Anda di halaman 1dari 14

FARMAKODINAMIK OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID

(OAINS/NSAID)
Nur Triastuti*, Donni Indra Kusuma**
ABSTRACK : Currently anti inflammatory drugs non-steroid or NSAID are
widely used, can be as analgesic, anti-inflamatory, and as an anti-pyretic. This
drugs can decrease pain simptomaticly, the most widely prescribed drugs
worldwide and being the drugs of first choice other inflammatory pain. There is
many kind NSAID that we knaw, like aspirin, parasetamol, ibuprofen, mefenamic
acid, endometasin, diklofenak, piroksikan and nemosulide. Every kind of NSAID
has its advantage and dis advantage for that beneficial actions and side effects.
That beneficial actions and harmful side effects of NSAID can be associated with
its mechanism of action.
Keywords : NSAIDs, COX-1, COX-2 inhibitors, Anti-inflammatory, Analgesic,
antipyretic
ABSTRAK : Saat ini obat-obat anti inflamasi non-steroid atau AINS banyak
sekali digunakan, dapat sebagai anti-nyeri, anti-inflamasi, dan sebagai anti-piretik.
Obat dari golongan ini sangat ampuh untuk mengurangi nyeri secara simtomatis,
paling luas peresepannya dan menjadi pilihan pertama dalam pengobatan nyeri
inflamasi. Terdapat beragam jenis AINS yang dikenal, seperti aspirin,
parasetamol, ibufrofen, asam mefenamat, indometasin, diklofenak, piroksikam
dan nimesulide. Dari berbagai macam obat AINS, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan yang terlihat pada efek terapi dan efek samping yang
ditimbulkan. Efek terapi dan efek samping AINS berhubungan dengan mekanisme
kerja sediaan ini.
Kata kunci : OAINS, COX-1, COX-2 selektif, Anti-inflamasi, Anti-nyeri, Antipiretik.

PENDAHULUAN
Obat analgesik antipiretik serta obat anti-inflamasi non steroid (AINS)
merupakan salah satu kelompok obat yang banyak diresepkakn dan juga
digunakan tanpa resep dokter. Obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan
dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini sering disebut
juga sebagai obat mirip aspirin. (aspirin like drugs).(1)
Klasifikasi kimiawi AINS, tidak banyak manfaat kliniknya, karena ada
AINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya ada
obat AINS yang berbeda subgolonga tetapi memiliki sifat serupa. Klasifikasi yang
lebih bermanfaat untuk diterapkan di klinik ialah berdasarkan selektivitas
terhadap siklooksigenase (COX). Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir
ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki
kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan
efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin.(1)
Pada makalah ini penulis akan menguraikan tentang obat anti inflamasi
non steroid mulai dari cara kerja farmakodinamik, farmakokinetik, sampai efek
samping yang mungkin ditimbulkan dari obat tersebut.
ISOFORM COX
Pada awal tahun 90-an ditemukan bahwa enzim siklooksigenase terdapat dalam
dua bentuk (isoform) yaitu siklooksigenasi-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2
(COX-2). Kedua isoform berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki
fungsi regulasi yang berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang
mengkatalisis pembentukakn prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan,
terutama pada selaput lendir traktus gastrointestinal, gunjal, platelet, dan epitel
pembuluh darah. Bertolak belakang dengan COX-1, COX-2 tidak konstitutif
tetapi dapat diinduksi, antara lain apabila ada stimuli radang, mitogenesis atau
onkogenesis. Setelah stimuli tersebut lalu terbentuk prostanoid yang merupakan
mediator nyeri dan radang. Penemuan ini mengarah kepada hipotesis bahwa

COX-1 mengkatalisis pembentukan prostaglandin baik yang bertanggungjawab


menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis, sedangkan COX-2 mengkatalisis
prostaglandin jahat yang menyebabkan radang. Sehubungan dengan hipotesis
tersebut maka toksisitas obat antiradang bukan steroid klasik pada saluran
gastrointestinal disebabkan oleh hambatan tidak selektif obat tersebut terhadap
aktivitas COX-1 dan COX-2.(2-4)
Namun demikian, pada penelitian lanjutan ditemukan bahwa COX-2 ternyata
tidak hanya indusibel melainkan juga konstitutif dan terdapat pada berbagai
jaringan. Pada kondisi fisiologis ekspresi konstitutif COX-2 ditemukan pada
ginjal, pembuluh darah, paru-paru, tulang, pankreas, sumsum tulang belakang,
dan selaput lendir lambung. Tampaknya COX-2 bukan hanya pada kondisi
patofisiologis tetapi juga pada kondisi fisiologis normal memiliki peranan penting.
Akhirnya COX-1 diformulasikan sebagi enzim konstitutif yang mempertahankan
fungsi-fungsi homeostasis, sedangan COX-2 sebagai enzim regulator fisiologis
maupun patofisiologis.(5,6)
Tabel 1. Perbedaan Ekspresi COX-1 dan COX-2
COX-1

COX-2

- Terus distimulasi oleh tubuh


- Konstitutif (konsentrasinya
tubuh tetap stabil)
- Membuat prostaglandin

Terinduksi (biasanya tidak dibentuk dalam


dalam

sel normal)
Dibentuk hanya dalam sel khusus (EX

digunakan

a549 sel paru-paru)


sebagai dasar house keeping seluruh Digunakan untuk sinyal rasa sakit dan

tubuh
- Prostaglandin menstimulasi

peradangan
fungsi Menghasilkan prostaglandin untuk respon

tubuh normal seperti produksi mukus inflamasi


Dirangsang hanya sebagai bagian dari
lambung, peraturan asam lambung
respons imun
dan ekskresi air oleh ginjal
Produksinya dirangsang oleh sitokin
inflamasi dan faktor pertumbuhan
Tabel 2 Karakteristik Genetik COX-1 dan COX-2

SIFAT DASAR OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID.


A. MEKANISME KERJA
Enzim siklooksigenase
Enzim lipooksigenase

Trauma/luka pada sel

Dihambat OAINS

Gangguan pada membrane se

Hidroperoksid

Fosfolipid
Dihambat kotikorosteroidd

PGE2, PGF2, PGD2

Prostasiklin
Asam arakidonat

Tromboksan A2

Hidroperoksid

Endoperok

Sebagian besar efek terapi dan efek samping NSAID berdasarkan atas
penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Pada saat sel mengalami kerusakan,

maka akan dilepaskan beberapa mediator kimia. Di antara mediator inflamasi,


prostaglandin adalah mediator dengan peran terpenting. Enzim yang dilepaskan
saat ada rangsang mekanik maupun kimia adalah prostaglandin endoperoksida
sintase (PGHS) atau siklooksigenase (COX) yang memiliki dua sisi katalitik. Sisi
yang pertama adalah sisi aktif siklooksigenase, yang akan mengubah asam
arakhidonat menjadi endoperoksid PGG2. Sisi yang lainnya adalah sisi aktif
peroksidase, yang akan mengubah PGG2 menjadi endoperoksid lain yaitu PGH2.
PGH2 selanjutnya akan diproses membentuk PGs, prostasiklin dan tromboksan
A2, yang ketiganya merupakan mediator utama proses inflamasi. COX terdiri atas
dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2. Tromboksan A2, yang disintesis trombosit
COX-1 menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot
polos. Sebaliknya prostasiklin

(PGI2) yang disitesis oleh COX-2 di endotel

makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi


trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif. (1)
Golongan obat ini menghambat enzim siklo oksigenase (COX) sehingga
konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat
dengan cara berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin
hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksida seperti di hipotalamus.
Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh
leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak
ada. Parasetamol menghambat isozim COX-3 suatu varia dari COX-1. COX-3
hanya diotak dan obat-obat yang menghambat COX-3 dapat digunakan sebagai
anti-piretik.
Inhibisi biosintesis prostaglandin oleh aspirin menyebabkan asetilasi yang
irreversibel di sisi aktif siklo okigenase, sedangkan sisi aktif peroksidase tidak
terpengaruh. Berlawanan dengan aksi aspirin yang irreversibel, NSAID lainya
seperti ibuproven atau indometasin menyebabkan penghambatan terhadap COX
baik reversibel maupun irreversibel melalui kompetisi dengan substrat, yaitu asam
arakhidonat.
INFLAMASI

Sekarang fenomena inflamasi pada tingkat biomolekuler semakin jelas. Respons


inflamasi terjadi dalam 3 fase dan diperantarai mekanisme yang berbeda: (1) fase
akut, dengan ciri vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler, (2)
reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit; dan (3)
fase proliferatif kronik, pada mana degenerasi dan fibrosis terjadi.(1)
Kalau pada masa lalu menekankan promosi migrasi sel, pada peneitian akkhirakhir ini fokus tertuju pada interaksi mediator-mediator yang adhesif antara
leukosit dan trombosit, termasuk selektin-L, -E, -P, ICAM- (intercelluler adhesive
molecule-1), VCAM- 1 (vascular cell adhesion molecule), leukosit, integrin. Sel
endotel teraktivasi merupakan kunci tertariknya sel dari sirkulasi ke tempat
inflamasi. Adhesi sel terjadi karena peningkatan ekspresi sel yang telah teraktivasi
oleh molekul adhesi, mengenali glikoprotein dan karbohidrat permukaan sel di
sirkulasi.(1)
Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya
permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses
inflamasi yang sudah dikenal ialah kalor, rubor, tumor, dolor, dan fungsio laesa.
Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang
dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor
kemotaktik, bradikinin, leukotrien, dan PG. Penelitian terakhir menujukkan
autakoid lipid PAF (pletelet-activating-factor) juga merupakan mediator
inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini terjadi lisis membran lisozim
dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip-aspirin dapat dikatakan tidak berefek
terhadap mediator-mediator kimiawi tersebut kecuali PG.(1)
Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2-(PGE2) dan prostasiklin (PGI2)
dalam jumlah nanogram, menimbulkan eritema, vasodilatasi dan peningkatan
aliran darah lokal. Histamnin dan brdikinin dapat meningkatkan permeabilitas
vaskuler, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG,
efek eksudasi histamin plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. Migrasi
leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG

sendiri tidak bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni
leukotrien B4 merupakan zat kemotaktik yang sangat poten. OBat mirip aspirin
tidak menghambat sistem lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien sehingga
golongan obat ini tidak menekan migrasi sel. Walaupun demikian pada dosis
tinggi terlihat juga penghambatan migrasi sel tanpa memepengaruhi enzim
lipoksigenase. Obat yang menghambat biosintesis PG maupun leukotrien
diharapkan akan lebih poten menekan proses inflamasi. (1)
NYERI
PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau
inflamasi.

Penelitian telah mebuktikan bahwa PG menyebabkan sensitisasi

reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi PG menimbuklan


keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin
merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata. (1)
Obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan
oleh efek langsung PG. Ini menunjukkan bahwa sintesis

PG dihambat oleh

golongan obat ini, dan bukannya blokade langsung pada reseptor PG. (1)
DEMAM
Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat
pengatur suhu btubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan
ini terganggu tetapi dapat ditembangkan ke normal oleh obat mirip aspirin. Ada
bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali pelepasan
suatu zat pirogen endogen atau sitokin misalnya leukotrien-1 (IL-1) yang memacu
pelepasan PG yang berlebihan didaerah preoptik hipotalamus. Selain itu PGE 2
terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel serebral atau
disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip-aspirin menekan efek zat pirogen
endogen dengan menghambat sintesis PG. Demam yang timbul akibat pemberian
PG tidak dipengearuhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain misalnya
latihan fisik. (1)

B. FARMAKODINAMIK
Asam arakidonat merupakan konstituen diet pada manusia, sebagai salah
satu senyawa yang kehadirannya bersama diet asam linoleat. Asam arakidonat
sendiri oleh membrane sel akan diesterifikasikan menjadi bentuk fosfolipid dan
lainnya berupa kompleks lipid. Dalam keadaan bebas tetapi dengan konsentrasi
yang sangat kecil asam ini berada di dalam sel. Pada biosintesis eikosanoid, asam
arakidonat akan dibebaskan dari sel penyimpanan lipid oleh asil hidrolase besar
kecilnya pembebasan tergantung dari kebutuhan enzim pensintesis eikosanoid.
Kebutuhan ini ditentukan dari seberapa besar respons yang diberikan terhadap
stimuli penyebab radang.(5)
Asam asetilsalisilat (aspirin)

sebagai

prototip

nonsteroidal

anti-

inflammatory drugs (NSAID) merupakan analgetika nonsteroid, non narkotik.


Kerja utama asam asetilsalisilat dan kebanyakan obat anti radang non steroid
lainnya sebagai penghambat enzim siklooksigenase yang mengakibatkan
penghambatan sintesis senyawa endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua
senyawa ini merupakan prasat semua senyawa prostaglandin, dengan demikian
sintesis prostaglandin akan terhenti.(6)
Asam asetilsalisilat (salisilat) tidak menghambat metabolism asam
arakidonat melalui jalur lipoksigenase. Penghambatan enzim siklooksigenase
kemungkinan akan menambah pembentukan leukotrien pada jalur lipoksigenase.
Kemungkinan ini dapat terjadi disebabkan bertambahnya sejumlah asam
arakidonat dari yang seharusnya dibutuhjan enzim lipoksigenase. Selain sebagai
penghambat sintesis prostaglandin dari berbagai model eksperimen yang dicoba
pada manusia untuk tujuan terapeutik, NSAID ternyata menunjukkan berbagai
kerja lain sebagai antiradang.(5) Obat antiradang nonsteroid menurut struktur kimia
dengan beberapa pengecualian dapat dibagi dalam delapan golongan. (1) Turunan
asam salisilat : asam asetilsalisilat, diflunisal. (2) Turunan pirazolon :
fenilbutazon,

oksifenbutazon,

antipirin,

arninopirin.

(3)

Turunan

para-

aminofenol : fenasetin. (4) Indometasin dan senyawa yang masih berhubungan :

indometasin dan sulindak. (5) Turunan asam propionate : ibuprofen, naprokse,


fenoprofen, ketiprofen, flurbiprofen. (6) Turunan asam antranilat : asam
flufenamat, asam mefenamat. (7) Obat anturadang yang tidak mempunyai
penggolongan tertentu : tolmetin, piroksikam, diklofenak, etodolak, nebumeton,
senyawa emas. (8) Obat pirro (gout), kolkisin, alopurinol.(1,5)
Semua obat mirip-aspirin bersifat antipiretik, analgesic, dan anti-inflamasi.
Ada perbedaan aktivitas diantara obat-obat tersebut,
EFEK ANALGESIK.

Sebagai analgesic obat mirip-aspirin hanya efektif

terhaddap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala,
mialgia, athralgia, dan nyeri lain yang berasal dari integument, juga efektif
terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek anlagesiknya jauh lebih
lemah daripada efek anlagesik opiat. Tetapi berbeda dengan opiat, obat miripaspirin tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping
sentral yang merugikan. Obat mirip-aspirin hanya merubah persepsi meodalitas
sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya saraf
aferen, tidak teratasi dengan obat mirip-aspirin. Sebaliknya nyeri kronis
pascapembedahan dapat diatasi oelh obat ini. (1)
EFEK ANTIPIRETIK. Sebagai antipiretik, obat mirip-aspirin akan menurunkan
suhu badan hanya pada keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini
memperlihatkan efek antipiretik

in vitro tidak semuanya berguna sebagai

antipiretik kerena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama.
Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai
antipiretik atas alasan tersebut. (1)
EFEK ANTI-INFLAMASI. Kebanyakan obat mirip-aspirin, terutama yang baru,
lebih

dimanfaatkan

sebagai

anti-inflamasi

pada

pengobatan

kelainan

musculoskeletal, seperti arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan spondilitis


ankilosa. Tetapi harus diingat bahwa obat mirip-aspirin ini hanya meringankan
gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik,

tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada


kelainan musculoskeletal ini. (1)
C. FARMAKOKINETIK
OAINS adalah kelompok obat yang memiliki kelas kimia yang berbedabeda. Perbedaan kimiawi tersebut menimbulkan karakteristik farmakokinetik obat
yang berbeda pula. Walaupun terdapat berbagai perbedaan dalam kinetik OAINS,
namun secara umum memiliki komponen utama yang sama.(7)
Sebagian besar obat diabsobsi baik dan tidak dipengaruhi oleh makanan.
Obat-obat OAINS diabsorpsi secara cepat jika diberikan peroral, distribusi ke
jaringan sangat terbatas (oleh karena berikatan kuat dengan protein), Sebagian
besar obat OAINS juga dimetabolisme cepat, beberapa melalui fase I diikuti fase
II dan yang lainnya melalui glukoronidase direk (fase II) saja. Proses metabolisme
OAINS, pada sebagian besar obat, melalui jalur CYP3A atau CYP2C dari enzim
P450 di hati. Ekskresi melalui ginjal merupakan rute paling penting dalam
eliminasi obat (sirkulasi enterohepatik) dan memiliki kliren yang lambat. Pada
kenyataannya, derajat iritasi traktus gastrointestinal berhubungan dengan kuantitas
sirkulasi enterohepatik obat. Sebagian besar OAINS berikatan kuat dengan protein
(~ 98%), khususnya albumin.(7)
Walaupun diantara sebagian besar obat OAINS memiliki farmakokinetik
yang sama, terdapat satu subklas obat yang unik yaitu salisilat yang lebih dikenal
sebagai asetosal atau aspirin yang memiliki waktu paruh lama dengan
meningkatkan dosis obat. Salisilat membutuhkan waktu 2 hari untuk mencapai
steady state konsentrasinya dalam darah ketika 1,5 g/hari aspirin diberikan pada
orang dewasa. Apabila menginginkan konsentrasi steady state dalam darah lebih
dari 1 minggu maka dosis yang diperlukan adalah 3 g/hari. Salisilat juga dapat
digeser oleh OAINS lain seperti naproksen dan phenylbutazone dari tempat
ikatannya dengan plasma, meningkatkan konsentrasi bebasnya sehingga
meningkatkan toksisitas obat ini.(7)

10

Observasi terhadap efek toksik dari OAINS dihubungkan dengan waktu


paruh obat pada plasma-semakin panjang waktu paruh yang digunakan dalam
eliminasi obat maka resiko toksisitas terhadap obat ini juga semakin besar.
Informasi tentang hubungan antara waktu paruh obat dan toksisitas OAINS
didasari atas data epidemiologi retrospektif sehingga meningkatkan pemakaian
OAINS sebagai obat dengan dosis satu kali sehari daripada penggunaan secara
kontinyu yang dapat meningkatkan efek toksik terhadap tubuh.(7)
Ikatan kuat OAINS dengan protein relevan khususnya jika dihubungkan
dengan populasi lansia dimana pada lansia konsentrasi albumin serumnya sudah
menurun sehingga mengakibatkan tingginya fraksi bebas OAINS dalam darah.
Ketika fraksi bebas OAINS meningkat dalam darah maka efikasi obat tersebut
akan meningkat yang juga meningkatkan toksisitas.

Perlu diperhatikan pula

dalam pemberian OAINS adalah interaksi obat tersebut dengan warfarin dimana
ketika dikombinasi dengan nonselektif

OAINS yang menghambat platelet,

mengakibatkan peningkatan terhadap resiko perdarahan. (7)


Farmakokinetik OAINS di cairan serebrospinal memberikan arti klinik
tersendiri dalam hal efek terapi dan efek sampingnya. Untuk OAINS yang larut
dalam lemak (oxyphenbutazone, indometasin, ketoprofen), pada kadar bentuk
bebas OAINS berhubungan dengan kadarnya di cairan serebrospinal, tidak
demikian halnya dengan yang larut dalam air (acetosal) (Bannwarth dkk, 1989).
Selain itu OAINS yang telah terbukti mampu melewati sawar darah otak adalah
diklofenak (Zecca dkk, 1991) dan nimesulide (Ferrario & Bianchi, 2003) Dari
hasil penelitian Sanchez dkk (2002) diketahui bahwa kebanyakan OAINS bekerja
multifaktorial dan tidak terbatas pada penghambatan aktivitas siklooksigenase.
Modulasi nyeri inflamasi dapat juga berawal dari bebasnya berbagai mediator
(multifaktor origin), seperti histamin, bradikinin dan sebagainya, bukan hanya
diakibatkan oleh produk siklooksigenase prostaglandin. Oleh karena itu OAINS
yang ideal hendaklah mampu menghambat aktivitas siklooksigenase dalam
pembentukan prostaglandin dan menghambat efek mediator-mediator inflamasi
lainnya. (7)

11

D. EFEK SAMPING
Efek samping yag paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau
tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan
saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat. Dua
mekanisme terjadinya iritasi lambung adalah: (1) iritasi yang bersifat lokal yang
menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan
kerusakan jaringan; (2) iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik
melalui hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. Kedua prostaglandin ini banyak
ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung
dan merangsang sekresi mukus usus halus yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme
kedua ini terjadi pada pemberian parenteral.(1)
Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan
biosintesis tromboksan A2 dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan. Efek
ini

dimanfaatkan

untuk

terapi

profilaksis

trombo-emboli.

Obat

yang

digunakan sebagai terapi profilaksis trombo-emboli dari golongan ini adalah


aspirin. (1)
Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama PGE2,
berperan dalam gangguan homeostasis ginjal. Pada orang normal tidak banyak
mempengaruhi fungsi ginjal. (1)
Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas. Mekanisme ini
bukan suatu reaksi imunologik tetapi akibat tergesernya metabolisme asam
arakhidonat ke arah jalur lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien. Kelebihan
leukotrien inilah yang mendasari terjadinya gejala tersebut. (1)
F. PEMBAGIAN SUBGOLONGAN AINS
Pembagian untuk OAINS bermacam-macam, klasifikasi dapat dibedakan dari
substansi zat ataupun cara kerja OAINS tersebut, dalam hal ini obat anti infkamasi
non-steroid diklasifikasikan :

12

Piro
xica
m
Indo
met
Prefer
haci
ential
nly

Ibup
Diclof
Acet
rofe
enac
osal
n
Melox
COX
icam
keto
Etod
IB
Nime
rola
olac
COX
COX
Prefer
sulde
c
Kete
ential
-2
-1
e
Dual
ly
sse
sele
sele
COX
COX-2
COX-1
ctiv
ctiv
select
select
inhi
e
e
ive
ive
bitor
inhibi
inhibi Anti-Inflammatory
inhi
inhi
>>>> tor
tor
bitor
bitor
Analgesic >>>>
KESIMPULAN
OAINS biasanya digunakan pada stadium nyeri yang lebih lanjut dari nyeri akut
dan untuk pengobatan pada sindrom nyeri kronis dengan menghambat seluruh
aktivitas jalur siklooksigenase sehingga tidak mensintesis prostaglandin yang
berperan menimbulkan nyeri melalui mekanisme baik perifer maupun sentral.
Terdapat 2 jenis enzim siklooksigenase, yaitu siklo oksigenase-1 (COX-1) dan
siklo oksigenase-2 (COX-2). COX-1 merupakan house keeping enzyme yang
mempunyai

fungsi

fisiologik

atau

homeostasis. Aktivasi

COX-1 akan

menghasilkan prostaglandin yang mengatur fungsi fisiologis penting seperti


sitoprotektif pada mukosa lambung,

memelihara fungsi tubular ginjal dan

platelet. Sementara COX-2 kebanyakan tidak dapat dideteksi pada sebagian besar
jaringan dalam kondisi fisiologis normal namun selama inflamasi.
Penghambatan kerja COX-1 dan COX-2 didasarkan pada mekanisme inflamasi
yang dicetuskan oleh enzim tersebut dimana efek antiinflamasi dari OAINS
terutama dihubungkan dengan penghambatan COX-2. OAINS tradisional akan
menghambat kerja kEdua isoenzim sehingga terjadi penghambatan COX-1 yang
malah menimbulkan efek samping OAINS sehingga OAINS yang banyak
digunakan sekarang ini adalah OAINS yang selektif terhadap COX-2 saja.
Apabila diberikan penghambat selective COX-2 inhibitor maka tidak akan

13

menekan produksi PGE2 di lambung dan juga tidak mempengaruhi fungsi


trombosit (yang spesifik untuk COX-1) sehingga tidak terjadi efek samping pada
saluran makan maupun perdarahan.
OAINS yang bekerja pada COX-1 dan COX-2 sebagai berikut: Indometasin dan
sulindak sedikit selektif terhadap COX-1, meklofenamate dan ibuprofen
mempunyai efek yang ekuipoten terhadap COX-1 dan COX-2. Celecoxib,
diclofenak, rofecoxib, lumiracoxib dan etoricoxib menghambat COX-2 secara
selektif, Aspirin mengasetilasi dan menghambat kedua isoenzim baik COX-1
maupun COX-2.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wilmana PF, Gan S. Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi
Nonsteroid dan Obat Gangguan sendi lainnya. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: FKUI; 2009: 230-46
2. Dutmer EAJK, Baternbug EMK, Koerts J, Laar M AFJ. Rheumatology.
Jakarta: Sagung Seto; 2002: 458-61
3. Dannhartd G, Laufer S. Structural Approach to explain the selectivity of
COX-2 Inhibitors: Curr. Med. Chem; 2002: 1101-12
4. Redfern JS, Lee E, Feldman. Effect of Immunization with prostaglandins
metabolies on gastrointestinal ulceration, Am. J. Physiol:1998:255:733-30
5. Campbell WB. Lipid-derived autacoids : eicosanoids and plateletactivating factor. Dalam: Goodman and Gilmans The Pharmacological
Basis of Therapeutics. Ed.8. Editor: Gilman AG et al. New York: Pegamon
Press. Vol.I;1991:600-2,605-6,611.
6. Reynolds JEF. Martindale the extra pharmacopoeia. Ed.28. London: The
Pharmaceutical Press;1982:234,257
7. Indriani R, Wahyu R. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : Sagung Seto ; 2008 hal 55-58

14

Anda mungkin juga menyukai