Referat Tetanus
Referat Tetanus
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan eksotoksin bakteri Gram positif Clostridium
tetani yang bersifat obligat anaerob dan membentuk spora. Spora banyak terdapat di dalam tanah
dan feses hewan dan infeksi terjadi akibat kontak dengan jaringan melalui luka. Toksin
mempengaruhi saraf yang mengontrol fungsi otot1
Tetanus sudah dikenal sejak zaman Mesir Kuno, tetapi isolasi C. tetani dari manusia baru
pertama kali dilakukan pada tahun 1889 oleh Kitasato. Imunisasi pasif terhadap tetanus pertama
kali diperkenalkan oleh Nocard pada tahun 1897 dan digunakan selama Perang Dunia I. Pada
tahun 1924 Descombey mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid dan digunakan secara
luas selama Perang Dunia II 2-3
Tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang dengan
iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia,
dan negara-negara di Afrika. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang menjadi target
program imunisasi World Health Organization 3-4
Insidensi tahunan tetanus di dunia adalah 0,5-1 juta kasus dengan tingkat mortalitas sekitar
45%. Di Amerika Serikat pada tahun 1947 dilaporkan terdapat 560 kasus, sedangkan antara
1998-2000 hanya 43 kasus per tahunnya. Penurunan tersebut disebabkan oleh penemuan dan
penggunaan imunisasi aktif terhadap tetanus. Di negara berkembang tetanus banyak ditemukan
pada populasi neonatus dan merupakan salah satu penyebab mortalitas bayi yang penting. Di
negara maju tetanus terutama terjadi setelah luka tusuk yang tidak disengaja, misalnya saat
bertani atau berkebun, yang tidak mendapatkan perawatan luka yang adekuat 5-6
Lingkungan tanah Indonesia yang kaya akan C. tetani dan angka mortalitas yang tinggi
menuntut dokter umum untuk menguasai pencegahan dan penanganan tetanus.
1.2
Tujuan
2.1.
Definisi
Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya meregang. Penyakit ini telah dikenal
sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates kemudian mendeskripsikan
tetanus sebagai penderitaan manusia yang tiada akhir. Pada tahun 1884 Carle dan Rattone
berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci dengan menginjeksi nervus skiatik dengan pus dari
manusia penderita tetanus. Pada tahun yang sama, Nicolaier berhasil menimbulkan tetanus pada
hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada tahun 1889 Kitasato berhasil mengisolasi C. tetani
dari manusia pada kultur murni dan membuktikan bahwa organisme tersebut menimbulkan
penyakit apabila diinjeksikan pada hewan. Kitasato juga melaporkan bahwa toksin C. tetani
dapat dinetralisir oleh antibodi spesifik yang dibentuk oleh tubuh. Nocard kemudian
membuktikan efek protektif antibodi yang ditransfer secara pasif pada tahun 1897. Imunisasi
pasif ini digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama Perang Dunia I. Descombey
kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada tahun 1924 dan digunakan
secara luas selama Perang Dunia II 2-3,8
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, yang masuk
melalui luka bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan
(spasme). tanpa penyebab medis lain yang tampak dengan/tanpa bukti laboratoris C. tetani atau
toksinnya dengan atau tanpa riwayat trauma Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot
masseter dan otot- otot rangka
2.2.
Epidemiologi
Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus terutama ditemukan
pada negara-negara kurang dan sedang berkembang yang padat penduduk dengan iklim hangat
dan lembap dan tanah yang kaya dengan material organik. Tanah dan usus manusia serta hewan
Andre H Simarmata 11.2013.145
andre14guitarist@gmail.com
Fakultas Kedokteran Kristen Krida WacanaPage 3
merupakan reservoir spora C. tetani. Transmisi spora C. tetani terjadi melalui luka yang kotor
(terkontaminasi) atau cidera jaringan lain. Insiden puncak tetanus terutama terjadi pada musim
panas atau hujan. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia 2,9
Faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang tidak lengkap, adanya
cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak aseptik. Faktor risiko lainnya
meliputi tindakan bedah abdomen, akupunktur, tindik telinga, tusuk gigi, dan infeksi telinga
tengah 10
Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama ditemukan di negara kurang
berkembang. Tetanus neonatorum berkontribusi terhadap 40-50% mortalitas akibat tetanus di
negara berkembang dan terutama disebabkan kondisi higiene persalinan yang buruk dan praktik
sosial atau tradisi seperti mengoleskan kotoran sapi atau ghee (semacam mentega) pada tali pusat
bayi di India 6,11
Insiden tetanus di Amerika Serikat telah menurun dengan ditemukannya imunisasi aktif. Laporan
menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus, tahun 1974 terjadi 101 kasus, tahun 1980an terjadi 60-80 kasus per tahunnya, dan tahun 1998-2000 terjadi rata-rata 43 kasus per
tahunnya. Hampir semua kasus terjadi pada orang yang tidak pernah diimunisasi atau status
imunisasinya tidak lengkap. Insiden tetanus pada orang dengan imunisasi lengkap sangat jarang
yaitu 4:100.000.000. Secara umum mortalitas akibat tetanus adalah 30%. Sekitar 75% kasus
terjadi antara bulan April - September. Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia
neonatus dan > 50 tahun dibandingkan kelompok umur lain. Sekuele neurologis residual jarang
ditemukan. Kematian biasanya diakibatkan oleh disfungsi autonomik, misalnya peningkatan
tekanan darah ekstrim, disritmia, atau henti jantung 5-6
Port dentree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :
Andre H Simarmata 11.2013.145
andre14guitarist@gmail.com
Fakultas Kedokteran Kristen Krida WacanaPage 4
1.
Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar
yang luas.
2.
3.
4.
Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan
penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan
terjadinya kasus tetanus neonatorum.
Menurut survei di lima rumah sakit pusat/provinsi di kota Jakarta , Bandung , Makassar dan
Palembang selama tahun 1991-1996, terdapat rata-rata 10-25 kasus per tahun per rumah sakit
dengan angka kematian 7-23%. Golongan umur yang paling sering penyakit ini adalah bayi
(26%), disusul anak 5-9 tahun (19%), anak balita 1-4 tahun (15%) dan usia lebih > 10 tahun
(12%).
2.3.
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua bentuk, yaitu
bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil, Gram positif, tidak berkapsul,
motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses
pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat
menimbulkan tetanus 2
Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah satu ujungnya
sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. tetani relatif resisten terhadap
desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan terhadap paparan fenol, merbromin, dan bahan
kimia lain yang efektif untuk desinfeksi. Pemanasan di dalam air mendidih selama 15 menit
dapat membunuh hampir semua spora. Sterilisasi menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan
15 lbs selama 15-20 menit pada suhu 121C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan.
Andre H Simarmata 11.2013.145
andre14guitarist@gmail.com
Fakultas Kedokteran Kristen Krida WacanaPage 5
Sterilisasi menggunakan panas kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu
160C) tetapi efektif terhadap spora. Sterilisasi menggunakan etilen oksida juga dapat
membunuh spora 5
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah yang mengandung
kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora dapat bertahan beberapa bulan
bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora
dapat ditemukan pada permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi 2
Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi sampai tercapai
kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif. Transformasi terjadi akibat
penurunan lokal kadar oksigen akibat: (a) terdapat jaringan mati dan benda asing, (b) crushed
injury, dan (c) infeksi supuratif 2
Gambar 1. Pewarnaan Gram C. tetani. Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi memiliki kecenderungan
variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya berupa basil. Endospora dibentuk secara intraseluler pada
ujung sporangium dan memberikan bentuk yang khas yaitu menyerupai stik drum. Sumber: Todar, 2007 (12)
Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk vegetatif C. tetani
menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin merupakan
enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi infeksi tetapi perannya dalam patogenesis tetanus
belum jelas. Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau
toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan C. tetani pada
Andre H Simarmata 11.2013.145
andre14guitarist@gmail.com
Fakultas Kedokteran Kristen Krida WacanaPage 6
tempat infeksi. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang paling poten berdasarkan berat.
Dosis letal minimum untuk manusia diperkirakan 2,5 ng/kg berat badan 2
2.4.
Patogenesis
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara inokulasi spora dengan
manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari sampai 3 minggu. Spora hanya dapat
mengalami germinasi pada kondisi anaerob yang paling sering terjadi pada luka dengan nekrosis
jaringan dan benda asing. Adanya organisme lain juga mempercepat transformasi spora ke
bentuk vegetatif. Masa inkubasi panjang biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari
sistem saraf pusat. Masa inkubasi merupakan salah satu faktor penentu prognosis 5
C. tetani merupakan mikroorganisme yang relatif non-invasif yang kehadirannya di jaringan sulit
dibuktikan. Pada kondisi yang jarang, C. tetani dapat dikultur dari darah. Bakteri ini
menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka yang biasanya tanpa supurasi. Spora yang
mengalami transformasi ke bentuk vegetatif melepaskan toksin solubel tetanospasmin yang
bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima
Andre H Simarmata 11.2013.145
andre14guitarist@gmail.com
Fakultas Kedokteran Kristen Krida WacanaPage 7
persen dari berat bakteri. Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan
berat molekul 150-kDa yang tidak aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua subunit
oleh enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100-kDa dan rantai ringan
dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari
rantai berat berikatan dengan membran neural dan ujung amino menciptakan pori untuk
masuknya rantai ringan ke dalam sitosol. Faktor genetik yang mengontrol produksi
tetanospasmin terdapat pada plasmid bakteri 5-6,13
Setelah rantai ringan memasuki motorneuron, senyawa tersebut ditranspor melalui akson secara
intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda spinalis dalam 2-14 hari. Transpor
awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian pada neuron sensorik dan autonom. Ketika
mencapai badan sel toksin dapat berdifusi keluar dan mempengaruhi neuron-neuron lain. Apabila
terdapat toksin dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan
dengan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Ketika mencapai korda spinalis, rantai ringan
memasuki neuron inhibitori sentral kemudian memecah sinaptobrevin, senyawa yang penting
dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel. Tetanospasmin memiliki efek
predominan terhadap neuron inhibitori dan yang pertama terkena adalah neuron yang
menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya neuron simpatetik preganglionik di kornu lateralis
dan pusat parasimpatetik juga terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya aksi inhibitori pada
neuron motorik dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang
terus menerus (spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau
cahaya dan hiperaktivitas autonomik. Transpor intraneural retrograd yang lebih lanjut terjadi dan
toksin mencapai batang otak dan diensefalon
6,13
striknin 2,5
Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan asetilkolin ke celah
Andre H Simarmata 11.2013.145
andre14guitarist@gmail.com
Fakultas Kedokteran Kristen Krida WacanaPage 8
neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin botulinum yang menimbulkan
gejala paralisis flasid. Meskipun demikian, pada tetanus efek disinhibitori motoneuron
melampaui penurunan fungsi pada sambungan neuromuskular sehingga yang tampak adalah
akibat dari gangguan inhibisi. Efek pre-junctional pada sambungan neuromuskular dapat
menyebabkan terjadinya kelemahan diantara spasme dan dapat merupakan penyebab paralisis
nervus kranialis yang ditemukan pada tetanus sefalik dan miopati yang ditemukan setelah
penyembuhan 13
Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motoneuron pada medula
spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang dapat menyerupai
konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot agonis dan
antagonis berkontraksi secara bersamaan. Spasme otot sangat nyeri dan dapat menyebabkan
fraktur serta ruptur tendon. Otot-otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang pertama kali
terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot tubuh dan
ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh. Pelepasan impuls
autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan kontrol autonomik dengan overaktivitas
simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat pada neuron tidak
dapat dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat ireversibel dan
proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga perbaikan klinis
baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai 3,11,13
2.5.2.Tetanus sefalik
Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden sekitar 6%) dan
merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-otot nervus kranialis
terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul setelah otitis media kronik maupun
cidera kepala (kulit kepala, mata dan konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi
klinis yang dapat timbul dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat
paralisis nervus VII (paling sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta
ptosis akibat paralisis nervus III. Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general.
Tingkat mortalitas yang dilaporkan tinggi, yaitu 15-30% 2,3,11
Gambar 4. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan tetanus sefalik.
Sumber: Cook, 2001
2.5.3.Tetanus general
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari tetanus general
adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme otot
maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher, kesulitan menelan,
rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperatur 2-4C di atas suhu normal. Spasme
otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai
risus sardonicus (sardonic smile). Spasme otot-otot somatik yang luas menyebabkan tubuh
penderita membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan
fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan 5
Andre H Simarmata 11.2013.145
andre14guitarist@gmail.com
Fakultas Kedokteran Kristen Krida WacanaPage 11
Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh merupakan
karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara intermiten, ireguler, tidak
dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Pada
awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang, lama
kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi
secara spontan atau dipicu berbagai stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika
urinaria dan rektum atau sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu kejang
paroksismal. Udara dingin, suara, cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk
minum dapat memicu spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat
terjadi akibat spasme tersebut. Terkadang pasien dengan tetanus general menampakkan
manifestasi autonomik yang mempersulit perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa.
Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan pada pasien usia tua atau
pecandu narkotik dengan tetanus. Overaktivitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi
ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardia,
berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung 5
Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami nyeri hebat
pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu, yaitu waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan transpor toksin yang sudah berada intraaksonal, setelah
antitoksin diberikan. Apabila antitoksin tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi
dalam beberapa bulan sampai produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi
pembentukan neuromuscular junction yang baru 2
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. (a) Risus sardonikus; (b) Opistotonus; (c) Anak penderita tetanus yang menangis akibat kontraksi
otot yang nyeri. Sumber: Cook, 2001
2.5.4.Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses pertolongan persalinan
yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun obat-obatan yang terkontaminasi
spora C. tetani. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional
yang tidak steril merupakan faktor utama dalam terjadinya tetanus neonatorum 14
Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general. Gejala awal ditandai
dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir. Gejala lain termasuk
iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus sardonikus, peningkatan rigiditas, dan
opistotonus 3
2.6. Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dibandingkan
berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada daerah dengan insiden
tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara berkembang dimana tetanus jarang
ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks
tendon dalam yang meningkat, kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan
sistem saraf sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun
general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum
tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas 5,8
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya sekitar sepertiga
pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi C. tetani dari luka
terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. tetani
dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen
pada suhu 80C selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme
kompetitor tidak berspora sebelum media kultur diinokulasi 5
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan cairan serebrospinal
normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasil elektromiografi dan
elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu diagnosis. Pada kasus tertentu apabila
terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi dapat menunjukkan inversi gelombang T. Sinus
takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien
yang memiliki riwayat dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen
serum harus diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap
protektif 5,9
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa sistem
skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia.
Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis 11,15
Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus
Parameter
Masa inkubasi
Lokasi infeksi
Status imunisasi
Faktor pemberat
< 48 jam
2-5 hari
6-10 hari
11-14 hari
> 14 hari
Internal dan umbilikal
Leher, kepala, dinding tubuh
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
Tidak diketahui
Tidak ada
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonatus)
> 10 tahun yang lalu
< 10 tahun yang lalu
Imunisasi lengkap
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa
Keadaan yang tidak mengancam nyawa
Trauma atau penyakit ringan
ASA derajat I
Nilai
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
10
8
4
2
0
10
8
4
2
1
Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada
empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor pemberat. Skor
dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9
tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.
Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett
Grade I (ringan)
Grade II (sedang)
Grade III A (berat)
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut beberapa
literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan 9,13,16. Udwadia (1992) kemudian
sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor Udwadia 17
Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia
Grade I (ringan)
Grade II (sedang)
Grade III (berat)
Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar, Senegal pada
tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah muncul
gejala klinis pertama 9
Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus
Faktor prognostik
Skor 1
Skor 0
Masa inkubasi
Periode onset
< 7 hari
< 2 hari
Umbilikus, luka bakar, uterus,
fraktur terbuka, luka operasi,
injeksi intramuskular
Ada
> 38.4oC
Dewasa > 120 kali/menit
Neonatus > 150 kali/menit
Tempat masuk
Spasme
Demam
Takikardia
Sumber: Ogunrin, 2003.
Skor 0-1
Skor 2-3
Skor 4
Skor 5-6
Gambaran diferensial
Demam, trismus ridak ada, penurunan kesadaran, cairan
serebrospinal abnormal.
Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid, cairan
serebrospinal abnormal.
Rabies
Lesi orofaring
Peritonitis
KELAINAN METABOLIK
Tetani
Keracunan striknin
Reaksi fenotiazin
PENYAKIT SISTEM SARAF PUSAT
Status epileptikus
Perdarahan atau tumor (SOL)
KELAINAN PSIKIATRIK
Histeria
KELAINAN MUSKULOSKELETAL
Trauma
2.8. Penatalaksanaan
Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas dan
mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai berat risiko spasme laring
dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi profilaksis.
Rapid sequence intubation dengan midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif
untuk mendapatkan patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris
yang berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus memiliki
ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan khusus yang sunyi dan
gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu spasme paroksismal. Pasien
harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara
hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil
pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi 11,18
Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu:
1. menetralisir toksin dalam sirkulasi;
2. menghilangkan sumber tetanospasmin; dan
3. memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron
dimetabolisme 5
Andre H Simarmata 11.2013.145
andre14guitarist@gmail.com
Fakultas Kedokteran Kristen Krida WacanaPage 18
Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human tetanus immunoglobulin
(HTIG). Belum ada konsensus mengenai dosis tepat HTIG untuk tetanus. Bhatia (11) menyarankan
pemberian dosis tunggal 3000-6000 IU secara intramuskular, sedangkan dosis yang disarankan
dalam formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU (19). Waktu paruh HTIG sekitar 23
hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan diberikan lewat jalur
intravena karena mengandung anti complementary aggregates of globulin yang dapat
mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus serum
(ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000
IU antitoksin dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena,
pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU) diberikan
secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dari serum kuda sehingga berpotensi
besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga pemberiannya harus didahului oleh skin test
yaitu 0,1 mL ATS diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10
kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap tetanospasmin yang
belum memasuki sistem saraf 14,16
Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan debridemen luka.
Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB per hari dibagi 2-4 dosis)
dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G merupakan antagonis reseptor GABA sehingga
dapat bekerja secara sinergis dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan antibiotik
pilihan pertama untuk tetanus karena relatif murah dan penetrasi lebih baik ke jaringan
anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg setiap 6 jam diberikan melalui jalur intravena
atau per oral selama 10-14 hari. Antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap
Metronidazole adalah Doksisiklin 100 mg setiap 12 jam selama 7-10 hari. Makrolida,
Klindamisin, Sefalosporin, dan Kloramfenikol juga efektif
Pada perawatan luka dilakukan debridemen luka dengan membuang benda asing, eksisi jaringan
nekrotik, serta irigasi luka. Larutan hidrogen peroksida (H2O2) dapat digunakan dalam perawatan
Andre H Simarmata 11.2013.145
andre14guitarist@gmail.com
Fakultas Kedokteran Kristen Krida WacanaPage 19
luka. Perawatan luka dilakukan 1-2 jam setelah pemberian HTIG atau ATS dan antibiotik 14,16
Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) di ruangan tindakan khusus/ruang operasi. Tindakan
debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) sangat dibutuhkan untuk membuang jaringan
nekrotik yang dapat menghalangi proses penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk
pertumbuhan bakteri. Saat ini, selain dengan melakukan tindakan debridement luka secara
pembedahan, untuk membuang jaringan nekrotik pada luka tetanus dapat digunakan bahan terapi
topikal modern yang lebih hemat biaya (seperti hidrogel) yang berfungsi sebagai autolisis
debridement. Autolisis debridement adalah suatu cara peluruhan jaringan nekrotik yang
dilakukan oleh tubuh sendiri dengan syarat utama: lingkungan luka harus dalam keadaan lembab.
Pada keadaan lembab, enzim proteolitik secara selektif akan melepas jaringan nekrotik. Pada
keadaan melunak, jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan sendirinya. Dengan metode
autolisis debridement ini, diharapkan dapat mengurangi tindakan manipulasi terhadap terjadinya
spasme/kejang pada anak.
Perawatan luka pada tetanus dengan menggunakan bahan terapi topikal adalah sebagai berikut:
Kemudian oleskan hidrogel ke dalam luka. Posisi luka pasien harus mudah
dicapai sehingga hidrogel dapat diolesi langsung kedalam luka.
Tutup dengan kasa yang sangat tipis dengan sedikit plester, tetapi tidak terlalu
rapat (karena hidrogel memerlukan balutan sekunder).
orang dewasa < 55 tahun, 500 mcg < 16 tahun, dan 800 mcg > 55 tahun; diberikan awalnya
dengan bolus intermiten pada interval 10-20 jam tergantung respon pasien atau diberikan dengan
infus kontinyu apabila dibutuhkan. Dantrolene merupakan relaksan otot kerja langsung yang
bekerja dengan menginhibisi pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma dan seara langsung
mempengaruhi coupling eksitasi-kontraksi. Dantrolene telah digunakan dalam beberapa kasus
dan memiliki keuntungan karena tidak membutuhkan pernapasan buatan, tetapi Dantrolene
belum dapat direkomendasikan untuk penggunaan rutin karena belum banyak penelitian
melibatkan obat ini, harga yang mahal, dan potensi efek hepatotoksik. Spasme otot yang tidak
dapat dikontrol dengan benzodiazepin harus ditangani dengan pemberian agen blokade
neuromuskuler, diantaranya atrakurium dan vekuronium. Vekuronium memiliki sifat kardiostabil
11,19
Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh instabilitas
autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan diperkirakan dipicu oleh kadar katekolamin
yang tinggi dan efek langsung toksin terhadap miokardium. Aktivitas simpatetik yang memanjang
dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardia. Overaktivitas parasimpatetik dapat menyebabkan
henti sinus, yang telah dikaitkan dengan efek langsung perusakan nukleus vagal oleh toksin.
Atropin dosis tinggi (hingga 100 mg/jam) dianjurkan apabila bradikardia merupakan manifestasi
utama 19
Sedasi merupakan tindakan awal untuk mengendalikan instabilitas autonomik terutama
menggunakan morfin yang efektif menurunkan output katekolamin. Blokade beta, meskipun
secara teoritis berguna mengontrol episode hipertensi dan takikardia, berhubungan dengan kolaps
kardiovaskular tiba-tiba, edema pulmoner, dan kematian. Obat lain yang telah digunakan termasuk
klonidin dan magnesium. Klonidin merupakan agonis 2-adrenergik yang menurunkan aliran
simpatis, tekanan arteri, denyut jantung, dan pelepasan katekolamin. Klonidin dapat diberikan
secara oral dan parenteral. Magnesium telah meningkat penggunaannya sebagai terapi multimodal
tetanus. Magnesium bekerja melalui beberapa cara diantaranya memblok pelepasan katekolamin
Andre H Simarmata 11.2013.145
andre14guitarist@gmail.com
Fakultas Kedokteran Kristen Krida WacanaPage 22
dari saraf dan medula adrenal dan mengurangi respon reseptor terhadap katekolamin. Magnesium
juga merupakan bloker neuromuskular presinaptik sehingga berguna untuk mengontrol rigiditas
dan spasme. Dosis yang direkomendasikan adalah 20 mmol/jam dan disesuaikan untuk mencapai
konsentrasi plasma 2,5-4,0 mmol/liter. Konsentrasi kalsium plasma harus dimonitor selama
pemberian magnesium karena dapat menghambat pelepasan hormon paratiroid 19
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah pengaturan diet yang adekuat. Kebutuhan energi pada
tetanus meningkat karena spasme berulang dan overaktivitas sistemik. Pemberian nutrisi harus
dimulai sejak dini, idealnya melalui jalur enteral untuk mempertahankan integritas
gastrointestinal. Pada penderita tetanus diberikan diet cukup kalori dan protein melalui jalur
enteral maupun parenteral. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan
menelan. Selama pasase usus baik diberikan nutrisi enteral. Apabila ada trismus makanan dapat
diberikan lewat pipa lambung maupun gastrostomi 10,14,15,19
Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi tetanus ulangan
karena jumlah tetanospasmin yang dibutuhkan untuk menyebabkan tetanus tidak cukup untuk
menstimulasi sistem imunitas tubuh. Pasien yang sembuh dari tetanus harus memulai atau
melengkapi imunisasi aktif dengan tetanus toksoid selama proses penyembuhan 2
Untuk menilai kemajuan perjalanan penyakit selama masa perawatan telah dikembangkan bentuk
skor Phillips lain yang khusus untuk masa perawatan yang ditunjukkan dalam tabel 10.
Tabel 6. Skor Phillips selama perawatan pasien dengan tetanus.
Parameter
Spasme
Opistotonus
Kejang seluruh badan
Kejang terbatas
Kaku seluruh badan
Hanya trismus
Frekuensi spasme
Nilai
5
4
3
2
1
5
4
3
2
Dengan rangsangan
6 kali dalam 12 jam
Suhu
Pernapasan
> 38.8
38.3-38.8 C
37.8-38.2 C
37.1-37.7 C
36.7-37.0 C
Perlu trakeostomi
Selalu apnea setelah kejang
Kadang apnea setelah kejang
Apnea saat kejang
Sedikit berubah
1
10
8
4
2
0
10
8
4
2
1
Interpretasinya sama dengan skor Phillips sebelumnya yaitu: 1) skor < 9 tetanus ringan, 2)
skor 9-18 tetanus sedang, dan 3) > 18 tetanus berat.
2.9 Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari toksin seperti
aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi sekunder akibat
imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus dekubitus, pneumonia akibat
ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta ruptur tendon akibat spasme otot
Berbagai komplikasi akibat tetanus dirangkum dalam tabel 6.
Tabel 7. Komplikasi akibat tetanus
Sistem organ
Jalan napas
Respirasi
Kardiovaskular
Renal
Gastrointestinal
Muskuloskeletal
Lain-lain
Komplikasi
Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi akibat ventilasi
mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia), komplikasi trakeostomi.
Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia, asistol, gagal
jantung.
Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Stasis, ileus, perdarahan.
Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat spasme.
Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom disfungsi
multiorgan.
2,11
2.10. Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode awal
pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai, serta penyulit
yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk menilai berat penyakit juga
bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring yang dapat digunakan antara lain skor
Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat mortalitas mencapai lebih dari 50% di negaranegara berkembang dengan gagal napas menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas.
Mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 60 tahun 11
2.11 Pencegahan
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan morbiditas dan
mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan
imunisasi aktif dan pasif 15
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan merangsang tubuh
untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan
pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal
imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.
Tabel 8. Jadwal imunisasi aktif terhadap tetanus
Bayi dan anak normal.
Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada keadaan trauma.
Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka khususnya kerentanan
terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Tanpa memperhatikan status imunitas aktif
pasien, pada semua luka harus dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik
aseptik yang hati-hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang
demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus 20
Tampilan klinis
Usia luka
Konfigurasi
Kedalaman
Mekanisme cidera
Tanda-tanda infeksi
Jaringan mati
Kontaminan (tanah, feses,
rumput, saliva, dan lain-lain)
Jaringan denervasi/iskemik
Ada
Sumber: American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma adalah reaksi
neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek samping lokal tidak menjadi
alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid. Berikut adalah panduan pemberian profilaksis
tetanus pada pasien trauma. Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang
inadekuat (imigran, kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus
diterapi sebagai yang riwayatnya tidak diketahui 20
Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis profilaksis HTIG yang
direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular. Apabila diberikan imunisasi tetanus
(TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan, gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat
Andre H Simarmata 11.2013.145
andre14guitarist@gmail.com
Fakultas Kedokteran Kristen Krida WacanaPage 27
injeksi yang terpisah. Apabila tidak tersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus serum (ATS)
yang berasal dari serum kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan reaksi
hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan pada pasien
dengan tes kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden 5-30%). ATS hanya
diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi reaksi yang potensial
terhadap produk ini 5,20,21
Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan, artinya
penderita tersebut memiliki kemungkinan yang sama untuk menderita tetanus seperti orang lain
yang tidak pernah diimunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh
dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak mampu merangsang pembentukan
antitoksin. Tetanospasmin merupakan toksin yang sangat poten sehingga dalam konsentrasi yang
sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah toksin yang masuk ke dalam tubuh dan
menimbulkan tetanus tidak cukup untuk merangsang imunitas aktif penderita 14
Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang yang tidak memiliki
riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang karakteristik sebagai respon imun
sekunder pada beberapa orang yang diberikan imunisasi tetanus toksoid untuk pertama kali. Hal
ini disebut sebagai imunitas alami. Imunitas alami dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi
dari feses manusia. Bakteri yang berada di dalam lumen usus merangsang terbentuknya imunitas
pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi pada beberapa
negara dimana pemberian imunisasi tetanus tidak terlaksana dengan baik 14
BAB III . KESIMPULAN
3.1.
Kesimpulan
Tetanus yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani merupakan penyakit yang telah dikenal
sejauh peradaban manusia, tetapi sampai sekarang belum berhasil dieradikasi karena sifat alami
spora bakteri tersebut yang hidup dalam tanah dan feses hewan. Tetanus dapat dicegah melalui
pemberian imunisasi aktif tetanus toksoid, higiene persalinan yang baik, dan manajemen
perawatan luka yang adekuat.
Pemberian imunitas pasif tetanus dengan antitetanus serum (ATS) sudah tidak dianjurkan karena
risiko reaksi alergi tinggi, tetapi kebanyakan dokter umum di Indonesia pasti akan berhadapan
dengan penggunaan ATS. Hal yang perlu diingat adalah melakukan tes sensitivitas sebelum
pemberian ATS. Desensitisasi dengan metode Bedreska dapat digunakan untuk pasien yang
sangat membutuhkan antitoksin (ATS) tetapi hasil tes sensitivitas positif.
Skor Phillips masih merupakan pilihan dalam menentukan derajat keparahan penyakit tetanus
pada saat pasien masuk dan juga dapat digunakan untuk menilai kemajuan perjalanan penyakit
selama perawatan karena menilai banyak parameter dan
objektif.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, (editor).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2007.
5.
Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al.
Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical
Implants. 2003;13(3):139-54.
6.
7.
8.
Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological Aspects
of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2000;69:292301.
9.
10.
Cottle LE, Beeching NJ, Carrol ED, Parry CM. 2011. Tetanus. (Onine)
https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection, diakses diakses 15 juli 2014.
11.
12.
13.
14.
15.
Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.
16.
Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: TetanusA Health Threat
After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med. 2011;154:329-35.
17.
18.
19.
Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain.
2006;6(3):101-4.
20.
21.