TINJAUAN PUSTAKA
penurunan sekresi insulin karena berkurangnya fungsi sel beta pankreas secara
progresif yang disebabkan oleh resistensi insulin.5 Pada penelitian ini,
pembahasan mengenai DM akan difokuskan pada DM tipe 2.
2.1.3. Faktor Risiko
Faktor risiko utama DM tipe 2 meliputi riwayat keluarga dengan DM tipe
2 (jika kedua orangtua dengan DM, risiko dapat mencapai 40%), obesitas, kurang
aktivitas fisik, pernah mengalami IFG, IGT, atau memiliki kadar HbA1C 5,7
6,4%, adanya riwayat DM gestasional / melahirkan bayi dengan berat badan lahir
> 4 kg, hipertensi, kadar HDL <35 mg/dL dan/atau trigliserida >250 mg/dL,
adanya kondisi terkait seperti polycystic ovary syndrome / acanthosis nigricans,
serta riwayat penyakit kardiovaskular.1,7
2.1.4. Patogenesis
Pada DM tipe 2, resistensi insulin mengawali timbulnya defek sekresi
insulin, tetapi defek ini hanya berkembang menjadi DM jika sekresi insulin
menjadi tidak adekuat. Pada fase awal, toleransi glukosa masih mendekati normal
karena adanya kompensasi sel beta pankreas berupa peningkatan sekresi insulin.
Jika resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensasi berlanjut, sel-sel islet
pada pankreas tidak dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia, sehingga
timbul gangguan toleransi glukosa. Apabila sekresi insulin terus menurun,
produksi glukosa hepatik meningkat, maka timbul DM, di mana gula darah puasa
menjadi abnormal. Pada akhirnya, akan terjadi kegagalan sel beta.1
A. Resistensi Insulin
Mekanisme molekuler resistensi insulin belum dapat ditentukan secara
pasti, namun diketahui resistensi insulin mengganggu utilisasi glukosa oleh
jaringan yang sensitif insulin dan menyebabkan peningkatan output glukosa hati,
sehingga terjadi hiperglikemia. Secara spesifik, peningkatan output glukosa hati
menyebabkan peningkatan kadar gula darah puasa, sedangkan penurunan ambilan
glukosa di perifer menyebabkan peningkatan gula darah postprandial.
Metabolisme glukosa pada jaringan yang tidak sensitif insulin tidak terpengaruh
oleh resistensi insulin.1
Resistensi insulin pada hati akan timbul setelah terjadinya resistensi
insulin pada jaringan otot rangka dan defek sekresi insulin. Kegagalan supresi
glukoneogenesis pada fase hiperinsulinemia kompensasi kemudian menyebabkan
peningkatan produksi glukosa di hati, mengakibatkan peningkatan gula darah
puasa dan penurunan penyimpanan glikogen postprandial.1
B. Keterlibatan Obesitas
Obesitas sentral/visceral dinilai terlibat dalam patogenesis DM tipe 2.
Peningkatan massa adiposit menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas
(free fatty acids, FFA) dan adipokin lain, seperti FFA non-esterifikasi, retinolbinding protein 4, leptin, TNF, resistin, dan adiponektin. Adipokin memodulasi
sensitivitas terhadap insulin. Peningkatan kadar FFA mengganggu utilisasi
glukosa pada otot rangka, meningkatkan produksi glukosa hati, dan merusak
fungsi sel beta. Selain itu, produksi adiponektin menurun pada obesitas, dan hal
tersebut mungkin berhubungan dengan resistensi insulin pada hati.1
C. Defek Sekresi Insulin
Pada fase awal perjalanan penyakit, sekresi insulin meningkat sebagai
kompensasi untuk mempertahankan toleransi normal terhadap glukosa. Defek
yang terjadi bersifat ringan dan melibatkan hanya sekresi insulin yang distimulasi
glukosa, sedangkan respon terhadap secretagogue lain tidak terganggu.
Abnormalitas pada pemrosesan proinsulin kemudian menyebabkan sekresi
proinsulin meningkat. Defek sekresi insulin kemudian berkembang menjadi
keadaan sekresi insulin yang inadekuat.1
2.1.6. Diagnosis
Karakteristik penderita DM tipe 2 sering mencakup usia di atas 30 tahun,
obesitas (sekitar 80% penderita, tetapi pada orang tua dapat tidak ditemukan
obesitas), pada fase awal tidak membutuhkan terapi insulin, dan dapat juga
disertai
kondisi
terkait
seperti
resistensi
insulin,
hipertensi,
penyakit
bertujuan
mencegah
dan
menghambat
progresivitas
penyulit
10
11
jasmani dapat dikurangi.8 Uji ketahanan olahraga dapat diperlukan pada penderita
DM dengan usia > 35 tahun, telah menderita diabetes >10 tahun, menderita
komplikasi
mikrovaskular
(retinopati,
mikroalbuminuria,
atau
nefropati),
peripheral artery disease (PAD), faktor risiko penyakit jantung koroner, atau
neuropati otonom. Retinopati proliferatif yang tidak ditatalaksana (untreated)
merupakan kontraindikasi relatif dari latihan fisik yang berat, mengingat adanya
risiko perdarahan vitreous atau ablatio retina.1
C. Pemantauan Kadar Gula Darah
Pemantauan kontrol gula darah yang optimal mencakup pengukuran kadar
glukosa plasma oleh pasien dan penilaian kontrol jangka panjang oleh dokter
dengan pengukuran HbA1C. Kedua pengukuran ini bersifat komplementer, di
mana pengukuran oleh pasien menggambarkan kontrol gula darah jangka pendek,
dan HbA1C menunjukkan kontrol gula darah rata-rata selama 2 hingga 3 bulan
terakhir.1,6 Pemantauan gula darah sendiri oleh pasien dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.8
D. Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan pola makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).1,8 Pendekatan farmakologis dalam
tatalaksana DM tipe 2 mencakup obat hipoglikemik oral (OHO), insulin, dan
obat-obatan lain yang memperbaiki kontrol kadar gula darah. Terapi yang
memperbaiki kontrol gula darah menurunkan glukotoksisitas terhadap sel islet dan
memperbaiki sekresi insulin endogen. Meskipun demikian, DM tipe 2 merupakan
suatu penyakit progresif dan membutuhkan beberapa regimen terapeutik, dan
seringkali juga insulin.1
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pemicu
sekresi insulin (insulin secretagogue; sulfonilurea dan glinid), peningkat
sensitivitas terhadap insulin (metformin dan tiazolidindion), penghambat
glukoneogenesis (metformin), penghambat absorpsi glukosa (penghambat
glukosidase alfa), dan inhibitor DPP-IV.8
12
13
14
5. Inhibitor DPP-IV
Inhibitor DPP-IV memicu sekresi insulin dan menghambat pelepasan pada
saat tidak terjadi hipoglikemia atau peningkatan berat badan, dan diduga memiliki
efek yang lebih kuat pada gula darah postprandial. 1,8 Inhibitor DPP-IV digunakan
terpisah atau dikombinasikan dengan OHO pada penderita DM tipe 2. Pada pasien
dengan insufisiensi renal, obat ini diberikan dalam dosis yang diturunkan. Efek
samping inhibitor DPP-IV relatif sedikit.1
Insulin
Terapi insulin dibutuhkan oleh sebagian penderita DM tipe 2 karena
progresivitas penyakitnya dan defisiensi insulin relatif yang timbul pada pasien
yang telah lama menderita DM.1 Insulin diperlukan pada keadaan penurunan berat
badan yang cepat, hiperglikemia berat disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar non-ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat,
kegagalan terapi dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi
sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke), gangguan fungsi ginjal atau
hati yang berat, serta kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.1,8
Berdasarkan lama kerjanya, insulin dikelompokkan menjadi kerja cepat
(rapid-acting), kerja pendek (short-acting), kerja menengah (intermediate-acting),
dan kerja panjang (long-acting). Efek samping utama terapi insulin adalah
terjadinya hipoglikemia. Efek samping lainnya berupa reaksi imunologi terhadap
insulin yang dapat menimbulkan alergi atau resistensi insulin.8
2.1.8. Komplikasi
A. Komplikasi Akut
Komplikasi akut DM dapat berupa ketoasidosis diabetik (KAD) dan
hyperglycemic hyperosmolar state (HHS). KAD biasanya muncul pada penderita
DM tipe 1, tetapi dapat juga terjadi pada individu tanpa gambaran imunologik
DM tipe 1 dan yang dapat diterapi dengan OHO. HHS terutama timbul pada
15
kronis
DM
mengenai
beberapa
sistem
organ
dan
16
sekunder
(seperti
penyakit
ginjal/ISK/hematuria/pemakaian
feokromositoma,
aldosteronisme),
ginjal
polikistik,
adanya
analgetika
dan
bahan-bahan
riwayat
hipertensi
dan/atau
penyakit
lain,
penyakit
17
hipotensi
berhubungan
dengan
penggunaan
antihipertensi),
serta
femoral),
C-reactive
protein
(CRP),
funduskopi,
serta
penapisan
18
19
risiko stroke dan kematian akibat penyakit kardiovaskular hingga dua kali
lipat.10,11
2.3.3. Patofisiologi Hipertensi pada DM
Sistem vaskular merupakan target utama hipertensi dan diabetes, di mana
glukotoksisitas menyebabkan peningkatan kerja renin-angiotensin-aldosterone
system (RAAS), sehingga meningkatkan risiko kejadian hipertensi. Hipertensi
disertai peningkatan stres oksidatif dan aktivitas spesies oksigen radikal akan
memediasi kerusakan pembuluh darah akibat aktivasi angiotensin II. 5,7 Oleh
karena itu, pada pasien DM, hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya
komplikasi kardiovaskular DM, di antaranya nefropati diabetikum, retinopati
diabetikum, left ventricular hypertrophy, dan gagal jantung.9,10 Pola hipertensi
berubah seiring dengan pertambahan usia pasien. Tekanan darah sistolik
meningkat secara linear seiring usia pada seluruh kelompok usia, sedangkan
tekanan darah diastolik meningkat seiring usia hanya sampai dengan usia 50
tahun, kemudian menetap dan kembali menurun. Oleh karena itu, pada orang tua,
hipertensi sistolik lebih umum terjadi.7
2.3.4. Tatalaksana
Sasaran penurunan tekanan darah untuk pasien hipertensi pada DM adalah
<130/80 mmHg, dan bila disertai proteinuria 1 gram / 24 jam, target tekanan
darah yang harus dicapai adalah < 125/75 mmHg.8
A. Nonfarmakologis
Tatalaksana nonfarmakologis untuk hipertensi pada DM meliputi
modifikasi gaya hidup, yaitu dengan menurunkan berat badan, meningkatkan
aktivitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi
garam.8,10
Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau
tekanan diastolik antara 80-89 mmHg, perubahan gaya hidup harus dilakukan
terlebih dahulu sampai 3 bulan, dan terapi farmakologis dapat ditambahkan
apabila target tidak tercapai. Pada pasien dengan tekanan darah sistolik >140
20
mmHg atau tekanan diastolik >90 mmHg, terapi farmakologis dapat langsung
diberikan.8
B. Farmakologis
Dalam memilih obat antihipertensi (OAH), hal-hal yang perlu diperhatikan
di antaranya pengaruh OAH terhadap profil lipid, metabolisme glukosa, resistensi
insulin, serta hipoglikemia terselubung.8 Obat antihipertensi yang dapat
dipergunakan adalah golongan ACE inhibitor, ARB, -blocker selektif (dosis
rendah), diuretika dosis rendah, -blocker, dan antagonis kalsium. ACE inhibitor
dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular. ACE inhibitor, ARB, dan antagonis
kalsium golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki mikroalbuminuria.
Terapi kombinasi diberikan apabila target terapi tidak tercapai dengan
monoterapi.8,10
Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap. Pengobatan
hipertensi harus diteruskan walaupun target tekanan darah sudah tercapai. Bila
tekanan darah terkendali, dosis OAH dapat diturunkan secara bertahap.8,10,11