Mike Kasus 6
Mike Kasus 6
Michael
102010280
B4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta 11510
Email: linderendie@gmail.com
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum perlu diwujudkan sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 melalui
Pembangunan Nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya
manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta disusun dalam satu program kesehatan dengan
perencanaan terpadu yang didukung oleh data dan informasi epidemiologi yang valid.
Salah satu strategi pembangunan kesehatan nasional untuk mewujudkan Indonesia
Sehat 2010 adalah menerapkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, yang berarti
setiap upaya program pembangunan harus mempunyai kontribusi positif terhadap
terbentuknya lingkungan yang sehat dan perilaku sehat. Sebagai acuan pembangunan
kesehatan mengacu kepada konsep Paradigma Sehat yaitu pembangunan kesehatan yang
memberikan prioritas utama pada upaya pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) dan
pencegahan penyakit (preventif) dibandingkan upaya pelayanan penyembuhan/pengobatan
(kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) secara menyeluruh dan terpadu dan berkesinambungan.
Gizi Buruk merupakan suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan
nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi
yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang
Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.
Upaya penanggulangan masalah gizi terutama difokuskan pada ibu hamil, bayi, dan
anak balita, karena mereka ini adalah golongan rawan yang paling rentan terhadap
kekurangan gizi serta besarnya dampak yang dapat ditimbulkan. Masalah gizi bukan hanya
masalah kesehatan, tetapi menyangkut masalah sosial ekonomi, dan perilaku masyarakat.
Dengan demikian, upaya penanggulangan masalah gizi harus dilakukan secara sinergis
meliputi berbagai bidang seperti pertanian, pendidikan dan ekonomi dengan fokus pada
kelompok miskin.
PEMBAHASAN
MASALAH GIZI DI INDONESIA
Masalah gizi adalah gangguan kesehatan seseorang atau masyarakat yang disebabkan
oleh tidak seimbangnya pemenuhan kebutuhannya akan zat gizi yang diperoleh dari
makanan. Masalah gizi atau malnutrition, dibagi dalam dua kelompok yaitu masalah gizikurang (under nutrition) dan masalah gizi-lebih (over nutrition), baik berupa masalah gizimakro ataupun gizi-mikro.1
Masalah gizi makro, terutama Masalah kurang energi dan protein (KEP), telah
mendominasi perhatian para pakar masalah gizi selama puluhan tahun. Pada tahun 1980-an
data dari lapangan di banyak negara menunjukkan bahwa Masalah gizi utama bukan kurang
protein, tetapi lebih banyak karena kurang energi atau kombinasi kurang energi dan protein.
Bayi sampai anak berusia lima tahun, yang lazim disebut balita, dalam ilmu gizi
dikelompokkan sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk
KEP.1
Masalah gizi dihubungkan dengan:
1. Faktor dan penyebab masalah gizi (agent): kekurangan atau kelebihan zat gizi, asupan
makanan dan penyakit yang dapat mempengaruhi status gizi serta faktor-faktor yang
berkaitan
2. Faktor yang ada pada pejamu (host): karakteristik individu yang ada kaitannya dengan
masalah gizi (umur, jenis kelamin, suku bangsa, dll)
3. Faktor yang ada di lingkungan pejamu (environment): lingkungan (rumah, pekerjaan,
pergaulan) yang ada kaitannya dengan masalah gizi.2,3
Epidemiologi
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan dari frekuensi
penyakit pada manusia. Epidemiologi mempelajari tentang distribusi penyakit berdasarkan
umur, jenis kelamin, geografi, dan faktor-faktor penyebab.2,3
Epidemiologi gizi adalah ilmu yang mempelajari determinan dari suatu masalah atau
kelainan gizi.
sebab akibat.
Memberikan informasi yang dibutuhkan untuk merencanakan dan melaksanakan
program pencegahan, kontrol dan penanggulangan masalah gizi di masyarakat.
Etiologi
Penyebab Masalah Gizi di Indonesia
2
Beberapa hal yang dapat diperhatikan dalam menyebabkan masalah gizi, seperti:4
Paritas tinggi
Tingkat sosial ekonomi yang rendah ayah bekerja sebagai tukang es buah
keliling
Tujuan Khusus
Sasaran
Sasaran Posyandu adalah seluruh masyarakat, utamanya:
Bayi
Anak balita
Pembentukan Posyandu sebaiknya tidak terlalu dekat dengan Puskesmas agar pendekatan
pelayanan kesehatan terhadap masyarakat lebih tercapai sedangkan satu Posyandu melayani
100 balita.
Fungsi
Sebagai wadah pemberdayaan masyarakat dalam alih informasi dan keterampilan dari
petugas kepada masyarakat dan antar sesama masyarakat dalam rangka mempercepat
penurunan AKI dan AKB.
Manfaat
1. Bagi Masyarakat
3. Bagi Puskesmas
Kegiatan Posyandu
Kegiatan Posyandu terdiri dari kegiatan utama dan kegiatan pengembangan/pilihan. Secara
rinci kegiatan Posyandu adalah sebagai berikut:
Kegiatan Utama
1. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
a. Ibu Hamil
Pelayanan yang diselenggarakan untuk ibu hamil mencakup:
Penimbangan berat badan dan pemberian tablet besi yang dilakukan oleh
kader kesehatan. Jika ada petugas Puskesmas ditambah dengan pengukuran
tekanan darah dan pemberian imunisasi Tetanus Toksoid. Bila tersedia ruang
pemeriksaan, ditambah dengan pemeriksaan tinggi fundus/usia kehamilan.
Apabila ditemukan kelainan, segera dirujuk ke Puskesmas.
Penyuluhan kesehatan, KB, ASI dan gizi, ibu nifas, perawatan kebersihan
jalan lahir (vagina)
Perawatan payudara.
Penyuluhan
: Pendaftaran.
Meja II
: Penimbangan
Meja III
: Pengisian KMS
Meja IV
Meja V
: Pelayanan KB Kes :
Imunisasi
Pemberian vitamin A Dosis Tinggi berupa obat tetes ke mulut tiap
Februari dan Agustus.
Pembagian pil atau kondom
Pengobatan ringan.
Kosultasi KB-Kes.
Petugas pada Meja I s/d IV dilaksanakan oleh kader PKK sedangkan Meja V merupakan meja
pelayanan paramedis (Jurim, Bindes, perawat dan petugas KB).
Prinsip Pengelolaan Program KIA
Pengelolaan program KIA bertujuan memantapkan dan meningkatkan jangkauan serta
mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Pemantapan pelayanan KIA dewasa ini
diutamakan pada kegiatan pokok sebagai berikut :
Peningkatan deteksi dini risiko tinggi/komplikasi kebidanan, baik oleh tenaga kesehatan
maupun dimasyarakat oleh kader dan dukun bayi, serta penanganan dan pengamatannya
secara terus-menerus.
Peningkatan pelayanan neonatal dan ibu nifas dengan mutu sesuai standar dan
menjangkau seluruh sasaran.5
A.
Pelayanan Antenatal
Pedoman pelayanan kebidanan dasar adalah pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada ibu selama masa kehamilannya sesuai dengan standar pelayanan antenatal seperti
yang ditetapkan dalam buku Pedoman Pelayanan Antenatal bagi Petugas Puskesmas.
Walaupun pelayanan antenatal selengkapnya mencakup banyak hal yang meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium atas
indikasi, serta intervensi dasar dan khusus (sesuai resiko yang ada termasuk penyuluhan dan
8
Dengan demikian maka secara operasional pelayanan antenatal yang tidak memenuhi standar
minimal 5 T tersebut belum dianggap suatu pelayanan antenatal. Selain itu, pelayanan
antenatal ini hanya dapat diberikan oleh tenaga kesehatan, dan tidak dapat dilakukan oelh
dukun bayi.
Ditetapkan pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama
kehamilan, dengan ketentuan waktu sebagai berikut :
Standar waktu pelayanan antenatal tersebut ditentukan untuk menjamin mutu pelayanan,
khususnya dalam memberi kesempatan yang cukup dalam menangani kasus risiko tinggi
yang ditemukan.
B.
Pertolongan Persalinan
Dalam program KIA dikenal beberapa jenis tenaga yang memberikan pertolongan
persalinan kepada masyarakat. Jenis tenaga tersebut adalah: dokter spesialis kebidanan,
dokter umum, bidan, perawat bidan.
Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Sterilitas/pencegahan infeksi.
Dengan penempatan bidan di desa, diharapkan secara bertahap jangkauan persalinan oleh
tenaga kesehatan terus meningkat dan masyarakat semakin menyadari pentingnya persalinan
yang bersih dan aman.
C.
penganan ibu hamil berisiko/komplikasi kebidanan perlu lebih ditingkatkan baik di fasilitas
pelayanan KIA maupun di masyarakat. Dalam rangka itulah deteksi ibu hamil
beresiko/komplikasi kebidanan perlu difokuskan kepada keadaan yang menyebabkan
kematian ibu bersalin di rumah dengan pertolongan oleh dukun bayi.
Kehamilan merupakan proses reproduksi yang normal, tetapi perlu perawatan diri
yang khusus agar ibu dan janin dalam keadaan sehat. Kerena itu kehamilan yang normalpun
mempunyai resiko kehamilan, namun tidak secara langsung meningkatkan risiko kematian
ibu. Keadaan-keadaan tersebut dinamakan faktor risiko.
Faktor risiko pada ibu hamil di antaranya adalah :
Berat badan kurang dari 38 kg atau lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm
Riwayat keluarga menderita penyakit kencing manis, hipertensi dan riwayat cacat
kongenital.
Semakin banyak ditemukan faktor risiko pada seorang ibu hamil maka semakin tinggi risiko
kehamilannya.
Risiko
tinggi/komplikasi
kebidanan
pada
kehamilan
merupakan
keadaan
penyimpangan dari normal, yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu
maupun bayi.
D. Penanganan Komplikasi Kebidanan
Kejadian komplikasi kebidanan dan risiko tinggi diperkirakan terdapat pada sekitar
antara 15-20% ibu hamil. Komplikasi dalan kehamilan dan persalinan tidak selalu dapat
diduga atau diramalkan sebelumnya, sehingga ibu hamil harus berada sedekat mungkin pada
sarana pelayanan yang mampu memberi pelayanan obstetri dan nenonatal emergensi dasar
(PONED). Agar puskesmas mampu PONED maka harus didukung pula oleh tenaga medis
terampil yang telah dilatih dan adanya sarana baik medis dan non medis yang memadai.
Kebijaksanaan Depkeds dalam penyediaan puskesmas mampu PONED dalah bahwa
setiap kebupaten/kota harus mempunyai minimal 4 (empat) puskesmas mampu PONED.
10
Untuk keperluan tersebut, Depkes RI telah menerbitkan pedoman khusus yang dapat menjadi
acuan pengembangan puskesmas mampu PONED.
E.
Menurut SKRT tahun 2001, penyebab utama kematian neonatal adalah berat badan lahir
rendah (BBLR) sebesar 29%, asfiksia 27% dan tetanus neonatum 10%. Upaya yang
dilakukan untuk mencegah kematian neonatal diutamakan pada pemeliharaan kehamilan
sebaik mungkin, pertolongan persalinan sesuai dengan standar pelayanan dan perawatan bayi
baru lahir yang adekuat termasuk perawatan tali pusat yang higienis.
= x 100%
Jumlah sasaran balita yang ada di wilayah kerja
11
100%
Jumlah sasaran balita yang ada di wilayah kerja
Jumlah balita yang yang
naik berat badannya (N)
Presentase N/D
100%
Jumlah balita yang ditimbang
A.
Pengertian Imunisasi
Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan
memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang
mewabah atau berbahaya bagi seseorang.Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal
atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau
resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit lain diperlukan
imunisasi lainnya (Umar,2006).
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan
menderita penyakit tersebut. Tujuan Umum program imunisasi adalah turunnya angka
kesakitan, kecacatan dan kematian bayi akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I). sedangkan tujuan khususnya adalah tercapainya target Universal Child Immunization
yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di 100%
desa/kelurahan pada tahun 2010, tercapainya eliminasi tetanus maternal dan neonatal (insiden
dibawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun), tercapainya pemutusan rantai
penularan
Poliomyelitis
pada
tahun
2004-
12
2005, serta sertifikasi bebas polio pada tahun 2008, tercapainya reduksi campak (RECAM)
pada tahun 2005.6
B.
Jenis-jenis Imunisasi
1. IMUNISASI BCG
Ketahanan terhadap penyakit TB (Tuberkulosis) berkaitan
dengan keberadaan virus tubercle bacili yang hidup di dalam
darah. Itulah mengapa, agar memiliki kekebalan aktif,
dimasukkanlah jenis basil tak berbahaya ini ke dalam tubuh, alias
vaksinasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin).
Seperti diketahui, Indonesia termasuk negara endemis TB (penyakit TB terus-menerus ada
sepanjang tahun) dan merupakan salah satu negara dengan penderita TB tertinggi di dunia.
TB disebabkan kuman Mycrobacterium tuberculosis, dan mudah sekali menular melalui
droplet, yaitu butiran air di udara yang terbawa keluar saat penderita batuk, bernapas ataupun
bersin. Gejalanya antara lain: berat badan anak susah bertambah, sulit makan, mudah sakit,
batuk berulang, demam dan berkeringat di malam hari, juga diare persisten. Masa inkubasi
TB rata-rata berlangsung antara 8-12 minggu.
Jika anak positif terkena TB, dokter akan memberikan obat antibiotik khusus TB yang harus
diminum dalam jangka panjang, minimal 6 bulan. Lama pengobatan tak bisa diperpendek
karena bakteri TB tergolong sulit mati dan sebagian ada yang tidur. Karenanya, mencegah
lebih baik daripada mengobati. Selain menghindari anak berkontak dengan penderita TB,
juga meningkatkan daya tahan tubuhnya yang salah satunya melalui pemberian imunisasi
BCG.
* Jumlah Pemberian: Cukup 1 kali saja, tak perlu diulang (booster). Sebab, vaksin BCG
berisi kuman hidup sehingga antibodi yang dihasilkannya tinggi terus. Berbeda dengan
vaksin berisi kuman mati, hingga memerlukan pengulangan.
* Usia Pemberian: Di bawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan, disarankan tes
Mantoux (tuberkulin) dahulu untuk mengetahui apakah si bayi sudah kemasukan kuman
Mycobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil tesnya negatif. Jika
ada penderita TB yang tinggal serumah atau sering bertandang ke rumah, segera setelah lahir
si kecil diimunisasi BCG
* Lokasi Penyuntikan: Lengan kanan atas, sesuai anjuran WHO. Meski ada juga petugas
medis yang melakukan penyuntikan di paha.
13
* Efek Samping: Umumnya tidak ada. Namun pada beberapa anak timbul pembengkakan
kelenjar getah bening di ketiak atau leher bagian bawah (atau di selangkangan bila
penyuntikan dilakukan di paha). Biasanya akan sembuh sendiri.
* Tanda Keberhasilan: Muncul bisul kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6
minggu. Tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Bisul akan sembuh sendiri dan
meninggalkan luka parut.
Jikapun bisul tak muncul, tak usah cemas. Bisa saja dikarenakan cara penyuntikan yang
salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu keahlian khusus karena vaksin harus masuk ke
dalam kulit. Apalagi bila dilakukan di paha, proses menyuntikkannya lebih sulit karena
lapisan lemak di bawah kulit paha umumnya lebih tebal.
Jadi, meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja dalam kadar rendah.
Imunisasi pun tak perlu diulang, karena di daerah endemis TB, infeksi alamiah akan selalu
ada. Dengan kata lain, anak akan mendapat vaksinasi alamiah.
* Indikasi Kontra: Tak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau menunjukkan
Mantoux positif.
2. Imunisasi Hepatitis B: Lebih dari 100 negara memasukkan vaksinasi ini dalam program
nasionalnya. Apalagi Indonesia yang termasuk negara endemis tinggi penyakit hepatitis. Jika
menyerang anak, penyakit yang disebabkan virus ini sulit disembuhkan. Bila sejak lahir telah
terinfeksi virus hepatitis B (VHB), dapat menyebabkan kelainan-kelainan yang dibawanya
terus hingga dewasa. Sangat mungkin terjadi sirosis atau pengerutan hati (kerusakan sel hati
yang berat). Bahkan yang lebih buruk bisa mengakibatkan kanker hati.
Banyak jalan masuknya VHB ke tubuh si kecil. Yang potensial melalui jalan lahir. Bisa sejak
dalam kandungan sudah tertular dari ibu yang mengidap hepatitis B atau saat proses
kelahiran. Cara lain melalui kontak dengan darah penderita, misal transfusi darah.
Bisa juga melalui alat-alat medis yang sebelumnya telah terkontaminasi darah dari penderita
hepatitis B, seperti jarum suntik yang tidak steril atau peralatan yang ada di klinik gigi.
Bahkan juga lewat sikat gigi atau sisir rambut yang digunakan antaranggota keluarga.
Upaya pencegahan adalah langkah terbaik. Jika ada salah satu anggota keluarga dicurigai
kena VHB, biasanya dilakukan screening terhadap anak-anaknya untuk mengetahui apakah
membawa virus atau tidak. Pemeriksaan harus dilakukan kendati anak tak menunjukkan
gejala sakit apa pun. Selain itu, imunisasi merupakan langkah efektif untuk mencegah
masuknya VHB.
* Jumlah Pemberian: Sebanyak 3 kali, dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama dan
kedua, kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.
14
* Usia Pemberian: Sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir. Dengan syarat, kondisi bayi
stabil, tak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Dilanjutkan pada usia 1 bulan, dan usia
antara 3-6 bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu pengidap VHB, selain imunisasi yang
dilakukan kurang dari 12 jam setelah lahir, juga diberikan imunisasi tambahan dengan
imunoglobulin antihepatitis B dalam waktu sebelum berusia 24 jam.
* Lokasi Penyuntikan: Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan pada bayi
di paha lewat anterolateral (antero = otot-otot di bagian depan; lateral = otot bagian luar).
Penyuntikan di bokong tak dianjurkan karena bisa mengurangi efektivitas vaksin.
* Efek Samping: Umumnya tak terjadi. Jikapun ada (kasusnya sangat jarang), berupa keluhan
nyeri pada bekas suntikan, yang disusul demam ringan dan pembengkakan. Namun reaksi ini
akan menghilang dalam waktu dua hari.
* Tanda Keberhasilan: Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan. Namun dapat
dilakukan pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan mengecek kadar
hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya di atas 1000, berarti daya
tahannya 8 tahun; di atas 500, tahan 5 tahun; di atas 200, tahan 3 tahun. Tetapi kalau
angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya nol berarti si
bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.
* Tingkat Kekebalan: Cukup tinggi, antara 94-96%. Umumnya, setelah 3 kali suntikan, lebih
dari 95% bayi mengalami respons imun yang cukup.
* Indikasi Kontra: Tak dapat diberikan pada anak yang menderita sakit berat.
3. Imunisasi Polio
Belum ada pengobatan efektif untuk membasmi polio. Penyakit yang dapat menyebabkan
kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis yang sangat menular. Penularannya bisa
lewat makanan/minuman yang tercemar virus polio.
Bisa juga lewat percikan ludah/air liur penderita polio yang masuk ke mulut orang sehat.
Virus polio berkembang biak dalam tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus, lalu
masuk ke aliran darah dan akhirnya ke sumsum tulang belakang hingga bisa menyebabkan
kelumpuhan otot tangan dan kaki. Bila mengenai otot pernapasan, penderita akan kesulitan
bernapas dan bisa meninggal.
Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah demam 2-5 hari, umumnya akan mengalami
kelumpuhan mendadak pada salah satu anggota gerak. Namun tak semua orang yang terkena
virus polio akan mengalami kelumpuhan, tergantung keganasan virus polio yang menyerang
15
dan daya tahan tubuh si anak. Nah, imunisasi polio akan memberikan kekebalan terhadap
serangan virus polio.
* Jumlah Pemberian: Bisa lebih dari jadwal yang telah ditentukan, mengingat adanya
imunisasi polio massal. Namun jumlah yang berlebihan ini tak akan berdampak buruk. Ingat,
tak ada istilah overdosis dalam imunisasi!
* Usia Pemberian: Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada
usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan
vaksin DTP.
* Cara Pemberian: Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat
mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air, yang digunakan adalah OPV.
* Efek Samping: Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare
ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang.
* Tingkat Kekebalan: Dapat mencekal hingga 90%.
* Indikasi Kontra: Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam
tinggi (di atas 380C); muntah atau diare; penyakit kanker atau keganasan; HIV/AIDS; sedang
menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum; serta anak dengan mekanisme
kekebalan
terganggu.
4. Imunisasi DTP
Dengan pemberian imunisasi DTP, diharapkan penyakit difteri, tetanus, dan pertusis,
menyingkir jauh dari tubuh si kecil. Kekebalan segera muncul seusai diimunisasi.
* Usia & Jumlah Pemberian: Sebanyak 5 kali; 3 kali di usia bayi (2, 4, 6 bulan), 1 kali di usia
18 bulan, dan 1 kali di usia 5 tahun. Selanjutnya di usia 12 tahun, diberikan imunisasi TT
* Efek Samping: Umumnya muncul demam yang dapat diatasi dengan obat penurun panas.
Jika demamnya tinggi dan tak kunjung reda setelah 2 hari, segera bawa si kecil ke dokter.
Namun jika demam tak muncul, bukan berarti imunisasinya gagal, bisa saja karena kualitas
vaksinnya jelek, misal.
Untuk anak yang memiliki riwayat kejang demam, imunisasi DTP tetap aman. Kejang
demam tak membahayakan, karena si kecil mengalami kejang hanya ketika demam dan tak
akan mengalami kejang lagi setelah demamnya hilang. Jikapun orangtua tetap khawatir, si
kecil dapat diberikan vaksin DTP asesular yang tak menimbulkan demam. Kalaupun terjadi
demam, umumnya sangat ringan, hanya sekadar sumeng.
16
* Indikasi Kontra: Tak dapat diberikan kepada mereka yang kejangnya disebabkan suatu
penyakit seperti epilepsi, menderita kelainan saraf yang betul-betul berat atau habis dirawat
karena infeksi otak, dan yang alergi terhadap DTP. Mereka hanya boleh menerima vaksin DT
tanpa
karena
antigen
inilah
yang
menyebabkan
panas.
Penderita akan diberi obat antibiotik untuk mematikan kuman, dan obat untuk
mengurangi/menghentikan batuknya. Istirahat yang cukup, banyak minum, dan konsumsi
makanan bergizi akan membantu mempercepat kesembuhan.
4. Imunisasi Campak
Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring
bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibodi tambahan
lewat pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit campak mudah menular, dan mereka yang
daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit yang disebabkan virus Morbili
ini. Untungnya, campak hanya diderita sekali seumur hidup. Jadi, sekali terkena campak,
setelah itu biasanya tak akan terkena lagi.
Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air ludah (droplet) penderita yang
terhirup melalui hidung atau mulut. Pada masa inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari,
gejalanya sulit dideteksi. Setelah itu barulah muncul gejala flu (batuk, pilek, demam), mata
kemerah-merahan dan berair, si kecil pun merasa silau saat melihat cahaya. Kemudian, di
sebelah dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang akan bertahan 3-4 hari. Beberapa anak
juga mengalami diare.
Satu-dua hari kemudian timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 38-40,5C. Seiring
dengan itu, barulah keluar bercak-bercak merah yang merupakan ciri khas penyakit ini.
Ukurannya tidak terlalu besar, tapi juga tak terlalu kecil. Awalnya hanya muncul di beberapa
bagian tubuh saja seperti kuping, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Dalam waktu 1 minggu,
bercak-bercak merah ini akan memenuhi seluruh tubuh. Namun bila daya tahan tubuhnya
baik, bercak-bercak merah ini hanya di beberapa bagian tubuh saja dan tidak banyak.Jika
bercak merah sudah keluar, umumnya demam akan turun dengan sendirinya. Bercak merah
pun akan berubah jadi kehitaman dan bersisik, disebut hiperpigmentasi. Pada akhirnya bercak
akan mengelupas atau rontok atau sembuh dengan sendirinya. Umumnya, dibutuhkan waktu
hingga 2 minggu sampai anak sembuh benar dari sisa-sisa campak. Dalam kondisi ini,
tetaplah meminum obat yang sudah diberikan dokter. Jaga stamina dan konsumsi makanan
bergizi. Pengobatannya bersifat simptomatis, yaitu mengobati berdasarkan gejala yang
muncul. Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang efektif mengatasi virus campak. Jika tak
ditangani dengan baik campak bisa sangat berbahaya. Bisa terjadi komplikasi, terutama pada
campak yang berat. Ciri-ciri campak berat, selain bercaknya di sekujur tubuh, gejalanya tidak
membaik setelah diobati 1-2 hari. Komplikasi yang terjadi biasanya berupa radang paru-paru
(broncho pneumonia) dan radang otak (ensefalitis). Komplikasi inilah yang umumnya paling
sering menimbulkan kematian pada anak.
18
Usia & Jumlah Pemberian: Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun.
Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah
menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai
12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi
MMR (Measles Mumps Rubella).
Efek Samping: Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bisa menyebabkan demam dan
diare, namun kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu. Kadang juga
terdapat efek kemerahan mirip campak selama 3 hari. 7
19
diluruskan.
Umumnya memang semua vaksin akan rusak bila terpapar panas atau terkena sinar matahari
langsung. Misalnya jika vaksin disimpan pada suhu ruang (30C). Namun sebaliknya, beberapa vaksin
ternyata juga tidak tahan terhadap pembekuan, bahkan dapat rusak. Contohnya adalah vaksin inaktif
yang dalam penyimpanannya tidak boleh < 2C apalagi sampai membeku.
Vaksin inaktif bentuk suspensi yang disimpan pada suhu 2-8C, secara normal akan membentuk 2
lapis cairan. Bila vaksin tersebut dikocok, maka vaksin akan homogen. Kemudian vaksin akan
membentuk 2 lapis cairan kembali jika didiamkan dalam waktu yang cukup lama. Berbeda halnya jika
vaksin pernah disimpan difreezer atau pernah beku, vaksin akan membentuk 2 lapis cairan hanya dalam
waktu < 5 menit. Untuk vaksin inaktif bentuk emulsi yang pernah beku, tidak akan menunjukkan
perubahan sejelas vaksin suspensi. Namun dapat dipastikan bahwa potensi dari vaksin itu telah
menurun.
Waktu pengiriman vaksin harus mampu dikelola dengan baik. Perhatikan pula jarak tempuh
21
pengiriman. Hal ini untuk menjamin ketepatan waktu pengiriman dan memperkecil
kemungkinan terjadi kerusakan vaksin selama perjalanan. Dengan kondisi tersebut, diharapkan
pula vaksin selalu dalam kondisi fresh saat akan digunakan oleh peternak.
Cold Chain System dari Hulu ke Hilir
Dalam segala kondisi, suhu vaksin baik aktif maupun inaktif harus dijaga antara 2-8C. Mengacu
pada standar suhu tersebut, maka produsen vaksin harus mampu menerapkan cold chain system dalam
setiap lini penyimpanan dan distribusi vaksinnya
22
Lalu bagaimana jika jarak pengiriman cukup jauh? Apakah vaksin tetap akan dibawa
menggunakan cold box? Tentu hal ini akan menimbulkan resiko besar terhadap kerusakan. Akan
jauh lebih aman apabila cold box hanyadigunakan untuk mengirim vaksin antar wilayah dalam
kota. Sedangkan untuk wilayah yang cukup jauh, gunakan mobil khusus pengirim vaksin yang
dilengkapi dengan mesin pendingin agar suhu tetap terjaga 2-8C.
Lemari es
Penyimpanan vaksin di tingkat konsumen dapat menggunakan lemari es yang diset suhu 2-8C.
Adapun prosedur penyimpanan vaksin yang baik di lemari es antara lain:
1.
Vaksin harus disimpan pada lemari es bagian refrigerator. Jangan menyimpan vaksin pada
bagianfreezer
2.
Vaksin aktif tidak boleh disimpan pada rak di depan pintu freezer
3.
Vaksin inaktif tidak boleh disimpan pada rak yang berada tepat di depan pintu dan di
bawah freezer
4.
5.
Lakukan monitoring suhu lemari es secara rutin agar kerusakan lemari es sejak awal terdeteksi
Definisi
KMS (Kartu Menuju Sehat) untuk balita adalah alat yang sederhana dan murah,
yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan dan pertumbuhan anak. Oleh karenanya
KMS harus disimpan oleh ibu balita di rumah, dan harus selalu dibawa setiap kali
mengunjungi posyandu atau fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk bidan dan dokter.
KMS (Kartu Menuju Sehat) untuk balita adalah alat yang sederhana dan murah,
yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan dan pertumbuhan anak. Oleh karenanya
KMS harus disimpan oleh ibu balita di rumah, dan harus selalu dibawa setiap kali
mengunjungi posyandu atau fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk bidan dan dokter.
KMS berisi catatan penting tentang pertumbuhan, perkembangan anak, imunisasi,
penanggulangan diare, pemberian kapsul vitamin A, kondisi kesehatan anak, pemberian ASI
eksklusif dan Makanan Pendamping ASI, pemberian makanan anak dan rujukan ke
Puskesmas/ Rumah Sakit.
24
KMS juga berisi pesan-pesan penyuluhan kesehatan dan gizi bagi orang tua balita
tenta ng kesehatan anaknya (Depkes RI, 2000).
2.
a)
Sebagai media untuk mencatat dan memantau riwayat kesehatan balita secara lengkap,
meliputi : pertumbuhan, perkembangan, pelaksanaan imunisasi, penanggulangan diare,
pemberian kapsul vitamin A, kondisi kesehatan pemberian ASI eksklusif, dan Makanan
Pendamping ASI.
b)
Sebagai media edukasi bagi orang tua balita tentang kesehatan anak
c)
Sebagai sarana komunikasi yang dapat digunakan oleh petugas untuk menentukan
penyuluhan dan tindakan pelayanan kesehatan dan gizi.
(Depkes RI, 2000)
3.
a.
1)
2)
25
b.
1)
2)
3)
Berat badan balita dibawah garis merah artinya pertumbuhan balita mengalami gangguan
pertumbuhan dan perlu perhatian khusus, sehingga harus langsung dirujuk ke Puskesmas/
Rumah Sakit.
Gambar 9. Indikator KMS bila pertumbuhan balita mengalami gangguan pertumbuhan dan perlu
perhatian khusus
d.
Berat badan balita tiga bulan berturut-turut tidak naik (3T), artinya balita mengalami
gangguan pertumbuhan, sehingga harus langsung dirujuk ke Puskesmas/ Rumah Sakit.
26
Gambar 10. Indikator KMS bila berat badan balita tidak stabil
e.
Balita tumbuh baik bila: Garis berat badan anak naik setiap bulannya.
f.
Balita sehat, jika : Berat badannya selalu naik mengikuti salah satu pita warna atau pindah
ke pita warna diatasnya.
27
Program Gizi
Pemberian Makanan Tambahan
Kebijakan pemerintah dalam pembenahan gizi masyarakat, antara lain melalui
program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi bayi dan balita di posyandu serta
Program Pemberian Makanan Tambahan Bagi Anak Sekolah (PMTAS) di sekolah dasar.
Program ini diprioritaskan pada sekolah dasar yang berada di daerah tertinggal. Kedua
program ini dilakukan untuk menanggulangi masalah kekurangan energi dan protein terutama
pada kelompok rawan gizi.
memberikan bantuan pil untuk penambah darah terutama bagi ibu hamil dan menyusui yang
diberikan secara cuma-cuma melalui pelayanan di posyandu. Guna menanggulangi
kekurangan vitamin A pemerintah memberikan bantuan berupa pemberian kapsul vitamin A
dosis tinggi pada bayi dan balita dua kali dalam setahun. Pelaksanaan pemberian kapsul
vitamin A dilakukan melalui posyandu. Hal ini juga dilakukan untuk upaya pencegahan
terhadap munculnya kekurangan zat gizi pada masyarakat di masa yang akan datang. Selain
itu program pencegahan yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan fortifikasi zat
gizi. Fortifikasi adalah penambahan zat gizi tertentu dalam bahan makanan. Bahan makanan
28
yang difortifikasi adalah bahan makanan yang banyak dikonsumsi, dan dikonsumsi oleh
semua masyarakat.
Program fortifikasi yang dilakukan oleh pemerintah adalah penambahan iodium pada
garam. Ini bertujuan untuk menanggulangan GAKI khususnya di beberapa daerah dan untuk
pencegahan di masa yang akan datang.
penambahan Fe (zat besi) pada tepung terigu yang bertujuan untuk penanggulangan dan
pencegahan anemia pada masyarakat. Terigu dipilih sebgai bahan yang difortifikasi, karena
sebagian besar makanan, baik yang diolah sendiri maupun yang di beli, menggunakan terigu
sebagai bahan pokok.9
Keluarga Berencana
Tujuan Program KB
Tujuan umum adalah membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekutan sosial
ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan kelahiran anak, agar diperoleh suatu
keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sasaran Program KB
Sasaran program KB tertuang dalam RPJMN 2004-2009 yang meliputi:
1 Menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk menjadi sekitar 1,14 persen per
tahun.
2 Menurunnya angka kelahiran total (TFR) menjadi sekitar 2,2 per perempuan.
29
3 Menurunnya PUS yang tidak ingin punya anak lagi dan ingin menjarangkan kelahiran
berikutnya, tetapi tidak memakai alat/cara kontrasepsi (unmet need) menjadi 6%.
4 Meningkatnya pesertaKB laki-laki menjadi 4,5persen.
5 Meningkatnya penggunaan metode kontrasepsi yang rasional, efektif, dan efisien.
6 Meningkatnya rata-rata usia perkawinan pertama perempuan menjadi 21 tahun.
7 Meningkatnya partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang anak.
Jenis-Jenis Kontrasepsi
1.Kondom, bekerja dengan mencegah sperma bertemu dengan sel telur sehingga tidak terjadi
pembuahan. Penggunaan kondom akan lebih efektif bila digunakan bersama dengan
spermatisida (senyawa kimia terdapat dalam bentuk jeli, tablet vagina, kream, busa vaginal
yang berfungsi membunuh sperma). Penggunaan kondom cukup efektif selama digunakan
secara tepat dan benar. Kegagalan kondom dapat diperkecil dengan menggunakan kondom
dengan cara benar, gunakanlah saat ereksi dan lepaskan pada saat ejakulasi. Kegagalan
biasanya terjadi bila kondom robek karena kurang hati-hati atau karena tekanan pada saat
ejakulasi sehingga terjadi perembesan.
Efek samping dari kondom adalah bila terdapat alergi terhadap karet kondom.
Keuntungan dari kondom dapat dibeli secara bebas di apotek-apotek, mudah digunakan dan
kondom juga memperkecil penularan penyakit kelamin.
2. Spermatisida, bahan kimia aktif untuk membunuh sperma, berbentuk cairan, krim atau
tisu vagina yang harus dimasukkan ke dalam vagina 5 menit sebelum senggama.
Efektivitasnya 70%. Sayangnya bisa menyebabkan reaksi alergi. Kegagalan sering terjadi
karena waktu larut yang belum cukup, jumlah spermatisida yang digunakan terlalu sedikit
atau vagina sudah dibilas dalam waktu < 6 jam setelah senggama..
3. Vaginal diafragma, lingkaran cincin dilapisi karet fleksibel ini akan menutup mulut rahim
bila dipasang dalam liang vagina 6 jam sebelum senggama. Efektivitasnya sangat kecil,
karena itu harus digunakan bersama spermatisida untuk mencapai efektivitas 80%. Cara ini
bisa gagal bila ukuran diafragma tidak pas, tergeser saat senggama, atau terlalu cepat dilepas
(< 8 jam) setelah senggama.10
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Widyastuti P, Hardiyanti E.A. Gizi kesehatan masyarakat. EGC, 2005; Jakarta: h.120150.
2. Budiarto. Pengantar epidemiologi. EGC, 2002; Jakarta: h.20-25 .
3. Nasry Noor, Nur M.PH. Epidemiologi. Rineka Cipta, 2008; Jakarta: h.125-30.
4. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. EGC, 2009; Jakarta: h.26770, 284-5.
5. Suparmanto SAS. Petunjuk teknis pengembangan dan penyelenggaraan posyandu.
Departemen Kesehatan RI, 2009; Jakarta: h.30-2, 44-5, 61-2.
6. Departemen Kesehatan RI. Kesehatan Ibu dan Anak dalam Pedoman Kerja
Puskesmas Jilid II. 1990-1991; hal C2-4.
7. Schwartz, M.William. 2004. Clinical Handbook of Pediatrics. Jakarta : EGC
8. Cold chain . diunduh dari http://info.medion.co.id/index.php/artikel/layer/pengobatana-vaksinasi/menjaga-kualitas-vaksin, 1 july 2013
9. Promosi Kesehatan. Diunduh dari http://www.promkes.depkes.go.id/, 1 July 2013
10. Keleher, H., MacDougall, C., & Murphy, B. 2007. Understanding Health Promotion.
Victoria, Australia : Oxford University Press.
31