Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Umum
Tanah saja biasanya tidak cukup untuk kuat dan tahan, tanpa

adanya deformasi yang berarti terhadap beban roda berulang.


Untuk itu perlu adanya suatu lapis tambahan yang terletak antara
tanah dan roda, atau lapis paling atas dari badan jalan. Lapis
tambahan ini dibuat dari bahan khusus yang terpilih (yang lebih
baik), yang selanjutnya disebut lapis keras/perkerasan (pavement),
(Sulaksono, SW, ITB, 2000).
Perkerasan adalah struktur yang terdiri dari banyak lapisan
yang dibuat untuk menambah daya dukung tanah agar dapat
memikul repetisi beban lalu-lintas sehingga tanah tadi tidak
mengalami deformasi yang berarti (Croney, D, 1977). Perkerasan
atau struktur perkerasan didefenisikan sebagai struktur yang terdiri
dari satu atau lebih lapisan perkerasan yang dibuat dari bahan yang
memiliki kualitas yang baik (Basuki, H, 1986). Jadi, perkerasan jalan
adalah suatu konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar
(subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban lalu lintas
(NAASRA, 1987).
Kerusakan jalan disebabkan antara lain karena beban lalu lintas berulang yang
berlebihan (overloaded), panas/suhu udara, air dan hujan, serta mutu awal produk
jalan yang jelek. Oleh sebab itu disamping direncanakan secara tepat jalan harus
dipelihara dengan baik agar dapat melayani pertumbuhan lalulintas selama umur

rencana. Pemeliharaan jalan rutin maupun berkala perlu dilakukan untuk


mempertahankan keamanan dan kenyamanan jalan bagi pengguna dan menjaga daya
tahan/keawetan sampai umur rencana. (Suwardo & Sugiharto, 2004).
Perkerasan dimaksudkan untuk memberikan permukaan yang
halus dan aman pada segala kondisi cuaca, serta tebal dari setiap
lapisan harus cukup aman untuk memikul beban yang bekerja di
atasnya.
Kinerja perkerasan jalan dilihat dari kemampuan perkerasan
itu menerima beban berulang yang bekerja di atasnya. Setiap kali
muatan lewat, terjadi deformasi pada permukaan perkerasan.
Apabila muatan ini berlebihan atau lapisan
pendukung tersebut kehilangan kekuatannya, pengulangan beban
menyebabkan terjadinya gelombang atau retakan yang akan
berlanjut kepada kualitas keamanan dan kenyamanan dalam
berkendara (fungsional) dan akhirnya mengakibatkan keruntuhan
pada badan jalan itu sendiri (struktural/wujud perkerasan).
Bilamana indeks daya layan jalan (present serviceability
index) dari suatu perkerasan jalan beton/kaku mencapai tingkat
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi (pt = 2.5 untuk jalan
raya utama/arteri, pt = 2.0 untuk jalan lalu lintas rendah),
perkerasan dapat dibuat kembali (konstruksi ulang), di daur-ulang
(recycling)

atau

dapat

dilakukan

penambahan

lapis

tambah/pelapisan ulang (overlay) di atas perkerasan jalan yang


sudah ada (Oglesby, CH, dkk).
Menurut Yoder, E. J dan Witczak (1975), Pada umumnya jenis
konstruksi perkerasan jalan ada 2 jenis :

Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)


Yaitu pekerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat.

Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)


Yaitu perkerasan yang menggunakan semen (Portland cement) sebagai bahan
pengikat
Selain dari dua jenis perkerasan tersebut, di Indonesia sekarang dicoba

dikembangkan jenis gabungan rigid-flexible pavement atau composite pavement,


yaitu perpaduan antara perkerasan lentur dan kaku.
Survey kondisi perkerasan perlu dilakukan secara periodik baik struktural
maupun nonstruktural untuk mengetahui tingkat pelayanan jalan yang ada.
Pemeriksaan nonstruktural (fungsional) antara lain bertujuan untuk memeriksa
kerataan (roughness), kekasaran (texture), dan kekesatan (skid resistance).
Pengukuran sifat kerataan lapis permukaan jalan akan bermanfaat di dalam usaha
menentukan program rehabilitasi dan pemeliharaan jalan. Di Indonesia pengukuran
dan evaluasi tingkat kerataan jalan belum banyak dilakukan salah satunya
dikarenakan keterbatasan peralatan. Karena kerataan jalan berpengaruh pada
keamanan dan kenyamanan pengguna jalan maka perlu dilakukan pemeriksaan
kerataan secara rutin sehingga dapat diketahui kerusakan yang harus diperbaiki.
(Suwardo & Sugiharto, 2004).
Penilaian tipe dan kondisi permukaan jalan yang ada merupakan aspek yang
paling penting dalam penentuan sebuah proyek, sebab karakteristik inilah yang akan
menentukan satuan nilai manfaat ekonomis yang ditimbulkan oleh adanya perbaikan
jalan.
2.2 Perkerasan Rigid Pavement (Beton)

Perkerasan kaku/beton didefinisikan sebagai perkerasan yang


menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan pengikat.
Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah
dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas
sebagian besar dipikul oleh pelat beton.
Perkerasan kaku adalah suatu perkerasan yang mempunyai
sifat dimana saat pembebanan berlangsung perkerasan tidak
mengalami perubahan bentuk, artinya perkerasan tetap seperi
kondisi semula sebelum pembebanan berlangsung (Basuki, H,
1986). Sehingga dengan sifat ini, maka dapat dilihat apakah lapisan
permukaan yang terdiri dari pelat beton tersebut akan pecah atau
patah. Perkerasan kaku ini biasanya terdiri 2 lapisan yaitu:

Lapisan permukaan (surface course) yang dibuat dengan


pelat beton

Lapisan pondasi (base course)

Susunan lapisan pada perkerasan kaku umumnya seperti pada gambar dibawah
ini:

Gambar 2.1 Struktur Perkerasan Kaku

Rigid Pavemet atau perkerasan kaku merupakan konstruksi


perkerasan jalan yang menggunakan pelat beton semen, sehingga
mempunyai tingkat kekakuan yang relatif cukup tinggi khususnya
bila di bandingan dengan perkerasan lentur (Flexible Pavement).
Perencanaan Konstruksi Rigid Pavement sebagai struktur jalan
yang efesien, dapat menggunakan beberapa metode numerik,
diantaranya adalah Metode Bina Marga atau SNI (Standar Nasional
Indonesia)1985.
Jenis perkerasan kaku adalah sebagai berikut:
1. Perkerasan kaku bersambung beton yang dibuat tanpa
tulangan (Jointed Unreinforced Concrete Pavement/JUCP).
2. Perkerasan kaku (Rigid Pavement) Bersambung dengan
Tulangan (Jointed Reinforced Concrete Pavement / JRJP).
3. Perkerasan kaku (Rigid Pavement) Menerus dengan tulangan
(Continously Reinforced Concrete Pavement / CRCP).
4. Perkerasan kaku (Rigid Pavement) Pratekan (Prestressed
Concrete Pavemant /PCP).
Dari

keempat

jenis

perkerasan

kaku

tersebut

diatas,

penekanan dari pembahasan pada tulisan ini diletakan pada jenis


perkerasan beton kaku bersambung tanpa tulangan (JUCP), sebab
jenis perkerasan inilah yang paling layak dan dilaksanakan di
Indonesia untuk saat ini ditinjau dari teknologi, material dan
peralatan yang tersedia.
Metode Bina Marga, konsep dari perencanaan perkerasan
kaku (beton semen) cara Bina Marga 1985 adalah ketahanan pelat
dalam menerima seperti beban lalulintas. Dengan demikian yang
menjadi pembatas utama bukanlah kekuatan pelat dalam menerima

repetisi tegangan yang timbul akibat beban.Untuk mengatasi


repetisi pembebanan lalu-lintas sesuai dengan konfigurasi dan
beban sumbunya, dalam perencanaan tebal pelat ditetapkan prinsip
kelelahan (fatigue) prinsip tersebut didasarkan anggapan bahwa
apabila perbandingan tegangan (perbandingan antara tegangan
lentur beton yang terjadi akibat beban roda dengan kuat lentur
beton (MR) menurun, maka jumah repetisi pembebanan sampai
runtuh (failure) akan meningkat.
Menurut Hardiyatmo (2007), berdasarkan bahan pengikatnya,
kontruksi perkerasan jalan dapat dibedakan atas:
1. Kontruksi

perkerasan

perkerasan
yang

lentur

(flexible

menggunakan

aspal

pavement),
sebagai

yaitu
bahan

pengikat. Lapisan-lapisan perkerasan bersifat memikul dan


menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
2. Kontruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan

yang menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan


pengikat pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan
di atas tanah dasar dengan atau tanpa lapis fondasi bawah.
Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton.
3. Kontruksi perkerasan komposit (composite pavement) yaitu perke-rasan kaku
yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur di atas perkerasan kaku atau
perkerasan kaku di atas perkerasan lentur.
Perbedaan perkerasan lentur dan perkerasan kaku dapat
dilihat pada Tabel 2.1 (Hardiyatmo, 2007).
Tabel 2.1 Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku

No
1
2

Perkerasan Lentur

Perkerasan

Aspal
Timbul rutting

Kaku
Semen
Timbul retak

(lendutan pada jalur

retak pada

Penurunan tanah

roda)
Jalan bergelombang

permukaan
Bersifat

dasar

(mengikuti tanah

sebagai balok

dasar)

di atas dua

Bahan pengikat
Repetisi beban

Perubahan

Modulus kekakuan

berubah
Timbul tegangan

temperatur

dalam yang kecil

perletakan
-Modulus
kekakuan
tidak
berubah
-Timbul
tegangan
dalam yang
besar

2.2.1 Klasifikasi dan Kelas Jalan


Menurut Ditjen Bina Marga (1970), jalan diklasifikasikan
menjadi tiga golongan yaitu Jalan Utama, Jalan Sekunder, dan Jalan
penghubung. Fungsi dan kelasnya dapat dilihat pada Tabel dibawah
ini.
Tabel 2.2 Klasifikasi Jalan
Klasifikasi

Lalu-lintas harian

Fungsi

Kelas

Utama

I
II A

rata-rata (LHR)
dalam smp
>20.000
6000 20.000

Sekunder
Penghubung

II B
II C
III

1500 8000
< 2000

2.2.2 Tipe Tipe Kerusakan Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)


Menurut Hardiyatmo (2007), kerusakan perkerasan kaku
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Deformasi (deformation), terdiri dari pemompaan, blow-up,
penurunan, punch out, dan rocking.
b) Retak (craks), terdiri dari retak memanjang, retak melintang,
retak diagonal, retak berbelok, retak sudut, retak tekuk, retak
susut, retak bersilang pelat, retak terbagi, dan retak daya
tahan.
c) Desintegrasi (disintegration), terdiri dari scaling, gompal,
agregat licin, dan popount.
A. Deformasi (Deformation)
Adalah penurunan permukaan perkerasan sebagai akibat terjadinya retak atau
pergerakan diantara slab. Kerusakan deformasi (NAASRA, 1987) antara lain
adalah :

Pemompaan (pumping)
Adalah peristiwa keluarnya air disertai butiran-butiran tanah dasar
melalui sambungan dan retakan atau pada bagian pinggir perkerasan,
akibat gerakan lendutan atau gerakan vertikal pelat beton karena beban
lalu lintas, setelah adanya air bebas yang terakumulasi di bawah pelat
beton. Pumping dapat mengakibatkan terjadinya rongga di bawah
pelat beton sehingga menyebabkan rusak/retaknya pelat beton.

Patahan (faulting)
Perbedaan elevasi antara slab akibat penurunan pada sambungan atau
retakan.

Amblas (depression)
Penurunan permanen permukaan slab dan umumnya terletak di
sepanjang retakan atau sambungan. Kerusakan ini dapat menimbulkan
terjadinya genangan air dan seterusnya masuk melalui sambungan atau
retakan.

Rocking
adalah fenomena, dimana terjadi pergerakan vertikal pada sambungan
atau retakan yang disebabkan oleh beban lalu lintas.

B. Retak (Cracks)
Retak yang terjadi pada perkerasan beton berdasarkan pada tekanan yang
terjadi

pada

lapisan

permukaan

beton.

Keretakan

juga

disebabkan oleh kegagalan struktural yang terjadi akibat


hilangnya daya dukung yangdisertai kerusakan/pecahnya
material pada permukaan perkerasan (Yoder, E.J. and Witczak,
M.W, 1975).
Keretakan pada perkerasan beton antara lain adalah :

Retak Refleksi (Reflection Cracks)


Seperti retak memanjang memanjang

(longitudinal

crack), retak diagonal (diagonal crack) atau retak yang


menyerupai kotak.
Retak ini disebabkan oleh material dan disain yang
kurang cocok pada awal perencanaan.

Retak Susut (Shrinkage Craks)


Retak ini disebabkan oleh penyusutan campuran beton
umumnya pada selama pelaksanaan.
Retak Membelok (Warping Cracks)
Retak yang terjadi pada tengah pelat (center slab)
membentuk

arah

memanjang

seperti

longitudinal

cracks. Retak ini disebabkan oleh tekanan yang sangat


berat di atas tengah pelat (Yoder, E.J. and Witczak, M.W,
1975).
C. Disentegrasi
Disintegrasi adalah terurainya pelat beton ke dalam bagian
kecil-kecil.

Partikel-pertikel dari

bagian-bagian.
secepatnya, dapat

Kerusakan

agregat

ini

berlanjut

terurai

menjadi

tidak

dicegah

bila
sampai

perkerasan

membutuhkan perbaikan total.


Scaling/Map Cracking/Crazing
Map cracking atau crazing menunjukkan suatu bentuk
jaringan retak dangkal, halus atau retak rambut yang
berkembang

hanya

dipermukaan

perkerasan

beton. Retakan cenderung bersudut 120.


Gompal (Spalling)
Gompal pada sambungan dan sudut adalah pecah atau
disintegrasi dari beton pada bagian pinggir perkerasan,
sambungan atau retakan pada arah memanjang atau
melintang. Gompal tidak meluas ke seluruh pelat, tapi

hanya memotong sebagian sambungan atau retakan di


sudut. Dalam PCI (Shahim, 1994), gompal dibagi dalam

dua jenis yaitu gompal sudut dan gompal sambungan.


Agregat Licin ( Polished Agregate)
Agregat licin adalah tergosoknya partikel agregat di
permukaan

perkerasan, sehingga

permukaannya

menjadi licin karena aus. Kadang-kadang permukaan


perkerasan menjadi licin dan mengkilat.

Popouts
Popouts adalah pecahan kecil-kecil perkerasan oleh aksi
kombinasi beku - cair dan ekspansi agregat, yang
menyebabkan material perkerasan lepas dan menyebar
di permukaan. Popouts biasanya berdiameter antara
25 100 mm dengan kedalaman 13 50 mm.

D. Tambalan dan Galian Utilitas (Patching and Utility Cuts)


Tambalan adalah area perkerasan yang telah dibongkar dan
diganti dengan material pengisi. Penambalan sering dilakukan
dalam area perkerasan guna perbaikan perkerasan, dimana
dibawah perkerasan ada parit atau lubang yang harus
diperbaiki.

Oleh

kurangnya

pemadatan,

maka

di

area

tambalan ini terjadi penurunan yang merusakkan tambalan.


E. Lubang (Porthole)
Lubang adalah kerusakan
penurunan

permukaan

berbentuk

perkerasan

cekungan

beton

dengan

akibat
tidak

memperlihatkan pecahan-pecahan bersudut seperti. Pada


kerusakan

lubang,

perkerasan

beton

pecah

dan

ambles. Kedalaman lubang dapat bertambah oleh pengaruh


air. Lubang ini terjadi akibat retak dan disintegrasi dari pelat
beton.
F. Kerusakan Penutup Sambungan (joint Seal Damage)
Kerusakan penutup sambungan adalah sembarang kondisi
yang memungkinkan tanah atau batuan berkumpul pada
sambungan atau sembarang kondisi yang memungkinkan
infiltrasi air yang berlebihan masuk ke dalam sambungan.
Hilangnya penutup sambungan menimbulkan tanggul-tanggul
kecil pada sambungan. Kerusakan bahan pengisi sambungan
juga

dapat

menyebabkan

masuknya

material

keras

kedalamnya sehingga dapat menghalangi pemuaian arah


horizontal yang mengakibatkan tegangan berlebihan pada
sambungan dan terjadi gompal.
G. Persilangan Jalan Rel (Railroad Crossing)
Kerusakan pada persilangan jalan rel dapat berupa ambles
atau benjolan di sekitar antara lintasan rel.

2.3 Volume Lalu Lintas Rencana


Volume lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang
melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam,
menit).

Volume

lalu

lintas

yang

tinggi

membutuhkan

lebar

perkerasan jalan lebih besar sehingga tercipta kenyamanan dan


keamanan dalam berlalu lintas. Sebaliknya jalan yang terlalu lebar
untuk volume lalu lintas rendah cenderung membahayakan karena
pengemudi
kecepatan

cenderung
yang

lebih

mengemudikan
tinggi

sedangkan

kendaraannya
kondisi

jalan

belum

pada
tentu

memungkinkan. Disamping itu juga mengakibatkan peningkatan biaya pembangunan

jalan yang tidak pada tempatnya/ tidak ekonomis (Sukirman, 1994). Satuan volume
lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan penentuan jumlah dan lebar
jalur adalah:
1. Lalu lintas harian rata-rata
2. Volume jam perencanaan

2.3.1

Lalu Lintas Harian Rata-Rata


Lalu lintas harian rata-rata adalah volume lalu lintas rata-rata dalam satu hari

(Sukirman,1994). Cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis lalu lintas harian
rata-rata, yaitu lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu lintas harian ratarata.
LHRT adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang
melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data
selama satu tahunan penuh.
LHRT =

Jumlah Lalu Lintas dalam Satu Tahun


365

Sedangkan LHR adalah hasil jumlah kendaraan yang diperoleh


selama pengamatan dengan lamanya pengamatan,
LHR =

Jumlah Lalu Lintas Selama Pengamatan


La manya Pengamatan

Data LHR ini cukup teliti jika:

1. Pengamatan dilakukan pada interval interval waktu yang


cukup menggambarkan fluktuasi arus lalu lintas selama satu
tahun.
2. Hasil LHR yang dipergunakan adalah harga rata- rata dari
perhitungan LHR beberapa kali.
2.3.2 Volume Jam Perencanaan (VJR)
Volume jam perencanaan (VJR) adalah volume lalu lintas
per jam yang dipergunakan sebagai dasar perencanaan
(Sony Sulaksono, 2001). Volume ini harus mencerminkan
keadaan lalu lintas sebenarnya tetapi biasanya tidak sama
dengan volume terbesar atau arus tersibuk yang akan
melewatinya, perencanaan berdasarkan volume terbesar
ini akan mengahasilkan konstruksi yang boros yang hanya
akan berguna pada arus maksimum dan ini terjadi dalam
kurun waktu singkat dalam sehari.
Volume

lalu

lintas

untuk

perencanaan

geometrik

umumnya ditetapkan dalam Satuan Mobil Penumpang


(SMP) sehingga masing masing jenis kendaraan yang
diperkirakan yang akan melewati jalan rencana harus
dikonversikan kedalam satuan tersebut dengan dikalikan
nilai ekivalensi mobil penumpang (emp). Besarnya faktor
ekivalensi tersebut, dalam perencanaan geometrik jalan
antar kota ditentukan pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.3 Ekivalen Mobil Penumpang (emp)
NO

Jenis Kendaraan

Datar/Perbukit
an

Pegunungan

Sedan,

Jeep,

Station 1,0

Wagon
Pick-up, Bus Kecil, Truck 1,2-2,4

1,0
1,9-3,5

Kecil
3
Bus dan Truck Besar
1,2-5,0
2,2-6,0
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen
Bina Marga 1997.
Besarnya

volume

jam

perencanaan

ditentukan

dengan

persamaan:
VLRH

VJR =
Dimana :

VJR

K
F

= Volume Jam Perencanaan (smp/jam)

VLRH = Volume Lintas Harian Rata rata Tahunan


(smp/jam)
K

= Faktor K, faktor volume lalu lintas jam tersibuk

dalam
Setahun
F

= Faktor variasi volume lalu lintas dalam satu jam

tersibuk
(Peak Hour Faktor / PHF)
Faktor K dan F untuk jalan perkotaan biasanya mengambil
nilai 0,1 dan 0,9 sedangkan untuk jalan antar kota disesuaikan
dengan besarnya VLHR seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.4 Kecepatan Rencana, VR, Sesuai Klasifikasi Fungsi dan
Klasifikasi Medan Jalan

VLHR

FAKTOR K

FAKTOR F

(%)
>50.000
46
30.000 50.000
68
10.000 30.000
68
5.000 10.000
8 10
1.000 5.000
10 12
<1.000
12 16
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik

(%)
0,9 1
0,8 1
0,8 1
0,6 0,8
0,6 0,8
<0,6
Jalan Antar Kota, Ditjen

Bina Marga 1997.


Tabel 2.5 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan
VLHR

ARTERI
Ideal

KOLEKTOR
Minimum Ideal
Minimu

LOKAL
Ideal

Minimu

Leba

Leb

Leba

Leb

Leba

Leb

Leb

Leb

Leb

Leb

Leb

Leb

ar

ar

ar

ar

ar

ar

ar

ar

ar

Jalur

Jalur

Jalur

Jalur

Jalur

Jalur

Jalur

Jalur

Jalur

Jalur

Jalur

Jalur

(m)

(m)

(m)

(m)

(m)

(m)

(m)

(m)

(m)

(m)

(m)

(m)

<

6,0

1,5

4,5

1,0

6,0

1,5

4,5

1,0

6,0

1,0

4,5

1,0

3000
3000

7,0

2,0

6,0

1,5

7,0

1,5

6,0

1,5

7,0

1,5

6,0

1,0

7,0

2,0

7,0

2,0

7,0

2,0

**)

**)

0
>25.0

2n

2,5

2 x 2,0

2n

2,0

**)

**)

00

7,0

3,5

*)

3,5

10.00
0
10.00
1

25.00

*)

*)

Keterangan:

**)

= Mengacu pada persyaratan

*)

= 2 jalur terbagi, masing masing n 3, 5m, dimana n


jumlah lajur per jalur

= Tidak ditentukan

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga
1997.
2.4

Jenis Penanganan Pemeliharaan


Menurut Suryawan (2005:74), jenis penanganan pemeliharaan pada perkerasan

jalan beton dapat dikelompokkan kedalam pekrjaan Pemeliharaan Perkerasan Kaku


(PPK), antara lain:
PPK 1: Pengisian celah retak (crack filling).
PPK 2: Penutupan celah sambungan (joint sealing).
PPK 3: Tambahan/penambalan (patching).
PPK 4: Lapis perata (leveling).
PPK 5: Penyuntikan (grouting).
PPK 6: Pengaluran (grooving).
PPK 7: Pelapisan ulang tipis (surfacing).
PPK 8: Rekonstruksi setempat (partial reconstruction).
PPK 9: Rekonstruksi.
Metode penanganan pemeliharaan dan perbaikan untuk berbagai jenis
kerusakan pada perkerasan jalan beton, dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Metode pemeliharaan dan perbaikan pada perkerasan jalan beton
No Jenis kerusakan
1

Deformasi

Pemeliharaan Perkerasan Kaku (PPK)


1
2
3
4
5
6
7
-

8
-

9
-

(deformation)
a. Amblas (depression)

b. Patahan (faulting)
c. Pumping
d. Rocking

Retak (cracking)

a. Blok (block crack)


b. Sudut
(corner

sambungan (edge drop-

off)
Gompal/rompal

(spalling)
Kerusakan bagian tepi v

slab
Kerusakan

v
-

v
v

v
v

crack)
c. Diagonal (diagonal
crack)
d. Memanjang
(longitudinal)
e. Tidak beraturan
3

Kerusakan

pengisi

tekstur

permukaan
1. Scalling
2. Polished aggregate
7
8

Lubang (pothole)
Ketidakcukupan

drainase permukaan
Sumber: Suryawan (2005).

2.5 Metode Penanganan Kerusakan


2.5.1 Deformasi
(a) Amblas (depression)
Bila amblas (depression) dibiarkan terus dan tidak dilakukan pemeliharaan atau
perbaikan maka dapat menyebabkan kerusakan jalan beton seperti:
1. Meluasnya daerah atau slab yg mengalami amblas
2. Berkurangnya kenyamanan dan keselamatan dalam berkendaraan
Kedalaman amblas yang dipandang kritis adalah bila lebih dari 25 mm. cara
mengatasi amblas dan penanganannya , antara lain :
1. Untuk kedalaman amblas > 25 mm , dilakukan dengan penambalan (patching) ,
PPK 3.
2. Untuk kedalaman amblas < 25 mm , dilakukan dengan lapis perata (leveling),
PPK 4.
(b) Patahan (faulting)
Bila patahan (faulting) dibiarkan terus dan tidak dilakukan pemeliharaan atau
perbaikan dapat menyebabkan kerusakan jalan seperti :
1. Meluasnya area patahan dan slab beton mengalami patahan
2. Terjadinya gompal / rompal (spalling)
3. Berkurangnya kenyamanan dan keselamatan dalam berkendaraan
Upaya untuk mengatasi , antara lain
1. Penutupan celah sambungan (joint sealing) , PPK 2.
2. Penyuntikan bahan pengisi dari semen (grouting), PPK 5
(c) Pumping

Pumping dapat menyebabkan berkurangnya daya dukung lapis pondasi maupun


tanah dasar, karena timbulnya rongga dibawah slab (pada lapis pondasi )
Akibat lanjutan dari pumping bila dibiarkan terus dan tidak dilakukan
pemeliharaan perbaikan antara lain:
1. Akan terjadi rocking dan retak (cracking).
2. Meluasnya area atau slab yang mengalami pumping.
3. Berkurangnya kenyamanan dan keselamatan berkendaraan
Upaya untuk mengatasinya , antara lain :
1. Penutupan celah sambungan (joint sealing ) , PPK 2.
2. Penyuntikan bahan pengisi dari semen ( grouting ), PPK 5.
(d) Rocking
Keberadaan rocking tidak dapat diamati secara visual , akan tetapi dapat
dirasakan bila kendaraan melintas di atas slab yang mengalami rocking .
Akibat lanjutan dari rocking bila di abaikan terus

dan tidak dilakukan

pemeliharaan perbaikan antara lain :


1. Terjadinya retak yang akan di ikuti patahan (faulting) permanen
2. Meluasnya area slab yang mengalami rocking .
3. Berkurangnya kenyamaanan dan keselamatan berkendaraan.
Upaya untuk mengatasi terjadinya rocking , antara lain:
1. Pengisian celah yang retak ( cracking filling ), PPK 1
2. Penutupan celah sambungan ( joint sealing ) , PPK 2
3. Penyuntikan bahan pengisi dari semen ( grouting ) , PPK 5
2.5.2 Retak ( cracking )
(a) Retak blok ( block cracking)

Bila retak blok ( block

cracking ) dibiarkan terus dan tidak dilakukan

pemeliharaan perbaikan , maka dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada


perkerasan jalan beton , seperti:
1. Meluasnya area dan slab yang mengalami retak,
2. Terjadinya patahan ( faulting ),
3. Berkurangnya kenyamanan dan keselamatan berkendaraan.
Pola retak blok berkembang dari retak tunggal atau berbentuk terbuka menjadi retak
saling berhubungan sehingga membentuk jaringan tertutup.
Cara mengatasi terjadinya retak blok , antara lain :
1. Untuk retak blok dengan lebar retak < 5 mm , penanganannya dengan pengisian
celah retak dengan aspal ( crack filling ) , PPK 1.
2. Untuk retak blok dengan lebar retak > 5mm , penanganannya dengan
rekonstruksi satu slab , PPK 9.
(b) Retak sudut ( corner crack )
Apabila terjadi retak sudut (corner crackin) dan dibiarkan terus dan tidak
dilakukan pemeliharaan perbaikan, maka dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
pada perkerasan jalan beton, seperti:
1. Meluasnya area dan slab yang mengalami retak,
2. Terjadinya patahan (faulting) atau gompal/rompal (spalling),
3. Berkurangnya kenyamanan dan keselamatan berkendaraan.
Cara mengatasinya bila terjadi retak sudut:
1. Untuk retak sudut tanpa terjadi pecah, penangannya dengan pengisian celah
(crack filling), PPK 1.

2. Untuk retak sudut yang disertai terjadinya pecah, penanganannya dengan


rekonstruksi parsial, PPK 8.
(c). Retak diagonal (diagonal crack)
Bila terjadi retak diagonal (diagonal cracking) dan dibiarkan terus dan tidak
dilakukan pemeliharaan perbaikan, maka dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
pada perkerasan jalan beton, seperti:
1. Meluasnya area dan slab yang mengalami retak,
2. Terjadinya patahan (faulting) atau gompal/rompal (spalling),
3. Berkurangnya kenyamanan dan keselamatan berkendaraan.
Cara mengatasinya, antara lain:
1. Untuk lebar retak < 5 mm, penangannya dengan pengisian celah retak dengan
aspal (crack filling), PPK 1.
2. Untuk lebar retak > 5 mm, penanganannya dengan rekonstruksi setempat (partial
reconstruction), PPK 8.
(d). Retak memanjang (longitudinal crack)
Akibat lanjutan dari retak memanjang (longitudinal crack) bila dibiarkan dan
tidak dilakukan pemeliharaan perbaikan, antara lain:
1. Meluasnya area dan slab yang mengalami retak,
2. Terjadinya patahan (faulting) atau gompal/rompal (spalling),
3. Berkurangnya kenyamanan dan keselamatan berkendaraan.
Cara mengatasinya, antara lain:
1. Untuk lebar retak < 5 mm, penangannya dengan pengisian celah retak dengan
aspal (crack filling), PPK 1.

2. Untuk lebar retak > 5 mm, penanganannya dengan rekonstruksi setempat (partial
reconstruction), PPK 8.
(e) Retak tidak beraturan (meandering crack)
Akibat lanjutan dari retak tidak beraturan (meandering crack) bila dibiarkan terus
dan tidak dilakukan pemeliharaan perbaikan, antara lain:
1. Meluasnya area dan slab yang mengalami retak,
2. Terjadinya patahan (faulting) atau gompal/rompal (spalling),
3. Berkurangnya kenyamanan dan keselamatan berkendaraan.
Cara mengatasinya, antara lain:
1. Untuk lebar retak < 5 mm, penangannya dengan pengisian celah retak dengan
aspal (crack filling), PPK 1.
2. Untuk lebar retak > 5 mm, penanganannya dengan rekonstruksi satu slab, PPK 9.
(f) Retak melintang (transverse crack)
Akibat lanjutan dari retak melintang (transverse crack) bila dibiarkan terus dan
tidak dilakukan pemeliharaan perbaikan, antara lain:
1. Meluasnya area dan slab yang mengalami retak,
2. Terjadinya patahan (faulting) atau gompal/rompal (spalling),
3. Berkurangnya kenyamanan dan keselamatan berkendaraan.
Cara mengatasinya, antara lain:
1. Untuk lebar retak < 5 mm, penangannya dengan pengisian celah retak dengan
aspal (crack filling), PPK 1.
2. Untuk lebar retak > 5 mm, penanganannya dengan rekonstruksi setempat (partial
reconstruction), PPK 8.
2.5.3

Kerusakan Pengisi Sambungan

Akibat dari kerusakan pengisi sambungan, tegangan di dalam slab dapat naik,
sehingga dapat menyebabkan terjadinya retak retak (crack) maupun gompal
(spalling) pada pelat betonnya. Juga dengan rusaknya bahan pengisi sambungan, akan
mempermudah air permukaan untuk masuk ke bawah perkerasan, sehingga dapat
menimbulkan pumping.
Akibat lanjutan dari kerusakan bahan pengisi bila dibiarkan terus dan tidak
dilakukan pemeliharaan atau perbaikan, antara lain:
1. Akan terjadi pumping dan rocking,
2. Berkurangnya kenyamanan dan keselamatan berkendaraan,
3. Meningkatkan kebisingan.
Cara mengatasinya, antara lain dengan melakukan penggantian bahan pengisi
(joint sealing), PPK 2.
2.5.4

Gompal/rompal (spalling)
Akibat lanjutan dari kerusakan gompal/rompal bila dibiarkan dan tidak

dilakukan pemeliharaan atau perbaikan, antara lain:


1. Meluasnya area atau slab yang mengalami dalam berkendara,
2. Berkurangnya kenyamanan dalam berkendara,
3. Dapat menimbulkan kerusakan yang lebih parah.
Cara mengatasinya, antara lain:
1. Untuk kedalaman spalling > 50 mm, penanganannya dengan penambalan
(patching), PPK 3.
2. Untuk kedalaman spalling < 50 mm, penanganannya dengan pelapisan ulang
tipis (surfacing), PPK 7.
2.5.5

Penurunan Bagian Tepi Perkerasan (edge drop-off)

Akibat lanjutan dari penurunan bagian tepi jalan bila dibiarkan dan tidak
dilakukan pemeliaharaan atau perbaikan, antara lain:
1. Masuknya air permukaan ke bawah perkerasan,
2. Dapat menimbulkan kerusakan yang lebih parah (spalling),
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi penurunan bagian tepi
perkerasan, antara lain:
1. Untuk penurunan < 15 mm, dengan pengisian celah sambungan/retak, PPK 1.
2. Untuk penurunan > 15 mm, dengan perataan (leveling), PPK 4.

2.7.6

Kerusakan Tekstur Permukaan (surface texture defliciencies)

(a). Kerusakan akibat ausnya mortar dan lepasnya agregat (scalling)


Akibat lanjutan dari ausnya mortar dan lepasnya agregat bila dibiarkan terus
mikro dan makro. Umumnya, rendahnya tekstur mikro disebabkan oleh ausnya
(polishing) agregat kasar pada permukaan beton atau akibat penggunaan agregat bulat
dan licin. Penuruan tekstur makro terjadi Karena pengausan mortar beton pada
perkerasan. Kekasatan yang rendah, meskipun kadang kadang dapat dikenali, akan
tetapi tidak dapat diukur secara visual. Kemungkinan penyebab lepasnya mortar dan
agregat, antara lain:
1.
2.
3.
4.

Menggunakan agregat yang secara alami licin,


Terjadi tumpahan bahan/material yang licin, misalnya minyak,
Terdapat sisa larutan perawatan pada tekstur mikro,
Penyelesaian akhir (finishing) yang berlebihan, menyebabkan naiknya air semen

ke permukaan slab,
5. Kualitas mortar pada permukaan perkerasan yang kurang baik.

Akibat lanjutan dari keausan agregat bila dibiarkan terus dan tidak dilakukan
pemeliharaan atau perbaikan, antara lain:
1. Meluasnya area atau slab yang mengalami kerusakan,
2. Membahayakan pengguna jalan.
Saran penangannya, antara lain:
1. Pembuatan alur (grooving), PPK 8.
2. Pelapisan ulang tipis (while topping atau black topping), PPK 7.
2.5.7

Lubang (pothole)
Akibat lanjutan dari adanya lubang bila dibiarkan dan tidak dilakukan

pemeliharaan atau perbaikan, antara lain:


1. Meluasnya ukuran lubang,
2. Berkurangnya kenyaman dan membahayakan keselamatan berkendara.
Upaya untuk mengatasi terjadinya lubang pada perkerasan jalan beton, antara
lain dengan melakukan penambalan (patching), PPK 3.
2.6

Metode Pengerjaan Pelapisan Tambah pada Perkerasan Kaku Beton


Overlay perlu dilakukan, bila terdapat rongga udara dibawah slab atau

besarnya rata rata lendutan di daerah retakan > 0,7 mm, agar dilakukan
penyumbatan atau pembongkaran setempat sebelum dilakukan overlay, Tebal taksiran
overlay untuk pelapisan dengan pemisah pada jalan kecil (road) sekitar 75 100 mm,
untuk jalan raya (highway) sekitar 100 125 mm, dan untuk jalan raya besar (interstate highway) atau lapangan terbang sekitar 125 200 mm. Sedangkan tebal taksiran
untuk pelapisan langsung pada jalan kecil (road) 50 75 mm, untuk jalan raya
(highway) sekitar 75 100 mm, dan untuk jalan raya besar( inter-state haighway)
atau lapangan terbang sekitar 100 150 mm.

Untuk menentukan perlu dilakukan overlay atau tidak maka harus dilihat ratio
keretakan pada perkerasan lama seperti pada gambar.
(sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Tata Cara Pemeliharaan Perkerasan
Kaku (rigid pavement), 1992)

Gambar 2.2 Overlay pada perkerasan kaku


(sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Tata Cara Pemeliharaan Perkerasan
Kaku (rigid pavement), 1992)

a. Pekerjaan persiapan
Hal yang perlu diperhatikan pada permukaan perkerasan yang ada
sebelum dilakukan pelapisan tambah pada perkerasan beton
adalah:

Lubang, genangan air, kotoran dan benda benda asing


lainnya
Pamping atau rembesan air pada sambungan
Rongga dapat ditutup dengan menggunakan campuran aspal atau
bahan lain yang sesuai.
Pada daerah dimana terjadi kerusakan perkerasan yang cukup
parah

pada

perkerasan

atau

tanah

dasar,

harus

dilakukan

pembongkaran dan diganti dengan material untuk mendapatkan


kondisi pondasi permukaan yang memenuhi persyaratan. Sebelum
dilakukan pekerjaan lapis tambah maka persyaratan permukaan
harus dilaksanakan antara lain:
Sebelum penghamparan beton semen, kemiringan permukaan
harus dibentuk sesuai dengan kemiringan pada potongan
melintang yang ditentukan pada gambar rencana dengan
toleransi tinggi permukaan maksimum 2 cm. Penyimpangan
kerataan permukaan tidak boleh lebih besar 1 cm, bila diukur
dengan mistar pengukur (straight edge) sepanjang 3 m.
Permukaan perkerasan agar dijaga tetap rata dan padat sampai
pondasi atau beton semen dihamparkan.
b. Pekerjaan pelaksanaan
Apabila pelapisan yang diperlukan cukup tebal, naikkan terlebih
dahulu perlengkapan jalan lainnya seperti kereb, saluran tepi
dan lain lain.
Lakukan cara ini bersama sama dengan metode pergantian
parsial atau dengan injeksi pada beton yang mengalami
kerusakan cukup berat.
Isi sambungan sambungan dan retak retak, kerusakan
pelandaian pelandaian (taper) yang lebih dari 3 cm, perbaiki

pelepasan pelepasan butir dengan kedalaman lebih dari 3 cm,


ketidakrataan memanjang dan kerusakan kerusakan sudut.
Sebelum penyemprotan tack coat, sapu slab slab beton dan
bersihkan kotoran kotoran, lumpur dan lain lain, jika
mempergunakan aspal emulsi semprotkan setipis mungkin.
Mutu perkerasan harus sama dengan lapis permukaan
perkerasan lama.
(sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Tata Cara Pemeliharaan Perkerasan
Kaku (rigid pavement), 1992)

Anda mungkin juga menyukai