Rheumatoid Artritis merupakan penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat tubuh
diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan peradangan dalam waktu
lama pada sendi. Penyakit ini menyerang persendian, biasanya mengenai banyak sendi, yang
ditandai dengan radang pada membran sinovial dan struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan
penipisan tulang. RA dapat mengakibatkan nyeri, kemerahan, bengkak dan panas di sekitar
sendi. Berdasarkan studi, RA lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan rasio
kejadian 3 : 1.
dengan
membentuk
kista
dan
kelenjar
tersebut
menjadi
noduler.
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul satu
atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.
KLASIFIKASI
Struma nodosa dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa hal, yaitu:
Berdasarkan jumlah nodul; bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter
(uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut struma multinodosa. Berdasarkan kemampuan
menangkap yodium radioaktif dikenal 3 bentuk nodul tiroid yaitu: nodul dingin, nodul hangat
dan nodul panas. Berdasarkan konsistensinya; nodul lunak, kistik, keras dan sangat keras.
PATOFISIOLOGI
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan
hormon tiroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah
dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi
bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi
molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul
diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4)
menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan
bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon
metabolik tidak aktif.
Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme
tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif
meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran
kelenjar tyroid.
MANIFESTASI KLINIK.
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat. Awalnya
kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup besar, akan menekan
area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan
sehingga terjadi gangguan menelan.
HEPATITIS AUTOIMUN
DEFINISI
Hepatitis autoimun (AIH), yang dahulu disebut sebagai lupoid hepatitis atau hepatitis
kronik autoimun, adalah suatu gangguan hati kronis nekroinflamatori yang belum diketahui
penyebabnya, dengan karakteristik secara histologik berupa infiltrasi sel mononuklear di saluran
portal dan secara serologis adanya autoantibodi terhadap antigen hati yang spesifik dan yang
tidak spesifik serta adanya peningkatan kadar immunoglobulin G (igG) serum.
Hepatitis autoimun merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
kematian sel hati, pembentukan jaringan ikat yang disertai pembentukan benjolan. Hal ini dapat
menyebabkan gangguan aliran darah ke hati dan mengganggu fungsi hati. Sistem kekebalan
tubuh biasanya membuat antibodi untuk menyerang bakteri, virus, dan kuman lainnya. Pada
hepatitis autoimun,sistem kekebalan tubuh membuat antibodi terhadap sel-sel hati yang dapat
menyebabkan kerusakan dan sirosis.
ANGKA PREVALENSI
Penyakit hepatitis autoimun termasuk penyakit yang jarang ditemukan. Di Amerika
Serikat, frekuensi hepatitis autoimun diantara penderita dengan penyakit hati kronis berkisar 1123%. Di Eropa Barat prevalensinya diperkirakan 0,1-1,2 kasus per 100.00 individu, dengan
insidens 0,69 kasus per 100.000 orang per tahun. Di jepang, prevalensinya 0,08-0,015 per
100.000 orang. Rasio insidens dari AIH-1 dan AIH-2 adalah 1,5-2 : 1 di Eropa dan Kanada, dan
6-7 : 1 di Amerika Utara dan Selatan serta Jepang.
Penyakit ini paling sering terjadi pada leluhur orang kulit putih di Eropa utara yang
memiliki frekuensi yang tinggi untuk petanda HLA-DR3 dan HLA-DR4. Pada orang Jepang
petanda HLA-DR3 mempunyai frekuensi yang rendah, dan hepatitis autoimun lebih
berhubungan dengan HLA-DR4.
Wanita lebih sering terkena daripada pria (70-80 % penderita adalah wanita). Terjadi pada
dewasa dan anak-anak dengan puncak insidens pada usia 10-20 tahun dan pada usia 45-70 tahun.
Separuh dari individu yang terkena lebih muda dari usia 20 tahun dengan puncak insidens pada
gadis yang belum menstruasi (premenstrual). Hepatitis autoimun juga dilaporkan terjadi pada
bayi. Penderita dengan AIH-2 cenderung lebih muda dan 80 % nya adalah anak-anak.
Sekarang hepatitis autoimun dikenal sebagai kelainan multisistem yang dapat terjadi pada
wanita atau pria pada semua umur. Kondisi ini dapat terjadi bersamaan dengan penyakit hati
yang lain (mis. hepatitis virus kronik), juga bisa dicetuskan oleh virus hepatitis (misal hepatitis
A) dan bahan kimia (misal minosiklin).
PATOFISIOLOGI
5
Penyebab dari hepatitis autoimun tidak diketahui. Beberapa agen diperkirakan dapat
dianggap sebagai pencetus terjadinya proses autoimun pada hepatitis autoimun antara lain virus,
bakteri, bahan kimia, obat, dan faktor genetik. Semua virus hepatotropik dapat dianggap sebagai
pencetus hepatitis autoimun, termasuk virus measles, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C,
hepatitis D, herpes simpleks tipe 1 dan virus Epstein-Barr.
Studi awal menyebutkan bahwa hepatitis autoimun adalah suatu penyakit kelainan
imunoregulasi yang ditandai dengan disfungsi pada sel T-supresor. Hal ini menyebabkan
produksi autoantibodi, yang diproduksi oleh sel B, melawan antigen permukaan hepatosit
(autoantigen).
Suatu model spekulatif dari imunopatogenesis hepatitis autoimun menunjukkan bahwa
secara genetik, infeksi virus pada hati yang bersifat hepatotropik atau non-hepatotropik
mengakibatkan suatu respon sel T yang menyebabkan hepatotoksisitas dan menstimulasi respon
sel B terhadap virus-mediated surface neoantigens. Selanjutnya NK cells dan MHC-unrestricted
CD8+ killer cells akan mengenali dan membunuh autoantibody-coated liver cells oleh antibodydependent cellular cytotoxicity (ADCC), sehingga terjadi apoptosis hepatosit.
Bukti menyebutkan bahwa kerusakan hati pada penderita dengan hepatitis autoimun
merupakan hasil dari serangan cell mediated autoimun. Serangan ini ditujukan pada hepatosit
yang secara genetik mudah terpengaruh/rentan. Gambaran aneh dari human leukocyte antigen
(HLA) kelas 2 pada permukaan hepatosit memfasilitasi presentasi sel hati normal dipilih untuk
proses antigen sel. Aktivasi sel ini, secara bergiliran, menstimulasi ekspansi klonal dari
autoantigen-sensitized cytotoxic T lymphocytes. T limfosit sitotoksik menginfiltrasi jaringan
hati, mengeluarkan cytokines dan merusak sel hati.
GEJALA KLINIS
Hepatitis autoimun memiliki kecenderungan menimbulkan ciri-ciri yang berbeda pada
tiap orang yang menderitanya. Pada mereka yang mengalami gejala ringan, kecil
kemungkinannya berkembang menjadi sirosis hati. Pada penderita hepatitis autoimun yang berat,
sekitar 40 % penderita mengalami kematian dalam waktu 6 bulan jika tidak diobati. Untungnya,
keadaan yang parah hanya terjadi 20 % dari kasus yang terjadi. Penderita yang mengalami
6
hepatitis autoimun yang ringan biasanya akan sembuh spontan. Sedangkan mereka yang
mengalami perkembangan menjadi sirosis hati akan menimbulkan komplikasi yang lain yaitu
kanker hati.
Gejala yang ditimbulkannya mirip dengan gejala hepatitis virus kronis. Gejala yang
timbul perlahan-lahan atau mendadak tiba-tiba yang awalnya mirip hepatitis akut. Hepatitis
autoimun ini terbagi atas beberapa kelompok yang berbeda, yaitu:
1. Hepatitis autoimun tipe I, mirip penyakit lupus. Pada pemeriksaan darah ditemukan ANA
dan peningkatan kadar globulin. Sering dijumpai pada wanita muda hingga usia
pertengahan dengan keluhan lesu, hilangnya nafsu makan, jerawat, nyeri sendi dan
kuning.
2. Hepatitis autoimun tipe II, biasanya pada anak-anak dan sering dijumpai pada penduduk
di daerah Mediterania. Pada kelainan tipe ini, dijumpai anti-LKM antibodi pada tubuh
penderita. Hepatitis autoimun tipe II terbagi lagi atas 2 golongan, yang pertama
berdasarkan reaksi autoimun (IIa) dan yang lainnya (IIb) adalah reaksi autoimun yang
berkaitan dengan hepatitis C.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hepatitis autoimun memiliki gambaran klinis yang beragam dan adalah penting untuk
mendiagnosisnya pada stadium-stadium awal penyakit ini. Gambaran awal dapat hanya berupa
keluhan lemah dan nyeri sendi namun sebanyak 25% hingga 34% pasien tidak mengeluh apapun
saat diagnosis. Pada pemeriksaan fisik mungkin saja tanpa ditemukan kelainan namun dapat pula
ditemukan hepatomegali, splenomegali, ikterik, dan tanda-tanda dari penyakit hati kronik.
Pemeriksaan laboratorium dan histologik pun dapat memberikan gambaran yang
asimtomatis. Umumnya, pasien dengan HAI adalah seorang perempuan, meski dalam
kepustakaan lain disebutkan sering ditemukan pada lelaki. Mereka umumnya memiliki kadar
serum aspartate aminotransferase (SGOT) dan alanin aminotransferase (SGPT) yang abnormal,
meningkatnya kadar gamma globulin, dan gambaran histologik pada biopsi hati berupa interface
hepatitis atau sirosis dengan inflamasi ringan.
dan
perubahan
mikroskopis
pada
jaringan
hati
berupa
GAMBARAN HISTOLOGIK
Tanda
khas
histologik
(histologic
hallmark) dari
HAI
adalah
ditemukannya
gambaran interface hepatitis atau dikenal juga dengan sebutan nekrosis piecemeal. Istilah ini
menggambarkan adanya gangguan pada lempeng pembatas dari saluran portal oleh infiltrasi selsel radang. Meski begitu, gambaran interface hepatitis ini tidak spesifik untuk hepatitis autoimun
karena dapat juga ditemukan pada hepatitis virus akut ataupun kronik.
GEJALA KLINIS
Gejala Klinik pada Anemia Hemolitik autoimun dapat ditemukan keadaan sebagai berikut :
1. Anemia
2. Bila hemolisis berat : demam, menggigil, mual, muntah, nyeri perut, ikterus
3. Splenomegali
4. Bila anemia berat bisa terjadi gagal jantung
5. Gejala dari penyakit dasarnya sebagai penyebab.
DIAGNOSIS
Diagnosis anemia hemoiltik autoimun ditegakan dari gejala klinik, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan anemia normkrom-normositer, polikromasi,
eritrosit berinti, sferositosis, dan kadang-kadang ada eritrosit yang mengalami
fragmentasi.
2. Pada pemeriksaan urine akan dijumpai urobilinuria dan hemoglobinuria
3. Pemeriksaan yang paling penting untuk memastikan diagnosa AIHA adalah tes Coombs
positif akan tetapi terdapat 2-4% penderita AIHA dengan combs test yang negatif.
4. Pemeriksaan IgG dan IgM. Bila IgG meningkat berarti Warm Antibody, bila IgM
meningkat berarti Cold Antibody.
TERAPI
1. Bila mungkin mengobati penyebabnya.
2. Kortikosteroid adalah obat pilihan. Begitu diagnosis AIHA ditegakkan langsung
diberikan prednison dengan dosis 40-60 mg perhari sampai timbul respon, kemudian
dosis diturunkan secara perlahan selama 6-8 minggu dan dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 10-20 mg perhari atau dua hari sekali.
3. Bila kortikosteroid tidak memberi respon atau dosis pemeliharaan terlampau tinggi perlu
dipertimbangkan splenoktomi.
4. Bila splenektomi tidak dapat mengatasi hemolisis perlu ditambah obat immunosupresif
yang lainnya. Misalnya cytoxan 2-3 mg/kgBB/hari oral atau azathioprit 2-2,5 m/kgbb
dengan atau tampa kombinasi kortikosteroid.
5. Pemberian transfusi harus dengan pertimbangan yang tepat ialah pada penderita anemia
berat dan timbulnya cepat atau gagal jantung.
BRONKOPNEUMONIA
9
Infeksi saluran pernafasan bawah masih merupakan angka kesakitan Dan kematian
tertinggi serta kerugian produktivitas kerja, infeksi ini paling sering ditemui dalam bentuk
pneumonia. Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli dan menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dna menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat.
Pneumonia dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu pneumonia komunitas dan
pneumonia nasokomial.
GEJALA KLINIK
Tanda tanda fisik pada pneumonia klasik antara lain :
-
Demam
Sesak nafas
Konsolidasi paru ( perkusi paru yang pekak, ronki nyaring dan pernafasan bronchial)
PENATALAKSANAAN
Terapi pada pasien pneumonia didasarkan penyebabnya. Pengobatan terdiri dari
antibiotik dan suportif. Pemberian antibiotik sebaiknya didasarkan kepada data organisme
penyebab dan hasil uji kepekaan.
10
ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 36 tahun di bagian Penyakit Dalam sejak tanggal 9
Oktober 2014 dengan:
Keluhan utama : (autoanamnesis)
Nyeri sendi yang bertambah berat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri sendi yang bertambah berat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dirasakan pada kedua bahu, siku, pergelangan tangan, jari-jari tangan, lutut, dan jari-jari
kaki. Nyeri dirasakan sepanjang hari. Nyeri paling berat dirasakan pada lutut kiri. Nyeri
sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu dan dibawa berobat ke bidan dan mendapatkan
obat, namun pasien tidak tahu nama obat tersebut. Pasien juga pergi ke tukang pijit dan
merasakan nyeri berkurang setelah dipijit. Namun, nyeri dirasakan semakin meningkat
hingga pasien berobat ke dokter dan mendapatkan obat selama 1 minggu. Pasien tidak
ingat obatnya apa. Nyeri dirasakan menurun setelah minum obat tersebut, namun pasien
tidak kontrol lagi setelah obat habis. Empat hari kemudian, pasien merasakan nyeri lagi
pada sendi yang sama yang dirasakan semakin lama semakin berat.
Kaku sendi yang memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Kaku dirasakan
pada kedua bahu, siku, pergelangan tangan, jari-jari tangan, lutut, dan jari-jari kaki.Kaku
sudah dirasakan sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Kaku dirasakan paling berat
pada saat bangun pagi, dialami selama 3 jam dan setelah itu kaku berkurang. Kaku
dirasakan pasien sehingga pasien tidak dapat berjalan dan kesulitan menggenggam
apapun dengan tangannya. Pasien berobat ke bidan dan mendapatkan obat yang pasien
tidak tahu nama obat tersebut. Pasien juga berobat ke tukang pijit dan merasakan kaku
berkurang setelah dipijit. Namun, kaku dirasakan semakin memberat hingga pasien
berobat ke dokter dan mendapatkan obat selama 1 minggu. Pasien tidak ingat obatnya
apa. Kaku dirasakan menurun setelah minum obat tersebut, namun pasien tidak kontrol
lagi setelah obat habis. Empat hari kemudian, kaku sendi muncul lagi pada sendi yang
sama dan dirasakan mengalami perburukan.
11
Bengkak pada kedua sendi bahu, siku, pergelangan tangan, jari-jari tangan, lutut, dan jari-
Riwayat alergi makan ikan 2 bulan yang lalu, dibawa berobat ke dokter namun
menghentikan pengobatan sendiri karena merasa ada efek samping obat tersebut terhadap
anak yang berusia 2 tahun yang masih disusuinya. Gejala alergi yang timbul adalah gatal
dan kulit pecah-pecah pada kedua jari-jari tangan.
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, memiliki satu orang anak berusia 2 tahun.
: CMC
Keadaan Umum
: Sedang
Berat Badan
: 45 kg
Nadi
: 155 cm
Nafas
: 24x/menit
BMI
: 18,73
Suhu
: 380C
Kesan
: Normoweight
Edema
: (-)
VAS
:6
Anemis
: (+)
Ikterus
: (-)
Kulit :
Ptekie tidak ada, turgor baik.
Kelenjar Getah Bening :
Tidak membesar.
Kepala :
Normocephal.
Rambut :
Hitam, tidak mudah rontok.
Mata :
Konjungtiva anemis
Sklera tidak ikterik.
Reflex cahaya +/+, pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm.
Telinga :
Nyeri tekan mastoid tidak ada.
Hidung :
13
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Paru belakang
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Inspeksi
Palpasi
Jantung :
Perkusi
: batas kanan LSD, batas atas RIC II, batas bawah 1 jari medial RIC V,
Abdomen :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Punggung :
CVA : tidak ditemukan nyeri tekan dan nyeri ketok.
Alat Kelamin :
Tidak ditemukan kelainan.
Anus :
Tidak ditemukan kelainan.
Anggota Gerak :
Refleks fisiologis sukar dinilai, refleks patologis sukar dinilai, oedema -/Status lokalisata:
Sendi
Shoulder joint bilateral
Genue bilateral
Titiotalar bilateral
MCP
Inspeksi
Tampak bengkak,
Palpasi
Teraba pembengkakan,
kemerahan, kaku,
deformitas (-)
Tampak bengkak,
fluktuasi (+)
Teraba pembengkakan,
kemerahan, kaku,
deformitas (-)
Tampak bengkak,
fluktuasi (+)
Teraba pembengkakan,
kemerahan, kaku,
deformitas (-)
Tampak bengkak,
fluktuasi (+)
Teraba pembengkakan,
kemerahan, kaku,
deformitas (-)
Tampak bengkak,
fluktuasi (+)
Teraba pembengkakan,
ROM
Terbatas, sulit dilakukan
PIP
MTP II-V
IP ibu jari
Pergelangan tangan
kemerahan, kaku,
deformitas (-)
Tampak bengkak,
fluktuasi (+)
Teraba pembengkakan,
kemerahan, kaku,
deformitas (-)
Tampak bengkak,
fluktuasi (+)
Teraba pembengkakan,
kemerahan, kaku,
deformitas (-)
Tampak bengkak,
fluktuasi (+)
Teraba pembengkakan,
kemerahan, kaku,
deformitas (-)
Tampak bengkak,
fluktuasi (+)
Teraba pembengkakan,
kemerahan, kaku,
deformitas (-)
fluktuasi (+)
16
Laboratorium :
Hb
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
: 8,6 gr/dl
: 17.400/mm3
: 26%
: 404.000/
mm3
Hitung jenis : 0/0/3/81/11/5
LED
: 108 mm/jam
Urinalisa :
Protein
:-
Epitel
: Gepeng +
Glukosa
:-
Bilirubin
:-
Leukosit
: 0-1/LPB
Urobilinogen
:+
Eritrosit
: 0-1/LPB
Silinder
:-
Kristal
:-
Feses Rutin :
Warna
: cokelat
Leukosit
: 0-1/LPB
Konsistensi
: lunak
Eritrosit
: 0-1/LPB
Darah
:-
Amoeba
:-
Lendir
:-
Telur cacing
:-
Irama
: Sinus
QRS kompleks
HR
: 94x/menit
R/S di V1
Axis
: Normal
S V1 + R V5 : <35
Gel. P
: Normal
ST segmen
: isoelektrik
PR interval
: 0,12 detik
Gel. T
: inverted (-)
EKG:
: 0,10 detik
:<1
17
Kesan
Indeks Wayne : 10
Indeks Newcastle : 27
MASALAH
Arthritis
Bronchopneumonia
Anemia
Struma
DIAGNOSIS
Rheumatoid arthritis
Bronchopneumonia duplex (CAP)
Anemia ringan normositik normokrom ec penyakit kronis
Struma nodosa non toksika
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
TERAPI
Istirahat/ Diet ML 1500 kkal (karbohidrat 900 kkal, protein 45 gram, lemak 46 gram)
Inj. Ceftriaxone 1x2gr (iv)
Natrium diklofenack 3x50mg
Paracetamol 3x500mg
Ambroxol syr 3x30mg
PEMERIKSAAN ANJURAN
Ureum, kreatinin
Faal hepar (albumin, globulin, SGOT, SGPT, bilirubin)
Asam urat
Analisis gas darah
FT4, TSH, T3
Rheumatoid factor
IgG anti-CCP
CRP
Kultur sputum
Ro thorax
Ro genue bilateral
Ro manus bilateral
Ro pedis bilateral
Ro shoulder joint bilateral
Ro elbow joint bilateral
USG tiroid
BAJAH kelenjar tiroid
Skintigrafi
FOLLOW UP
O/
KU
Sedang
VAS : 5
Kes
CMC
TD (mmHg)
100/70
Nadi (x/i)
86
Nafas (x/i)
20
Suhu (0C)
37,60C
Laboratorium/
19
MCV
MCH
MCHC
Retikulosit
Ureum
Kreatinin
Asam urat
Albumin
Globulin
Na/ K/ Cl
: 84 fl
: 28 pg
: 33%
: 2,99%
: 35 mg/dl
: 0,4 mg/dl
: 4,6 mg/dl
: 2,1 gr/dl
: 4,2 gr/dl
: 135 / 3,6 / 100 mmol/L
SGOT
SGPT
Bilirubin total
T3
FT4
TSH
CRP
: 109 u/l
: 136 u/l
: 0,11 mg/dl
: 0,56 nmol/l
: 16,70 pmol/l
: 1,32 UIU/ml
: (+)
: 7,42
- pCO2
: 29 mmHg
- pO2
: 98 mmHg
: 98%
Ro thorax
: bronchopneumonia
Ro genue bilateral
Ro manus bilateral
Ro pedis bilateral
Ro shoulder joint
Ro elbow joint
Kesan:
Anemia ringan normositik normokrom
Hipoalbuminemia
Gangguan faal hepar
Sikap:
Transfusi albumin 20% 100cc
20
Plan :
Hepatitis marker (HbsAg, anti HCV)
USG abdomen
Rheumatoid arthritis
Terapi :
Anjuran :
Rheumatoid factor
IgG anti CCP (ACPA)
Kes
CMC
TD (mmHg)
110/70
Nadi (x/i)
86
Nafas (x/i)
20
Suhu (0C)
370C
Laboratorium/
HbsAg
: non reaktif
Anti HCV
: 0,21
IgG anti-CCP
: <3 RU/mL
Anjuran :
Coombs test
Anjuran :
Kultur sputum
Kes
CMC
TD (mmHg)
120/70
Nadi (x/i)
86
Nafas (x/i)
20
Suhu (0C)
370C
22
VAS: 1
Coombs test :
ICT (-)
DCT (+1)
Kultur sputum : Streptococcus alfa hemoliticus (sensitif terhadap Ceftriaxone)
USG Tiroid : nodul tiroid susp.benign
Kesan :
Anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik autoimun
Struma nodosa non toksika
DD/ Adenoma goiter
Kista tiroid
Ca tiroid
Tiroiditis subakut
Plan :
BAJAH
Skintigrafi
Anti TPO
Screening antibody
O/
KU
Sedang
VAS: 1
Kes
CMC
TD (mmHg)
120/80
Nadi (x/i)
82
Nafas (x/i)
20
Suhu (0C)
36,80C
Nadi (x/i)
Nafas (x/i)
Suhu (0C)
Laboratorium/
Albumin
Globulin
: 2,9 gr/dl
: 3,3 gr/dl
O/
KU
Kes
TD (mmHg)
24
Sedang
VAS: 1
CMC
120/70
84
18
370C
Rheumatoid arthritis
Terapi :
O/
KU
Sedang
VAS: 1
Kes
CMC
TD (mmHg)
110/70
Nadi (x/i)
82
Nafas (x/i)
20
Suhu (0C)
370C
Laboratorium/
25
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
Anti-TPO
: 10,4 gr/dl
: 32%
: 7.300/mm3
: 339.000/mm3
: Negatif
26
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 36 tahun dengan diagnosis akhir:
Rheumatoid arthritis
Bronchopneumonia duplex (CAP)
Anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik ec autoimun
Adenomatous goiter
Hepatitis autoimun
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Rheumatoid arthritis ditegakkan dari adanaya nyeri dan kaku pada sendi besar dan kecil yang
simetris disertai bengkak, kemerahan, dan nyeri tekan. Walaupun dari pemeriksaan radiologi
didapatkan hasil yang normal, menurut kriteria ACR/ EULAR 2010, pasien ini memenuhi
kriteria yang terdiri dari jumlah sendi yang dikenai, serologi (rheumatoid factor yang positif),
reaktan fase akut (CRP dan LED) yang abnormal, dan durasi yang lebih dari 6 minggu. Pasien
didiagnosis banding dengan artritis psoriatik karena adanya keterlibatan sendi DIP pada pasien
ini, yang merupakan sendi yang dieksklusi dari kriteria ACR/ EULAR 2010. Namun, pada pada
artritis psoriatik tidak didapatkan hasil rheumatoid factor yang positif. Begitu juga dengan artritis
gout yang bisa disingkarkan dengan hasil asam urat serum yang normal.
Anemia pada pasien ini ditegakkan dari keluhan pucat yang dialami pasien. Penelusuran
anemia pada pasien dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah
perifer lengkap, gambaran darah tepi, sampai pemeriksaan coombs test yang positif yang
menandakan adanya penyebab autoimun pada pasien ini.
Dengan adanya rheumatoid arthritis dan anemia hemolitik autoimun yang dialami pasien,
maka dicurigai adanya multiple autoimmune syndrome pada pasien ini. Multiple autoimmune
syndrome (MAS) adalah koeksistensi 3 atau lebih penyakit autoimun. Menurut Cojocaru (2010),
kehadiran satu kelainan autoimun mengarahkan ke kelainan autoimun yang lain. MAS bisa
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yang menggambarkan adanya 2 kelainan autoimun.
Pembagiannya adalah:
27
a. MAS tipe 1 : miastenia gravis, timoma, polimiositis, dan giant cell muocarditis.
b. MAS tipe 2 : sindrom Sjogren, rheumatoid arthritis, primary biliary cirrhosis (PBC),
skleroderma, dan kelainan tiroid autoimun.
c. MAS tipe 3 : kelainan tiroid autoimun, miastenia gravis dan/ atau timoma, sindrom
Sjogren, anemia pernisiosa, ITP, penyakit Addison, diabetes melitus tipe 1, vitiligo,
AIHA, SLE, dan dermatitis herpetiformis.
Kelainan autoimun pada pasien ini adalah rheumatoid arthritis (RA), AIHA, dan hepatitis
autoimun. RA termasuk ke dalam MAS tipe 2, sedangkan AIHA termasuk ke dalam MAS tipe 3.
Sedangkan hepatitis autoimun tidak termasuk ke dalam kriteria. Namun, adanya kelainan tiroid
autoimun pada kriteria MAS 2 dan 3, menimbulkan kecurigaan adanya kelainan tiroid autoimun
pada pasien ini karena adanya struma. Oleh karena itu, pasien ini direncanakan untuk
pemeriksaan TRAB atau anti-TPO. Namun, hasil anti-TPO pasien ini adalah negatif, sehingga
diagnosis MAS pada pasien ini tidak bisa ditegakkan.
Dengan adanya hasil negatif pada anti-TPO pada pasien ini, pasien ditegakkan diagnosis
adenomatous goiter. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan adanya hasil pemeriksaan USG tiroid
dengan hasil nodul tiroid susp.benign. Hasil ini ditindaklanjuti dengan pemeriksaan BAJAH.
BAJAH dilakukan dan didapatkan hasil adenomatous goiter dengan suspek follicular neoplasma.
Untuk diagnosis hepatitis autoimun, diagnosis ini ditegakkan berdasarkan kecurigaan dari
adanya gangguan faal hepar berupa peningkatan SGOT dan SGPT disertai rasio terbalik albumin
dan globulin. Hepatitis marker pada pasien ini negatif. Hepatitis autoimun itu sendiri adalah
kelainan pada hati yang muncul ketika sistem imun tubuh menyerang sel hati. Kelainan ini bisa
bersifat asimptomatik. Dengan adanya gambaran USG abdomen berupa hepatitis kronis, semakin
memperkuat kecurigaan diagnosis hepatitis autoimun pada pasien ini.
Menurut Makol (2010), hepatitis autoimun adalah kelainan inflamasi kronik dengan
etiologi yang tidak diketahui yang ditandai dengan adanya autoantibodi yang bersirkulasi,
hipergammaglobulinemia, perubahan nekroinflamasi pada histologi hati, dan perubahan dramatis
pada terapi imunosupresif. Autoantibodi tersebut bisa berupa antinuclear antibody (ANA), antismooth muscle antibody (SMA), dan anti-liver cytosol 1 antibodies yang nanti akan
28
mengklasifikan hepatitis autoimun menjadi 2 tipe. Regimen terapi yang bisa diberikan untuk
pasien ini bisa dengan hanya steroid (Makol, 2010), dan regimen ini bisa diberikan pada semua
tipe hepatitis autoimun.
Penegakan bronchopneumonia duplex pada pasien ini ditegakkan dari adanya batuk
berdahak, suara nafas bronchovesikuler, adanya rhonki basah halus nyaring pada basal paru, dan
didukung oleh gambaran pada Ro thorax. Karena pasien ini mengalami beberapa kelainan
autoimun, bisa dicurigai adanya kelainan autoimun pada paru seperti interstitial lung disease.
Namun, dengan adanya perbaikan klinis dari pemberian antibiotik, kelainan ini bisa disingkirkan.
Terapi metilprednisolone diberikan pada pasien ini karena diagnosis pasien ini yang
didominasi oleh kelainan autoimun. Menurut rekomendasi dari Perhimpunan Reumatologi
Indonesia 2014, setelah ditegakkannya diagnosis rheumatoid arthritis, dianjurkan untuk
pemberian Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD) pada pasien ini setelah
dipastikan tidak ada kontraindikasi pemberian obat tersebut. Metotreksat dipilih untuk pasien ini
karena termasuk salah satu DMARD yang efektif. Hepatitis marker yang negatif pada pasien ini
merupakan salah satu syarat pemberian metotreksat.
Natrium diklofenack diberikan sebagai pilihan analgetik pasien ini. Untuk terapi AIHA
dan hepatitis autoimun, dosis steroid yang diberikan mengikuti protokol pengobatan dari bidang
rheumatologi. Sementara untuk bronchopneumonia, pasien diberikan antibiotik.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid.
Jakarta: 2014.
2. Aletaha, D et al. 2010 Rheumatoid Arthritis Classification Criteria. Arthritis &
Rheumatism 62:9 (2010).
3. Hochberg, M et al. The American College of Rheumatology 1991 Revised Criteria for the
Classification of Global Functional Status in Rheumatoid Arthritis. 35:5 (1992).
4. Felson, D et al. American College of Rheumatology/ European League Against
Rheumatism Provisional Definition of Remission in Rheumatoid Arthritis for Clinical
Trials. Arthritis & Rheumatism 63:3 (2011).
5. Parjono. E, Widyawati. K. Anemia Hemolitik Autoimun. Dalam Sudoyo WA. Setiyohadi
B, Alwi I,dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam.Jilid Ke-II. Jakarta: Interna Publishing;
2009. Hal 1152-57.
6. Makol, A et al. Autoimmune Hepatitis: A Review of Current Diagnosis and Treatment.
Hepatitis Research and Treatment. 2011.
7. Cojocaru, M et al. Multiple Autoimmune Syndrome. Maedica (Buchar) 5:2 (2010).
8. Made I Bakta, 2007, Hematologi Ringkas, Edisi I, penerbitan buku kedokteran EGC,
Jakarta.
9. Buku Ajar Penyakit Dalam, edisi V Jakarta: Interna Publishing 2009.
30