Anda di halaman 1dari 166

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Hernia umbilikalis merupakan hernia kongenital pada umbilikus yang


hanya tertutup peritoneum dan kulit akibat penutupan yang inkomplet dan tidak
adanya fasia umbilikalis. Hernia umbilikalis pada dewasa sering terjadi akibat
operasi (hernia insisional), dan lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria.1
Selama operasi laparotomi, dinding abdomen dinsisi hingga menembus
cavum abdomen dan isi di dalamnya. Pada akhir operasi, dinding abdomen
kembali ditutup dengan menyatukan luka tersebut, kemudian menutup kulit.

Ketika sebuah defek berkembang di dinding bekas luka, isi rongga perut dapat
menonjol melalui defek ini, kemudian didorong keluar oleh tekanan
intraabdomen. Peningkatan tekanan intraabdominal yang tinggi, yang terjadi
selama buang air besar, muntah, batuk, dll, dapat memfasilitasi kejadian tersebut.2
Terapi hernia umbilikalis pada dewasa hanya dengan pembedahan, yaitu
defek ditutup dengan mesh, dapat melalui operasi terbuka maupun operasi

laparoskopi yang memberikan nyeri minimal dan pemulihan yang cepat


pascaoperasi dibandingkan operasi terbuka. 1
Pada setiap upaya pembedahan diperlukan anestesi. Anestesi general
adalah teknik yang dipakai pada kasus ini guna mendapatkan efek hipnotik,
analgesia, dan arefleksia. Adapun dalam pemberian obat-obatan pada penderita
yang menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya sebagai premedikasi,
induksi, maintenance dan lain-lain.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1

Identitas Pasien

Nama

: Ny. S

Umur

: 64 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan


Pekerjaan

: IRT

Alamat

: Tungkal Ulu

Agama

: Islam

MRS

: 10 Oktober 2014

2.2

Anamnesis
Keluhan Utama : Benjolan di perut
Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengeluhkan timbulnya benjolan di perutnya, benjolan sebesar


kepalan tangan, disertai nyeri yang hilang timbul

Sebelumnya pasien pernah menjalani operasi hernia umbilikalis 11


tahun yang lalu

Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat operasi sebelumnya (+) : 11 tahun yang lalu a.i hernia

umbilikalis
Riwayat batuk lama disangkal, riwayat asma dan sesak nafas
disangkal, riwayat DM (-)

Riwayat hipertensi (+) : konsumsi obat amlodipin 1x10 mg, pasien

mengaku jarang kontrol penyakitnya


Riwayat alergi obat (- )

Riwayat penyakit keluarga :

10

Riwayat penyakit DM, Hipertensi, Asma, pada anggota keluarga


disangkal.
2.3

Pemeriksaan Fisik
Status Present

Kesadaran: Comsposmentis

Vital Sign: TD: 150/90 mmHg

11

Nadi: 88 x/i
RR: 18 x/i
T: 36,5C

Tinggi Badan : 160 cm


Berat badan : 75 Kg
IMT
: 29,29 (kategori Obesitas I)

Status General:

12

Kepala : Normocephal
Mata : CA -/-, SI -/-, Pupil isokor, RC +/+
THT : discharge (-), dbn
Mulut : lidah kotor (-), dbn
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thorax:
Paru

13

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Simetris kanan kiri, retraksi (-)


: Vocal fremitus normal, kanan kiri sama
: Sonor di kedua lapangan paru
: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Ictus cordis tidak terlihat


: Thrill tidak teraba
: Batas jantung sulit dinilai
: BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

14

Abdomen

: Distensi (-), darm contour (-), darm steifung (-)


: Defans muscular (-)
: Timpani, asites (-)
: BU (+)

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Ekstremitas :
Superior
Inferior

: Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)


: Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)

15

2.4

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Darah rutin (1 Oktober 2014)
WBC : 8.5 103/mm3
(3,5-10,0 103/mm3)
RBC : 6.20 106/mm3 (3,80-5,80 106/mm3)
HGB : 9.7 g/dl
(11,0-16,5 g/dl)
HCT : 32.6 %
(35,0-50%)
3
3
PLT
: 378 10 /mm
(150-390 103/mm3)

16

PCT
: 0.290 %
LED : 30/jam
CT/BT : 2/3

(0,100-0,500 %)
(L<10; P<15/jam)

b. Kimia Darah Lengkap (1 Oktober 2014)

Faal Hati
SGOT
SGPT
Faal Ginjal

: 17 U/L
: 19 U/L

(<40)
(<41)

Ureum

: 17.5 mg/dl

(15-39)

17

Kreatinin
GDS

: 1.0 mg/dl

(0,6-1,1)

: 173 mg/dl

(<200)

2. CT Scan abdomen dan pelvis kontras


Kesan : insisional hernia regio umbilikal yang cukup besar yang berisi
usus besar dan kecil serta omentum
3. Thorax PA
Kesan : Cor dalam batas normal, Paru terdapat corakan bronkitis

18

4. EKG : normal
2.5

Diagnosis Kerja Pre-Op:


Hernia insisional umbilikal

2.6

Penatalaksanaan
Pro laparatomi

19

2.7

Pra Anastesi
Penentuan Status Fisik ASA: 1 / 2 / 3 / 4 / 5 / E
Mallampati: grade 1
Persiapan Pra Anestesi:
Pasien telah diberikan Informed Consent
Rawat inap bila setuju operasi
Pro operasi laparotomi
Persiapan operasi :
a. IVFD RL 30 tetes / menit
b. Puasa

20

c. Surat persetujuan tindakan operasi


d. Lab darah rutin, masa pembekuan, masa perdarahan

21

2.8

Laporan Anestesi
Operasi laparatomi dilaksanakan pada tanggal 11 Oktober 2014
Tindakan Anestesi
1) Metode
Anestesi umum (intubasi)
2) Premedikasi
Ondansentron 4mg, Ranitidin 50 mg, Asam Traneksamat 1000 mg,
Dexametason 10 mg
3) Medikasi

22

Sulfas atropin 0,5 mg, Phentanyl 100 mCg, Recofol (Propofol) 140
mg, Roculax 30 mg, Aminofilin 24 mg
4) Intubasi
Insersi ETT no.7.5
5) Maintenance
Sevoflurans + N2O : O2
Keadaan selama operasi
1) Posisi Penderita

: terlentang

23

2) Penyulit waktu anestesi : 3) Lama Anestesi


: 3 jam

4) Jumlah Cairan
Input
RL 3 Kolf : 1500 ml
Fima HES : 500 ml
Total : 2000 ml

Output (urin)
500 cc

Perdarahan
150 cc

24

Kebutuhan Cairan Pasien ini:


BB = 75 kg
Defisit Cairan karena Puasa (P)
P=6xM
P = 6 x 150 cc = 900 cc
Stress Operasi (O)
O = BB x 8 cc (operasi besar)

Maintenance (M)
M = BB x 2 cc
M = 75 x 2 cc = 150 cc
Perdarahan
150 cc

25

O = 75 x 8 = 600 cc

Kebutuhan cairan selama operasi:


Jam I : (900) + 150 + 600 = 1200 cc
Jam II : (900) + 150 + 600 = 975 cc
Jam III : (900) + 150 + 600 = 975 cc

26

5) Monitoring
TD awal: 140/70 mmHg, N: 84 x/i, RR: 18x/i
Jam

TD (mmHg)

Nadi (x/i)

RR (x/i)

09.00

140/70

84

18

09.15

130/85

80

15

09.30

120/75

85

15

09.45

115/60

70

13

27

10.00

110/60

75

13

10.15

105/70

70

13

10.30

90/50

60

13

10.45

100/50

65

14

11.00

90/60

70

13

28

11.15

80/50

60

13

11.30

80/50

70

13

11.45

75/50

70

13

12.00

90/60

85

14

Ruang Pemulihan (RR)


1) Masuk Jam
: 12.10

29

2)
3)
4)
5)

Keadaan Umum
Tanda Vital
Pernafasan
Skoring Aldrette
Aktifitas
Pernafasan
Warna Kulit
Sirkulasi
Kesadaran
Jumlah
6) Instruksi Post Op

: GCS 15
: TD: 90/60 mmHg, N: 85x/i, RR:14 x/i
: Baik
:
:2
:2
:2
:2
:2
: 10
:

30

Awasi tanda-tanda vital


Tidur tanpa bantal
Makan dan minum bertahap
Cek HB post op, bila HB 10 g/dl transfusi PRC
Ikuti terapi sesuai operator dr.Dennison, Sp.B
2.9

Diagnosa Post-op
Post op laparatomi a/i hernia insisional umbilikalis

31

2.10

Prognosis
Quo ad vitam: ad bonam
Quo ad fungsionam: dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

32

3.1 Hernia insisional umbilikalis


3.1.1

Definisi
Hernia umbilikalis merupakan hernia kongenital pada umbilikus yang

hanya tertutup peritoneum dan kulit akibat penutupan yang inkomplet dan tidak

33

adanya fasia umbilikalis. Hernia umbilikalis pada dewasa sering terjadi akibat
operasi (hernia insisional), dan lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria.1
Faktor predisposisi hernia umbilikalis antara lain multipara, asites,
obesitas, dan tumor intraabdomen yang besar. Diagnosis mudah dibuat seperti
pada anak. Inkarserasi lebih sering terjadi dibandingkan dengan anak. 1

34

3.1.2

Perkembangan hernia insisional


Selama periode operasi laparotomi, dinding abdomen dinsisi hingga

menembus cavum abdomen dan isi di dalamnya. Pada akhir operasi, dinding
abdomen kembali ditutup dengan menyatukan luka tersebut, kemudian menutup
kulit.

35

Ketika sebuah defek berkembang di dinding bekas luka, isi rongga perut
dapat menonjol melalui defek ini, kemudian didorong keluar oleh tekanan
intraabdomen. Peningkatan tekanan intraabdominal yang tinggi, yang terjadi
selama buang air besar, muntah, batuk, dll, dapat memfasilitasi kejadian tersebut.2

3.1.3

Manifestasi klinis

36

Hernia umbilikalis merupakan penonjolan yang mengandung isi rongga


perut yang masuk melalui cincin umbilikus, paling sering berisis omentum, bisa
juga berisi usus halus atau usus besar, akibat peninggian tekanan intraabdomen,
biasanya ketika bayi menangis. Hernia umumnya tidak menimbulkan nyeri dan
jarang terjadi inkarserasi. 1
Ditemukannya pembengkakan pada luka laparotomi, pembengkakan ini
dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan nyeri pada penderita. Seringkali, nyeri

37

dan rasa tidak nyaman berhubungan dengan aktivitas atau gerakan, sehingga
penderita hernia insisional berusaha menghindari untuk bergerak. 2

3.1.4

Tatalaksana
Pada bayi, bila cincin hernia kurang dari 2 cm diameternya, umumnya

regresi spontan akan terjadi sebelum bayi berumur enam bulan, kadang cincin

38

baru tertutup setelah satu tahun. Usaha untuk mempercepat penutupan dapat
dikerjakan dengan mendekatkan tepi kiri dan kanan kemudian memfiksasinya
dengan plester untuk 2-3 minggu. 1
Terapi hernia umbilikalis pada dewasa hanya dengan pembedahan, yaitu
defek ditutup dengan mesh, dapat melalui operasi terbuka maupun operasi
laparoskopi yang memberikan nyeri minimal dan pemulihan yang cepat
pascaoperasi dibandingkan operasi terbuka. 1

39

Pada hernia insisional dilakukan penutupan defek pada dinding abdominal,


luka disatukan dan kembali dijahit. Beberapa teknik abdominoplasti berkembang
pada penutupan defek dinding abdominal. Adapun rekurensi dari teknik ini
berkisar 25-54%.2
Hasil yang lebih baik dilaporkan sejak penggunaan prostetik mesh, yang
berperan untuk menjembatani defek dan terfiksasi pada dinding abdominal.

40

Metode ini menurunkan ketegangan antar luka pada dinding abdominal. Angka
kekambuhan menurun hingga 4-34%. 2

3.2 (General Anesthesia)


3.2.1. Definisi

41

Anestesia berasal dari perkataan Yunani yang berarti hilangnya rasa. Istilah
ini konon digunakan filsuf Yunani, Dioscorides, untuk menggambarkan efek
narkosis tanaman mandragora. Tindakan dan usaha untuk menghilangkan rasa
sakit sudah ada sejak dahulu kala pada setiap bangsa, etnik dan suku di dunia.
Cara dan bahan yang digunakan pun beragam.3
Anestesia adalah gabungan antara science dan art. Fisiologi dan
farmakologi adalah ilmu kedokteran dasar yang merupakan basis ilmiah
anestesiologi. Kemampuan menganalisa data medis dan mensintesis suatu

42

kesimpulan untuk mengaplikasikannya kepada pasien, memerlukan sentuhan


seni tersendiri. Sejalan dengan perkembangan, prosedur anestesi pun kemudian
memerlukan ketrampilan psikomotor khusus. 3

Anestesi Umum
Anestesi umum memiliki tiga komponen yang disebut dengan trias
anestesia, yaitu terdiri dari hipnotik, analgesia, dan arefleksia. Namun sekarang

43

anestesi umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut namun lebih
luas, berupa: 3

Hipnosis (hilangnya kesadaran)

Analgesia (hilangnya rasa sakit)

Arefleksia (hilangnya refleks motorik tubuh)

44

Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi


intubasi trakea

Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)

45

Cara pemberian anestesi umum :


1.

Anastetik intravena.
Selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan anestesia,

tambahan pada anelgesia regional atau untuk membantu prosedur diagnostik


misalnya tiopental, ketamin dan ropofol.4

46

Tiopental biasanya tersedia dalam ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum
digunakan dilarutkan dalam akuades sampai kepekatan 25% (1 ml=25 mg).
Tiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg dan
disuntikkan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Larutan ini sangat
alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena akan menyebabkan nyeri
hebat apalagi masuk arteri akan menyebabkan vasokontriksi dan nekrosis jaringan
sekitar. Tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi,

47

hipnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak,
tekanan likuor, tekanan intrakranial. 4
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonis dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Dosis bolus untuk induksi 2-2,5
mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam, dan dosis
sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. 4
Ketamin kurang digemari untuk induksi

anestesia,

karena

sering

menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia

48

dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Dosis
bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuskular 3-10 mg.
Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml= 10 mg) dan 10% (1
ml= 100 mg). 4
Opioid (morfin, petifin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis
tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan
untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opiod digunakan

49

fentanil dosis 1-3 mCg/kg analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit,


fentanil memiliki kekuatan 100x morfin. 4
2.

Anestesi inhalasi
Yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang mudah

menguap (volaitile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan. Dalam
dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan ialah N 2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran dan sevofluran.4

50

Anestesi inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan
atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke
udara inspirasi. Mekanisme kerja obat anestesi inhalasi sangat rumit masih
merupakan misteri dalam farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi
melalui pernafasan menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang
unik dalam dunia anestesiologi. 4

51

Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat fisiknya:
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya
Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan
menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah
adalah faktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan

52

pemulihannya. Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut
dan lambat pada yang larut. Kadar alveolus minimal ( KAM ) atau MAC
(minimum alveolar concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam
alveolus pada tekanan satu atmosfir yangdiperlukan untuk mencegah gerakan
pada 50 % pasien yang dilakukan insisi standar. Pada umumnya immobilisasi
tercapai pada 95 % pasien, jika kadarnya dinaikkan diatas30 % nilai KAM. Dalam

53

keadaan seimbang, tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli sama dengan
tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja obat.4
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh: 4
-

Konsentrasi inspirasi. Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan


sudah penuh, maka ambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inpirasi sama
dengan alveoli. Hal ini dalam praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat

54

kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau kejang
-

laring. Induksi makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).
Ventilasi alveolar. Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin

tinggi dan sebaliknya.


Koefisien darah/gas. Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah,

makin rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.


Curah jantung atau aliran darah paru. Makin tinggi curah jantung makin cepat
uap diambil.

55

Hubungan ventilasi perfusi. Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas


anestetik. Jumlah uap dalam mesin anestesi bukan merupakan gambaran yang
sebenarnya, karena sebagian uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit anestesi
atau ke atmosfir sekitar sebelum mencapai pernafasan.

Eliminasi

56

Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru.
Sebagian lagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450.
Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal. 4
N2O
N2O (gas gelak, laughing gas , nitrous oxide, dinitrogen monooksida) diperoleh
dengan memanaskan amonium nitrat sampai 240C. NH4NO3 --240 C ---- 2H2O +
N2O. N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi,

57

tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair
dalam silinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm.
Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat
anestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestesi lain seperti halotan
dan sebagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan

58

cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah


hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 510 menit. 4
Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang
enak dan tidak merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi
anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan harus disimpan dalam botol gelap

59

(coklat tua) supaya tidak dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%.
Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4%
atau10% sekitar faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya
laringoskop intubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot cukup
baik. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas
kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.

60

Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang


sulit dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai
untuk bedah otak. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,
depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Kebalikan dari N2O, halotan
analgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal
sepanjang tidak ada indikasi kontra. Kombinasi dengan adrenalin sering
menyebabkan disritmia, sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin

61

dianjurkan dengan pengenceran 1:200.000 (5 /kg). Pada bedah sesar, halotan


dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterusakan menimbulkan perdarahan.
Halotan menghambat pelepasan insulin, meninggikan kadar gula darah.Kira-kira
20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara oksidatif menjadi komponen
bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Secara reduktif menjadi komponen
fluorida dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Metabolisme
reduktif ini menyebabkan hepar kerja keras, sehingga merupakan indikasi kontra

62

pada penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu kurang tiga
bulan atau pasien kegemukan. Pasca pemberian halotan sering menyebabkan
pasien menggigil. 4
Enfluran
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer
setelah ada kecurigaan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada penggunaan
berulang. Pada EEG menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai

63

hipokapnia, karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat


epilepsi, walaupun ada yang beranggapan bukan indikasi kontra untuk dpakai
pada kasus dengan riwayat epilepsi. Kombinasi dengan adrenalin lebih aman 3
kali dibanding halotan. Enfluran yang dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar
menjadi produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Ssisanya dikeluarkan
lewat paru dalam bentuk asli. Induksi dan pulih dari anestesia lebih cepat
dibanding halotan. Vasodilatasi serebral antara halotan dan isofluran. Efek depresi

64

napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding halotan.
Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, depresi lebih jarang
menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding
halotan. 4
Isofluran
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis
anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,

65

tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.Efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk
anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan
koroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkan
relaksasi dan kurang responsif jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat

66

menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi


sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran. 4
Desfluran
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan
efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan dengan anestetik
volatil lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer

khusus (TEC-6).

Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5C). potensinya rendah (MAC 6.0%).

67

Ia bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek depresi


napasnya sepertiisofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan napas atas,
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesia. 4
Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi

68

disamping

halotan.

Efek

terhadap

kardiovaskuler

cukup

stabil,

jarang

menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan
belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran
cepat dikeluarkan oleh badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime),
tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.4

3.2.2

Keuntungan dan Kerugian Anestesi Umum

69

Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah
anestesi umum. Namun demikian, semua teknik anestesi harus dapat sewaktuwaktu dikonversikan menjadi anestesi umum. Oleh karena itu di setiap tempat
pelayanan anestesi harus tersedia perlengkapan anestesi umum.3
Keuntungan anestesi umum
Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.

70

Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas
dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin meberikan trauma

psikologis.
Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.

Kerugian anestesi umum

71

Sangat mempengaruhi fisiologi, dimana hampir semua regulasi tubuh

menjadi tumpul di bawah anestesi umum.


Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit.
Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan

kesadaran.
Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.

3.2.3

Fisiologi Hilangnya Kesadaran

72

Secara klasik dipercaya bahwa kesadaran hilang melalui peningkatan


tonus GABA atau inhibisi reseptor yang diaktivasi glutamat. GABA bersifat
menginhibisi impuls di otak, sedangkan NMDA dan AMPA bersifat eksitasi. 3
Gamma Aminobutyric Acid (GABA)
GABA adalah neurotransmiter inhibitori di SSP, bekerja dengan cara
berikatan dengan reseptornya dengan reseptor di membran sel. Ikatan ini
menyebabkan terbukanya kanal ion yang memungkinkan masuknya ion Ca atau
keluarnya ion K. Terjadi hiperpolarisasi sel. Obat yang bekerja pada reseptor

73

GABA memiliki efek depresif di SSP. Obat-obat ini bersidat ansietas,


antikonvulsif, menyebabkan amnesia. 3
Reseptor yang diaktivasi glutamat
Glutamat adalah neurotransmiter eksitasi utama pada SSP mamalia.
Reseptornya termasuk NMDA, AMPA dan kainat. Reseptor NMDA (N-methyl-Daspartate receptor) adalah satu dari dua reseptor utama yang diaktivasi glutamat.

74

Reseptor lain adalah AMPA. Kedua reseptor ini sering dijumpai pada sinaps yang
sama meskipun memiliki fisiologi yang berbeda. 3

3.2.4

Stadium-Stadium Anestesia

75

Stadium anestesi dibuat berdasarkan efek ether. Ether merupakan zat


volatil yang poten dan digunakan luas pada jamannya. Klasifikasi Guedel dibuat
oleh Arthur Ernest Guedel pada tahun 1937, meliputi: 3
1. Stadium 1
Disebut juga stadium induksi, merupakan periode sejak masuknya obat
induksi hingga hilangnya kesadaran yang ditandai dengan hilangnya refleks
2.

bulu mata.
Stadium 2

76

Disebut stadium eksitasi. Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan


delirium. Pernafasan menjadi iregular, dapat terjadi pasien menahan nafas.
Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan involunter, seringkali spastik. Pasien
juga dapat muntah dan dapat membahayakan jalan nafas. Pada stadium ini
aritmia jantung dapat terjadi. Pupil dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus
3.

simpatis.
Stadium 3
Disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas:

77

4.

Plana 1: mata berputar, kemudian terfiksasi


Plana 2: refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3: dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4: kelumpuhan otot interkostal, pernafasn abdominal dan dangkal
Stadium 4
Merupakan stadium overdosis obat anestetik. Anestesia menjadi terlalu
dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak.
Stadium ini letal.

78

3.2.5

Prosedur Anestesi Umum


Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun

darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan


pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Tujuan kunjungan
pra anestesi ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya
operasi dan meningkatkan lualitas pelayanan kesehatan. 4

79

Penilaian prabedah
Anamnesis3,4

Identifikasi pasien penting untuk menghindari kesalahan pasien.


Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita, termasuk riwayat
pengobatan. Perlu juga ditanyakan alergi yang dimiliki dan pencetus serta

obat yang biasa digunakan untuk mengatasinya.


Gaya hidup dan kebiasaan, misal kebiasaan merokok, minum alkohol,
penggunaan obat-obat rekreasional. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan

80

1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem


kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan
pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah

81

akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga
akan menyulitkan laringoskopi intubasi. 4
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem
organ tubuh pasien. 4
Pemeriksaan laboratorium

82

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan
uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji

83

ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji
semacam ini. 4

Klasifikasi status fisik


Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society
of Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5
kelompok atau kategori sebagai berikut:3,4

84

ASA I :

Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

ASA II:

Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, tanpa

ASA III:

pembatasan aktivitas.
Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin

ASA IV:

terbatas.
Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya

85

ASA V:

setiap saat.
Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan


mencantumkan tanda darurat (E=emergency).

Puasa

86

Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi


lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia
harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum

87

induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anesthesia. 4
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia
diantaranya : 4

88

Meredakan kecemasan dan ketakutan


Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan

89

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi


yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai
nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular. 4

90

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis


asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2
jam sebelum jadwal operasi. 4

91

Periode intrabedah
Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan
anestesi yang baik. Hal pertama yang harus dilakukan ketika masuk ruang bedah
adalah memastikan sumber listrik terpasang pada peralatan elektronik, kemudian
mengecek sumber gas yang harus disambungkan dengan mesin anestesi.3,4
Untuk persiapan anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:4

92

Scope :

Laringoscope dan Stetoscope

Tubes :

Pipa trakea yang diplih sesuai usia

Airway:

Orotracheal airway, untuk menahan lidah pasien saat pasien tidak


sadar, untuk menjaga agar lidah tidak menutup jalan nafas.

Tape :

Plaster untuk memfiksasi orotracheal airway.

Introducer:

Mandrain atau stilet dari kawat untuk memandu agar pipa trakea
mudah untuk dimasukkan

93

Conector :

Penyambung antara pipa dan alat anesthesia

Suction :

Penyedot lendir.

Pemantauan dan pencatatan


Selama operasi, pemantauan ditujukan untuk menjaga keselamatan pasien.
Semua perubahan selama anestesi dicatat dalam rekam medis anestesi. Tanda-

94

tanda vital dicatat dalam interval waktu tertentu, demikian juga obat-obat yang
digunakan, dosis, waktu pemberian. Jumlah dan jenis cairan yang diberikan juga
dicatat. Transfusi produk darah, jika ada dicatat jenis dan jumlahnya. Produksi
urin pun diamati dan dicatat.3

95

Periode pascabedah
Periode pascabedah merupakan tindak lanjut dari kondisi pra dan
intrabedah. Pemantauan standar dilakukan sesuai kriteria Aldrette. Sistem skor ini
diciptakan oleh J. Antonio Aldrette, seorang anestesiologis di USA.untuk dapat
dikeluarkan dari ruang pulih diperlukan nilai 8 3
Tabel 3.1 Skor aldrette

96

Kriteria
Aktivitas

Respirasi

Skor

Kondisi

Mampu menggerakkan 4 ekstremitas, dengan/tanpa perintah

Mampu menggerakkan 2 ekstremitas, dengan/tanpa perintah

Tidak mampu menggerakkan semua ekstremitas

Mampu bernafas dalam dan batuk dengan bebas

Dispnea, nafas dangkal atau terbatas

97

Sirkulasi

Kesadaran

Apnea

TD 20% dari nilai pra-anestesia

TD 20-50% dari nilai pra-anestesia

TD 50% dari nilai pra-anestesia

Sadar penuh

Bangun jika dipanggil

98

Warna

3.2.6

Tidak berespon

Merah muda

Pucat, ikterik atau lainnya

Sianosis

Manajemen Jalan Nafas

99

Manuver tripel jalan nafas


Manuver tripel jalan nafas terdiri dari : head tilt, chin lift dan jaw thrust. Dengan manuver ini
diharapkan jalan nafas terbebas, sehingga udara lancar masuk trakea lewat hidung atau mulut. 4

100

101

Gambar 3.1 Manuver tripel jalan nafas


Jalan nafas faring
Jika manuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang OPA (oro-pharyngeal airway)
atau NPA(naso-pharyngeal airway). 4

102

OPA

Berbentuk pipa gepeng lengkung sepertihuruf C


berlubang tengahnya dengan salah satu ujungnya
bertangkai dengan dinding lebih keras untuk
mencegah kalau pasien menggigit lubang tetap paten,
sehigga aliran udara tetap terjamin.

103

NPA

Berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari


bahan karet lateks lembur. Pemasangan harus hati-hati dan
untuk menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi
dengan jelly.

Sungkup muka

104

Sungkup muka mengantar udara/gas anestesi dari alat resusitasi atau


sistem anastesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga
dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea. 4

105

Gambar 3.2 Sungkup muka


Sungkup
laring
Sungkup
laring

(LMA-

Laryngeal

Mask

106

Airway) ialah alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar belubang
dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan
seperti balon pada pipa trakea. 4

107

Gambar 3.3 Sungkup laring

108

Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan


laringoskop. Pemasangan LMA hendaknya menunggu anestesia cukup dalam atau
menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trama rongga mulut, faringlaring. 4
Pipa trakea
Pipa trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan
biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Pipa trakea dapat dimasukkan

109

melalui mulut atau melalui hidung, merupakan alat yang dapat mengisolasi jalan
nafas, mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan penghisapan. Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran pipa
trakea yang tampak pada tabel di bawah ini. 4

110

111

Gambar 3.4 Pipa endotrakea


Tabel 3.2 Pipa Trakea dan peruntukannya
Usia
Prematur
Neonatus
1-6 bulan
-1 tahun

Diameter (mm)
2,0-2,5
2,5-3,5
3,0-4,0
3,0-3,5

Skala French

Jarak

10
12
14
16

Bibir
10 cm
11cm
11 cm
12 cm

Sampai

112

1-4 tahun
4,0-4,5
4-6 tahun
4,5-,50
6-8 tahun
5,0-5,5*
8-10 tahun
5,5-6,0*
10-12 tahun
6,0-6,5*
12-14 tahun
6,5-7,0
Dewasa wanita
6,5-8,5
Dewasa pria
7,5-10
*Tersedia dengan atau tanpa kaf

18
20
22
24
26
28-30
28-30
32-34

13 cm
14 cm
15-16 cm
16-17 cm
17-18 cm
18-22 cm
20-24 cm
20-24 cm

113

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil: 4


Diameter dalam pipa trakea (mm)

= 4,0 + umur (tahun)

Panjang pipa orotrakeal (cm)

= 12 + umur (tahun)

Panjang pipa nasotrakeal (cm)

= 12 + umur (tahun)

Laringoskop dan intubasi

114

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop


merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita
dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. 4

115

Gambar 3.5 Laringoskop (kiri: bilah lurus, kanan: bilah lengkung)

116

Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan


lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat
kelas. 4

117

Gamabr 3.6 Klasifikasi mallampati


Tindakan intubasi

118

1. Persiapan. Pasien dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan


bantal sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakea dan laringoskop
berada dalam satu garis lurus.
2. Oksigenasi. Pemberian oksigen 100% minimal 2 menit. Sungkup muka
dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
3. Laringoskopi. Memasukkan laringoskop dengan membuka mulut dan

memasukkan dari sudut kanan mulut, lidah pasien didorong dengan daun

119

tersebut ke kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop


didiorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan
akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan
dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita
suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.

120

4. Pemasangan pipa endotrakeal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui


sudut kanan mulut, balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop
dikeluarkan. Pipa difiksasikan dengan plester.
5. Mengontrol letak pipa. Sewaktu dilakukan ventilasi dilakukan auskultasi dada
dengan stetoskop, diharapkan suara napas kanan dan kiri sama.
6. Ventilasi. Pemberian ventilasi sesuai kebutuhan pasien
Kesulitan intubasi

121

Leher pendek berotot

Mandibula menonjol

Maksila/gigi depan menonjol

Uvula tak terlihat

Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

Gerak vertebra servikal terbatas

122

123

Ekstubasi

124

Sejalan dengan berkurangnya efek anestesi, dilakukan suction pada pasien


dan ET dicabut setelah lebih dulu diberikan ventilasi tekanan positif untuk
memberi kesempatan penngeluaran atau sekret keluar dari glotis. Ekstubasi
ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali akan menemukan
kesulitan dan adanya resiko aspirasi. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada
keadaan anestesi sudah ringan, dengan catatan tidak akan terjadi spasme laring.

125

Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan
lain.

3.2.7

Pengaruh anestesia terhadap hipertensi


Pada umumnya anestesi mendepresi hampir semua sistem tubuh, termasuk

kardiovaskular, tentu dengan tingkatan yang berbeda-beda. Anestesia terutama

126

inhalasi, menurunkan tonus simpatis. Sampai saat ini belum ada protokol
untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa
ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. Namun
banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point
untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi
emergensi.5

127

Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak


diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan
sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga
kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek
samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular

dibandingkan

dengan

penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila

128

ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih
lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. 5
The American Heart Association /American

College

of

Cardiology

(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110
mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi
bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol

129

dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi
yang bersifat rapid acting.
Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon
TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi
pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang
sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi
akibat pemeliharaan

anestesia. Pasien

hipertensi

preoperatif yang sudah

130

dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang


lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik. 5
Premedikasi
Premedikasi

dapat

menurunkan

kecemasan

preoperatif

penderita

hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa
menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat

131

antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal


minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan
penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif. 5
Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun

132

saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi


perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi.

Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi

karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang
dikonsumsi oleh penderita, seperti
blocker . 5

ACE inhibitor dan angiotensin receptor

133

Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena


laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan
dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan
laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi
laringoskopi dibawah 15 detik
fluktuasi hemodinamik. 5

dapat membantu meminimalkan

terjadinya

134

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi


untuk masing-masing klinisi. Propofol,

barbiturate,

etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk

benzodiazepine

dan

induksi pada penderita

hipertensi. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara
inhalasi. 5
Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring

135

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan


anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah
sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. 5
Pada

hipertensi

kronis

akan

menyebabkan

pergeseran

kekanan

autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini
akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika

136

TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi


akan menggeser kembali kurva autoregulasi ke kiri kembali ke normal.
Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada
beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu: 5

Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.

137

Penurunan MAP sebesar

hipoperfusi otak.
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian

stroke.
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama

55% akan menyebabkan timbulnya gejala

dengan yang terjadi pada serebral.


Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan
memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan

138

volatile

(tunggal

atau

dikombinasikan

dengan

N2O), anestesia imbang

(balance anesthesia) dengan opioid +N2O+ pelumpuh otot, atau anestesia total
intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. 5
Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia,
namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi
akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan
hipovolemia. 5

139

3.2.8

Pengaruh anestesia terhadap obesitas


Induksi anestesia terutama berbahaya pada pasien dengan resiko tinggi

mengalami kegagalan atau kesulitan intubasi. Jika pasien dianggap beresiko


regurgitasi atau aspirasi saat induksi, dipertimbangkan melakukan induksi sekuens
dengan menggunakan suksinilkolin dilanjutkan beberapa waktu preoksigenasi
yang adekuat. 2

140

Pengaturan posisi pasien sangat vital untuk meningkatkan visualisasi


laring dan mempermudah intubasi trakea selama laringoskopi. Tujuan menumpuk
bantal dan selimut di bawah pasien adalah untuk mengelevasi kepala, badan atas,
dan bahu secara signifikan lebih tinggi dari dada. 2
Pemeliharaan anestesia disarankan menggunakan desflurane karena partisi
darah:gasnya rendah, sehingga pemulihan lebih cepat dan konsisten. Obat-obat

141

yang mudah dititrasi seperti remifentanil dan propofol juga dilaporkan sukses
digunakan. 2

142

143

BAB IV
ANALISA KASUS
Penilaian praanestesi
Persiapan pra anestesi umum pada kasus ini didapatkan dari anamnesis
berupa identifikasi identitas pasien yaitu Ny.S, 64 tahun, dengan hernia insisional
umbilikalis pro laparotomi. Selanjutnya ditanyakan riwayat penyakit sekarang

144

yaitu keluhan pasien mengenai benjolan di perutnya yang sebesar kepalan tangan,
disertai nyeri hilang timbul, riwayat operasi 11 tahun yang lalu atas indikasi
hernia umbilikalis. Pasien memiliki riwayat hipertensi, namun jarang kontrol
penyakitnya dan IMT 29,29 (kategori Obesitas I).
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi pasien
yang tidak dalam penggunaan gigi palsu atau dengan gigi ompong, tindakan buka
mulut yang bisa dilakukan sehingga didapatkan grade mallampati 1 yaitu

145

tampaknya pilar faring, uvula dan palatum molle. Pemeriksaan rutin lain secara
sistematik juga dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium darah rutin tanggal 1 Oktober didapatkan Hb
dan Ht yang menurun (9,7 g/dl dan 32,6%) sementara parameter lain dalam batas
normal. Dari pemeriksaan kimia darah: SGOT dan SGPT dalam batas normal,
begitu juga dengan faal ginjal yaitu ureum dan kreatin, serta GDS yang berada
dalam rentang nilai normal. Dari hasil rontgen thorak jantung dalam batas normal,

146

sementara paru terdapat corakan bronkitis dan gambaran EKG dalam batas
normal.
Klasifikasi status fisik pasien ini tergolong ASA 2 dengan kelainan
sistemik ringan/sedang, berupa hipertensi dan obesitas, tanpa pembatasan
aktivitas.
Persiapan prabedah

147

Pada persiapan prabedah pasien dipuasakan sejak tengah malam (6-8 jam
sebelum pembedahan) untuk meminimalkan resiko regurgitasi isi lambung karena
refleks laring akan mengalami penurunan selama anastesi.
Premedikasi pada pasien ini diberikan ranitidin 50 mg untuk
meminimalkan kejadian pneumonitis asam, ondansentron 4 mg guna mengurangi
mual muntah pasca pembedahan, asam traneksamat 100 mg, dexametason 10 mg,
sulfas atropin 0,5 mg tujuannya adalah untuk mengurangi sekresi kelenjar ludah
dan bronkus.

148

Teknik anestesi yang digunakan yaitu anestesi umum. Pertimbangan


pemilihan teknik dengan melihat komponen anestesi umum yaitu hipnosis,
analgesia, arefleksia, relaksasi otot, dan amnesia. Anestesi regional dapat
dipergunakan sebagai teknik anestesi, namun tidak digunakan pada kasus ini
karena ketinggian blok spinal yang ditakutkan tidak tercapai atau terbatas ketika
operator bedah melakukan eksplorasi laparotomi, sehingga anestesi umum dipilih.

149

Cara pemberian anestesi umum pada kasus ini yaitu anestesi balans, yaitu
dengan menggunakan anastetik intravena dan inhalasi. Adapun anastetik intravena
yang dipakai ialah :

Phentanyl 100 mCg (dosis 1-3 mCg/kg) dipilih karena efek depresi napasnya

yang lebih lama dan memiliki kekuatan 100x morfin.


Recofol (propofol) yang dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih
susu dengan dosis 140 mg (dosis induksi propofol 2-2,5 mg/kg). Recofol

150

dipilih karena induksi anestesinya yang cepat, dengan pemulihan yang lebih
cepat dibanding penggunaan anestetik lain. Setelah diberikan recofol,
selanjutnya diperiksa refleks bulu mata pasien, dan ketika jalan nafas sudah

dapat dikuasai baru dapat dimasukkan roculax sebagai pelumpuh otot.


Roculax (rocuronium) 30 mg (dosis 0,6-1,0 mg.kg) yang merupakan
pelumpuh otot non depolarisasi dengan durasi kerja 30-60 menit. Pada pasien
obesitas yang dianggap beresiko regurgitasi atau aspirasi saat induksi,
dipertimbangkan

pemakaian

suksinilkolin,

namun

pada

kasus

ini

151

suksinilkolin tidak digunakan karena masa kerja yang pendek (4 menit)


sementara pembedahan diperkirakan berlangsung lama.
Anestesi inhalasi yang dipakai pada kasus ini yaitu N2O yang bersifat
anestetik lemah tetapi analgesianya kuat dan dikombinasi dengan sevoflurane.
Sevoflurane dipilih karena induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran, baunya tidak menyengat dan tidak merangsang
jalan napas sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan

152

dan efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan aritmia. Pada
pasien dengan obesitas, disarankan menggunakan desflurane karena partisi
darah:gas yang rendah, namun pada kasus ini desfluran tidak dipakai karena
sangat mudah menguap dibandingkan dengan anestetik volatil lainnya, dan bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi, hal ini menjadi
pertimbangan karena pada kasus ini pasien memiliki tekanan darah pra-bedah
yang termasuk kriteria hipertensi.

153

Kedalaman anastesi dinilai melalui stadium anestesia yang dibuat


berdasarkan efek ether. Pada pasien ini sampai pada stadium 3 (disebut juga
stadium pembedahan) plana 3 yang terlihat dari dilatasi pupil, refleks cahaya
hilang, dan pernapasan perut yang lebih nyata dari pernapasan dada karena otot
interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna.
Manajemen jalan nafas dilakukan dengan manuver tripel, dengan tujuan
membebaskan jalan nafas, sehingga udara lancar memasuki trakea. Pada pasien

154

ini dipasang OPA (oro-pharyngeal airway) untuk mencegah kalau pasien menggigit lubang tetap
paten, sehingga aliran udara tetap terjamin.
Tindakan intubasi dilakukan dengan pemberian oksigenasi minimal 2
menit setelah pemberian anestetik intravena hingga hilangnya refleks bulu mata
dan selanjutnya memasukkan laringoskop bilah lengkung yang biasa dipakai pada
dewasa. Selanjutnya dipasang pipa endotrakeal ukuran 7,5 (dipakai pada dewasa
wanita) dan dilakukan pengontrolan pipa dengan auskultasi dada dengan

155

stetoskop, diharapkan suara napas kanan dan kiri sama. Pada kasus ini pipa
endotrakeal dipilih karena dapat mengontrol ventilasi secara penuh dan mencegah
aspirasi yang disebabkan pembedahan pada rongga abdomen, sementara LMA
tidak dipilih karena tidak dapat mencegah aspirasi.
Pemberian ventilasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien pada saat
intraoperatif. Adapun kesulitan intubasi pada pasien ini adalah leher pendek
karena pengaruh berat badannya, namun intubasi trakea dapat berlangsung dengan

156

lancar didukung mallampati pasien ini yang berada pada grade I yaitu tampaknya
pilar faring, uvula dan palatum molle.
Periode intrabedah
Periode intrabedah meliputi persiapan peralatan anestesi dan pemantauan
dan pencatatan selama operasi. Pemantauan dilakukan per 15 menit dengan
mencatat tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, RR, demikian juga obatobat yang digunakan, dan jumlah/jenis cairan yang diberikan serta produksi urin.

157

Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 3150 cc selama operasi, terdiri
dari jumlah cairan pengganti puasa 900cc, maintenance 150 cc, stress operasi
600cc dan perdarahan 150cc. Pada jam I dibutuhkan 1200, jam II 975cc, dan jam
III 975cc. cairan yang telah masuk (RL, dan FimaHes,) sebesar 2000cc. Ringer
laktat dipilih karena merupakan cairan kristaloid yang isotonik, dimana
osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum sehingga terus berada
di dalam pembuluh darah, dan dapat mengisi cairan intrasel. Cairan koloid Hes

158

diberikan karena di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung
bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler. Kebutuhan cairan pada pasien ini
belum tercukupi, diperlukan terapi rumatan yang adekuat dan dipantau dalam
pengawasan ketat untuk mencukupi kebutuhan cairan pada perioperatif.
Ekstubasi pada kasus ini dikerjakan pada keadaan anestesi sudah ringan,
dengan sebelumnya membersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dengan

159

menggunakan

suction.

Selanjutnya

pipa

endotrakeal

dicabut

dengan

mengempiskan balon kateter terlebih dahulu.


Periode pascabedah
Periode pascabedah pada kasus ini dinilai menggunakan skoring Aldrette,
dimana skor pasien ini adalah 10, hal ini menunjukkan pasien dapat dikeluarkan
dari ruang pulih.

160

BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi
yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui

161

kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada
operasi laparatomi pada penderita wanita, usia 64 tahun, status fisik ASA II
dengan hipertensi danobesitas, diagnosis hernia insisional umbilikal dengan
menggunakan teknik general anestesi dengan ETT no.7,5 respirasi terkontrol.

162

Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang


ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi
anestesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama operasi
berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari
tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan

163

penanganan anestesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian.

164

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Terjemahan


Jong, WD. Textbook of Surgery. Jakarta: EGC; 2004. Hal.116-115
2. Burger WA. Incisional hernia, etiology prevention and treatment (diakses
11 Oktober 2014). Diunduh dari: URL: http://www.erasmusmc.nl

165

3. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi


dan Intensive Care FKUI. Jakarta. Hal : 311-291
4. Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R. Eds. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi ke-2. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Jakarta; 2009. Hal : 54-29
5. Wiryana, M. Manajemen perioperatif pada hipertensi (diakses 16 Oktober
2014). Diunduh dari: URL: http://www.ojs.unud.ac.id

166

Anda mungkin juga menyukai