Anda di halaman 1dari 30

BAB l

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Imunisasi atau kekebalan tubuh terhadap ancaman penyakit adalah tujuan

utama dari pemberian vaksinasi. Pada hakekatnya kekebalan tubuh dapat dimiliki
secara pasif maupun aktif. Keduanya dapat diperoleh secara alami maupun buatan.
Oleh karena itu perlu dilakukannya imunisasi sebagai upaya pencegahan terhadap
serangan penyakit yang berpengaruh terhadap status gizi anak imunisasi telah terbukti
sebagai salah satu upaya kesehatan masyarakat yang sangat penting. Program
imunisasi telah menunjukkan keberhasilan yang luar biasa dan merupakan usaha yang
sangat hemat biaya dalam mencegah penyakit menular.
Program ini merupakan intervensi kesehatan yang paling efektif, yang berhasil
meningkatkan angka harapan hidup. Sejak penetapan the Expanded Program on
Immunisation (EPI) oleh WHO, cakupan imunisasi dasar anak meningkat dari 5%
hingga mendekati 80% di seluruh dunia. Sekurang-kurangnya ada 2,7 juta kematian
akibat campak, tetanus neonatorum dan pertusis serta 200.000 kelumpuhan akibat
polio yang dapat dicegah setiap tahunnya. Vaksinasi terhadap 7 penyakit telah
direkomendasikan EPI sebagai imunisasi rutin di negara berkembang: BCG, DPT,
Polio, Campak dan Hepatitis B. Banyak anggapan salah tentang imunisasi yang
berkembang dalam masyarakat. Banyak pula orang tua dan kalangan praktisi tertentu
khawatir terhadap risiko dari beberapa vaksin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Imunisasi
2.1.1Defenisi Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen. Imunisasi merupakan usaha memberikan
kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh.
Agar tubuh membuat zat anti untuk merangsang pembentukan zat anti yang
dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT
dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio).
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, resisten. Imunisasi berarti anak
diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap
suatu penyakit tapi belum kebal terhadap penyakit yang lain.
Imunisasi

merupakan

suatu

upaya

untuk

menimbulkan

atau

meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit.


2.1.2Tujuan Imunisasi
Tujuan imunisasi yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu
pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok
masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan suatu penyakit tertentu
dari dunia.
Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini,
penyakit-penyakit tersebut adalah difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis),
campak (measles), polio dan tuberkulosis.
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi
agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan
oleh penyakit yang sering berjangkit.

2.1.3Manfaat Imunisasi
a) Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit,
dan kemungkinan cacat atau kematian.
b) Untuk

keluarga:

menghilangkan

kecemasan

dan

psikologi

pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga


apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanakkanak yang nyaman.
2.1.4Jenis-Jenis Imunisasi
a. Imunisai aktif
Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahakan
(vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan
memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar
lagi tubuh dapat mengenali dan meresponnya. Contoh imunisasi aktif
adalah imunisasi polio dan campak.
b. Imunisasi pasif
Merupakan suatu proses meningkatkan kekebalan tubuh dengan cara
pemberian zat imunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu
proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang
didapat bayi dari ibu melalui plasenta) atau binatang (bisa ular) yang
digunakan untuk mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam tubuh
yang terinfeksi. Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS (Anti
Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh
lain adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut
menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah plasenta
selama masa kandungan, misalnya antibodi terhadap campak.

2.1.5Macam-Macam Imunisasi
1. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG berfungsi untuk mencegah penularan Tuberkulosis
(TBC) disebabkan oleh sekelompok bakteri

Mycobacterium

tuberculosis complex. Imunisasi BCG memberikan kekebalan aktif


terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). Imunisasi BCG optimal
diberikan pada umur 2-3 bulan. Namun untuk mencapai cakupan
yang lebih luas, Kementrian Kesehatan menganjurkan pemberian
imunisasi imunisasi BCG pada umur 1 bulan. Apabila BCG
diberikan setelah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin
terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
Apabila uji tuberculin tidak memungkinkan, BCG dapat diberikan
namun perlu observasi selama 7 hari. Apabila terdapat reaksi local
cepat di tempat suntikan, perlu tindakan lebih lanjut (tanda
diagnostik TB).
Vaksin BCG Dosis 0,05 cc diberikan secara intrakutan didaerah
lengan kanan atas pada insersio m.deltoideus. Hal ini mengingat
penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah
dilakukan, ulkus yang terbentuk tidak mengganggu struktur otot
setempat. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan. Vaksin BCG
tidak dapat mencegah infeksi TB, namun dapat mencegah
kompliksinya.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan
pada pasien imunokomprimais. bakteri tuberculosis bacillus yang
telah dilemahkan.
2. Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B (HepB) harus segera diberikan setelah
lahir. Imunisasi HepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12
jam) setelah lahir, mengingat sekitar 3,9% ibu hamil mengidap
hepatitis B aktif dengan risiko penularan kepada bayinya sebesar
45%. HepB-1 saat lahir, diberikan baik pda ibu dengan status HbsAg
4

yang tidak diketahui, positif atau negatif Imunisasi HepB-2


diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi HepB-1. Untuk
mendapat respon yang optimal, interval imunisasi HepB-2 dengan
HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi HepB-3
diberikan pada umur 3-6 bulan.
Kementrian Kesehatan mulai tahun 2006 memberikan vaksin
HepB-0 monovalen saat lahir, dilanjutkan dengan kombinasi vaksin
kombinsi DTP/HepB pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB
diberikan dalam kombinsi dengan DTP untuk mempermudah
pemberian dan meningkatkan cakupan HepB. Sejak tahun 2014,
vaksin DTP/HepB dikombinasi dengan vaksin Hib menjadi vaksin
pentavalen DTP/HepB/Hib.
Apabila

sampai

dengan

usia

tahun

anak

belum

pernhmemperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan


imnisasi HepB dengan jadwal 3 kali pemberian. Ulangan imunisasi
hepatitis B dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun, apabila
kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs<10 mikrogram/ml).
3. Imunisasi DTwP (whole cell pertusis ) dan DTaP (acellular
pertusis)
Saat ini telah ada vaksin DTaP disamping vaksin DTwP yang
telah dipakai selama ini.Kedua vaksin tersebut dapat digunakan
secara bersamaa dalam jadwal imunisasi.

Imunisasi dasar DPT

diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan


sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval
terbaik diberikan 8 minggu. Jadi DTP-1 diberikan pada umur 2
bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan.
Ulangan booster DTP selanjutnya (DTP-4) diberikan 1 tahun setelah
DTP-3 yaitu pada umur 18024 bulan dan DTP-5 pada saat masuk
sekoah pada umur 5 tahun.
Imunisasi DTP booster ke-2 (DTP-5) pada umur 5 tahun harus
tetap diberikan vaksin dengan komponen pertusis (sebaiknya
5

diberikan DTaP untuk mengurangi demam paska imunisasi). DTwP,


DTaP, DT atau Td adalah 0,5 ml, diberikan secara intramuskular,
baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin DTP dapat
diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain sebagai vaksin
tetravalent yaitu DTwP/HepB, DTaP/Hib, DTwP/Hib,DTaP/IPV, atau
vaksin pentavalen HepB/Hib, DTaP/Hib/IPV sesuai jawdal.
4. Imunisasi Polio
Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio 1,2, dan 3.
OPV, virus hidup dilemahkan, tetes, oral
IPV, virus inaktif, suntikan
Kedua vaksin polio tersebut dapat diberikan pada anak sehat
maupun anak yang menderita immunokompromais, dan dapat
diberikan sebagai imunisasi dasar maupun ulangan
Polio-0 diberikan saat bayi lahir atau pada kunjungan pertama
sebagai tambahan untuk mendapatkan caupan imunisasi yang tinggi.
OPV diberikan saat bayi dipulangkan dari RS/RB untuk menghindari
transmisi

virus

vaksin

kepada

bayi

lain

yang

sakit/immunokomprimais karena virus polio vaksin diekskresi


melalui tinja. Selanjutnya dapat diberikan vaksin OPV atau IPV.
Untuk imunisasi dasar (polio 1,2,3) diberikan pada umur 2,4,6 bulan.
Interval anatara 2 imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.
OPV diberikan 2 tetes per oral. IPV dalam kemasan 0,5 ml,
intramuscular. Vaksin IPV dapat diberikan tersendiri maupun dalam
kemasan kombinasi. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun sejak
imunisasi polio 4, selanjutnya masuk sekolah (5-6 tahun).
5. Imunisasi Campak
Campak diberikan untuk mencegah anak terkena penyakit
campak. Jadwal imunisasi campak diberikan 3 kali yaitu pada saat
anak umur 9 bulan, 24 bulan ketika antibodi maternal (antibodi anti
6

campak milik ibu yang masuk ke bayi ketika masih dalam


kandungan) sudah hilang. Imunisasi campak yang kedua diberikan
lagi ketika anak masuk SD atau usia anak 6 tahun.Untuk anak yang
telah mendapat imunisasi MMR umur 15-18 bulan, imunisasi
campak pada umur 24 bulan tidak diperkenankan.Saat ini ada 2
macam vaksin campak, yang pertama berisi virus campak yang
dilemahkan dan yang kedua berisi virus campak yang dimatikan.
Yang banyak dipakai adalah vaksin campak yang berisi virus yang
dilemahkan. Imunisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil,
anak dengan imunodefisiensi primer, pasien TB yang tidak diobati,
pasien kanker atau transplantasi organ, anak yang mendapat obat
imunosupresi (obat penekan system imun) jangka panjang. Anak
yang terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti
kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak.
Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam 1 dosis 0,5 ml
secara subkutan dalam adalah 0,5 ml. Imunisasi campak kadang,
5%-15% kasus, membuat anak demam hingga 39,5oC pada hari ke
5-6 sesudah imunisasi. Demam berlangsung selama 2 hari. Ruam
(bercak-bercak merah) dapat dijumpai pada 5% anak, timbul pada
hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2- hari.
6. Imunisasi Hib
Vaksin Hib yang berisi PRT-T diberikan pada anak umur 6
bulan. Hib diberikan pada umur 2,3,4,18 bulan kombinasi dengan
DTP-Hep B. 1 dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara IM.
Program imunisasi nasional menggunakan DTwP/HepB/Hib. Vaksin
Hib PRT-T pelu diulang pada umur 18 bulan. Apabila anak datang
pada umur 1-5 tahun, Hib cukup diberikan 1 kali.
7. Imunisasi Pneumokokus
Vaksin PCV diberikan sejak usia 2 bulan sampai 9 tahun. Dosis
dan interval pemberian sesuai umur. Vaksin PCV dosis 5 ml
7

disuntikkan secara IM. Dosis pertama tidak dibeikan sebelum umur


6 minggu. Untuk bayi BBLR (<1.500 g) vaksin diberikan setelah
umur 6-8 minggu, tanpa memperhatikan umur kehamilan. Dapat
diberikan bersama vaksin lain. Dengan mempergunakan syringe
secara terpisah, dan disuntikkan pada sisi badan yang berbeda.
8. Imunisasi Influenza
Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6-23 bulan, baik
anak sehat maupun dengan resiko. Imunisasi influenza diberikan
setiap tahun. Indikasi lain yaitu anak yang tinggal dengan kelompok
resiko tinggi atau pekerja sosial yang berhubungan dengan
kelompok risiko tinggi. Dosis:
Umur 6-35 bulan yaitu 0,25 ml
Umur >3 tahun yaitu 0,5 ml
Umur <8 tahun, untuk pemberian pertama kali diperlukan 2 dosis
dengan interval minimal 4 minggu atau lebih, pada tahun
berikutnya hanya diberikan 1 dosis
Vaksin diberikan secara IM pada paha anterolateral atau deltoid
9. Imunisasi MMR
Imunisasi MMR diberikan lewat suntikan intarmuskular (ke
dalam otot) atau subkutan (suntikan dibawah kulit). Imunisasi MMR
diberikan pada anak umur 15-18 bulan.Minimal interval 6 bulan
antara imunisasi campak (9bulan) dan MMR. MMR minimal
diberikan 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lain.
Apabila.seorang.anak.telah.mendapatkan.imunisasi MMR pada umur
12-18 bulan dan 6 tahun, imunisasi campak (monovalen) tambahan
pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Setelah imunisasi MMR
dapat terjadi demam, muncul ruam, anak lesuh yang sering terjadi 1
minggu setelah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari. Kejang
demam timbul pada 0,1% anak. Yang tidak boleh diimunisasi MMR
8

anak yang menderita kanker yang tidak diobati, anak yang mendapat
obat yang menurunkan respon imun atau steroid dosis tinggi, anak
dengan alergi berat terhadap gelatin atau obat neomisin, anak dengan
demam akut, anak yang mendapat vaksin hidup yang lain. Imunisasi
MMR ditunda lebih kurang 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir.
Vaksin MMR merupakan vaksin kering yang mengandung virus
hidup
10. Tifoid
Imunisasi ini diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan
dilakukan setiap 3 tahun. Dosis 0,5 ml secara IM.
11. Hepatitis A
Di samping vaksin Hep A monovalen yang telah kita kenal saat
ini telah ada vaksin kombinasi HepB/HepA.
Vaksin HepA diberikan pada umur lebih dari 2 tahun. Vaksin
kombinsi HepB/HepA tidak diberikan pada bayi kurang dri 12 bulan.
Kemasan cair 1 dosis/vial 0,5 ml. Dosis pediatrik 720 ELISA units
diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan, IM di daerah deltoid.
Kombinasi HepB/HepA (berisi HepB 10 mikrogram dan HepA 720
ELISA units).
12. Imunisasi Varisela
Imunisasi varisela diberikan pada anak umur >1 tahun. Untuk anak
yang ada kontak dengan pasien varisela, imunisasi dapat mencegah
apabila diberikan dalam kurun waktu 72 jam setelah kontak. Dosis
0,5 ml, subkutan, 1 kali. Untuk anak umur >13 tahun atau dewasa,
diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu. memberikan perlindungan
terhadap cacar air.

2.2 Campak
2.2.1Definisi
Campak adalah suatu infeksi akut yang sangat menular yang disebabkan
oleh virus. Campak disebut juga rubeola, morbili, atau measles. Campak
biasanya menyerang anak-anak. Penyakit ini ditularkan melalui droplet
ataupun kontak dengan penderita. Penyakit ini memiliki masa inkubasi 8-13
hari. Campak ditandai dengan gejala awal demam, batuk, pilek, dan
konjungtivitis yang kemudian diikuti dengan bercak kemerahan pada kulit.
Dampak penyakit campak di kemudian hari adalah kurang gizi sebagai akibat
diare berulang dan berkepanjangan pasca campak, sindrom radang otak pada
anak diatas 10 tahun, dan tuberkulosis paru menjadi lebih parah setelah sakit
campak berat.
2.2.2

Epiderniologi

Campak dapat dilihat di hampir seluruh negara di dunia ini. Campak


ditularkan dengan kontak langsung meialui droplet infeksi. Insiden campak
paling tinggi pada saat akhir musim dingin dan saat musim semi. Sebelum
penggunaan vaksin epidemi campak berlangsung selama 3-4 bulan dan
berulang setiap 2-5 tahun. Kasus yang terbanyak adalah pada usia anak
prasekolah dan pada awal usia sekoiah dan sedikit pada usia lebih dari 20
tahun.
2.1.3

Etiologi

Virus

campak

berasal

dari

genus

Morbilivirus

dan

family

Paramyxoviridae. Virus campak liar hanya patogen untuk primata. Virion


campak berbentuk spheris, pleomorfik, dan mempunyai sampul (envelope)
dengan diameter 100-250 nm. Virion terdiri dari nukleokapsid yaitu helix dari
protein RNA dan sampul yang mempunyai tonjolan pendek pada
permukaannya. Tonjolan pendek ini disebut pepfomer, dan terdiri dari
hemaglutinin (H) pepiomer yang berbentuk buiat dan fusion (F) peplomer
10

yang berbentuk seperti bel (dumbbell-shape). Bera.t molekui dari single


stranded RNA adalah 4,5 X 106. Virus campak terdiri dari 6 protein struktural,
3 tergabung dalam RNA yaitu nukleoprotein (N), polimerase protein (P), dan
large protein (L); 3 protein lainnya berhubungan dengan sampul virus.
Membran sampul terdiri dari M protein {glycosylated protein) yang
berhubungan dengan bagian dalam lipid bilayer dan 2 glikoprotein H dan F.
Giikoprotein H menyebabkan adsorbsi virus pada resptor host. CD46 yang
merupakan complement regulatory protein dan tersebar !uas pada jaringan
primata

bertindak

sebagai

resptor

glikoprotein

H.

Glikoprotein

menyebabkan fusj virus pada sel host, penetrasi virus dan hemolisis. Dalam
kultur set virus campak mengakibatkan cytopathic elect yang tcrdiri dari
stellate cell dan mult/nucleated gisnt cells. Virus campak ini sangat sensitif
pada panas dan dingin, cepat inaktivasi pada suhu 37C dan 20"C. Selain itu
virus juga menjadi inaktif dengan sinar ultraviolet, eter, tripsin dan ppropiolaktone. Virus tetap infektif pada bentuk droplet di udara selama
beberapa jam terutarna pada keadaan dengan tingkat kelembaban yang
rendah.
2.1.4

Patofisiologi

Virus campak menginfeksi dengan invasi pada. epitel traktus respiratorius


mulai dari hidung sampai traktus respirat&rius bagian bawah. Multiplikasi
lokal pada mukosa respiratorius segera disusul dengan viremia pertama
dimana virus menyebar dalam leukosit pada sistern retikukoendotelial. Setelah
terjadi nekrosis pada sel retikuloendotelial sejumtah virus terlepas kembali
dan terjadilah viremia kedua. Sel yang paling banyak terinfeksi adalah
monosit. Jaringan yang terinfeksi termasuk timus, lien. kelenjar limfe, hepar,
kulit, konjungtiva dan paru. Setelah terjadi viremia kedua seluruh mukosa
respiratorius terlibat dalam perjalanan penyakit sehingga menyebabkan
timbulnya gejala batuk dan korisa. Campak dapat secara langsung
menyebabkan croup, bronchiolitis dan pneumonia, selain itu adanya
kerusakan respiratorius seperti edema dan hilangnya silia menyebabkan
timbulnya komplikasi otitis media dan pneumonia. Setelah beberapa hari
11

sesudah seluruh mukosa respiratorius terlibat, maka timbullah bercak koplik


dan kemudian timbui ruam pada kulit.
Kedua manifestasi ini pada pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
multinucleated giant cells, edema inter dan intraseluler, parakeratosis dan
diskeratosis. Timbulnya ruam pada campak bersamaan dengan timbulnya
antibodi serum dan penyakit menjadi tidak infeksius. Oleh sebab itu dikatakan
bahwa timbulnya ruam akibat reaksi hipersensitivitas host pada virus campak.
Hal ini berarti bahwa timbulnya ruam ini lebih ke arah imunitas seluler.
2.1.5

Manifestasi Klinis

Setelah masa tunas selama 10-11 hari penyakit diawali dengan demam dan
malaise. Dalam waktu 24 jam terjadi korisa, konjungtivltis dan batuk.
Keluhan tersebut semakin menghebat hingga mencapai puncaknya pada hari
ke empat dengan munculnya erupsi kulit. Kira-kira dua hari sebelum timbul
ruam tampak bercak koplik pada selaput mukosa pipi yang berhadapan
dengan molar. Dalam tiga hari lesi semakin bertarnbah dan mengenai seluruh
mukosa. Demam menurun dan bercak koplik menghilang pada akhir hari
kedua setelah tirnbul ruam. Ruam berupa erupsi makulopapular yang
kemerahan menjalar dari kepala (muka, dahi, garis batas rambut, telinga dan
leher bagian atas) menuju ke ekstrimitas dalam 3 sampai 4 hari. Dalam 3
sampai 4 hari berikutnya ruam rnemudar sesuai urutan terjadinya.
Campak atipikai adalah campak yang terjadi pada seseorang yang
mendapat vaksinasi virus campak mati. Sesudah masa prodromal panas dan
nyeri selama 1 atau 2 hari, muncul ruam yang dimulai dari extremitas dapat
berupa urtikaria, makulopapular, hernoragik, vesikular ataupun kombinasi dari
beberapa bentuk. Didapatkan juga panas yang tinggi, edema ekstremitas,
hepatitis dan kadang-kadang efusi pleura. Pada pemeriksaan serologi campak
didapatkan liter antibodi HI yang tinggi. Penyakit ini canderung lebih parah
daripada campak biasa. Patogenesis campak atipika ini adalah vaksin dari
virus campak yang mati tidak dapat menginduks antibodi terhadap protein F
yang bertanggung jawab menyebarnya virus dari sel yang satu ke sel yang
lain.
12

Hal ini dapat terjadi pada bayi yang masih mempunyai antibodi campak
dari ibunya atau seseorang yang mendapatkan gamma globulin setelah kontalk
pada penderita campak.
Gejala klinis dapat bervariasi dan beberapa gejala klinis tertentu seperti
periode prodromal, konjungtivitis, bercak Koplik dar ruam mungkin tidak
didapatkan. Campak yang terjadi pada penderita dengan defisiensi imunitas
seluler seperti AIDS, penderita dengan terapi keganasan, ataupun segala
bentuk imunodefisiensi kongenital, cenderung lebih parah. Setelah pasienpasien ini kontak dengan penderita campak, gejala klinis yang tampak adalah
pneumonia giant cell tanpa didahului oleh timbulnya ruam. Pada kondisi
seperti ini diagnosa carnpak klinis sulit ditegakkan. Karena penderita dengan
immunocompromised kemungkinan juga mempunyai respon antibodi yang
buruk, maka isolasi virus merupakan satu-satunya alat diagnosa.
2.1.6

Diagnosis

Diagnosa klinis pada campak klasik dengan gejala batuk, korisa, bercak
Koplik dan ruam makulopapular yang dimulai dari wajah, mudah dilakukan.
Sering pula didapatkan leukopenia yang kemungkinan berhubungan dengan
infeksi virus dan leukosit yang mati. Diagnosa laboratoris berguna jika klinisi
jarang melihat kasus campak atau adanya kemungkinan campak atipikal atau
pneumonia dan ensefalitis yang tidak jelas pada penderita dengan
immunocornpromised.
Campak dapat didiagnosa secara laboratoris dengan isolasi virus,
identifikasi virus antigen pada jaringan yang terinfeksi atau dengan respon
serologis terhadap virus campak. Pemeriksaan antigen dapat dilakukan dengan
pemeriksaan imunofluoresen dari sel yang berasal eksudat nasal ataupun dari
sedimen urin. Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan dengan RT-PCR.
Isolasi virus secara teknis sutit dilakukan dan fasilitas untuk isolasi virus ini
tidak selalu tersedsa. Pada kultur virus, virus campak ini memperlihatkan efek
sitopatik yang terdiri dari sel-sel yang berbentuk bintang, multinucleated
syncytial giant cell yang berisi inklusi intranuklear. Pemeriksaan laboratoris
yang sering digunakan adalah respons serologis terhadap virus campak.
13

Pemeriksaan ini menggunakan fiksasi komplemen, ELISA (enzyme-linked


immunoosorbent assay) dan HI (Hemaglutination-inhibition). Tes netrafisasi
membutuhkan propsgasi virus in vitro yang secara teknis sulit dilakukan,
sehingga meskipun cukup sensitif tes ini jarang dilakdkan. Tes HI kurang
sensitif dibandingkan dengan netralisasi tetapi cukup bagus apabila
dibandingkan antara dua kaii pengetesan. Diagnosa campak apabila terdapat
peningkatan titer antibodi 4 kali atau lebih. ELISA lebih sensitif dan lebih
mudah dilakukan, serta dapat pula mendeteksi IgM spesifik terhadap virus
campak pada fase akut. ACIP (Advisry Committee on Immunization Practice)
merekomendasikan bahwa kriteria laboratoris untuk campak adalah serologi
tes yang posilif untuk IgM campak atau peningkatan titer antibodi yang
signifikan

atau

didapatkan

isolasi

virus

campak.

Akhir-akhir

ini

dikembangkan pula pemeriksaan serologis dengan mengguactkan saliva.


2.2.3 Terapi
Terapi campak adalah terapi suportif seperi pemberian cairan dan
antipiretik.Antibiotika diberikan apabila didapatkan infeksi sekunder dengan
bakteri. Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi sekunder
tidak

memberikan

nilai

dan

tidak

direkomendasikan.

Dosis

yang

direkomendasikan adalah 100.000 IU untuk anak berusia 6 bulan sampai 1


tahun dan 200.000 IU untuk anak berusia 1 tahun atau iebih. Dosis diulangi
keesokan harinya dan 4 minggu kemudian jika didapatkan gejala klinis
defisiensi vitamin A. Pemberian vitamin A ini dapat mengurangi mortaiitas
dan morbiditas yang disebabkan oleh campak.

2.3

RUBELLA
2.3.1 Definisi
Rubella adalah infeksi yang utamanya mengenai kulit dan kelenjar getah
bening. Penyakit ini disebabkan virus rubella yang biasanya ditularkan
melalui droplet (percikan cairan) dari hidung atau tenggorokan yang dihirup
14

orang lain. Bisa juga ditularkan oleh ibu hamil melalui plasenta ke bayi yang
sedang dikandungnya.
2.3.2 Etiologi
Rubella virus merupakan suatu toga virus yang dalam penyebabnya tidak
membutuhkan vektor. Virus rubella (virus RNA berserat tunggal) ditularkan
melalui percikan ludah penderita atau karena kontak dengan penderita.
Penyakit ini juga ditularkan dari ibu hamil kepada janin yang berada di dalam
kandungannya. Penderita bisa menularkan penyakit ini pada saat 1 minggu
sebelum munculnya ruam sampai 1 minggu setelah ruam menghilang. Bayi
baru lahir yang terinfeksi ketika masih berada dalam kandungan, selama
beberapa bulan setelah lahir, bisa menularkan penyakit ini. Kekebalan seumur
hidup diperoleh setelah menderita penyakit ini.
Orang yang terinfeksi meskipun tanpa gejala tetap dapat menularkan
virus. Bayi yang menderita sindrom rubella congenital dapat mengeluarkan
virus di air kencingnya dan cairan dari hidung dan tenggorokan selama
setahun atau lebih dan virus dapat mengenai orang yang tidak diimunisasi.
2.3.3 Manifestasi Klinis
Anak

yang

pertama

kali

datang

dengan

ruam

eritematosa,

makulopapular, dan priuritik yang dimulai pada wajah dan menyebar ke


ekstremitas. Ruam biasanya berlangsung selama 3 hari, dengan bagian yang
pertama kali bersih adalah wajah. Orang dewasa dapat datang dengan gejala
prodromal (demam, malaise, batuk, nyeri tenggorok, limfadenopati) beberapa
hari sebelum timbul ruam. Limfadenopati berlangsung sekitar 1 minggu dan
paling menonjol pada aurikural posterior, suboksipital, dan rantai servikal
posterior. Artralgia dan arthritis yang jarang terjadi pada anak, lebih sering
terjadi pada remaja dan orang dewasa, terutama perempuan.
Penyakit Rubella tidak seberat penyakit campak yang banyak
menimbulkan kematian pada anak-anak. Penyakit Rubella paling hanya
menimbulkan demam ringan (anak meriang = subfebril), dan sedikit rewel.
15

Pada dewasa, gejala awal tersebut sifatnya ringan atau sama sekali tidak
timbul. Gejala mulai timbul dalam waktu 14-21 hari setelah terinfeksi.
Infeksi rubella dimulai dengan demam ringan (37,2 37,8 oC) selama 1-5
hari disertai rasa nyeri dan pembengkakan kelenjar getah bening, biasanya di
daerah leher belakang atau di belakang telinga. Ruam kemudian muncul di
muka dan menyebar ke bawah. Sambil menyebar ke bawah, ruam yang sudah
lebih muncul di atas biasanya menghilang. Ruam inilah yang sering menjadi
pertanda pertama penyakit yang disadari oleh orang tua.
Ruam pada rubella bisa nampak seperti ruam yang disebabkan oleh
virus pada umumnya. Tampilannya berupa bercak merah muda atau merah
terang yang dapat menyatu membentuk bercak yang lebih besar lagi. Ruam
bisa gatal dan bertahan selama 3 hari. Sejalan dengan menghilangnya ruam,
kulit yang terkena biasanya mengelupas dengan halus. Gejala lain dari rubella
antara lain (lebih sering pada remaja dan orang dewasa) sakit kepala, hilang
nafsu makan, konjungtivitis ringan, hidung mampet atau meler, pembesaran
kelenjar getah bening di bagian tubuh lainnya, nyeri dan pembengkakan sendi
(terutama pada wanita muda). Banyak orang dengan rubella tidak bergejala
sama sekali atau sedikit sekali gejalanya. Sepertiga wanita mengalami nyeri
sendi atau artritis. Pada wanita hamil, campak Jerman bisa menyebabkan
keguguran, kematian bayi dalam kandungan ataupun keguguran. Kadang
terjadi infeksi telinga (otitis media). Infeksi otak (ensefalitis) jarang terjadi.
Resiko Kecacatan Pada Kehamilan dengan Infeksi Rubella
Usia
Kehamilan
<11 minggu
11-12 minggu
13-14 minggu
15-16 minggu
17-18 minggu
19-22 minggu
23-26 minggu
27-28 minggu
Bulan 7
Bulan 8
Bulan 9

% terinfeksi
90%
67%
67%
47%
39%
34%
25%
12%
35%
60%
100%

%
kecacatan
90%
33%
11%
24%
Ringan
Ringan
Ringan
Ringan
Ringan
Ringan
Ringan
16

2.3.4 Penatalaksanaan
Rubella tidak dapat diobati dengan antibiotik karena antibiotik tidak
bekerja untuk infeksi virus. Kecuali timbul komplikasi, maka rubella akan
sembuh dengan sendirinya. Wanita hamil yang berkontak dengan infeksi
rubella harus segera menghubungi dokter kebidanannya.
Rubella biasanya ringan pada anak-anak, biasanya cukup dirawat di rumah
saja. Amati suhu tubuh anak anda dan hubungi dokter jika demam naik terlalu
tinggi. Untuk mengurangi rasa tidak nyaman, anda dapat memberikan anak
anda paracetamol atau ibuprofen. Jangan berikan asipirin karena dapat timbul
sindrom Reye yang dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati dan kematian.
Penanggulangan infeksi rubella adalah dengan pencegahan infeksi salah
satunya dengan cara pemberian vaksinasi. pemberian vaksinasi rubella secara
subkutan dengan virus hidup rubella yang dilemahkan dapat memberikan
kekebalan yang lama dan bahkan bisa seumur hidup. Vaksin rubella dapat
diberikan bagi orang dewasa terutama wanita yang tidak hamil. Vaksin rubella
tidak boleh diberikan pada wanita yang hamil atau akan hamil dalam 3 bulan
setelah pemberian vaksin, hal ini karena vaksin berupa virus rubella hidup
yang dilemahkan dapat beresiko menyebabkan kecacatan meskipun sangat
jarang.
Tidak ada preparat kimiawi atau antibiotik yang dapat mencegah viremia
pada orang-orang yang tidak kebal dan terpapar rubella. Bila didapatkan
infeksi rubella dalam uterus sebaiknya ibu diterangkan tentang resiko dari
infeksi rubella kongenital. Dengan adanya kemungkinan terjadi defek yang
berat dari infeksi pada trimester I, pasien dapat memilih untuk mengakhiri
kehamilan, bila diagnosis dibuat secara tepat.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memastikan pasien
terinfeksi virus Rubella adalah pemeriksaan serologis respon imun. Respon
imun yang diperiksa adalah IgM dan IgG Rubella.
IgM
Muncul 2-3 hari setelah ruam
Kadar puncak dicapai sekitar 1-4 minggu
Dapat dideteksi pada 3-8 minggu
17

Menetap hingga 6-12 bulan


IgG
Terdeteksi 5-10 hari setelah ruam (bisa lebih awal)
Kadar puncak dicapai sekitar 15-30 hari
Menurun perlahan sampai beberapa tahun hingga mencapai titer rendah dan
konstan
Jika hasil IgG (-) dan IgM negatif, lakukan vaksinasi, baru diperbolehkan
hamil 3 bulan setelah vaksinasi
Jika hasil IgG (-) dan IgM (+)
Tidak boleh hamil selama 3 bulan, infeksi harus diobati terlebih dahulu.
Jika sudah sembuh, tidak perlu melakukan vaksinasi lagi karena sudah
memiliki kekebalan.
Jika hasil IgG(+) dan IgM(-)
Berarti pernah terinfeksi dan antibodi yang terdapat dalam tubuh, dapat
melindungi dari virus rubella. Bila hamil, bayi akan terhindar dari sindrom
rubella konginetal.
Jika hasil IgG(+) dan IgM(+)
Sedang terinfeksi harus mendapat pengobatan
2.4

Parotitis
2.4.1 Definisi
Penyakit parotitis atau gondongan adalah suatu penyakit menular
dimana sesorang terinfeksi oleh virus (Paramyxovirus) yang menyerang
kelenjar ludah (kelenjar parotis) di antara telinga dan rahang sehingga
menyebabkan pembengkakan pada leher bagian atas atau pipi bagian
bawah.
2.4.2 Epiderniologi
Penyakit gondongan tersebar di seluruh dunia dan dapat timbul
secara endemik atau epidemik, Gangguan ini cenderung menyerang
anak-anak dibawah usia 15 tahun (sekitar 85% kasus). Penyebaran virus
terjadi dengan kontak langsung, percikan ludah, bahan muntah, mungkin
dengan urin. Bayi sampai umur 6 8 bulan tidak dapat terjangkit
parotits epidemika karena dilindungi oleh anti bodi yang dialirkan secara
18

transplasental dari ibunya.3 Insiden tertinggi pada umur antara 5 sampai


9 tahun, kemudian diikuti antara umur 1 sampai 4 tahun, kemudian umur
antara 10 sampai 14 tahun.
2.4.3 Etiologi
Agen

penyebab

parotitis

adalah

anggota

dari

kelompok

Paramyxovirus, yang juga termasuk didalamnya virus parainfluenza,


measles, dan virus newcastle disease.
Ukuran dari partikel paramyxovirus sebesar 90 300 m. Virus
telah diisolasi dari ludah, darah, urin, otak dan jaringan terinfeksi lain.
Mumps merupakan virus RNA rantai tunggal genus Rubulavirus
subfamily Paramyxovirinae dan family Paramyxoviridae. Virus ini aktif
dalam lingkungan yang kering tapi virus ini hanya dapat bertahan
selama 4 hari pada suhu kamar. Paramyxovirus dapat hancur pada suhu
<4 C, oleh formalin, eter, serta pemaparan cahaya ultraviolet selama 30
detik. Virus masuk dalam tubuh melalui hidung atau mulut. Virus
bereplikasi pada mukosa saluran napas atas kemudian menyebar ke
kalenjar limfa lokal dan diikuti viremia umum setelah 12-25 hari (masa
inkubasi) yang berlangsung selama 3-5 hari. Selanjutnya lokasi yang
dituju virus adalah kalenjar parotis, ovarium, pankreas, tiroid, ginjal,
jantung atau otak. Masa penyebaran virus ini adalah 2-3 minggu melalui
dari ludah, darah, urin, otak dan jaringan terinfeksi lain. Virus dapat
diisolasi dari saliva 6-7 hari sebelum masuk masa pembengkakan dan 9
hari sesudah munculnya pembengkakan pada kalenjar ludah. Penularan
terjadi 24 jam sebelum pembengkakan kalenjar ludah dan 3 hari setelah
pembengkakan menghilang.
2.4.4

Patofisiologi

Pada umumnya penyebaran paramyxovirus sebagai agen penyebab parotitis


(terinfeksinya kelenjar parotis) antara lain akibat:
a. Percikan ludah
b. Kontak langsung dengan penderita parotitis lain
19

c. Muntahan
d. Urin
Virus tersebut masuk tubuh bisa melalui hidung atau mulut. Biasanya
kelenjar yang terkena adalah kelenjar parotis. Infeksi akut oleh virus
paramyxovirus pada kelenjar parotis dibuktikan dengan adanya kenaikan titer
IgM dan IgG secara bermakna dari serum akut dan serum konvalesens.
Semakin banyak penumpukan virus di dalam tubuh sehingga terjadi
proliferasi di parotis kemudian terjadi viremia (ikutnya virus ke dalam aliran
darah) dan selanjutnya virus berdiam di jaringan kelenjar yang kemudian akan
menginfeksi glandula parotid. Keadaan ini disebut parotitis.
Akibat terinfeksinya kelenjar parotis maka dalam 1-2 hari akan terjadi
demam, anoreksia, sakit kepala dan nyeri otot. Kemudian dalam 3 hari
terjadilah pembengkakan kelenjar parotis yang mula-mula unilateral
kemudian bilateral, disertai nyeri rahang spontan dan sulit menelan. Pada
manusia selama fase akut, virus parmyxovirus dapat diisoler dari saliva, darah
dan air seni.

2.4.5 Klasifikasi Parotitis


a. Parotitis Kambuhan
Anak-anak mudah terkena parotitis kambuhan yang timbul pada usia
antara 1 bulan hingga akhir masa kanak-kanak.Kambuhan berarti
sebelumnya anak telah terinfeksi virus kemudian kambuh lagi.
b. Parotitis Akut
Parotitis akut ditandai dengan rasa sakit yang mendadak, kemerahan
dan pembengkakan pada daerah parotis. Dapat timbul sebagai akibat
pasca-bedah yang dilakukan pada penderita terbelakang mental dan

20

penderita usia lanjut, khususnya apabila penggunaan anestesi umum


lama dan adanya gangguan dehidrasi.
2.4.6

Manifestasi Klinis

Gejala khas yaitu pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotis.


Pada saluran kelenjar ludah terjadi kelainan berupa pembengkakan sel epitel,
pelebaran dan penyumbatan saluran. Pada orang dewasa, infeksi ini bisa
menyerang testis (buah zakar), sistem saraf pusat, pankreas, prostat, payudara
dan organ lainnya. Adapun mereka yang beresiko besar untuk menderita atau
tertular penyakit ini adalah mereka yang menggunakan atau mengkonsumsi
obat-obatan tertentu untuk menekan hormon kelenjar tiroid dan mereka yang
kekurangan zat Iodium dalam tubuh.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh virus Paramyxovirus mengalami
keluhan, bahkan sekitar 30-40% penderita tidak menunjukkan tanda-tanda
sakit. Namun demikian mereka sama dengan penderita lainnya yang
mengalami keluhan, yaitu dapat menjadi sumber penularan penyakit tersebut.
Masa inkubasi penyakit Gondong sekitar 12-24 hari dengan rata-rata 17-18
hari. Adapun tanda dan gejala yang timbul setelah terinfeksi dan
berkembangnya masa inkubasi dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Pada tahap awal (1-2 hari) penderita Gondong mengalami gejala: demam
(suhu badan 38,5 40o C), sakit kepala, nyeri otot, kehilangan nafsu
makan, nyeri rahang bagian belakang saat mengunyah dan adakalanya
disertai kaku rahang.
2. Selanjutnya terjadi pembengkakan kelenjar parotis yang diawali dengan
pembengkakan salah satu sisi kelenjar kemudian kedua kelenjar
mengalami pembengkakan. Pembengkakan biasanya berlangsung sekitar 3
hari kemudian berangsur mengempis.
3. Kadang terjadi pembengkakan pada

kelenjar

di

bawah

rahang

(submandibula) dan kelenjar di bawah lidah (sublingual). Pada pria


dewasa adalanya terjadi pembengkakan buah zakar (testis) karena
penyebaran melalui aliran darah.

21

2.3.7Pemeriksaan Diagnostik
a. Darah rutin
Tidak spesifik, gambarannya seperti infeksi virus lain, biasanya
leukopenia ringan yakni kadar leukosit dalam satu liter darah menurun.
Normalnya leukosit dalam darah adalah 4 x 10 9 /L darah .dengan
limfositosis relatif, namun komplikasi sering menimbulkan leukositosis
polimorfonuklear tingkat sedang.
b. Amilase serum
Biasanya ada kenaikan amilase serum, kenaikan cenderung dengan
pembengkakan parotis dan kemudian kembali normal dalam kurang
lebih 2 minggu. Kadar amylase normal dalam darah adalah 0-137 U/L
darah.
c. Pemeriksaan serologis
Ada tiga pemeriksaan serologis yang dapat dilakukan untuk menunjukan
adanya infeksi virus, yaitu:
1.

Hemaglutination inhibition (HI) test

Uji ini menerlukan dua spesimen serum, satu serum dengan onset
cepat dan serum yang satunya di ambil pada hari ketiga. Jika
perbedaan titer spesimen 4 kali selama infeksi akut, maka
kemungkinannya parotitis.
2.

Neutralization (NT) test

Dengan cara mencampur serum penderita dengan medium untuk


biakan fibroblas embrio anak ayam dan kemudian diuji apakah
terjadi hemadsorpsi. Pengenceran serum yang mencegah terjadinya
hemadsorpsi dinyatakan oleh titer antibodi parotitis epidemika. Uji
22

netralisasi asam serum adalah metode yang paling dapat dipercaya


untuk menemukan imunitas tetapi tidak praktis dan tidak mahal.
3. Complement Fixation (CF) test
Tes fiksasi komplement dapat digunakan untuk menentukan jumlah
respon antibodi terhadap komponen antigen S dan V bagi diagnosa
infeksi parotitis epidemika akut. Antibodi terhadap antigen V
mencapai titer puncak dalam 1 bulan dan menetap selama 6 bulan
berikutnya dan kemudian menurun secara lambat 2 tahun sampai
suatu jumlah yang rendah dan tetap ada. Peningkatan 4 kali lipat
dalam titer dengan analisis standar apapun menunjukan infeksi yang
baru terjadi. Antibodi terhadap antigen S timbul cepat, sering
mencapai maksimum dalam satu minggu setelah timbul gejala,
hilang dalam 6 sampai 12 minggu.
d. Pemeriksaan Virologi
Isolasi virus jarang sekali digunakan untuk diagnosis. Isolasi virus
dilakukan dengan biakan virus yang terdapat dalam saliva, urin,
likuor serebrospinal atau darah. Biakan dinyatakan positif jika
terdapat hemardsorpsi dalam biakan yang diberi cairan fosfat-NaCl
dan tidak ada pada biakan yang diberi serum hiperimun.

2.3.8Komplikasi
1. Meningoensepalitis
Penderita mula-mula menunjukan gejala nyeri kepala ringan, yang
kemudian disusul oleh muntah-muntah, gelisah dan suhu tubuh yang
tinggi (hiperpireksia). Komplikasi ini merupakan komplikasi yang
sering pada anak-anak.
23

2. Ketulian
Tuli saraf dapat terjadi unilateral, jarang bilateral walaupun
insidensinya rendah (1:15.000), parotitis adalah penyebab utama tuli
saraf unilateral, kehilangan pendengaran mungkin sementara atau
permanen.
3. Orkitis
Peradangan pada salah satu atau kedua testis. Setelah sembuh, testis
yang terkena mungkin akan menciut. Jarang terjadi kerusakan testis
yang permanen Sehingga kemandulan dapat terjadi pada masa setelah
puber dengan gejala demam tinggi mendadak, menggigil mual, nyeri
perut bagian bawah, gejala sistemik, dan sakit pada testis. Testis
paling sering terinfeksi dengan atau tanpa epidedimitis. Bila testis
terkena infeksi maka terdapat perdarahan kecil. Orkitis biasanya
menyertai parotitis dalam 8 hari setelah parotitis. Keadaan ini dapat
berlangsung dalam 3 14 hari. Testis yang terkena menjadi nyeri dan
bengkak dan kulit sekitarnya bengkak dan merah. Rata-rata lamanya
4 hari. Sekitar 30-40% testis yang terkena menjadi atrofi. Gangguan
fertilitas diperkirakan sekitar 13%. Tetapi infertilitas absolut jarang
terjadi.
4. Ensefalitis atau Meningitis
Peradangan otak atau selaput otak. Gejalanya berupa sakit kepala,
kaku kuduk, mengantuk, koma atau kejang. 5-10% penderita
mengalami meningitis dan kebanyakan akan sembuh total. 1 diantara
400-6.000

penderita

yang

mengalami

ensefalitis

cenderung
24

mengalami kerusakan otak atau saraf yang permanen, seperti ketulian


atau kelumpuhan otot wajah.
5. Ooforitis
Timbulnya nyeri dibagian pelvis ditemukan pada sekitar 7% pada
penderita wanita pasca pubertas
6. Pankreatitis
Peradangan pankreas, bisa terjadi pada akhir minggu pertama.
Penderita merasakan mual dan muntah disertai nyeri perut. Gejala ini
akan menghilang dalam waktu 1 minggu dan penderita akan sembuh
total. Nyeri perut sering ringan sampai sedang muncul tiba-tiba pada
parotitis. Biasanya gejala nyeri epigastrik disertai dengan pusing,
mual, muntah, demam tinggi, menggigil, lesu, merupakan tanda
adanya pankreatitis akibat mumps.
7. Nefritis
Kadang-kadang kelainan fungsi ginjal terjadi pada setiap penderita
dan viruria terdeteksi pada 75%. Frekuensi keterlibatan ginjal pada
anak-anak belum diketahui. Nefritis yang mematikan, terjadi 10-14
hari sesudah parotitis. Nefritis ringan dapat terjadi namun jarang.
Dapat sembuh sempurna tanpa meninggalkan kelainan pada ginjal.
8. Tiroiditis
Walaupun tidak biasa, pembengkakan tiroid yang nyeri dan difus
dapat terjadi pada umur sekitar 1 minggu sesudah mulai parotitis
dengan perkembangan selanjutnya antibodi antitiroid pada penderita.
9. Miokarditis

25

Manifestasi jantung yang serius sangat jarang terjadi, tetapi infeksi


ringan miokardium mungkin lebih sering daripada yang diketahui.
Miokarditis ringan dapat terjadi dan muncul 510hari pada parotitis.
Gambaran elektrokardiografi dari miokarditis seperti depresi segmen
S-T, flattening atau inversi gelombang T. Dapat disetai dengan
takikardi, pembesaran jantung dan bising sistolik.
10. Artritis
Jarang ditemukan pada anak-anak. Atralgia yang disertai dengan
pembengkakan dan kemerahan sendi biasanya penyembuhannya
sempurna. Manifestasi lain yang jarang tapi menarik pada parotitis
adalah poliarteritis yang sering kali berpindah-pindah. Gejala sendi
mulai 1-2minggu setelah berkurangnya parotitis. Biasanya yang
terkena adalah sendi besar khususnya paha atau lutut. Penyakit ini
berakhir 1-12 minggu dan sembuh sempurna.
11. Kelainan pada mata
Komplikasi ini meliputi dakrioadenitis, pembengkakan yang nyeri,
biasanya bilateral, dari kelenjar lakrimalis; neuritis optik (papillitis)
dengan gejala-gejala bervariasi dari kehilangan penglihatan sampai
kekaburan

ringan

dengan

penyembuhan

dalam

1020

hari;

uveokeratitis, biasanya unilateral dengan fotofobia, keluar air mata,


kehilangan penglihatan cepat dan penyembuhan dalam 20 hari;
skleritis, tenonitis, dengan akibat eksoftalmus; trombosis vena sentral.
2.3.9Penatalaksanaan Parotitis
Parotitis merupakan penyakit yang bersifat self-limited (sembuh/hilang
sendiri) yang berlangsung kurang lebih dalam satu minggu. Tidak ada
terapi spesifik bagi infeksi virus Mumps oleh karena itu pengobatan
parotitis seluruhnya simptomatis dan suportif.Pasien dengan parotitis
harus ditangani dengan kompres hangat, sialagog seperti tetesan lemon,
26

dan pijatan parotis eksterna. Cairan intravena mungkin diperlukan


untuk mencegah dehidrasi karena terbatasnya asupan oral. Jika respons
suboptimal atau pasien sakit dan mengalami dehidrasi, maka antibiotik
intravena mungkin lebih sesuai.Berikut tata laksana yang sesuai dengan
kasus yang diderita:
1. Penderita rawat jalan
a. Istirahat yang cukup, di berikan kompres.
b. Pemberian diet lunak dan cairan yang cukup
c. Kompres panas dingin bergantian
d. Medikamentosa

Analgetik-antipiretik bila perlu


-

Metampiron : anak > 6 bulan 250 500 mg/hari maksimum 2 g/hari

Parasetamol : 7,5 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis

Hindari pemberian aspirin pada anak karena pemberian aspirin


berisiko menimbulkan Sindrom Reye yaitu sebuah penyakit langka
namun mematikan. Obat-obatan anak yang terdapat di apotik belum
tentu bebas dari aspirin. Aspirin seringkali disebut juga sebagai
salicylate atau acetylsalicylic acid.

2. Penderita rawat inap


a. Diet lunak, cair dan TKTP
b. Analgetik-antipiretik
c. Berikan kortikosteroid untuk mencegah komplikasi
3. Tatalaksana untuk komplikasi yang terjadi
a. Encephalitis
Simptomatik untuk encephalitisnya. Lumbal pungsi berguna
untuk mengurangi sakit kepala.
b. Orkhitis
- Istrahat yang cukup
- Pemberian analgetik
27

- Sistemik kortikosteroid (hidrokortison, 10mg /kg/24 jam, peroral,


selama 2-4 hari
c. Pankreatitis dan ooporitis
Simptomatik saja

BAB IIl
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan kepada pasien untuk mencegah agar tidak terjadinya
meningitis yaitu :
Cuci tangan anda secara benar untuk menghindari terkena penyebab
infeksi.
Tetap sehat. Jaga sistem imun dengan baik dengan cukup istirahat, olah
raga teratur dan makan makanan sehat dan bergizi.
Tutup mulut dan hidung anda ketika bersin atau batuk.
Jika anda sedang hamil, berhati-hatilah dengan apa yang anda konsumsi

28

DAFTAR PUSTAKA
1. Chapter 64 : the central nervous sytem II infection. Dalam : Chandrasoma P. and
Taylor C. R. Concise pathology. Edisi III. Mc Graw Hills 1998.
2. Infection of the nervous sytem. Dalam ; Abbas k. dan Mitchell F.Robin basic
pathology .Edisi ke 8. Saunders. 2007. Hal 874.
3. Meninges. Dalam ; Marieb E.dan Hoehn. K. Human anatomy and physiology.
Edisi VII. Pearson education.2007
4. Israr Y.A. 2008, Meningitis URL : http://yayankhar.co.nr/pdf
5. Anonim

2009.

Causes

of

meningitis

URL:

http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes html.
6. Bachur

R.G

2011.

Pediatric

meningitis

and

eencephalitis

URL:

http://emedicine.medscape.com/article

29

7. Anonim. 2009. Chapter 2: meningitisn URL : http://respiratory .usu.


ac.id/bitstream/pdf
8. Sodikin. 2010. Penyakit meningitis URL : http://obatpropolis.com/penyakit
meningitis
9. Anonim 2009.Meningitis URL : http://forbetterhealth.files.wordpress.com/pdf
10. Anonim 2010.meningitis. URL: http://patofisiologi.wordpress.com

30

Anda mungkin juga menyukai