Intensitas warna yang tinggi merupakan salah satu ciri khas dari air gambut yang
merupakan akibat dari tingginya kandungan zat organik terlarut, terutama dalam
bentuk asam humus dan derivatnya. Zat organik yang menyebabkan warna
tersebut adalah berasal dari dekomposisi bahan organik seperti daun, pohon atau
kayu dengan berbagai tingkat dekomposisi, namun secara umum telah mencapai
dekomposisi yang stabil (Notodarmojo, 1994). Dalam berbagai kasus, warna akan
semakin tinggi karena disebabkan oleh adanya logam besi yang terikat oleh asamasam organik yang terlarut dalam air tersebut.
Senyawa humus secara umum memiliki ikatan aromatik yang panjang. Jika
senyawa hasil oksidasi lignin dan homo vanilic acid yang merupakan salah satu
senyawa asam humus yang sederhana, berikatan dengan logam seperti Fe, Cu, dan
Al pada gugus fenolik atau asetat maka, akan menghasilkan warna dengan
intensitas yang sangat tinggi. Ion logam yang berikatan pada gugus asetatnya akan
terionisasi sehingga, warna air akan mudah dihilangkan dengan cara
mengendapkan ion logam tersebut dalam suasana basa sebagai hidroksida.
Apabila ion logam terikat pada gugus aromatiknya, warna air tidak mudah
dihilangkan dengan cara pengendapan karena ion logamnya tidak terionisasi.
Kandungan humus merupakan bagian terbesar dalam bahan organik yang terdapat
dalam air tanah dan air permukaan dan bersifat:
1. Mempunyai berat molekul yang bervariasi dari < 800 sampai 50.000 dan
bersifat polimer (AWWA, 1980).
2. Secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu Particulate Organic Carbon
(POC), dengan ukuran diatas 0,45 m dan biasanya kurang dari 10%
kandungan zat organik; dan Dissolved Organic Carbon (DOC), dimana
DOC terdiri dari 80% kandungan hirofilik dan dan selebihnya hidrofilik
(Fearing et.al, 2004).
3. Kehadiran berbagai gugus kimia seperti hidroksil, karboksil, metoksil
karbonil, dan gugus quionoid diduga telah memberikan sifat hidrofilik
kepada humus (AWWA, 1980).
Dari Gambar II.3 diketahui bahwa kandungan karbon dan oksigen, asiditas dan
derajat polimerisasi, semuanya berubah secara sistematik dengan peningkatan
berat molekul. Asam fulvik dengan berat molekul yang rendah memiliki
kandungan oksigen yang lebih tinggi dan kandungan karbon yang rendah jika
dibandingkan asam humat dengan berat molekul yang tinggi. Warna juga akan
semakin tinggi dengan semakin tingginya berat molekul.
Senyawa humus secara garis besar terdapat dialam melalui dua pathway yaitu: (1)
berasal dekomposisi tumbuhan seperti lignin dan selulosa, (2) melalui kondensasi
reaksi polimerisasi. Senyawa humus yang berasal dari lignin dapat berubah
menjadi aldehid karena proses oksidasi fotokimia (Kim et.al, 2001). Aldehid
adalah salah satu senyawa organik yang mengandung gugus karbonil (CO-) dan
memiliki sekurangnya satu atom hidrogen yang terikat pada karbon karbonilnya
(Gambar II.4).
O
R-C-H atau RCHO
Gambar II.4 Gugus Aldehid (Fessenden, 1982)
Aldehid berdasarkan jumlah atom yang dimiliki dibedakan menjadi beberapa jenis
diantaranya adalah pentanal dan hexanal (Wikipedia, free encyclopedia) :
Pentanal
Nama lain
: -600C
Titik didih
: 102 1030C
Kelarutan
Hexanal
Nama lain
: Hexanal dehyde
Titik lebur
: < -200C
Titik didih
: 119 1240C
Kelarutan
Dari kelarutannya terhadap air, maka hexanal dan pentanal dimasukkan kedalam
kategori hidrofobik.
Bahan organik tanah dan tanaman berada dalam bentuk koloid. Dan berdasarkan
kemudahan berikatan dengan air maka, bahan organik dapat dibedakan atas
hidrofobik (tidak suka air) dan hidrofilik (suka air). Koloid hidrofobik dapat
diflokulasi, sedang kolid hidrofilik biasanya tidak. Koloid tanaman kebanyakan
bersifat hidrofilik sehingga sulit untuk dikoagulasi secara konvensional (Tan,
1991).
Apabila klorin bereaksi dengan bahan organik, bisa menghasilkan trihalometan
(THM), asam haloasetik (HAA) dan beberapa produk desinfeksi terhalogenasi
lainnya. Zat ini dapat bersifat toksik atau karsinogenik (Kim et.al, 2006). Oleh
karena itu proses desinfeksi air berwarna alami dengan klor sama sekali tidak
dianjurkan.
Karakteristik air gambut bersifat spesifik, tergantung pada lokasi, jenis vegetasi
dan jenis tanah tempat air gambut tersebut berada. Hal ini dapat dilihat pada Tabel
II.1 yang merupakan hasil penelitian Puslitbang Pemukiman dan dikutip dari
Irianto (1998).
10
Tabel II.1 Karakteristik Air Gambut dari Berbagai Lokasi (Sumatera dan
Kalimantan)
No
Parameter
Satuan
Kalsel
Kalbar
Kalteng
Sumsel
Riau
Menkes
Warna
PtCo
753
527
725
1315
1125
15
15
Kekeruhan
mg/L SiO2
32
0,5
DHL
mho/cm
30
50
78
75
pH
4,1
3,9
3,6
6,5-8
6,5-8,5
Zat Organik
mg/L KmnO4
278
194
172
290
243
10
10
Kesadahan
2,05
0,48
5,5
1,4
500
500
Kalsium
mg/L
4,5
Magnesium
mg/L
8,83
2,1
20,9
6,2
Besi
mg/L
0,3
0,3
10
Mangan
mg/L
0,1
0,1
11
Chlorida
mg/L
11,11
5,48
162
18
250
250
12
SO4
mg/L
5,1
11,2
400
400
13
HCO3
mg/L
51,4
14
CO2 Agresif
mg/L
31
80,6
Kadar keasaman (pH) yang rendah dapat menyebabkan sakit perut dan
kerusakan pada gigi
11
Apabila larutan klor dipakai pada proses desinfeksi maka akan membentuk
senyawa organoklorin yang bersifat karsinogen.
Proses Oksidasi
Proses Adsorpsi
Proses koagulasi-flokulasi
a. Proses Oksidasi
Proses oksidasi untuk pengolahan air berwarna dapat dianjurkan adalah dengan
ozon atau peroksida, karena tidak menghasilkan suatu ikatan atau senyawa yang
berbahaya. Ozon atau peroksida dikenal sebagai oksidator kuat yang dapat
digunakan dalam pengolahan air, sehingga ikatan polimer dan monomernya
terputus dan akan membentuk CO2 dan H2O apabila oksidasinya sempurna.
Namun dalam aplikasinya biaya operasi relatif mahal, dan perlu digunakan unit
peralatan penghasil ozon (Wisnuprapto, 1994).
b. Proses Adsorpsi
Adsorpsi merupakan fenomena fisika dimana molekul-molekul bahan yang
diadsorpsi tertarik pada permukaan bidang padat yang bertindak sebagai
adsorban. Dengan demikian jelas bahwa adsorpsi merupakan fenomena bidang
batas, yang efisiensinya makin tinggi apabila luas bidang permukaan adsorban
makin besar (Schnitzer, 1992).
Ditinjau dari segi derajat adsorpsi pada suatu jenis adsorban secara umum
mengikuti aturan sebagai berikut (Wisnuprapto, 1994):
12
13
bahan-bahan terlarut dalam air, dan akan ikut tersisih dalam proses
pengendapan dan penyaringan. Sedangkan pada air berwarna alami atau air
gambut, konsentrasi bahan koloid atau partikel tersuspensi lainnya umumnya
sangat rendah. Sehingga ada pendapat mengatakan bahwa sesungguhnya proses
koagulasi dan flokulasi yang dilaksanakan pada air berwarna tidak lain adalah
melaksanakan proses adsorpsi dengan bantuan penambahan bahan kimia
(Notodarmojo, 1994).
Hal ini dibuktikan oleh penelitian Irianto (1998) pada air gambut dari
Kalimantan Selatan yang mengatakan bahwa, proses adsorpsi lebih berperan
dalam penurunan warna dan zat organik air gambut dibanding proses koagulasiflokulasi. Penelitian yang dilakukan oleh Notodarmojo (1994) pada air gambut
dari Riau mendapatkan kondisi optimum penyisihan warna dan zat organik
dengan tanah putih 100 mg/L, tawas 280 mg/L dan kapur 100 mg/L
Namun berat molekul zat organik yang terdapat dalam air gambut ada yang
lebih besar dari 30.000 (BM<30.000) akibat dari terlarutnya asam humus
dengan berat molekul tinggi. Hal ini masih memungkinkan untuk terjadinya
proses destabilisasi koloid melalui proses koagulasi dan flokulasi ( Tan, 1991).
Presipitat aluminium hidroksida juga cenderung untuk berikatan dengan zat
organik yang mempunyai berat molekul yang tinggi (Amirtarajah & OMelia,
1999)
Dari Amirtarajah dan OMelia (1999) juga diketahui ada pendapat lain dari
VanBenschoten dan Ezwald pada tahun 1990 yang mengatakan bahwa terjadi
reaksi antara produk hidrolisis logam koagulan dengan binding site logam pada
permukaan kontaminan dan terjadi ikatan antara produk hidrolisis dengan
komponen organik alamiah terlarut. Serta Dempsey, Bottero dan Bersillon pada
tahun 1989 juga telah meragukan bahwa produk hidrolisis terlarut berikatan
dengan bahan organik alamiah (NOM) bukan merupakan langkah yang penting
dalam penyisihan NOM oleh koagulan dari jenis logam dan bahwa adsorpsi
14
NOM pada partikel presipitat adalah yang mengontrol proses untuk semua
kondisi dalam koagulasi.
Partikel koloid dan tersuspensi yang terdapat di air permukaan memiliki muatan
negatif. Partikel yang berukuran besar memiliki turbiditas, lempung dan lanau dan
juga memiliki sifat hidrofobik. Partikel dengan ukuran seperti ini lebih ekonomis
untuk teragregasi melalui penambahan koagulan seperti alum. Zat ini bereaksi
dengan alkalinitas dalam air membentuk hidrous oxides. Dengan melibatkan
kation trivalen, reaksinya menjadi :
BmAn + mnOH- mB(OH)n + nAm-
(2.1)
Hidrous oxides relatif bersifat tidak terlarut pada pH normal sehingga mudah
terpresipitasi. Karena titik isoelektrik dari sebagian besar partikel hidrous oxides
juga turun pada range pH normal, maka endapan berubah menjadi partikel
flokulen. Karena adanya agitasi dari sistem, partikel kasar penyebab kekeruhan
bertabrakan, terikat, kemudian menjadi satu dan membentuk partikel flok. Saat
15
(2.2)
Dosis
Koagulan 2
Air Baku
Efluen
Pengadukan
cepat 1
Pengadukan
cepat 2
Flokulasi
16
Pada pH rendah (<6.5), alum yang terdapat dalam air akan menghasilkan muatan
positif, produk hidrolisis larut dan ion logam Al+3 sehingga memungkinkan
terjadinya netralisasi muatan. Selain itu pada pH rendah, sejumlah kecil
konsentrasi alum akan bisa menyebabkan terjadinya netralisasi muatan. Bila
konsentrasi alum meningkat, maka akan terbentuk koloid presipitat yang stabil,
suspensi akan direstabilisasi muatan positif produk hidrolisis yang telah tersorpsi
sehingga tidak akan terbentuk flok yang mudah mengendap (Amirtarajah &
OMelia, 1999). Hal ini membutuhkan lebih dari satu kali pembubuhan karena
konsentrasi alum yang rendah belum tentu bisa memenuhi seluruh kebutuhan
koagulan untuk proses koagulasi.
Pada pH tinggi (>6.5), sebagai akibat reaksi monomerik Al kompleks dengan zat
organik, hidrolisasi untuk membentuk polimerik atau presipitat hidroksida bisa
terjadi
secara
bersamaan.
Dengan
adanya
presipitat
hidroksida
akan
17
Jika perkiraan ini benar maka proses two staged coagulation akan efektif karena
zat organik hidrofobik akan teradsorpsi pada koloid Al(OH)3(S) selama proses
koagulasi pertama two staged coagulation dan akan membiarkan padatan
hidroksida aluminium beraglomerasi membentuk ukuran yang bisa menyebabkan
terjadinya sweep flocculation.
Oksida metal bersifat selektif untuk mengisolasi zat organik dan zat lainnya. Bila
material hidrofobik telah dikoagulasi maka akan sedikit sekali tersisa ruang untuk
ikatan dengan material hidrofilik sehingga tingkat penyisihannya rendah pada
koagulasi konvensional. Dengan adanya two staged coagulation, pada koagulasi
pertama dianggap bahwa zat organik hidrofobik telah teradsorp pada permukaan
18
19
II.3.3 Flokulasi
Flokulasi merupakan proses pembentukan flok dari koloid yang sudah
didestabilisasikan pada proses koagulasi. Flokulasi terjadi akibat adanya kontak
antara flok yang sudah didestabilisasi sehingga terbentuk flok yang lebih besar
dan mudah mengendap. Untuk mempercepat flokulasi biasanya dilakukan
pengadukan/memberi gradien kecepatan pada aliran sehingga peluang kontak
antar partikel/flok menjadi lebih besar dan waktu kontak serta waktu
pengendapannya menjadi lebih cepat (Kawamura, 2001).
Proses dalam flokulasi adalah proses pengadukan lambat. Tujuan pengadukan
lambat adalah untuk mempercepat penggabungan partikel yang disebabkan proses
aglomerisasi dari partikel koloid nonstabil bermuatan sehingga menjadi bentuk
yang dapat diendapkan dan tersisa partikel dalam bentuk yang dapat disaring.
20
Gambaran umum proses terbentuknya flok oleh adanya penambahan koagulan dan
pengadukan yang tepat ditunjukkan oleh Gambar II.7
(2.3)
Dari reaksi diatas akan diperoleh endapan aluminium hidroksida. Hal penting
yang perlu dicatat bahwa untuk setiap mol alum yang bereaksi, maka terdapat
enam ekivalen alkalinitas bikarbonat yang dibutuhkan dan 6 mol karbon dioksida
yang dihasilkan. Penurunan alkalinitas bikarbonat dan peningkatan karbon
dioksida akan mengakibatkan penurunan pH.
21
bermuatan
positif
seperti:
Al(H2O)63+,
Al(OH)(H2O)52+
dan
Al13O4(OH)247+ serta ion terlarut bermuatan negatif Al(OH)4, proporsi masingmasingnya bisa bervariasi tergantung pada dosis alum dan pH setelah
penambahan alum (Amirtarajah & OMelia, 1999). Selain itu ion sulfat (SO4-2)
juga bisa menjadi bagian dari dari hidro aluminium komplek melalui proses
substitusi dengan beberapa ion hidroksida (OH-1) dan ini akan menyebabkan
turunnya muatan hidroksida (Moramarco & Ravina, 1993).
Al(H2O)63+
Ion aquo Al
Ion hidrogen
Al(OH)(H2O)52+
Spesies mononuclear
Ion hidrogen
Al13O4(OH)247+
Spesies polynuclear
Ion hidrogen
Al(OH)3(s)
presipitat
Ion hidrogen
Ion aluminium
Al(OH)4-
22
Dari (Amirtarajah & OMelia, 1999) diketahui bahwa Kodama dan Schnitzer pada
tahun 1980; Bersch dan Parker pada tahun 1996 mengatakan kalau reaksi kimia
yang terjadi pada saat penambahan alum ke air bersifat kompleks sehingga
sebagian masih ada yang belum dimengerti. Saat proses hidrolisis terjadi, jika
jumlah ion total logam dalam sistem mencukupi, produk mononuclear sederhana
akan bisa membentuk spesies polynuclear komplek yang seterusnya akan bisa
berubah bentuk menjadi mikrokristal dan presipitat hidroksida logam. Produk
hidrolisis bisa mengadsorpsi dan dilanjutkan dengan menghidrolisa permukaan
partikel
Kelarutan presipitat hidroksida logam adalah salah satu faktor yang menentukan
efisiensi koagulan dan untuk meminimasi sisa Al di air hasil olahan. Kelarutan
koagulan alum sangat ditentukan oleh pH (Gambar II.9). Pada pH rendah,
dissolusi presipitat hidroksida logam akan menghasilkan muatan positif, produk
hidrolisis terlarut dan ion metal Al+3. Pada pH tinggi, akan terbentuk muatan
negatif dan Al(OH)4- terlarut.
23
Gambar II.10 Tahapan reaksi yang mungkin akan dilalui jika alum
ditambahkan ke air yang mengandung zat organik dan
partikel (Amirtarajah & OMelia, 1999)
Langkah A dan B
Pada langkah A dan B ini diperkirakan terjadi reaksi antara produk hidrolisis
logam koagulan dengan binding site logam pada permukaan kontaminan dan
terjadi ikatan antara produk hidrolisis dengan komponen organik alamiah
terlarut. Jika ketersediaan binding site untuk terjadinya ikatan dengan
produk hidrolisis cukup tinggi dan affinitas terhadap Al cukup tinggi maka
semua produk hidrolisis akan bereaksi dengan permukaan kontaminan,
24
Langkah C dan D
Presipitat hidroksida logam dan produk hidrolisis logam terlarut akan mulai
terbentuk setelah kebutuhan koagulan untuk langkah A dan B sudah
terpenuhi. Jika jumlah site yang bisa mengikat presipitat hidroksida logam
relatif rendah, reaksi dengan binding site dan pembentukan presipitat
hidroksida logam dalam larutan bisa terjadi secara simultan. Diduga, yang
paling mempengaruhi pemilihan salah satu langkah adalah intensitas
pengadukan yang berfungsi untuk menyebarkan koagulan didalam larutan.
Saat hidroksida logam mulai berpresipitasi akibat adanya kandungan
organik, kandungan organik dengan berat molekul yang lebih tinggi dan
lebih hidrofobik cenderung untuk mengadsorp dan melingkupinya. Proses
ini akan membutuhkan jumlah koagulan yang tinggi. Saat densitas NOM
yang teradsorpsi cukup tinggi, partikel mikrokristal akan punya muatan
negatif, stabil, dan terdispersi oleh proses steric stabilization.
Saat dosis koagulan melebihi kebutuhan, pembentukan presipitat yang tidak
stabil akan menghasilkan pembentukan flok yang lebih cepat dan visibel.
Proses ini disebut sweep coagulation atau enmeshment. Dalam banyak
kasus, laju flokulasi sebanding dengan volume konsentrasi presipitat dalam
larutan. Pembentukan flok melalui enmeshment mencakup interaksi partikel
pada presipitat hidroksida logam dan kontak dengan partikel kontaminan.
25
Langkah E
Jumlah flokulen presipitat hidroksida logam yang terbentuk akan tergantung
pada kondisi pH akhir. Jika pH akhir mendekati pH kelarutan minimum
presipitat hidrosida logam, jumlah presipitat akan maksimal dan kehadiran
ion metal terlarut di air akan minimal.
26
pada tahun 1955. Derajat pengadukan merupakan berdasarkan pada daya (power
input) yang diberikan ke dalam air, dalam hal ini diukur gradien kecepatannya.
Laju tabrakan partikel proporsional terhadap gradien kecepatan, sehingga gradien
tersebut harus mencukupi untuk menghasilkan laju tabrakan partikel yang
diinginkan. Camp pada tahun 1943 juga telah mendefinisikan gradien kecepatan,G
sebagai:
G =
Dimana : G
P
V
G.td =
1
Q
P.V
(2.5)
= power input
= volume tangki
namun
yang
dipakai
dalam
penelitian
ini
adalah
pengadukan
P=
KT
. .N 3 .D 5
g
P=
KL
. .N 2 .D 3
g
dimana:
P : power input (N.m/dtk)
g : percepatan gravitasi bumi (m/dtk2)
: rapat massa air (N.dtk2/m4)
27
(2.6)
1
P = .CD . . A.v 3
2
(2.7)
28