Anda di halaman 1dari 15

RESUME GANGGUAN POLA ELIMINASI URIN

TUGAS

oleh
KELOMPOK 6

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2014

RESUME GANGGUAN POLA ELIMINASI URIN


TUGAS

Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Klinik VA. Pembina
Mata Kuliah: Ns. Wantiyah, S.Kep., M.Kep
oleh :
Riana Vera Andantika
Sungging Pandu Wijaya
Dina Amalia
Dwi Nida D
Myta Kirana D.
Amanda Putri A
Alisa Miradia P.

NIM 122310101006
NIM 122310101026
NIM 122310101037
NIM 122310101040
NIM 122310101056
NIM 122310101065
NIM 122310101074

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2014

Infeksi Saluran Kemih


Kandung kemih yang teriritasi (sistitis) menyebabkan terjadi sensasi dan
mendesak kebutuhan untuk membatalkan. Iritasi pada kandung kemih dan uretra
hasil mukosa dan dapat terjadi darah-biruan urin (hematuria). Jika infeksi
menyebar ke saluran kemih bagian atas (ginjal-Pielonefritis), merasa sakit, nyeri,
demam, dan menggigil. Tiga organisme umum terlihat pada ISK:
a. Escherichia (E.) coli tetap yang paling umum patogen penyebab, bertanggung
jawab atas 75% sampai 95% dari infeksi tanpa komplikasi.
b. Pseudomonas
c. Proteus
Mendiskusikan

ajaran

yang

akan

mempromosikan

peningkatan

kontrol

inkontinensia stres.
a) Latihan otot panggul untuk meningkatkan kontrol kandung kemih
b) Menurunkan berat badan (mengurangi tekanan pada perut).
c) Menghindari angkat berat
d) Mengidentifikasi intervensi keperawatan yang akan mempermudah kontrol
pasien inkontinensia.
e) Melatih kandung kemih secara berulang, seperti latihan kegel
Mengidentifikasi tes urine rutin dan prosedur dan mendiskusikan implikasi
keperawatan.
Urinalisis: Periksa spesimen sesegera mungkin, sebaiknya dalam waktu 2 jam.
Pastikan terjadi kekosongan pertama dalam sehari.
Berat jenis cairan: adalah berat atau derajat konsentrasi zat dibandingkan dengan
volume air yang sama.
Kultur urin: Sebuah kultur urin memerlukan sampel voided steril atau bersih urin.
Diperlukan waktu sekitar 24 sampai 48 jam sebelum laboratorium dapat
melaporkan temuan pertumbuhan bakteri.
Unsur mikroskopis normal dan tidak normal ditemukan dalam urin.

RBC:
RBC (hingga 2) Kerusakan glomerulus atau tubulus memungkinkan RBC untuk
memasuki urin.
Unsur mikroskopis normal dan tidak normal ditemukan dalam urin.
WBC:
(0-4 per bidang daya rendah) WBC jumlah yang lebih besar mengindikasikan ISK
Unsur mikroskopis normal dan tidak normal ditemukan dalam urin.
Bakteri:
Bakteri bakteri (tidak ada) menunjukkan ISK. Klien tidak selalu memiliki gejala.
Unsur mikroskopis normal dan tidak normal ditemukan dalam urin.
Cast:
Cast: tidak ada yang berperan, cor adalah badan silinder yang bentuknya seperti di
dalam tubulus ginjal. Jenis termasuk hialin, WBC, RBC, sel granular, dan sel-sel
epitel. Cast tersebut menyebabkan meningkatnya abnormal dan menunjukkan
perubahan ginjal.
Unsur mikroskopis normal dan tidak normal ditemukan dalam urin.
Kristal:
Kristal: harus ada satu pun dan merupakan hasil metabolisme makanan. Kristal
kelebihan seperti asam atau kalsium fosfat urat mengakibatkan pembentukan batu
ginjal.
Signifikansi klinis BUN
Nitrogen urea darah adalah ukuran dari jumlah nitrogen dalam darah yang
berasal dari urea produk limbah dan pengukuran fungsi ginjal. Tingkat normal 1020mg.
Signifikansi klinis dari Serum kreatinin
Dapat mencerminkan fungsi ginjal pasien dengan penyakit ginjal. Tingkat
kreatinin serum yang lebih tinggi sering menunjukkan kerusakan ginjal yang
parah; di sisi lain, kerusakan ginjal yang parah dapat menyebabkan peningkatan
kadar serum kreatinin. Tingkat normal 0.5-1.2mg.

Retensi urine
Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung kemih
dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna.
Retensio urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari fesika urinaria.
Retensi urin dapat dibagi berdasarkan penyebab lokasi kerusakan saraf, yaitu:
1) Supravesikal
Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis S24 dan Th1L1. Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian atau
seluruhnya, misalnya: retensi urin karena gangguan persarafan.
2) Vesikal
Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan dengan
masa kehamilan dan proses persalinan, misalnya: retensi urin akibat
iatrogenik, cedera/inflamasi, psikis.
3) Infravesikal
Berupa kekakuan leher vesika, striktur oleh batu kecil atau tumor pada leher
vesika urinaria, misalnya: retensi urin akibat obstruksi.
Tanda dan gejala terhadap retensi urine adalah sebagai berikut:
1) Diawali dengan urine mengalir lambat.
2) Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena
pengosongan kandung kemih tidak efisien.
3) Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
4) Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.
5) Pada retensi berat bisa mencapai 2000-3000 cc.
Pemeriksaan diagnostik yang dapar dilakukan pada kasus Retensio Urine adalah
pemeriksaan specimen urine. Pada pemeriksaan ini diambil hasil dari:
1. Pengambilan: steril, random, midstream.
2. Penagambilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, KEton, Nitrit.
3. Sistoskopy, IVP.

Inkontinensia urine
Inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab
inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat,
penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedative (Hidayat,
2006).
Tipe inkontinensia Urin
Ada beberapa tipe dari inkontinensia urin yaitu: inkontinensia dorongan,
inkontinensia total, inkontinesia stress, inkontinensia refleks, inkontinensia
fungsional (Hidayat, 2006).
a. Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat
setelah berkemih. Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya terjadi miksi
(miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung kemih. Beberapa penyebab
terjadinya inkontinensia urin dorongan disebabkan oleh penurunan kapasitas
kandung kemih, iritasi pada reseptor rengangan kandung kemih yang
menyebabkan spasme (inspeksi saluaran kemih), minuman alkohol atau kafein,
peningkatan konsentrasi urin, dan distensi kandung kemih yang berlebihan.
b. Inkontinensia Total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi neorologis,
kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati.
c. Inkontinensia Stress
Inkontinensia tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan
peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan sering miksi.
Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak dapat menahan
keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen secara tibatiba.

d. Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat
diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu. Inkontinensia
tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla
spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme
kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur.
e. Inkontinensia Fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami
pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa
bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk
mengeluarkan urin.
Penatalaksanaan
Penanganan terhadap kasus-kasus inkontinensia urin harus memperhatikan
berbagai aspek antara lain sebagai berikut:
a. Prioritas utama ialah pemeliharaan fungsi ginjal
b. Penanganan terhadap disfungsi vesiko-ureteral ditujukan terhadap kelainan
yang ditemukan secara nyata
c. Penanganan harus realistis dengan memperhatikan kondisi neurologis yang
diderita
d. Penanganan adekuat terhadap infeksi yang menyertai disfungsi vesiko-ureteral
Kandung kemih neurogenic
Kandung Kemih Neurogenik (Neurogenic Bladder) adalah hilangnya
fungsi kandung kemih yang normal akibat kerusakan pada sebagian sistem
sarafnya. Neurogenic bladder bisa terjadi akibat:
a. Penyakit
b. Cedera

c. Cacat bawaan pada otak, medula spinalis atau saraf yang menuju ke kandung
kemih, saraf yang keluar dari kandung kemih maupun keduanya. Suatu
kandung kemih neurogenik bisa kurang aktif, dimana kandung kemih tidak
mampu berkontraksi dan tidak mampu menjalankan pengosongan kandung
kemih dengan baik; atau menjadi terlalu aktif (spastik) dan melakukan
pengosongan berdasarkan refleks yang tak terkendali.
Kandung kemih yang kurang aktif biasanya terjadi akibat gangguan pada saraf
lokal yang mempersarafi kandung kemih. Penyebab tersering adalah cacat bawaan
pada medula spinalis (misalnya spina bifida atau mielomeningokel). Suatu
kandung kemih yang terlalu aktif biasanya terjadi akibat adanya gangguan pada
pengendalian kandung kemih yang normal oleh medula spinalis dan otak.
Penyebabnya adalah cedera atau suatu penyakit, misalnya sklerosis multiplel pada
medula spinalis yang juga menyebabkan kelumpuhan tungkai (paraplegia) atau
kelumpuhan tungkai dan lengan (kuadripelegia). Cedera ini seringkali pada
awalnya menyebabkan kandung kemih menjadi kaku selama beberapa hari,
minggu atau bulan (fase syok). Selanjutnya kandung kemih menjadi overaktif dan
melakukan pengosongan yang tak terkendali.
Gejalanya bervariasi berdasarkan apakah kandung kemih menjadi kurang aktif
atau overaktif. Suatu kandung kemih yang kurang aktif biasanya tidak kosong dan
meregang sampai menjadi sangat besar. Pembesaran ini biasanya tidak
menimbulkan nyeri karena peregangan terjadi secara perlahan dan karena
kandung kemih memiliki sedikit saraf atau tidak memiliki saraf lokal.
Pada beberapa kasus, kandung kemih tetap besar tetapi secara terus menerus
menyebabkan kebocoran sejumlah air kemih. Sering terjadi infeksi kandung
kemih karena sisa air kemih di dalam kandung kemih memungkinkan
pertumbuhan bakteri. Bisa terbentuk batu kandung kemih, terutama pada
penderita yang mengalami infeksi kandung kemih menahun yang memerlukan
bantuan kateter terus menerus. Gejala dari infeksi kandung kemih bervariasi,
tergantung kepada jumlah saraf yang masih berfungsi.

Suatu kandung kemih yang overaktif bisa melakukan pengisian dan


pengosongan tanpa kendali karena berkontraksi dan mengendur tanpa disadari.
Pada kandung kemih yang kurang aktif dan yang overaktif, tekanan dan arus balik
air kemih dari kandung kemih ke ureter bisa menyebabkan kerusakan ginjal.
Pada penderita yang mengalami cedera medula spinalis, kontraksi dan
pengenduran kandung kemih tidak terkoordinasi, sehingga tekanan di dalam
kandung kemih tetap tinggi dan ginjal tidak dapat mengalirkan air kemih.
Kandung kemih flaccid dan spastic
Kandung kemih flaksid adalah suatu keadaan dimana kandung kemih
mengalami kelayuan sehingga tidak mampu menyimpan urin. Kandung kemih
spastik adalah suatu keadaan dimana kandung kemih mengalami kekakuan
sehingga tidak mampu mengosongkan kandung kemih.
Perbedaan kandung kemih flaksid dan spastik
No. Spastik

Flaksid

1.

Kaku

Layuh

2.

Reflek fisiologis

Reflek fisiologis

3.

Reflek patologis (+)

Reflek patologis (-)

4.

Tidak ditemukan atrofi, kecuali sudah Atrofi cepat terjadi


berlangsung lama.

5.

Tonus otot meningkat

Tonus normal atau menurun

Etiologi
a. Perubahan pada tonus otot
b. Guillain-Barre Syndrome (GBS)
c. Myasthenia gravis
d. Poliomyelitis paralitik dan myelitis transversal
Manifestasi Klinik
a. Spastik

1. Penurunan kekuatan otot dan gangguan kontrol motorik halus


2. Peningkatan tonus spastik
3. Reflek regang yang berlebihan secara abnormal, dapat disertai oleh
klonus
4. Hipoaktivitas atau tidak adanya reflek eksteroseptif (reflek abdominal,
reflek plantar, dan reflek kremaster)
b. Flaksid
1. Penurunan kekuatan kasar
2. Hipotonia atau atonia otot
3. Hiporefleksia atau arefleksia
4. Atrofi otot
Penatalaksanaan
1. Penggunaan kateter sangat efektif untuk mengatasi gangguan kandung
kemih
2. Untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih, dapat diberikan asam
askorbat untuk mengasamkan urin, sehingga kemungkinan bakteri untuk
tumbuh sangat kecil
3. Selain itu pemberian antibiotic juga dibutuhkan
Asuhan Keperawatan Pada Klien Gangguan Eliminasi Urine
1) Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan
1. Pola berkemih
2. Gejala dari perubahan berkemih
3. Faktor yang memengaruhi berkemih
b. Pemeriksaan fisik
1. Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi bladder, pembesaran
ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus.
2. Genetalia wanita

Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, keadaan atropi jaringan
vagina.
3. Genetalia laki-laki
Kebersihan, adanya lesi, tenderness, adanya pembesaran skrotum.
c. Intake dan output cairan
1. Kaji intake dan ouput cairan dalam sehari (24 jam)
2. Kebiasaan minum
3. Intake : cairan infus, oral, makanan, NGT
4. Kaji

perubahan

volume

urine

untuk

mengetahui

ketidakseimbangan cairan.
5. Output urine dari urinal, cateter bag, drainage ureterostomy,
sistostomi.
6. Karakteristik urine : warna, kejernihan, bau, kepekatan.
d. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan urine (urinalisis)
a. Warna : (N : jernih)
b. Penampilan : (N : jernih)
c. Bau (N : beraroma)
d. pH : (N : 4,5-8,0)
e. Berat jenis (N : 1,005 1,030)
f. Glukosa (N : negatif)
g. Keton (N : negatif)
h. Kultur urine (N: kuman patogen negatif)
2. Diagnosa Keperawatan
a.

Gangguan pola eliminasi urine : inkontinensia

1. Definisi : kondisi di mana seseorang tidak mampu mengendalikan pengeluaran


urine.
2. Kemungkinan berhubungan dengan :
a. Gangguan neuromuskuler
b. Spasme bladder

c. Trauma pelvic
d. Infeksi saluran kemih
e. Trauma medulla spinalis
3. Kemungkinan data yang ditemukan :
a. Inkontinensia
b. Keinginan berkemih yang segera
c. Sering ke toilet
d. Menghindari minum
e. Spasme bladder
4. Tujuan yang diharapkan :
a. Klien dapat mengontrol pengeluaran urine setiap 4 jam.
b. Tidak ada tanda-tanda retensi dan inkontinensia urine.
c. Klien berkemih dalam keadaan rileks
Intervensi
1.

Intervensi
Rasional
Monitor keadaan bladder setiap 2 membantu mencegah distensi atau

jam
2. Tingkatkan

aktivitas

komplikasi
dengan meningkatkan kekuatan otot ginjal

kolaborasi dokter/fisioterapi
dan fungsi bladder.
3. Kolaborasi dalam bladder training menguatkan otot dasar pelvis
4. Hindari
faktor
pencetus mengurangi atau
menghindari
inkontinensia urine seperti cemas
5.

inkontinensia

Kolaborasi dengan dokter dalam mengatasi faktor penyebab


pengobatan dan kateterisasi

6.

Jelaskan tentang :
Pengobatan
Kateter
Penyebab
Tindakan lainnya

meningkatkan

pengetahuan

dan

diharapkan pasien lebih kooperatif.

b)

Retensi urine
(1) Definisi : kondisi di mana seseorang tidak mampu mengosongkan bladder
secara tuntas.
(2) Kemungkinan berhubungan dengan :
(a)

Obstruksi mekanik

(b)

Pembesaran prostat

(c)

Trauma

(d)

Pembedahan

(e)

Kehamilan

(3) Kemungkinan data yang ditemukan :


(a)

Tidak tuntasnya pengeluaran urine

(b)

Distensi bladder

(c)

Hipertropi prostat

(d)

Kanker

(e)

Infeksi saluran kemih

(f)

Pembedahan besar abdomen

(4) Tujuan yang diharapkan :


(a)

Pasien dapat mengontrol pengeluaran bladder setiap 4 jam

(b) Tanda dan gejala retensi urine tidak ada


Intervensi
1.

Intervensi
Rasional
Monitor keadaan bladder setiap 2 Menentukan masalah

jam
2. Ukur intake dan output cairan memonitor keseimbangan cairan
setiap 4 jam
3. Berikan cairan 2.000 ml/hari menjaga defisit cairan
dengan kolaborasi
4. Kurangi minum setelah jam 6 mencegah nokturia
malam
5. Kaji dan monitor analisis urine membantu memonitor keseimbangan
6.

elektrolit dan berat badan


Lakukan latihan pergerakan

cairan
meningkatkan
bladder

fungsi

ginjal

dan

7.

Lakukan relaksasi ketika duduk relaksasi pikiran dapat meningkatkan

berkemih
kemampuan berkemih.
8. Ajarkan teknik latihan dengan menguatkan otot pelvis
kolaborasi dokter/fisioterapi
9. Kolaborasi dalam pemasangan mengeluarkan urine
kateter

DAFTAR PUSTAKA

Gibson, John. 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta:
EGC
Hidayat, Aziz A. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep
dan Proses Keperawatan: Jakarta: Salemba Medika.
Kozier & Erb. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Jakarta: EGC

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai