Anda di halaman 1dari 54

Proposal Penelitian

PEMERIKSAAN TROMBOPOIETIN PADA


SEPSIS NEONATORUM

Oleh :
Yosef Y. D. N. Oematan

Pembimbing :
Dr. Hj. N. Masloman, SpA(K)
Dr. Rocky Wilar, SpA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI
BLU RSU Prof. Dr. R. D. KANDOU
MANADO
2011
0

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Kematian neonatus merupakan komponen utama kematian bayi dan


berpengaruh terhadap tinggi rendahnya angka kematian bayi (infant
mortality rate), yaitu angka yang dipakai sebagai indikator kemajuan
kesehatan di suatu negara. World Health Organization (WHO) melaporkan
bahwa 5 juta bayi tidak mampu bertahan hidup sampai usia 28 hari setiap
tahunnya dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang.
Penyebab kematian neonatus pada negara berkembang berturut-turut
adalah penyakit infeksi/sepsis neonatorum (42%), asfiksia dan trauma
lahir (14%), bayi lahir kurang bulan dan berat lahir rendah (10%), kelainan
bawaan (14%) dan sebab lain (4%).1,2
Angka kejadian sepsis di negara berkembang masih cukup tinggi
(1,8 18 penderita per 1000 kelahiran) dibandingkan negara maju (1 5
penderita per 1000 kelahiran). Sepsis pada neonatus adalah suatu kondisi
yang mengancam nyawa. Timbulnya kejadian sepsis ini berhubungan
dengan masa gestasi, yang mana ditemukan lebih banyak pada neonatus
kurang dari 28 bulan (16,6%) dibandingkan neonatus cukup bulan (0,6%).
Dengan pesatnya kemajuan teknologi kedokteran dan penemuan
bermacam antibiotika baru, serta rekomendasi untuk memulai terapi
antibiotika spektrum luas pada setiap neonatus yang dicurigai sepsis,
didapatkan penurunan angka kematian sepsis neonatorum. Walaupun

demikian, hal ini ternyata tidak memperbaiki angka kejadian sepsis


neonatorum.1,3
Penyebab utama sepsis neonatorum di negara berkembang
termasuk Indonesia adalah kuman gram negatif berupa kuman enterik,
antara lain Enterobacter sp, Klebsiella sp, dan Coli sp.4,5 Selain masalah
identifikasi kuman, diagnosis klinis sepsis neonatorum mempunyai
masalah tersendiri. Gambaran klinis sepsis neonatorum tidak spesifik.
Gejala klinis sepsis spesifik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang
ditemukan

pada

neonatus.

Pelepasan

dini

mediator

inflamasi

menyebabkan letargi, demam, takikardi, takipneu, vasodilatasi, tonus yang


melemah, pucat dan hipotensi. Jika respon tersebut tidak dikontrol dengan
baik, akan menyebabkan hipoperfusi, somnolen dan penurunan jumlah
urin, dan disertai tanda-tanda syok berupa akral dingin dan waktu
pengisian kembali kapiler memanjang. 6,7 Pembuktian infeksi dengan
biakan darah sering tidak menunjukkan hasil yang memuaskan dan hasil
kultur

perlu

waktu

yang

lama.

Keterlambatan

pengobatan

akan

memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan banyak komplikasi


hingga

kematian.

Sebaliknya

penanganan

yang

berlebihan

akan

meningkatkan penggunaan antibiotika dan lama rawat inap di rumah sakit


sehingga

meningkatkan

biaya

untuk

perawatan

dan

pengobatan.

Pemakaian antibiotika yang tidak perlu pada populasi yang rentan


terhadap infeksi seperti pada neonatus telah menciptakan suatu keadaan
resistensi bakterial yang berbahaya dan menyebabkan hasil yang buruk
dalam pemberian antibiotika.8,9

Sepsis

merupakan

akibat

dari

interaksi

kompleks

antara

mikroorganisme patogen dan penjamu yang akan menimbulkan respon


inflamasi dengan meningkatnya sekresi berbagai mediator seperti sitokin,
protein fase akut dan penimbunan leukosit pada jaringan yang terinfeksi.
Pada sepsis terjadi patofisiologi kompleks yang menimbulkan hipotensi
dan obstruksi aliran darah karena pembentukan mikrotrombus pada
sistem kapiler. Hal ini akan mengakibatkan disfungsi organ, yang
selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ dan akhirnya kematian.1013

Respon inflamasi terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan

pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari dinding sel yang


dilepaskan pada saat lisis. Organisme gram positif, jamur dan virus
memulai respon inflamasi dengan pelepasan eksotoksin/superantigen dan
komponen antigen sel.14
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mendiagnosis dini sepsis
neonatorum di antaranya adalah berdasarkan pemeriksaan hematologis.
Pemeriksaan hematologis yang terdiri dari seri eritrosit, leukosit, trombosit
dan faktor koagulasi memberikan gambaran yang berbeda pada sepsis
neonatorum.15,16 Pada seri eritrosit dapat ditemukan anemia dengan
peningkatan ataupun penurunan MCV (mean corpuscular volume), RDW
(red blood cell distribution width) dan hitung retikulosit. Pada seri leukosit
dapat ditemukan leukositosis atau leukopenia, peningkatan rasio neutrofil
imatur dibandingkan total (shift to the left), adanya granula toksik,
vakuolisasi dan atau badan Dhle. Sedangkan bila diperiksa seri trombosit

dapat ditemukan trombositopenia, peningkatan atau penurunan MPV


(mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width).16

Patrick dan Lazarchick menyatakan peningkatan MPV mempunyai


spesifisitas 95% dan peningkatan PDW mempunyai spesifisitas 79%
dalam mendeteksi bakteremia pada neonatus. Keduanya juga mempunyai
negative predictive value yang baik. Pada sepsis neonatorum awitan dini
(SNAD) nilai MPV dan PDW cenderung normal sedangkan pada sepsis
awitan lambat (SNAL) nilai MPV dan PDW meningkat secara dramatis. 17
Dalam penelitiannya, Khashu dkk menyatakan bahwa SNAL terutama
yang

disebabkan

menyebabkan

oleh

coagulase-negative

trombositopenia

yang

staphylococci

bermakna. 18

Torkaman

juga
dkk

mengemukakan bahwa Enterobacter spp adalah organisme yang paling


sering menyebabkan SNAL yang disertai dengan trombositopenia. 19
Akarsu dkk, Charoo dkk dan Bhat dkk bahkan mendapatkan bahwa jumlah
dan indeks trombosit dipengaruhi oleh respon spesifik tubuh terhadap
organisme penyebab sepsis neonatorum. 20-22 Mikroorganisme gram negatif
dan jamur berhubungan dengan lebih rendahnya jumlah trombosit dan
lebih lamanya keadan trombositopenia dibandingkan dengan gram
positif.23 Insiden trombositopenia lebih banyak ditemukan pada infeksi
Candida24, coagulase-negative staphylococci18 dan Enterobacter spp19.
O'Connor dkk mendapatkan peningkatan MPV tanpa trombositopenia
pada saat diagnosis dan kembali normalnya nilai MPV saat infeksi oleh
coagulase-negative

staphylococci

mereda.25

Namun

Manzoni

dkk

menyatakan bahwa trombositopenia tidak dapat dijadikan sebagai

petanda infeksi oleh organisme spesifik terutama pada neonatus kurang


bulan dengan berat badan lahir rendah.26
Trombositopenia pada sepsis neonatorum dapat disebabkan oleh
peningkatan konsumsi trombosit, penurunan produksi trombosit atau
keduanya.27 Pada neonatus, produksi trombosit diatur oleh sitokin
hematopoetik yaitu interleukin (IL)-3, IL-6, IL-11 dan trombopoietin yang
akan menstimulasi diferensiasi megakariosit menjadi trombosit matur. 28
Kurata

dkk

melaporkan

sensitivitas

dan

spesifisitas

pemeriksaan

trombopoietin (TPO) sangat baik dalam mendiagnosis hipoplastik


trombositopenia.29 Oygr dkk menyebutkan bahwa kadar TPO tidak
berbeda bermakna antara neonatus cukup bulan dan kurang bulan yang
mengalami

infeksi.30

Papoff

dkk

dan

Colarizi

dkk

mendapatkan

peningkatan kadar trombopoietin yang berbanding terbalik dengan jumlah


trombosit pada sepsis neonatorum.27,28 Brown dkk mendapatkan kadar
trombopoietin tertinggi pada sepsis yang disebabkan oleh gram negatif. 31
Zakynthinos

dkk

pada

penelitian

orang

dewasa

dengan

sepsis

mendapatkan beratnya derajat sepsis merupakan penentu peningkatan


kadar trombopoietin sehingga TPO dapat dijadikan sebagai salah satu
petanda derajat sepsis.32
Dari data di Sub Bagian Neonatologi BLU RSU Prof. Dr. R.D.
Kandou, Manado diketahui bahwa dari periode Januari 2007 sampai Juni
2008 terdapat 184 bayi dengan diagnosis sepsis neonatorum (3,87% dari
seluruh bayi yang lahir atau dirawat). Belum ada prediktor dini diagnosis
dan petanda respon pengobatan sepsis neonatorum yang dapat

menggantikan peran kultur darah. Atas dasar pemikiran ini, maka


dipandang perlu untuk meneliti hubungan indeks hematologis dan
trombopoietin pada bayi cukup bulan dengan sepsis neonatorum.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, dapat
dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana peran trombopoietin dalam mengganti profil hematologis
dan kultur darah sebagai prediktor dini sepsis neonatorum?
2. Bagaimana peran trombopoietin sebagai indikator dalam menilai
respon pengobatan pada sepsis neonatorum?
3. Bagaimana kadar trombopoietin untuk setiap bakteri penyebab sepsis
neonatorum?
1.3
Hipotesis
1.3.1 Hipotesis Penelitian
1. Indeks hematologis dan trombopoietin dapat menjadi prediktor
dini diagnosis sepsis neonatorum.
2. Indeks hematologis dan trombopoietin dapat menjadi penilai
respon pengobatan sepsis neonatorum.
3. Indeks hematologis dan trombopoietin berbeda untuk setiap
etiologi sepsis neonatorum.
4. Terdapat hubungan antara

indeks

hematologis

dan

trombopoietin pada sepsis neonatorum.


1.3.2 Hipotesis Penelitian
1. Kadar trombopoietin pada neonatus cukup bulan (NCB) sepsis
dengan kultur darah positif lebih tinggi dari NCB sehat.
2. Kadar trombopoietin pada NCB sepsis dengan kultur darah
negatif lebih tinggi dari NCB sehat.
3. Kadar trombopoietin pada NCB sehat normal.
4. Kadar trombopoietin pada NCB sepsis dengan kultur darah
positif akan menurun setelah penyembuhan.

5. Kadar trombopoietin pada NCB sepsis dengan kultur darah


negatif akan menurun setelah penyembuhan.
6. Kadar trombopoietin pada NCB sepsis dengan kultur darah
positif akan meningkat pada perburukan keadaan klinis.
7. Kadar trombopoietin pada NCB sepsis dengan kultur darah
negatif akan meningkat pada perburukan keadaan klinis.
8. Kadar trombopoietin berbeda untuk tiap bakteri pada NCB
sepsis dengan kultur darah positif.
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui peran trombopoietin apakah dapat digunakan
sebagai pengganti profil hematologis dan kultur darah dalam
mendiagnosis dini dan menilai respon pengobatan pada sepsis
neonatorum.

1.4.2 Tujuan Khusus


Menentukan hubungan antara trombopoietin dengan sepsis
neonatorum:
1. Menentukan titer trombopoietin pada NCB tersangka sepsis
dengan kultur darah positif.
2. Menentukan titer trombopoietin pada NCB tersangka sepsis
dengan kultur darah negatif.
3. Menentukan titer trombopoietin pada NCB sehat.
4. Membandingkan titer trombopoietin antara NCB tersangka
sepsis dengan kultur darah positif dan NCB sehat.
5. Membandingkan titer trombopoietin antara NCB tersangka
sepsis dengan kultur darah negatif dan NCB sehat.
6. Membandingkan titer trombopoietin antara NCB tersangka
sepsis dengan kultur darah positif dan NCB tersangka sepsis
dengan kultur darah negatif.

Menganalisis respon pengobatan pada NCB tersangka


sepsis dengan kultur darah positif melalui pemeriksaan
trombopoietin:
1. Menentukan titer awal trombopoietin, pertengahan dan akhir
pengobatan.
2. Membandingkan

antara

titer

awal

trombopoietin,

pertengahan dan akhir pengobatan.

Menganalisis respon pengobatan pada NCB tersangka


sepsis dengan kultur darah negatif melalui pemeriksaan
trombopoietin:
1. Menentukan titer awal trombopoietin, pertengahan dan akhir
pengobatan.
2. Membandingkan

antara

titer

awal

trombopoietin,

pertengahan dan akhir pengobatan.

Menganalisis perbedaan titer trombopoietin untuk setiap


bakteri penyebab sepsis:
1. Menentukan titer trombopoietin pada tiap bakteri penyebab
sepsis.
2. Membandingkan titer trombopoietin antara masing-masing
bakteri penyebab sepsis.

1.5
Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui peran trombopoietin pada NCB dengan sepsis
neonatorum maka:
1. Diharapkan diagnosis sepsis neonatorum menjadi lebih cepat,
mengurangi resistensi antibiotika, mengurangi biaya dan lama
perawatan di neonatal intensive care unit (NICU) sehingga pada
akhirnya

dapat

menurunkan

morbiditas

dan

mortalitas

sepsis

neonatorum.
2. Membuka peluang untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai
peran trombopoietin pada neonatus dengan sepsis neonatorum.
3. Membuka peluang untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap
marker/sitokin dalam usaha untuk mendiagnosis dini dan menilai
respon pengobatan agar hasil outcome sepsis neonatorum menjadi
lebih baik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Sepsis Neonatorum
Sepsis merupakan respon inflamasi penjamu terhadap invasi

mikroba (bakteri, virus, jamur, parasit atau produk toksik mikroorganisme).


Respon inflamasi yang ditujukan untuk menghancurkan dan membatasi
penyebaran mikroba ini akan menghasilkan perubahan kompleks pada
status imun, koagulasi dan sirkulasi, yang dapat berlanjut pada disfungsi
dan kegagalan organ (syok septik).33
Sepsis neonatorum masih menjadi masalah yang belum dapat
terpecahkan

dalam

pelayanan

dan

perawatan

neonatus.

Sepsis

neonatorum adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif, ditandai


dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan
sumsum tulang atau urine. Keadaan ini sering terjadi pada bayi yang
beresiko misalnya bayi kurang bulan, bayi berat lahir rendah, bayi dengan
sindroma gangguan napas atau bayi yang lahir dari ibu beresiko. 34
Sepsis neonatorum dibagi menjadi dua kelompok, sepsis awitan
dini dan sepsis awitan lambat. Pada sepsis awitan dini, kelainan
ditemukan pada hari- hari pertama kehidupan atau umur dibawah tiga hari.
Infeksi terjadi secara vertikal karena penyakit atau infeksi yang diderita ibu
selama persalinan atau kelahiran. Sedangkan sepsis awitan lambat
disebabkan oleh kuman yang berasal dari lingkungan sekitar bayi setelah

10

hari ketiga lahir, dimana infeksi terjadi secara horisontal, termasuk infeksi
nosokomial.34
Sejak adanya konsensus dari American College of Chest
Physicians/Society of Critical Care Medicine (1991) dan North American
and European Critical Care Societies (2001) telah timbul berbagai istilah
dan definisi di bidang infeksi yang banyak pula dibahas pada kelompok
neonatus dan penyakit anak. Istilah/definisi tersebut antara lain:

Sepsis merupakan sindroma respon inflamasi sistemik (Systemic


Inflammatory Respon Syndrome SIRS) yang terjadi akibat infeksi
bakteri, virus, jamur ataupun parasit.

Sepsis berat adalah keadaan sepsis yang disertai disfungsi organ


kardiovaskular dan gangguan napas akut atau terdapat gangguan
organ lain, seperti gangguan hematologi, neurologi, hepatologi dan
urogenital.

Syok sepsis terjadi apabila bayi masih dalam keadaan hipotensi


walaupun telah mendapatkan cairan adekuat.

Sindroma disfungsi multi organ terjadi apabila bayi tidak mampu lagi
mempertahankan homeostasis tubuh sehingga terjadi perubahan
fungsi dua atau lebih organ tubuh. 34-37

2.1.1 Etiologi
Pola kuman penyebab sepsis tidak selalu sama antara satu rumah
sakit dengan rumah sakit lain. Perbedaan tersebut terdapat pula antara
suatu negara dengan negara lain. Perbedaan pola kuman ini akan

11

berdampak pada pemilihan antibiotika yang digunakan pada penderita.


Perbedaan pola kuman berkaitan pula dengan prognosis serta komplikasi
jangka panjang yang mungkin diderita bayi baru lahir.34
Hampir sebagian besar kuman penyebab di negara berkembang
adalah gram negatif berupa kuman enterik seperti Enterobacter sp,
Klebsiella sp dan Coli sp.38-43 Sedangkan di Amerika Utara dan Eropa
Barat 40% penderita terutama disebabkan oleh Streptokokus grup B,
selanjutnya kuman lain seperti Coli sp, Listeria sp dan Enterovirus
ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit.44
Indonesia juga sebagai salah satu negara sedang berkembang
dengan pola kuman yang terlihat juga tidak banyak berbeda dengan
kuman di negara berkembang lainnya. Karakteristik mikroorganisme
penyebab sepsis di beberapa rumah sakit di Indonesia ditunjukkan pada
Tabel 1.38-43
Walaupun penyebab perbedaan pola kuman belum diketahui
dengan pasti, tetapi beberapa hipotesis yang sering dikemukakan adalah
karena:

Tingginya angka kejadian kolonisasi kuman pada ibu


Perbedaan pola kuman yang berada di lingkungan ibu dan bayi
Perbedaan respon imun dan faktor-faktor genetik dari populasi
Perbedaan dalam melakukan analisis mikrobiologik yang dilaksanakan
di masing-masing negara atau rumah sakit
Perbedaan tingkat pendidikan kesehatan dan pelayanan kesehatan
masing-masing negara atau rumah sakit. 34

Tabel 1. Kuman penyebab sepsis neonatorum di beberapa rumah sakit di


Indonesia
Peneliti

Tempat

Jumlah

Mikroorganisme

12

Suarca (2004)

38

RS Sanglah, Denpasar

kultur darah
positif
104

terbanyak

Staphylococcus
coagulated-negative,
Enterobacter sp,
Klebsiella sp
Siswanto (2004)39
NICU RS Harapan Kita, 264
Serratia sp, Klebsiella
Jakarta
pneumonia, Enterobacter
aerogenes, Klebsiella sp,
P. aeroginosa
Rohsiswatmo
RSCM, Jakarta
320
Acinetobacter
(2005)40
calciaceticus,
Enterobacter sp,
Staphylococcus sp
Yuliana (2006)41
RS Hasan Sadikin,
53
Staphylococcus
Bandung
epidermidis, Burkholderia
cepacia, Klebsiella
pneumonia
Sofiah (2006)42
RS Moh. Husein,
36
Acinetobacter
Palembang
calcoaceticus, Klebsiella
pneumonia,
Staphylococcus
epidermidis,
Streptococcus viridians
Rahman (2006)43
RS Sutomo, Surabaya
36
Staphylococcus
coagulated-negative,
Acinetobacter,
Enterobacter aerogenes,
Klebsiella pneumonia
Sumber: Suarca38, Siswanto39, Rohsiswatmo40, Yuliana41, Sofiah42, Rahman43

Tabel 2. Perbedaan pola kuman dari waktu ke waktu


1975 - 1980
RSCM/FKUI
(Monintja 1981;
Aminullah 1993;
Amir I 2003)
USA
(Texas Univ.; CDC
Atlanta)
(Shattuck 1992;
Schuchat 1997)
UK
(Heath PT 2003)

1985 1990

1995 2003

Salmonella sp
Klebsiella sp

Pseudomonas sp
Klebsiella sp
E.coli

Acinetobacter sp
Enterobacter sp
Pseudomonas sp
Serratia sp
E. coli

Group B Strep.
E. coli
Listeria sp

E. coli
Group B Strep.
Listeria sp
Enterovirus

Group B Strep
Listeria sp
Strep. Pneumonia

Group B Strep.
E. coli
Listeria sp
Enterovirus

Group B Strep.
Listeria sp
E. coli
Enterovirus

Sumber: Aminullah34

13

Memperhatikan perbedaan pola kuman dari waktu ke waktu diatas,


pertimbangan-pertimbangan yang perlu dilakukan dalam tata laksana
sepsis neonatorum antara lain:

Pemilihan

antibiotika

empirik

untuk

sepsis

neonatorum

harus

memperhatikan pola kuman penyebab yang paling sering ditemukan di

masing-masing rumah sakit


Jenis kuman penyebab perlu dievaluasi secara berkala
Upaya diagnosis dini kuman penyebab akan berpengaruh terhadap
tata laksana dan prognosis penderita.34

2.1.2 Patofisiologi dan Patogenesis


Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi
kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta,
selaput amnion, khorion dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan
amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat
timbul melalui berbagai jalan yaitu:

Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai
janin melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk ke
sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema

pallidum atau Listeria.


Prosedur obstetrik yang kurang memperhatikan faktor aseptik/
antiseptik misalnya saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi
khorion atau amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat
prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya
terjadi kontaminasi kuman pada janin.

14

Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina
akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman
vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi
kuman melalui saluan pernapasan ataupun saluran cerna. Kejadian
kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat
apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam. 34
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik

karena infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi,


seperti pada bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti
katerisasi umbilikus, menggunakan ventilator, kurangnya perhatian pada
tindakan asepsis/antisepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian yang
terlalu padat.34
Penderita yang terpapar setelah lahir ini dikelompokkan dalam
kelompok penderita sepsis awitan lambat sedangkan yang terpapar
sebelumnya dikelompkan dalam sepsis awitan dini. Bila paparan kuman
pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah maka akan
terjadi respon tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula
bermacam gambaran gejala klinis pada penderita. Tergantung dari
perjalanan penyakit, gambaran klinis akan terlihat berbeda, oleh karena itu
penatalaksanaan penderita selain pemberian antibiotika, hendaknya
memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya
penyakit.34

15

Short mengemukakan bahwa patofisiologi dan tingkat beratnya


sepsis tampaknya tidak banyak berbeda antara penderita dewasa dan
bayi. Sepsis biasanya dimulai dengan adanya respon sistemik tubuh
dengan gambaran proses inflamasi, koagulopati dan gangguan fibrinolisis,
yang selanjutnya menimbulkan gangguan sirkulasi dan perfusi yang
berakhir dengan gangguan fungsi organ.13
Patogenesis dan perjalanan sepsis merupakan konsep systemic
inflammatory response syndrome (SIRS). Berbeda dengan penderita
dewasa, pada neonatus terdapat berbagai tingkat defisiensi sistim
pertahanan tubuh, sehingga respon sistemik pada neonatus akan berbeda
dengan orang dewasa. Sebagai contoh, pada infeksi awitan dini respon
sistemik pada neonatus kemungkinan terjadi pada saat

bayi masih

berada di dalam kandungan. Keadaan ini disebut fetal inflammatory


response syndrome (FIRS), yaitu infeksi janin atau neonatus terjadi
karena perjalanan infeksi kuman vagina (ascending infection) atau infeksi
yang menjalar secara hematogen dari ibu yang menderita infeksi. Dengan
demikian konsep infeksi pada neonatus, khususnya pada sepsis awitan
dini, perjalanan penyakit bermula dari FIRS kemudian sepsis, sepsis
berat, syok septik, disfungsi multi organ dan akhirnya kematian. 45
Pada infeksi awitan lambat perjalanan penyakit tidak berbeda
dengan sepsis pada anak. Definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila
terdapat keadaan SIRS/FIRS yang dipicu infeksi baik yang masih dicurigai
maupun yang sudah terbukti infeksi. Sepsis neonatorum ditegakkan bila

16

ditemukan satu atau lebih kriteria FIRS/SIRS disertai gambaran klinis


sepsis.34
Gambaran klinis sepsis neonatorum bervariasi, karena itu kriteria
diagnostik

harus

pula

mencakup

pemeriksaan

penunjang

baik

pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya. 36,45


Perubahan tersebut dapat dikelompokan dalam berbagai variabel klinis
(suhu tubuh, denyut nadi, pernapasan, dll), variabel hemodinamik
(tekanan darah), variabel perfusi jaringan (capillary refill) dan variabel
inflamasi (gambaran leukosit, trombosit, IT ratio, sitokin, TPO, dll). 46
Berbagai variabel inflamasi tersebut di atas merupakan respon
sistemik yang ditemukan pada keaadan FIRS/SIRS yang antara lain
terlihat adanya perubahan sistim hematologik atau sistim imun tubuh. 47
Dalam sistim imun, salah satu respon sistemik yang penting pada
penderita FIRS/SIRS adalah pembentukan sitokin dan mediator sekunder
yaitu trombopoietin. Sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL)-1, IL-2 dan
tumor necrosis factor (TNF)- dapat memperburuk keadaan penyakit,
sebaliknya sitokin anti-inflamasi seperti IL-4 dan IL-10 dapat meredam
infeksi dan mempertahankan homeostasis organ vital tubuh. 48 Selain
berperan dalam regulasi proses inflamasi, pembentukan sitokin dan
trombopoietin dapat pula digunakan sebagai penunjang diagnosis sepsis
neonatorum. Kster dkk melaporkan bahwa sitokin yang beredar dalam
sirkulasi penderita sepsis dapat dideteksi 2 hari sebelum gejala klinis
muncul dengan demikian penanganan sepsis dapat dilakukan dengan
lebih efisien.49

17

Perubahan sistim imun penderita sepsis menimbulkan perubahan


pula pada sistim koagulasi. Pada sistim kogulasi terjadi peningkatan
pembentukan tissue factor (TF) yang bersama dengan faktor VII darah
akan

berperan

menimbulkan

dalam

aktivasi

proses
faktor

koagulasi.

IX

dan

Kedua
sehingga

faktor
terjadi

tersebut
proses

hiperkoagulasi yang menyebabkan pembentukan trombin yang berlebihan


dan selanjutnya meningkatkan produksi fibrin dari fibrinogen. Supresi
fibrinolisis terjadi karena meningkatnya pembentukan plasminogenactivator inhibitor (PAI)-1 yang dirangsang oleh mediator proinflamasi
(TNF-). Demikian pula pembentukan trombin yang berlebihan berperan
dalam aktivasi thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI) yaitu faktor
yang menimbulkan supresi fibrinolisis. Kedua faktor yang berperan dalam
supresi ini mengakibatkan akumulasi fibrin darah yang dapat menimbulkan
mikrotrombi pada pembuluh darah kecil sehingga terjadi gangguan
sirkulasi. Gangguan tersebut mengakibatkan hipoksemia jaringan dan
hipotensi sehingga terjadi disfungsi berbagai organ tubuh. Manifestasi
disfungsi multiorgan ini secara klinis dapat memperlihatkan gejala-gejala
sindroma distres pernapasan, hipotensi, gagal ginjal, dan bila tidak teratasi
akan berakhir dengan kematian.13

2.1.3 Diagnosis
Diagnosis

dini

sepsis

neonatorum

sangat

penting

dalam

penatalaksanaan dan prognosis penderita. Keterlambatan diagnosis


berpotensi mengancam kelangsungan hidup bayi dan memperburuk

18

prognosis penderita. Dalam menentukan diagnosis diperlukan 3 faktor


penting antara lain faktor resiko, gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang. Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi
penderita karena salah satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai
pegangan dalam menegakkan diagnosis. Pada sepsis awitan dini,
berbagai faktor yang terjadi selama kehamilan, persalinan ataupun
kelahiran dapat dipakai sebagai indikator untuk melakukan elaborasi lebih
lanjut sepsis neonatorum. Berbeda dengan sepsis awitan dini, pada sepsis
awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang terdapat dalam
lingkungan penderita.34
Faktor resiko untuk sepsis awitan dini dikelompokkan atas:
1. Faktor resiko mayor
a. Ketuban pecah >18 jam
b. Ibu demam saat intrapartum (suhu >38C)
c. Korioamnionitis
d. Denyut jantung janin yang menetap >160 kali/menit
e. Ketuban berbau
2. Faktor resiko minor
a. Ketuban pecah >12 jam
b. Ibu demam saat intrapartum (suhu >37,5C)
c. Nilai APGAR rendah (menit 1 <5, menit 5 <7)
d. Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (<1.500 gram)
e. Keputihan pada ibu yang tidak diobati
f. Ibu dengan ISK atau tersangka ISK yang tidak diobati

19

Sedangkan faktor resiko untuk sepsis neonatorum awitan lambat adalah:

Adanya infeksi silang dan infeksi nosokomial

Pelayanan asepsis/antisepsis yang tidak optimal

Petugas yang tidak memadai.49,50

Faktor resiko sepsis awitan dini maupun awitan lambat ini walaupun tidak
tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapat perhatian
khusus terutama bila disertai gejala klinis. Hal ini akan meningkatkan
identifikasi dini dan tatalakasana yang lebih efisien pada sepsis neonatal
sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan morbiditas pasien. 34
Pada sepsis awitan dini, janin yang terkena infeksi mungkin
menderita takikardi, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi
karena nilai Apgar yang rendah. Setelah lahir, bayi terlihat lemah dan
tampak gambaran klinis sepsis seperti hipotermia atau hipertermia,
hipoglikemia dan kadand-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat
berbagai kelainan dan berbagai fungsi organ tubuh. Gangguan fungsi
organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat seperti letargi,
refleks hisap yang buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high
pitch cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan
kardiovaskular seperti hipotensi, pucat, sianosis dan akral dingin. Bayi
dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun
gangguan respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi
abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung memanjang,
takipnu, apnu, merintih dan retraksi.34,45

20

Bervariasinya gejala dan gambaran klinis yang tidak seragam


menyebabkan kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti. Karena itu
pemeriksaan

penunjang

baik

pemeriksaan

laboratorium

ataupun

pemeriksan khusus lainnya sering dipergunakan dalam membantu


menegakkan diagnosis. Sampai saat ini pemeriksaan laboratorium tunggal
yang mempunyai sensitifitas dan spesifitas tinggi sebagai indikator sepsis
belum

ditemukan.

Dalam

penentuan

diagnosis,

interpretasi

hasil

laboratorium hendaknya memperhatikan faktor resiko dan gejala klinis


yang terjadi.34
Seperti diungkapkan sebelumnya, diagnosis infeksi sistemik sulit
apabila hanya berdasarkan gejala klinis dan riwayat penderita saja. Untuk
hal tersebut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat
membantu konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat
berbentuk pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan khusus lainnya
misalnya TPO.34
Hingga saat ini baku emas untuk diagnosis sepsis adalah kultur
darah, namun hasil pemeriksaan membutuhkan waktu minimal 2-5 hari.
Interpretasi hasil kultur darah perlu pertimbangan dengan hati-hati
khususnya bila kuman yang ditemukan berlainan jenis dari kuman yang
biasa ditemukan di klinik tersebut. Selain itu, hasil kultur dipengaruhi pula
oleh kemungkinan pemberian antibiotika sebelumnya atau adanya
kemungkinan

kontaminasi

kuman

nosokomial.34,51 Untuk

mengenal

kelompok kuman penyebab infeksi secara lebih cepat dapat dilakukan


pewarnaan Gram, tetapi cara ini tidak mampu menetapkan jenis kuman

21

secara lebih spesifik. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan dikenal


sebagai septic marker meliputi jumlah leukosit, jumlah trombosit, CRP dan
IT ratio.34,52
Pada sepsis neonatorum, trombositopenia ditemukan pada 10-60%
penderita. Jumlah trombosit biasanya kurang dari 100.000 dan terjadi
pada 1-3 minggu setelah diagnosis sepsis ditegakkan. Gambaran leukosit
yang terjadi dapat berupa leukositosis maupun leukopenia. 34 Rasio antara
neutrofil imatur dan neutrofil total (IT ratio) >0,2 menunjang diagnosis
sepsis dengan nilai sensitivitas sebesar 60-90%. 34,53 C-reactive protein
(CRP) merupakan protein fase akut yang dihasilkan hati sebagai respon
reaksi inflamasi sistemik karena kerusakan jaringan tubuh baik karena
infeksi maupun non infeksi, meningkat pada 50-90% penderita sepsis
neonatorum.34
Dari riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang
termasuk pemeriksaan laboratorium tampak belum ada informasi tunggal
yang

dapat

digunakan

dipertimbangkan

sebagai

kombinasi

indikator

berbagai

sepsis,

informasi

sehingga

dalam

perlu

menentukan

diagnosis. Baik di negara maju maupun negara berkembang, banyak


upaya telah dilakukan dengan menggunakan berbagai kombinasi antara
faktor resiko, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis dini penderita sepsis neonatorum. Salah satu pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan TPO.

22

2.2

Trombopoietin

2.2.1 Struktur, Biologi dan Fisiologi Trombopoietin


Istilah trombopoietin (disebut juga c-Mpl ligand, megakaryocyte
growth and development factor, megapoietin) pertama kali digunakan
pada tahun 1958 untuk menjelaskan substansi humoral yang bertanggung
jawab

untuk

meningkatkan

produksi

trombosit.54-56

Gen

tunggal

trombopoietin terletak pada kromosom 3q26-27 dan menghasilkan suatu


protein prekursor dengan 353 asam amino yang memiliki berat molekul 36
kDa. Penelitian fungsi struktural menunjukkan bahwa 153 asam amino
pertama trombopoietin yang diperlukan untuk efek trombopoietik in vitro.54
Diketahui bahwa level trombopoietin darah dan sumsum tulang
berbanding terbalik dengan jumlah trombosit. Penderita dengan anemia
aplastik atau trombositopenia sekunder akibat terapi yang bersifat
menekan sumsum tulang memiliki level trombopoietin tinggi. Namun ada
beberapa pengecualian untuk hubungan ini. Pertama yang terlihat pada
destruksi trombosit pada penderita idiopathic thrombocytopenic purpura
(ITP), dimana level trombopoietin tidak setinggi derajat trombositopenia.
Pada ITP terjadi hipertrofi megakariosit yang tampaknya berperan dalam
pengaturan trombopoietin. Contoh kedua dimana level trombopoietin tidak
sesuai dengan jumlah trombosit darah terlihat pada penderita dengan
inflamasi

yang

trombositosisnya

bersifat

reaktif,

dimana

level

trombopoietin lebih tinggi dari yang diperkirakan. 55

23

2.2.2 Pengaturan Produksi Trombopoietin


Komponen utama pengaturan level trombopoietin diperoleh dari
proses pengambilan dan destruksi (Gambar 1), suatu mekanisme
pengaturan growth factor hematopoiesis yang pertama dibentuk untuk
megakaryocyte colony-stimulating factors. Trombosit membawa reseptor
trombopoietin yang akan mengikat trombopoietin dari sirkulasi sehingga
terbentuk suatu siklus autoregulasi, dimana jika jumlah trombosit
meningkat

maka

trombosit

akan

membawa

keluar

lebih

banyak

trombopoietin dari sirkulasi dengan demikian level trombopoietin akan


menurun, sebaliknya pada keadaan trombositopenia dimana lebih sedikit
trombosit yang membawa trombopoietin sehingga level trombopoietin
akan meningkat dan selanjutnya meningkatkan proses trombopoiesis. 55
Sintesis utama protein dan mRNA trombopoietin terjadi di liver.
Produksi lokal trombopoietin juga terjadi di sel stroma sumsum tulang dan
dalam jumlah lebih sedikit di ginjal, otak dan testis. Peningkatan level
trombopoietin terjadi sebagai respon terhadap penurunan jumlah trombosit
dan akan tetap meningkat selama terjadinya trombositopenia persisten.
Sebagai respon terhadap trombositopenia akut, peningkatan level
trombopoietin terjadi dalam 8 jam dan mencapai puncaknya dalam 24 jam.
Transfusi trombosit pada individu dengan trombositopenia terbukti
menurunkan level trombopoietin plasma. 54-56

24

Gambar 1. Pengaturan level trombopoietin.


Dikutip dari: Kaushansky K. The molecular mechanisms that control
thrombopoiesis.

25

2.2.3 Peran Trombopoietin dalam Pembentukan Trombosit


Trombosit memainkan peranan penting dalam pemeliharaan
hemostasis normal. Jika terjadi perlukaan, trombosit akan berkumpul di
lokasi tersebut dan membentuk sumbat hemostatik primer. Tanpa
trombosit akan terjadi perdarahan. 54 Pembentukan trombosit melalui
perkembangan megakariosit (megakariositopoiesis) yang dipengaruhi oleh
trombopoietin dan beberapa sitokin. Proses megakariositopoiesis sendiri
meliputi: 1) proliferasi dan diferensiasi sel progenitor megakariosit, colony
forming

units-megakaryocyte

perkembangan

megakariosit,

(CFU-MK),
ditandai

menjadi

oleh

megakariosit;

poliploidisasi

inti

2)
dan

pematangan sitoplasma; dan 3) fragmentasi sitoplasma megakariosit dan


pelepasan trombosit. Tahapan perkembangan megakariosit tersebut
dipengaruhi oleh beberapa sitokin yakni steel factor (disebut juga stemcell factor, mast-cell growth factor atau Kit ligand), IL-3, IL-6, IL-11,
granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF), eritropoietin, leukemia
inhibitory factor dan trombopoietin.55,57
Trombopoietin merupakan stimulus tunggal yang paling kuat untuk
pertumbuhan sel progenitor hematopoiesis yang berhubungan dengan
megakariosit. Trombopoietin juga bekerja secara sinergis dengan sitokin
hematopoiesis lain di antaranya adalah stem cell factor, interleukin (IL)-11
dan eritropoietin, untuk mempromosikan proliferasi sel progenitor.55 Peran
trombopoietin dalam megakariositopoiesis secara skematik ditunjukkan
pada Gambar 2. Trombopoietin merupakan regulator utama pematangan
megakariosit dengan peranannya dalam 1) pembentukan granula yang

26

spesifik untuk trombosit; 2) pembatasan area membran dan trombosit; 3)


ekspresi protein membran yang spesifik untuk trombosit, meliputi reseptor
fibrinogen glikoprotein IIb/IIIa dan reseptor faktor von Willebrand Ib/V/IX;
4) perlekatan megakariosit melalui aktivasi glikoprotein IIb/IIIa, VLA-4 dan
VLA-5; 5) endomitosis dan keadaan poliploid resultannya; dan 6)
pembentukan trombosit dari megakariosit tunggal. Sedangkan sitokinsitokin lainnya gagal menyebabkan level pematangan megakariosit yang
sama jika efek trombopoietin endogen dihambat. 55

Gambar 2. Peran trombopoietin dalam megakariositopoiesis.


Dikutip dari: Miyazaki H. Physiologic role of TPO in Thrombopoiesis.

2.2.4 Pemeriksaan Trombopoietin


Ada tiga metode laboratorium yang dilaporkan bermanfaat untuk
mendiagnosis trombositopenia, yakni pemeriksaan reticulated platelets
(RP), level trombopoietin plasma (TPO) dan level glycocalicin plasma

27

(GC). RP menunjukkan persentase trombosit muda yang baru saja dilepas


ke sirkulasi atau menggambarkan produksi trombosit. Trombopoietin,
suatu growth factor hematopoiesis, akan mengaktifkan reseptornya untuk
merespon keadaan trombositopenia dengan meningkatkan produksi
trombosit (Gambar 3). Sedangkan GC adalah fragmen hidrofilik kaya akan
karbohidrat yang merupakan bagian luar subunit alfa dari glikoprotein Ib
membran trombosit.58,59

Gambar 3. Mekanisme aktivasi reseptor trombopoietin.


Dikutip dari: Kuter DJ. New thrombopoietic growth factors.

Pengukuran level trombopoietin plasma dan persentase RP dengan


mudah dapat dikerjakan pada pemeriksaan hematologi rutin. Keduanya
bermanfaat

dalam

memberikan

informasi

untuk

membedakan

trombositopenia akibat hiperdestruksi dengan trombositopenia akibat

28

hipoplasia sumsum tulang. Sedangkan pemeriksaan level GC memberikan


spesifisitas dan sensitivitas yang lebih rendah.58
Untuk mengukur konsentrasi trombopoietin plasma, sediaan diambil
dari darah perifer yang telah diberi EDTA atau heparin sebagai
antikoagulan. Level trombopoietin plasma diukur menggunakan uji ELISA.
Singkatnya, campuran dua antibodi anti-TPO monoklonal (anti-TPO-5 dan
anti-TPO-14) diletakkan pada lempeng mikrotiter. Lempeng kemudian
diblok dan dicuci, lalu sampel plasma diinkubasi bersama-sama dengan
anti-TPO-12. Untuk reaksi kalorimetrik akhir digunakan streptavidinhorseradish peroxidase conjugate dan 3, 3, 5, 5-tetramethylbenzidine
dalam buffer NaAc 0,11 mol/l dan H2O2 0,003%. Plasma mengandung
level trombopoietin yang tinggi dengan EDTA sebagai antikoagulannya
digunakan sebagai standar. Pengenceran pertama standar ini ditetapkan
pada 100 Unit Arbitrary (AU). Level trombopoietin normal berkisar dari 4
hingga 32 AU (persentil ke-2,5 sampai 97,5). Saat ini belum ada standar
trombopoietin, tetapi 1 AU trombopoietin plasma sesuai dengan kira-kira 1
9 pg trombopoietin.60

2.3

Hubungan Trombopoietin dan Sepsis Neonatorum

2.3.1 Trombositopenia pada Sepsis Neonatorum


Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa jumlah trombosit
fetus berada di atas 150x109/l pada trimester kedua kehamilan dan akan
tetap konstan hingga kelahiran. Oleh karena itu jumlah trombosit normal

29

neonatus sehat harusnya 150x109/l, dan jika jumlahnya kurang dari level
ini menunjukkan keadaan trombositopenia. 61
Sepsis merupakan faktor resiko untuk terjadinya trombositopenia,
beratnya sepsis sesuai dengan penurunan jumlah trombosit. Mekanisme
terjadinya trombositopenia pada sepsis sebenarnya masih belum jelas.
Namun dari gambaran trombositopenia pada sepsis yang memiliki onset
cepat dan progresi diikuti oleh penyembuhan yang berlangsung lambat
menunjukkan bahwa trombositopenia yang terjadi akibat kombinasi
mekanisme konsumsi/destruksi trombosit (fase onset cepat) diikuti oleh
gangguan produksi trombosit (fase penyembuhan lambat). Faktor lain
yang juga berpengaruh untuk terjadinya trombositopenia pada sepsis
adalah sekuestrasi trombosit di limpa.61-64
Pada penderita sepsis terjadi hemofagositosis, baik terhadap
megakariosit maupun terhadap sel darah lainnya, oleh monosit dan
makrofag. Hal ini sesuai dengan temuan berupa peningkatan level
macrophage colony-stimulating factor (M-CSF) pada sepsis.62-66 Baker
dkk. telah menunjukkan bahwa pemberian M-CSF meningkatkan aktivitas
sistim monosit/makrofag.67
Konsumsi trombosit terkait kelangsungan generasi trombin juga
terjadi pada setiap kejadian sepsis. Seperti diketahui bahwa trombin
merupakan aktivator trombosit yang paling kuat. Normalnya trombin
berfungsi memelihara keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis.
Pada sepsis, generasi trombin menjadi tidak teratur yang mana akan
menyebabkan fase awal berupa hiperkoagulasi, dimana faktor pembekuan

30

dikonsumsi dengan cepat dan menyebabkan fibrinolisis dan perdarahan


yang sering terlihat pada penderita sepsis berat. Fase awal hiperkoagulasi
ini akan diikuti oleh proses sepsis yang mengganggu fibrinolisis normal
sehingga

tubuh

kurang

bisa

menghilangkan

mikrotrombus

dan

menyebabkan disseminated intravascular coagulation.63,68,69


Selama sepsis terjadi gangguan produksi trombosit pada sumsum
tulang. Produksi trombosit dirangsang oleh tingginya level sitokin
proinflamasi seperti TNF- dan IL-6 serta oleh tingginya konsentrasi
trombopoietin. Walaupun level sitokin proinflamasi dan konsentrasi
trombopoietin tinggi pada keadaan sepsis, namun produksi trombosit oleh
sumsum tulang terbatas akibat hemofagositosis megakariosit. 62-64
Pada individu sehat, pengumpulan trombosit di limpa (sekuestrasi)
terjadi pada sekitar sepertiga jumlah total trombosit. Jumlah trombosit
sendiri

tidak

terkait

langsung

dengan

ukuran

limpa.

Mekanisme

sebenarnya dari sekuestrasi ini juga belum diketahui jelas. Kemungkinan


trombositopenia terjadi akibat pengalihan trombosit melalui splenic cord
karena ukurannya yang kecil serta ikatan trombosit pada reseptor
makrofag.70

2.3.2 Level Trombopoietin pada Sepsis Neonatorum


Perubahan jumlah dan ukuran trombosit sering diamati pada
neonatus dengan sepsis. Pada neonatus normal, produksi trombosit
dipertahankan oleh proses megakariositopoiesis yang mana diatur oleh
sitokin hematopoiesis yakni IL-3, IL-6, IL-11 dan trombopoietin. Dari

31

semua growth factor yang terlibat dalam produksi trombosit, trombopoietin


mendapat perhatian terbesar dari para peneliti sebagai pengatur utama
produksi trombosit.28
Selama infeksi sistemik, liver akan menghasilkan substansi
multifungsional termasuk sitokin hematopoiesis, salah satu diantaranya
adalah trombopoietin. Level trombopoietin dalam sirkulasi penderita sepsis
neonatorum lebih tinggi dibanding neonatus normal, yang mana hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi trombopoietin sebagian
besar

lebih

tergantung

pada

jumlah

trombosit

dalam

sirkulasi

dibandingkan peningkatan produksi trombopoietin sendiri. Produksi


trombopoietin

selama

sepsis

bersifat

konstitusif

sedangkan

level

trombopoietin dalam sirkulasi diatur oleh pengambilan dan metabolisme


trombosit dan megakariosit.27,28

32

2.4

Kerangka Teori

Factor resiko ibu


Ketuban Pecah dini
>12 jam
Demam saat
intrapartum >380C
Ketuban keruh dan
berbau Infeksi saluran
kemih Keputihan yang
tidak diobati

infeksi

Pelepasan ACTh
dan endorfin

Faktor resiko Neonatus :


Denyut jantung >160
x/mnt ( gawat janin)
Bayi baru lahir
Apgar Rendah
(Neonatus)
Bayi berat
lahir sangat rendah
<1500gram
lahir prematur
Infeksi pada
Persalinan dengan
neonatus
tindakan ( ekstraksi
vakum)
mendapatkan tindakan
invasive (IVFD, kateter
Bakteri + produk bakteri di fagositosis umbilical)
makrofag Peningkatan reseptor CD14,
CD11, CD64, TLR2, TLR4, LP5 Reseptor

Aktivasi system
koagulasi

Aktivasi neutrofil
Agregasi
Degranulasi
pelepasan
radikal O2/
protease

Mediator
Primer

Sitokin proinflamasi
TNF, IL18,1l6,il8,il12,
IFN

Aktivasi Sistem
Komplemen

Sitokin
antiinflamasi IL 4,
IL 10, IL 13

Aktifasi molekul
endotel/ leukosit
(LEUKOSITOSIS)

Stimulasi
kalikrein/kinin

DIC
(trombositopen
ia)

ARDS

Kerusakan
sel
endotelial

Supresi sistem
imun
(perkembangan
pengeluaran
sitokin)

Stimulasi
PMN
(leukositosis,
IT ratio )

Mediator sekunder : NO,


Tromboksan, leukotrien,PAF,
Prostaglandin, Trombopoetin,
NGAL, Serum Amyloid A

Kebocoran
kapiler dan
vasodilatasi

Gagal Organ
Multipel

Kematian

33

2.5

Kerangka Konsep Penelitian

Faktor resiko sepsis neonatorum


awitan dini ibu dan bayi : Ibu
demam >38oC, Korioamnionitis,
Ketuban keruh dan berbau, bayi
partus patologis

NCB, lahir
spontan, SC,
ekstraksi vakum

Tersangka
Sepsis
Neonatorum

Bayi Sehat

Pemeriksaan
Petanda Sepsis

Kultur darah
+

Seri leukosit
:
- Leukopeni
a
- Leukositos

Seri trombosit :
- Trombositope
nia
- Trombopoieti

Evaluasi
respon
pengobatan

Penghenti
an

Gejala klinis
Profil
hematologis
Trombopoietin
Kultur darah

Keterangan:
: Variabel yang diteliti

: Ruang lingkup penelitian

: Alur penderita sepsis neonatorum

: Alur penderita tidak sepsis

34

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini dilakukan secara longitudinal dengan menggunakan metode
analitik observasional dengan desain penelitian cross sectional dan kohort
prospektif.

3.2 Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Sub Bagian Neonatologi RSUP Prof. Dr. R.D.
Kandou

Manado.

Pemeriksaaan

sampel

darah

di

Pusat

Riset

Laboratorium Prodia Jakarta, pemeriksaan kultur darah dilakukan di


Laboratorium Klinik Kanaka Manado.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah neonatus yang dirawat di Sub
Bagian Neonatologi RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado.

3.3.2 Sampel Penelitian


Sampel penelitian ini adalah neonatus yang dirawat di Sub Bagian
Neonatologi RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:

Kriteria inklusi:
-

Neonatus cukup bulan

Lahir secara spontan, sectio secarea atau ekstraksi vakum

Tersangka sepsis neonatorum

Mendapat persetujuan dari orang tua untuk mengikuti penelitian


dengan menandatangani formulir persetujuan.

Kriteria eksklusi:

3.4

Kelainan bawaan

Gemeli

Besar Sampel

Besar sampel tidak ditentukan karena sampel diambil secara consecutive


sampling, artinya semua penderita sepsis neonatorum yang datang secara
berturut-turut ke Sub Bagian Neonatologi RSU Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado dan memenuhi kriteria penelitian akan dijadikan sebagai sampel.

3.5 Variabel Penelitian


Variabel dependen

: kultur darah positif

Variabel independen : profil hematologis dan trombopoietin

3.6 Definisi Operasional


3.6.1 Neonatus cukup bulan (NCB)
Adalah bayi baru lahir dengan usia gestasi 37-42 minggu, dengan
berat badan lahir 2500-4000 gram.

Penentuan usia gestasi berdasarkan perhitungan hari pertama haid


terakhir (HPHT) dan New Ballard Score.

3.6.2 Gejala klinis sepsis


Jika didapatkan 2 atau lebih gambaran klinis:

Gangguan respiratorik yang ditandai oleh takipnea (frekuensi


nafas >60 x/menit), serangan apnea (lebih dari 20 detik atau
terjadi lebih dari 2 kali dalam 1 jam), apnea berat (setiap
episode apnea yang memerlukan tindakan ventilasi tekanan
positif), bradipnea (frekuensi nafas <30 x/menit), atau saturasi

oksigen yang kurang dari 85% dengan pulse oxymeter.


Gangguan kardiovaskular yang ditandai oleh bradikardi (kurang
dari 100 x/menit), takikardia (lebih dari 160 x/menit), pucat,
penurunan perfusi (capillary refill time >3 detik atau ekstremitas

yang dingin dan sianosis).


Gangguan metabolik yang ditandai oleh hipotermia (temperatur
aksilar <36,5C), hipertermi (temperatur aksilar >37,5C),
instabilitas glukosa (kadar gula darah <45 mg/dl atau >125

mg/dl) atau asidosis metabolik (pH darah <7,25).


Gangguan neurologis yang ditandai oleh letargi, hipotonia,

penurunan aktivitas, kejang.


Gangguan gastrointestinal yang ditandai oleh adanya muntah,
diare, distensi abdomen, ileus ataupun intake makanan yang
kurang, gangguan toleransi pemberian makanan (adanya
residu gaster >20% dalam 2 kali pemberian ASI atau susu
formula dalam 24 jam).

Gangguan hematologis yang ditandai oleh anemia, ikterus,


petekhie ataupun purpura.

3.6.3 Faktor resiko sepsis


Sepsis neonatorum awitan dini (jika terdapat 1 faktor resiko mayor
+ 2 faktor resiko minor atau terdapat 2 faktor resiko mayor):
A. Faktor resiko mayor:
Ketuban pecah >18 jam
Ibu demam saat intrapartum (suhu >38C)
Korioamnionitis
Denyut jantung janin yang menetap >160 x/menit
Ketuban berbau
B. Faktor resiko minor:
Ketuban pecah >12 jam
Ibu demam saat intrapartum (suhu >37,5C)
Nilai APGAR rendah (menit 1 <5, menit 5 <7)
Bayi berat lahir sangat rendah (<1500 gram)
Keputihan pada ibu yang tidak diobati
Ibu dengan ISK/tersangka ISK yang tidak diobati

3.6.4 Kultur darah positif


Ditemukannya mikroorganisme penyebab sepsis neonatorum (jenis
bakteri, Gram positif atau negatif) pada media kultur.

3.6.5 Tersangka sepsis


Adalah neonatus dengan adanya faktor resiko sepsis, gejala klinis
sepsis

dan

profil

hematologis

(lekopenia/lekositosis,

trombositopenia, IT ratio >0,2).

3.6.6 Sepsis neonatorum


Adalah tersangka sepsis dengan kultur darah positif.

3.6.7 NCB sehat


Lahir tanpa asfiksia, tanpa kelainan bawaan, tanpa faktor resiko
gejala klinis sepsis.

3.6.8 Profil hematologis

Seri eritrosit: Hb, MCV, RDW

Seri leukosit: jumlah leukosit, hitung jenis (perbandingan


neutrofil imatur dengan total/IT ratio)

Seri trombosit: jumlah trombosit, MPV, PDW

3.6.9 Trombopoietin
Merupakan sitokin hematopoetik pengatur produksi trombosit yang
akan menstimulasi diferensiasi megakariosit menjadi trombosit
matur. Pada sepsis neonatorum didapatkan peningkatan kadar
trombopoietin yang berbanding terbalik dengan jumlah trombosit
sehingga trombopoietin dapat dijadikan salah satu petanda derajat
sepsis. Nilai normal trombopoietin untuk neonatus cukup bulan
adalah 73 89,8 pg/ml. Trombopoietin diperiksa di laboratorium
dari bahan pemeriksaan serum.

3.7

Instrumen Penelitian

Alat:
Bahan:

3.8

Metode Pengumpulan Data


Sampel penelitian diambil secara consecutive sampling.
Penjelasan kepada orang tua mengenai tujuan dan manfaat penelitian,
apabila orang tua memberi ijin anaknya ikut dalam penelitian ini, maka

mereka diminta mengisi dan menandatangani formulir persetujuan


Selanjutnya dilakukan anamnesis faktor resiko sepsis awitan dini pada
ibu dan pengambilan darah pada usia <24 jam dengan memperhatikan
sterilitas di mana daerah tempat pengambilan dan sekitarnya
didesinfeksi dengan kapas yang telah dibasahi alkohol 70%, kemudian
diambil

sampel

darah

vena

mediana

kubiti

sebanyak

ml

menggunakan jarum suntik yang dihubungkan dengan vacumtainer.

Setelah pengambilan darah selesai, tempat bekas pengambilan darah


tersebut ditekan dengan kapas yang telah dibasahi alkohol 70%
kemudian diplester. Tabung khusus untuk sampel kemudian diberi label
identitas. Dilakukan pemeriksaan kultur darah, profil hematologis dan

trombopoietin.
Pada usia 72 jam dilakukan pemeriksaan kultur darah, indeks
hematologis dan trombopoietin ulang dengan metode yang sama untuk

menilai adanya sepsis neonatorum.


Pada usia 10 hari dilakukan pemeriksaan kultur darah, profil
hematologis dan trombopoietin

ulang dengan metode yang sama

untuk menilai respon pengobatan sepsis neonatorum.


Seluruh data yang diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium selanjutnya dianalisis.

3.8

Alur Penelitian
NCB lahir secara spontan, SC, ekstraksi vakum
Tersangka sepsis / Bayi sehat
Pengisian formulir penelitian
Pengambilan sampel darah I (<24 jam)
Kultur darah +/-

Kontrol/Bayi sehat

Pengambilan sampel darah II (72 jam)


Pengambilan sampel darah III (10 hari)
Analisis data

3.9

Analisis Data

Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Statistical Product and


Services Solutions (SPSS) untuk windows versi 17 dengan tingkat
kemaknaan <0,05. Analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut:

Analisis deskriptif
Uji t independen
Analisis multivariate

3.10

Perkiraan Biaya Penelitian

1. Penyusunan usulan penelitian

Rp. 1.000.000,-

2. Biaya seminar usulan penelitian

Rp. 15.000.000,-

3. Pengumpulan data

Rp. 50.000.000,-

4. Analisa data

Rp. 2.000.000,-

5. Penyusunan laporan penelitian

Rp. 1.000.000,-

6. Biaya seminar hasil penelitian

Rp. 10.000.000,-

7. Biaya tak terduga

Rp. 6.000.000,-

TOTAL

Rp. 85.000.000,-

3.11

Jadwal Penelitian

Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini kurang lebih 6 bulan yang
terdiri dari 5 tahap, yaitu:
TAHAP
KEGIATAN
Persiapan
Pengumpulan

April
1

Mei
4

Juni
4

Juli
4

Agust
4

Sept
4

Sampel
Pengolahan/

Analisa Data
Diskusi
Penyusunan

Laporan

3.12

Personalia Penelitian

8. Konsultan penelitian

3 orang

9. Peneliti

1 orang

10. Pembantu peneliti

2 orang

DAFTAR PUSTAKA

1.

Aminullah A. Masalah terkini sepsis neonatorum. Dalam: Hegar B,


Trihono PP, Ifran EB, penyunting. Update in Neonatal Infections.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVIII.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2005. h. 1-15.

2.

Lawn JW, Wilczynska-Katende K, Cousens SN. Estimating the


causes of 4 million neonatal deaths in the year 2000. Int J Epidemiol.
2006; 35: 706-18.

3.

Clark RH, Bloom BT, Spitzer AR, Gerstmann DR. Empiric use of
ampicillin and cefotaxime, compared with ampicillin and gentamicin,
for neonates at risk for sepsis is associated with an increased risk of
neonatal death. Pediatrics 2006; 117: 67-74.

4.

Heath TH. Infection and immunity in the newborn. Dalam: McIntosh


N, Helms PJ, Smyth RL, Logan S, penyunting. Forfar and Arneil's
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-7. Edinburgh: Elsevier Limited, 2008.
h. 319-31.

5.

Zaidi AK, Thaver D, Ali SA, Khan TA. Pathogens associated with
sepsis in newborns and young infants in developing countries.
Pediatr Infect Dis J. 2009; 28: S10-S18.

6.

Amir I, Rundjan L. Patofisiologi: sepsis neonatorum: systemic


inflamatory response syndrome (SIRS). Dalam: Hegar B, Trihono PP,
Irfan EB, penyunting. Update in Neonatal Infections. Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVIII. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI, 2005. h. 17-31.
7.

Gomella TL. Infectious diseases. Dalam: Gomella TL, Cunningham


MD, Eyal FG, Zek KE, penyunting. Neonatology: Management,
Procedures, On Call Problems, Diseases and Drugs. USA: McGrawsHills Company, 2004. h. 434-40.

8.

Weinstein MP, Towns ML, Quartey SM, dkk. The clinical significance
of positive blood cultures in the 1990s: a prospective comprehensive
evaluation of the microbiology, epidemiology, and outcome of
bacteremia and fungemia in adults. Clin Infect Dis. 1997; 24(4): 584602.

9.

McGowan KL, Foster JA. Coffin SE. Outpatient pediatric blood


cultures: time to positivity. Pediatrics 2000; 106: 251-5.

10. Monintja HE. Infeksi sistemik pada neonatus. Dalam: Yu VY, Monintja
HE, penyunting. Beberapa Masalah Perawatan Intensif Neonatus.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1997. h. 217-30.
11. Gotoff SP. Infections of the neonatal infant. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi
ke-17. Philadelphia: WB Saunders, 2000. h. 538-52.
12. Pusponegoro TS. Sepsis pada neonatus (sepsis neonatal). Sari
Pediatri 2000; 2: 96-102.
13. Short MA. Linking the sepsis triad of inflammation, coagulation, and
suppressed fibrinolysis to infants. Adv Neonatal Care. 2004; 4(5):
258-73.

10

14. Rahman S, Hameed A, Roghani MT, Ullah Z. Multidrug resistant


neonatal sepsis in Peshawar, Pakistan. Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed. 2002; 87: F52-F54.
15. Buttarello M, Plebani M. Automated blood cell counts. Am J Clin
Pathol. 2008; 130: 104-16.
16. Aird WC. The hematologic system as a marker of organ dysfunction
in sepsis. Mayo Clin Proc. 2003; 78: 869-81.
17. Patrick CH, Lazarchick J. The effect of bacteremia on automated
platelet measurements in neonates. Am J Clin Pathol. 1990; 93(3):
391-4.
18. Khashu M, Osiovich H, Henry D, Khotani AA, Solimano A, Speert DP.
Persistent bacteremia and severe thrombocytopenia caused by
coagulase-negative staphylococcus in a neonatal intensive care unit.
Pediatrics 2006; 117; 340-8.
19. Torkaman M, Afsharpaiman SH, Hoseini MJ, dkk. Platelet count and
neonatal sepsis: a high prevalence of Enterobacter spp. Singapore
Med J. 2009; 50(5): 482.
20. Akarsu S, Taskin E, Kilic M, dkk. The effects of different infectious
organisms on platelet counts and platelet indices in neonates with
sepsis: is there an organism-specific response? J Trop Pediatr. 2005;
51(6): 388-91.
21. Charoo BA, Iqbal JI, Iqbal Q, Mushtaq S, Bhat AW, Nawaz I.
Nosocomial sepsis-induced late onset thrombocytopenia in a

11

neonatal tertiary care unit: a prospective study. Hematol Oncol Stem


Cell Ther. 2009; 2(2): 349-53.
22. Bhat MA, Bhat JI, Kawoosa MS, Ahmad SM, Ali SW. Organismspecific

platelet

response

and

factors

affecting

survival

in

thrombocytopenic very low birth weight babies with sepsis. J


Perinatol. 2009; 29(10): 702-8.
23. Guida JD, Kunig AM, Leef KH, McKenzie SE, Paul DA. Platelet count
and sepsis in very low birth weight neonates: is there an organismspecific response? Pediatrics 2003; 111: 1411-5.
24. Torres CS, Dupla AM, Prez DR, Aliaga MY, Rebage MV.
Nosocomial candida infections and thrombocytopenia in very low
birth weight newborns. An Pediatr (Barc). 2007; 67(6): 544-7.
25. O'Connor TA, Ringer KM, Gaddis ML. Mean platelet volume during
coagulase-negative staphylococcal sepsis in neonates. Am J Clin
Pathol. 1993; 99(1): 69-71.
26. Manzoni P, Mostert M, Galletto P, dkk. Is thrombocytopenia
suggestive of organism-specic response in neonatal sepsis? Pediatr
Int. 2009; 51(2): 206-10.
27. Papoff P, Ficuccilli F, Fior P, dkk. Circulating thrombopoietin (Tpo)
levels in neonatal sepsis. Pediatr Res. 1998; 44: 447.
28. Colarizi P, Fiorucci P, Caradonna A, Ficuccilli F, Mancuso M, Papoff P.
Circulating thrombopoietin levels in neonates with infection. Acta
Paediatr. 1999; 88(3): 332-7.

12

29. Kurata Y, Hayashi S, Kiyoi T, dkk. Diagnostic value of tests for


reticulated platelets, plasma glycocalicin, and thrombopoietin levels
for

discriminating

between

hyperdestructive

and

hypoplastic

thrombocytopenia. Am J Clin Pathol. 2001; 115: 656-64.


30. Oygr N, Tunga M, Mumcu Y, dkk. Thrombopoietin levels of
thrombocytopenic term and preterm newborns with infection. Am J
Perinatol. 2001; 18(5): 279-86.
31. Brown RE, Rimsza LM, Pastos K, dkk. Effects of sepsis on neonatal
thrombopoiesis. Pediatr Res. 2008; 64(4): 399-404.
32. Zakynthinos SG, Papanikolaou S, Theodoridis T, dkk. Sepsis severity
is the major determinant of circulating thrombopoietin levels in septic
patients. Crit Care Med. 2004; 32(4): 1004-10.
33. Baudouin SV. Sepsis. London: Springer, 2008.
34. Aminullah A. Sepsis pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto
A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi.
Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008. h. 170-87.
35. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care
Medicine Consensus Conference: definitions for sepsis and organ
failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis.
Crit Care Med. 1992; 20(6): 864-74.
36. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, dkk. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/
ATS/SIS international sepsis definitions conference. Crit Care Med.
2003; 31(4): 1250-6.

13

37. Goldstein B, Giroir B, Randolph A, Members of the International


Consensus Conference on Pediatric Sepsis. International pediatric
sepsis consensus conference: definitions for sepsis and organ
dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005; 6(1): 2-8.
38. Suarca K, Kardana M, Sri Iswari I. Blood culture and sensitivity test
pattern of early versus late onset sepsis in neonatal ward Sanglah
Hospital Denpasar. Dalam: Garna H, Nataprawira HM, penyunting.
Abstract Book 13th National Congress of Child Health. Bandung: West
Java Indonesian Society of Pediatricians, 2005. h. 110.
39. Siswanto JE, Harahap FP, Indrasanto E. Microorganism pattern and
its sensitivity in NICU and L II nursery Harapan Kita Children and
Maternity Hospital Jakarta. Dalam: Garna H, Nataprawira HM,
penyunting. Abstract Book 13th National Congress of Child Health.
Bandung: West Java Indonesian Society of Pediatricians, 2005. h.
302.
40. Rohsiswatmo R. Multidrug resistance in a neonatal unit and
therapeutic implications. Paediatric Indones. 2006; 46: 25-31.
41. Yuliana N, Usman A. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan
leukosit dan trombosit pada sepsis neonatorum di RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung periode Juli-Desember 2006. Dalam: Sadjimin T,
Juffrie M, Julia M, Wibowo T, penyunting. Buku Abstrak PIT IKA IIIIDAI. Yogyakarta: IDAI, 2007. h. 27.
42. Sofiah F, Indra RM, Bermawi H, Tasli JM. Pola sensitivitas kuman
penyebab sepsis neonatal terhadap berbagai antibiotik. Dalam:

14

Sadjimin T, Juffrie M, Julia M, Wibowo T, penyunting. Buku Abstrak


PIT IKA III-IDAI. Yogyakarta: IDAI, 2007. h. 30.
43. Rahman T, Utomo MT, Etika R, Indarso F, Harianto A, Damanik SM.
Sepsis neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya 2006. Dalam:
Sadjimin T, Juffrie M, Julia M, Wibowo T, penyunting. Buku Abstrak
PIT IKA III-IDAI. Yogyakarta: IDAI, 2007. h. 532.
44. Shattuck KE, Chonmaitree T. The changing spectrum of neonatal
meningitis over a fifteen-year period. Clin Pediatr (Phila). 1992; 31(3):
130-6.
45. Haque KN. Definitions of bloodstream infection in the newborn.
Pediatr Crit Care Med. 2005; 6(3): S45-S49.
46. Tantalen JA, Len RJ, Santos AA, Snchez E. Multiple organ
dysfunction syndrome in children. Pediatr Crit Care Med. 2003; 4(2):
181-5.
47. Opal SM. Concept of PIRO as a new conceptual framework to
understand sepsis. Pediatr Crit Care Med. 2005; 6: S55-S60.
48. Ng PC, Li K, Wong RP, dkk. Proinflammatory and anti-inflammatory
cytokine responses in preterm infants with systemic infections. Arch
Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2003; 88: F209-F213.
49. Kster H, Weiss M, Willeitner AE, dkk. Interleukin-1 receptor
antagonist and interleukin-6 for early diagnosis of neonatal sepsis 2
days before clinical manifestation. The Lancet 1998; 352: 1271-7.

15

50. Garna H. Sepsis neonatorum. Dalam: Pedoman Diagnosis dan


Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-3. Bandung:

Bagian Ilmu

Kesehatan Anak FK Unpad, 2005: h. 109-12.


51. Kumar Y, Qunibi M, Neal TJ, Yoxall CW. Time to positivity of neonatal
blood cultures. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2001; 85: F182F186.
52. Chiesa, dkk. Diagnosis of neonatal sepsis: a clinical and laboratory
challenge. Clinical Chemistry 2004; 50 (2): 279-87.
53. Aulia D, Sanjaya AI, Timan IS. The use of immatane to total
neutrophil (IT) ratio to detect bacteriemia in neonatal sepsis. J Lab
Med & Quality Assuarance. 2003; 25: 237-42.
54. Kuter DJ. Thrombopoietin: biology and clinical applications. The
Oncologist 1996; 1: 98-106.
55. Kaushansky

K.

The

molecular

mechanisms

that

control

thrombopoiesis. J Clin Invest. 2005; 115(12): 3339-47.


56. Kuter DJ, Begley CG. Recombinant human thrombopoietin: basic
biology and evaluation of clinical studies. Blood 2002; 100: 3457-69.
57. Miyazaki H. Physiologic role of TPO in thrombopoiesis. Stem Cells
1996; 14(suppl 1): 133-8.
58. Kurata Y, Hayashi S, Kiyoi T, dkk. Diagnostic value of tests for
reticulated platelets, plasma glycocalicin, and thrombopoietin levels
for

discriminating

between

hyperdestructive

and

hypoplastic

thrombocytopenia. Am J Clin Pathol. 2001; 115: 656-64.

16

59. Kuter DJ. New thrombopoietic growth factors. Blood 2007; 109(11):
4607-16.
60. Van Den Oudenrijn S, Bruin M, Folman CC, Bussel J, De Haas M,
Von Dem Borne AE. Three parameters, plasma thrombopoietin
levels, plasma glycocalicin levels and megakaryocyte culture,
distinguish between different causes of congenital thrombocytopenia.
British J Haem. 2002; 117: 390-8.
61. Roberts I, Murray NA. Neonatal thrombocytopenia: causes and
management. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2003; 88: F359F364.
62. Levi M. Platelets in sepsis. Hematology 2005; 10(suppl 1): 129-31.
63. Levi M, Opal SM. Coagulation abnormalities in critically ill patients.
Critical Care 2006; 10: 222.
64. Levi M, Marder VJ. Coagulation abnormalities in sepsis. Dalam:
Colman RW, MArder VJ, Clowes AW, George JN, Goldhaber SZ,
penyunting. Hemostasis and Thrombosis: Basic Principles and
Clinical Practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2006. h. 1601-8.
65. Franois B, Trimoreau F, Vignon P, Fixe P, Praloran V, Gastinne H.
Thrombocytopenia in the sepsis syndrome: role of hemophagocytosis
and macrophage colony-stimulating factor. Am J Med. 1997; 103(2):
114-20.
66. ren H, Duman N, Abaciolu H, zkan H, Irken G. Association
between serum macrophage colony-stimulating factor levels and

17

monocyte and thrombocyte counts in healthy, hypoxic, and septic


term neonates. Pediatrics 2001; 108: 329-32.
67. Baker GR, Levin J. Transient thrombocytopenia produced by
administration

of

macrophage

colony-stimulating

factor:

investigations of the mechanism. Blood 1998; 91: 89-99.


68. Monroe DM, Hoffman M, Roberts HR. Platelets and thrombin
generation. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2002; 22: 1381-9.
69. Haque KN. Neonatal sepsis in the very low birth weight preterm
infants: part 1: review of patho-physiology. Journal of Medical
Sciences 2010; 3(1): 1-10.
70. Robertson JD, Blanchette VS, Kahr WH. Quantitative platelet
disorders. Dalam: Key N, Makris M, OShaughnessy D, Lillicrap D,
penyunting. Practical Hemostasis and Thrombosis. Edisi ke-2. UK:
Blackwell Publishing Ltd, 2009. h. 96-103.
71.

18

Anda mungkin juga menyukai