Anda di halaman 1dari 5

Diagnosis TB pada pasien HIV

HIV dapat meningkatkan resiko terjadinya TB, baik kasus TB baru, reaktivasi
ataupun reinfeksi. Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV dimana
resiko terinfeksi TB sebesar 10-20% dalam hidupnya, pada pasien HIV resiko
terinfeksi TB meningkat hingga sebesar 10% per tahun. Koinfeksi HIV dengan TB
menunjukkan manifestasi klinik tersendiri, menurunkan survival rate, meningkatkan
resiko infeksi oportunistik dan peningkatan replikasi HIV. 1
Diagnosis TB pada pasien dengan HIV dan non-HIV memiliki beberapa perbedaan
yang harus diperhatikan. Pada pasien HIV, kecurigaan TB didasarkan pada
kecenderungan resiko infeksi berdasarkan epidemiologis dan tes tuberkulin,
presentasi TB yang atipik, dan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan
laboratorium.2
Perbedaan yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis TB pada HIV adalah sbb: 2
1. Pertama, tes tuberkulin pada pasien HIV sering memberikan hasil negatif
palsu, dan kemungkinan ini semakin meningkat dengan perburukan
imunosupresi.
2. Kedua, gambaran radiologik TB yang biasanya cukup diagnostik akan tampak
tidak spesifik pada pasien dengan HIV. Oleh karena itu TB pada HIV sering
kali terlewatkan dan meningkatkan resiko penularan, maka pada pasien HIV
yang memiliki penyakit paru yang belum diketahui harus dipertimbangkan
kemungkinan infeksi oleh M.tuberculosis.
3. Ketiga, hasil pemeriksaan sputum pada pasien HIV cenderung kurang sensitif.
Namun jika pemeriksaannya positif untuk bakteri tahan asam, maka
pengobatan TB dapat segera dimulai hingga terbukti spesies bakterinya.
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) dapat digunakan untuk
membedakan jenis bakteri ini dengan cepat. Hasil pemeriksaan kultur darah
M.tuberculosis pada pasien HIV positif dapat menjadi positif, dan merupakan
parameter diagnostik untuk TB yang disseminated pada infeksi HIV berat.
Gambaran histologik TB yang khas seperti granulomatosa juga berubah pada
pasien imunosupresi, dimana tidak terbentuk secara utuh atau bahkan tidak
terbentuk sama sekali, dengan jumlah mikroorganisme yang lebih banyak.
Infeksi TB pada pasien HIV juga dapat terjadi dalam bentuk laten, dimana infeksinya
tidak berlangsung secara aktif. Sebelum memulai pengobatan untuk TB laten, klinisi
harus yakin bahwa tidak ada proses aktif yang sedang berlangsung, karena
memberikan OAT tunggal (Isoniazid) pada pasien dengan TB aktif meningkatkan
resiko resistensi obat.
Pengobatan TB pada Penderita HIV
Pasien TB dengan HIV positif memiliki resiko kematian lebih tinggi daripada pasien
yang HIV negatif. Pulasan BTA yang negatif dan TB ekstrapulmonal menunjukkan

tingkat imunosupresif yang lebih berat daripada yang pulasan BTA positif, sehingga
kasus mortalitasnya lebih tinggi. Namun pemberian ARV yang semakin banyak
digunakan telah membantu menurunkan angka tersebut. 3
Pasien HIV memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami reaksi efek samping
obat terhadap OAT dan mengalami resistensi obat dibandingkan dengan yang nonHIV. Pemberian ART dengan OAT tidak menyebabkan resiko efek samping obat,
melainkan karena perjalanan penyakit HIV nya itu sendiri. Obat yang berisiko
menyebabkan resistensi adalah rifampisin dan isoniazid. 4 Selain itu juga terdapat
reaksi antar obat antara regimen ART dan OAT, salah satunya adalah rifampisin,
yang mempengaruhi enzim hepar P450 sehingga dapat menurunkan konsentrasi
beberapa jenis ARV, seperti boosted protease inhibitors (bPIs) sebanyak 75-90%.
Sehingga penggunaan bPIs dosis standar dengan rifampisin merupakan
kontraindikasi. Dosis bPIs harus ditingkatkan, namun memiliki resiko toksisitas yang
tinggi, sehingga membutuhkan pengawasan klinis dan laboratorium yang ketat. 3
Pasien TB dengan HIV positif diutamakan untuk segera memulai pengobatan TB,
lalu dilanjutkan dengan pemberian kotrimoksazol dan ARV. Pasien TB kasus baru
dengan HIV positif diberikan pengobatan sbb: 3
Tabel 1. Regimen standar pada pasien TB kasus baru
Fase intensif
2HRZE

Fase kontinu
4HR

Frekuensi pemberian dosis


Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Tiga kali seminggu
Tiga kali seminggu

Tiga kali seminggu

Keterangan
H= isoniazid, R= rifampisin,
Z=
pirazinamid,
E=
etambutol, S= streptomisin
Optimal
Alternatif pada pasien TB yang
mengikuti DOTS
Alternatif pada pasien dengan
DOTS yang diketahui tidak
menderita HIV.

Keterangan: WHO tidak merekomendasikan pemberian etambutol pada masa intensif pada
pasien non-kavitas, pulasan BTA negatif, yang diketahui HIV negatif. Pada meningitis TB,
etambutol digantikan dengan streptomisin.

Pengobatan fase intensif TB kasus baru dapat dilakukan setiap hari ataupun tiga kali
seminggu, namun pada pasien HIV positif, fase intensif tiga kali seminggu tidak lagi
disarankan karena tingginya insiden relaps dan gagal pengobatan pada pasien HIV
positif yang mengidap TB, yaitu 2-3 kali lipat lebih tinggi daripada yang pengobatan
setiap hari. Selain itu sebuah studi di India mengatakan bahwa pasien HIV positif
yang gagal pengobatan tiga kali seminggu memiliki resiko tinggi mengalami
resistensi rifampisin.3

Pasien dengan koinfeksi HIV-TB harus menerima pengobatan TB sekurangkurangnya dengan regimen yang sama seperti pada pasien TB yang non-HIV. Pasien
HIV-TB yang sudah pernah menerima pengobatan TB harus mendapat pengobatan
kategori dua seperti pada pasien TB yang non-HIV. Lama pengobatan TB pada
pasien HIV yang berlangsung selama 8 bulan atau lebih dengan regimen yang
mengandung rifampisin dikatakan memiliki insiden relaps yang lebih rendah
daripada yang hanya pengobatan 6 bulan. 3
Pasien HIV dengan kecurigaan laten TB yang indurasi tes tuberkulinnya 5 mm
harus menjalani terapi TB laten berupa:
1. Isoniazid selama 9 bulan (pilihan utama)
2. Rifampin atau rifabutin selama 4 bulan
Pemberian isoniazid lebih dianjurkan karena hanya memiliki sedikit interaksi dengan
obat-obat ART dan biayanya juga lebih murah. Selain itu konsekuensi terbentuknya
resistensi obat rifampin atau rifabutin akibat terapi infeksi laten memberikan
kerugian bagi pasien dan komunitas dibandingkan isoniazid. Karena regimen tanpa
rifamisin berakibat masa pengobatan TB aktif diperpanjang menjadi 18-24 bulan.
Oleh karena itu, pemberian rifamisin atau rifabutin pada terapi laten TB hanya
dianjurkan pada kasus resistensi atau intoleransi isoniazid.
Pemberian Terapi Anti Retroviral pada Koinfeksi HIV-TB
Dengan adanya anti retroviral therapy (ART), angka kejadian TB baru sudah
semakin menurun.1 Waktu untuk memulai pemberian ART pada koinfeksi HIV-TB
masih sering memicu perdebatan, namun beberapa penelitian menyatakan bahwa
inisiasi ART dini dapat menurunkan mortalitas, meningkatkan outcome pada TB dan
menurunkan insiden immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS).3
IRIS tingkat ringan hingga sedang sering terlihat pada pasien TB yang memulai ART,
hingga sepertiga dari total penderita. Namun bentuk yang berat sangat jarang
dijumpai. Sindrom ini meliputi adanya demam, pembesaran KGB, infiltrat paru yang
meningkat, atau eksaserbasi inflamasi di fokus lain. Biasanya dapat dilihat dalam 3
bulan sejak pengobatan ART dan lebih sering terjadi jika jumlah CD4 <50 sel/mm 3.
Kebanyakan kasus tidak membutuhkan penanganan dan ART dapat tetap
dilanjutkan. Oleh karena itu IRIS bukanlah indikasi untuk mengganti regimen
pengobatan menjadi ART lini kedua, namun ART tersebut harus disesuaikan dahulu
agar sesuai dengan pengobatan TB.3
ART meningkatkan harapan hidup penderita HIV positif. Penggunaan ART berperan
menurunkan 60% kejadian TB di populasi, serta menurunkan rekurensi TB sebesar
50%. Oleh karena itu, di tahun 2010 WHO merekomendasikan penanganan HIV-TB
sbb:1,3,5

1. Pengobatan ART dimulai pada semua individu yang terinfeksi HIV dengan TB
aktif, tanpa memperhitungkan jumlah CD4
2. Pengobatan TB dimulai terlebih dahulu dan diikuti ART begitu kondisinya
memungkinkan dalam 8 minggu pertama setelah pengobatan TB.
3. Gunakan efavirenz (EFV) sebagai NNRTI yang dianjurkan pada pasien yang
memulai ART dalam pengobatan TB.
Hal ini sedikit berbeda dengan guideline WHO tahun 2006 mengenai pemberian ART
pada pasien TB, dimana pengobatan ART dimulai jika CD4 350 sel/mm 3 dan masih
dapat ditunda selama CD4 >200 sel/mm 3. 5
Pemberian ART pada TB ini didukung oleh penelitian oleh BioMed Central pada
tahun 2012 yang membandingkan waktu pemberian ART pada pasien koinfeksi HIVTB, dimana tidak ada perbedaan berarti dalam hal mortalitas pada pasien HIV-TB
yang memulai ART setelah 2-4 minggu dengan yang telah menjalani 8-12 minggu
menjalani pengobatan OAT.1 Namun dapat terjadi perburukan perjalanan penyakit
HIV bila pemberian ART ditunda dari 2-4 minggu menjadi 8-12 minggu setelah
pemberian OAT. Penelitian oleh Karim et al menunjukkan bahwa pengobatan ART
pada pasien TB positif yang jumlah CD4 nya <500/mm 3 menurunkan resiko
mortalitas sebanyak 56% dibandingkan menunggu sampai pengobatan TB selesai. 1
WHO merekomendasikan ART lini pertama yang terdiri dari:

1,3,5

1. Dua nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) dimana salah satunya


harus ada zidovudine (AZT) atau tenofovir (TDF), dengan 3TC atau FTC
2. Satu non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Untuk NNRTI,
WHO menyarankan pemberian efavirenz (EFV) atau neriverapine (NVP).
Pengobatan ini termasuk efektif dan tidak terlalu mahal karena dalam bentuk
generik dan formulasi FDC.3,5 Regimen lini pertama ARV yang disarankan adalah
yang mengandung efavirenz karena interaksi dengan obat-obatan TB minimal serta
memiliki efektivitas yang tinggi dalam mensupresi virus HIV. Namun EFV tidak boleh
diberikan pada pasien wanita usia produktif yang tidak menggunakan kontrasepsi
adekuat ataupun pada wanita hamil trimester pertama karena memiliki sifat
teratogenik.3
Pada pasien yang intoleran dengan EFV atau yang terinfeksi dengan strain HIV yang
resisten terhadap NNRTI, regimen yang mengandung EFV adalah suatu
kontraindikasi. Regimen yang dapat digunakan pada pasien-pasien ini adalah: 3
1.
2.
3.
4.

AZT+3TC+NVP atau
TDF+3TC atau
FTC+NVP atau
regimen dengan tiga NRTI (AZT+3TC+ABC atau AZT+3TC+TDF).

Pemilihan regimen ini disesuaikan dengan ketersediaan di negara masing-masing.


Di negara-negara yang tersedia rifampisin, pemberian utama nevirapine tidak
diperlukan.3
Regimen lini kedua ART harus meliputi ritonavir-boosted protease inhibitor (PI)
ditambah dua NRTI, dimana salah satunya harus AZT atau TDF tergantung dari apa
yang digunakan di terapi lini pertama. Ritonavir-boosted atazanavir (ATV/r) atau
lopinavir/ritonavir (LPV/r) adalah PI yang sering digunakan. 5
Monitoring laboratorium
Pasien harus memiliki akses untuk memeriksa CD4 untuk mengoptimalkan
perawatan pre-ART dan saat memulai ART. Tes HIV RNA (viral load) dilakukan untuk
mengkonfirmasi dugaan kegagalan terapi. Monitoring toksisitas obat dilakukan
berdasarkan gejala yang muncul.
Terapi Kotrimoksazol untuk Pencegahan
Pemberian kotrimoksazol sebagai tindakan preventif diberikan sedini mungkin pada
pasien HIV positif yang memulai pengobatan TB. Kotrimoksazol berperan dalam
mencegah infeksi Pneumocystis jirovecii dan malaria, serta melawan infeksi bakteri
lain yang mungkin muncul pada pasien TB dengan HIV positif.

Referensi
1. Sinha S, Shekhar RC, Singh G, Shah G, Ahmad H, et al. Early versus delayed
initiation of antiretroviral therapy for Indian HIV-Infected individuals with
tuberculosis on antituberculosis treatment. BMC Infectious Diseases. 2012,
12:168.
2. FitzGerald JM, Houston S. Tuberculosis: The disease in association with HIV
infection. CMAJ, 1999; 161, 1; ProQuest pg. 47.
3. WHO. Treatment of tuberculosis guidelines, 4th ed. 2010.
4. Nahid P, Gonzalez LC, Rudoy I, Jong BC, Unger A, et al. Treatment outcomes of
patients with HIV and Tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med Vol 175, pp
1199-206, 2007.
5. WHO. Antiretroviral therapy for HIV infection in adults and adolescent:
Recommendations for a public health approach. 2010.

Anda mungkin juga menyukai