlengkapan adminsitrasi wakaf yang
memadai sesuai saran para ahli. Untuk mencapai tujuan
yang diharapkan Kementerian Wakaf mempergunakan berbagai
cara. Adapun cara-cara pengembangan wakaf yang dilakukan
Kementerian Wakaf antara lain adalah sebagai berikut:
1.

mengembangkan hasil harta wakaf itu sendiri;

2.

menyewakan tanah-tanah wakaf dalam waktu yang lama;

3.

kementerian wakaf meminjam uang kepada pemerintah


untuk membangun proyek-proyek pembangunan tanah
wakaf yang ada di kota Amman, Aqabah dan lain-lain;

4.

menanam tanaman-tanaman di tanah pertanian.


23

Dari sini semakin jelaslah bahwa wakaf yang dipraktikkan


di Yordania maupun negara lain, meskipun sepintas lalu,
masih menerapkan bentuk wakaf yang konvensional tetapi
sesungguhnya pengembangannya sudah dilakukan sedemikian
rupa sehingga mampu dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat. Hal ini tentu saja berbeda dengan yang terjadi
di Indonesia di mana wakaf masih dipahami sebagai pemberian
cuma-cuma harta benda berupa tanah dan bangunan.
Jika melihat pengalaman negara lain, maka sebenarnya
lembaga wakaf di Indonesia dapat difungsikan untuk
meningkatkan kesejahteraan umat. Usaha kecil kaum muslimin
bisa dikembangkan dengan dana wakaf. Begitu juga
pemeliharaan masjid dan sekolah juga bisa menggunakan
dana dari pengembangan wakaf. Dan khusus untuk wakaf
tunai, salah satu tujuan yang ingin diperoleh melalui jalur
ini adalah tiadanya lagi pembatasan bagi siapapun yang
ingin menginfakkan sebagian hartanya hanya melalui bentukbentuk yang kaku.
Dengan pengertian lain bagi siapapun yang ingin
mewakafkan hartanya tidak lagi terpaku pada ketentuan yang
menitikberatkan pada wakaf berupa tanah dan bangunan
karena dengan cara tunai (cash), pembelanjaan harta pun
bisa dilakukan. Selain lebih memudahkan secara syariah
pun wakaf tunai ternyata sangat dianjurkan dan memperoleh
legitimasi dari ajaran islam. Dengan demikian hadits yang
diriwayatkan Ibnu Umar yang merupakan dialog antara Umar
bin Khattab ra dengan nabi Muhammad saw., di saat Umar
ingin mewakafkan tanahnya di Khaibar, antara lain Nabi
saw., bersabda jika engkau suka tahanlah pangkalnya, dan
sedekahkan hasilnya, merupakan praktik ibadah yang bisa
dilakukan sepanjang ruang dan waktu.
C. Filosofi dan Hakikat Wakaf
1. Filosofi
Sebagaimana diketahui bahwa karakter dari Syariah Islam
adalah dinamik dan solutif, dapat memberikan pemecahan24

pemecahan masalah umat sesuai dengan konteks ruang dan waktu.


Oleh karena itu, sebagai orang muslim yang mendapatkan amanah
untuk mengembangkan syariah tersebut, umat Islam harus mampu
membumikan syariah dalam kehidupan nyata dengan cara-cara
yang dinamik dan kreatif.
Membumikan syariah sesungguhnya harus menjadi perhatian
umat Islam bersama agar syariah tidak menjadi isi referensireferensi yang tertuang dalam buku-buku besar atau menjadi
pidato-pidato para juru dakwah dalam mimbar-mimbar. Namun
bagaimana bisa mewujudkan syariah ini dalam kehidupan nyata
dengan cara-cara yang kreatif dan dinamik tersebut. Itulah yang
menjadi tantangan umat Islam secara keseluruhan. Syariat Islam
secara garis besar di samping mengajarkan hubungan antara
manusia dengan Allah (habl min Allah), seperti sholat, puasa,
haji, syariat Islam juga mengajarkan hubungan sesama manusia
(habl min al-nas dalam bentuk hubungan sosial), yang disebut
muamalah (dalam arti luas), seperti hukum-hukum tentang
perdagangan, keuangan, perbuatan kriminal dan sebagainya. Di
samping itu, terdapat juga ajaran yang merupakan ibadah
berdimensi sosial, yakni zakat dan wakaf.
Sebagai ibadah yang berdimensi sosial, maka wakaf
mempunyai filosofi dan hikmah yang sangat rasional bermanfaat
bagi kehidupan umat. Manfaat ini sudah terbukti dalam sejarah
umat Islam, sejak awal sampai kini. Hal tersebut memang sangat
tergantung kepada kemampuan umat sendiri untuk
mengaktualisasikan filosofi dan hikmah wakaf dalam kehidupan
umat. Kini manfaat atau hikmah ini belum diwujudkan secara
optimal, yang disebabkan beberapa faktor, baik bersifat internal
maupun eksternal. Akan tetapi faktor internal yang lebih
menentukan potensi wakaf itu belum teraktualisasikan sepenuhnya
dalam kehidupan umat, misalnya kurangnya perhatian terhadap
potensi wakaf, dan terbatasnya kemampuan para pengelola (nazhir)
wakaf untuk mendayagunakan secara efektif dan produktif.
Wakaf secara umum sebenarnya sudah ada sebelum masa
Islam yang bentuknya berupa tanah pertanian, yang diwakafkan
oleh penguasa atau orang-orang kaya dan dimanfaatkan untuk
25

bercocok tanam. Lalu hasilnya digunakan untuk berbagai


kepentingan umum.
Ensiklopedia Grolyier International menyebutkan, praktik
wakaf seperti itu juga telah dikenal oleh masyarakat Yunani dan
Romawi. Kedua negara tersebut juga telah mempraktikkan jenis
filantropi ini untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan
perpustakaan yang dapat diakses oleh masyarakat umum. Kini
beberapa universitas besar di negara-negara Barat, terutama
Amerika Serikat, juga menjadikan wakaf (endowment) untuk
pembiayaan pendidikan, riset (penelitian), sarana dan prasarana
pendidikan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karena besarnya manfaat wakaf ini, maka wakaf tidak cukup
hanya dipahami sebatas aturan atau hukumnya saja, tetapi juga
filosofi dan hikmahnya, sehingga pengumpulan harta wakaf dan
pendayagunaannya bisa di lakukan seoptimal mungkin.
Wakaf sebagai ibadah sosial adalah jenis ibadah yang lebih
berorientasi pada habl min al-nas, hubungan manusia dengan
lingkungannya, atau biasa juga disebut kesalehan sosial. Ini adalah
satu paket dalam kesempurnaan ibadah seorang hamba di samping
kesalehan dalam ibadah vertikal, habl min Allah. Keduanya ibarat
dua keping mata uang yang tak terpisahkan.
Dalam sejarah peradaban Islam, wakaf banyak digunakan
untuk amal sosial atau kepentingan umum, sebagaimana dilakukan
oleh sahabat Umar ibn Khaththab. Beliau memberikan hasil
kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu,
dan hamba sahaya (budak) yang sedang berusaha menebus dirinya.
Wakaf ini ditujukan kepada umum, dengan tidak membatasi
penggunaannya, yang mencakup semua aspek untuk kepentingan
dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Kepentingan
umum itu kini bisa berupa jaminan sosial, pendidikan, kesehatan,
dan lain-lain. Hal tersebut merupakan salah satu segi dari bentukbentuk penggunaan wakaf membelanjakan atau memanfaatkan
harta di jalan Allah swt melalui pintu wakaf. Dengan demikian,
dilihat dari segi manfaat pengelolaannya, maka wakaf sangat
26

berjasa besar dalam membangun berbagai sarana untuk kepentingan


umum demi kesejahteraan umat.
Dalam surat Ali Imran ayat 92:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang
sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang
kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahui.
Juga dalam surat al-Baqarah ayat 261:
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap
butir tumbuh 100 biji. Allah melipatgandakan (ganjaran)
bagi siapa saja yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha Kuasa
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Di samping ayat al-Quran di atas, hadits tentang shadaqah
jariyah, sebagaimana telah disinggung di atas. Dari Abu Hurairah
r.a., sesungguhnya Nabi Muhammad saw., bersabda, Apabila
anak Adam meninggal dunia maka putuslah amalnya, kecuali
tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan
anak sholeh yang mendoakan orang tuanya. 26 Hadits ini
dikemukakan dalam bab wakaf, karena shadaqah jariyah oleh
para ulama ditafsirkan sebagai wakaf.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, para ulama sepakat
bahwa yang dimaksud shadaqah jariyah dalam hadits tersebut
adalah wakaf. Itulah antara lain beberapa dalil yang menjadi
dasar hukum disyariatkannya wakaf dalam Islam.
Kemudian dari segi keutamaannya, Syaikh Abdullah Ali
Bassam berkata, wakaf adalah sedekah yang paling mulia. Allah
swt menganjurkannya dan menjanjikan pahala yang sangat besar
bagi yang berwakaf, karena sedekah berupa wakaf tetap terus
mengalirkan kebaikan dan maslahat.
Ada pun keutamaan wakaf ini bisa dilihat dari dua sisi
yang berbeda. Bagi penerima hasil (mauquf alaih), wakaf akan
26

Muslim, Shahih Muslim, Dar al Kutub al Ilmiah, Bairut, 2003, cet II, hlm. 637

27

menebarkan kebaikan kepada pihak yang memperoleh hasil wakaf


dan orang yang membutuhkan bantuan, seperti fakir miskin,
anak yatim, korban bencana, orang yang tidak punya usaha dan
pekerjaan, orang yang berjihad di jalan Allah. Wakaf juga memberi
manfaat besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan, seperti bantuan
bagi para pengajar dan penuntut ilmu, serta berbagai pelayanan
kemaslahatan umat yang lain.
Sementara itu, bagi pewakaf (wakif), wakaf merupakan amal
kebaikan yang tak akan ada habisnya bagi orang yang berwakaf.
Oleh karena itu, barang yang diwakafkan itu tetap utuh sampai
kapan pun. Di samping utuh, barang tersebut juga dikelola dan
dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Dengan begitu, pahala
yang dihasilkan terus mengalir kepada wakif, meskipun ia sudah
meninggal dunia. Hal inilah yang membedakan keutamaan wakaf
dibanding dengan ibadah lainnya yang sejenis, seperti zakat.
Beberapa penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa
melaksanakan wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi
ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu
dengan melepas benda yang dimilikinya (private benefit) untuk
kepentingan umum (social benefit).
Jadi, wakaf adalah jenis ibadah yang istimewa dan utama
bagi orang yang beriman dan beramal saleh. Hanya dengan
memberikan harta untuk wakaf, maka manfaat dan hasilnya dapat
terus berlipat tanpa henti.
Dengan demikian, filosofi orientasi dan hikmah dalam wakaf
itu terdapat tiga poin.27 Pertama, wakaf untuk sarana prasarana
dan aktivitas sosial. Kedua, wakaf untuk peningkatan peradaban
umat. Ketiga, wakaf untuk meningkatkan kesejahteraan umat.
a.

Sarana ibadah dan aktivitas sosial


Sebenarnya wakaf sudah dikenal dalam masyarakat Arab
kuno di Makkah sebelum kedatangan Muhammad saw. Di

27

28

Lihat Masykuri Abdillah, Filosofi dan Hikmah Wakaf, http://www.gp-ansor.org/hikmah/filosofidan-hikmah-wakaf.html

tempat itu, terdapat bangunan kabah yang dijadikan sarana


peribadatan bagi masyarakat setempat. Al-Quran menyebutnya
sebagai tempat ibadah pertama bagi manusia, yakni Q.S.
Ali Imran ayat 96: Sesungguhnya rumah yang mula-mula
dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah Baitullah
(Kabah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan
menjadi petunjuk bagi semua manusia.
Oleh karena itu, bisa dikatakan, kabah merupakan wakaf
pertama yang dikenal manusia dan dimanfaatkan untuk
kepentingan agama.
Sementara itu, dalam Islam, tradisi ini dirintis oleh
Rasulullah Muhammad saw yang membangun masjid Quba
di awal kedatangannya di Madinah. Peristiwa ini dijadikan
sebagai penanda wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan
peribadatan dalam agama. Ini terjadi tak lama setelah Nabi
hijrah ke Madinah. Selain itu, Nabi juga membangun Masjid
Nabawi yang didirikan di atas tanah anak Yatim dari bani
Najjar. Tanah itu telah dibeli Nabi dengan harga 800 dirham.
Langkah ini menunjukkan, bahwa Nabi telah mewakafkan
tanahnya untuk pembangunan masjid sebagai sarana
peribadatan umat Islam. Hal tersebut kemudian ditetapkan
sebagai ibadah, yang diteladani umat Islam di segala penjuru.
Maka tak heran kalau kini banyak ditemukan masjid hasil
wakaf. Di antara masjid-masjid masyhur di dunia yang dikelola
dengan wakaf, antara lain, Masjid Al-Azhar dan Masjid AlHusain di Mesir, Masjid Umawi di Suriah, dan Masjid alQairawan di Tunis. Masjid-masjid itu tak hanya digunakan
sebagai sarana ibadah, tetapi juga sebagai tempat dakwah
dan pendidikan Islam serta pelayanan umat dalam bidangbidang lainnya.
b.

Peningkatan peradaban umat


Masjid sebagai harta wakaf di masa awal Islam
mempunyai peran yang signifikan. Selain sebagai sarana
29

ibadah, ia juga digunakan untuk pendidikan dan pengajaran,


yang biasa disebut dengan halaqah, lingkaran studi. Kegiatan
ini tak lain merupakan bagian dari upaya mencerdaskan
dan membangun peradaban umat. Di tempat itu, diajarkan
cara membaca al-Quran dan menulis. Di samping itu, didirikan
pula katatib, sejenis sekolah dasar yang mengajarkan membaca,
menulis, bahasa arab, dan ilmu matematika. Kemudian dari
masjid-masjid itu lahirlah beribu-ribu sekolah (madrasah)
yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar. Itu adalah bagian
dari keberhasilan umat Islam dalam mengelola harta hasil
berderma. Satu misal, kerajaan Bani Abasiyah mempunyai
tiga puluh diwan (kementerian) dalam pemerintahannya.
Namun dari 30 diwan itu tidak ada satupun yang mengurus
tentang pendidikan, karena pendidikan dikelola dengan baik
dan didanai secara cukup oleh wakaf. Bahkan, hal sekecil
apapun yang terkait dengan pendidikan juga disediakan, apalagi
fasilitas pokok lainnya.
Abdul Qadir Annaimy (wafat 927 H) menjelaskan dalam
kitabnya, Addaaris Fittaarikh Al Madaris, bahwa wakaf
pada saat itu banyak yang dikhususkan untuk membeli alatalat gambar untuk para pelajar dari pemuda-pemuda Makkah
dan Madinah. Bahkan Ibnu Ruzaik telah mewakafkan harta
untuk menyediakan pulpen, kertas, dan tinta. Harta hasil
wakaf umat Islam, kala itu, juga banyak digunakan untuk
kegiatan ilmiah. Misalnya, Ibnu Ala Almaary setelah tamat
belajar pada sekolah yang didanai wakaf di kota Halab, dia
pergi ke Bagdad untuk menambah wawasan dan melakukan
penelitian, serta bergabung dalam diskusi-diskusi umum dan
filsafat. Walaupun ia mensosialisasikan pemikiran filsafatnya
yang di antaranya bertentangan dengan opini keagamaan
yang berlaku pada saat itu, ia tetap mendapatkan subsidi
dari wakaf dan tidak dihentikan.
Selain Ibnu Ala Almaary, seorang ahli ilmu matematik,
ilmuwan lain yang mendapatkan biaya dari harta wakaf
adalah Yusup murid Imam Abu Hanifah yang menjabat sebagai
qadha qudhat (hakim agung kerajaan Bani Abasiah),
30

Muhammad Alkhawarijmy seorang ahli ilmu aljabar, Ibnu


Sina seorang ahli kedokteran, Ibnu Hisyam seorang ahli
optik, dan lainnya.
Satu hal yang perlu dicatat dari perilaku ilmuwan-ilmuwan
yang hidup dan besar dari wakaf adalah semangat mereka
untuk mencari kebenaran.
Lembaga wakaf yang telah mendanainya tidak mengikat
dan mengharuskan mereka untuk membawa misi tertentu.
Namun para ilmuwan itu siap mensosialisasikan hasil
penelitiannya kepada masyarakat umum dengan motivasi
semata-mata karena Allah.
Dalam sejarah, wakaf model ini termasuk di antara
manfaat wakaf yang paling mendapat perhatian besar dari
umat Islam. Hampir di setiap kota besar di negara-negara
Islam, bisa dipastikan, terdapat sekolah, universitas,
perpustakaan, dan Islamic centre dari hasil wakaf, seperti
di Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan berbagai tempat
lain. Wakaf untuk kegiatan ilmiah tersebut kini tetap
dilaksanakan, terutama dalam bentuk beasiswa, gaji pengajar,
biaya penelitian (riset), penyediaan sarana dan prasarana
pendidikan, seperti perpustakaan dan alat-alat laboratorium,
dan sebagainya. Salah satu contoh wakaf untuk kepentingan
ilmiah adalah Universitas al-Azhar di Mesir yang berdiri
lebih dari 1000 tahun lalu. Hingga kini pembiayaan universitas kebanggaan umat Islam itu di kelola dari harta wakaf.
Hal semacam ini juga terjadi di seluruh dunia Islam pada
masa kini, termasuk di Indonesia, walau pemanfaatnya belum
optimal.28
c.

Peningkatan kesejahteraan umat


Kalau ditarik benang merah dari beberapa pembahasan
di atas, maka akan tampak jelas, bahwa hikmah lain
disyariatkannya wakaf adalah untuk menyejahterakan
kehidupan manusia secara umum.

28

M.A. Manan, Sertifikat Wakaf Tunai, Ciber dan PKTTI-UI, Jakarta, 2001, hlm. 32

31

Hal ini sejalan dengan pandangan ulama Al-Azhar Mesir


Ali Ahmad al-Jurjawi, penulis Hikmah al-Tasyri wa
Falsafatuhu. Menurut dia, wakaf seharusnya mampu
mengurangi kesenjangan sosial antara si kaya dengan si
miskin, serta dapat meningkatkan taraf hidup manusia.
Allah berfirman dalam al-Quran, Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. (QS. Ali
Imran: 92). Ketika ayat itu turun, sahabat Nabi Abu Thalhah
berkata, Wahai Rasul Allah, saya ingin mendermakan kebunku
karena Allah. Kemudian, Nabi menasehatinya agar kebun
tersebut didermakan untuk kepentingan orang-orang fakir
miskin. Kemudian Umar ibn Khattab pun melakukan hal
yang sama. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari
Ibn Umar, ia berkata: Umar mempunyai tanah di Khaibar,
kemudian ia datang kepada Rasulullah saw., meminta untuk
mengolahnya, sambil berkata: Ya Rasulullah, aku memiliki
sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil
manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat? Rasulullah
bersabda: Jika engkau menginginkannya tahanlah tanah itu
dan shadaqohkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual
atau diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan. Maka ia
menshadaqahkannya kepada fakir miskin, karib kerabat, budak
belian, dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi orang yang
mengurus harta tersebut untuk menggunakan sekedar
keperluannya tanpa maksud memiliki harta itu. Wakaf untuk
kesejahteraan umum ini, kemudian berkembang menjadi
berbagai bentuk.
Pertama, wakaf untuk fasilitas umum, seperti wakaf sumur
dan sumber mata air. Ini bisa dijumpai di tepi-tepi jalan
yang bisa menjadi lalulintas jamaah haji yang datang dari
Irak, Syam, Mesir, dan Yaman, serta kafilah yang bepergian
menuju India dan Afrika. Di antara sumur-sumur itu, terdapat
wakaf sumur Zubaidah, istri Harun al-Rasyid, khalifah
pemerintahan Abbasiyah. Yang termasuk bentuk ini adalah
wakaf jalan dan jembatan.
32

Kedua, wakaf khusus untuk bantuan orang-orang fakir miskin.


Wakaf ini seperti yang digambarkan dalam hadits di atas.
Hasil pengelolaannya digunakan untuk pemberdayaan
masyarakar yang masuk kategori fakir dan miskin. Wujud
dari wakaf ini kini bisa beraneka ragam, ada yang diwujudkan
dalam bantuan beasiswa, pengobatan gratis, balai pendidikan
dan pelatihan cuma-cuma, bantuan permodalan dan
sebagainya.
Ketiga, wakaf untuk pelestarian lingkungan hidup. Wakaf
ini menunjukkan bahwa kesejahteraan manusia juga harus
didukung keseimbangan ekosistem dan lingkungan hidup di
sekitar. Perbaikan masyarakat tanpa dibarengi pelestarian
lingkungan, tentu perbaikan tersebut berjalan dengan paradoks.
Karena itu, harus seimbang, misalnya, wakaf tanah
terbuka hijau di tengah perkotaan, wakaf sungai dan saluran
air, serta wakaf untuk burung-burung merpati seperti di
Masjidil Haram, Makkah.
Beberapa kutipan hadits dan uraian di atas mempertegas,
bahwa wakaf mempunyai dampak positif bagi kesejahteraan
masyarakat. Perkebunan yang dijadikan contoh di atas dikelola
dengan baik, dan hasilnya diberikan kepada orang-orang
yang membutuhkan, terutama orang-orang miskin untuk
memenuhi kebutuhan dasar mereka, sehingga mereka tidak
sampai kelaparan.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana umat Islam
bisa mengubah hidup miskin menjadi sejahtera dan bagaimana
cara mengubahnya?
Sebenarnya ibadah dan dakwah Islam itu tidak pernah
lepas dari dua bingkai yang harus dipadukan meningkatkan
kualitas ketakwaan dan meningkatkan kualitas kesejahteraan.
Jangan sampai ada dikotomi antara ketakwaan dan
kesejahteraan. Kenyataannya di tengah masyarakat Muslim Indonesia sering ada ungkapan bahwa orang yang ke
masjid biasanya adalah orang-orang yang tidak banyak
memiliki uang, sedangkan orang yang banyak uang tidak
33

rajin ke masjid. Meskipun ini hanya ungkapan biasa,


seandainya ada penelitian mengenai hal tersebut tentu akan
membenarkannya.
Seseorang pemikir Islam dari Mesir, Muhammad alGhazali, pernah mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
manusia tidak untuk menjadi manusia yang miskin, tetapi
justru manusia mendapatkan mandat dari Tuhan untuk
mengelola kekayaan alam ini untuk kesejahteraan hidupnya.
Tetapi, mengapa dalam kenyataannya umat Islam masih
terbelenggu dalam masalah kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan? Menurut al-Ghazali, itu karena
ketidakmampuan umat Islam dalam memaknai syariah sehingga
umat Islam tertutup oleh pemahamannya yang salah terhadap
syariah tersebut.
Salah satu bentuk syariah Islam yang dapat mengubah
bagaimana meningkatkan kualitas ketakwaan dan kesejahteraan
yang lebih adalah wakaf. Ajaran wakaf adalah salah satu
bentuk syariah Islam yang mengajak umatnya untuk
meningkatkan ketakwaan dan kesejahteraan.
Dalam sejarah peradaban Islam, sejak awal di
Tasyrikkannya, wakaf telah memiliki peran yang sangat penting
dalam langkah-langkah meningkatkan kesejahteraan sosial
umat Islam pada masa itu dan masa-masa selanjutnya. Hal
ini disebabkan bahwa prinsip wakaf adalah memadukan
dimensi ketakwaan dan kesejahteraan. Terbukti bahwa manfaat
wakaf, pada masa keemasan Islam, telah melahirkan ilmuwanilmuwan tersohor dan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat
pesat.
Wakaf telah banyak membantu pengembangan dalam
berbagai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan
lainnya. Biasanya hasil pengelolaan harta benda wakaf
digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas publik di bidang
keagamaan, kesehatan, pendidikan, pembangunan masjid,
rumah sakit, perpustakaan, gedung-gedung, dan lainnya.
34

Sejarah telah mencatat bahwa pada abad ke-4 H, di


Istambul (Turki) telah berdiri sebuah rumah sakit anak yang
menggunakan dana hasil pengelolaan harta benda wakaf.
Di Andalusia (Spanyol) berdiri fasilitas rumah sakit yang
melayani orang Muslim maupun non-Muslim yang juga berasal
dari dana hasil pengelolan harta benda wakaf. Pada masa
Khalifah Abasyiah, dana hasil pengelolaan harta benda wakaf
juga digunakan untuk membantu pembangunan pusat seni
dan telah berperan bagi perkembangan arsitektur Islam,
terutama arsitektur dalam pembangunan masjid, sekolah dan
rumah sakit. Dalam bidang pendidikan, Universitas Al Azhar
di Kairo, Mesir merupakan salah satu perguruan tinggi yang
sampai saat ini masih eksis karena dana hasil pengelolaan
harta benda wakaf. Dari sini, sudah jelas bahwa wakaf
telah menjadi instrumen penting dalam pengembangan
peradaban umat.29
Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah
saw. Wakaf disyariatkan setelah Nabi saw berada di Madinah
pada tahun kedua hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang
di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha) tentang siapa
yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut
sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama
kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah saw ialah wakaf
tanah milik Nabi saw untuk dibangun masjid.
Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Umar bin Syabah dari Amr bin Saad bin Muadz, ia berkata:
dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin
Saad bin Muadz, berkata Kami bertanya tentang mulamula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah
wakaf Umar, sedangkan orang-orang Anshor mengatakan
adalah wakaf Rasulullah saw. Rasulullah saw pada tahun
ketiga hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di
Madinah, di antaranya ialah kebun Afrat, Shafiyah, Dalal,
Barqah dan kebun lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama
29

Husna, Harian Republika, 21 Juli 2009, hlm. 3

35

mengatakan bahwa syariat wakaf adalah Umar bin Khattab


ra.
Terlepas dari pendapat para ulama mengenai wakaf
tersebut. Di indonesia Potensi wakaf sangat besar. Berdasarkan
data yang dihimpun Departemen Agama RI, jumlah tanah
wakaf di Indonesia sampai dengan bulan Januari 2008 aset
wakaf yang terdata di seluruh Indonesia barulah sebatas
aset tanah, yang terletak pada 361,438 lokasi dengan luas
2.697.473.783,08 M2.30 Dari luas tanah wakaf tersebut, 40
persennya merupakan wakaf yang diperuntukkan sarana dan
kegiatan ibadah.
Namun dari sekian jumlah tanah wakaf tersebut belum
dapat dikelola secara optimal. Pengelolaan harta benda wakaf,
sebagian besar masih bersifat tradisional. Tanah-tanah wakaf
belum dikelola secara profesional, sehingga manfaatnya belum
dapat dirasakan. Jelas bahwa data tersebut menggambarkan
betapa besarnya potensi wakaf. Kendati demikian, realitasnya
masih jauh dari yang diharapkan.
Oleh karena itu potensi wakaf yang sangat besar tersebut
perlu digali kembali agar dapat maksimal pemanfaatannya.
Dengan menggali potensi wakaf ini, diharapkan dapat
mewujudkan sebuah kekuatan dana umat yang dapat
memecahkan berbagai kesulitan yang menerpa bangsa ini.
Sepertinya, tidak ada salahnya kalau bangsa ini meniru apa
yang telah terjadi di berbagai negara yang sudah dapat
mengelola wakaf secara produktif, sehingga hasilnya dapat
digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan sosial di
negaranya masing-masing.
Istilah wakaf uang belum dikenal di zaman Rasulullah.
Wakaf uang (cash wakaf) baru dipraktikkan sejak awal abad
kedua hijriyah. Imam az Zuhri (wafat 124 H) salah seorang
ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits
30

36

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, Data Tanah Wakaf di Seluruh Indonesia: menurut
status dan Prosentase, 2008. (lihat Hendra Kholid, Peranan Wakaf uang Dalam Menanggulangi
Kemiskinan di Indonesia, Disertasi Doktor, Jakarta, 2008, hlm.10)

menfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk


pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat
Islam. Di Turki pada abad ke-15 H praktik wakaf uang
telah menjadi istilah yang familiar di tengah masyarakat.
Wakaf uang biasanya merujuk pada cash deposits di lembagalembaga keuangan seperti bank, di mana wakaf uang tersebut
biasanya diinvestasikan pada profitable business activities.
Keuntungan dari hasil investasi tersebut digunakan kepada
segala sesuatu yang bermanfaat secara sosial keagamaan.
Pada abad ke-20 mulailah muncul berbagai ide untuk
mengimplementasikan berbagai ide-ide besar Islam dalam
bidang ekonomi, berbagai lembaga keuangan lahir seperti
bank, asuransi, pasar modal, institusi zakat, institusi wakaf,
lembaga tabungan haji dan lain-lain. Lembaga-lembaga
keuangan Islam sudah menjadi istilah yang familiar baik di
dunia Islam maupun non Islam.
Dalam tahapan inilah lahir ide-ide ulama dan praktisi
untuk menjadikan wakaf uang salah satu basis dalam
membangun perekonomian umat. Dari berbagai seminar yang
dilakukan oleh masyarakat Islam, maka ide-ide wakaf uang
ini semakin menggelinding. Negara-negara Islam di Timur
Tengah, Afrika dan beberapa di Asia Tenggara sudah sejak
dulu mengaplikasikannya. Lembaga pendidikan Islam kesohor
macam Al Azhar di Kairo, Mesir dikembangkan dengan
praktik wakaf ini.
Untuk Indonesia dengan adanya sosialisai wakaf produktif
oleh Badan Wakaf Indonesia, sudah mulai mendapat sambutan
masyarakat. Sekarang banyak sekali di beberapa daerah yang
sudah menyatakan mewakafkan tanah untuk dibangun
beberapa fasilitas sosial yang bisa memberikan manfaat dan
bisa memberikan satu hasil. Umpamanya saja ada yang
mewakafkan tanah untuk dibangun satu rumah sakit di atas
tanah itu. Nanti rumah sakit itu menjadi rumah sakit wakaf.
Ada yang mewakafkan tanah agar supaya dibangun pom
bensin. Ada yang mewakafkan tanah di tengah-tengah kota
agar bisa dibangun yang bisa menghasilkan seperti
37

perkantoran. Menurut Prof. Dr. K.H. Tolhah Hasan, saat


ini di samping melayani orang yang mau berwakaf juga
sedang membuat suatu perencanaan-perencanaan wakaf-wakaf
ini dikembangkan dalam bentuk apa agar supaya benarbenar produktif.
Selanjutnya, sekarang BWI juga sudah mulai mengadakan
jaringan-jaringan dengan badan-badan wakaf internasional.
Sebab di dunia Islam ini sudah ada berkembang atau asetaset dagang yang tidak hanya dimiliki oleh Indonesia tetapi
juga bisa bekerja sama oleh badan wakaf internasional. Melalui
kerja sama badan wakaf internasional ini merupakan salah
satu kekuatan umat di dalam masalah permodalan dan masalah
finansial umat. Dan dengan kerja sama ini pula dapat
membantu beberapa kebutuhan-kebutuhan yang selama ini
agak sulit dipecahkan oleh umat khususnya umat Islam di
Indonesia.
2.

Konsepsi dan Hakikat Wakaf


a.

Konsepsi Tentang Wakaf


Wakaf adalah merupakan suatu pranata hukum Islam
yang konsepsinya telah dirumuskan dalam Fikih dan berbagai
ketentuan formal dalam perundang-undangan, sehingga dengan
demikian tidak ada konsep yang tunggal tentang Wakaf.
Hal ini membuka peluang bagi kita untuk mengembangkan
konsep-konsep yang lebih kontekstual tentang Perwakafan
yang pada gilirannya akan dilanjutkan dengan pengembanganpengembangan aspek lainnya dari Perwakafan.
Dalam sistem hukum Indonesia, kita mencatat paling
tidak ada dua konsep tentang Wakaf yang kita kenal, yaitu:
menurut Pasal 16 UU No. 41 Tahun 2006 tentang Wakaf.
Bahwa harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak
dan benda bergerak. Di samping itu, dalam hukum Islam
sebenarnya masih dimungkinkan adanya wakaf manfaat
di mana seseorang berwakaf hanya dengan memberikan
kemanfaatannya saja sedangkan benda asalnya tetap milik
si wakif.

38

Apa yang diungkapkan tersebut di atas adalah sejalan


dengan hadits yang menjadi dasar dari perwakafan yang
diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Umar Ibn Khattab
tentang keinginan Umar untuk mewakafkan tanahnya yang
ada di Khaibar di mana Rasululah mengatakan tahan dzatnya
dan sedekahkan hasilnya yang oleh sebagian ulama
ditafsirkan untuk mewakafkan tanah dimaksud yang hasilnya
diberikan kepada mereka yang memerlukannya.
Persoalan ini menyangkut konsep tentang wakaf yang
sangat beragam sifatnya. Dr. Wahbah Az Zuhaili di dalam
kitabnya mensitir beberapa pendapat tentang wakaf dan yang
paling dikenal menurut pendapatnya adalah rumusan dari
jumhur ulama yang menyatakan bahwa wakaf ialah menahan
suatu harta yang mungkin dimanfaatkan selagi barangnya
utuh, untuk kebajikan, yang semata-mata demi mendekatkan
diri kepada Allah swt. Harta yang diwakafkan itu telah
lepas dari hak milik wakif dan menjadi tertahan sebagai
milik Allah swt (Zuhaili, 1985:154).
Rumusan ini berbeda dengan dua rumusan lainnya yang
dikemukakannya dalam buku tersebut, yaitu dari Mazhab
Hanafi dan Mazhab Maliki. Menurut Mazhab Hanafi, wakaf
adalah menahan suatu harta benda tetap sebagai milik orang
berwakaf dan mensedekahkan manfaatnya untuk kebajikan
(Zuhaili, 1985:153) yang berarti harta yang diwakafkan itu
tidak lepas dari hak milik orang yang berwakaf, bahkan ia
boleh menarik harta wakafnya kembali dan juga boleh
menjualnya. Menurut pendapat Mazhab Maliki wakaf seorang
pemilik memperuntukkan manfaat harta benda miliknya kepada
pihak yang berhak dengan sighat tertentu selama masa yang
ditetapkan oleh orang yang berwakaf (Zuhaili, 1985:155).
Pernyataan ini mengandung arti bahwa barang atau benda
yang diwakafkan itu tetap menjadi milik wakif, sebab yang
diwakafkan itu bukan barangnya tetapi manfaatnya. Masa
berlakunya juga bukan untuk selamanya melainkan hanya
untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan wakif ketika
mengucapkan sighat wakafnya.
39

Bilamana rumusan jumhur ulama itu kita pegang maka


titik beratnya adalah pada aspek manfaat sebagaimana
tergambar dari kata-kata harta yang mungkin dimanfaatkan
selagi barangnya utuh. Artinya, dalam perwakafan yang
terpenting ialah barang yang diwakafkan dapat memberikan
kemanfaatan. Hal ini sejalan pula dengan rumusan para
ulama Indonesia bahwa menurut istilah, wakaf itu berarti
menghentikan (menahan) perpindahan milik suatu harta yang
bermanfaat dan tahan lama, sehingga manfaat harta itu dapat
digunakan untuk mencari keridhaan Allah swt (Daradjat,
et.al. 1995:187). Dan ditegaskan pula bahwa salah satu
unsur dari pengertian wakaf adalah harta yang akan
diwakafkan hendaklah harta yang tahan lama atau dapat
diambil manfaatnya dalam waktu yang lama (Daradjat,
1995:191).
Dengan demikian sebenarnya terbuka kemungkinan untuk
mewakafkan jenis harta tertentu walaupun bukan dikuasai
dengan hak milik tetapi dengan hak-hak lain untuk jangka
waktu yang lama seperti tanah dengan hak guna usaha, hak
guna bangunan, atau hak pakai sepanjang tanah tersebut
dapat memberikan kemanfaatan selama perwakafan
berlangsung (Ichtianto: BPHN, 1997).
b.

Hakikat wakaf
Wakaf telah tumbuh dan berkembang sepanjang
perjalanan sejarah Islam. Di beberapa negara yang
penduduknya muslim, hasil dari wakaf property dan tanah,
banar-banar menjadi jaringan layanan kesejahteraan dan derma
(layanan sosial) seperti, sekolah panti asuhan yatim piatu
dan dapur umum bagi penduduk Muslim, dan dapat membiayai
pemeliharaan masjid-masjid dan kuburan-kuburan terkenal,
pasokan air, serta jembatan-jembatan. Birokrasi-birokrasi
besar dan berpengaruh bermunculan untuk mengelola wakaf.
Jaringan layanan dan pengelolaan telah dirancang oleh
sarjana hukum Islam, J.N.D. Anderson, menjadi sistem

40

wakaf.31 Istilah ini, secara akurat, menggabarkan interkoneksi,


perangkapan (duplikasi), dan saling melengkapinya wakafwakaf yang berbeda yang secara bertahap menyatu menjadi
sebuah sistem.
Pemahaman terhadap sifat sistem wakaf dan hubungannya
dengan kekuasaan negara dapat memberikan suatu perspektif
yang berharga mengenai perkembangan yang terjadi selama
periode di bawah kekuasaan pemerintah.
Wakaf tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran,
tetapi keberadaannya diilhami oleh ayat-ayat Al-Quran tertentu
dan berbagai contoh dari Nabi Muhammad saw dan Khalifah
Umar yang terdapat dalam hadits. Tidak adanya ketentuan
yang tegas menimbulkan perselisihan di antara para ahli
hukum Islam (fukaha), namun dengan berjalannya waktu
maka sejumlah peraturan yang menetapkan kriteria wakaf
dan syarat-syarat pembuatannya telah disepakati oleh mazhabmazhab hukum Islam.
Peraturan-peraturan tersebut disusun untuk menjaga
kriteria wakaf yang tepat dan suci dan untuk memastikan
bahwa mereka yang menyumbangkan tanah atau hartanya
itu adalah dermawan yang jujur. Umpamanya ditetapkan
bahwa seorang pemberi wakaf, waqif, haruslah sehat ingatan
dan telah dewasa.32 Demikian pula, guna mencegah agar
wakaf tidak dibuat hanya sebagai alat untuk menghindari
tagihan utang, maka seorang waqif secara finansial harus
sanggup membayar utangnya.
Dalam sistem hukum Islam yang berlaku selama ini,
wakaf juga bisa diadakan oleh orang Kristen dan Yahudi.
Tidak ada larangan apa pun bagi kaum wanita untuk
mengadakan wakaf, dan banyak yang melakukannya.
Bukan hanya karena tujuan amaliahnya sehingga tanah
dan harta wakaf berbeda dari institusi lain. Ada larangan
31
32

J.N.D. Anderson, The Muslim World 42, No.4 Oktober 1952, hlm. 257-76.
S. vesey-Fitzgerald, London Oxford University Press, 1931

41

tegas ditetapkan atas tanah yang diwakafkan, sehingga


memberinya sifat hukum yang berbeda dan sifatnya suci.
Pertama, begitu tanah diwakafkan, maka ia tidak dapat diubah.
Ia tidak bisa dijual, diagunkan, diwariskan, atau diubah
dengan cara bagaimanapun.33 Kedua tanah dan harta wakaf
disumbangkan untuk selama-lamanya, masjid atau rumah
panti asuhan dijamin mendapat pendapatan yang tetap dan
abadi. Ketiga, sumbangan wakaf tidak dapat dibatalkan.
Begitu suatu wakaf diadakan, maka waqif atau keturunannya
tidak boleh berubah pikiran.34 Larangan-larangan ini disusun
guna memastikan bahwa wakaf diadakan untuk tujuan
kepentingan umum (Altruistik). Konsekuensinya, semua
larangan tersebut memberi si waqif suatu posisi moral yang
tinggi dalam komunitas. Sebagai suatu berkah atau hadiah
(Shodaqoh), maka tanah atau harta yang disumbangkan itu
sendiri memperoleh konotasi suci dan terhormat.
Sistem wakaf tidak terbatas, juga tidak statis. Berbagai
metode adminsitrasi baru secara terus menerus dikembangkan
sehingga meningkatkan efisiensi pengumpulan hasil,
pemeliharaan struktur, dan pemberian layanan. Pada saat
yang sama perubahan ini mengalihkan sistem wakaf dari
sebuah kumpulan institusi amal yang independen dan saling
melengkapi menjadi sebuah alat kesejahteraan sosial embrional
dari sebuah birokrasi pemerintahan. Di tengah-tengah
perubahan ini, ada satu ciri yang masih bertahan; wakaf
tetap dipandang sebagai sebuah institusi suci yang melayani
kebutuhan komunitas muslim dan mendatangkan berkah kepada
si pemberi, pengelola, dan juga para ahli warisnya.
Ciri religius dari wakaf, terlepas dari apakah tujuannya
keagamaan atau duniawi, ditekankan melalui peran penyeliaan
yang diberikan kepada para qadi (hakim) agama. Wakaf
biasanya dibuat dalam sebuah pernyataan tertulis (wagfiyyah)
yang ditandatangani oleh seorang hakim dan terdaftar di
33
34

42

Pearl,Muslim Law,1935
(Gibb dan Bowen, Islamic Society, 1952).

pengadilan syariat. Waqif biasanya menunjuk seorang pengelola


atau mutawalli, untuk mengurus dan memelihara harta wakaf,
pengumpulan uang sewa atau zakat, dan pengalokasian
pendapatan.
Khusus untuk wakaf yang besar maka dipekerjakan
suatu tim yang terdiri dari sekretaris, penagih uang sewa,
dan tukang perbaikan. Mutawalli memegang posisi kunci
dalam manajemen wakaf yang baik, dan posisi serta segala
aktivitasnya harus diperkuat serta dimonitor oleh seorang
qadi. Dalam praktiknya, wakif, mutawalli, dan qadi dapat
berhubungan sehingga peluang untuk terjadinya
mismanajemen, korupsi dan penggelapan adalah cukup besar.
Tujuan diadakannya wakaf (yang disebutkan dalam
waqfiyyah) beragam, dari yang sangat spesifik hingga yang
komunal dan umum. Umpamanya, wakaf diadakan untuk
membekali gadis-gadis yatim piatu dengan mahar agar mereka
dapat menarik calon suami; menyediakan penghasilan untuk
membayar denda para tahanan yang miskin; membeli pakaian
untuk orang desa lanjut usia; mempersenjatai tentara. Pada
sakala yang lebih besar untuk membuat pondok pesantren
atau tempat pendidikan seperti Masjid Istiqal dan Mahad
Al-Zaytun yang didanai oleh sumbangan-sumbangan dari
masyarakat Muslim dan kemudian dianggap sebagai wakaf.
Dengan cara ini, wakaf memainkan peran penting dalam
kehidupan sehari-hari kaum muslim.
D. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Tentang Wakaf Nomor
41 Tahun 2004
Merupakan kewajiban bagi umat Islam dalam melaksanakan
perintah Allah, dapat diwujudkan dengan beribadah baik secara langsung
kepada Allah atau berbuat kebaikan kepada sesama umat. Perbuatan
berdimensi sosial, merupakan hubungan antara manusia dengan manusia
dan mencakup kehidupan yang sangat luas khususnya mengenai
perbuatan yang tujuannya untuk membantu dan mensejahterakan
umat. Perbuatan tersebut diwujudkan antara lain dengan menyisihkan
43

sebagian harta benda seperti membayar zakat, bersedekah, atau dengan


mewakafkan sebagian harta bendanya untuk membantu sesama yang
membutuhkan.
Kehidupan sosial dalam syariat Islam dengan menyisihkan
sebagaian harta benda melalui media wakaf ini telah dikerjakan
pada zaman Nabi Muhammad saw. Melaksanakan wakaf bagi seorang
muslim merupakan realisasi ibadah selain ibadah kepada Allah juga
kepada sesama umat dengan menyerahkan harta benda yang di
milikinya, untuk kepentingan dan kesejahteraan umat. Dengan
mewakafkan harta maka akan diperoleh manfaaf bagi penerima
hasil dan bagi pewakaf (Wakif) merupakan amal ibadah kebaikan
yang tiada hentinya sepanjang masa selama harta benda yang
diwakafkan tetap digunakan, dimanfaatkan bagi kepentingan umat.
Dengan merelakan dan menyumbangkan sebagaian dari harta bendanya
maka pahalanya terus mengalir sepanjang harta benda tersebut
bermanfaat. Pelaksanaan wakaf selama ini masih menggunakan cara
sederhana dengan wakif menyerahkan sebidang tanah agar dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan umat seperti tempat ibadah/masjid,
rumah yatim piatu, pemakaman dan sebagainya. Dengan harapan
masjid sebagai tempat ibadah dapat digunakan pula sebagai sarana
pendidikan dan pengajaran baik ilmu akhirat maupun ilmu duniawi.
Dalam perkembangannya kegunaan dari harta wakaf masih banyak
yang belum dikelola secara luas sehingga kemanfaatan dari wakaf
secara terus menerus sebagai salah satu penunjang perekonomian
masyarakat. Sehingga tanah wakaf yang tersebar belum dapat dikelola
secara optimal. Perkembangan harta wakaf di Indonesia belum mampu
meningkatkan kesejahteraan umat karena nilai ekonomisnya belum
dikembangkan, hal ini terlihat dari banyaknya harta wakaf yang
masih dikelola secara tradisional. Jika dilihat dari segi ekonomisnya
belum optimal dalam memenuhi kesejahteraan umat. Tujuan
mengoptimalisasi wakaf dengan memberikan kemanfaatan secara luas,
karena tanah wakaf memiliki potensi yang sangat besar dalam
memajukan sektor pendidikan, kesehatan, perdagangan, agrobisnis,
pertanian dan kebutuhan publik lainnya. Tanah wakaf dapat di
optimalkan pemanfaatannya sesuai dengan posisi dan kondisi strategis
masing-masing, terutama dikaitkan dengan nilai manfaat dan
pengembangan ekonomi.
44

Munculnya gagasan wakaf tunai memang mengejutkan banyak


orang, khusunya para ahli dan praktisi ekonomi Islam, karena wakaf
tunai berlawanan dengan persepsi umat Islam yang terbentuk bertahuntahun lamanya, yaitu bahwa wakaf itu berbentuk benda-benda tak
bergerak. Wakaf tunai bukan merupakan aset tetap yang berbentuk
benda tak bergerak seperti tanah, melainkan aset lancar. Diakomodirnya
wakaf tunai dalam konsep wakaf sebagai hasil interpretasi radikan
yang mengubah definisi atau pengertian mengenai wakaf. Tafsiran
baru ini dimungkinkan karena berkembangnya teori-teori ekonomi.35
Dalam konteks indonesia, wakaf tunai yang digagas oleh Mannan
direspon secara positif oleh beberapa lembaga sosial keagamaan seperti
Dompet Dhuafa Republika (DDP), Pos Keadilan Peduli Umat
(PKPU), UII Yogyakarta dan beberapa lembaga lain. Dompet Dhuafa
misalnya, dari hasil pengumpulan wakaf tunai dialokasikan untuk
pembuatan Rumah Sakit (ambulan) keliling bagi kaum lemah berupa
Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) dan mendirikan sekolah Smart
Exelensia. Meskipun beberapa pola pengelolaan wakaf tunai yang
dijalankan oleh Lembaga-lembaga nazhir (LSM) Profesional tersebut
belum sesuai dengan semangat pemberdayaan wakaf sebagaimana
yang diajarkan Nabi, tapi paling tidak, wakaf tunai sudah mewacana
dalam variable aksi penanganan kesejahteraan sosial.
Menurut Mannan, wakaf tunai mendapat perhatian serius karena
memiliki akar yang panjang dalam sejarah Islam. Sebagai instrumen
keuangan, wakaf tunai merupakan produk baru dalam sejarah Perbankan
Islam. Pemanfaatan wakaf tunai dapat dibedakan menjadi dua, yakni
pengadaan barang privat (private good) dan barang sosial (social
good), karena itu, wakaf tunai membuka peluang yang unik bagi
penciptaan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan
sosial. Tabungan dari warga yang berpenghasilan tinggi dapat
dimanfaatkan melalui penukaran sertifikat wakaf tunai. Sedangkan
pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf tunai dapat
dibelanjakan untuk berbagi tujuan, misalnya untuk pemeliharaan hartaharta wakaf.
35

Departemen Agama RI, Proses Lahirnya UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Dir. Pengembangan
Zakat dan Wakaf, Ditjend Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, 2005, hlm.1- 2

45

Bagi Mannan, wakaf tunai yang bisa ditebitkan dengan Sertifkat


Wakaf Tunai dapat dilakukan dengan maksud untuk memenuhi target investasi, sedikitnya empat bidang, yaitu:
1.

Kemanfaatan bagi kesejahteraan pribadi (dunia dan akhirat)


Semua manusia akan kembali keharibaan Ilahi, karena itu tidaklah
berlebihan kalau kita merenungkan sejenak, bahwa pada saat
dilahirkan kita dalam keadaan miskin dan pada saat meninggal
kita pun dalam keadaan miskin. Tidak dapat disangkal lagi bahwa
setelah meninggal, semuanya akan berakhir kecuali tiga hal,
yaitu; ilmu yang bermanfaat, anak saleh, dan amal jariah. Wakaf
tunai termasuk salah satu amal jariyah yang terus mengalir
pahalanya. Wakaf tunai sebagai sedekah jariyah memainkan
peranan penting bagi seseorang untuk mencapai kesejahteraan
dunia dan akhirat.

2.

Kemanfaatan bagi kesejahteraan keluarga (dunia dan akhirat)


Sertifikat Wakaf Tunai menawarkan peluang bagi kita untuk
dapat mewujudkan tanggung jawab kepada orang tua, istri, anakanak, dan anggota keluarga lainnya. Sertifikat Wakaf Tunai dapat
juga dibeli untuk menjamin perbaikan kualitas hidup generasi
penerus melalui pelakasanaan program pendidikan, pernikahan
dan lain-lain. Sebab bank akan tetap bertanggung jawab untuk
mengelola profit dan sertifikat wakaf tunai itu. Karena dengan
cara pengelolaan program seperti itu, maka wakaf tunai dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan generasi mendatang.

3.

Pembangunan Sosial
Sertifikat wakaf tunai juga menawarkan untuk masyarakat. Dengan
profit dari wakaf tunai, seseorang dapat membantu bantuan
yang berharga bagi pendirian ataupun operasionalisasi lembagalembaga pendidikan termasuk masjid, madrasah, rumah sakit,
sekolah, kursus, akademi, dan universitas. Pembelian sertifikat
ini dapat membantu terlaksananya proyek-proyek pendidikan,
riset, keagamaan, kesejahteraan, pengobatan dan perawatan
kesehatan untuk orang miskin dan untuk penghapusan kemiskinan.

46

4.

Membangun masyarakat sejahtera


Dana yang terhimpun dari wakaf tunai akan diinvestasikan dan
hasilnya akan dapat memberikan jaminan sosial kepada si miskin
dan keamanan bagi si kaya. Akhirnya, wakaf tunai akan menjadi
wahana bagi terciptanya kepedulian kasih sayang antara si miskin
dan si kaya, sehingga membantu terciptanya hubungan yang
harmonis dan kerja sama yang baik. Tidak berlebihan kiranya
kita mengharapkan bahwa melalui sertifkat Wakaf Tunai akan
memperoleh manfaat yang banyak di bidang ekonomi dan sosial
bagi masyarakat secara keseluruhan.

Gagasan ini secara ekonomi sangat potensial untuk dikembangkan


di Indonesia, karena dengan model wakaf ini daya jangkau mobilisasi
akan jauh lebih merata kepada sebagian anggota masyarakat (bisa
dilakukan oleh si kaya dan si miskin) dibandingkan dengan model
wakaf-wakaf tradisional-konvensional, yaitu dalam bentuk harta fisik
yang biasanya dilakukan oleh keluarga yang terbilang relatif mampu.
Salah satu model yang dapat dikembangkan dalam mobilisasi
wakaf tunai adalah model Dana Abadi, yaitu dana yang dihimpun
dari berbagai sumber dengan berbagai cara yang sah dan halal,
kemudian dana yang terhimpun dengan volume besar, diinventasikan
dengan tingkat keamanan yang tinggi melalui lembaga penjamin
syariah.36
Mengacu pada Model Dana Abadi tersebut, konsep Wakaf Tunai
dapat diberlakukan dengan beberapa penyesuaian yang di perlukan.
Penyesuaian harus dilakukan karena adanya persoalan yang melekat
dalam model Wakaf Tunai, yaitu problem of perpetuity, persoalan
keabadian selamanya. Salah satu upaya preventifnya adalah dengan
menegaskan tujuan wakaf tunai secara jelas. Di samping itu juga
36

Keamanan dalam berinvestasi ini paling tidak mencakup 2 aspek: yaitu aspek keamanan nilai
pokok dana abadi sehingga tidak terjadi penyusutan (jaminan keutuhan, dan aspek produktif artinya
investasi dana abadi tersebut harus produktif, yang mampu mendatangkan hasil/pendapatan (incoming
generating allocation) karena dari pendapatan inilah pembiayaan kegiatan organisasi akan dilakukan
dan sekaligus menjadi sumber utama pembiayaan (lihat, Departemen Agama RI, Proses Lahirnya
UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Dir. Pengembangan Zakat dan Wakaf, Ditjend Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, 2005, hlm. 4-5)

47

langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut


harus dinyatakan secara jelas dan mudah dipahami, sementara itu
instrumen yang akan digunakan dalam mencapai tujuan wakaf tersebut
juga tidak kalah pentingnya, baik dari bentuk maupun nilainya.
Model dana abadi tersebut sangat layak dijadikan model untuk
pengembangan Wakaf Tunai. Beberapa alasan dapat dikemukakan
antara lain: dapat membantu menjaga keutuhan aset tunai dari wakaf,
sehingga dapat mengurangi perpetuitas yang melekat pada wakaf
tunai; yang kedua dapat menjaga pendanaan (source of financing)
pada unit-unit usaha yang bersifat komersial maupun sosial, sehingga
dapat mendorong aktifitas usaha secara lebih luas; yang ketiga, cakupan
target wakaf menjadi lebih luas, terutama dari aspek mobilisasi maupun
aspek alokasi dana wakaf. Ada empat manfaat utama dari wakaf
tunai. Pertama, wakaf tunai jumlahnya bisa bervariasi sehingga
seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan
dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih
dahulu. Kedua, melalui wakaf tunai, aset-aset wakaf yang berupa
tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan
gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai
juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam
yang cash flaow-nya terkadang kembang kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya. Keempat, umat islam dapat lebih mandiri
dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung
pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin
terbatas.
Terdapat tiga filosofi dasar yang harus ditekankan ketika
kita hendak menerapkan prinsip wakaf tunai dalam dunia pendidikan.
Pertama, alokasi wakaf tunai harus dilihat dalam bingkai Proyek
terintegrasi bukan bagian-bagian biaya yang terpisah-pisah. Kedua,
asas kesejahteraan nazhir, sudah saatnya menjadikan nazhir sebagai
profesi untuk mendapatkan kesejahteraan. Sebagai contoh, di Turki
dan Kantor Administrasi Wakaf Bangladesh memberikan alokasi dana
5% kepada badan pengelola wakaf, sementara The Central Waqf
Council India mendapatkan 6% dari net income pengelola dana wakaf.
Ketiga, asas transparansi dan accountability di mana badan wakaf
dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan setiap tahun akan
48

proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya.
Dari berbagai paparan di atas, keberadaan model wakaf tunai
dirasakan perlu sebagai instrumen keuangan alternatif yang dapat
mengisi kekurangan-kekurangan badan sosial yang telah ada.
Persoalannya adalah bagaimana model dan mekanisme penerapan
sertifikat wakaf tunai ini dapat applicable dan feasible diterapkan di
Indonesia dengan melibatkan infrastruktur yang telah ada sebelumnya
dan menyesuaikan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan
Indonesia itu sendiri.37
Sebagai upaya konkret agar wakaf tunai dapat diserap dan
dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat yang perlu diperhatikan
adalah: Metode penghimpunan dana, yaitu bagaimana wakaf tunai
itu dimobilisasikan, yang kedua bagaimana pengelolaan dana yang
berhasil dihimpun, yang terakhir bagaimana distribusi hasil yang
dapat diciptakan kepada para penerima manfaat.
Dari beberapa wacana yang mengemuka tentang wakaf tunai
dan realitas respon dari berbagai kalangan di atas, menjadi dasar
pemikiran pentingnya penyusunan RUU Wakaf yang mengatur tentang
wakaf tunai (karena PP No. 28 Tahun 1977 sebagai satu-satunya
peraturan perundang-undangan tentang wakaf tidak mengcover tentang
masalah wakaf tunai tersebut).
Peraturan Pemerintah tersebut telah berjalan lebih dari sepuluh
tahun tetapi pengelolaan harta benda wakaf masih saja belum terlihat
hasilnya bagi kesejahteraan umat. Hal ini disebabkan antara lain
masyarakat tidak mengetahui adanya peraturan tersebut disebabkan
antara lain kurangnya sosialisasi peraturan tersebut. Padahal, potensi
wakaf sebagai salah satu instrumen dalam membangun sosial ekonomi
kehidupan umat, sesungguhnya tidak dapat dipandang sebelah mata.
Wakaf telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit di beberapa
37

Dengan menimbang dan mengakomodir keberatan sebagian golongan terhdap status hukum wakaf
tunai, seperti kalangan Syafiiyyah yang mengkhawatirkan habisnya pokok wakaf, maka sangat
mendesak untuk dirumuskan dan diformulasikan model dan mekanisme semacam early warning
system untuk menghindari risiko pengurangan modal wakaf dalam konteks risk management
meskipun dananya diputarkan dalam investasi sektor riil. (ibid, hlm 7)

49

negara Islam lain, telah mengelola wakaf secara professional. Potensi


wakaf sesungguhnya dapat menjadi tumpuan harapan dalam peningkatan
kesejahteraan sosial masyarakat serta pengentasan kemiskinan di
samping zakat, infak dan shadaqah, apabila dapat dikelola secara
baik dan professional.
Pada kenyataannya, perwakafan di Indonesia selama ini hanya
dikenal dengan wakaf tanah meskipun pada hakikatnya benda yang
dapat diwakafkan tidak terbatas pada tanah. Harta benda wakaf
dapat berupa uang tunai, logam mulia, emas, dan sebagainya yang
mempunyai nilai dan dapat bermanfaat bagi kepentingan umat. Kini
keberadaan tentang Wakaf uang telah mendapat restu dari MUI
melalui Fatwanya antara lain:38
1. Wakaf uang (cash wakaf/wagf al-Nuqud) adalah wakaf yang
dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk halhal yang dibolehkan secara syar iah.
5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh
dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Alhamdulillah melalui perjuangan kini wakaf telah mengalami
perkembangan, dan tampil dalam wujud lain, mulai dikembangkan
setelah dibentuk wakaf produktif atau wakaf tunai, memiliki regulasi
yang memadai tentang wakaf. Diperlukan undang-undang yang mengatur
bagaimana wakaf ini dikelola dengan baik dengan manfaat yang
sangat luas, sehingga kegunaan dan kemanfaatannya dapat dirasakan
oleh masyarakat secara luas. Perjuangan dan perjalanan sejak
pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf memakan
waktu, menurut Kasubdit Pemberdayaan Wakaf, Departemen Agama,
Asrori Abdul Karim, pemerintah mengajukan RUU tentang wakaf
kepada DPR, yang kemudian pada 9 Juli 2004 Presiden telah
menyampaikan surat untuk pembahasan RUU tersebut. Hal ini disambut
38

50

Fatwa MUI, Jakarta, 28 Shaffar 1423 H (ll Mei 2002M)

oleh kalangan DPR dengan memberikan respon positif menyatakan


bahwa RUU itu menyangkut beragam aspek mengenai wakaf baik
aspek ibadah, ekonomi maupun sosial.39
Akhirnya pada tanggal 27 Oktober 2004 Undang-Undang Nomor
41 tentang Wakaf disahkan oleh Presiden RI, dan diundangkan melalui
Lembaran Negara Nomor 159 Tahun 2004. Dalam Penjelasan UU
Nomor 41 tentang Wakaf disebutkan antara lain untuk menciptakan
tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda
wakaf. Bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan
dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam
tata cara peraturan perundang-undangan. Kemudian disebutkan ruang
lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung
terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan.
Menurut undang-undang wakif dapat pula mewakafkan sebagian
kekayaan berupa harta benda wakaf bergerak baik berwujud atau
tidak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan,
hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lainnya.
Dalam hal ini benda bergerak berupa uang wakif dapat mewakafkan
melalui lembaga keuangan syariah.40
Dengan adanya undang-undang tentang wakaf maka diharapkan
dapat terpeliharanya harta benda wakaf dengan baik jangan sampai
beralih kepada pihak ketiga. Karena kelalaian dan ketidaksempurnaan
Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.
Karena Nazhir mempunyai tugas:41
a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi dan peruntukannya;
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Diharapkan dengan adanya undang-undang tentang wakaf akan
memberikan perkembangan yang signifikan dan dampaknya dapat
39
40
41

Menanti lahirnya UU Wakaf, Republika , Jumat , 27 Agustus 2004


Penjelasan atas UU Wakaf Nomor 41 Tahun 2004
Pasal ll huruf a, b, c, d, Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004

51

dirasakan bagi kesejahteraan umat. Pengaturan yang jelas sangat


diperlukan untuk menghindari masalah tentang profesionalitas nazhir
(pengelola wakaf). selama ini nazhir hanya dikenal sebagai penjaga
masjid, yang hanya menjaga tanpa melakukan inovasi untuk
mengembangkan tanah wakaf yang ada menjadi produktif.
Pengembangan itu dimungkinkan bekerja sama dengan tokoh masyarakat
dengan cara misalnya, jika wakaf berbentuk masjid, nazhir dapat
membangun masjid itu beberapa tingkat. Sehingga bangunan masjid
lainnya dapat difungsikan untuk beberapa kegiatan produktif selain
digunakan sebagai masjid. Melalui kegiatan produktif itu maka mereka
dapat menutup biaya operasional masjid tanpa bergantung pada kotak
amal atau sumbangan lainnya.
Bahwa wakaf tak hanya kuburan dan masjid namun potensi
wakaf bisa di kembangkan untuk hal produktif yang akan memberikan
manfaat ekonomi kepada masyarakat luas. Para ulama memiliki peran
yang strategis untuk menyebarkan pemahaman ini. Sekarang ini telah
ada badan wakaf internasional untuk memobilisasi potensi wakaf
agar memberikan manfaat lebih luas. Pemberdayaan wakaf telah
saatnya menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan wakaf,
maka tak akan mampu mengembangkan wakaf secara optimal. Tentunya
juga tak mampu mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat.
Diperlukan pengelolaan secara profesional dengan memberdayakan
tanah tersebut menjadi bernilai, menjadi sesuatu yang bermanfaat
dan berhasil guna, seperti dikelola dengan dimanfaatkan untuk pertanian,
perkebunan, atau untuk kemanfaatan lain, yang hasilnya tetap
digunakan untuk kesejahteraan dan kepentingan umat. Wakaf yang
digunakan sebagai sarana sosial bagi kepentingan masyarakat akan
memberi manfaat yang besar bagi masyarakat dari berbagai aspek
sosial, pengetahuan, perekonomian dan sebagainya apabila dikelola
dengan manajemen yang profesional. Dengan demikian sudah saatnya
meninggalkan cara lama, dan beralih kepada bagaimana mengelola
harta benda wakaf secara optimal dengan tetap memperhatikan tujuan
utama dan kemanfaatannya hanya untuk kepentingan umat dan
dijalankan sesuai dengan amanah. Sehingga bagi pemberi wakaf (wakif)
merupakan amal perbuataan yang tiada habisnya sepanjang harta
benda yang diwakafkan digunakan sesuai dengan tujuan. Sampai
52

saat ini wakaf uang yang diberikan terbatas dengan menyumbang


uang tunai untuk kepentingan wakaf tetapi kemudian uang tersebut
dibelikan bahan bangunan untuk pengembangan bangunan itu sendiri
seperti masjid, panti asuhan. Dalam mengoptimalkan wakaf di perlukan
cara yang lebih baik dan tepat dalam menunjang kehidupan umat,
pembangunan sosial dan pemberdayaan ekonomi seyogianya dilakukan
secara terus menerus dan menjadi tanggung jawab sesama umat.
Untuk itu diperlukan alternatif solusi yang dapat mendorongnya.
Dan salah satu alternatif solusi itu adalah mobilisasi dan optimalisasi
peran wakaf secara efektif serta profesional. Dalam pengelolaannya
dibutuhkan peran nazhir wakaf (pengelola wakaf) yang amanah dan
profesional sehingga penghimpunan, pengelolaan dan pengalokasian
harta benda wakaf menjadi optimal.
Menurut data dari Departemen Agama sampai dengan bulan
Januari 2008 aset wakaf yang terdata di seluruh Indonesia barulah
sebatas aset tanah, yang terletak pada 361,438 lokasi dengan luas
2.697.473.783,08 m2. Harta wakaf sebanyak itu tersebar di seluruh
Indonesia yang masih dimanfaatkan untuk kepentingan umat. Sebagian
besar harta benda wakaf tersebut digunakan untuk fasilitas ibadah,
pemakaman dan pendidikan saja, sehingga belum terlihat kemanfaatan
nilai ekonomisnya. Keadaan demikian disebabkan antara lain sikap
masyarakat belum peduli terhadap keberadaan harta benda wakaf
sehingga pengelolaannya belum optimal. Dalam berbagai kasus harta
benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, selain itu
keberadaan nazhir dalam mengelola dan mengemban amanah kurang
profesional. Sehingga dari sejumlah tanah wakaf yang tersebar di
seluruh Indonesia kemanfaatannya belum dirasakan secara optimal.
Kemungkinan lain akan terjadi kasus tanah wakaf yang sudah berubah
fungsi karena ditelantarkan oleh pengelola, sehingga beralih fungsinya
atau beralih ke pihak ketiga atau pihak lain dengan cara melawan
hukum.
Dalam meningkatkan nilai ekonomis jika dimungkinkan harta
benda wakaf yang masih berupa tanah atau bangunan, dapat diupayakan
sertifikat tanah wakaf tersebut dijadikan anggunan sebagai jaminan
meminjam modal ke lembaga keuagan atau bank syariah, dengan
catatan tidak dibebani bunga, tetapi dengan akad pembagian hasil.
53

Dengan demikian modal awal dapat digunakan untuk kepentingan


usaha seperti koperasi, pertanian, perikanan, peternakan dan sebagainya.
Sehingga diharapkan dari bagi hasil tersebut dapat berkembang untuk
kesejahteraan umat dan sekaligus harta awal tanah wakaf tetap dan
tidak berkurang. Selain harta benda wakaf tetap utuh ada manfaat
lain yang didapatkannya.
Dalam meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan
yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah
dan sosial saja tetapi dapat diarahkan demi menunjang kesejahteraan
umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta
benda wakaf. Dengan demikian memungkinkan pengelolaan harta
benda wakaf dapat ditinjau dari segi kemanfaatan secara ekonomi
dalam arti pengelolannya sesuai dengan syariah agama. Kemudian
tentunya untuk menciptakan tertib administrasi, tertib hukum semua
harta benda wakaf perlu dicatat dan diikrarkan di dalam akta wakaf.
Dalam rangka mengamankan harta benda wakaf, secara hukum,
administrasi dan pengelolaan yang profesional sehingga selain harta
benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat, secara
administrasi dicatat oleh lembaga yang ditunjuk atau dibentuk melalui
undang-undang. Untuk tertib hukum perlu adanya sertifikasi atas
harta benda wakaf hal ini menghindari agar harta benda wakaf tidak
beralih kepemilikan kepada pihak lain yang tidak bertanggung jawab.
Sertifikat kepemilikan dapat dimusyawarahkan atas nama nazhir atau
lembaga/yayasan yang ditunjuk oleh wakif. Hal ini ditelaah dengan
jelas disebutkan dalam PP Nomor 28 Tahun 1977.
Dalam menyikapi harta benda wakaf, secara administrasi dan
tertib hukum kemudian pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004. Peraturan perundang-undang tersebut antara
lain mengatur bentuk benda wakaf, yaitu benda tetap, dan benda
tidak tetap dan uang. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 28 s.d. 31 UU No. 41 Tahun 2004 dan Pasal
22 s.d. 27 PP No. 42 Tahun 2006. Dalam Pasal 22 tersebut bagi
seorang wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:

54

a.
b.
c.
d.

Hadir di Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang


(LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;
Menjelaskan kepemilikan dan asal usul uang yang akan diwakafkan;
Menyetor secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;
Mengisi form pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai
akta ikrar wakaf (AIW). (Pasal 22 ayat 3 PP No. 42/2006).

Wakaf benda tidak tetap antara lain berupa uang, dilakukan


oleh wakif melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang ditunjuk
oleh menteri. (Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004). Wakaf
atas benda tidak tetap berupa uang ini di laksanakan oleh wakif
secara tertulis kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS), kemudian
oleh LKS ditebitkan sertifikat wakaf tunai/uang, selanjutnya sertifikat
wakaf uang yang telah ditebitkan itu oleh LKS disampaikan kepada
wakif dan nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf (Pasal
29 UU No. 41/2004). Kemudian Lembaga Keuangan Syariah atas
nama nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang tersebut
kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
ditebitkannya sertifikat wakaf uang. (Pasal 30 UU No. 41/2004).
Dalam hal wakif tidak dapat hadir ke LKS-PWU maka wakif
dapat menunjuk wakil atau kuasanya, dan wakil dari wakif tersebut
dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada
nazhir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan
seterusnya nazhir menyerahkan akta ikrar wakaf (AIW) tersebut
kepada LKS-PWU. (Pasal 22 ayat 4 dan 5 PP No. 42/2006).
Beberapa pasal ketentuan Perundang-undangan di atas
memperlihatkan secara tegas bahwa wakaf tunai/wakaf uang diakui
keberadaannya dalam hukum positif di Indonesia. Di samping itu,
dalam Undang-undang wakaf juga diperintahkan pembentukan Badan
Wakaf Indonesia (BWI) yang bertugas memajukan dan mengembangkan
perwakafan nasional, badan ini merupakan lembaga yang independen.
Menurut UU Wakaf keanggotaan BWI diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden. Sedangkan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas
dilakukan oleh lembaga audit independen dan disampaikan kepada
Menteri serta diumumkan kepada masyarakat luas.

55

Dengan ditebitkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004


tentang Wakaf, yang disambut hangat oleh masyarakat muslim. Sehingga
dimungkinkan bagi seluruh umat muslim dapat mewakafkan sebagian
harta bendanya selain berupa tanah, bangunan, atau harta benda lain
kini dengan adanya ketentuan tentang wakaf uang secara tunai,
tidak harus menunggu sampai mempunyai harta benda yang berlimpah,
tidak harus memiliki tanah atau bangungan luas sudah dapat menjadi
wakif hanya dengan menyerahkan sebagian uang tunai kepada Lembaga
Keuangan Syariah.
Fungsi wakaf mengandung unsur kebajikan, kebaikan, dan
persaudaraan, dengan demikian ketika wakaf ditunaikan terjadi
pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan masyarakat muslim
yang diharapkan abadi, memberikan manfaat secara berkelanjutan.
Melalui wakaf diharapkan akan terjadi pendistribusian manfaat bagi
masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi, menuju manfaat
masyarakat, sehinga dapat mensejahterakan kehidupan manusia secara
umum. Pengaturan melalui undang-undang tentang wakaf sangat
berpengaruh, sebab undang-undang ini melengkapi aspek legalitas
untuk memandu dan menjamin segala kegiatan yang terkait dengan
wakaf. Dengan demikian, umat Islam dapat mengembangkan wakaf
secara optimal. Ketiadaan pengaturan tentang wakaf akan memberikan
pengaruh besar dalam pengelolaan wakaf di Indonesia. Masyarakat
akhirnya memahami bahwa wakaf bukan hanya kegiatan agama.
Akibatnya wakaf di Indonesia belum mendapat penanganan secara
baik dan berkembang, wakaf mampu dikembangkan dalam membangun
perekonomian bagi kesejahteraan umat. Seharusnya pengelolaan wakaf
telah mencapai titik optimal jika pengaturannya telah tersedia sejak
dahulu. Pada awalnya wakaf tak berada di bawah pengaturan sebuah
organisasi profesional maupun pemerintah. Pengelolaan wakaf dijalankan
seadanya. Selain masalah legalitas, ada masalah lain yang harus
segera dipecahkan pula. Yaitu mengenai pemahaman masyarakat
terhadap wakaf. Mereka hingga kini banyak yang memandang bahwa
pemberian wakaf hanya untuk peruntukkan masjid dan kuburan saja.
Sebenarnya wakaf tak hanya itu, tapi ia bisa dikembangkan untuk
hal yang bersifat produktif. Walaupun telah diberlakukannya UU
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
56

Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya, masih perlu waktu


untuk memberi pengertian dan paling tidak dapat mensosialisasikan
keberadaan undang-undang tersebut kepada masyarakat karena masih
banyak masyarakat yang belum mengetahuinya.

57

58

BAB III
KAJIAN WAKAF UANG DARI BERBAGAI
ASPEK

A. Aspek Fikih Wakaf Uang


Mayoritas umat Islam Indonesia, memahami wakaf dari
pengetahuan yang umum diketahui antara lain:

Yakni menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya


dengan cara tidak melakukan tindakkan hukum terhadap benda tersebut
disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.
Atau wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda mubahnya
guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
ajaran Islam.
Dan benda wakaf adalah segala benda baik bergerak atau tidak
bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai
dan bernilai menurut ajaran Islam.
Atas dasar pengertian tersebut maka hukum wakaf uang (wakaf al
nuqud) tidak sah.
Dalam perjalanan sejarah dan kualitas keperluan uang memiliki
fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan dibanding benda yang
lain.
1.

Dasar Hukum Wakaf Uang


Wakaf Uang dibolehkan berdasarkan: firman Allah, hadits Nabi
dan pendapat Ulama, yaitu:
59

1.1. Firman Allah


Kamu sekali-sekali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang
kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahui (QS.: Ali Imran (3): 92).
Perumpamaan (nafkah yang di keluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada
tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki.
Dan Allah Maha Luas (Karunianya) Lagi Maha Mengetahui
(QS.: al Baqarah :261).
1.2. Hadits

Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah saw


bersabda: Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia,
maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan
orang tuanya. (HR. Muslim).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., bahwa Umar bin Al


Khatab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia
datang kepada Nabi saw untuk meminta petunjuk mengenai
tanah tersebut. Ia berkata, Wahai Rasulullah Saya
memperoleh tanah di Khaibar, yang belum pernah saya peroleh
60

harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apa


perintah Engkau (kepadaku) mengenainya? Nabi saw
menjawab: jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu
sedekahkan (hasil)-nya.
Ibnu Umar berkata Maka, Umar menyedekahkan tanah
tersebut, dengan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak di
jual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ia
menyedekahkan hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba
sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu.
Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan
hasil dari (basil) tanah itu secara maruf (wajar) dan memberi
makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya harta hak
milik.
Rawi berkata Saya menceritakan hadits tersebut kepada
Ibnu Sirin lalu Ia berkata ghaira mutaatstsilin malan
(tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik). (H.R. alBukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan al Nasa-i).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; Ia berkata Umar r.a.
berkata kepada Nabi saw, Saya mempunyai seratus saham
(tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan
harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya
bermaksud menyedekahkannya. Nabi saw berkata: Tahanlah
pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah. (H.R.
al-Nasai).
1.3. Pendapat Ulama
Sebagian ulama mahzab Syafii juga membolehkan wakaf
uang.

Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafii tentang di


bolehkannya wakaf dinar dan dirham (uang).42
42

Al-Mawardi, Al Hawi Al Kabir, tahqiq Dr.Mahmud Mathraji, Dai-Al Fikr, Beirut, 1994, juz 14
hlm. 379;

61

Imam Al Zuhri (W.124 H) menyatakan bahwa mewakafkan


dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut
sebagai modal usaha kemudian keuntungannya di salurkan
kepada mauquf alaih.43
Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi membolehkan wakaf
uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar
istisan bi al urfi.
Dasar yang dijadikan argumentasi adalah Atsar Abdillah
bin Masud. 2.a:4

Apa yang dipandang baik atas kaum muslimin maka dalam


pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk
oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga
membolehkan wakaf tunai. Fatwa Komisi Fatwa MUI itu
dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi
didasarkan kepada hadits Ibn Umar (seperti yang disebutkan
di atas). Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan
definisi (baru) tentang wakaf, yaitu:

Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap


bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan
tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual,
memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya)
pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.44
43

44

62

Wahbah Al Zuhaili, Al Fikih Al-Islami Wa Adillatuhu, Dai Al Fikr, Damsyik, 1985, juz VIII, hlm.
162;
Keputusan Komisi Fatun MUI di keluarkan tanggal 11 Mei 2002 yang ditandatangani oleh K.H.Makruf
Amin (sebagai ketua) dan Dai Hasanuddin M.Ag (sebagai sekretaris).

2.

Usaha yang seharusnya dilakukan Badan Wakaf Indonesia


bagi terselenggara dan berkembangnya potensi wakaf uang
Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 juga membawa konsekuensi
bagi sistem pengelolaan wakaf di Indonesia agar lebih profesional
dan independen. Untuk itu diperlukan suatu lembaga baru yang
memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memberdayakan aset
wakaf di Indonesia agar lebih produktif. Pentingnya pembentukan
sebuah lembaga wakaf nasional yang bersifat independen diperlukan
dalam rangka untuk membina nazhir (pengurus harta wakaf)
dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf baik
secara nasional maupun internasional.
Badan Wakaf Indonesia (BWI) pun lahir sebagai jawaban
bagi pengembangan pengelolaan perwakafan Indonesia dengan
lebih profesional dan modern sehingga menghasilkan manfaat
wakaf yang dapat mensejahterakan umat. Sehingga Badan Wakaf
Indonesia akan menduduki peran kunci, selain berfungsi sebagai
Nazhir, BWI juga akan sebagai Pembina Nazhir sehingga harta
benda wakaf dapat dikelola dan dikembangkan secara produktif.
Potensi wakaf uang pada tahun 2007 untuk Indonesia nilainya
sekitar tiga triliun per tahun. Jumlah ini memang masih jauh
bila dibandingkan dengan potensi zakat yang nilainya sekitar 21
triliun menurut data PIRAC.45 Tetapi perbedaan yang sangat
signifikan adalah bahwa dana wakaf pokoknya akan tetap utuh
dan semakin terakumulasi dari tahun ke tahun. Hal ini berbeda
dengan dana zakat yang akan langsung habis dalam satu tahun.
Tetapi angka tiga triliun tersebut masih merupakan data yang
terlalu muluk karena faktanya di lapangan, penghimpunan dana
wakaf uang di Indonesia masih sangat sedikit. Sebagai contoh
Tabung Wakaf Indonesia (TWI) yang dikonsentrasikan untuk
penghimpunan dan pengelolaan wakaf uang baru mampu
mengumpulkan dana wakaf uang sekitar dua miliar per tahun.
Oleh karena itu Badan Wakaf Indonesia (BWI) seharusnya tidak
hanya berfungsi sebagai lembaga yang mengelola wakaf secara

45

Lihat Peran BWI dalam Pengembangan Wakaf Indonesia http://sigitsoebroto.blogspot.com/2009/


06/peran-bwi-Didownload tgl. 20 September 2009.

63

independen dan mandiri agar dana yang dikelola lebih produktif,


akan tetapi fungsi penyadaran dan sosialisasi terhadap masalah
wakaf, baik fungsi dan manfaatnya kepada masyarakat harus
juga dimainkan perannya oleh Badan Wakaf Indonesia itu sendiri.
Selama ini memang efektivitas untuk memberdayakan wakaf dan
juga menarik dana wakaf dari masyarakat untuk dikelola oleh
lembaga wakaf belum maksimal. Hal ini karena realisasi pencapaian
di lapangan dengan potensi wakaf di masyarakat sendiri belum
berbanding lurus dan mencapai titik yang ideal.
Jika menengok keberhasilan dari negara Bangladesh dalam
pengelolaan wakaf tunai dengan dilakukannya sosialisasi pengenalan
Sertifikat Wakaf Tunai, ternyata dapat mengubah kebiasaan dan
pemahaman lama di tengah-tengah masyarakat Bangladesh, di
mana biasanya orang yang berwakaf diidentikkan hanya melibatkan
orang-orang kaya saja. Dengan adanya Sertifikat Wakaf Tunai
yang dikeluarkan oleh Social Investment Bank Limited (SIBL)
memang dibuat dengan nilai yang dapat dijangkau oleh mayoritas
masyarakat Islam. Pola seperti ini, menjadikan ibadah wakaf
bukan hanya didominasi orang-orang kaya, tetapi juga dapat
diamalkan oleh orang banyak sesuai keadaan keuangan masingmasing. Selain itu pola seperti ini lebih mudah untuk diamalkan,
karena tidak memerlukan proses administrasi yang rumit seperti
halnya wakaf atas benda tidak bergerak.46
Badan Wakaf Indonesia mempunyai fungsi sangat strategis dalam
membantu, baik dalam pembiayaan, pembinaan maupun pengawasan
terhadap para Nazhir untuk dapat melakukan pengelolaan wakaf
secara lebih produktif. Pola organisasi dan kelembagaan Badan Wakaf
46

64

Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga wakaf nasional kiranya dapat mencontoh pola
pengembangan wakaf yang ada di Bangladesh atau setidaknya mengadobsi dengan menyesuaikan
karakteristik budaya masyarakat Indonesia. Diversifikasi program dan juga instrumen kebijakan
yang lebih mudah dicerna dan mengakomadasi budaya-budaya lokal yang ada di Indonesia, dapat
diterapkan mulai saat ini seperti yang terjadi di Bangladesh. Keragaman budaya lokal yang sangat
dinamis dan suku bangsa yang banyak di negara kita, menjadi permasalahan sekaligus potensi
tersendiri bagi Badan Wakaf Indonesia dalam menghimpun dan mengelola dana masyarakat secara
luas. Jika pendekatan yang dilakukan kepada masyarakat di lakukan sesuai dengan budaya lokal
yang ada dimasyarakat, bukan tidak mungkin efektivitas penghimpunan dana dan pengelolaan
dana akan tercipta dan lebih efektif. (Lihat Peran BWI dalam Pengembangan Wakaf Indonesia
http://sigitsoebroto.blogspot.com/2009/06/peran-bwi-Didownload tgl. 20 September 2009).

Indonesia harus mampu merespon persoalan-persoalan yang dihadapi


oleh masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Di
tingkat masyarakat, persoalan yang paling mendasar adalah kemiskinan,
baik dalam arti khsusus, yaitu seperti yang dicerminkan dengan tingkat
pendapatan masyarakat, maupun dalam arti luas, yang mencakup
aspek kesehatan, pendidikan atau pemenuhan hak-hak asasi pada
umumnya.
Untuk alternatif sumber dana, wakaf yang dikelola oleh sebuah
lembaga nasional seperti Badan Wakaf Indonesia misalnya, seharusnya
dapat dijadikan sumber dana potensial dalam mengatasi permasalahan
sosial seperti kemiskinan dan aspek permasalahan turunnya. Masalah
sosial kemasyarakatan tidak hanya menjadi tanggung jawab negara
semata saja sebagai sebuah institusi tertinggi dari penyelenggaraan
tata pemerintahan, namun menjadi persoalan bersama yang harus
diselesaikan dengan bersama-sama pula. Organisasi kemasyarakatan
yang berbasis Islam turut juga bertanggung jawab dengan membangun
gerakan sosial yang lebih realistis dalam mengatasi permasalahan
ini. Akses sumber daya wakaf patut juga diberikan dan dibuka secara
luas kepada organisasi-organisasi Islam dan non Islam yang berafiliasi
sosial agar masalah kemiskinan yang ada dapat teratasi. Peran Badan
Wakaf Indonesia menjadi semakin penting dalam memainkan perannya.
Tugas pokok seperti mengadministrasi sampai dengan pengelolaan
dana wakaf harus selaras dengan program yang telah dibuat. Acuan
waktu yang dipakai juga harus dapat di ukur seperti jangka pendek,
menengah dan panjang karena hal ini akan terkait dengan visi dan
misi organisasi yang di buat.
Dalam membiayai pembangunan dan pengentasan kemiskinan,
Badan Wakaf Indonesia bersama pemerintah juga dapat bersinergi
dalam rangka memanfaatkan sumber daya wakaf untuk kepentingan
bangsa. Potensi dana wakaf yang sangat besar dapat dikelola untuk
sumber pendanaan pemberdayaan ekonomi umat secara umum. Wakaf
sebenarnya juga dapat menjadi alternatif solusi bagi pendanaan
pembangunan negara jika dikelola dengan baik. Selama ini secara
konvensional dana pinjaman untuk pembiayaan utang negara diambil
dari utang luar negeri atau dalam negeri. Instrumen yang dipakai
pemerintah pun tidak jauh-jauh dari Surat Utang Negara, Penerbitan
65

ORI dan instrumen pinjaman modal lain yang pada intinya berusaha
menarik dana masyarakat untuk dipinjam oleh negara dalam rangka
membiayai pembangunan. Wakaf sebenarnya dapat memainkan peran
sebagai instrument pengganti jika dikelola dengan maksimal. Sayangnya
pengelolaan sumber dana wakaf ini masih kurang maksimal. Sehingga
untuk menuju kearah itu masih dibutuhkan waktu yang lama.
Lembaga wakaf nasional seperti Badan Wakaf Indonesia,
seharusnya sudah mulai dapat menjalin kerja sama dengan pihak
swasta dalam pengelolaan wakaf untuk produktifitas benda wakaf
yang dikelolanya. Aset wakaf yang ada dapat dibedakan secara kolektif
dengan swasta profesional untuk mengerjakan proyek-proyek yang
mengikutsertakan aset wakaf tersebut sebagai bagian utama kegiatan
usaha seperti di bidang pertanian.
Mencermati lebih lanjut mengenai faktor penyebab utama mengapa
potensi wakaf di Indonesia belum produktif, pada prinsipnya masalah
ini terletak di tangan Nazhir, selaku pemegang amanah dari Waqif
(orang yang berwakaf) untuk mengelola dan mengembangkan harta
wakaf. Artinya, pengelolaan harta wakaf belum dilakukan secara
profesional.
Dilihat dari cara pengelolaannya selama ini, ada tiga tipe Nazhir
di Indonesia. Pertama, dikelola secara tradisional. Harta wakaf masih
dikelola dan ditempatkan sebagai ajaran murni yang dimasukkan
dalam kategori ibadah semata. Seperti untuk kepentingan pembangunan
masjid, madrasah, mushala dan kuburan. Kedua, harta wakaf dikelola
semi profesional. Cara pengelolaannya masih tradisional, namun para
pengurus (nazhir) sudah mulai memahami untuk melakukan
pengembangan harta wakaf lebih produktif. Namun, tingkat kemampuan
dan manajerial nazhir masih terbatas. Ketiga, harta wakaf dikelola
secara profesional. Nazhir dituntut mampu memaksimalkan harta
wakaf untuk kepentingan yang lebih produktif dan dikelola secara
profesional dan mandiri.
Peran Badan Wakaf Indonesia (BWI), selaku lembaga independen
yang lahir berdasarkan amanat UU No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, memiliki tanggung jawab besar dalam memajukan dan
mengembangkan perwakafan di Indonesia (Pasal 47). Selain itu, Badan
66

Wakaf Indonesia juga bertanggung jawab dalam membina Nazhir


agar menjadi lebih profesional. Misalnya dengan menyelenggarakan
sejumlah pelatihan pengelolaan harta wakaf, menerbitkan buku-buku
wakaf dan lainnya. Apalagi, pengembangan wakaf kini di dukung
oleh UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 tersebut,
maka tidak ada alasan lagi bila pengelolaan dan pengembangan harta
wakaf di Indonesia tertinggal dengan negara-negara lain di dunia,
karena Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim
terbesar.
Di era otonomi daerah yang semakin menguat, potensi
pengembangan wakaf juga semakin besar jika disinergikan dengan
peraturan dan keinginan daerah. Tentunya hal ini akan menjadi hal
yang menarik karena otonomi daerah sangat memberikan peluang
bagi pengembangan dan pemberdayaan pengelolaan wakaf itu sendiri.
Pola pengembangan organisasi Badan Wakaf Indonesia sendiri sudah
harus mulai berorientasi kepada daerah dengan menyiapkan SDM
Nazhir di daerah agar lebih profesional. Fungsi-fungsi yang melekat
di tubuh Badan Wakaf Indonesia seperti fungsi motivator, fungsi
fasilitator, fungsi regulator, fungsi eduation, dan fungsi pendukung
lainnya harus selaras dan tidak over lapping dalam implementasinya.
Diperlukan sistem organisasi yang tanggap dengan tantangan zaman
dan perubahan yang dinamis di masyarakat dalam mengefektifkan
wakaf sebagai alternatif sumber daya untuk penciptaan kesejahteraan
sosial masyarakat.
Kalau diperhatikan lebih dalam selama ini masih banyak sumber
daya daerah yang belum dikelola dengan baik. Jika masing-masing
daerah yang memiliki sumber daya yang cukup memadai, bukan
tidak mungkin bahwa lembaga perwakafan dibentuk melalui peraturan
daerah (Perda) dan khusus mengatur tentang kemungkinan dan
kelayakan wakaf, baik yang menyangkut wakaf konvensional, wakaf
uang, dan bentuk wakaf lain. Sehingga persoalan wakaf tidak lagi
menjadi otoritas pemerintah pusat atau lembaga tertentu yang di
tunjuk pemerintah pusat, melainkan juga mejadi program produktif
masing-masing daerah yang akan membawa kemaslahatan bersama
bagi masyarakat daerah juga.
67

Untuk menjalankan semua rencana praktis di atas, maka peran


Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga pengelola harta (dana tunai)
wakaf nasional memerlukan sumber daya manusia yang baik sesuai
dengan merit system organisasi dan kecakapan ilmu yang dimiliki
dengan tugas dan tanggung jawab yang diembannya.
Peningkatan kualitas SDM pengelola wakaf seperti Nazhir
diperlukan karena sudah menjadi sebuah rahasia umum bahwa lembaga
keummatan selalu identik dengan ketidakprofesionalan, sehingga
lembaga keummatan termasuk lembaga wakaf bukan menjadi pilihan
awal tenaga kerja nomor satu. Lembaga ini selalu menjadi pilihan
nomor dua atau bahkan pilihan akhir ketika tidak ada perusahaan
atau lembaga lain yang menampungnya. Dan lebih parahnya adalah
menjadi tempat pembuangan SDM yang sudah tidak produktif. Sehingga
tidak salah apabila kinerja lembaga keummatan termasuk wakaf tidak
dapat tumbuh secara cepat, baik tumbuh dalam penghimpunannya
maupun pengelolaannya. Dan menjadi tugas bersama untuk
meningkatkan kualitas SDM lembaga wakaf ini, sehingga nantinya
tidak terdengar ada aset wakaf yang tidak dikelola, atau terdapat
aset wakaf yang hilang, diperebutkan dan lain sebagainya.
B. Aspek Sosial-Ekonomi Wakaf Uang
Posisi wakaf dalam khazanah ekonomi, dan hubungan wakaf
dengan upaya membentuk kesejahteraan yang didasarkan pada nilai
Islami perlu dijelaskan. Dasar hukum secara formal tentang wakaf
uang Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2006 tentang
Wakaf, dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Salah satu topiknya adalah wakaf uang yang diatur guna meningkatkan
fungsi-fungsi wakaf agar dapat memenuhi kebutuhan semua yang
berhak menerima manfaatnya. Dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut,
berarti wakaf telah berfungsi untuk mensejahterakan masyarakat.
1.

Latar Belakang dan Bentuk Kegiatan Ekonomi


Para ahli ekonomi berpendapat bahwa scarcity (kelangkaan
atau kekurangan) dan ketidakseimbangan sebagai sebab terjadinya
kegiatan ekonomi. Kelangkaan dan kekurangan terjadi karena

68

ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan faktorfaktor produksi yang tersedia di masyarakat.47
Kebutuhan masyarakat adalah keinginan masyarakat untuk
memperoleh barang (fisik) dan jasa (layanan). Keinginan
masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dapat dibedakan
menjadi dua: a) keinginan yang disertai kemampuan untuk membeli
(disebut permintaan efektif); dan b) keinginan yang tidak disertai
kemampuan untuk membeli.48
Barang dapat dibedakan dari banyak sudut pandang. Dari
segi cara perolehannya, barang dibedakan menjadi dua: a) barang
ekonomi, yaitu barang yang diperoleh melalui usaha tertentu;
dan b) barang cuma-cuma, yaitu barang yang dinikmati tanpa
melalui kegiatan produksi. Dari segi penggunaan, barang dibedakan
menjadi: a) barang konsumsi; dan b) barang modal (seperti mesin).
Dari segi proses, barang dibedakan menjadi: a) barang jadi (seperti
roti), b) barang setengah jadi (seperti tepung), dan c) barang
mentah (seperti singkong). Dari segi kepentingannya, barang
dibedakan menjadi: a) barang inferior (pelengkap), dan b) barang
esensial (pokok); serta a) barang biasa (normal), dan b) barang
mewah.49
Dari segi hukum, barang dibedakan dari beberapa segi: barang
(benda) bergerak dan tidak bergerak; dan barang terdaftar dan
tidak terdaftar. Di samping itu, dalam konteks wakaf, benda
dapat dibedakan menjadi benda yang habis sekali pakai (konsumtif)
dan benda yang tidak habis satu kali pakai.
Dari segi latar belakang ekonomi dapat diketahui bahwa
latar belakang ekonomi adalah kelangkaan atau kekurangan sebagai
akibat dari kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dan faktorfaktor produksi. Oleh karena itu, umat Islam Indonesia yang
telah mendorong pemerintah untuk membentuk peraturan mengenai
wakaf perlu kiranya melakukan identifikasi: pertama, kebutuhan
47

48
49

Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi: Teori Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, cet.
ke-3, hlm. 4-5.
Ibid, hlm. 5.
Ibid, hlm. 5-6.

69

apa yang diharapkan oleh masyarakat yang berkaitan dengan


pendayagunaan benda-benda wakaf; dan kedua, faktor-faktor
apa saja yang diperlukan dalam rangka menjadikan benda wakaf
mempunyai fungsi (terutama fungsi sosial). Pertanyaan pertama
berhubungan dengan kepuasan (kesejahteraan) dan pertanyaan
kedua berkaitan dengan faktor produksi.
Ekonomi (economic) pada hakikatnya adalah segala aktivitas
yang berkaitan dengan produksi dan distribusi (yang berupa
barang dan jasa yang bersifat material) di antara orang-orang.
Rahardjo melengkapi definisi tersebut dengan menginformasikan
pengertian ekonomi yang lebih lengkap yang dikutip dari buku
The Pinguin Dictionary of Economics, dengan menjelaskan bahwa
ekonomi adalah kajian tentang produksi, distribusi, dan konsumsi
kekayaan dalam masyarakat manusia. Rahardjo menjelaskan bahwa
definisi yang terdapat dalam buku tersebut lebih lengkap karena
menjelaskan objek ekonomi (yaitu kekayaan) dan aspek konsumsi
(sebagai kegiatan ekonomi).50 Sementara Boediono menjelaskan
bahwa manusia melakukan tiga kegiatan pokok dalam ekonomi:
produksi, konsumsi, dan pertukaran.51
Secara sederhana, kiranya dapat dipahami bahwa: a) kegiatan
ekonomi dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
manusia, terutama kebutuhan yang bersifat material; b) dalam
ekonomi terdapat tiga aspek kegiatan: produksi, distribusi, dan
konsumsi; dan c) dalam ekonomi terkandung ajaran mengenai
kesejahteraan, terutama kesejahteraan material.
Kajian dan pembahasan mengenai wakaf uang tidak bisa
lepas dari tiga hal tadi, yaitu aspek produksi, distribusi, dan
konsumsi. Akan tetapi, Muhammad (pakar ekonomi Islam)
menjelaskan bahwa pengertian ekonomi seperti dijelaskan oleh
para ahli tidak dapat menjelaskan mengenai sebab-sebab riba
diharamkan;52 oleh karena itu, mengerti ekonomi dalam rangka
50

51
52

70

M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Lembaga Studi Agama dan Filsafat,
Jakarta, 1999, cet. ke-1, hlm. 5-6.
Boediono, Ekonom Mikro, BPFE, Yogyakarta, 1982, cet. ke-1, hlm. 1.
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE, Yogyakarta 2004, cet. ke-1, hlm. 3.

mengkaji posisi wakaf uang tidaklah cukup, tapi harus mengerti


pula ekonomi yang terbebas dari riba, yaitu ekonomi syariah
atau ekonomi Islam.
Dalam rangka menjelaskan konsep dan definisi ekonomi Islam,
Rahardjo menawarkan tiga kemungkinan dari makna ekonomi
Islam: pertama, ekonomi Islam yang dimaksud adalah ilmu
ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai atau ajaran Islam; kedua,
ekonomi Islam yang dimaksud adalah sistem ekonomi; dan
ketiga, ekonomi Islam yang dimaksud adalah perkenonomian
negara-negara Islam.53
Pengertian ekonomi Islam dalam arti ilmu ekonomi telah
dijelaskan oleh Hasanuzzaman dan M. Akram Khan.
Hasanuzzaman menjelaskan bahwa ekonomi Islam adalah
pengetahuan dan penerapan hukum syariah untuk mencegah
terjadinya ketidakadilan atas pemanfaatan sumber-sumber material untuk memberikan kepuasan (pada manusia) dan di lakukan
dalam rangka menjalankan kewajiban kepada Allah dan masyarakat;
dan Khan juga menjelaskan bahwa ekonomi Islam bertujuan
untuk mempelajari keunggulan manusia yang dicapai melalui
pengorganisasian sumber daya alam yang didasarkan pada kerja
sama dan partisipasi.54
Ekonomi Islam dalam artian sistem ekonomi merupakan
pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara
dengan suatu cara dan metode tertentu. Sedangkan ekonomi Islam
dalam artian pekonomian negara-negara Islam pada dasarnya
merupakan kegiatan untuk mengembangkan teori-teori ekonomi
Islam dan disertai dengan memberikan bantuan kepada masyarakat
Muslim dalam bentuk pembiayaan dan sumbangan (grant).55
Dengan pengertian yang demikian, menempatkan wakaf uang
dalam dimensi ekonomi berarti menjadikan wakaf uang sebagai
media untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui jalur produksi,
distribusi, dan konsumsi. Dari segi objek, benda wakaf yang
53
54
55

M. Dawam Rahardjo, op. cit., hlm. 3-4.


Muhammad, op. cit., hlm. 6-7.
M. Dawam Rahardjo, op. cit., hlm. 4.

71

berupa uang dapat ditempatkan pada jalur produksi, distribusi,


dan konsumsi yang secara normatif telah ditentukan hukumnya
dalam Quran (secara implisit), sunah, fikih, fatwa, dan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan dari segi penerima manfaat wakaf,
sektor konsumsi berkaitan dengan kebutuhan dan kepuasan
(kesejahteraan) masyarakat muslim.
2.

Parameter Kesejahteraan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
dibentuk dalam rangka mengisi semangat pembukaan UndangUndang Dasar 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum.56
Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tidak
terdapat bab (pasal-pasal) yang menjelaskan kesejahteraan umum
yang dimaksud oleh para penyusun undang-undang tersebut.
Sementara dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil
amandemen ke-4 terdapat bab perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial (bukan kesejahteraan umum). Ketentuanketentuan yang menyangkut kesejahteraan sosial adalah: a)
perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
b) fakir miskin dan anak-anak yang terlantar di pelihara oleh
negara; c) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; dan d) negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanaan kesehatan
dan fasilitas pelayanan umum yang layak.57
Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum
amandemen), dikatakan bahwa demokrasi ekonomi yang maksud
adalah bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di

56

57

72

Tujuan pembentukan Negara Indonesia yang dijelaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 adalah: (1) melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan
kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Undang-Undang Dasar 1945 (Hasil Amandemen ke-4), Pasal 33, (4), dan 34 ayat (1)-(3).

bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.


Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang-seorang. Oleh karena itu, perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangunan
perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Di samping
itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hidup orang banyak harus di kuasai oleh negara.
Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang
berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan
yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh di
tangan orang-perorang. Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.
Sebab itu, ia harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.58
Ekonomi dan kegiatannya lebih berdimensi fisikal; oleh karena
itu, jumlah kekayaan yang dimiliki oleh orang/kelompok/badan
usaha tertentu sering kali dijadikan ukuran untuk menentukan
orang/kelompok/badan usaha termasuk pada kelompok sangat
kaya, kaya, sedang/biasa, miskin, atau sangat miskin (barang
kali sama dengan kemakmuran). Sedangkan kesejahteraan tidak
bisa diukur dengan parameter fisikal semata. Dalam ilmu ekonomi
disinggung secara sepintas lalu mengenai kesejahteraan (lawan
dari kemiskinan). Penjelasan yang agak luas mengenai kesejahteraan
(dan kemiskinan) biasanya terdapat dalam buku-buku sosiologi.
Daud Ali dan Habibah Daud menjelaskan bahwa kesejahteraan
secara bahasa berarti keamanan dan keselamatan hidup.59 Secara
bahasa, sejahtera adalah lawan kata dari miskin. Orang miskin
berarti tidak sejahtera; dan sebaliknya, orang yang sejahtera
berarti tidak miskin. Kesejahteraan (=kepuasan) adalah tujuan
ekonomi; dan sebaliknya, kemiskinan adalah masalah ekonomi.60
Selanjutnya, Ali dan Daud menjelaskan bahwa yang dimaksud
58
59

60

Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 33 & 34.
Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1995, cet. ke-1, hlm. 275.
M. Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Usaha Nasional, Surabaya: t.th, hlm.
128.

73

dengan sejahtera adalah keadaan hidup manusia yang aman dan


tenteram serta dapat memenuhi kebutuhan hidup.61 Sebaliknya,
suatu keadaan hidup yang tidak aman dan tidak dapat memenuhi
kebutuhan disebut miskin.62
Dalam ilmu sosial telah digagas mengenai tolok ukur
kemiskinan. Tolok ukur yang umum dipakai dalam menentukan
kesejahteraan (tidak miskin) adalah tingkat pendapatan perwaktu
kerja. Tolok ukur yang lain adalah kebutuhan relatif setiap
keluarga, yang batasan-batasannya dibuat berdasarkan kebutuhan
minimum yang harus dipenuhi guna melangsungkan hidup secara
layak. Di Indonesia, pernah disusun dua tolok ukur dalam
menentukan kemiskinan: pertama, keluarga akan digolongkan
sebagai kelompok miskin jika penghasilannya Rp 30.000 perbulan
atau lebih rendah; dan kedua, konsumsi beras sebagai tolok
ukur; batas minimum kemiskinan adalah keluarga yang makan
kurang dari 320 kg beras di desa atau 420 kg di kota pertahunnya.63
Sementara Mubyarto menginformasikan bahwa batas miskin adalah
pemenuhan kebutuhan pangan yang kurang dari 1.700 kalori
perhari.64
Dalam Islam terdapat dua konsep untuk menjelaskan
ketidakberdayaan secara ekonomi: fakir dan miskin. Ali dan Daud
menjelaskan bahwa tujuan mendirikan negara dalam Islam adalah
menciptakan masyarakat yang sejahtera; tujuan tersebut tidak
akan tercapai jika penduduknya hidup dalam keadaan miskin.
Oleh karena itu, kemiskinan harus dikurangi, bahkan dihilangkan
kalau bisa. Dalam Quran dijumpai kata fakir dan miskin; tetapi
maknanya tidak dijelaskan dengan pasti; oleh karena itu, ulama
berijtihad untuk menjelaskan dua term tersebut. Dari segi
kepemilikan materi, antara fakir dan miskin memiliki parameter
61
62

63
64

74

Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, op. cit., hlm. 275.
Parsudi Suparlan, Kemiskinan, dalam A. W. Widjaya (ed.), Manusia Indonesia, Individu, Keluarga,
dan Masyarakat: Topik-topik Kumpulan Bahan Bacaan Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar, Akademika
Pressindo, Jakarta, 1986, hlm. 129.
Ibid., hlm. 130.
Mubyarto, Etika Keadilan Sosial dalam Islam, dalam Mubyarto, dkk., Islam dan Kemiskinan,
Pustaka, Bandung, 1988, hlm. 1. Mubyarto tidak menginformasikan jumlahnya: apakah 1.700
kalori itu perorang atau perkeluarga.

yang sama, yaitu orang yang hidup dalam keadaan tidak memiliki
harta yang cukup untuk memenuhi keperluannya sehari-hari.
Oleh karena itu, mereka memerlukan pertolongan orang lain.
Akan tetapi, sikap orang yang hidup dalam keadaan tidak memiliki
harta yang cukup untuk memenuhi keperluannya sehari-hari dapat
dibedakan menjadi dua: a) ada yang bersifat sahaja dengan tidak
meminta-minta meskipun memerlukan pertolongan, mereka disebut
fakir; dan b) ada yang meminta-minta karena memerlukan
pertolongan, mereka disebut miskin. Oleh karena itu, Imam alSyafii berpendapat bahwa keadaan fakir lebih buruk daripada
miskin.65
Dalam pandangan Mubyarto, kesejahteraan adalah perasaan
hidup senang dan tenteram, tidak kurang apa-apa dalam batasbatas yang mungkin dicapai oleh orang perorang. Selajutnya
Mubyarto menjelaskan bahwa orang yang hidupnya sejahtera
adalah: a) orang yang tercukupi sandang pangannya, pakaian
dan rumah yang nyaman (betah) ditempati (tempat tinggal); b)
kesehatannya terpelihara; dan c) anak-anaknya dapat memperoleh
pendidikan yang layak. Di samping itu, Mubyarto juga menjelaskan
bahwa kesejahteraan mencakup juga unsur batin yang berupa
perasaan diperlakukan adil dalam kehidupan.66
Kesejahteraan pada dasarnya berawal dari kebutuhan. Para
ahli berbeda-beda dalam merumuskan dan menjelaskan komponenkomponen kebutuhan. Imam Masykoer Alie (ket.) menjelaskan
bahwa kebutuhan manusia dikelompokkan menjadi tiga: a)
kebutuhan vital biologis atau jasmani (berupa pakaian, makanan,
perumahan, dan kesehatan); b) kebutuhan rohani (berupa agama
dan moral); dan c) kebutuhan sosial kultural (berupa pergaulan
dan kebudayaan).67
Sedangkan KH. Ali Yafi menjelaskan bahwa komponen biaya
hidup sejahtera mencakup: a) makanan pokok beserta lauk-pauknya
65
66
67

Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, op. cit., hlm. 278.
Mubyarto, op. cit., hlm. 1.
Imam Masykoer Alie (ket.), Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Sakinah, Departemen Agama RI,
Jakarta, 2001, hlm. 286.

75

(termasuk biaya pengolahannya sehingga berwujud makanan jadi);


b) pakaian yang dibutuhkan pada tiap musim (termasuk biaya
penyiapannya); c) tempat tinggal yang menjamin keamanan
penghuninya; d) perawatan kesehatan (upah dokter dan harga
obat); e) pendidikan dan pengajaran yang dibutuhkan; f) pelayanan
khusus bagi yang sudah udzur seperti manusia lansia; dan g)
pembinaan rumah tangga bagi yang memerlukannya.68
Dalam rangka menciptakan kehidupan yang sejahtera,
Mubyarto menyarankan dua hal: pertama, mengurangi kesenjangan
sosial antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat;
dan kedua, memberikan bantuan kepada masyarakat miskin agar
mereka dapat meningkatkan kualitas hidupnya secara lahir dan
batin.69
Benar apa yang telah digagas oleh ulama mengenai
kesejahteraan; kesejahteraan tidak hanya menyangkut aspek
kegiatan ekonomi secara fisik, tetapi mencakup aspek psikologis.
Dalam ilmu ekonomi, kepuasan didefinisikan sebagai titik temu
(baca: arsir) antara harapan dengan kenyataan. Semakin besar
titik temu antara harapan dengan kenyataan, maka dipastikan
bahwa tingkat kepuasannya semakin tinggi (=semakin sejahtera);
sebaliknya, semakin kecil titik temu antara harapan dengan
kenyataan, maka dipastikan bahwa tingkat kepuasannya semakin
rendah (=semakin tidak sejahtera). Oleh karena itu, Ali Fikri
dalam kitabnya, Muamalat al-Madiyah wa al-Adabiyah
menjelaskan secara implisit bahwa kesejahteraan adalah titik
temu antara usaha/kerja secara fisik (madiyah) dengan sikap
mental (adabiyah) yang antara lain berupa sikap ridha, sabar,
dan qanaah.
3.

Pengertian dan Jenis Uang


Uang adalah nyawa perekonomian; produksi barang dan
jasa, pertukaran barang dan jasa, dan pembagian pendapatan
serta konsumsi akan lancar dengan perantara uang. Para ahli

68

69

76

KH Ali Yafie, Menggagas Fikih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah,
Mizan, Bandung, 1994, cet. ke-1, hlm. 171.
Mubyarto, op. cit., hlm. 3.

menjelaskan bahwa uang adalah sesuatu yang secara umum diterima


guna pembayaran barang dan jasa; dan berfungsi sebagai kekayaan
bagi pemiliknya.70
Sesuatu yang dianggap uang memiliki enam kriteria: a)
penerimaan dan dapat diketahui; b) stabilitas nilai; c) keseimbangan;
d) kemudahan; e) terjaga fisiknya; dan f) pemantapan transaksi.
Pertama, persyaratan utama uang adalah dapat diketahui dan
diterima secara umum (acceptability and cognizability); uang
diketahui dan diterima secara umum sebagai alat tukar, penimbun
kekayaan, dan standar pembayaran utang. Uang diterima secara
luas karena manfaatnya, yaitu untuk ditukar dengan barang dan
jasa.71
Kedua, uang dapat diterima secara umum jika nilainya stabil
atau fluktuasi/turun-naik nilanya kecil (stability of value); sebab
jika fluktusai nilai uang terjadi dengan tajam, maka masyarakat
umum tidak akan menggunakannya sebagai alat tukar, penimbun
kekayaan, dan standar pembayaran utang. Mereka akan memilih
mata uang lain yang fluktuasi nilainya kecil.72
Ketiga, Bank Sentral sebagai pihak penerbit uang harus mampu
membaca perkembangan perekonomian: jumlah uang yang
beredar harus mencukupi kebutuhan dunia usaha; sebaliknya,
bank sentral segera menarik uang yang beredar jika uang yang
beredar terlalu banyak dibandingkan dengan kegiatan usaha. Jadi,
bank sentral wajib menjamin keseimbangan antara uang yang
beredar dengan kegiatan usaha yang dilakukan (elasticity of
suplly).73
Keempat, uang mudah dibawa (portability) untuk dijadikan alat
tukar dan standar pembayaran barang dan jasa. Transaksi dengan
jumlah besar dapat dilakukan dengan uang dalam jumlah (fisik)
yang kecil karena nilai nominalnya besar.74
70

71
72
73
74

Iswandono Sardjonpermono, Uang dan Bank (Yogyakarta: BPFE-UGM. T.th), hlm. 1-2; lihat juga
Asfia Murni, Ekonomika Makro (Bandung: Reflika Aditama. 2006), cet. ke-1, hlm. 153-154.
Iswandono Sardjonpermono, loc. cit.
Ibid.
Ibid., hlm. 3.
Ibid.

77

Kelima, uang digunakan dan dipindahkan dari tangan yang satu


ke tangan yang lain karena dijadikan alat tukar dan pembayaran
barang dan jasa; oleh karena itu, fisik uang berpotensi untuk
rusak. Setiap orang wajib menjaga fisik uang (durability);
kerusakan fisik uang akan menyebabkan penurunan kegunaan
moneter uang tersebut.75
Keenam, uang digunakan untuk memantapkan transaksi dalam
berbagai jumlah (divisibility); karena itu, uang dengan berbagai
nominal (satuan/unit) harus dicetak untuk melancarkan transaksi
jual-beli. 76
Hubungan uang dengan barang dibangun dengan tesis
berbanding terbalik. Jika nilai barang dan jasa naik, maka
nilai uang turun (inflasi); sebaliknya, jika nilai barang dan jasa
turun, maka nilai uang naik (deflasi).77
Jenis uang dibedakan dari dua segi: a) dari segi bahan
pembuatan; dan b) dari segi nilai. Dari segi bahan (material),
uang dibedakan menjadi dua: a) uang logam; dan b) uang kertas.
Sedangkan dari segi nilai, uang juga dibedakan menjadi dua: a)
uang yang bernilai penuh (full bodied money); dan b) uang yang
tidak bernilai penuh (representative full bodied money) atau
uang bertanda. 78
Bahan/material uang logam adalah emas, perak, dan perunggu.
Sedangkan bahan uang kertas adalah kertas itu sendiri. Uang
kertas ditinjau dari sudut pihak yang mengeluarkannya dibedakan
75
76
77

78

78

Ibid.
Ibid., hlm. 4.
Lihat juga Ace Partadireja, Pengantar Ekonomika, BPFE, Yogyakarta, 1990, cet. ke-4, hlm. 132142. Membandingkan nilai uang dengan harga barang secara terbalik bukan satu-satunya pendekatan
dalam menentukan inflasi. Paling tidak, inflasi dibedakan menjadi tiga: 1) inflasi permintaan (demand-pull inflation); 2) inflasi penawaran (supply inflation); dan 3) inflasi campuran (mixed
inflation). Lihat Soediyono Reksoprayitno, Ekonomi Makro: Analisis IS-LM dan PermintaanPenawaran Aagregatip, Liberty, Yogyakarta, 1985, cet. ke-3, hlm. 188-204.
Iswandono Sardjonpermono, op. cit., hlm. 9; Robertson menjelaskan bahwa uang dapat dikelompokan
menjadi: 1) uang bank dan uang biasa; uang biasa berfungsi sebagai: a) alat pembayaran yang sah/
legal tender; b) uang bebas/optional; dan c) uang tambahan/subsidiary; 2) alat pembayaran yang
sah mencakup uang konvertibel dan uang definitif; dan 3) uang konvertibel, uang definitive, uang
dan uang bebas mencakup uang tanda dan uang penuh. Lihat Sir Denis Robertson, Uang, terj.
Gusti Ngurah Gedhe, Bhratara, Jakarta, 1963, hlm. 47.

menjadi dua: 1) uang kartal (currencies); yaitu uang yang


dikeluarkan oleh pemerintah dan atau bank sentral; dan 2) uang
giral (deposit money); yaitu uang yang dikeluarkan oleh bank
umum.79
Dari segi nilai, yang dimaksud dengan uang yang bernilai
penuh (full bodied money) adalah uang yang nilai yang
dikandungnya sama dengan nilai nominalnya (intrinsik).80 Uang
yang bernilai penuh berarti uang yang nilainya sebagai suatu
barang untuk tujuan-tujuan yang bersifat moneter sama besarnya
dengan nilainya sebagai barang biasa (nonmoneter). Uang yang
bernilai penuh hanya ada/timbul pada uang logam: emas, perak,
atau perunggu. Pembuatan uang logam dilakukan dengan parameter:
1) uang dapat digeser dari penggunaan moneter ke penggunaan
yang nonmoneter; dan 2) masing-masing individu bebas untuk
melebur atau menempa logam menjadi uang atau sebaliknya
tanpa biaya yang berarti.81
Sedangkan yang di maksud dengan uang yang tidak bernilai
penuh (representative full bodied money) adalah uang yang nilai
intrinsiknya lebih kecil dari pada nilai nominalnya; uang yang
tidak bernilai penuh tidak mempunyai nilai yang berarti sebagai
barang nonmoneter; tetapi uang ini dalam peredaran mewakili
sejumlah logam tertentu dengan nilai yang sama besarnya dengan
nilai nominal uangnya. Sementara uang kertas yang beredar saat
ini, tidak mewakili sejumlah (seberat) logam tertentu yang disimpan
di bank sentral; karena itu, uang yang tidak bernilai penuh tidak
dapat ditukarkan dengan seberat logam tertentu di bank.82
Penggunaan uang kertas yang tidak bernilai penuh sangat
bermanfaat karena: 1) membawa uang logam dalam jumlah besar
merupakan beban yang berat; dan 2) transaksi yang terjadi antara
para pihak yang tinggal di daerah yang berjauhan, memerlukan
79
80

81
82

Iswandono Sardjonpermono, loc. cit.


Sekarang, jelas jelas Stonier dan Hague, uang logam yang bernilai penuh hampir tidak ada lagi.
Lihat Alfred W. Stonier dan Douglas C. Hague, Dasar-dasar Aanalisa Ekonomi Makro, disadur
oleh Winardi, Tarsito, Bandung, 1975, hlm. 8.
Iswandono Sardjonpermono, op. cit., hlm. 10.
Ibid., hlm. 10.

79

biaya transport yang besar ditambah risiko di jalan. Dalam


perkembangannya, uang kertas pun dirasa kurang memiliki aspek
portability (kemudahan untuk dibawa); oleh karena itu, uang
giral (giro, rekening koran, dan check) digunakan sebagai alat
pembayaran yang dinamis; karena sejumlah uang yang diperlukan
dalam transaksi ditulis pada uang giral dan penerimanya tinggal
menukarkannya ke bank; serta risiko di perjalanan tidak sebesar
uang kertas biasa.83
Penggunaan uang giral bergantung pada tingkat perekonomian
negara dan tingkat kepercayaan masyarakat pada jasa bank.
Semakin maju perekonomian negara (tingkat monetisasinya tinggi),
semakin banyak penggunaan uang giral; semakin tinggi tingkat
kepercayaan masyarakat pada bank, semakin besar juga
penggunaan uang giral dalam penyelesaian transaksinya.84
Hal lain yang berhubungan dengan pembahasan uang adalah
standar moneter. Standar moneter adalah sistem moneter yang
didasarkan atas standar nilai dari uang; termasuk di dalamnya:
a) peraturan tentang ciri dan sifat uang; b) pengaturan tentang
jumlah uang yang beredar; c) ekspor-impor logam mulia; dan d)
fasilitas bank dalam ekspansi demand deposit.85
Standar moneter dibedakan menjadi dua: a) standar barang
(commodity standard); dan b) standar kepercayaan (fiat standard).
Standar barang adalah sistem moneter yang menetapkan bahwa
nilai uang dijamin sama besar dengan berat logam (emas dan
perak) tertentu yang disimpan di bank sentral. Standar barang
diklasifikasi menjadi: a) standar emas (the gold standard), b)
standar perak (the silver standard), dan c) standar kembar (emas
dan perak).86
83
84

85
86

80

Ibid., hlm. 10-11.


Ibid., hlm. 11. Boediono juga memperkenalkan macam-macam uang, antara lain: narrow money,
broad money, uang kartal, uang giral, uang inti (reserve money), dan uang pelipat (money
multiplier). Lihat Boediono, Ekonomi Makro (Yogyakarta: BPFE. 1999), cet. ke-19, hlm. 105106.
Iswandono Sardjonpermono, op. cit., hlm. 15.
Jika suatu negara hanya menggunakan satu standar dalam sistem moneternya, negara tersebut
menganut mono metallism standard; sedangkan jika suatu negara menggunakan dua logam sebagai
standar moneternya, negara tersebut menganut bemetallism standard. Lihat Iswandono Sardjonpermono,
op. cit., hlm. 15.

Standar kepercayaan (fiat standard) diartikan sebagai sistem


moneter yang menetapkan bahwa nilai uang tidak dijamin dengan
logam seberat tertentu di bank sentral; hanya atas dasar
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan atau bank sentral,
masyarakat menerima uang tersebut sebagai alat pembayaran
yang sah.87
Uang rupiah yang sekarang digunakan sebagai alat
pembayaran yang sah adalah uang yang menggunakan standar
kepercayaan; oleh karena itu, keberadaannya tidak ekuivalen
dengan simpan emas dan perak dalam jumlah berat tertentu
yang disimpan di bank sentral; hanya atas dasar kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah/bank sentral, masyarakat
menerima uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.
4.

Fatwa MUI tentang Wakaf Uang


Uang menempati posisi penting dalam kegiatan transaksi
ekonomi di berbagai negara di dunia; karena uang sekarang
tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar; tetapi sudah dianggap
sebagai benda meskipun terjadi silang pendapat di antara pakar
fikih yang dapat diperdagangkan. Oleh karena itu, ulama di
Pakistan sudah membolehkan adanya wakaf uang dengan istilah
cash wakaf, waqf al-nuqd yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi wakaf tunai.
Kedudukan uang sangat unik; di satu sisi hanyalah
berkedudukan sebagai alat tukar; sedangakn di sisi lain, uang
dapat dijadikan ukuran kekayaan. Oleh karena itu, wajarlah jika
al-Sayyid Sabiq menyatakan bahwa uang tidak dapat dijadikan
objek wakaf. Meski demikian, ulama banyak juga yang
membolehkan uang dijadikan objek wakaf.88
Sejumlah kyai telah mempraktikkan gagasan ini dengan cara
melelang tanah yang akan dibeli untuk mengembangkan pesantren
yang diasuhnya dengan cara menghargakan tanah permeternya
sehingga wakif dapat membayar tanah tersebut sesuai dengan

87
88

Ibid., hlm. 16.


Lihat antara lain Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan
Perkembangannya, Yayasan Piara, Bandung, 1993, hlm. 13.

81

kemampuannya melalui nomor rekening bank yang sudah disiapkan


oleh panitia.89 Meskipun akad yang dilakukan adalah wakaf tanah;
akan tetapi, praktiknya, yang diberikan oleh wakif adalah uang.90
Tetapi, praktik tersebut hakikatnya adalah wakaf tanah, bukan
wakaf uang.
Pada tanggal 11 Mei 2002 (28 Shafar 1423 H), Komisi
Fatwa Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang
wakaf uang. Fatwa tersebut ditandatangani oleh KH. Maruf
Amin (Ketua) dan Hasanudin (Sekretaris). Dalam fatwa Majlis
Ulama Indonesia tentang wakaf dijelaskan definisi wakaf yang
dikutif dari kitab Nihyat al-Muhtj il Syarh al-Minhj karya
al-Ramli, kitab Mugn al-Muhtj karya al-Khathib al-Syarbini,
dan Buku III Kompilasi Hukum Islam, Pasal 215, ayat (1).
Di samping definisi wakaf, dalam fatwa Majlis Ulama
Indonesia juga terdapat batasan benda wakaf yang dikutif dari
Buku III Kompilasi Hukum Islam, Pasal 215, ayat (4). Benda
wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak bergerak,
yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan
bernilai menurut ajaran Islam.
Pertimbangan fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang wakaf
uang adalah: pertama, QS. Ali Imran (3): 92 tentang perintah
agar manusia menyedekahkan sebagian harta yang dicintainya;
kedua, QS. al-Baqarah (2): 261-262 tentang balasan yang berlipat
ganda bagi orang yang menyedekahkan hartanya di jalan Allah
dengan ikhlas; dan pelakunya dijamin akan terhindar dari rasa
khawatir (takut) dan sedih; ketiga, hadits Nabi saw., yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, al-Turmudzi, al-Nasai, dan
Abu Daud tentang perbuatan yang senantiasa mengalir pahalanya
mesikupun pelakunya telah meninggal dunia; keempat, hadits
yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, dan yang lainnya
89

90

82

Wawancara di Bandung dengan pengelola Dompet Duafa Bandung. Berdasarkan informasi lisan,
hal tersebut juga terjadi di Depok dan beberapa tempat lainnya.
Salah satu penelitian mengenai praktik wakaf uang dilakukan oleh Suci Zuharni. Lihat Suci Zuharni,
Pengaruh Implementasi Wakaf Uang terhadap Pendapatan Masyarakat: Kajian pada Pondok
Modern Gontor, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Program Pascasarjana IAIN [sekarang UIN]
SGD, Bandung, 2004, t.d.

tentang wakaf tanah yang dilakukan oleh Umar Ibn Khaththab


ra; dan kelima, qawl (pendapat) Jabir ra. yang menyatakan
bahwa para sahabat Nabi saw., mewakafkan sebagian harta yang
dimilikinya.
Selanjutnya, dalam pertimbangan fatwa tentang uang juga
dikutip tiga pendapat ulama klasik yang relevan dengan wakaf
uang: pertama, penadapat imam al-Zuhri (w. 124 H) yang
menyatakan bahwa hukum mewakafkan dinar adalah boleh
(mubh);91 kedua, pendapat ulama Hanafiah yang membolehkan
wakaf dinar dan dirham atas dasar istihsn bi al-urf;92 dan
ketiga, pendapat sebagian ulama madzhab Syafii yang diceritakan
oleh Abu Tsaur tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham.93
Tiga pendapat tersebut dibahas dalam rapat Komisi Fatwa
tanggal 23 Maret 2002; dan pada akhirnya, Komisis Fatwa Majlis
Ulama Indonesia pada tanggal 11 Mei 2002 merumuskan definisi
wakaf sebagai berikut: penahanan harta yang dapat di manfaatkan
tanpa hilang benda atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan
tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, menghibahkan,
atau mewariskannya), untuk digunakan (hasilnya) pada sesuatu
yang dibolehkan (tidak haram).
Dalam rapat Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia juga
dipertimbangkan Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf
Departemen Agama Nomor Dt.1.III/5/BA.03.2/2772/2002
tertanggal 26 April 2002.
Setelah mempertimbangkan Quran, hadits, dan pendapat
ulama, akhirnya Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia menetapkan
bahwa: a) wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan oleh seseorang
atau badan hukum dalam bentuk uang tunai; b) termasuk dalam
uang adalah surat-surat berharga; c) wakaf uang hanya boleh
disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara
91

92
93

Abu Suud Muhammad, Risalah fi Jawaz Waqf al-Nuqud, Dar Ibn Hazm, Beirut, 1977, hlm. 2021.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fikih al-Islami, Dar al-Fikr, Beirut2006, juz VIII, hlm. 162.
Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir Dar al-Fikr, Beirut, 1994, juz IX, hlm. 379.

83

syar; dan d) nilai pokok uang harus dijamin kelestariannya,


tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Demikian landasan dibolehkannya wakaf uang sebelum diatur
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Dari segi fungsi, wakaf uang yang dikelola oleh para nazhir
yang profesional, seperti pandangan Uswatun Hasanah, Wakil
Ketua Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum
Uiniversitas Indonesia, dapat digunakan untuk mengatasi masalah
kemiskinan.94
5.

Pengaturan Wakaf Uang


Wakaf benda bergerak berupa uang diatur secara khusus
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. Ketentuan
mengenai wakaf uang adalah: a) wakif dibolehkan mewakafkan
benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah
yang ditunjuk oleh menteri;95 b) wakaf uang dilaksanakan oleh
wakif dengan pernyataan kehendak wakif yang dilakukan secara
tertulis;96 c) wakaf ditebitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang;97
d) sertifikat wakaf uang ditebitkan dan disampaikan oleh Lembaga
Keuangan Syariah kepada wakif dan nazhir sebagai bukti
penyerahan harta dengan cara wakaf;98 dan e) Lembaga Keuangan
Syariah atas nama nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa
uang kepada Menteri Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak diterbitkannya sertifikat wakaf uang.99
Ketentuan mengenai wakaf uang adalah: 1) jenis harta
yang diserahkan wakif dalam wakaf uang adalah uang dalam
valuta rupiah; oleh karena itu, dalam hal uang yang akan
diwakafkan masih dalam valuta asing, harus dikonversi terlebih
dahulu ke dalam rupiah;100 dan 2) wakaf benda bergerak berupa
uang dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah yang ditunjuk

94
95
96
97
98
99
100

84

Uswatun Hasanah, Wakaf Uang, dalam Republika, 28 Juli 2005, hlm. 15.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 28.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 29, ayat (1).
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 29, ayat (2).
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 29, ayat (3).
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 30.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 22, ayat (1) dan (2).

oleh Menteri Agama sebagai LKS-Penerima Wakaf Uang (LKSPWU).101


Adapun aturan teknis yang menyangkut wakaf uang adalah
bahwa wakif wajib: a) hadir di Lembaga Keuangan Syariah
sebagai penerima wakaf uang (LKS-PWU) untuk menyatakan
kehendak wakaf uangnya;102 bila berhalangan, wakif dapat
menunjuk wakil atau kuasanya;103 b) menjelaskan kepemilikan
dan asal-usul uang yang akan diwakafkan; c) menyerakahkan
secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU; dan d) mengisi formulir
pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai AIW.104
Wakaf uang dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu
(muaqqat); uang yang diwakafkan harus dijadikan modal usaha
(ras al-mal) sehingga tidak habis sekali pakai; yang disedekahkan
adalah hasil dari usaha yang dilakukan oleh nazhir atau pengelola.
Wakaf uang dapat dilakukan secara mutlak dan juga secara
terbatas (muqayyad). Wakaf uang secara mutlak dan terikat dapat
dilihat dari segi usaha yang dilakukan oleh nazhir (bebas melakukan
berbagai jenis usaha yang halal atau terbatas pada jenis usaha
tertentu), dan dari segi penerima manfaatnya (ditentukan atau
tidak ditentukan pihak-pihak yang berhak menerima manfaat
wakaf).
Lembaga Keuangan Syariah berkedudukan hanya sebagai
penerima uang wakaf dan menyalurkannya kepada nazhir-nazhir
yang layak untuk mengelolanya sehingga dapat menginvestasikan
uang tersebut pada sektor-sektor usaha yang halal yang
menghasilkan manfaat; pihak nazhir berhak mendapat imbalan
maksimum 10% dari keuntungan yang di peroleh.
Dana wakaf yang berupa uang dapat di investasikan melalui:
a) investasi pada aset-aset finansial (financial asset); dan b)
101

102
103
104

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 23. Lima Lembaga Keuangan Syariah yang
telah di tunjuk oleh Menteri Agama sebagai LKS-PWU adalah: a) PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk. Divisi Syariah, b) PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, c) PT Bank DKI Jakarta,
d) PT Bank Syariah Mandiri, dan e) PT Bank mega Syariah Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 22, ayat (3) a.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 22, ayat (4).
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 22, ayat (3), b, c, dan d.

85

investasi pada aset-aset riil (real asset). Investasi pada aset-aset


finansial dilakukan di pasar modal misalnya berupa saham, obligasi,
warran, dan opsi; sedangkan investasi pada aset-aset riil dapat
berbentuk antara lain pembelian aset produktif, pendirian
perusahaan, pembukaan pertambangan, dan perkebunan.105
6.

Investasi Wakaf Uang


Sebagai telah disinggung bahwa ekonomi mencakup tiga
kegiatan: produksi, distribusi (=pertukaran), dan konsumsi. Pada
bagian ini, pembahasan difokuskan pada kegiatan produksi. Faktor
produksi dalam ekonomi terdiri atas empat bagian: a) tanah dan
sumber alam; b) tenaga kerja; c) modal; dan d) keahlian usaha.
Faktor produksi yang berupa tanah dan sumber alam meliputi
tanah, barang tambang, hasil hutan, dan sumber alam yang
dijadikan modal seperti air dibendung untuk irigasi (pertaninan
dan perikanan) dan atau pembangkit listrik.106
Tenaga kerja bukan saja berarti buruh, karyawan, atau
kuli, tetapi juga meliputi keahlian dan keterampilan yang mereka
miliki. Dengan mempertimbangkan pendidikan dan keahlian, tenaga
kerja dibedakan menjadi tiga: pertama, tenaga kerja kasar (tenaga
kerja yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah dan
tidak memiliki keahlian dalam suatu bidang pekerjaan); kedua,
tenaga kerja terampil (tenaga kerja yang memiliki keahlian dari
pelatihan atau pengalaman kerja seperti montir, tukang kayu,
dan ahli merevarasi televisi dan radio; dan ketiga, tenaga kerja
terdidik (tenaga kerja yang berpendidikan cukup tinggi dan ahli
dalam bidang tertentu seperti dokter, akuntan, dan insinyur). 107
Modal adalah faktor produksi yang diciptakan oleh manusia
dan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang
dibutuhkan. Modal dapat berupa irigasi, jaringan jalan raya,
bangunan pabrik dan pertokoan, mesin-mesin dan peralatan pabrik,
dan alat angkut.108

105
106
107
108

86

Abdul Halim, Analisis Investasi (Jakarta: Salemba Empat. 2005), hlm. 4.


Sadono Sukirno, op. cit., hlm. 6.
Ibid.
Ibid., hlm. 6-7.

Usaha merupakan salah satu faktor produksi yang berbentuk


keahlian dan kemampuan pengusaha untuk mendirikan dan
mengembangkan berbagai kegaiatan usaha. Dalam melakukan
kegiatan tersebut, pengusaha memerlukan tiga faktor produksi:
tanah/tempat (sumber daya alam), modal, dan tenaga kerja. Pada
dasarnya, kemampuan usaha diartikan sebagai kemampuan/
kemahiran mengorganisasikan berbagai sumber atau faktor produksi
secara efektif dan efesien sehingga usahanya berhasil dan
berkembang serta dapat menyediakan barang dan jasa untuk
masyarakat.109
Wakaf uang (baca: uang wakaf) dapat difungsikan pada
aspek produksi, distrubusi, dan konsumsi; dengan semangat
ekonomi syariah, uang wakaf dapat dijadikan modal usaha
pada sektor real guna menggerakan perekonomian yang nyata.
Para ahli telah menawarkan sejumlah cara penarikan/pengumpulan
wakaf uang; model penarikannya dapat mengikuti saran Mustafa
Edwin atau model Social Investment Bank Limited (SIBL) yang
digagas Mannan, atau model-model lainnya yang relevan.110
Sedangkan cara penggunaannya dapat mengikuti model skema
usaha yang dilakukan oleh perbankan syariah dengan sedikit
modifikasi (misalnya cara syirkah/penyertaan dana pada perusahaan
yang sudah relatif mapan); dan penyalurannya dapat di lakukan
dengan dua pendekatan yang dilakukan secara proporsional, yaitu
penyaluran dana wakaf untuk sektor produktif, dan untuk sektor
konsumtif.
Dengan menggunakan jasa Manajer Investasi, dana wakaf
dapat diinvestasikan melalui reksadana syariah atau pasar modal
syariah sehingga dapat digunakan modal bisnis seperti penerbitan/
109
110

111

Ibid., hlm. 7.
Selanjutnya lihat Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam
yang hampir Terlupakan, Yogyakarta, 2007, hlm. 99-117; dan Uswatun Hasanah, Wakaf Produktif
untuk Kesejahteraan Sosial dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia, naskah pidato pengukuhan
Guru Besar Ilmu Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 22 April
2009, hlm. 45-46.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 21, huruf a.

87

pembelian saham syariah,111 Surat Berharga Syariah Negara/


SBSN,112 dan obligasi mudharabah atau obligasi ijarah.113
7.

Meminimalisasi Risiko Investasi Uang Wakaf


Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia memiliki risiko.
Secara konseptual, risiko dapat dibedakan maenjadi dua: 1) risiko
yang dapat dibagi; dan 2) risiko yang tidak dapat dibagi. Risiko
yang dapat dibagi antara lain adalah risiko yang dapat
diasuransikan.
Dalam kaidah ditetapkan bahwa potensi keuntungan
berbanding dengan potensi kerugian. Oleh karena itu, setiap
usaha yang potensi untungnya tinggi mengandung potensi risiko
yang berupa kerugian yang tinggi pula; dan setiap usaha yang
potensi untungnya rendah mengandung potensi risiko yang berupa
kerugian yang rendah pula. Oleh karena itu, sebaiknya investasi
uang wakaf dilakukan terhadap sektor yang dapat mendatangkan
keuntungan dengan risiko kerugian yang rendah.
Dalam hal ini, diperlukan petunjuk teknis dari ulama (berupa
fatwa) dan pihak-pihak yang terkait dengan investasi uang wakaf
guna meminimalisasi risiko kerugian yang mungkin terjadi dalam
menginvestasikan uang wakaf. Pihak terkait yang dimaksud antara
lain adalah: a) Kementerian Perumahan untuk investasi uang
wakaf dalam sektor perumahan (proverty); b) Kementerian
Keuangan untuk investasi uang wakaf di Dana Reksa dan/atau
pasar modal syariah; c) Otoritas Perhubungan untuk investasi
uang wakaf pada sektor angkutan laut dan udara; d) Bank Indonesia
untuk investasi uang wakaf pada sektor keuangan (meskipun
masih diikhtilafkan); e) Kementerian Perindustrian dan Perdagangan
untuk investasi uang wakaf pada sektor industri dan perdagangan;
dan f) Kementerian Pariwisata untuk investasi uang wakaf pada
sektor perhotelan dan restoran/rumah makan.

112
113

88

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 21, huruf a.


Fatwa DSN-MUI Nomor 32/DSN-MUI/IX/2002. Lihat M. Ichwan Sam, dkk (Peny.), Himpunan
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, DSN-MUI dan Bak Indonesia, Jakarta: 2006, cet. ke-3,
hlm. 197.

8.

Standar Nilai dalam Wakaf Uang


Dalam negara yang sistem moneternya menganut fiat standard,
bukan commodity standard pada emas (gold standard), perak
(silver standard), maupun emas-perak (standar kembar), uang
berpotensi mengalami penurunan nilai karena inflasi. Oleh karena
itu, uang wakaf dari segi jumlah dapat bertambah atau tetap,
tetapi dari segi nilai, uang wakaf tersebut berpotensi berkurang.
Dalam peraturan wakaf, benda wakaf yang berupa uang
asing harus ditukar dulu (tasharruf) dengan mata uang rupiah,114
dan jumlah uang wakaf yang dituangkan dalam akta ikrar wakaf
dan/atau sertifikat wakaf uang, didasarkan pada hasil tasharruf
tersebut. Sedangkan di sisi lain, nilai mata uang rupiah bersifat
fluktuatif terhadap mata uang lain, dan dapat terkena inflasi.
Dalam praktik, bisa jadi nazhir berpendapat bahwa uang
wakaf yang dikelolanya mengalami kemajuan yang ditandai dengan
keuntungan (al-ribh), tapi jika diekuivalenkan dengan nilai tertentu,
uang wakaf yang diinvestasikan sebenarnya tidak bertambah
(mungkin stagnan atau bahkan berkurang). Atas dasar asumsi
tersebut, diperlukan standar nilai uang wakaf.
Standar nilai uang wakaf berupa kesepakatan pihak-pihak,
terutama pihak regulator, yang dituangkan dalam akta/sertifikat
wakaf uang. Misalnya, uang wakaf yang dikelola oleh
Muhammadiyah berjumlah 100 miliar rupiah yang ekuivalen
dengan 400 kg emas (22 karat) dengan asumsi harga emas sebesar
250 ribu rupiah pergram pada saat akad wakaf uang dilakukan
guna penatabukuan. Oleh karena itu, keuntungan-kerugian bukan
hanya dihitung dari segi modal yang berupa uang (yaitu 100
miliar rupiah) tetapi ekuivalennya juga harus dipertimbangkan
(yaitu 400 kg emas). Dengan demikian, hasil investasi uang
wakaf dapat disimpulkan untung atau rugi dari segi jumlah modal
berupa uang dan/atau dari segi ekuivalennya.

114

Asas yang dianut adalah asas nasionalitas; dan mata uang merupakan salah satu bentuk identitas
nasional.

89

Gagasan ini penting dikemukakan karena nazhir harus


mempertimbangkan keabadian wakaf; uang dari segi nilai selalu
terkena inflasi yang berdampak pada penurunan nilai uang wakaf;
oleh karena itu, di samping nazhir berusaha mengembangkan
uang wakaf dengan cara investasi, tapi memiliki standar yang
jelas dalam akuntansinya.
9.

Beberapa Contoh Pemanfaatan Wakaf


Berbagai cara telah dipraktikkan para pemimpin muslim
dalam rangka pendayagunaan wakaf. Arjomand telah
menginformasikan pendayagunaan wakaf yang diringkas pada
bagian berikut:
Pertama, perdana menteri Mihr-Narseh (Dinasti Sasanid) di Fars
telah mewakafkan jembatan dan di bagian atas jembatan di tuliskan
agar orang yang lewat yang menggunakan jembatan tersebut
supaya berdoa bagi Mihr-Narseh dan anak-anaknya.115
Kedua, Dinasti Fatimiah di Mesir pada akhir abad X Masehi
telah membentuk sebuah biro untuk melakukan supervisi wakaf.
Arjomand memperkirakan bahwa pada waktu itu wakaf telah
dijadikan media untuk mengendalikan pendidikan umum. Di
samping itu, wakaf juga jelas Arjomand telah menjadi
instrumen kebijakan publik bagi para penguasa Iran Timur; salah
satu buktinya adalah bahwa Nizham al-Mulk, perdana menteri
Dinasti Saljuk, telah memanfaatkan wakaf sebagai instrumen
kebijakan publik.116
Ketiga, Hasanwayh (w. 1015 M), Gubernur Bani Buwaihi di
Iran Barat, telah memanfaatkan wakaf sebagai intrumen kebijakan
publik dengan membangun jembatan, penginapan, dan sumur;
perwatannya dibebankan pada anggaran negara; di samping itu,

115

116

90

Lihat Said Amir Arjomand, Filantropi, Hukum dan Kebijakan Publik di Dunia Islam, dalam
Warren F. Iichman dkk (ed.), Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia terj. Tim CRCS UIN Syarif
Hidayatullah. Jakarta, 2006, cet. ke-1, hlm. 126-127. Dalam konteks bisnis di Indonesia, hal
tersebut menginspirasikan bahwa uang wakaf dapat di investasikan untuk membangun jembatan;
setiap yang lewat dikenai biaya (seperti jalan tol), keuntungannya di gunakan untuk mengembangkan
kehidupan umat Islam.
Said Amir Arjomand, op. cit., hlm. 127-128.

Hasanwyh juga telah mewakafkan sejumlah penginapan-masjid


tanpa bayaran bagi para siswa yang belajar di masjid-masjid.117
Keempat, Adud al-Daulah, khalifah Dinasti Buwaihi, telah
memanfaatkan dana wakaf yang berasal dari miliknya sendiri
senilai seratus ribu dinar untuk membangun rumah sakit guna
pelayanan kesehatan masyarakat dan pendidikan tenaga medis,
dan perpustakaan (disebut dar al-ilm) yang juga digunakan
untuk penelitian, pendidikan, dan kelompok studi.118
Kelima, Nizham al-Mulk pada tahun 1075 M telah memanfaatkan
dana wakaf untuk membangun observatorium di Nishabur yang
dinamai Sultan Jalal al-Din Malik Syah dan dengan
observatorium tersebut, Umar Khayyam, ahli astronomi, telah
berhasil mereformasi kalender.119
Keenam, Dinasti Usmani di Istambul telah menginovasi
pemanfaatan dana wakaf dengan: 1) menciptakan badan derma
oleh non-Muslim; dan 2) menciptakan wakaf tunai yang
meminjamkan uang dalam standar bunga antara 10 sampai 20
persen pertahun. Penciptaan institusi wakaf yang dipinjamkan
dengan standar bunga telah menimbulkan pertentangan karena
mengabaikan cegahan riba dalam Quran. Meskipun demikian,
penciptaan istitusi wakaf tunai (baca: wakaf uang) yang dipraktikan
pada abad ke-15 M, telah dibenarkan oleh Syaikh al-Islam di
Istambul; dan institusi tersebut menjadi lembaga pembiayaan
(baca: kredit) yang penting di Kerajaan Usmani khususnya bagi
golongan ekonomi yang terbatas.120 Demikian paparan Arjomand
mengenai wakaf uang dan penggunaannya dalam sejarah Islam.
10. Penutup: Agenda
Wakaf uang memerlukan beberapa peraturan yang lebih khusus
karena bersifat unik. Di satu sisi, wakaf uang harus dijadikan
modal usaha; dengan kata lain, benda wakaf berupa uang harus
diperlakukan sebagai objek bisnis (tijarah) yang mengandung
risiko; sedangkan di sisi lain, hasil usaha dari benda wakaf
117
118
119
120

Ibid.,
Ibid.,
Ibid.,
Ibid.,

hlm.
hlm.
hlm.
hlm.

130.
131.
132.
143.

91

didermakan kepada pihak yang berhak; dengan demikian, wakaf


termasuk institusi sosial (tabarru) untuk kebajikan. Dari segi
hukum, wakaf uang memerlukan dukungan berupa fatwa dan
peraturan teknis lainnya yang terkait guna memaksimumkan peran
wakaf dalam mensejahterakan masyarakat.
Peraturan yang bersifat teknis yang diperlukan dalam
pengumpulan, investasi, dan penyaluran hasil wakaf uang di
perlukan guna: a) menjaga keabadian uang wakaf sebagai
modal usaha (ras al-mal); b) investasi dilakukan dengan cara
dan pada sektor yang halal/yang terbebas dari unsur riba; dan
c) penyaluran hasil wakaf di lakukan secara adil dan proporsional.
C. Kajian Wakaf Uang Dari Aspek Peraturan Perundang-undangan
Instrumen Hukum Wakaf Uang121 di Indonesia setelah lahirnya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf, sangat menarik karena dari judul/
121

92

Wakaf dalam sejarah Islam di mulai setelah Nabi hijrah ke Madinah ditandai dengan pembangunan
Masjid Quba atas dasar taqwa dan menjadi wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan agama.
Kemudian disusul dengan pembangunan Masjid Nabawi di atas tanah anak yatim dari Bani Najjar
setelah dibeli Rasulullah dengan harga 800 dirham Rasulullah mewakafkannya untuk pembangunan
Masjid tersebut. Dalam buku: Sirah Nabawiyah diberitahukan bahwa Rasulullah menganjurkan
pembelian sumur Raumah yang mempersulit dalam masalah harga, maka sahabat Utsman Bin
Affan membelinya dan mewakafkan airnya dipergunakan untuk memberi minum kaum muslimin.
Dan berkaitan dengan sumur ini Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang membeli sumur Raumah
Allah swt mengampuni dosa-dosanya. Dr. Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, penerbit
Khalifa, Jakarta, 2007, hlm. 6 dan 7. Wakaf lain yang dilakukan pada masa Rasulullah yaitu
wakaf tanah Khaibar dari Umar bin Khatab. Tanah ini sangat disukai oleh Umar karena subur dan
banyak hasilnya. Menurut riwayat Bukhari dan Muslim secara ittifaq (di sepakati oleh ulama
hadits pada umumnya) dari Abdullah bin Umar bin Khatab, Umar bin Khatab berkata kepada
Rasulullah swt: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, yang aku
belum pernah memiliki tanah sebaik itu. Apa nasihat engkau kepadaku? Rasulullah menjawab:
jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu, sedekahkanlah hasilnya. Lalu Umar mewakafkan
tanahnya yang ada di Khaibar (di sekitar kota Madinah) itu dengan pengertian tidak boleh dijual,
dihibahkan atau diwariskan. Ibnu Umar selanjutnya menyatakan bahwa Umar bin Khatab
menyedekahkan hasil tanah itu kepada fakir miskin dan kerabat serta untuk memerdekakan budak
untuk kepentingan di jalan Allah swt, orang terlantar dan tamu. Dalam Hadits Muttafaq Alaih
(sahih menurut Bukhori dan Muslim) dikatakan: Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya
(Nazhir = pengelola wakaf) memakan sebagian harta itu secara patut atau memberi makan keluarganya,
asal tidak untuk mencari kekayaan. Prof. Dr Azyumardi Azra, M A, dkk; Ensiklopedi Islam 5,
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 1997, hlm. 168 dan 169.

topik ini ingin melihat kelanjutan dari pada undang-undang dan peraturan
pemerintah tentang wakaf yang notabene merupakan produk perundangundangan yang tidak mudah mewujudkannya tetapi harus melalui
proses yang panjang, di mulai dari perencanaan, persiapan, teknik
penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan
penyebarluasan. Undang-Undang dan PP Wakaf ini diperhatikan sejak
dari pengesahan oleh Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
pada tanggal 27 Oktober 2004 dan diundangkan pada tanggal, 27
Oktober 2004 serta Peraturan Pemerintah (PP) tentang Wakaf ditetapkan
pada tanggal 15 Desember 2006, maka Undang-Undang Wakaf ini
pada tanggal 27 Oktober 2009 telah genap berumur 5 (lima) tahun
dan PP Wakaf pada 15 Desember 2009 genap berumur 3 (tiga)
tahun; maka sesungguhnya UU dan PP ini relatif tidak muda lagi,
UU dan PP ini tidak bisa dipisahkan karena UU Wakaf merupakan
induknya dan PP-nya merupakan pengaturan lebih lanjut atau penjelas.
Demikian selanjutnya apabila perundang-undangan di atasnya
mengamanatkan pengaturan lebih lanjut apakah dengan Peraturan
Menteri atau Keputusan Direktur Jenderal maka keharusan untuk
mewujudkannya, sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam
implementasinya, dan menentukan efektivitas suatu perundangundangan. Sebaliknya, tidak diwujudkan perundang-undangan boleh
jadi bisa berjalan sebagian tetapi dalam pelaksanaannya tidak sempurna.
1.

Wakaf Uang di Indonesia


Dalam konteks Indonesia, bahwa salah satu yang membawa
kemajuan fundamental dan luar biasa perwakafan di Indonesia
ialah lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf di mana dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf ini bahwa selain merubah paradigma wakaf122 di

122

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf membawa perubahan fundamental dan
kemajuan luar biasa dalam perwakafan di Indonesia karena sebelum tahun 2004 wakaf di Indonesia
umumnya dipahami dan diimplementasikan untuk kepentingan ibadah dalam bentuk: Masjid, mushola,
madrasah, rumah yatim piatu, kuburan dan lain sebagainya berakibat selain Indonesia ketertinggalan
dalam pembangunan wakaf produktif dapat dilihat dari kebijakan wakaf berdasarkan PP Nomor
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Nazhir sebagai penerima harta benda wakaf
tidak memiliki kemampuan mengelola dan mengembangkan. Sebaliknya setelah merespon dan
mengakomodir paradigma wakaf para ulama salap dan khalap membawa perubahan paradigma
dan kebijakan wakaf 100 derajat di Indonesia.

93

Indonesia dan juga merubah kebijakan123 wakaf di Indonesia


yaitu diakomodirnya wakaf uang yang merupakan bagian dari
wakaf di Indonesia. Bahkan lebih luas dari itu; bahwa dengan
Undang-Undang Nomor 41 tentang Wakaf, kini wakaf di Indonesia
tidak lagi hanya dipahami wakaf benda tidak bergerak yang
berupa tanah seperti yang dipahami selama ini tetapi wakaf
dibagi kepada 2 (dua) bagian, yaitu 1). Wakaf benda tidak bergerak
yang berupa tanah yang meliputi: hak atas tanah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang
sudah maupun yang belum terdaftar, bangunan atau bagian
bangunan yang berdiri di atas tanah, tanaman dan benda lain
yang berkaitan dengan tanah, hak milik atas satuan rumah susun
123

94

B.N. Marbun mengatakan kebijakan: Rangkaian konsep dan asas menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan satu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan atau organisasi,
pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman dalam mencapai sasaran.
B.N. Marbun, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hlm. 263. Beberapa pakar
lain mengemukakan mengenai kebijakan antara lain:1) Robert Eyestone mengatakan kebijakan
adalah hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Konsep ini mengandung pengertian
sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup
banyak hal, 2) Thomas R. Dye, kebijakan adalah apapun yang dipilih oleh pemeintah untuk
dilakukan dan tidak dilakukan. Pengertian ini tidak cukup memberikan perbedaan yang jelas
antara apa yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan
oleh pemerintah, 3) Richard Rose, bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian
kegiatan sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang
bersangkutan daripada suatu keputusan tersendiri. Definisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun
definisi ini berguna karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan sekedar suatu
keputusan untuk melakukan sesuatu, 4) Carl Friedrich, kebijakan sebagai suatu arah tindakan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang
memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan
untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan
suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini cukup luas, karena kebijakan tidak hanya
dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun
oleh individu, 5) Anderson, kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang
ditetapkan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu
persoalan, 6) Amir Santoso, pandangan mengenai kebijakan dibagai dalam dua kategori: Pertama,
kebijakan dengan tindakan pemerintah atau semua tindakan pemerintah dianggap sebagai kebijakan.
Kedua; kebijakan sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud
tertentu dan menganggap kebijakan sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan, yang di
mulai dari perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dr. Joyakin Simbolon,
M.Si., dalam mata kuliah, Analisis Kebijakan Publik pada kuliah semeter ke-2 Program Pascasarjana
STIA YAPPAN, Jakarta, tahun perkuliahan 2006, hlm. 1-4; dan Sumuran Harahap, Kontroversi
Pembentukan Unit Kerja Presiden Untuk Program Pengelolaan Reformasi Indonesia (Suatu
Tinjauan Analisis Kritis Dari Aspek Kebijakan Publik), tesis Magister Ilmu Administrasi Program
Pascasarjana Sekolah Tinggi Administrasi Publik YAPPAN, Jakarta, 2007, hlm. 77 dan 78.

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang


berlaku, benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah
dan peraturan perundang-undangan; dan 2). Wakaf benda bergerak:
Uang, logam mulia, surat berharga, Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI), kendaraan, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai
dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.124 Dan pembagian wakaf di Indonesia tersebut
yang merupakan bagian dari kemajuan wakaf di Indonesia, adapun
pembagian wakaf tersebut adalah:

124

1.

Wakaf benda tidak bergerak berupa tanah, yang terdiri dari:


a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas
tanah
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku
e. benda tidak bergerak lain yang sesuai dengan syariah
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

2.

Wakaf benda bergerak, yang terdiri dari:


a. wakaf uang
b. logam mulia
c. surat berharga
d. hak atas kekayaan intelektual (HAKI)
e. kendaraan
f. hak sewa
g. benda bergerak lainnya, yang sesuai dengan syariah
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Departemen Agama RI. Ditjen Bimas Islam, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Departemen Agama RI. Ditjen Bimas Islam, Jakarta, 2007,
hlm. 10-12.

95

Paradigma dan kebijakan wakaf di Indonesia merupakan


paradigma dan kebijakan yang revolusioner, kontekstual, modern,
produktif dan konstruktif karena telah merespon dan mengakomodir
peradaban umat manusia. Dengan paradigma dan kebijakan wakaf
tersebut, Indonesia telah sejajar dengan negara lain yang telah
lama mengembangkan wakaf produktif: Mesir, Kuwait, Emirat
Arab, Qatar, dan lain sebagainya; paradigma dan kebijakan wakaf
di Indonesia itu pula kini telah terbuka akses yang seluas-luasnya
baik umat Islam maupun negara125 bukan hanya membangun
tetapi juga mendukung dan mendorong sepenuhnya setiap langkahlangkah dan usaha-usaha positif-konstruktif pemberdayaannya
sehingga wakaf ini dapat dikelola dan dikembangkan guna
memberikan manfaat bagi kesejahteraan dan kemajuan umat,
bangsa dan negara Indonesia yang luar biasa potensinya.
Pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
menetapkan fatwa yang membolehkan wakaf uang. Ketua MUI,
KH. Maruf Amin, menyatakan wakaf uang adalah sesuatu yang
memiliki nilai yang diwakafkan untuk kepentingan masyarakat.
Dulu wakaf uang diperdebatkan tapi kini tidak lagi. Yang
penting ain-nya tidak berkurang dan nilainya tetap, bisa
dipertahankan. KH. Maruf Amin menambahkan tidak ada batas
minimal atau maksimal besaran wakaf uang. Yang penting, uang
itu milik sendiri dan didapat dengan cara yang halal. Wakaf
uang di Indonesia saat ini dari segi infrastrukturnya telah lengkap
dan tinggal pelaksnaannya karena semuanya telah diatur secara
terperinci dalam perundang-undangan tentang Wakaf,126 Direktur
Pemberdayayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam Dr. H. Sumuran Harahap, M.Ag., M.M., M.H., M.Si.,
125

126

96

Negara adalah bagian dunia yang ada di bawah kekuasaan suatu pemerintahan yang berdaulat,
merupakan organisasi yang di adakan oleh suatu atau beberapa bangsa yang berdiam dalam suatu
daerah tertentu, untuk memelihara hukum yang berlaku di kalangan mereka, membela kepentingan
dan kesejahteraan bersama terhadap serangan dari luar dan menyelenggarakan cita-cita kemakmuran
bersama baik di lapangan kerohanian maupun materi. Hassan Shadily dkk; Ensiklopedi Indonesia
3, Ichtiar Baru-Van Houve, Jakarta, 1983, hlm. 2345.
Damanhuri Zuhri, Mari Berwakaf Uang, dalam Tabloid Republika Dialog Jumat, edisi tanggal
9 Oktober 2009, Jakarta, 2009, hlm. 3.

menyatakan, bahwa kalau nazhir di Indonesia mampu mengelola


dan mengembangkan wakaf, mereka bekerja secara profesional
dan amanah maka wakaf di Indonesia bisa menjadi lokomotif
perekonomian umat, bangsa dan negara Indonesia. Ketua Umum
Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) yang juga Wakil
Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Mustafa Edwin Nasution,
Ph.D. mengemukakan, bahwa sesungguhnya negara Indonesia
berpenduduk Muslim terbesar di dunia127 berpotensi menjadi salah
127

Indonesia Muslim terbesar di dunia dapat dilihat dari sepuluh besar negara berpenduduk Muslim
di seluruh penjuru dunia. Ada negara di mana Muslim menjadi mayoritas pun menjadi komunitas
minoritas. Sepuluh negara dan persentasi penduduk Muslimnya: 1). Indonesia penduduk 202.867.000
jiwa (88, 2% Muslim); 2). Pakistan penduduk 174.082.000 jiwa (96,3% Muslim); 3). India penduduk
160.945.000 jiwa (13,4% Muslim); 4). Bangladesh penduduk 145.312.000 jiwa (89,6% Muslim);
5). Mesir penduduk 78.513.000 jiwa (94,6% Muslim); 6). Nigeria penduduik 78.056.000 (50,4%
Muslim); 7). Iran. Penduduk 73.777.000 jiwa (99,4% Muslim); 8). Turki penduduk 73.619.000
jiwa (sekitar 98% Muslim); 9). AlJazair penduduk 34.199.00 jiwa (98% Muslim); dan 10). Maroko
penduduk 31 juta 993.000 jiwa (99% Muslim). Dan di lihat dari dunia saat ini, satu dari empat
penduduk dunia Muslim. Menurut laporan yang dirilis Pew Forum on Religion on Public Life
dengan judul Mapping the Global Muslim Population, terdapat 1,57 miliar Muslim di seluruh
dunia. Jumlah ini merepresentasikan 23 % dari populasi dunia yang mencapai 6,8 miliar jiwa.
Sementara, berdasarkan proyeksi World Religions Database tahun 2005, jumlah penganut Kristen
di seluruh dunia mencapai 2,25 miliar orang. Menurut Brian Grim, peneliti senior di Pew Forum,
ia merasa terkejut dengan terungkapnya jumlah Muslim di seluruh dunia itu. Secara keseluruhan
jumlahnya lebih tinggi di bandingkan dengan yang diperkirakan. Ia menyatakan, berdasarkan
laporan itu 1 dari 4 orang di dunia adalah Muslim; dan 2 dari 3 orang di Asia adalah Muslim,
terbentang dari Indonesia hingga Turki. Berdasarkan laporan ini, India yang menjadi negara
berpenduduk mayoritas Hindu, memiliki lebih banyak Muslim di bandingkan negara lainnya,
kecuali Indonesia dan Pakistan. Jumlah Muslim di India bahkan 2 kali lipat lebih banyak dibandingkan
Mesir. Tidak hanya itu, kejutan lain juga terungkap, China, memiliki jumlah Muslim lebih banyak
daripada di Suriah. Sedangkan Jerman, jumlah Muslimnya juga lebih banyak daripada Libanon.
Sementara jumlah Muslim di Rusia, lebih banyak daripada gabungan jumlah Muslim di Yordania
dan Libya. Menurut Reza Aslan, penulis buku berjudul No God but God laporan ini memiliki
implikasi pada kebijakan Amerika Serikat (AS). Ia menyatakan AS tak bisa lagi hanya berfokus
di Timur Tengah. Ini artinya, kata Aslan, kebijakan luar negeri AS terkait upaya menjalin hubungan
lebih baik dengan dunia Islam harus fokus di Asia Selatan dan Tenggara, bukan lagi di Timur
Tengah. Asia Selatan dan Tenggara harus menjadi perhatian. Menurut Grim, Pew Forum
menghabiskan waktu hampir tiga tahun untuk melakukan analisis data dari 232 negara dan wilayah.
Tujuannya jelas, untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai jumlah Muslim di
dunia. Alan Cooperman, salah satu direktur penelitian Pew Forum, mengungkapkan, ada sejumlah
negara yang diperkirakan tak ada Muslimnya sama sekali, namun ternyata jumlah Muslimnya
besar. Negara-negara tersebut adalah India, Rusia, dan China. Menurut Cooperman, sebagian orang
juga berpikir; populasi Muslim Eropa hanya terbentuk dari para imigran. Ternyata fakta ini hanya
benar di Eropa Barat. Di bagian Eropa lainnya, seperti Rusia, Albania, dan Kosovo, Muslim adalah
penduduk asli negara itu. Republika, Satu Dari Empat Penduduk Dunia Muslim, dalam Republika,
edisi tanggal 9 Oktober 2009, Jakarta, 2009, hlm. 12.

97

satu kekuatan ekonomi umat di dunia. Sayangnya, potensi yang


demikian besar ini belum digarap secara maksimal. Salah satu
kekuatan umat Islam di Tanah Air itu adalah wakaf. Wakaf
uang bisa diibaratkan sebagai raksasa yang tertidur. Bila kekuatan
raksasa ini dibangunkan, boleh jadi wakaf uang akan menjadi
salah satu andalan umat Islam. Apalagi setiap umat Islam bisa
berwakaf uang, tanpa harus menunggu kaya. Menurut Mustofa,
potensi wakaf uang itu bisa dicapai jika semua elemen baik
pemerintah maupun lembaga-lembaga swasta bergandeng tangan
mengkampanyekan gerakan wakaf uang. Semua elemen harus
mendukung gerakan ini. Direktur Tabung Wakaf Indonesia (TWI),
Zaim Saidi mengungkapkan, potensi wakaf di Indonesia dapat
mencapai sepertiga kekayaan umat Muslim. Potensi itu, menurut
dia diukur dari anjuran Rasulullah saw untuk berwakaf sebesar
sepertiga harta yang dimiliki. Jadi potensinya memang luar
biasa. Menurut Zaim, dalam masyarakat Muslim dikenal tiga
jenis wakaf. Jenis wakaf yang pertama adalah wakaf yang dilakukan
oleh seseorang untuk kepentingan umum (wakaf khairi); jenis
wakaf yang kedua adalah wakaf yang dilakukan seseorang demi
sanak dan kerabatnya (wakaf ahli); dan jenis wakaf yang ketiga,
adalah wakaf seperti yang dilakukan oleh Bani Najjar yang
membangun masjid secara bergotong royong untuk kepentingan
lebih banyak orang lagi (wakaf syuyui). Wakaf syuyui inilah
yang kemudian diartikan sebagai wakaf uang ungkapnya.128
Menurut Mustofa, setiap umat Islam bisa berwakaf uang, tanpa
harus menunggu menjadi orang kaya yang memiliki lahan dan
bangunan.129
Wakaf uang yang luar biasa besarnya tersebut oleh nazhir
diinvestasikan di tanah-tanah wakaf dan dikembangkan sesuai
dengan model-model pembangunan wakaf dalam Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dalam Pasal 43 ayat 2
ada pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi,
kemitraan, perdagangan, perindustrian, pengembangan teknologi,
128

129

98

Heri Ruslan, Wakaf Uang Potensinya Sungguh Luar Biasa, dalam Tabloid Republika Dialog
Jumat, edisi tanggal 9 Oktober 2009, Jakarta, 2009, hlm. 4.
Heri Ruslan, Wakaf Uang Potensinya Sungguh Luar Biasa, hlm. 4.

pembangunan gedung, hotel, rumah sakit (RS), rumah kos,


apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran,
sarana pendidikan dan kesehatan dan pula investasi di tanahtanah wakaf yang strategis dan marketnya bagus dibangun objekobjek pariwisata agama di dalamnya lengkap ada masjid, musholla,
hotel dan tamannya yang artistik yang menampilkan seni budaya
Islam yang tinggi-modern menyenangkan, menggembirakan,
menambah semangat hidup, menyejukkan hati dan membahagiakan
pengunjung betapa besar dan dahsyat kumulasi kapital dan ekonomi
yang dapat dihasilkan; dan betapa besar dapat membuka lapangan
kerja yang pengangguran terdidik di Indonesia tahun 2009 sebanyak
9,289 juta orang dan betapa besar hasil pengelolaan dan
pengembangan wakaf di Indonesia untuk kesejahteraan umat,
bangsa dan negara Indonesia. Nazhir adalah penerima, pengelola
dan pengembang harta benda wakaf. Oleh karena itu, nazhir
harus memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas dan harus
melakukan tindakan Plan- Do- Check- Act Cycle (siklus PDCA)
proses empat langkah untuk produktif wakaf bermutu:

A ct
Te ntuk an
tu ju an

Plan

A mbil tind ak an y ang


p erlu
Tentuk an
m eto de

Perik sa p en garuhny a

Pe ne ra pa n
Do

Ch ec k

Con tinou s imp rov em en t

T am p ila n PDCA cyc le

99

1.

Rencana-rencana nazhir mengenai apa yang


dilakukan untuk memasok pelanggan dengan
produk atau jasa.
2. Do
: Nazhir selanjutnya melakukan apa yang
direncanakannya pada tahap pertama.
3. Check : Nazhir selanjutnya memeriksa dan melihat apakah
hal tersebut telah memenuhi semua persyaratan
dari pelanggan.
4. Action : Nazhir kemudian membuat perubahan yang sesuai
(bila perlu) sehingga ia akan memenuhi persyaratan
pelanggan di waktu selanjutnya.130
Nazhir tanpa dengan pengetahuan dan wawasan yang luas,
perencanaan yang tepat dan matang serta tanpa melakukan
pengelolaan dan pengembangan (implementasi) tidak mungkin
wakaf di Indonesia yang luar biasa potensinya tersebut akan
dapat menghasilkan dan memberikan manfaat bagi wakif sendiri
maupun untuk kepentingan umat, bangsa dan negara Indonesia.
2.

Plan

Problem Wakaf Uang


Boleh jadi menjadi pertanyaan bisakah nazhir menggunakan
wakaf uang investasi di tanah-tanah wakaf; dan atau bisakah
investor dari luar misalnya bank, konglomerat atau siapa saja
yang ingin melakukan usaha-usaha yang halal sesuai syariah
melakukan investasi di tanah-tanah wakaf yang tersebar luas di
Indonesia? Menjawab pertanyaan ada tiga pendapat dengan
menyatakan sebagai berikut:
a. Pendapat pertama mengatakan, bahwa nazhir sebagai pihak
yang menerima harta benda wakaf untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan tujuan, fungsi dan
peruntukkannya mempunyai otoritas untuk menggunakan
wakaf uang itu kepada usaha-usaha yang produktif asal
sesuai syariah dengan investasi dan lain sebagainya. Karena
dengan memanfaatkan wakaf uang investasi kepada hal-hal
yang produktif wakaf itu akan tumbuh dan berkembang

130

Syahu Sugian, Kamus Manajemen (Mutu), PT. Gramedia, Jakarta, 2006, hlm. 168.

100

b.

c.

serta menjadi ekonomi dahsyat. Hasilnya sebagian di gunakan


sesuai dengan peruntukkannya (mauquf alaihi) dan untuk
kesejahteraan umum; dan sebagian lagi untuk investasi dan
seterusnya secara siklus/berputar (cycle). Metode ini
dilaksanakan wakaf akan tumbuh dan berkembang menjadi
ekonomi dahsyat. Oleh karena itu, bagi pendapat pertama
ini pemanfaatan wakaf uang oleh Nazhir kepada hal-hal
yang produktif itu suatu keharusan asalkan Nazhirnya orang-orang yang profesional dan amanah wakaf diyakini akan
tumbuh dan berkembang memberikan manfaat pahala bagi
Wakif dan manfaat kesejahteraan bagi umat, bangsa dan
negara Indonesia:
Pendapat kedua mengatakan, bahwa Nazhir tidak boleh
menggunakan wakaf uang kepada hal-hal yang produktif
atau diinvestasikan kepada tanah-tanah wakaf kecuali
menggunakan hasilnya karena dikhawatirkan terjadi kesalahan
di dalam pengelolaannya sehingga menimbulkan kerugian
sedangkan nilai wakaf sesuai syariah harus terpelihara tidak
boleh kurang sedikitpun dari pokoknya. Pendapat ini menjadi
dasar pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia
maka pemberdayaan dan pembangunan wakaf di Indonesia
akan menjadi lambat atau sulit maju.
Pendapat ketiga pendapat liberal mengemukakan bahwa bukan
hanya Nazhir tetapi siapa saja boleh memanfaatkan wakaf
uang termasuk investor dari luar bisa saja melakukan investasi
di tanah-tanah wakaf atau lainnya asalkan wakaf uang tidak
berkurang dan investor yang melakukan investasi dengan
sistem yang baik saling mempercayai, mengamankan dan
menguntungkan sesuai syariah yang di wujudkan dalam
perjanjian yang mengikat antara dua belah pihak yaitu investor dan Nazhir sebagai pengelola dan pengembang harta
benda wakaf.

Boleh jadi persoalan pengelolaan dan pengembangan wakaf


penggunaan wakaf uang ke depan terjadi perbedaan pandangan
yang dapat menghambat laju pembangunan wakaf di Indonesia,
maka masalah ini harus di ambil solusinya, yaitu yang pertama
101

sebaiknya pemerintah mengeluarkan kebijakan konkret tentang


penggunaan wakaf uang; dan yang kedua bisa juga oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa penggunaan wakaf
uang yang mengakomodir salah satu pendapat tersebut di atas
dan/atau pendapat tiga-tiganya dengan persyaratan-persyaratan
yang ketat. Langkah ini sangat penting agar tidak ada keraguan
di dalam pelaksanaan penggunaannya. Karena, bagaimanapun
yang namanya wakaf apakah itu wakaf benda tidak bergerak
yang berupa tanah dan wakaf benda bergerak yang berupa uang
dan lain sebagainya itu harus terpelihara; tidak boleh terkontaminasi
sekecil apapun. Tetapi dia harus dipelihara dan dibangun terus
seperti air yang keluar dari perut gunung terus-menerus bersih,
jernih dan sejuk serta steril bukan hanya memberikan manfaat
bagi kehidupan mausia tetapi juga bagi makhluk hidup lainnya
manakala ekosistemnya terpelihara bukan hanya dia dapat bertahan
tetapi akan terus tumbuh dan berkembang dan memberikan manfaat
bagi manusia dan makhluk melata lainnya. Sebaliknya, apabila
dikotori oleh tangan-tangan manusia dengan melakukan perbuatanperbuatan disharmonisasi terhadap alam tersebut cepat atau lambat
yang datang itu bukan hanya kesusahan, kerusakan dan kehancuran
bagi manusia tetapi juga bagi makhluk hidup lainnya. Gambaran
air keluar dari perut gunung ini yang tidak boleh terkontaminasi
adalah gambaran nilai dan potensi wakaf Islam itu tidak boleh
hilang sedikitpun tetapi dia dikelola dan mampu dikembangkan
sesuai sistem Islam; dan tidak melakukan pelanggaran di dalam
pelaksanaannya maka wakaf ini dijamin akan membawa kemajuan,
kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia
baik di dunia ini maupun di akhirat nantinya.
3.

Instrumen Wakaf Uang


Bahwa apabila diteliti satu per satu, sesungguhnya peraturan
perundang-undangan wakaf di Indonesia ini telah cukup
representatif baik di lihat dari wakaf secara keseluruhan maupun
secara parsial berkaitan dengan wakaf uang dapat di lihat sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945;

102

2.
3.

Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;


Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
4. Keputusan Pressiden Republik Indonesia Nomor 75/M Tahun
2007 tentang Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia Masa
Jabatan 2007-2010;
5. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang;
6. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 96
Tahun 2007 tentang Penetapan Pengurus Badan Wakaf
Indonesia Masa Bakti Tahun 2007-2010;
7. Keputusan Menteri Agama Nomor 92 Tahun 2008 tentang
Penetapan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Divisi
Syariah sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf
Uang;
8. Keputusan Menteri Agama Nomor 93 Tahun 2008 tentang
Penetapan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. sebagai
Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang;
9. Keputusan Menteri Agama Nomor 94 Tahun 2008 tentang
Penetapan PT Bank DKI Jakarta sebagai Lembaga Keuangan
Syariah Penerima Wakaf Uang;
10. Keputusan Menteri Agama Nomor 95 Tahun 2008 tentang
Penetapan PT Bank Syariah Mandiri sebagai Lembaga
Keuangan Syariah Penerima Harta Benda Wakaf Berupa
Uang;
11. Keputusan Menteri Agama Nomor 96 Tahun 2008 tentang
Penetapan PT Mega Syariah Indonesia sebagai Lembaga
Keuangan Syariah Penerima Harta Benda Wakaf Berupa
Uang;
12. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Nomor Dj.II/420 Tahun 2009 tentang Model, Bentuk dan
Spesifikasi Formulir Wakaf Uang;
Legislasi wakaf tersebut di atas mempunyai kaitan baik
secara implisit maupun eksplisit, dan hubungan eksplisit ini dapat
di lihat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
103

Wakaf, dalam Pasal 70 menyatakan: Semua peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti peraturan
yang baru berdasarkan Undang-Undang Wakaf.131 Dan khusus
mengenai wakaf uang baik secara umum maupun khusus telah
di atur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 92, 93, 94, 95
dan 96 tentang Penetapan PT Bank Sebagai Lembaga Keuangan
Syariah Penerima Wakaf Uang, demikian pula diatur dalam
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang dan Keputusan Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Dj.II/420 Tahun
2009 tentang Model, Bentuk dan Spesifikasi Formulir Wakaf
Uang. Dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang
Wakaf telah di atur mengenai proses dan pelaksanaan wakaf
uang,132 dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 93, 94, 95
131

132

Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Undang-Undang Nomor


41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, hlm. 38.
Proses dan pelaksanaan wakaf uang dijelaskan dalam Pasal 22 dan 25 Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2006 tentang
Wakaf. Dalam Pasal 22 menyebutkan bahwa wakaf uang yang diwakafkan mata uang Rupiah;
dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing maka harus dikonversi
terlebih dahulu ke dalam Rupiah; Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan hadir di
Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak
wakaf uangnya; menjelaskan kepemilikan dan asal usul uang yang akan diwakafkan; menyetorkan
sejumlah uang ke LKS-PWU; mengisi formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai
AIW; Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada Nazhir di hadapan
PPAIW yang selanjutnya Nazhir menyerahkan AIW kepada LKS-PWU; dalam hal Wakif tidak
dapat hadir di LKS-PWU maka Wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya. Sedangkan dalam
Pasal 25 menyebutkan LKS-PWU bertugas: Mengumumkan kepada publik atas keberadaannya
sebagai LKS-PWU; menyediakan blangko sertifikat wakaf uang; menerima secara tunai wakaf
uang dari Wakif atas nama Nazhir; menempatkan wakaf uang ke dalam rekening titipan (wadiah)
atas nama Nazhir yang di tunjuk Wakif; menerima pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan
secara tertulis dalam formulir pernyataan kehendak Wakif; menerbitkan sertifikat wakaf uang serta
menyerahkan sertifikat tersebut kepada Wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada Nazhir
yang di tunjuk oleh Wakif dan mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas Nama Nazhir.
Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, hal 78, 79, 80 dan 81.

104

dan 96 tentang Penetapan PT Bank Sebagai Penerima Wakaf


Uang133 dan dalam Peraturan Menteri Agama dan Keputusan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tersebut di atur
secara terperinci tentang model, bentuk dan spesifikasi formulir
wakaf uang yang meliputi:
a. Akta Ikrar Wakaf Uang;
b. Sertifikasi Wakaf Uang;
c. Pendaftaran Wakaf Uang LKS-PWU;
d. Bukti Pendaftaran Wakaf Uang;
e. Buku Pendaftaran Wakaf Uang;
f. Laporan Pendaftaran Wakaf Uang Kandepag;
g. Laporan Pendaftaran Wakaf Uang Kanwil;
h. Laporan Keuangan Tahunan LKS-PWU, dan
i. Laporan Pengelolaan Wakaf Uang Nazhir.
4.

Nazhir dan Sukses Wakaf Uang


Harus diakui, bahwa banyak unsur atau aspek yang saling
mempengaruhi dan menentukan suksesnya pembangunan wakaf
di Indonesia, dan unsur itu yaitu unsur pemerintah, unsur BWI,
unsur LKS-PWU, unsur Wakif dan unsur nazhir. Di samping
itu sukses wakaf banyak ditentukan oleh nazhir profesional dan
amanah dalam mengelola dan mengembangkan wakaf yang
kemampuan Nazhir ini sangat menentukan. Karena itu peningkatan
kualitas Nazhir adalah suatu keharusan, mereka tidak hanya
harus memahami dan menghayati pengetahuan agama dan kebijakan
negara untuk mahan diri agar tidak melakukan perbuatan yang
dilarang agama dan negara. Nazhir sebagai pemimpin usaha
atau manajer bertugas berdasarkan perencanaan yang matang
yang telah disusun sebelumnya dan mengaturnya agar perencanaan
tersebut berjalan semestinya. Nazhir sebagai pelaksana, pengelola
dan pengembang wakaf yang hanya berpikir tentang bagaimana

133

Dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 93, 94, 95 dan 96 menetapkan PT Bank sebagai Lembaga
Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang yaitu: PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk. Divisi
Syariah; PT Bank Muamalat Indonesia Tbk; PT Bank DKI Jakarta; PT Bank Syariah Mandiri; dan
PT Bank Mega Syariah.

105

supaya wakaf mendatangkan hasil yang sebesar-besarnya sesuai


dengan syariah. Dan karena wakaf di Indonesia ini diarahkan
sesuai kebijakan negara produktif untuk kepentingan ibadah dan
memajukan kesejahteraan umum itu bisa di capai apabila Nazhir
di samping memahami dan menghayati pengetahuan agama dan
kebijakan negara dan juga memahami ilmu umum berbasis ekonomi
dan bisnis profit oriented sesuai syariah134 dengan hard skill
dan soft skill yang menuntut kemampuan dengan pembekalan
entrepreneurship (nilai dan jiwa wirausaha); memiliki
kepemimpinan yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan
keuntungan, merancang visi135 dan strategi berdasarkan perhitungan
134

135

Syariah jamak syaraai dari makna bahasa, berarti Jalan yang lempang (lurus). Menurut istilah
berarti peraturan yang ditetapkan Allah swt bagi manusia, berupa hukum-hukum yang disampaikan
oleh Rasul-Nya, baik yang berhubungan iktikad (keyakinan), maupun yang berhubungan dengan
ibadah dan muamalat. Disebut pula dengan istilah hukum syarak. Juga dinamakan addin atau
millah. Dalam arti luas, istilah syariah mencakup segi iktikad, ibadad, dan muamalat. Dalam arti
sempit, syariah mencakup ibadat dan muamalat. Ibadat adalah peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah, seperti shalat, puasa dan haji. Muamalat adalah berbagai macam
peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan antara manusia dengan benda
lainnya. Hassan Shadily dkk; Ensiklopedi Indonesia 6, Icthtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1984,
hlm. 3405.
1.Visi: Kemampuan melihat pada inti persoalan, pandangan, wawasan. BN. Marbun, Kamus Politik,
hlm. 557. 2. Dalam buku The World Book Dictionary antara lain kata visi itu diartikan: The
power of seeing; sense of sight. The art or fact of seeing sight. The power perceiving by
imagination in a dream, in ons thought or the like. A phantom. Something that is very beautiful,
such as a person or sence. Dari beberapa arti itu ahli manajemen menyimpulkan, bahwa visi
adalah suatu angan-angan ataupun impian terhadap sesuatu, yang sangat indah dan mempesona,
sehingga diperlukan usaha keras untuk mewujudkannya. Sedangkan visionary adalah kata sifatnya,
maka bila dikatakan visionary leadership, berarti seorang pemimpin yang memiliki pandangan
jauh ataupun impian indah terhadap sesuatu, yang diupayakan menjadi kenyataan, dan akhirnya
impian itu dapat terjadi. Ada beberapa kegunaan visi: 1) kekuatan terbesar yang dapat membawa
kemajuan dalam kehidupan manusia, adalah keinginan dan harapan yang sangat besar yang hidup
dan dimiliki oleh masyarakat. Mereka menyadari, bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat menghalangi
gelombang besar yang berupa ideologi yang hidup dalam masyarakat, ideologi itulah visi. Visi
yang tepat, akan membuat organisasi pada masa depan dapat bergerak maju, dan dengan gerakan
itu menyebabkan organisasi itu berkembang, dan dengan perkembangan itu akan membuat organisasi
berproses mendapatkan jati dirinya dan memiliki pendukung fanatik. 2) dengan visi yang mantap
akan menarik masyarakat ataupun anggota organisasi bersedia berkorban untuk membantu moral
maupun material yang mereka miliki untuk kepentingan organisasinya. Karena masyarakat merasa
memerlukan eksistensinya sehingga mereka ingin memberikan sesuatu, dan mempertahankan dari
tantangan yang ada. 3) dengan visi yang benar, masyarakat atau anggota organisasi ataupun para
pekerja dapat menimbulkan dan membangkitkan semangat kerja yang lebih kuat, orang ingin
mencari motif baru, selain motif atau dorongan yang ada seperti dorongan agama, keluarga ataupun
kelompok. 4) dengan visi yang mantap, suatu organisasi memiliki keunggulan. Orang ingin bekerja
yang lebih baik, mereka ingin diakui, bahwa ia memiliki potensi dan diakui bahwa ia mempunyai

106

pragmatis dan ekonomis perhitungan untung rugi; mempunyai


prinsip tidak selalu bergantung pada modal tetapi bagaimana
menciptakan sesuatu misalnya yang kering menjadi basah, yang
tandus menjadi subur, yang tumbuh menjadi berkembang;
berkemampuan mengajak orang lain mau bekerja sama berdasarkan
perencanaan yang telah disesuaikan dan mengaturnya agar berjalan
semestinya; dan Nazhir harus pula memiliki keterampilan yang
bersifat invisible mendorong mampu melakukan analis pengambilan
keputusan, berani mengambil risiko (calculated risk taker), mampu
melihat dan menilai sebuah peluang yang terhampar di depannya,
menciptakan kesempatan (opportunity creator), memiliki ide-ide
baru yang orisinal (innovator), kemampuan beradaptasi,
keterampilan teknologi informasi dan komunikasi, keterampilan
berbahasa asing, memiliki manajemen yang kuat, pemecahan
masalah, dan conflict resolution dan ekspansif serta berani
menanggung risiko. Jadi sesungguhnya seorang Nazhir menjalankan
fungsi manajeman yang hanya bertujuan menghasilkan,
predictability dan order, mencapai konsistensi hasil yang
diharapkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dan ilmuilmu yang harus dikuasai dan dipahami seorang Nazhir agar
mampu mengelola dan mengebangkan wakaf di Indonesia antara
lain:
kontribusi dalam organisasi. 5) dengan visi yang benar maka dapat menerangi posisi organisasi
akan menjadi jelas. Dengan demikian, dengan visi dapat diketahui secara detail kegiatan harian
yang harus dilaksanakan. Dalam kehidupan organisasi atau perusahaan selalu terjadi kompetisi
yang tajam, maka pemimpin dari organisasi itu harus menyadari dan mengetahui segala hal yang
diperlukan oleh masyarakat ataupun pelanggan. Visi yang benar dapat mengatasi status quo,
karena dapat mengarahkan pada sesuatu gerakan yang penting yang harus dilakukan, dan keperluan
organisasi harus dibangun untuk masa mendatang. Visi Indonesia 2030 diluncurkan resmi di Istana
Negara, Jakarta, Kamis, 22 Maret 2007, dan kerangka dasar visi Indonesia 2030 disampaikan
Ketua Yayasan Indonesia Forum Chairul Tanjung. Menurut Chairul, visi Indonesia itu mempunyai
4 (empat) pencapaian. Pertama, Indonesia akan masuk dalam 5 (lima) besar kekuatan ekonomi
dunia dengan tingkat pendapatan perkapita sebesar U$ 18.000 Amerika Serikat (AS) per tahun.
Yang berarti Indonesia berada di posisi setelah China, India, AS, dan Uni Eropa. Kedua, tahun
2030, sedikitnya 30 perusahaan besar Indonesia masuk daftar 500 perusahaan besar dunia. Ketiga,
adanya pengelolaan alam yang berkelanjutan dan keempat, terwujudnya kualitas hidup modern
yang merata. Dan visi Indonesia mengasumsikan pencapaian itu terealisasi jika pertumbuhan ekonomi
riil rata-rata 7,62%, laju inflasi 4,95%, dan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,12% per tahun.
Pada 2030, dengan jumlah penduduk sebesar 285 juta jiwa, Produk Domestik Bruto (PDB).
Indonesia mencapai 5,1 triliun dollar AS.

107

1.
2.
3.

Ilmu agama;
ilmu ekonomi: managemen- entrepreneurship, keuangan,
produksi, dan marketing;
Teknologi.

Hard skill dan soft skill yang menuntut wirausaha ini menjadi
jiwa dan solusi bagi seorang Nazhir termasuk metode pelatihan/
pembelajarannya menggunakan nilai-nilai kewirausahaan
(melakukan proses pembelajaran wirausaha dengan cara learning by doing). Pembelajaran wirausaha learning by doing akan
mengasah kreativitas Nazhir kreatif pada praktik usaha, tetapi
juga dalam mencari modal usaha. Ini di lakukan sebagai
pembelajaran untuk menanggung risiko sendiri. Dalam perspektif
ke depan kemampuan entrepreneur Nazhir harus terus diasah;
semakin banyak Nazhir yang menerapkan ilmu wirausaha, semakin
besar pula yang dapat dihasilkan dari pengelolaan dan
pengembangan wakaf di Indonesia ini. Tanpa dengan ilmu Hard
skill dan soft skill seorang Nazhir akan sulit mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf yang potensinya luar biasa
besarnya di Indonesia. Nazhir yang tidak memenuhi kualifikasi
dan standar serta memahami ilmu-ilmu tersebut sesungguhnya
sudah tidak relevan dengan tuntutan kemajuan dan kebijakan
negara yang telah membuka akses seluas-luasnya memajukan
wakaf di Indonesia. Nazhir ini harus diambil kebijakan kongkret
melakukan pendataan kepada mereka minimal: Nama, pendidikan,
lama menjadi Nazhir, pengelolaan yang dilakukan dalam bentuk
apa dan berhasil, tidak berhasil dan status quo. Mereka yang
tidak memenuhi kualifikasi dan standar dilakukan penggantian
dan mereka yang dianggap masih potensial dilakukan pembinaan/
pelatihan sehingga betul-betul standar, profesional dan amanah
karena tanpa itu imposible wakaf di Indonesia dapat diberdayakan
bermanfaat untuk kesejahteraan/kemajuan umat, bangsa dan negara
Indonesia.
Oleh karena itu, dan BWI yang mempunyai tugas dan fungsi
(wewenang) melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf serta
108

pemberhentian dan pengangkatan Nazhir harus bertindak dan


berbuat konkret menciptakan Nazhir yang profesional dan amanah
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Melakukan pendataan Nazhir yang meliputi: Nama, umur,
pendidikan, peruntukan wakaf harta benda wakaf yang di
Nazhiri dikembangkan berhasil, tidak berhasil status quo.
b. Penetapan standarisasi Nazhir profesional dan amanah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Pemberhentian dan pengangkatan Nazhir yang standar136
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
d. Melakukan pembinaan dan pelatihan Nazhir standar sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan BWI ke depan dengan melakukan pemberhentian,
pengangkatan, pembinaan dan pelatihan Nazhir benar-benar standar
dan mereka mampu melakukan pengelolaan dan pengembangan
wakaf sangat primer di wujudkan optimistis pembangunan wakaf
di Indonesia dalam kurun waktu yang tidak lama lima-sepuluh
tahun ke depan akan sukses sesuai dengan tujuan dan fungsi
wakaf yang diamanatkan dalam Undang-Undang Wakaf. Karena
pembangunan wakaf di Indonesia secara konsepsional, kebijakan,
infrastruktur dan suprastrukturnya telah cukup representatif; dan
kalaupun ada kekurangan-kekurangan seperti suprastruktur wakaf
dan beban kerjanya yang tidak koneksitas dan seimbang baik
struktur wakaf Departemen Agama Pusat maupun Kantor Wilayah
Departemen Agama Provinsi dan Kabupaten/Kota 137, dan
36

137

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa persyaratan Nazhir baik
Nazhir perorangan, Organisasi dan Badan hukum yaitu Warga Negara Indonesia, beragama Islam,
dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan
hukum. Selain persyaratan tersebut khusus bagi Nazhir organisasi disyaratkan organisasi yang
bergerak di bidang sosial, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam. Sedangkan Nazhir Badan
Hukum selain badan hukum yang bentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan juga badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau
keagamaan Islam.
Yang di maksud dengan kekurangan suprastruktur dan beban kerja yang tidak koneksitas dan
seimbang baik Departemen Agama Pusat maupun Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi
dan Kabupaten/Kota ialah suprastruktur Departemen Agama Pusat berdasarkan Peraturan Menteri
Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, di sana di

109

kekurangan lainnya dengan kerja keras terus melakukan


pembenahan dapat disempurnakan sesuai kebutuhan dan
pembangunan wakaf di Indonesia akan dapat berjalan terus dan
berkesinambungan. Dan pembenahan kemampuan Nazhir harus
menjadi prioritas sehingga mereka benar-benar mampu mengelola
dan mengembangkan wakaf di Indonesia. Karena dalam konteks
Indonesia potensi wakafnya luar biasa besarnya dan tinggal mampu
36

137

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa persyaratan Nazhir baik
Nazhir perorangan, Organisasi dan Badan hukum yaitu Warga Negara Indonesia, beragama Islam,
dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan
hukum. Selain persyaratan tersebut khusus bagi Nazhir organisasi disyaratkan organisasi yang
bergerak di bidang sosial, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam. Sedangkan Nazhir Badan
Hukum selain badan hukum yang bentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan juga badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau
keagamaan Islam.
Yang di maksud dengan kekurangan suprastruktur dan beban kerja yang tidak koneksitas dan
seimbang baik Departemen Agama Pusat maupun Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi
dan Kabupaten/Kota ialah suprastruktur Departemen Agama Pusat berdasarkan Peraturan Menteri
Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, di sana di
sebutkan bahwa struktur organisasi Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam terdiri dari: 1). Subdirektorat Inventarisasi dan Sertifikasi; 2). Subdirektorat
Penyuluhan Wakaf; 3). Subdirektorat Pengelolaan Wakaf; 4). Subdirektorat Bina Lembaga Wakaf
dan 5). Subbagian Tata Usaha. Sementara itu, struktur organisasi Direktorat Pemberdayaan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam pada Kanwil Provinsi dan Kabupaten/ Kota
sekarang ini masih berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama
di mana wakaf merupakan bagian dari struktur organisasi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji, yaitu: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, terdiri dari:
1). Subdirektorat Pemberdayaan Zakat; 2). Subdirektorat Bina Lembaga Pengelola Zakat; 3).
Subdirektorat Pemberdayaan Wakaf; 4). Subdirektorat Bina Lembaga Pengelola Wakaf; 5).
Subdirektorat Pengendalian dan Evaluasi dan 6). Subbagian Tata Usaha. Sedangkan struktur orgnisasi
Kantor Wilayah Departemen gama Provinsi dan Kabupaten/Kota hingga saat ini masih berdasarkan
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, yaitu di
Kanwil Departemen Agama Provinsi struktur organisasinya terdiri dari 3 (tiga) tipologi I,II dan III.
Tipologi I terdiri dari tipologi I-A, I-B, I-C, I-D, I-E, dan I-F; pada tipologi ini terkadang wakaf
masuk dalam struktur: Bidang Penyelenggaan Haji, Zakat dan Wakaf dan terkadang dengan
struktur: Pembimbing Zakat dan Wakaf. Tipologi II hanya 1 (satu) tipologi, wakaf masuk
dalam struktur: Bidang Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Dan tipologi
III terdiri dari tipologi III-A, III-B, dan III-C, yaitu terkadang wakaf masuk sebagaimana tipologi
I kadang wakaf masuk dalam struktur: Bidang Haji, Zakat dan Wakaf, dan kadang menjadi:
Pembimbing Zakat dan Wakaf. Adapun struktur pada Kantor Departemen Agama Kabupaten/
Kota terdiri dari 3 (tiga) tipologi, yaitu tipologi I, II dan III. Tipologi I terdiri dari tipologi I-A,
I-B, dan I-C, I-D, I-F,I-G dan I-H; dalam struktur ini wakaf menjadi: Penyelenggara Zakat dan
Wakaf;. Tipologi II terdiri dari tipologi II-A, II-B, dan II-C, II-D, II-E, II-F,II-G, II-H, II-I, II-J, II-

110

atau tidak memberdayakannya. Sekarang ini, dilihat secara makro


bahwa persoalan pembangunan wakaf di Indonesia berputar di
sekitar praktisi wakaf sendiri: Pemerintah, LKS-PWU, BWI,138
dan Nazhir 139 harus memiliki kemauan dan kemampuan
menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, profesional dan
amanah wakaf di Indonesia seperti ditanggung di atas akan dapat
menjadi lokomotif perekonomian mensejahterakan umat, bangsa
dan negara Indonesia secara sistemik, saling mempengaruhi dan
ketergantungan serta menentukan sukses tidaknya pengelolaan
dan pengembangan wakaf di Indonesia termasuk publik sadar
berwakaf dapat dilihat sebagai berikut:

138

139

K, II-L, II-M dan II-N; di mana di sini wakaf secara umum dengan struktur: Penyelenggara Zakat
dan Wakaf kecuali pada tipologi II-I wakaf masuk dalam struktur: Seksi Penyelenggaraan Haji,
Zakat dan Wakaf. Dan Tipologi III terdiri dari tipologi III-A, III-B, III-C, III-D, III-E, III-F, IIIG, III-H, III-I, dan III-J, yaitu dalam tipologi ini struktur wakaf tetap sebagai: Penyelenggara
Zakat dan Wakaf, kecuali tipologi III-D wakaf masuk atau bagian dari struktur: Seksi Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji. Lihat Departemen Agama RI, Sekretariat Jenderal Biro Organisasi,
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Agama, Departemen Agama RI, Sekretariat Jenderal Biro Organisasi,
Jakarta, 2006, hlm. 118; Departemen Agama RI, Sekretariat Jenderal Biro Organisasi, Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, Sekretariat
Jenderal Biro Organisasi, Jakarta, 2001, hlm. 227; dan lihat Keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama Provinsi
dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, hlm 2, 3, 4, 24, 25, 26, 27 dan 28.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dalam Pasal 49 menyatakan Badan Wakaf
Indonesia mempunyai tugas dan wewenang: Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola
dan mengembangkan harta benda wakaf; melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf berskala nasional dan internasional; memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan
peruntukkan dan status harta benda wakaf; memberhentikan dan mengganti Nazhir; memberikan
persetujuan dan penukaran harta benda wakaf; dan memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Di samping itu Badan Wakaf
Indonesia (BWI) dalam melaksanakan tugasnya selain dapat bekerjasama dengan instansi pemerintah
baik pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain
yang dipandang perlu dan juga BWI dalam melaksanakan tugasnya memperhatikan saran dan
pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dalam Pasal 11 dinyatakan bahwa
Nazhir mempunyai tugas: melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, mengawasi
dan melindungi harta benda wakaf dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

111

Matrik jaringan kerja praktisi wakaf di Indonesia tersebut


termasuk publik ikut menentukan dan tidak mampu menangkap
dan memanfaatkan kebijakan negara tentang wakaf, tidak konsisten
dan mampu menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing
dengan baik demikian pula trust dari masyarakat dapat
mempengaruhi kinerja praktisi wakaf sendiri; dan bila benarbenar menjadi suatu kenyataan sampai kapanpun pesimistis wakaf
di Indonesia yang memiliki potensi terbesar di dunia itu dapat
di bangun dan dikembangkan untuk kemajuan kesejahteraan umat,
bangsa dan negara Indonesia. Sebaliknya, potensi wakaf di Indonesia ini di kelola secara profesional dan amanah oleh praktisi
wakaf dan masyarakat sadar berwakaf banyak seperti disinggung
di atas wakaf dijamin dalam kurun waktu yang tidak lama akan
memberikan kontribusi besar bagi kemajuan umat, bangsa dan
negara Indonesia. Sekarang, masalah pembangunan wakaf di
Indonesia masalah yang bermuara pada dua hal yang sekaligus
merupakan jawabannya 1) apakah praktisi wakaf di Indonesia
telah memahami dan menyadari bahwa wakaf merupakan bagian
dari ajaran Islam yang bernilai tinggi di dalamnya mengandung
potensi ekonomi yang luar biasa besarnya yang dapat
mensejahterakan umat, bangsa dan negara Indonesia; dan 2)
mampukah praktisi wakaf di Indonesia mengelola dan
mengembangkan wakaf di Indonesia yang potensinya luar biasa
112

Nazhir

yang dapat mensejahterakan umat, bangsa dan negara Indonesia


tersebut? Bila dua pertanyaan tersebut dapat dijalankan oleh
praktisi wakaf dengan baik, maka wakaf yang telah menjadi
kebijakan negara; Mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis
harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum itu akan dapat dicapai.
Oleh karena itu dalam konteks wakaf uang di Indonesia
saat ini, bahwa hambatan utama pembangunannya bukan lagi
pada image wakaf di Indonesia umumnya umat Islam berwakaf
secara tradisional/ konvensional140 tetapi terletak pada praktisi
wakaf termasuk negara sebenarnya kurang dan tidak cepat
beradaptasi membuat kebijakan wakaf sesuai dengan tuntutan
kemajuan. Dan ke depan tidak ada jalan lain, dan ingin sukses
dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia praktisi
wakaf semua lebih-lebih Nazhir harus mampu mengelola dan
mengembangkan wakaf secara profesinal dan amanah serta
sinerjitas maka pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia sukses. Karena masalah wakaf di Indonesia saat ini adalah
masalah praktisi wakaf dan bukan masalah wakaf umat Islam
tidak sulit diajak merubah pandangan mereka tentang wakaf
asalkan kepada mereka diberikan penjelasan yang dapat mengetuk
hati dan pikiran mereka bahwa berwakaf tidak bergerak tanah
untuk masjid, langgar, musolla, madrasah, rumah yatim piatu,
kuburan dan lain sebagainya dan berwakaf bergerak: uang, logam
mulia, surat berharga, HAKI, hak sewa, kendaraan dan lain
sebagainya nilai pahalanya sama umat Islam akan mengikutinya.
5. Perubahan Paradigma dan Kebijakan Wakaf
Wakaf uang di Indonesia, yang telah diakomodir dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf bukan
hanya membawa perubahan paradigma dan kebijakan wakaf yang
revolusioner, responsif dan modern sesuai kemajuan zaman, tetapi
140

Selama ini, bahwa wakaf lambat tumbuh berkembang di Indonesia karena umat Islam umumnya
memahami wakaf secara tradisional/konvensional: berwakaf untuk masjid, musholla, madrasah,
kuburan dan rumah yatim piatu; dan kemudian tidak mempunyai kemampuan mengelola dan
mengembangkannya.

113

juga dia mengandung potensi ekonomi yang luar biasa besarnya


yang dapat mensejahterakan umat, bangsa dan negara Indonesia. Wakaf uang ini di lihat dari infrastruktur, instrumen dan
perangkat lainnya semuanya telah ada serta di ketahui oleh publik
maka oleh BWI dengan difasilitasi pemerintah mengambil kebijakan
konkret:
1.

Sudah di launching peresmian penerimaan wakaf uang tingkat


nasional yang dihadiri oleh Presiden RI, tanggal 8 Januari
2010 di Istana Negara yang dihadiri para menteri Kabinet
Indonesia Bersatu Kedua, para Eselon I, para Gubernur,
Konglomerat dan lain sebagainya.

2.

BWI yang mempunyai otoritas pengelolaan dan pengembangan


wakaf secara nasional dan internasional mengkoordinasikan
pengelolaan dan pengembangan wakaf uang, menggalang
sinerjitas praktisi wakaf dan juga melakukan pembinaan
terutama terhadap Nazhir sebagai penerima harta benda wakaf
untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan tujuan fungsi
dan peruntukkannya agar benar-benar profesional dan amanah.

3.

Mendorong pemerintah untum meregulasi wakaf uang sehingga


terbentuk suasana yang kondusif sebagai bagian dari tujuan
wakaf produktif, yaitu kesejahteraan.

Unsur-unsur wakaf menjalankan tugasnya masing-masing


secara profesional dan amanah, maka potensi wakaf di Indonesia yang luar biasa besarnya itu dalam waktu yang tidak lama
dapat diwujudkan sehingga memberikan manfaat untuk
kesejahteraan umat, bangsa dan negara Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf.
6.

Instrumen Hukum Yang Diperlukan Untuk Implementasi Wakaf


Uang
Wakaf uang adalah salah satu instrumen untuk membentuk
masyarakat yang sejahtera yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.

114

Implementasi wakaf uang melibatkan institusi/lembaga


keuangan, yaitu perbankan syariah. Dalam praktik, perbankan
syariah tidak dapat membuat produk sebelum mendapat izin
dari Bank Indonesia (BI), BI tidak mengizinkan sebuah produk
sebelum jelas standar operasional dan prosedurnya, dan BI secara
umum tidak akan mengeluarkan izin sebelum terbentuk peraturan
negara berupa Peraturan Bank Indonesia (PBI) atau Surat Edaran
Bank Indonesia (SEBI); PBI/SEBI tidak akan di buat sebelum
ada fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Oleh karena
itu masih diperlukan instrumen hukum guna mengimplementasikan
wakaf uang; yaitu: 1) Fatwa dari DSN-MUI tentang Pengelolaan
Wakaf Uang; 2) PBI-SEBI; dan 3) Standart Operational Procedure (SOP) bank yang bersangkutan.
Di samping itu, BWI dan/atau pemerintah diharapkan dapat
menerbitkan Surat Edaran (SE) mengenai kriteria Nazhir yang
layak mengelola wakaf uang.

115

116

BAB IV
KAJIAN KOMPREHENSIF

Salah satu lembaga ekonomi Islam yang sangat berperan dalam


pemberdayaan ekonomi umat adalah wakaf. Dalam sejarah, wakaf sangat
berperan dalam pengembangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Hal-hal yang menonjol dari lembaga wakaf adalah peranannya dalam
membiayai berbagai pendidikan Islam dan kesehatan. Sebagai contoh
misalnya di Mesir, Saudi Arabia, Turki dan beberapa negara lainnya,
pembangunan dan berbagai sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan
dibiayai dari hasil pengembangan wakaf. Kesinambungan manfaat hasil
wakaf dimungkinkan oleh berlakunya wakaf produktif yang didirikan
untuk menopang berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Wakaf produktif
pada umumnya berupa tanah pertanian atau perkebunan, gedung-gedung
komersial, dikelola sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan
yang sebagian hasilnya dipergunakan untuk membiayai berbagai kegiatan
tersebut. Dalam sejarah, di samping apartemen dan ruko, terdapat pula
wakaf toko makanan, pabrik-pabrik, dapur umum, mesin-mesin pabrik,
alat-alat pembakar roti, pemeras minyak, tempat pemandian, dan lainlain. Wakaf produktif ini kemudian dipraktikkan di berbagai negara sampai
sekarang. Hasil dari pengelolaan wakaf tersebut dimanfaatkan untuk
menyelesaikan berbagai masalah sosial ekonomi umat.
Meskipun dalam sejarah wakaf telah memainkan peranan yang sangat
penting dalam pembangunan masyarakat, namun di beberapa negara juga
dijumpai pengelolaan yang gagal. Di samping pengelolaannya yang tidak
memadai, cukup banyak wakaf yang diselewengkan. Hal ini juga terjadi
di Indonesia. Sebenarnya Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki harta wakaf yang cukup banyak. Sayangnya harta wakaf yang
ada di Indonesia hanya berupa tanah dan peruntukannya juga terbatas
untuk masjid, mushalla, sekolahan, madrasah, dan lain-lain yang berkaitan
dengan tempat peribadatan. Peruntukan tersebut penting, tetapi akan lebih
baik jika wakaf juga diperuntukkan bagi peningkatan ekonomi ummat.
Di Indonesia masih sedikit sekali wakaf yang dikelola secara produktif.
117

Beberapa nazhir yang mengelola wakaf secara produktif di Indonesia


memang ada, misalnya wakaf yang dikelola oleh Yayasan Badan Wakaf
UII, Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Yayasan Pemeliharaan dan
Perluasan Wakaf Modern Gontor, dan lain-lain. Dari segi benda yang
diwakafkan, pada umumnya benda yang diwakafkan di Indonesia berupa
benda tidak bergerak, yakni tanah. Padahal dalam peraturan perundangundangan benda yang boleh diwakafkan tidak hanya berupa benda tidak
bergerak, tetapi juga benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat
berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda
bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Wakaf uang memang belum lama dikenal di Indonesia. Padahal wakaf
uang (wakaf tunai) tersebut sebenarnya sudah cukup lama di kenal dalam
dunia Islam, yakni sejak zaman Mamluk. Memang, para ahli fikih
memperdebatkan boleh atau tidaknya uang diwakafkan. Ada sebagian
ulama yang membolehkan wakaf uang, dan ada sebagian ulama yang
melarangnya, dan masing-masing mempunyai alasan yang memadai.
Meskipun wakaf uang sudah dikenal pada masa Imam Mazhab, namun
wakaf uang baru akhir-akhir ini mendapat perhatian para ilmuwan dan
menjadi bahan kajian yang intensif. Di berbagai negara wakaf uang ini
sudah lama menjadi bahan kajian, dan bahkan sudah dipraktikkan serta
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Indonesia, sebagai negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, wakaf uang memang sesuatu
yang baru bagi umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Sebagai sesuatu yang baru dan penting bagi pengembangan wakaf dan
peningkatan ekonomi masyarakat, maka dalam Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf uang diatur dalam bagian tersendiri,
yakni bagian kesepuluh, terdiri dari 4 (empat) pasal, yaitu Pasal 28;
Pasal 29; Pasal 30; dan Pasal 31. Ketentuan lebih lanjut mengenai wakaf
benda bergerak berupa uang sebagai dimaksud dalam pasal-pasal tersebut
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Di
samping itu, masalah pengelolaan wakaf uang juga diatur dalam Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang dan Peraturan Badan Wakaf Indonesia
tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf
118

Bergerak Berupa Uang. Peraturan-peraturan tersebut diharapkan dapat


menjadi acuan penerapan wakaf uang di Indonesia. Yang menjadi masalah,
prosedur pengelolaan wakaf uang ini belum banyak diketahui oleh
masyarakat. Berkenaan dengan hal itu, sudah selayaknya berbagai peraturan
yang berkenaan dengan wakaf uang disosialisasikan.
A. Wakaf dan Wakaf Uang
Wakaf adalah salah satu lembaga yang sangat dianjurkan dalam
ajaran Islam untuk dipergunakan oleh seseorang sebagai sarana
penyaluran rezeki yang diberikan oleh Allah kepadanya. Meskipun
wakaf tidak jelas dan tegas disebutkan dalam al-Quran, tetapi ada
beberapa ayat dan Hadits yang digunakan oleh para ahli sebagai
dasar hukum disyariatkannya wakaf, sebagaimana sudah dikutip dalam
bab-bab sebelumnya.
Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang
potensinya belum sepenuhnya digali dan dikembangkan di Indonesia.
Pada akhir-akhir ini upaya untuk mengembangkan potensi wakaf ini
terus menerus dilakukan melalui berbagai pengkajian, baik dari segi
peranannya dalam sejarah, maupun kemungkinan peranannya di masa
yang akan datang. Cukup banyak pemikir-pemikir Islam khususnya
pakar hukum Islam dan ekonomi Islam, sebagai contoh misalnya,
Monzer Kahf, Khaled R. Al-Hajeri dan Abdulkader Thomas, M.A.
Mannan dan lain-lain melakukan pengkajian tentang wakaf. Pengkajian
tentang wakaf ini tidak hanya terjadi di universitas-universitas Islam, tetapi juga di Harvard University. Di Universitas ini para pakar
ekonomi syariah berkumpul setiap tahunnya untuk mengkaji masalah
ekonomi Islam termasuk di dalamnya mengenai wakaf. Di Indonesia
sendiri, saat ini wakaf juga cukup mendapat perhatian dari para
ilmuwan dan para praktisi. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai
seminar mapun lokakarya dan karya ilmiah tentang wakaf baik itu
berupa skripsi, tesis maupun disertasi. Bahkan pada saat ini cukup
banyak perguruan tinggi yang menjadikan wakaf sebagai salah satu
mata kuliah seperti contohnya di Fakultas Hukum UI, Fakultas Hukum
Universitas Tarumanagara, Islamic Economics and Finance (IEF),
Post Graduate Program, Trisakti University, PSTTI Pascasarjana UI
dan lain-lain. Hal ini semakin meyakinkan kita bahwa wakaf merupakan
119

salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang potensial untuk di


kembangkan.
Para ulama sepakat bahwa dalam pembentukan wakaf diperlukan
beberapa rukun. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, rukun wakaf ada
empat: (1) Orang yang berwakaf atau wakif, yakni pemilik harta
benda yang melakukan tindakan hukum; (2) Harta yang di wakafkan
atau mauquf bih sebagai objek perbuatan hukum; (3) Tujuan wakaf
atau yang berhak menerima, yang disebut mauquf alaih; dan (4)
Pernyataan wakaf dari wakif yang disebut sighat atau ikrar wakaf.
Akan tetapi dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, rukun
atau unsur wakaf ditambah dengan nazhir dan jangka waktu.
Dari keenam rukun tersebut, mauquf bih merupakan salah satu
rukun yang relevan dengan topik yang sedang kita kaji. Harta yang
diwakafkan merupakan hal yang sangat penting dalam perwakafan.
Namun demikian harta yang diwakafkan tersebut baru sah sebagai
harta wakaf, kalau benda tersebut memenuhi syarat. Adapun syaratsyarat itu antara lain adalah sebagai berikut:
a. Benda yang diwakafkan harus bernilai ekonomis, tetap zatnya
dan boleh dimanfaatkan menurut ajaran Islam dalam kondisi
apapun.141 Namun dalam Qanun yang ada di Mesir wakaf (benda
yang di wakafkan) tidak hanya dibatasi pada benda-benda tidak
bergerak, tetapi juga benda-benda bergerak.142
b. Benda yang diwakafkan harus jelas wujudnya dan pasti batasbatasnya. Syarat ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan
dan permasalahan yang mungkin terjadi di kemudian hari setelah
harta tersebut diwakafkan. Dengan kata lain persyaratan ini
bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak
bagi mustahik untuk memanfaatkan benda tersebut.143
c. Harta yang diwakafkan itu harus benar-benar kepunyaan wakif
secara sempurna, artinya bebas dari segala beban.144
141

142
143
144

Muhammad Salam Madkur, Ahkam al-Usrat fi al-Islam (Kairo: Dar al-Nahdat at-Arabiyyah,
1970), hlm. 304.
Wahbah az-Zuhaily, Fikih al-Islamy wa Adillatuhu, Juz VIII (Mesir: Dar al-Fikri, t.t.), hlm. 185
Ibid.
Muhammad Ubaid Abdullah al-Kubaisy, Ahkam al-Waqf fi Syariat al-Islamiyyah, Jilid II (Baghdad:
Mathbaah al-Irsyad, 1977), hlm. 351

120

d.

Benda yang diwakafkan harus kekal. Pada umumnya para ulama


berpendapat bahwa benda yang di wakafkan zatnya harus kekal.145
Ulama Hanafiyyah mensyaratkan bahwa harta yang diwakafkan
itu ain (zatnya) harus kekal dan memungkinkan dapat
dimanfaatkan terus menerus. Mereka berpendapat bahwa pada
dasarnya benda yang dapat di wakafkan adalah benda tidak
bergerak. Akan tetapi menurut mereka (Ulama Hanafiyyah) benda
bergerak dapat diwakafkan dalam beberapa hal: Pertama, keadaan
harta bergerak itu mengikuti benda tidak bergerak dan ini ada
dua macam: (1) Barang tersebut mempunyai hubungan dengan
sifat diam di tempat dan tetap, misalnya bangunan dan pohon.
Menurut Ulama Hanafiyyah bangunan dan pohon termasuk benda
bergerak yang bergantung pada benda tidak bergerak; (2) Benda
bergerak yang dipergunakan untuk membantu benda tidak bergerak
seperti alat untuk membajak, kerbau yang dipergunakan bekerja
dan lain-lain. Kedua, kebolehan wakaf benda bergerak itu
berdasarkan dasar yang memperbolehkan wakaf senjata dan
binatang-binatang yang dipergunakan untuk berperang.
Sebagaimana diriwayatkan bahwa Khalid bin Walid pernah
mewakafkan senjatanya untuk berperang di jalan Allah taala.
Ketiga, wakaf benda bergerak itu mendatangkan pengetahuan
seperti wakaf kitab-kitab dan mushaf. Menurut Ulama Hanafiyyah,
pengetahuan adalah sumber pemahaman dan tidak bertentangan
dengan nas. Mereka menyatakan bahwa untuk mengganti benda
wakaf yang dikhawatirkan tidak kekal adalah memungkinkan
kekalnya manfaat. Menurut mereka mewakafkan buku-buku dan
mushaf di mana yang diambil adalah pengetahuannya, kasusnya
sama dengan mewakafkan dirham dan dinar. Oleh karena itu
Ulama Hanafiyyah membolehkan wakaf uang. Ulama Hanafiyyah
juga memperbolehkan mewakafkan barang-barang yang memang
sudah biasa dilakukan pada masa lalu seperti tempat memanaskan
air, sekop, kampak sebagai alat manusia bekerja.146

Dari beberapa pendapat yang sudah dikemukan jelas bahwa pada


prinsipnya para ulama termasuk ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa
145
146

Muhammad Abu Zahrah, Muhadlarat fi al-Waqf (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1971), hlm. 103
Ibid., hlm. 103-104

121

syarat benda yang diwakafkan adalah benda-benda tidak bergerak,


hanya benda-benda bergerak tertentu saja yang boleh diwakafkan,
yakni benda-benda yang memenuhi syarat yang sudah dikemukakan
dan jenis-jenis benda yang sudah pernah diwakafkan oleh para sahabat.
Selain ulama Hanafiyyah, Imam az-Zuhri juga berpendapat bahwa
mewakafkan dinar, hukumnya boleh dengan cara menjadikan dinar
tersebut sebagai modal usaha. Keuntungan dari usaha tersebut kemudian
disalurkan kepada mauquf alaih. Di samping Imam az-Zuhri dan
Ulama Hanafiyyah, sebagian Ulama Mazhab Syafii juga membolehkan
wakaf dinar dan dirham. Bolehnya mewakafkan benda-benda bergerak
seperti uang dan saham ini sangat penting untuk mengembangkan
benda-benda tidak bergerak. Untuk itu perumusan tentang benda
yang boleh diwakafkan sangat diperlukan, terutama di negara yang
wakafnya belum berkembang dengan baik seperti Indonesia. Hasil
perumusan tersebut harus disosialisasikan kepada umat Islam, sehingga
umat Islam memahami masalah perwakafan dengan baik dan benar.
Dengan demikian umat Islam dapat mengembangkan wakaf yang
ada secara produktif dan hasilnya dapat dipergunakan untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial.
Mengenai wakaf uang di Indonesia, pada saat ini sudah tidak
ada masalah lagi. Pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang
isinya adalah sebagai berikut:
1. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang
di lakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk halhal yang dibolehkan secara syari.
5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh
dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Wakaf uang ini penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia
di saat kondisi perekonomian yang kian memburuk. Apabila dikelola
122

oleh nazhir yang profesional, hasil pengembangan wakaf uang dapat


dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi
di Indonesia.
B. Wakaf dan Permasalahannya di Indonesia
Sebagaimana sudah di kemukakan, wakaf di Indonesia pada
umumnya berupa tanah. Sayangnya tanah wakaf tersebut belum dikelola
secara produktif, sehingga wakaf di Indonesia belum dapat berperan
dalam memberdayakan ekonomi ummat. Menurut penulis ada beberapa
faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam
memberdayakan ummat:
1.

Masalah Pemahaman Masyarakat tentang Hukum Wakaf


Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf
dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf,
maupun maksud disyariatkannya wakaf. Memahami rukun wakaf
bagi masyarakat sangat penting, karena dengan memahami rukun
wakaf, masyarakat bisa mengetahui siapa yang boleh berwakaf,
apa saja yang boleh diwakafkan, untuk apa dan kepada siapa
wakaf diperuntukkan, bagaimana cara berwakaf, dan siapa saja
yang boleh menjadi nazhir. Pada saat ini cukup banyak masyarakat
yang memahami bahwa benda yang dapat diwakafkan hanyalah
benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan dan benda-benda
tidak bergerak lainnya. Dengan demikian peruntukannyapun sangat
terbatas, seperti untuk masjid, mushalla, rumah yatim piatu,
madrasah, sekolah dan sejenisnya. Pada umumnya masyarakat
mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid, karena masjid
dipergunakan untuk beribadah. Walaupun wakaf untuk masjid
penting, namun jika masjid sudah banyak, akan lebih manfaat
jika wakif mewakafkan hartanya untuk hal-hal yang lebih produktif.
Karena pemahamannya masih pada wakaf konsumtif, maka nazhir
yang dipilih oleh wakif juga mereka yang ada waktu untuk
menunggu dan memelihara masjid. Dalam hal ini wakif kurang
mempertimbangkan kemampuan nazhir untuk mengembangkan
masjid sehingga masjid menjadi pusat kegiatan umat. Dengan
demikian wakaf yang ada, hanya terfokus untuk memenuhi
123

kebutuhan peribadatan, dan sangat sedikit wakaf yang berorientasi


untuk meningkatkan perkonomian umat. Padahal jika di lihat
dari sejarah wakaf pada masa lampau, baik yang dilakukan
Nabi Muhammad maupun para sahabat, selain masjid dan tempat
belajar, cukup banyak wakaf yang berupa kebun yang hasilnya
diperuntukkan bagi mereka yang memerlukan. Untuk mengatasi
masalah ini sebaiknya, di negara yang bersangkutan dilakukan
perumusan konsepsi fikih wakaf baru, kemudian dituangkan dalam
Undang-Undang tentang Wakaf, dan undang-undang tersebut
disosialisasikan kepada masyarakat. Dengan demikian perwakafan
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga tujuan wakaf
dapat tercapai. Alhamdulillah pada saat ini Indonesia sudah
memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
2.

Pengelolaan dan Manajemen Wakaf


Saat ini ada beberapa negara yang pengelolaan dan manajemen
wakafnya sangat memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak
harta wakaf terlantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta
wakaf yang hilang. Salah satu sebabnya antara lain adalah karena
umat Islam pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan
sekolah, dalam hal ini wakif kurang memikirkan biaya operasional
sekolah, dan nazhirnya kurang profesional. Oleh karena itu kajian
mengenai manajemen pengelolaan wakaf ini sangat penting. Kurang
berperannya wakaf dalam memberdayakan ekonomi umat di
Indonesia dikarenakan wakaf tidak dikelola secara produktif.
Untuk mengatasi masalah ini, paradigma baru dalam pengelolaan
wakaf harus diterapkan. Wakaf harus dikelola secara produktif
dengan menggunakan manajemen modern. Untuk mengelola wakaf
secara produktif, ada beberapa hal yang perlu dilakukan
sebelumnya. Selain perumusan konsepsi fikih wakaf dan peraturan
perundang-undangan, nazhir harus profesional untuk
mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi jika harta wakaf
tersebut berupa uang. Di samping itu, untuk mengembangkan
wakaf secara nasional juga diperlukan badan khusus yang antara
melakukan pembinaan nazhir, seperti Badan Wakaf Mesir.

124

Alhamdulillah pada saat ini sudah ada Keputusan Presiden tentang


Pengangkatan Anggota Badan Wakaf Indonesia.
3.

Benda Yang Diwakafkan dan Nazhir Wakaf


Nazhir adalah salah satu unsur penting dalam perwakafan.
Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan
nazhir. Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang
dan berfungsi untuk memberdayakan umat, wakaf dikelola oleh
nazhir yang profesional. Sayangnya, masih ada beberapa negara
yang wakafnya dikelola oleh mereka yang kurang profesional,
bahkan ada beberapa nazhir yang kurang memahami hukum
wakaf, termasuk kurang memahami hak dan kewajibannya. Kasus
semacam ini juga terjadi di Indonesia, bahkan pada umumnya
wakaf di Indonesia dikelola nazhir yang belum mampu mengelola
wakaf yang menjadi tanggungjawabnya. Dengan demikian, wakaf
yang diharapkan dapat memberi kesejahteraan pada umat,
kadangkala biaya pengelolaannya terus-menerus tergantung pada
zakat, infaq dan shadaqah masyarakat. Pada hal andaikata,
nazhirnya kreatif, dia bisa mengelola wakafnya secara produktif.
Sayangnya, cukup banyak tanah yang diwakafkan luasnya hanya
cukup untuk musholla. Untuk menghadapi masalah ini, harus
disosialisasikan kepada masyarakat perlunya dikembangkan wakaf
benda bergerak, selain benda tidak bergerak. Di samping itu,
dalam berbagai kasus ada sebagian nazhir yang kurang memegang
amanah, seperti melakukan penyimpangan dalam pengelolaan,
kurang melindungi harta wakaf, dan kecurangan-kecurangan lain
sehingga memungkinkan wakaf tersebut berpindah tangan. Kondisi
ini juga pernah terjadi di Turki, yang menyebabkan Pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang. Pada waktu itu ada keluhan dari
masyarakat tentang sikap negatif nazhir dan wali serta kerusakan
yang mereka lakukan terhadap harta wakaf, serta tidak
terealisasinya tujuan yang diinginkan wakif.147 Selain Turki, kasus
serupa juga terjadi di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini,
hendaknya calon wakif sebelum berwakaf memperhatikan lebih

147

Munzir Kahaf, Manajemen Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida (Jakarta:
Khalifa, Pustaka al-Kautsar Grup, 2005), hlm. 296

125

dahulu apa yang diperlukan masyarakat, dan dalam memilih


nazhir hendaknya mempertimbangkan kompetensinya.
Kalau kita berbicara tentang pengelolaan wakaf, kita juga
harus membicarakan masalah nazhir wakaf. Hal ini disebabkan
karena berkembang tidaknya harta wakaf, salah satu di antaranya
sangat tergantung pada nazhir wakaf. Walaupun para mujtahid
tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun
para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf.
Mengingat pentingnya nazhir dalam pengelolaan wakaf, maka
di Indonesia nazhir ditetapkan sebagai unsur perwakafan.
Pengangkatan nazhir ini tampaknya ditujukan agar harta wakaf
tetap terjaga dan terpelihara sehingga harta wakaf itu tidak siasia. Nazhir adalah orang yang diserahi tugas untuk mengurus
dan memelihara benda wakaf. Pengertian ini kemudian di Indonesia
dikembangkan menjadi kelompok orang atau Badan Hukum yang
diserahi tugas untuk memelihara dan mengurus benda wakaf.
Dengan demikian nazhir dapat diartikan sebagai orang atau pihak
yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk
mengurus, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada
orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala
sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan
kekal.148 Dari pengertian nazhir yang sudah dikemukakan jelas
bahwa dalam perwakafan nazhir memegang peranan yang sangat
penting. Agar harta itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya
dan dapat berlangsung terus-menerus, maka harta itu harus dijaga,
dipelihara, dan dikembangkan. Dilihat dari tugas nazhir, di mana
dia berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan
manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak
menerimanya, jelas bahwa berfungsi dan tidak berfungsinya suatu
berwakafan bergantung pada nazhir.
C. Peranan Wakaf Uang Dalam Memberdayakan Umat
Pada dasarnya semua wakaf harus dikembangkan secara produktif,
namun pengembangannya tentu disesuaikan dengan benda yang
148

Muhammad Ibnu Ismail ash-Shanany, Subul al-Salam, Juz III (Muhammad Ali Sabih, t.t.), hlm.
112

126

diwakafkan dan peruntukannya. Sebagaimana sudah dikemukakan


bahwa di Indonesia memiliki tanah wakaf yang cukup banyak dan
luas. Di antara tanah-tanah wakaf tersebut cukup banyak yang dapat
dikembangkan dan dikelola secara produktif. Kendala utama yang
dihadapi dalam pengembangan wakaf di Indonesia adalah terbatasnya
nazhir profesional dan dana untuk mengelola dan mengembangkan
wakaf benda tidak bergerak. Sebagaimana sudah penulis kemukakan
bahwa di Indonesia cukup banyak tanah wakaf yang memungkinkan
dikelola secara produktif karena tanahnya yang cukup luas dan
tempatnya sangat strategis untuk dibangun gedung sebagai tempat
usaha atau disewakan. Yang menjadi masalah adalah tidak adanya
dana wakaf yang dapat dipergunakan untuk mengelola lahan-lahan
yang potensial untuk dikembangkan. Apabila tanah-tanah wakaf tersebut
dikelola sesuai dengan kondisi tanah-tanah tersebut oleh para nazhir
profesional, menurut penulis hasilnya bisa dipergunakan untuk
memberdayakan masyarakat. Yang menjadi masalah saat ini adalah
cara menghimpun wakaf uang dari masyarakat. Apabila ada kesadaran
dari orang yang mampu untuk mewakafkan sebagian uangnya, penulis
yakin hasil pengembangan uang tersebut dapat dipergunakan untuk
membangun hotel, rumah sakit, apartemen (untuk disewakan),
menghidupkan lahan pertanian dan perkebunan yang berupa tanah
wakaf. Hasil pengembangan usaha-usaha tersebut yang nantinya bisa
dipergunakan untuk membantu mereka yang menghadapi kesulitan
ekonomi.
Sebagaimana sudah kita ketahui bersama bahwa pada saat ini
masih cukup banyak saudara-saudara kita yang hidup di bawah garis
kemiskinan, tetapi di sisi sebenarnya banyak juga saudara-saudara
kita yang sudah berkecukupan, bahkan lebih dari cukup. Apabila
mereka yang mampu tersebut bersedia berwakaf khususnya wakaf
uang, dan uang yang diwakafkan diinvestasikan dalam berbagai usaha
oleh nazhir, penulis yakin permasalahan kemiskinan di Indonesia
bisa diatasi. Salah satu negara yang sudah mengembangkan wakaf
uang adalah Bangladesh.
Pada mulanya kondisi perwakafan di Bangladesh tidak jauh berbeda
dengan kondisi di Indonesia. Dalam beberapa kasus, penghasilan
dari banyak harta wakaf yang kecil-kecil dan tersebar sangat tidak
127

mencukupi untuk memelihara harta wakaf itu sendiri. Sementara itu


leasing permanen tidak cukup untuk memelihara aset wakaf, di samping
itu wakaf keluarga juga menjadi salah satu sumber kasus permasalahan
hukum di Bangladesh. Kondisi inilah yang kemudian memerlukan
adanya reformasi di dalam mamajemen dan admistrasi harta wakaf.
Survei yang dilakukan M.A. Mannan ini menunjukkan bahwa ada
fleksibilitas dan scope yang cukup untuk dilakukan reformasi lebih
jauh bagi pengembangan manajemen dan administrasi harta wakaf di
negara-negara muslim atau negara yang mayoritas penduduknya muslim
terutama yang berkenaan dengan wakaf tunai.149
Wakaf uang diharapkan dapat menjadi sarana bagi rekonstruksi
sosial dan pembangunan, di mana mayoritas penduduk dapat ikut
berpartisipasi. Untuk mewujudkan partisipasi tersebut, maka berbagai
upaya pengenalan tentang arti penting wakaf termasuk wakaf uang
sebagai sarana mentransfer tabungan si kaya kepada para usahawan
(entrepreneurs) dan anggota masyarakat dalam mendanai berbagai
kegiatan di negara-negara Islam perlu dilakukan secara intensif. Menurut
M.A. Mannan, wakaf tunai (uang) dapat berperan sebagai suplemen
bagi pendanaan berbagai macam proyek investasi sosial yang dikelola
oleh bank-bank Islam, sehingga dapat berubah menjadi bank wakaf
(sebuah bank yang menampung dana-dana wakaf). Di Bangladesh
wakaf uang memiliki arti yang sangat penting dalam memobilisasi
dana bagi pengembangan wakaf properti. Social Investment Bank
Ltd (SIBL) mngintrodusir Sertifikat Wakaf Tunai, suatu produk baru
dalam sejarah perbankan sector voluntary. Di Dhaka, Bangladesh
SIBL membuka peluang kepada masyarakat untuk membuka rekening
deposito wakaf tunai dengan tujuan mencapai sasaran-sasaran berikut:
(1) Menjadikan perbankan sebagai fasilitator untuk menciptakan wakaf
uang dan membantu dalam pengelolaan wakaf; (2) Membantu
memobilisasi tabungan masyarakat; (3) Meningkatkan investasi sosial
dan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal; (4)
Memberikan manfaat kepada masyarakat luas terutama golongan
149

M.A. Mannan, Mannan, M. A., Cash-Waqf Certificate Global Apportunities for Developing The
Social Capital Market in 21 -Century Voluntary Sector Banking, di dalam Harvard Islamic
Finance Information Program-Center for Middle Eastern Studies, Proceedings of The Third Harvard
University Forum on Islamic Finance, (Cambridge: Harvard University, 1999), hlm. 247.

128

miskin, dengan menggunakan sumber-sumber yang diambilnya dari


golongan orang kaya; (5) Menciptakan kesadaran di antara orang
kaya tentang tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat;
(6) Membantu pengembangan Social Capital Market; (7) Membantu
usaha-usaha pembangunan bangsa secara umum dan membuat hubungan
yang unik antara jaminan sosial dan kesejahteraan masyarakat.150
Adapun sasaran pemanfaatan dana hasil pengelolaan wakaf tunai
yang dikelola oleh SIBL antara lain adalah untuk: peningkatan standar
hidup orang miskin; rehabilitasi orang cacat; peningkatan standar
hidup penduduk hunian kumuh; membantu pendidikan anak yatim
piatu; beasiswa; pengembangan pendidikan moderen; pengembangan
sekolah, madrasah, kursus, akademi dan universitas; mendanai riset;
membantu pendidikan keperawatan; riset penyakit tertentu dan
membangun pusat riset; mendirikan rumah sakit dan bank darah;
membantu program riset, pengembangan, dan pendidikan untuk
menghormati jasa para pendahulu; menyelesaikan masalah-masalah
sosial non muslim; membantu proyek-proyek untuk penciptaan lapangan
kerja yang penting untuk untuk menghapus kemiskinan sesuai dengan
syariat Islam, dan lain-lain.151 Menurut M.A. Mannan, wakaf uang
membuka peluang yang unik untuk menciptakan investasi guna
memberikan pelayanan keagamaan, layanan pendidikan, dan layanan
sosial. Tabungan orang-orang kaya dapat dimanfaatkan dengan
menukarkannya dengan Cash-Waqf Certificate. Hasil yang diperoleh
dari sertifikat tersebut dapat dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang
bermacam-macam seperti tujuan-tujuan wakaf itu sendiri. Kegunaan
lain dari Cash-Waqf Certificate adalah bahwa dia dapat mengubah
kebiasaan lama di mana kesempatan wakaf seolah-olah hanya untuk
orang-orang kaya saja. Karena Cash-Waqf Certificate seperti yang
ditebitkan oleh Social Investment Bank dibuat dengan denominasi
sekitar US $ 21, maka certivicate tersebut dapat dibeli oleh sebagian
besar umat Islam, dan bahkan sertifikat tersebut dapat dibuat dengan
pecahan yang lebih kecil lagi. Oleh karena itu menurut M.A. Mannan, upaya-upaya untuk memperkenalkan kepada khalayak tentang
peran penting wakaf termasuk wakaf tunai harus dilakukan. Pada
150
151

Ibid., hlm. 249-250


Ibid., hlm. 243

129

saat ini, di Bangladesh wakaf tunai sangat penting artinya dalam


memobilisasi dana untuk pengembangan wakaf property.152 Contoh
sukses pelaksanaan sertifikat wakaf tunai di Bangladesh dapat dijadikan
contoh bagi umat Islam di Indonesia. Kalau umat Islam Indonesia
mampu melaksanakannya dalam skala besar, maka akan terlihat
implikasi positif dari kegiatan wakaf tunai tersebut. Wakaf uang
mempunyai peluang yang unik bagi terciptanya investasi di bidang
keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Tabungan dari anggota
masyarakat yang berpenghasilan tinggi dapat dimanfaatkan melalui
penukaran sertifikat wakaf tunai. Sedangkan pendapatan yang diperoleh
dari pengelolaan wakaf uang tersebut dapat ditasarrufkan untuk berbagai
tujuan yang berbeda-beda, seperti keperluan pendidikan, kesehatan
dan untuk pemeliharaan harta-harta wakaf. Jika ada lembaga wakaf
yang mampu mengelola wakaf uang secara professional, maka lembaga
ini merupakan sarana baru bagi umat Islam untuk beramal. Sehubungan
dengan penerapan wakaf uang di Indonesia, Mustafa Edwin Nasution
pernah melakukan asumsi bahwa jumlah penduduk Muslim kelas
menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan rata-rata
penghasilan perbulan antara Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
- Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), maka dapat dibuat perhitungan
sebagai berikut:153
1. Apabila umat Islam yang berpenghasilan Rp 500.000,00 sejumlah
4 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf sebanyak
Rp 60.000,00 maka setiap tahun terkumpul Rp 240 miliar.
2. Apabila umat yang berpenghasilan Rp 1 juta - Rp 2 juta sejumlah
3 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp
120.000,00 maka setiap tahun terkumpul dana sebanyak Rp 360
miliar.
3. Apabila umat yang berpenghasilan Rp 2 juta - Rp 5 juta sejumlah
2 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp
600.000,00 maka setiap tahun terkumpul dana sebanyak Rp 1,2
triliun.
152
153

Ibid., hlm. 248


Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah (Eds.), Wakaf Tunai Inovasi Finansial IslamPeluang
dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat (Jakarta: PKTTI-UI bekerja sama dengan
Bank Indonesia di dukung Departemen Agama RI, 2005), hlm. 43-44.

130

4.

Apabila umat yang berpenghasilan Rp 5 juta - Rp 10 juta sejumlah


1 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 1,2
juta maka setiap tahun terkumpul dana sebanyak Rp 1,2 triliun.

Dengan demikian wakaf yang terkumpul selama satu tahun sejumlah


Rp 3 triliun. Dari contoh perhitungan di atas maka terlihat bahwa
keberhasilan organisasi untuk memobilisasi dana wakaf akan sangat
menentukan manfaat keberadaan lembaga wakaf.
D. Peranan Nazhir Dalam Pengelolaan Wakaf
Begitu pentingnya wakaf untuk memberdayakan masyarakat, maka
Undang-Undang Wakaf yang mendukung pengelolaan wakaf secara
produktif sangat diperlukan. Oleh karena itu sudah selayaknya umat
Islam menyambut baik lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf. Dalam Undang-Undang Wakaf tersebut sudah
dimasukkan rumusan konsepsi fikih wakaf baru di Indonesia yang
antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan
wakaf (mauquf alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak
maupun benda bergerak seperti uang dan saham; kewajiban dan hak
nazhir wakaf; dan lain-lain yang menunjang pengelolaan wakaf
produktif. Benda wakaf (mauquf bih) yang diatur dalam UndangUndang Wakaf itu tidak dibatasi benda tidak bergerak saja, tetapi
juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariat Islam.
Dalam Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa harta benda wakaf
terdiri:
a. benda tidak bergerak; dan
b. benda bergerak.
Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa benda tidak bergerak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum
terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
131

c.
d.
e.

tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;


hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun pada ayat (3) Pasal yang sama disebutkan bahwa benda
bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta
benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Undang-Undang tentang Wakaf, wakaf uang juga diatur
dalam bagian tersendiri. Dalam Pasal 28 UU tersebut disebutkan
bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui
lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri. Kemudian
dalam Pasal 29 ayat (1) disebutkan pula bahwa wakaf benda bergerak
berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dilaksanakan
oleh wakif dengan pernyataan kehendak yang dilakukan secara tertulis.
Dalam ayat (2) Pasal yang sama dinyatakan bahwa wakaf benda
bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan
dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Sedangkan dalam ayat (3) Pasal
yang sama diatur bahwa sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditebitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan
syariah kepada wakif dan nazhir sebagai bukti penyerahan harta
benda wakaf. Adapun ketentuan mengenai wakaf benda bergerak
yang berupa uang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pengelolaan wakaf uang ini memang tidak mudah, karena dalam
pengelolaannya harus melalui berbagai usaha, dan usaha ini mempunyai
132

risiko yang cukup tinggi. Oleh karena itu pengelolaan dan pengembangan
benda wakaf, khususnya wakaf uang harus dilakukan oleh nazhir
yang profesional.
Nazhir adalah salah satu unsur perwakafan yang sangat penting.
Hal ini di sebabkan berhasil tidaknya perwakafan sangat ditentukan
oleh kualitas nazhir yang mengelola wakaf. Sayangnya di beberapa
negara, keberadaan nazhir kurang dipertimbangkan dan diperhitungkan,
sehingga cukup banyak harta wakaf yang terlantar yang disebabkan
ketidakmampuan nazhir dalam mengelolanya. Padahal contoh
keberhasilan nazhir dalam mengelola wakaf cukup banyak, baik dalam
sejarah maupun nazhir yang ada pada saat ini.
Agar harta itu dapat berfungsi sebagaimana mesti-nya dan dapat
berlangsung terus-menerus, maka harta itu harus dijaga, dipelihara,
dan jika mungkin dikembangkan. Dilihat dari tugas nazhir, di mana
dia berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan
manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak
menerimanya, jelas bahwa berfungsi dan tidak berfungsinya suatu
perwa-kafan bergantung pada nazhir.
Menurut Mustafa Syalabi, penunjukan wakif pada dirinya sendiri
untuk mengurus wakaf tidak dapat disebut nazhir, dan keabsahan
wakaf juga tidak bergantung pada penunjukan nazhir, baik pada
diri sendiri maupun pada orang lain.154 Walaupun para mujahidin
tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun
para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf
(pengawas wakaf) baik nazhir tersebut wakif sendiri, mauquf alaih
atau pihak lain. Bahkan ada kemungkinan nazhirnya terdiri dari dua
pihak yakni wakif dan mauquf alaihnya.155 Pengangkatan nazhir ini
tampaknya ditujukan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus
sehing-ga harta wakaf itu tidak sia-sia.
Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan
mengurusi wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam
perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan nazhir dalam
154
155

Ibnu Qudamah, al-Mugni, (Riyad:Maktabah al-Riyad, t.t.), Juz V, h. 646


Wahbah az-Zuhaili, op.cit., h. 231

133

perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf itu bagi mauquf


alaih sangat bergantung pada nazhir wakaf. Meskipun demikian
tidak berarti bahwa nazhir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap
harta yang diamanatkan kepadanya. Pada umumnya ulama sepakat
bahwa kekuasaan nazhir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan
wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang
dikehendaki wakif.
Asaf A.A. Fyzee berpendapat bahwa kewajiban nazhir adalah
mengerjakan segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola
harta. Sebagai pengawas harta wakaf, nazhir dapat mempekerjakan
beberapa wakil atau pembantu untuk menyelenggarakan urusanurusan yang berkenaan dengan tugas dan kewajibannya. Nazhir sebagai
orang yang berkewajiban mengawasi dan memelihara wakaf tidak
boleh menjual, menggadaikan atau menyewakan harta wakaf kecuali
diizinkan oleh pengadilan. Ketentuan ini sesuai dengan masalah
kewarisan dalam kekuasaan kehakiman yang memiliki wewenang
untuk mengontrol kegiatan nazhir.156 Hal ini menunjukkan bahwa
wewenang nazhir dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh wakif maupun hakim. Sebagai contoh adalah dalam
hal sewa-menyewa harta wakaf yang diurusnya. Sewa-menyewa
harta wakaf ini diperbolehkan jika dapat mengembangkan harta wakaf.
Hanya saja sewa-menyewa tersebut harus mendapatkan izin dari
wakif atau hakim. Adapun tugas-tugas nazhir antara lain sebagai
berikut:
(1) Menyewakan, yakni menyewakan tanah (benda wakaf) itu,
(2) Memelihara harta wakaf. Pemeliharaan ini tentu saja memerlukan
biaya, dan biaya itu dapat diambilkan dari harta wakaf yang
dimaksud atau diambil dari sumber lainnya. Mengenai sumber
pembiayaan ini bergantung pada persyaratan yang dikemukakan
oleh wakif,
(3) Membagikan hasil harta wakaf kepada pihak yang berhak
menerimanya.157 Di samping itu para ulama juga berpendapat
156
157

Asaf A.A. Fyzee, op.cit., h. 312


MuhammadUbaid al-Kubaisy. op.cit., h. 187-203. Muhammad Ubaid al-Kubaisy mengungkapkan
bahwa nazhir bertugas untuk mentassarufkan wakaf (membelanjakan wakaf). Dalam mentassarufkan
harta wakaf tersebut menurut al-Kubaisy ada yang sifatnya wajib dan ada yang sifatnya jaiz.

134

bahwa tugas nazhir, di samping hal-hal di atas, nazhir juga


bertugas mengawasi, memperbaiki (jika rusak), menanami dan
mempertahankan wakaf. Nazhir sebagai pihak yang diserahi
mengurus wakaf juga berkewajiban menyampaikan hasil sewaan,
tanaman atau buah-buahan, dan bagian-bagiannya kepada para
mustahiq (orang yang berhak menerimanya). Oleh karena itu ia
harus menjaga pokok atau asal wakaf itu dan hasilnya secara
hati-hati.158 Jadi, tugas nazhir tidak hanya sekedar mengawasi
dan memelihara harta wakaf agar tidak hilang atau rusak, akan
tetapi nazhir juga berkewajiban untuk mengembangkan harta
wakaf itu sehingga dapat lebih bermanfaat bagi mauquf alaih.
Tentu saja nazhir dalam melakukan tugasnya harus berdasarkan
pada ketentuan-ketentuan yang berlaku di tempat di mana nazhir
itu bertugas.
Meskipun nazhir mempunyai kewajiban-kewajiban yang cukup
berat tanggungjawabnya, nazhir pun mempunyai hak untuk
mendapatkan imbalan dari jerih payahnya. Adanya upah bagi nazhir
ini telah dipraktikkan oleh Umar ibn Khattab, Ali ibn Abi Talib,
dan sahabat-sahabat lain. Besarnya upah yang diterima nazhir sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan wakif atau hakim. Golongan
Hanafiyyah berpendapat bahwa nazhir berhak mendapatkan gaji
selama ia melaksanakan segala sesuatu yang diminta saat wakaf itu
terjadi. Besarnya gaji bisa sepersepuluh atau seperdelapan dan
sebagainya, sesuai dengan ketentuan wakif. Namun apabila wakif
tidak menetapkan upah nazhir, maka hakimlah yang menetapkan
upah nazhir tersebut. Besarnya upah itu pada umumnya disesuaikan
dengan tugas yang diberikan kepada nazhir.159 Menurut Abu Zahrah,
pendapat golongan Malikiyyah mengenai upah nazhir ini hampir
sama dengan pendapat golongan Hanafiyyah. Hanya saja sebagian

158
159

Yang wajib dikerjakan oleh nazhir menurut al-Kubaisy adalah mengembangkan wakaf, melaksanakan
hak-hak wakaf dan menjaganya, menyalurkan keuangan wakaf dan menyampaikan hak-hak mustahiq
wakaf. Sedangkan yang sifatnya jaiz (boleh) dilakukan oleh nazhir antara lain adalah menyewakan
wakaf, mengelola tanah wakaf dengan menanami tanah tersebut dengan berbagai tanaman, mendirikan
bangunan di tanah wakaf untuk disewakan dan merubah peruntukan wakaf (jika tidak sesuai lagi
tujuan wakaf).
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 333
Ibid., h. 346

135

golongan Malikiyyah berpendapat bahwa jika wakif tidak menentukan


upah nazhir, maka hakim dapat mengambil upah itu dari bait almal.160 Menurut Imam Ahmad r.a., nazhir berhak mendapatkan upah
yang telah ditentukan oleh wakif. Jika wakif tidak menentukan
upah nazhir, di kalangan golongan Hanabilah terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa nazhir tidak halal mendapatkan
upah kecuali hanya untuk makan sepatutnya. Pendapat kedua
mengatakan bahwa nazhir wajib mendapatkan upah sesuai dengan
pekerjaannya.161
Dari pembahasan yang telah dikemukakan jelas bahwa nazhir
boleh menerima upah, baik diambil dari harta wakaf itu sendiri maupun
dari sumber lain. Diperbolehkannya orang yang mengurus urusan
wakaf untuk memakan sebagian dari hasil wakaf, ada dasarnya,
yakni hadits Ibnu Umar yang di dalamnya terdapat kata-kata:
...dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusnya untuk
makan sebagian harta darinya dengan cara yang maruf....
Dengan demikian jelaslah bahwa nazhir memang berhak menerima
upah atau gaji. Jumlah gaji berdasarkan pada situasi dan kondisi di
suatu tempat pada suatu masa dan juga didasarkan pada ketentuan
yang ditetapkan oleh wakif maupun hakim yang bertugas di wilayah
di mana wakaf itu berada.
Pada dasarnya, siapa pun dapat saja menjadi nazhir asalkan
ia berhak melakukan tindakan hukum. Akan tetapi, karena tugas
nazhir adalah menyangkut harta benda yang manfaatnya harus
disampaikan kepada pihak yang berhak menerimanya, maka jabatan
nazhir harus diberikan kepada orang yang mampu menjalankan
tugasnya. Para Imam Mazhab sepakat bahwa nazhir harus memenuhi
syarat-syarat adil dan mampu. Di antara para ulama berbeda pendapat
mengenai ukuran adil. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud
adil adalah mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang
menurut syariat. Adapun yang dimaksud kifayah (mampu) ialah
kekuatan seseorang dan kemampuannya untuk mentasarrufkan apa
160
161

Ibid., h. 347
Ibid., h.349. Lihat juga Muhammad UbaidAbdullah al-Kubaisy, juz II, op.cit., h. 219

136

yang dijaganya. Kemampuan di sini dituntut adanya taklif yakni


dewasa dan berakal. Jika tidak ada syarat adil dan mampu, hakim
boleh menahan wakaf itu dari nazhir.162 Nazhir wakaf merupakan
salah satu hal yang sangat penting dalam praktik perwakafan karena
berkembang tidaknya suatu wakaf sangat bergantung pada nazhir.
Sedangkan pengelolaan wakaf yang baik juga harus menggunakan
manajemen yang baik, sesuai dengan situasi dan kondisi dan
tidak melanggar ajaran Islam. Pengelolaan wakaf dengan menggunakan
manajemen yang baik ini sudah dilaksanakan di Mesir, Saudi Arabia,
Yordania dan lain-lain.
Umat Islam Indonesia sudah selayaknya bersyukur dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah tersebut cukup banyak aturan yang berkenaan
dengan masalah nazhir dan pembinaannya. Ditambah lagi, dalam
undang-undang tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa adanya badan
yang berkewajiban untuk melakukan pembinaan nazhir, yakni Badan
Wakaf Indonesia. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah
bagaimanakah peranan Badan Wakaf Indonesia dalam Pemberdayaan
Nazhir.
Berdasarkan pengamatan penulis, pada saat ini masih cukup
banyak masyarakat yang belum memahami bahkan belum tahu adanya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Oleh karena
itu agar undang-undang tersebut dapat diimplementasikan dengan
baik dalam masyarakat, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan:
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf perlu
disosialisasikan kepada masyarakat;
2. Para nazhir wakaf harus memahami isi undang-undang itu dengan
baik dan benar. Dengan demikian mereka mampu menjalankan
tugas kenazhirannya sesuai dengan yang diharapkan.
162

Wahbah az-Zuhaili, op.cit., h. 232

137

Pengelolaan wakaf khususnya wakaf uang memang tidak mudah,


karena dalam pengembangannya harus melalui berbagai usaha, dan
usaha ini mempunyai risiko yang cukup tinggi. Oleh karena itu
pengelolaan dan pengembangan benda wakaf, khususnya wakaf uang
harus dilakukan oleh nazhir yang profesional. Dalam Pasal 10 di
sebutkan bahwa seseorang hanya dapat menjadi nazhir apabila
memenuhi persyaratan: a. Warga Negara Indonesia; b. Beragama
Islam; c. Dewasa; d. Amanah; e. Mampu secara jasmani dan rohani;
dan f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Adapun tugas
nazhir dalam Undang-Undang tentang Wakaf dengan jelas disebutkan
dalam Pasal 11, yakni:
a.

melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

b.

mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan


tujuan, fungsi dan peruntukkannya;

c.

mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d.

melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Apabila dilihat dari tugas nazhir di atas, menurut penulis, nazhir


selain memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam undang-undang,
dalam pelaksanaannya nanti, agar nazhir dapat bekerja secara profesinal
dalam mengelola wakaf, maka nazhir khususnya nazhir wakaf uang
juga harus memiliki kemampuan yang lain seperti:

138

1.

memahami hukum wakaf dan peraturan perundang-undangan yang


terkait dengan masalah perwakafan. Seorang nazhir sudah
seharusnya memahami dengan baik hukum wakaf dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan masalah perwakafan.
Tanpa memahami hal-hal tersebut, penulis yakin nazhir tersebut
tidak akan mampu mengelola wakaf dengan baik dan benar;

2.

memahami pengetahuan mengenai ekonomi syariah dan instrumen


keuangan syariah. Wakaf adalah salah satu lembaga ekonomi
Islam yang sangat potensial untuk dikembangkan. Oleh karena
itu sudah selayaknya seorang nazhir khususnya nazhir wakaf
uang dituntut memiliki dan memahami ekonomi syariah dan
instrumen keuangan syariah;

3.

memahami praktik perwakafan khususnya praktif wakaf uang di


berbagai negara. Dengan demikian yang bersangkutan mampu
melakukan inovasi dalam mengembangkan wakaf uang, sebagai
contoh misalnya praktik wakaf uang yang dilakukan di Bangladesh,
Turki, dan lain-lain;

4.

mengakses ke calon wakif. Idealnya pengelola wakaf uang adalah


lembaga yang ada kemampuan melakukan akses terhadap calon
wakif, sehingga nazhir mampu mengumpulkan dana wakaf cukup
banyak. Kondisi demikian jelas akan sangat membantu
terkumpulnya dana wakaf yang cukup besar sehingga diharapkan
dapat meningkatkan kesejahteraan umat;

5.

mengelola keuangan secara professional dan sesuai dengan prinsipprinsip syariah, seperti melakukan investasi dana wakaf. Investasi
ini dapat berupa investasi jangka pendek, menengah maupun
jangka panjang;

6.

melakukan administrasi rekening beneficiary. Persyaratan ini


memerlukan teknologi tinggi dan sumber daya manusia yang
handal;

7.

melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf. Di samping


mampu melakukan investasi, diharapkan nazhir juga mampu
mendistribusikan hasil investasi dana wakaf kepada mauquf alaih.
Diharapkan pendistribusiannya tidak hanya bersifat konsumtif,
sehingga pada suatu saat mauquf alaih bisa menjadi wakif
pula;

8.

mengelola dana wakaf secara transparan dan akuntabel.

Dengan syarat-syarat yang demikian, diharapkan nazhir benarbenar dapat mengembangkan wakaf dengan baik, sehingga hasil investasi
wakaf tersebut dapat dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat,
kredibel di mata masyarakat. Untuk mendapatkan nazhir yang memenuhi
syarat di atas tentu tidak gampang, tetapi memerlukan waktu. Oleh
karena itu untuk menyiapkan pengelolaan dan pengembangan wakaf
tunai, para calon nazhir wakaf uang harus menyiapkan diri.
Dengan berbagai kemampuan tersebut, diharapkan nazhir benarbenar dapat mengembangkan wakaf dengan baik, sehingga hasil investasi
139

wakaf tersebut dapat dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat.


Untuk mendapatkan nazhir yang mampu mengembangkan wakaf secara
produktif tentu tidak gampang, tetapi memerlukan waktu. Oleh karena
itu untuk menyiapkan pengelolaan dan pengembangan wakaf uang,
harus ada lembaga yang siap melakukan pelatihan bagi calon nazhir.
Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan wakaf inilah perlunya
pembinaan nazhir. Untuk itu di dalam Undang-Undang 41 Tahun
2004 tentang Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf
Indonesia.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
diharapkan perwakafan di Indonesia dapat berkembang dengan baik
sehingga dapat berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Agar perwakafan bisa maju dan berkembang, diperlukan suatu badan
yang khusus bertugas dan berwenang untuk melakukan pembinaan
terhadap para pengelola wakaf (nazhir). Sehubungan dengan hal itu,
dalam Undang-Undang Tentang Wakaf disebutkan perlunya dibentuk
Badan Wakaf Indonesia. Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang
tentang wakaf disebutkan bahwa dalam rangka memajukan dan
mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Badan Wakaf Indonesia tersebut berkedudukan di ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di
provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan (Pasal
48). Dalam Pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan.
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan
selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan.
Dalam Pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa untuk pertama kali
pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada
Presiden oleh Menteri (Menteri Agama). Alhamdulillah, setelah melalui
proses yang cukup panjang, pada akhirnya Menteri Agama Republik
Indonesia telah berhasil memilih calon anggota Badan Wakaf Indonesia untuk diusulkan kepada Presiden. Pada tanggal 13 Juli 2007,
Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang pengangkatan anggota
140

Badan Wakaf Indonesia tersebut ditandatangani Presiden Susilo


Bambang Yudhoyono. Yang menjadi pertanyaan umat Islam pada
umumnya adalah tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia dalam
masalah perwakafan.
Di berbagai negara yang perwakafannya telah berkembang dengan
baik, pada umumnya mereka mempunyai Badan Wakaf atau lembaga
yang setingkat dengan Badan Wakaf. Kita sebut saja misalnya Mesir,
Saudi Arabia, Sudan, dan lain-lain. Di Mesir misalnya, Badan Wakaf
sudah dibentuk sejak tahun 1971. Badan Wakaf di Mesir berada di
bawah Departemen Perwakafan atau Wizaratul Auqaf. Tugas utama
Badan Wakaf Mesir adalah menangani berbagai masalah wakaf dan
mengembangkannya secara produktif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu Badan Wakaf
Mesir juga berkewajiban mengusut wakaf yang bermasalah,
mendistribusikan hasil wakaf dan melaksanakan segala kegiatan yang
telah ditetapkan. Sebagai negara yang cukup berpengalaman dalam
menangani masalah wakaf, orang-orang yang mereka tempatkan dalam
Badan Wakaf adalah orang-orang yang profesional dalam bidang
mereka masing-masing. Untuk memperlancar kegiatannya, Badan Wakaf
Mesir juga mengundang para profesional di luar mereka yang sudah
menjadi pengurus. Badan Wakaf Mesir mempunyai wewenang untuk
mengelola dan mendistribusikan hasil pengelolaan kepada mereka
yang berhak dengan sebaik-baiknya, sehingga wakaf tersebut dapat
berfungsi untuk menyejahterakan umat. Kegiatan Badan Wakaf Mesir
yang cukup penting adalah mengembangkan wakaf produktif. Dalam
hal ini Badan Wakaf bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan,
rumah sakit, bank-bank, atau para pengembang untuk mengelola
aset wakaf. Di samping itu, Badan Wakaf juga membeli saham dan
obligasi dari perusahaan-perusahaan besar. Semua kegiatan Badan
Wakaf di Mesir diatur dengan peraturan perundang-undangan yang
memadai.
Di samping Mesir, Saudi Arabia juga mempunyai semacam Badan
Wakaf yang diberi nama Majelis Tinggi Wakaf. Majelis Tinggi Wakaf
ada di bawah Kementerian Haji dan Wakaf. Adapun wewenang Majelis
Tinggi Wakaf antara lain adalah mengembangkan wakaf secara produktif
dan mendistribusikan hasil pengembangan wakaf kepada mereka yang
141

berhak. Sehubungan dengan hal itu, Majelis Tinggi Wakaf juga


mempunyai wewenang untuk membuat program pengembangan wakaf,
pendataan terhadap aset wakaf serta memikirkan cara pengelolaannya,
menentukan langkah-langkah penanaman modal, dan langkah-langkah
pengembangan wakaf produktif lainnya, serta mempublikasikan hasil
pengembangan wakaf kepada masyarakat.
Dalam mengembangkan wakaf, Sudan juga melakukan eksperimen
manajemen dengan membentuk Badan Wakaf Islam yang bekerja
tanpa ada keterikatan dengan Kementerian Wakaf. Wewenang yang
diberikan kepada Badan Wakaf Islam antara lain menertibkan tanahtanah wakaf dan menggalakkan tradisi berwakaf bagi para dermawan.
Kebangkitan wakaf di Sudan lebih tampak lagi sejak tahun 1991
karena Kementerian memberikan beberapa keistimewaan kepada Badan
Wakaf yang antara lain terdiri dari penyediaan dana cadangan bagi
lembaga wakaf yang mengelola proyek tanah produktif baik untuk
pertanian, pemukiman, maupun pusat perdagangan. Dalam
melaksanakan tugasnya, Badan Wakaf pada dasarnya mempunyai
dua garapan, yakni pertama menggalakkan wakaf baru, dan kedua
meningkatkan pengembangan harta produktif, baik itu harta wakaf
yang berasal dari warisan generasi terdahulu, maupun yang diberikan
negara kepada Badan Wakaf. Dari dua garapan tersebut, yang menarik
dikaji adalah garapan kedua yakni pengembangan harta produktif.
Sehubungan dengan tugasnya untuk mengembangkan harta wakaf,
maka garapan Badan Wakaf Sudan adalah manajemen dan investasi
wakaf lama yang ada di tengah-tengah masyarakat Sudan. Dalam
hal ini Badan Wakaf berpedoman kepada dua hal. Dalam kondisi
wakaf ditemukan akte dan dokumennya, atau diketahui syarat wakif
dan tujuan wakafnya, terutama yang berkenaan dengan seluk beluk
pengangkatan nazhir, maka Badan Wakaf hanya membantu nazhir
dalam mengembangkan harta wakaf. Akan tetapi dalam kondisi
diperlukan, Badan Wakaf juga memberi bantuan dana kepada wakaf
yang ada. Hal ini untuk meningkatkan pendapatan wakaf bagi tujuan
wakaf yang telah ditentukan, dengan tetap menjaga adanya nazhir
khusus pada setiap harta wakaf secara independen sesuai syaratsyarat yang ditentukan dalam akte dan dokumen wakaf, dan dengan
adanya pengawasan langsung dari Badan Wakaf terhadap nazhir.
142

Dalam kondisi wakaf tidak diketahui syarat-syaratnya, maka Badan


Wakaf menyalurkan untuk semua demi kebaikan. Agar wakaf produktif,
Badan Wakaf mengembangkan harta wakaf itu dengan cara menyatukan
semua wakaf yang tidak ada aktenya. Dalam hal ini, Badan Wakaf
menjadi nazhir atas wakaf-wakaf tersebut, mengelolanya secara
produktif dan menyalurkan hasilnya kepada mereka yang berhak.
Bagaimana dengan Badan Wakaf Indonesia? Dalam Pasal 47
ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan
bahwa Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga independen dalam
melaksanakan tugasnya. Adapun tugas dan wewenang Badan Wakaf
Indonesia disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1). Dalam Pasal tersebut
dinyatakan bahwa Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan
wewenang:
a. melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan
mengembangkan harta wakaf;
b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
berskala nasional dan internasional;
c. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan
dan status harta benda wakaf;
d. memberhentikan dan mengganti nazhir;
e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam
penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
Adapun ayat (2) Pasal yang sama menyebutkan bahwa dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan
Wakaf Indonesia dapat bekerja sama dengan instansi Pemerintah,
baik Pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan
internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu. Dalam Pasal 50
disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49, Badan Wakaf Indonesia memperhatikan saran dan
pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang tentang Wakaf, Badan Wakaf
Indonesia (BWI) mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan
perwakafan di Indonesia menuju era produktif, yaitu wakaf yang
143

dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan umum. Sehubungan


dengan tugas dan wewenangnya tersebut Badan Wakaf Indonesia
merumuskan visi sebagai berikut: Terwujudnya lembaga independen
yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas
untuk mengembangkan perwakafan nasional dan internasional. Adapun
misinya adalah: Menjadikan Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga
profesional yang mampu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi
harta benda untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum.
Untuk merealisasikan visi dan misi tersebut, BWI telah merumuskan
strategi, yakni:
a.

Meningkatkan kopetensi dan jaringan Badan Wakaf Indonesia


baik nasional maupun internasional;

b.

Membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan;

c.

Meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf;

d.

Meningkatkan profesionalitas dan keamanahan nazhir dalam


pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf;

e.

Mengkoordinasikan dan membina seluruh nazhir wakaf;

f.

Menertibkan pengadministrasian harta benda wakaf;

g.

Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

h.

Menghimpun, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf


yang berskala nasional dan internasional.

Untuk merealisasikan visi, misi, dan strategi yang sudah


dikemukakan, BWI mempunyai 5 divisi, yaitu:

144

1.

Divisi Pembinaan Nazhir, dengan program kerja: menyusun standar


etika dan profesionalitas nazhir; mendata dan memetakan nazhir;
serta menyelenggarakan pelatihan nazhir.

2.

Divisi Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf, dengan


program kerja: pemetaan tanah wakaf untuk tujuan produktif;
pengaturan dan pengembangan wakaf uang; pembangunan Gedung
Wakaf Center; dan pengembangan program investasi harta benda
wakaf.

3.

Divisi Kelembagaan, dengan program kerja: menyiapkan berbagai


peraturan perwakafan; menyiapkan dan menyusun pedoman
perubahan status dan penukaran harta benda wakaf, serta
mengembangkan kerja sama dengan lembaga-lembaga lain.

4.

Divisi Hubungan Masyarakat, dengan program kerja: sosialisasi


dan edukasi publik tentang wakad dan peraturan perundangundangannya melalui seminar, penerbitan buku, website, dan
lain-lain.

5.

Divisi Penelitian dan Pengembangan, dengan program kerja:


inventarisasi dan pemetaan aset-aset wakaf di seluruh Indonesia, pemetaan dan analisis potensi ekonomi dari aset-aset wakaf,
publikasi karya ilmiah dan populer mengenai perwakafan.

Diharapkan dengan strategi dan program-program kerja divisidivisi yang sudah dikemukakan BWI dapat melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan baik.
Tujuan dibentuknya Badan Wakaf Indonesia adalah untuk
memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. Melihat kondisi
yang ada sekarang memang cukup sulit untuk mengembangkan wakaf
secara produktif di Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa hal antara
lain terbatasnya pemahaman masyarakat tentang wakaf termasuk
wakaf uang. Di samping itu nazhir yang mengelola wakafpun harus
andal, dan untuk pengelolaan wakaf uang memang memerlukan
tekonologi yang tinggi. Sebagus apapun suatu peraturan perundangundangan, kalau tidak disertai dengan kemampuan sumber daya manusia
yang andal, maka peraturan perundang-undangan tersebut pun mubazir.
Namun demikian, penulis yakin bahwa suatu saat masyarakat akan
paham tentang berbagai permasalahan perwakafan. Akan tetapi penulis
yakin bahwa suatu saat wakaf di Indonesia akan berkembang dengan
baik dan dapat meningkatkan kesejahteraan umat sesuai dengan yang
diharapkan dan undang-undang dapat diimplementasikan dengan baik,
asal ada komitmen antara Badan Wakaf Indonesia, para nazir, umat
islam dan pemerintah.
Wallahualam.

145

146

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari uraian dan paparan dalam pengkajian ini dapat disimpulkan
bahwa:
1.

Mayoritas ulama (Hanafiah, Imam Az-Zuhri, sebagian ulama


madzhab Syafii, dll) menyatakan bahwa Wakaf Uang adalah
boleh, di Indonesia kebolehan wakaf uang ini telah difatwakan
oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (dikeluarkan pada
tanggal 11 Mei 2002), bahkan lebih jauh Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf uang diatur dalam bagian
tersendiri, yakni bagian kesepuluh, terdiri dari 4 (empat) pasal,
yaitu Pasal 28; Pasal 29; Pasal 30; dan Pasal 31. Ketentuan
lebih lanjut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang sebagai
dimaksud dalam pasal-pasal tersebut diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Di samping itu,
masalah pengelolaan wakaf uang juga diatur dalam Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang dan Peraturan Badan Wakaf
Indonesia tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta
Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang.
Adapun mekanisme wakaf uang dilakukan dengan cara wakif
mewakafkan dananya dengan menempatkan dana pada account
nazhir yang ada di Bank Syariah (pada awalnya wadiah kemudian
dapat ditempatkan pada tabungan/deposito mudharabah). Kemudian
Wakif akan menerima SWU bila jumlah dana yang diwakafkan
mencapai Rp 1 juta. Nazhir dalam memanfaatkan wakaf uang
dapat melalui program umum (dari dana yang terkumpul disisihkan,
misalnya untuk membangun Ruko di atas tanah wakaf) atau
khusus (sejak awal nazhir mempromosikan agar masyarakat
147

berwakaf uang dalam rangka pembangunan Ruko di atas tanah


wakaf). Atau nazhir meminta bank syariah untuk mencarikan
pihak ketiga untuk bermudharabah muqayyadah dengan nazhir
dalam rangka pembangunan Ruko di atas tanah wakaf yang
dikelola nazhir (bank syariah akan menerima fee). Perjanjian
kerja sama antara nazhir dengan pihak ketiga, misalnya untuk
membangun Ruko & mengelola Ruko dalam jangka waktu tertentu,
misalnya 15 tahun. Pihak ketiga akan mengembalikan pembiayaan
mudharabah tersebut dengan mencicil dan membayarkan bagi
hasil selama 15 tahun pada account nazhir yang ada di bank
syariah. Bagi hasil yang terkumpul dari Ruko dan usaha-usaha
lain akan disalurkan oleh nazhir untuk kepentingan mauquf alaih,
setelah 15 tahun Ruko dapat dikelola langsung oleh nazhir dan
keuntungannya untuk mawquf alaih.

148

2.

Di satu sisi instrumen hukum yang mengatur tentang wakaf


uang sudah memadai untuk langkah awal pengembangan harta
wakaf umumnya dan khususnya wakaf uang, namun di sisi lain
wakaf uang memerlukan beberapa peraturan yang lebih khusus
karena bersifat unik. Wakaf uang harus di jadikan modal usaha;
dengan kata lain, benda wakaf berupa uang harus diperlakukan
sebagai objek bisnis (tijarah) yang mengandung risiko di satu
sisi, sedangkan di sisi lain hasil usaha dari benda wakaf didermakan
kepada pihak yang berhak; dengan demikian, wakaf termasuk
institusi sosial (tabarru) untuk kebajikan. Dari segi hukum,
wakaf uang memerlukan dukungan berupa fatwa dan peraturan
teknis lainnya yang terkait guna memaksimumkan peran wakaf
dalam mensejahterakan masyarakat. Peraturan yang bersifat teknis
yang diperlukan dalam pengumpulan, investasi, dan penyaluran
hasil wakaf uang diperlukan guna: a) menjaga keabadian uang
wakaf sebagai modal usaha (ras al-mal); b) investasi di lakukan
dengan cara dan pada sektor yang halal/yang terbebas dari unsur
riba; dan c) penyaluran hasil wakaf dilakukan secara adil dan
proporsional.

3.

Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagaimana diamanahkan dalam


Pasal 47 ayat (2) UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah
lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya untuk

mengembangkan perwakafan di Indonesia. Untuk itu harus


melakukan usaha-usaha sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
49 ayat (1): melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola
dan mengembangkan harta wakaf; melakukan pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan
internasional; memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan
peruntukan dan status harta benda wakaf; memberhentikan dan
mengganti nazhir; memberikan persetujuan atas penukaran harta
benda wakaf; serta memberikan saran dan pertimbangan kepada
Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
Di samping itu BWI saat ini sedang gencar mencanangkan gerakan
wakaf produktif dan wakaf uang, yang selama ini belum menjadi
tradisi di Indonesia dan bertekad untuk melakukan investasi harta
wakaf, baik berupa tanah dan uang di sektor properti, perkebunan,
manufaktur, rumah sakit dan sebagainya.
4.

Para ulama membolehkan wakaf uang yaitu dengan cara


menginvestasikan dalam usaha bagi hasil (mudharabah), kemudian
keuntungannya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan
demikian uang yang diwakafkan tetap, sedangkan yang disampaikan
kepada mauquf alaih adalah hasil pengembangan wakaf uang
tersebut. Dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf disebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda
bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang
di tunjuk oleh Menteri. Pada saat ini sudah ada lima Bank
Syariah yang ditunjuk oleh Menteri Agama RI sebagai Lembaga
Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang, yakni PT Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk. Divisi Syariah; PT Bank Muamalat
Indonesia Tbk.; PT Bank DKI Jakarta; PT Bank Syariah Mandiri;
dan PT Bank Mega Syariah Indonesia. Pengembangan wakaf
uang dalam dirinya membawa risiko berupa kemungkinan
berkurangnya atau hilangnya nilai harta benda wakaf. Risikorisiko tersebut dapat diakibatkan oleh kerugian usaha produktif
yang dijalankan, risiko kehilangan nilai secara natural (inflasi
dan depresiasi), risiko karena force majeur (bencana alam,
kebakaran dsb), atau risiko karena kurang profesionalnya atau
tidak amanahnya nazhir atau pengelola wakaf produktif yang
149

ditunjuk oleh nazhir. Penerapan manajemen risiko secara baik


membutuhkan biaya, namun manfaat terbesarnya adalah
meningkatnya kepercayaan wakif dan masyarakat umum terhadap
institusi wakaf. Meningkatnya kepercayaan itu akan berdampak
positif dalam penggalangan dana wakaf selanjutnya sehingga
semakin memperluas perannya dalam meningkatkan kesejahteraan
umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf itu sendiri.
Manajemen risiko yang harus dilaksanakan dalam pengembangan
wakaf produktif mencakup identifikasi risiko, analisis dan
pengukuran risiko, penanganan dan pengendalian risiko serta
monitoring dan evaluasi.
B. Saran/Rekomendasi
Dari hasil kajian dan kesimpulan dari tim ini, dapat disarankan/
direkomendasikan sbb.:

150

1.

Perlu adanya pengawasan terus menerus dari instansi yang


mempunyai kewenangan untuk pengawasan terhadap jalannya
proses wakaf uang mulai dari penyerahan harta benda wakaf,
nazhir, lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang sampai
pada penyaluran wakaf tersebut, agar sesuai dengan syariat
Islam dan manfaatnya agar dapat mengentaskan dan memberikan
pemberdayaan bagi umat dan bangsa ini.

2.

Perlu ada kajian/penelitian yang terus menerus terhadap proses


dan pengelolaan wakaf uang ini, sehingga hasilnya dapat
dipergunakan untuk penyempurnaan peraturan perundang-undangan
yang ada.

3.

Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga independen harus


dikawal agar dapat mengembangkan perwakafan di Indonesia,
di samping itu BWI juga harus melakukan sosialisasi gerakan
wakaf uang secara berkelanjutan dan melakukan penyempurnaan
regulasi di bidang perwakafan.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Prof. DR. MA, dkk;. Ensiklopedi Islam 5, Jakarta: PT


Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Abid Abdullah Al-Kabisi, Muhammad, Hukum Wakaf, Jakarta: Dompet
Duafa dan IIMAN, 2003.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1990.
----------------, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, (Jakaarta: UI Press,1988).
Azizy, A. Qodri, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum
Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Ahmad, Khursid (ed.), Pesan Islam, diterjemahkan oleh Achsin Muhammad,
Bandung: Pustaka,1983.
Al-Faruqi, Ismail R., Tawhid: Its Implication For Thought and Life
Washongton D.C., The International Institute of Islamic Thought,
1982.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fikih ala al-Mazahib aal-Arbaah,
Kaairo: Al-Istiqamat, t.t.
Al-Jashshas, Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi, Ahkam al-Quran, Jilid
III Beirut, Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.
Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtajila Syarh Al Minhaj, dan Al-Fikr, 1984.
Al-Mawardi, Al Hawi Al Kabir, tahqiq Dr.Mahmud Mathraji, Beirut:
Dar-Al Fikr, 1994, juz 14.
Abu Suud Muhammad, Risalah Fi Jawazi Waqfalnuqud, Beirut: Dai
Ibn Hazm, 1997.

151

Amin, Hasan Abdullah, Idarah wa Tatsmir Mumtalakat al-Auqaf, Jeddah:


al-Mahad al-Islamy li al-Buhus wa al-Tadrib al-Bank al-Islamy li
Tanmiyyah, 1989.
Amrullah ahmad, A.E. Priyono dan Bintang Sucipto (Eds.), Islamisasi
Ekonomi, Yogyakarta: PLP2M, 1985.
Antonio, Muhammad SyafiI, Bank Syariah Sebagai Pengelola Dana
Waqaf, disampaikan pada Workshop Internasional Pemberdayaan
Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, diselenggarakan
oleh DEPAG-IIIT, 7-8 Januari 2002.
Basar, Hasmet (Ed), Management and Development of Awqaf Properties,
Jeddah: Islamic Research and Training Institute Islamic
Development Bank, 1987.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah,
Bandung: Al-Maarif, 1987.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf
Per Provinsi Seluruh Indonesia, Jakarta: Departemen Agama, 2008.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Data Luas dan Lokasi Tanah Wakaf
Nasional Sampai Dengan Tahun 2008, Jakarta, 22 April 2008.
Dewanto, Awan Setya dkk., Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia,
Yogyakarta: Aditya Media, 1955.
Direktorat Diseminasi Statistik, Data Strategis BPS, Jakarta: Badan
Pusat Statistik, 2008.
Djatnika, Rachmat, Wakaf Tanah, Surabaya: Al Ikhlas t.t.
Hasanah, Uswatun, Peranan Wakaf Dalam Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial (Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan), Disertasi,
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 1997.
Harahap, Sumuran, Kontroversi Pembentukan Unit Kerja Presiden Untuk
Program Pengelolaan Reformasi Indonesia (Suatu Tinjauan Analisis
Kritis Dari Aspek Kebijakan Publik), Jakarta: Tesis Magister Ilmu
Administrasi Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Administrasi Publik
YAPPAN, 2007.

152

Haryono, Anwar, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, Jakarta:


Bulan Bintang, 1969.
Hasan, Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al-Islamiyyah, Cet. II, Lajnah
al-Talif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1958.
Hutabarat, Ramly, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi
Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2005.
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta: Bina Aksara, 1983.
Jumhuriyyah Misr al-Arabiyyah, Qawanin al-Auqaf wa al-Hikr wa Qararat
al- Tanfiziyyah, Cayro: Al-Haiah al-Ammah li Syuun al-Matabi alAmiriyyah, 1993.
John J. Donohue dan John L. Esposito (Eds.) Islam dan Pembaharuan,
Diterjemahkan oleh Mahnun Husein, Jakarta: Rajawali, 1984.
Jumhuriyyah Misr al-Arabiyyah, Qawanin al-Auqaf wa al-Hikr wa Qararat
al-Tanfiziyyah, Cayro: Al-Haiah al-Ammah li Syuun al-Matabi alAmiriyyah, 1993.
Kahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin
Mas Rida, Jakarta: Khalifa Pustaka al-Kautsar Grup, 2005.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ahkam al-Waqf, Mesir: Mathbaah al-Misr, 1951.
Kubaisyi, Muhammad Ubaid Abdullah, Ahkam al-Waqf fi Syariat alIslamiyyah, Jilid II, Baghdad: Mathbaah al-Irsyad, 1977.
Khurshid Ahmad (Ed.), Pesan Islam, diterjemahkan oleh Achsin Muhammad,
Bandung: Pustaka, 1983.
Manna, M. A., Cash-Waqf Certificate Global Apportunities for Developing The Social Capital Market in 21 Century Voluntary Sector
Banking, di dalam Harvard Islamic Finance Information ProgramCenter for Middle Eastern Studies, Proceedings of The Third Harvard
University Forum on Islamic Finance, Cambridge: Harvard University, 1999.
Nasution, Mustafa Edwin dan Uswatun Hasanah (Editor), Wakaf Tunai
Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan
Kesejahteraan Umat, Jakarta: PKTTI-UI, 2005.
153

Notosoesanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada, 1963.
Marbun, B.N., Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Al-Maqdusi, Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid II. Mesir: al-Manar, t.t.
Qahaf, Mundzir, Dr., Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Penerbit
Khalifa, 2007.
Republika, 2009. Satu Dari Empat Penduduk Dunia Muslim, Jakarta:
Republika, edisi tanggal 9 Oktober 2009.
Ruslan, Heri. Wakaf Uang Potensinya Sungguh Luar Biasa, Jakarta:
Tabloid Republika Dialog Jumat, edisi tanggal 9 Oktober 2009.
Shadily, Hassan dkk., Ensiklopedi Indonesia 3, Jakarta: Ichtiar BaruVan Houve, 1983.
-------------------------, Ensiklopedi Indonesia 6, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1984.
Simbolon, Joyakin, Dr. M.Si., tahun perkuliahan 2006, dalam mata kuliah,
Analisis Kebijakan Publik Jakarta: Kuliah semeter ke-2 Program
Pascasarjana STIA YAPPAN.
Sugian, Syahu, Kamus Manajemen (Mutu), Jakarta: PT Gramedia, 2006.
Saleh, Ismail, Wawasan Pembangunan Hukum Nasional, Kompas, 1,
2, 3, Juni 1989.
Shanany, Muhammad Ibn Ismail, Subul al-Salam, Muhammad Ali Sabih,
t. t.
Sabiq, Sayyid, Fikih al Sunnah, Jilid III, (Kuwait: Dai aal-Bayar,
1968).
Saefuddin, Ahmad M., Ekonomi dan Masyarakat Dalam Perspektif
Islam Jakarta: Rajawali Press, 1987.
-------------------------, Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Media
Dawah, 1984).
Sutarmadi, Muhda Haditsaputra dan Amidhan, Pedoman Praktis
Perwakafan , Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid, 1990.
154

Sumodiningrat, Gunawan, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan


Masyarakat, Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1996.
Syaltut, Mahmud, Min Taujihat al-Islam, Kairo: Dar al-Hilal, 1959.
Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Authar, Mesir,
Musthafaal-Babi al-Halaby, t.t.
Sayed Kotb, Social Justice in Islam, New York: Octagon Books, 1970.
Shanany, Muhammad Ibn Ismail, Subul al-Salam, Muhammad Ali Sabih,
t. t. Juz III).
Swasono, Sri-Edi, Pandangan Islam Dalam Sistem Ekonomi Indonesia,
Jakarta: UI Press, 1987.
_____, dan kawan-kawan, Sekitar Kemiskinan dan Keadilan, Dari
Cendekiawan Kita Tentang Islam, Jakarta: UI-Press, 1987.
Wahbah Al Zuhaili Al Fikih Al-Islami Wa Adillatuhu, Damsyik: Dar Al
Fikr, 1985.
Yusuf, Slamet Effendi. 2009. Mengurai Sosok Pemimpin Politik Ideal,
Jakarta: Dalam Kompas edisi tanggal 11 September 2009,Jakarta:
Belantika, 2004.
Zein, Satria Effendi M., Analisis Yurisprudensi: Tentang Perwakafan,
dalam Mimbar Hukum, Nomor 4 Tahun II, Jakarta, 1991.
Zuhaily, Wahbah, Fikih al-Islamy wa Adillatuhu, Mesir: Dar al-Fikri, t.t.
_____, Ushul al-Fikih al-Islamy, Cetakan ke 3, Damaskus: Dar al-Fikr,
2001.

Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Wakaf, Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004, LN Nomor 159 Tahun 2004, TLN Nomor
4459.
----------------------, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006, LN Nomor 42 Tahun 2006.
155

------------------, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006, LN Nomor 22 Tahun 2006, TLN Nomor
4611.
------------------, Undang-Undang tentang Perbankan Syariah, UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008, LN Nomor 94 Tahun 2008, TLN
Nomor 4867.
--------------------, Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang.

156

PERSONALIA TIM

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor:


PHN.01.LT.02.01 Tahun 2009 tanggal 8 Januari 2009 jo Keputusan Menteri
Hukum dan HAM RI Nomor G1-164B PR.09.03 Tahun 2007 tanggal 2
Juli 2007, maka Pengkajian Hukum tentang Aspek Hukum Wakaf Secara
Tunai akan dilakukan oleh sebuah Tim dengan susunan personalia sebagai
berikut:
Ketua

Prof. Dr. Uswatun Hasanah, M.A.

Sekretaris

Heru Wahyono, S.H., M.H.

Anggota

1.

Prof. Dr. Jaih Mubarok, S.E., M.Ag.

2.

Dr. Sumuran Harahap, M.H., M.M., M.Ag.

3.

Dr. Wahiduddin Adam

4.

Ahyar, S.H., M.H.

5.

Widya Oesman, S.H., M.H.

6.

Sri Hudiyati, S.H.

7.

Wiwiek, S.Sos.

157

Anda mungkin juga menyukai