Anda di halaman 1dari 4

REAL FRIEND

Karya Regina Natalina Naomi


Aku tidak tahu, sungguh. Ini mustahil. Aku tidak melakukannya! Aku bukan pelakunya.
Ah ya, perkenalkan aku Sherly. Siswi kelas 3 SMP Nusa Antara. Em, ingin tahu apa yang
kualami? Mmm, mungkin aku perlu bercerita.
Semua dimulai dari sahabatku yang mendapat teror dari orang yang tak dikenal berupa surat
misterius. Semula, sahabatku Andina mengabaikannya, tapi lama-kelamaan ia merasa terusik
juga oleh surat-surat itu.
Ia mulai menyelidiki segala kemungkinan yang berhubungan dengan surat itu. Anehnya,
semua buktinya mengarah padaku. Hei, bukan aku pelakunya! Aku jujur, sungguh.

Real Friend
Kalau buntut masalah ini tidak panjang, aku juga tak akan memproblemkannya. Tapi
sekarang, semua orang menatapku seolah aku adalah kutu di rambut mereka. Mereka semua
menganggapku pengkhianat, jahat, antagonis. Aku benci semua itu. Persahabatanku hancur,
diikuti reputasiku.
Aku berusaha kuat. Kuat saja, kuat. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang-orang
yang hanya bisa menuduh tanpa membuktikannya.
Segala masalah ini membuatku lelah. Lebih baik aku beristirahat.
***
"Liat tuh, si pengkhianat. Hah, jahat banget dia. Masih belagak ga ada apa-apa lagi. Idih, jijik
gue." Suara seorang siswa mulai menghinaku. Aku bersikap santai dan tidak menghadapi
dengan harap dia lelah sendiri.
Tapi nampaknya itu mustahil. Dia malah terus menghinaku, terus. Dan itu didepan Andina
dan membuatnya semakin benci denganku.
Apa jangan jangan... Dia pelakunya? Dara pelakunya? Astaga, apa yang dia harapkan dengan
berbuat seperti itu? Berharap Vieno beralih padanya? Mencari sensasi? Atau apa?
Tapi itu jelas tidak mungkin. Tidak mungkin.

***
Aku memejamkan mataku. Lelah mendera, menuntutku segera tidur. Tapi beban yang
menimpaku ini seolah menahanku, tidak dapat beristirahat dengan tenang. Memoriku
mengingat saat Andina pertama kali mendapat surat teror itu.
"Ada apa, An?"
"Tau nih, ada surat buat gue,"
"Surat cinta kali?"
Andina nyengir. "Pengennya sih gitu.
"Yaudah, buka aja!"
"Oke..."
Heh, Andina anak sok manis
Gue ingetin, jangan sok! Muak gue ngeliat lo. Inget ya. Awas lo. Jika lo terus tebar pesona
sama si dia gue bisa pastiin semua bisa mengancam hidup lo. Gue gak akan biarin lo hidup
tenang! Ngerti?
Wajah Andina syok, tapi sejenak kemudian dia bersikap santai dengan berkata, "Biarin aja.
Orang iseng kali!"
Aku ingat, saat itu aku hanya mengangkat bahu tidak tahu. Lagipula aku bisa menanggapi
apa? pikirku kala itu.
Aku mengerjapkan mata pelan. Kupandangi sebuah gelang pemberian Andina yang
melingkar di pergelanganku. Benarkah Andina sahabatku? Kenapa dia mudah terhasut orang
lain? Sahabat yang sejati tak akan langsung mudah percaya pada perkataan tanpa bukti orang
lain yang memfitnah sahabatnya, bukan?
Ah, aku ingat ibuku sempat berkata bahwa ada surat untukku sebelum ia berangkat kerja.
Kubuka amplop itu.
...
Heh Sherly,
Gimana? Enak, diabaiin temen? Enak? Mudah mudahan lo suka.
Tunggu aja deh, masih ada kejutan lainnya buat lo. Semoga lo suka, haha!
Pengen ga diganggu oleh masalah ini lagi? Gue liat mata lo berkantung gitu ya. Haha. Mau
gak gue kembaliin sahabat dan reputasi lo? Tapi ada syaratnya. Jauhin Vieno!
From someone who hate you
...
Aku tercekat. Mataku mengerjap beberapa kali. Nyatakah ini? Siapa? Siapa yang tega
melakukan ini?
Dia ingin aku menjauhi Vieno? Vieno sahabatku, tetangga sejak kecilku, sekaligus sepupu
baikku?
Ini harus diluruskan.
***
Ien, gw tunggu lo di tempat biasa yo. gpl. penting bro, cepet.
Begitulah isi SMS yang kukirimkan pada Vieno. Aku memang harus mengkoordinasikan ini
pada sepupu terdekatku ini. Jika tidak, masalah semakin panjang dan aku akan semakin stres.
Oke sis, gw dtng segera.
Aku menghela napas lega. Semoga masalah pelik ini dapat semakin cepat terurai.
***
"Ada apa, sis?"

"Gini, ..." Aku menjelaskan segala beban yang bertengger di pundakku yang kutanggung
sendiri selama sebulan ini. Vieno mengangguk mengerti.
"Iya, gue emang keren, jadi banyak fansnya."
"Eh, gue udah panik gini lo malah narsis gitu, Ien? Woy, nyadar bro!"
"Becanda kali Sher! Oke, gini aja. Lo laksanain peritah orang nyebelin itu."
"Lalu?"
"Nanti kita omongin lagi. Oke, sekarang lo mau traktir gue?"
"Dasar!"
***
...
Sherly sok cantik!
Lo gak denger omongan gue kemaren? Kenapa lo malah nemuin Vieno? Pake becanda2 gitu
lagi, iewh.
Gue mau ketemu lo, sok cantik! Belakang sekolah, besok pulang sekolah. Jangan ajak
siapapun!
Inget!
...
Mau apa sih, orang ini? Jahat sekali. Oke, aku akan pergi.
***
Kupandangi seluruh penjuru taman belakang ini. Mana si misterius itu? Pengecutkah dia
sehingga berubah pikiran?
"Gue kira lo ga dateng, Sherly."
Suara itu- Dara! Benar dugaanku. Aku memutar tubuhku.
"Kenapa lo nantangin gue kesini?" nada ucapanku gagah berani sekaligus menantang.
"Berani? Oke, gue minta lo jauhin Vieno!"
"Kenapa begitu?" tanyaku.
"Karena gue suka sama Vieno!"
"Kalo gue bilang, gue dan Vieno ga punya hubungan khusus, masalah lo apa?"
"Cih!" cibir Dara meremehkan. "Keliatan akrab begitu!"
"Karena gue sepupu Vieno!"
Dara membeku. Pipinya mulai berubah soft pink. Dia tak mampu berbicara. Aku
mengalahkannya dalam satu kalimat.
"Kenapa diem? Malu atau apa?"
Dara terduduk lemas. "Sori..."
"Trus gimana lo blikin semua ini? Bisa?"
"Gue coba..."
***
Keadaan membaik. Semua tak memandangku layak kotoran di sepatu.
Tetapi aku mendiamklan Andina. Ternyata Andina disuruh Dara, lalu Andina menurutinya,
dan itu membuatku berang! Sahabat sejak SD-ku dengan mudahnya menuruti orang yang
baru dikenalnya tidak sampai setahun. Huh, baik sekali.
Andina berusaha meminta maaf padaku, aku terus mengabaikannya. Ia mengikutiku saat
perjalanan pulang, mencoba menjelaskan. Semula, aku tak mengindahkannya. Tapi satu
kalimat langsung membuat persepsiku berubah.
"Gue ga mau lo terluka..."
Aku menoleh padanya.
"Gue ga mau lo disakitin Dara. Dia bilang akan nyakitin lo kalo gue ga ngelakuin apa yang

dia mau. Sebenernya, gue tersiksa, Sher, gue kesiksa ngeliat lo sedih banget gitu. Tapi kalo
gak..."
"Stt," potongku. "Thanks ya An... Perhatian lo baik banget. Maaf gue sempet prasangka
buruk sama lo..."
"Gue yang harusnya minta ma..."
'Sttt, udahlah. Yang penting... Friend?"
"Friend! Thanks Sher, lo mau maafin gue!"
Aku memeluk Andina. Sahabatku, selamanya takkan berubah. Sahabat sejatiku yang rela
mengorbankan perasaannya demi menyelamatkan hati sahabatnya, meski dia kurang berpikir
lebih jauh. Tapi dia tetap sahabat sejatiku.
Andina balas memelukku. "Thanks..." bisiknya.

Anda mungkin juga menyukai