Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus


2.1.1. Definisi
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya.1,5 DM diklasifikasikan berdasarkan patogenesis
yang mengakibatkan hiperglikemia. Dua kategori luas dari DM disebut tipe 1 dan
tipe 2. Kedua tipe DM ini didahului oleh suatu fase homeostasis glukosa abnormal
seiring perjalanan penyakit.
A. DM Tipe 1
DM tipe 1 terjadi akibat defisiensi insulin yang hampir total, yang dapat
disebabkan oleh penyakit autoimun atau bersifat idiopatik.6
B. DM Tipe 2
DM tipe 2 merupakan suatu kelompok kelainan dengan karakteristik
resistensi insulin dalam berbagai derajat, gangguan sekresi insulin, dan
peningkatan produksi glukosa.
Selain kedua tipe di atas, terdapat juga tipe lain dari DM yang diakibatkan oleh
defek genetik yang spesifik dan DM gestasional.1,6
2.1.2. Epidemiologi
Pada 2010, sekitar 285 juta penduduk dunia menderita DM, dan
berdasarkan kecenderungan saat ini, angka tersebut diprediksi akan meningkat
hingga mencapai 438 juta jiwa pada 2030. 1 Di Indonesia, secara nasional,
prevalensi DM yang simtomatik dan terdiagnosis oleh dokter adalah sebesar 2,5%
populasi, sedangkan prevalensi hipertensi adalah sebesar 5,3%, dengan puncak
kejadian pada populasi berusia 55-64 tahun dan 65-74 tahun. 4 Lebih dari 90
persen penderita DM adalah penderita DM tipe 2, yang ditandai dengan

penurunan sekresi insulin karena berkurangnya fungsi sel beta pankreas secara
progresif yang disebabkan oleh resistensi insulin.5 Pada penelitian ini,
pembahasan mengenai DM akan difokuskan pada DM tipe 2.
2.1.3. Faktor Risiko
Faktor risiko utama DM tipe 2 meliputi riwayat keluarga dengan DM tipe
2 (jika kedua orangtua dengan DM, risiko dapat mencapai 40%), obesitas, kurang
aktivitas fisik, pernah mengalami IFG, IGT, atau memiliki kadar HbA1C 5,7
6,4%, adanya riwayat DM gestasional / melahirkan bayi dengan berat badan lahir
> 4 kg, hipertensi, kadar HDL <35 mg/dL dan/atau trigliserida >250 mg/dL,
adanya kondisi terkait seperti polycystic ovary syndrome / acanthosis nigricans,
serta riwayat penyakit kardiovaskular.1,7
2.1.4. Patogenesis
Pada DM tipe 2, resistensi insulin mengawali timbulnya defek sekresi
insulin, tetapi defek ini hanya berkembang menjadi DM jika sekresi insulin
menjadi tidak adekuat. Pada fase awal, toleransi glukosa masih mendekati normal
karena adanya kompensasi sel beta pankreas berupa peningkatan sekresi insulin.
Jika resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensasi berlanjut, sel-sel islet
pada pankreas tidak dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia, sehingga
timbul gangguan toleransi glukosa. Apabila sekresi insulin terus menurun,
produksi glukosa hepatik meningkat, maka timbul DM, di mana gula darah puasa
menjadi abnormal. Pada akhirnya, akan terjadi kegagalan sel beta.1
A. Resistensi Insulin
Mekanisme molekuler resistensi insulin belum dapat ditentukan secara
pasti, namun diketahui resistensi insulin mengganggu utilisasi glukosa oleh
jaringan yang sensitif insulin dan menyebabkan peningkatan output glukosa hati,
sehingga terjadi hiperglikemia. Secara spesifik, peningkatan output glukosa hati
menyebabkan peningkatan kadar gula darah puasa, sedangkan penurunan ambilan
glukosa di perifer menyebabkan peningkatan gula darah postprandial.

Metabolisme glukosa pada jaringan yang tidak sensitif insulin tidak terpengaruh
oleh resistensi insulin.1
Resistensi insulin pada hati akan timbul setelah terjadinya resistensi
insulin pada jaringan otot rangka dan defek sekresi insulin. Kegagalan supresi
glukoneogenesis pada fase hiperinsulinemia kompensasi kemudian menyebabkan
peningkatan produksi glukosa di hati, mengakibatkan peningkatan gula darah
puasa dan penurunan penyimpanan glikogen postprandial.1
B. Keterlibatan Obesitas
Obesitas sentral/visceral dinilai terlibat dalam patogenesis DM tipe 2.
Peningkatan massa adiposit menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas
(free fatty acids, FFA) dan adipokin lain, seperti FFA non-esterifikasi, retinolbinding protein 4, leptin, TNF, resistin, dan adiponektin. Adipokin memodulasi
sensitivitas terhadap insulin. Peningkatan kadar FFA mengganggu utilisasi
glukosa pada otot rangka, meningkatkan produksi glukosa hati, dan merusak
fungsi sel beta. Selain itu, produksi adiponektin menurun pada obesitas, dan hal
tersebut mungkin berhubungan dengan resistensi insulin pada hati.1
C. Defek Sekresi Insulin
Pada fase awal perjalanan penyakit, sekresi insulin meningkat sebagai
kompensasi untuk mempertahankan toleransi normal terhadap glukosa. Defek
yang terjadi bersifat ringan dan melibatkan hanya sekresi insulin yang distimulasi
glukosa, sedangkan respon terhadap secretagogue lain tidak terganggu.
Abnormalitas pada pemrosesan proinsulin kemudian menyebabkan sekresi
proinsulin meningkat. Defek sekresi insulin kemudian berkembang menjadi
keadaan sekresi insulin yang inadekuat.1
2.1.6. Diagnosis
Karakteristik penderita DM tipe 2 sering mencakup usia di atas 30 tahun,
obesitas (sekitar 80% penderita, tetapi pada orang tua dapat tidak ditemukan
obesitas), pada fase awal tidak membutuhkan terapi insulin, dan dapat juga
disertai

kondisi

terkait

seperti

resistensi

insulin,

hipertensi,

penyakit

kardiovaskular, dislipidemia, atau polycystic ovary syndrome (PCOS). Pada DM

tipe 2, resistensi insulin sering berkaitan dengan obesitas abdominal dan


hipertrigliseridemia.1
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Kriteria diagnosis menurut American Diabetes Organization mencakup timbulnya
gejala diabetes dengan GDS 11.1 mmol/L (200 mg/dL), atau gula darah puasa 7.0
mmol/L (126 mg/dL), atau kadar HbA1C > 6.5%, atau gula darah
postprandial 11.1 mmol/L (200 mg/dL) pada uji toleransi glukosa dengan
pemberian beban glukosa (75 g glukosa anhidrous dalam air).1,6,8
2.1.7. Tatalaksana
Prinsip terapi DM adalah (1) untuk menghilangkan gejala terkait
hiperglikemia, (2) mengurangi atau menghilangkan komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular jangka panjang DM, dan (3) memungkinkan pasien untuk
mencapai gaya hidup senormal mungkin. 1 Tujuan jangka pendek terapi DM
adalah menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan
mencapai target pengendalian glukosa darah.8 Gejala diabetes biasanya mereda
ketika glukosa darah plasma turun hingga <200 mg/dl.1 Dalam jangka panjang,
terapi

bertujuan

mencegah

dan

menghambat

progresivitas

penyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.8


Tujuan akhir penatalaksanaan DM adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan
pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan
perilaku.8 Suatu target kontrol glikemik perlu ditetapkan untuk setiap pasien, dan
pasien juga perlu dipersiapkan dengan edukasi dan regimen farmakologis yang
dibutuhkan untuk mencapai target tersebut dan memantau komplikasi terkait DM.1
A. Edukasi
Selain meningkatkan kepatuhan pasien, edukasi pasien juga menjadikan
pasien DM lebih bertanggung jawab untuk merawat diri sendiri. Edukasi pasien
sebaiknya dinilai sebagai suatu proses kontinu dengan kunjungan berkala untuk
pemantapan. Topik edukasi yang penting untuk disampaikan kepada pasien di

10

antaranya pemantauan gula darah sendiri, pemberian insulin, obat-obat penurun


kadar gula darah, panduan penanganan diabetes pada saat sakit, pencegahan dan
penanganan hipoglikemia, perawatan kulit dan kaki, penanganan diabetes
sebelum, selama dan sesudah olahraga, serta aktivitas yang dapat memodifikasi
faktor risiko.1
B. Terapi Nutrisi Medis dan Aktivitas Fisik
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta
pasien dan keluarganya). Tujuan TNM pada DM tipe 2 berfokus pada penurunan
berat badan dan penurunan risiko penyakit kardiovaskular.1,8
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada
penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah
atau insulin.8
Kegiatan jasmani sehari-hari dan olahraga secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2.6,8 Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, dan berkebun harus tetap dilakukan. Selain untuk menjaga
kebugaran, aktivitas fisik dan olahraga juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah.1,8
Jenis olahraga yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik, seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Intensitas latihan jasmani dapat ditingkatkan apabila kondisi pasien relatif lebih
sehat, sementara pada pasien yang telah menderita komplikasi DM, latihan

11

jasmani dapat dikurangi.8 Uji ketahanan olahraga dapat diperlukan pada penderita
DM dengan usia > 35 tahun, telah menderita diabetes >10 tahun, menderita
komplikasi

mikrovaskular

(retinopati,

mikroalbuminuria,

atau

nefropati),

peripheral artery disease (PAD), faktor risiko penyakit jantung koroner, atau
neuropati otonom. Retinopati proliferatif yang tidak ditatalaksana (untreated)
merupakan kontraindikasi relatif dari latihan fisik yang berat, mengingat adanya
risiko perdarahan vitreous atau ablatio retina.1
C. Pemantauan Kadar Gula Darah
Pemantauan kontrol gula darah yang optimal mencakup pengukuran kadar
glukosa plasma oleh pasien dan penilaian kontrol jangka panjang oleh dokter
dengan pengukuran HbA1C. Kedua pengukuran ini bersifat komplementer, di
mana pengukuran oleh pasien menggambarkan kontrol gula darah jangka pendek,
dan HbA1C menunjukkan kontrol gula darah rata-rata selama 2 hingga 3 bulan
terakhir.1,6 Pemantauan gula darah sendiri oleh pasien dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.8
D. Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan pola makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).1,8 Pendekatan farmakologis dalam
tatalaksana DM tipe 2 mencakup obat hipoglikemik oral (OHO), insulin, dan
obat-obatan lain yang memperbaiki kontrol kadar gula darah. Terapi yang
memperbaiki kontrol gula darah menurunkan glukotoksisitas terhadap sel islet dan
memperbaiki sekresi insulin endogen. Meskipun demikian, DM tipe 2 merupakan
suatu penyakit progresif dan membutuhkan beberapa regimen terapeutik, dan
seringkali juga insulin.1
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pemicu
sekresi insulin (insulin secretagogue; sulfonilurea dan glinid), peningkat
sensitivitas terhadap insulin (metformin dan tiazolidindion), penghambat
glukoneogenesis (metformin), penghambat absorpsi glukosa (penghambat
glukosidase alfa), dan inhibitor DPP-IV.8

12

1. Pemicu Sekresi Insulin


Sulfonilurea
Secara umum, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin dengan cepat oleh sel beta pankreas, dan oleh karena itu sebaiknya
diberikan segera sebelum makan. Meskipun demikian, pelepasan insulin
kemudian menjadi lebih teratur dengan terapi jangka panjang. Obat ini merupakan
pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.1,8
Penggunaan sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan guna menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan
fungsi ginjal dan hati, kurang gizi serta penyakit kardiovaskular.8 Beberapa obat
golongan sulfonilurea memiliki interaksi yang signifikan dengan alkohol dan
beberapa obat lain seperti warfarin, aspirin, ketokonazol, inhibitor glukosidase,
dan flukonazol.1
Glinid
Cara kerja glinid serupa dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Glinid terdiri dari 2 macam, yaitu
repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian per oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia postprandial.8
2. Peningkat Sensitivitas Terhadap Insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada peroxisome proliferator
activated receptor-gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.1,2
Penggunaan tiazolidindion sering dikaitkan dengan kenaikan berat badan (2-3 kg),
sedikit penurunan hematokrit, dan peningkatan volume plasma.1 Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat

13

memperberat edema/retensi cairan, juga pada gangguan fungsi hati. Pemantauan


fungsi hati secara berkala diperlukan pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion.1,8
3. Penghambat Glukoneogenesis
Metformin
Metformin menurunkan glukoneogenesis dan memperbaiki ambilan
glukosa di perifer. Metformin menurunkan kadar insulin dan glukosa plasma,
memperbaiki profil lipid, dan memiliki efek menurunkan berat badan, sehingga
obat ini terutama dipakai pada penyandang diabetes yang gemuk. 1,8 Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual, oleh karena itu metformin dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan. Selain itu, pemberian metformin secara titrasi pada
awal penggunaan akan memudahkan pemantauan efek samping obat.8
4. Penghambat Absorpsi Glukosa
Inhibitor Glukosidase: Acarbose
Inhibitor glukosidase bekerja dengan menunda absorpsi glukosa, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah postprandial.1,8 Obat ini tidak
mempengaruhi utilisasi glukosa atau sekresi insulin. Terapi sebaiknya dimulai
dengan dosis rendah (25 mg) bersamaan dengan makan malam, dan dapat
ditingkatkan hingga dosis maksimal setelah beberapa minggu atau beberapa
bulan.1
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia, kecuali jika
diberikan bersamaan dengan sulfonilurea. Acarbose sebaiknya tidak digunakan
pada individu dengan inflammatory bowel disease, gastroparesis, atau kadar
kreatinin serum >2 mg/dL.1 Efek samping yang paling sering ditemukan ialah
kembung dan flatulens.1,8

14

5. Inhibitor DPP-IV
Inhibitor DPP-IV memicu sekresi insulin dan menghambat pelepasan pada
saat tidak terjadi hipoglikemia atau peningkatan berat badan, dan diduga memiliki
efek yang lebih kuat pada gula darah postprandial. 1,8 Inhibitor DPP-IV digunakan
terpisah atau dikombinasikan dengan OHO pada penderita DM tipe 2. Pada pasien
dengan insufisiensi renal, obat ini diberikan dalam dosis yang diturunkan. Efek
samping inhibitor DPP-IV relatif sedikit.1
Insulin
Terapi insulin dibutuhkan oleh sebagian penderita DM tipe 2 karena
progresivitas penyakitnya dan defisiensi insulin relatif yang timbul pada pasien
yang telah lama menderita DM.1 Insulin diperlukan pada keadaan penurunan berat
badan yang cepat, hiperglikemia berat disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar non-ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat,
kegagalan terapi dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi
sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke), gangguan fungsi ginjal atau
hati yang berat, serta kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.1,8
Berdasarkan lama kerjanya, insulin dikelompokkan menjadi kerja cepat
(rapid-acting), kerja pendek (short-acting), kerja menengah (intermediate-acting),
dan kerja panjang (long-acting). Efek samping utama terapi insulin adalah
terjadinya hipoglikemia. Efek samping lainnya berupa reaksi imunologi terhadap
insulin yang dapat menimbulkan alergi atau resistensi insulin.8
2.1.8. Komplikasi
A. Komplikasi Akut
Komplikasi akut DM dapat berupa ketoasidosis diabetik (KAD) dan
hyperglycemic hyperosmolar state (HHS). KAD biasanya muncul pada penderita
DM tipe 1, tetapi dapat juga terjadi pada individu tanpa gambaran imunologik
DM tipe 1 dan yang dapat diterapi dengan OHO. HHS terutama timbul pada

15

pasien dengan DM tipe 2. Kedua komplikasi ini bergubungan dengan defisiensi


insulin absolut atau relatif, penurunan volume, dan abnormalitas asam-basa.1
B. Komplikasi Kronis
Komplikasi

kronis

DM

mengenai

beberapa

sistem

organ

dan

menyebabkan sebagian besar morbiditas dan mortalitas terkait penyakit tersebut.


Komplikasi kronis dapat dibagi menjadi komplikasi vaskular dan nonvaskular.
Komplikasi vaskular DM dapat dibagi lebih lanjut menjadi komplikasi
mikrovaskular (retinopati, neuropati, nefropati) dan makrovaskular (penyakit
jantung koroner, peripheral arterial disease, dan penyakit serebrovaskular).
Komplikasi nonvaskular mencakup masalah-masalah seperti gastroparesis,
infeksi, glaukoma, disfungsi seksual, dan perubahan pada kulit.1

2.2. Hipertensi Esensial


2.2.1. Definisi
Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai
hipertensi esensial. Hipertensi esensial merupakan penyakit multifaktorial yang
timbul terutama karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu.10
2.2.2. Faktor Risiko
Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian hipertensi esensial mencakup
faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor
yang dapat dimodifikasi di antaranya diet dan asupan garam, stres, obesitas, dan
merokok. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi faktor ras, genetik,
aktivitas sistem saraf simpatis, keseimbangan modulator vasodilatasi dan
vasokontriksi, serta pengaruh sistem autokrin setempat yang berperan pada sistem
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS).10
2.2.3. Risiko Penyakit Kardiovaskular pada Pasien Hipertensi

16

Faktor risiko penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi meliputi


kebiasaan merokok, obesitas, kurang aktivitas fisik, dislipidemia, DM,
mikroalbuminuria atau GFR <60 ml/menit, dan usia (laki-laki: >55 tahun,
perempuan: >65 tahun). Pada pasien berusia di atas 50 tahun, tekanan darah
sistolik >140 mmHg merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya
penyakit kardiovaskular dibanding peningkatan TD diastolik.10,11
2.2.3. Evaluasi Klinis Pasien Dengan Hipertensi
Tujuan evaluasi hipertensi adalah

untuk menilai pola hidup dan

identifikasi faktor risiko kardiovaskular lain/menilai penyakit penyerta yang


mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan, mencari penyebab
kenaikan tekanan darah, serta menentukan ada tidaknya kerusakan target organ
dan penyakit kardiovaskular pada pasien. Kerusakan organ target yang umum
ditemui pada pasien hipertensi terjadi pada jantung (left ventricular hypertrophy,
LVH; angina, infark miokard, gagal jantung), otak (transient ischemic attack,
TIA; penyakit serebrovaskular), ginjal (gagal ginjal kronis), arteri perifer
(peripheral artery disease; PAD), dan mata (retinopati).10
Pada pasien dengan hipertensi, anamnesis perlu menyertakan pertanyaan
mengenai lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah; adanya indikasi
HT

sekunder

(seperti

penyakit

ginjal/ISK/hematuria/pemakaian
feokromositoma,

aldosteronisme),

ginjal

polikistik,

adanya

analgetika

dan

bahan-bahan

riwayat

hipertensi

dan/atau

penyakit
lain,
penyakit

kardiovaskular pasien dan keluarga, riwayat hiperlipidemia, riwayat DM, riwayat


pengobatan hipertensi sebelumnya, serta riwayat terkait kebiasaan seperti
merokok, pola makan, kegemukan, dan intensitas olahraga pasien. Selain itu,
adanya gejala kerusakan organ target juga perlu digali dalam anamnesis dan
pemeriksaan fisik, seperti sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, TIA, defisit
sensoris/motoris, palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, haus, poliuria,
nokturia, dan hematuria.10

17

Pengukuran tekanan darah pada pasien hipertensi mencakup pengukuran


rutin di kamar periksa, Ambulatory Blood Pressure Monitoring 24 jam
(diindikasikan pada hipertensi borderline/episodik, office/white coat HT, disfungsi
saraf otonom, hipertensi sekunder, kasus resisten terhadap antihipertensi, dan
gejala

hipotensi

berhubungan

dengan

penggunaan

antihipertensi),

serta

pengukuran sendiri oleh pasien.10,11


Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien hipertensi meliputi
darah rutin, gula darah puasa, profil lipid, asam urat, ureum, kreatinin, kalium,
hemoglobin, hematokrit, urinalisa, dan EKG. Selain itu, pemeriksaan penunjang
tambahan yang dapat disarankan untuk menilai kerusakan organ target meliputi
pemeriksaan radiologis (foto toraks, echokardiografi, CT scan, MRI, USG karotis
dan

femoral),

C-reactive

protein

(CRP),

funduskopi,

serta

penapisan

mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin. Evaluasi lain juga


perlu dilakukan untuk menentukan adanya DM, aterosklerosis, dan penurunan
fungsi ginjal.10
2.2.4. Tatalaksana
Tujuan terapi hipertensi adalah mencapai tekanan darah target <140/90
(<130/80 untuk pasien dengan risiko tinggi penyakit kardiovaskular), menurunkan
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, serta menghambat laju penyakit ginjal
proteinuria.
A. Nonfarmakologis
Tatalaksana nonfarmakologis pada hipertensi meliputi edukasi untuk
berhenti merokok, menurunkan berat badan berlebih, menurunkan konsumsi
alkohol berlebih, diet (menurunkan asupan garam dan lemak, meningkatkan
konsumsi buah dan sayur), serta latihan fisik.10,11
B. Farmakologis
Obat-obatan antihipertensi yang dapat diberikan adalah diuretika, terutama
tiazid atau antagonis aldosteron, -blocker, -blocker, Ca-channel blocker (CCB),

18

ACE inhibitor, serta antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II-receptor


blocker, ARB).10
Pemilihan Antihipertensi Pada Kondisi Tertentu
Terdapat beberapa kondisi di mana pasien memerlukan pertimbangan
khusus dalam pemilihan obat-obatan antihipertensi, seperti gagal jantung, postinfark miokard, pasien dengan risiko penyakit pembuluh darah koroner, diabetes,
penyakit ginjal kronik, dan stroke. Pada pasien hipertensi dengan gagal jantung,
obat-obat antihipertensi terpilih di antaranya diuretika (tiazid dan antagonis
aldosteron), -blocker, ACE inhibitor, dan ARB. Pada pasien post-infark miokard,
dapat diberikan -blocker, ACE inhibitor, dan antagonis aldosteron. Tiazid, blocker, ACE inhibitor dan CCB dapat diberikan pada pasien dengan risiko
penyakit pembuluh darah koroner. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik,
dapat diberikan ACE inhibitor dan ARB. Untuk pencegahan stroke berulang,
diberikan tiazid dan ACE inhibitor.10,11
Terapi Kombinasi
Terapi antihipertensi kombinasi diberikan apabila target tekanan darah
tidak tercapai dengan monoterapi. Beberapa kombinasi yang umum diberikan
adalah diuretika dan ACE inhibitor/ARB, CCB dan -blocker, CCB dan ACE
inhibitor/ARB, CCB dan diuretika, serta -blocker dan -blocker.8,10,11
2.3. Hipertensi pada DM
2.3.1. Definisi
Definisi hipertensi pada DM berbeda, di mana tekanan darah yang
melebihi 130/80 mmHg telah dianggap sebagai hipertensi pada pasien DM.7,8
2.3.2. Epidemiologi
Hipertensi merupakan suatu komorbiditas yang sangat sering terjadi pada
penderita DM. Sekitar 20-75% pasien diabetes menderita hipertensi, dan hal ini
dipengaruhi oleh obesitas dan etnis, serta meningkat seiring usia. 7,9-11
Komorbiditas hipertensi dan diabetes, terutama pada usia tua, meningkatkan

19

risiko stroke dan kematian akibat penyakit kardiovaskular hingga dua kali
lipat.10,11
2.3.3. Patofisiologi Hipertensi pada DM
Sistem vaskular merupakan target utama hipertensi dan diabetes, di mana
glukotoksisitas menyebabkan peningkatan kerja renin-angiotensin-aldosterone
system (RAAS), sehingga meningkatkan risiko kejadian hipertensi. Hipertensi
disertai peningkatan stres oksidatif dan aktivitas spesies oksigen radikal akan
memediasi kerusakan pembuluh darah akibat aktivasi angiotensin II. 5,7 Oleh
karena itu, pada pasien DM, hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya
komplikasi kardiovaskular DM, di antaranya nefropati diabetikum, retinopati
diabetikum, left ventricular hypertrophy, dan gagal jantung.9,10 Pola hipertensi
berubah seiring dengan pertambahan usia pasien. Tekanan darah sistolik
meningkat secara linear seiring usia pada seluruh kelompok usia, sedangkan
tekanan darah diastolik meningkat seiring usia hanya sampai dengan usia 50
tahun, kemudian menetap dan kembali menurun. Oleh karena itu, pada orang tua,
hipertensi sistolik lebih umum terjadi.7
2.3.4. Tatalaksana
Sasaran penurunan tekanan darah untuk pasien hipertensi pada DM adalah
<130/80 mmHg, dan bila disertai proteinuria 1 gram / 24 jam, target tekanan
darah yang harus dicapai adalah < 125/75 mmHg.8
A. Nonfarmakologis
Tatalaksana nonfarmakologis untuk hipertensi pada DM meliputi
modifikasi gaya hidup, yaitu dengan menurunkan berat badan, meningkatkan
aktivitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi
garam.8,10
Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau
tekanan diastolik antara 80-89 mmHg, perubahan gaya hidup harus dilakukan
terlebih dahulu sampai 3 bulan, dan terapi farmakologis dapat ditambahkan
apabila target tidak tercapai. Pada pasien dengan tekanan darah sistolik >140

20

mmHg atau tekanan diastolik >90 mmHg, terapi farmakologis dapat langsung
diberikan.8
B. Farmakologis
Dalam memilih obat antihipertensi (OAH), hal-hal yang perlu diperhatikan
di antaranya pengaruh OAH terhadap profil lipid, metabolisme glukosa, resistensi
insulin, serta hipoglikemia terselubung.8 Obat antihipertensi yang dapat
dipergunakan adalah golongan ACE inhibitor, ARB, -blocker selektif (dosis
rendah), diuretika dosis rendah, -blocker, dan antagonis kalsium. ACE inhibitor
dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular. ACE inhibitor, ARB, dan antagonis
kalsium golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki mikroalbuminuria.
Terapi kombinasi diberikan apabila target terapi tidak tercapai dengan
monoterapi.8,10
Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap. Pengobatan
hipertensi harus diteruskan walaupun target tekanan darah sudah tercapai. Bila
tekanan darah terkendali, dosis OAH dapat diturunkan secara bertahap.8,10,11

Anda mungkin juga menyukai