Anda di halaman 1dari 13

A.

Natural History of Leprosy


Morbus Hansen atau lepra atau kusta merupakan penyakit tertua sekaligus penyakit menular
yang sangat menakutkan. Penyakit ini ditemukan oleh GH Armauer Hansen (Norwegia) pada
tahun 1873, dengan menemukan Mycobacterium leprae sebagai kuman penyebab. Sampai
datangnya AIDS, leprae adalah penyakit yang paling menakutkan daripada penyakit menular
lainnya. Penyakit ini menyesatkan hidup berjuta-juta orang, terutama di Amerika Selatan, Afrika,
dan Asia. Penyakit ini di Indonesia lebih dikenal dengan penyakit Kusta. Menurut Sub Direktorat
Kusta dan Frambusia Direktorat P2M Ditjen PPM& PL (2000), penyakit kusta merupakan salah
satu masalah kesehatan yang cukup besar di Indonesia, dimana masih terdapat 10 propinsi yang
angka prevalensinya lebih dari 1/10.000 penduduk. Prevalensi berkisar 0,14 (Bengkulu) sampai
dengan 7,42 (Maluku) .
1.

Pengertian kusta
Istilah kusta berasal dari Bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejalagejala

kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini
disebut Morbus Hansen. Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial,
mata, otot, tulang dan testis (Marwali Harahap, 2000). Tidak seperti mitos yang beredar di
masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada
penyakit tzaraath (dalam injil), yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta (Fina,
2008).
2.

Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk pleomorf lurus,

batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini
berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah diwarnai namun jika
diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu
dinamakan sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar atau
dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar yang disebut globi.
Micobakterium ini termasuk kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae menular kepada
manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman

membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Setelah lima
tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit
mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi
sebagaimana mestinya (Marwali Harahap, 2000).
Menurut Marwali Harahap (2000), Mycobacterium leprae mempunyai 5 sifat, yakni :
1.

Mycobacterium leprae merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada

media buatan.
2. Sifat tahan asam Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
3.
Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa
(D-Dihydroxyphenylalanin).
4.
Mycobacterium leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer.
5.
Ekstrak terlarut dan preparat Mycobacterium leprae mengandung komponen antigenik yang
stabil dengan aktivitas imunologis yang khas yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid
dan negatif pada penderita lepromatous.
3.

Patogenesis Penyakit Kusta


Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan (Sel

Schwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta yang banyak
mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh
menuju tempat predileksinya yaitu saraf tepi. Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh,
perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah
masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated
immune) pasien, bila sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan
bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. Mycobacterium leprae berpredileksi di daerahdaerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat
penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien
berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi.
Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik (Arif Mansjoer, 2000).
4.

Manifestasi Klinis Penyakit Kusta


Menurut Jimmy Wales (2008), tanda-tanda tersangka kusta (Suspek) adalah sebagai

berikut :
1.
Tanda-tanda pada kulit

2.
Bercak/kelainan kulit yang merah/putih dibagian tubuh
3.
Kulit mengkilat
4.
Bercak yang tidak gatal
5.
Adanya bagian-bagian yang tidak berkeringat atau tidak berambut
6.
Lepuh tidak nyeri
7.
Tanda-tanda pada syaraf
8.
Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan
9.
Gangguan gerak anggota badan/bagian muka
10. Adanya cacat (deformitas)
11. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh
Gejala-gejala kerusakan saraf menurut A. Kosasih (2008), antara lain adalah :
a.
N. fasialis
Lagoftalmus
b.
N. ulnaris
1) Anastesia pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis
2) Clawing kelingking dan jari manis
3) Atrofi hipotenar dan otot interoseus dorsalis pertama
c.
N. medianus
1) Anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
2) Tidak mampu aduksi ibu jari
3) Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah
4) Ibu jari kontraktur
d.
N. radialis
1) Anastesia dorsum manus
2) Tangan gantung (wrist/hand drop)
3) Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
e.

N. poplitea lateralis
Kaki gantung (foot drop)
f.
N.tibialis posterior
1) Anastesia telapak kaki
2) Clow toes
5.
Klasifikasi penyakit Kusta
Klasifikasi berdasarkan Ritley dan Jopling adalah tipe TT (tuberculoid), BT (borderline
tubercoloid), BB (mid borderline), BL (borderline lepormatous), dan LL (lepromatosa),
sedangkan Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP dan WHO membagi tipe menjadi tipe Pause
Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB).
6.
Cara Menegakkan Diagnosis
Berdasarkan WHO pada tahun 1997 yang dikutip dari buku Pedoman Diagnosis dan
Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dokter Soetomo Surabaya, diagnosis
didasarkan adanya tanda utama atau Cardinal Sign berupa :
1. Kelainan kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa dengan anastesi yang jelas.
2. Kelainan saraf tepi berupa penebalan saraf dengan anastesi.
3. Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam.

Diagnosis ditegakkan bila dijumpai satu tanda utama tersebut diatas.


7.
Pengobatan
Tujuan utama pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita serta mencegah
timbulnya cacat. Sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi
dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan walaupun nanti vaksin
kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya resistensi terhadap Dapson baik primer
maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri
paling tidak ada dua obat anti kusta yang efektif. Sayangnya anjuran ini tidak diikuti di lapangan
dengan beberapa alasan. Oleh karena itu, pada tahun 1981 WHO Study Group on Chemotherapy
of Leprosy secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan regimen MDT
(Multi Drug Therapy). (Marwali Harahap, 2000) Pengobatan berdasarkan regimen MDT (Multi
Drug Therapy) dalam buku Pedoman Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin RSU Dokter Soetomo Surabaya adalah sebagai berikut :
1.
Pausibasiler
Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)
DSS 100 mg/hari
Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulam dan diselesaikan dalam waktu maksimal 19
bulan. Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment)
2.
Multibasiler
Rifampicine 600 mg/bulan, dosis supervisi.
Lamprene 300 mg/hari, dosis supervisi.
Ditambahkan
Lamprene 50 mg/hari
DDS 100 mg/hari
Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan deselesaikan dalam waktu
maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis dinyatakan RFT, meskipun secara klinis lesinya
masih aktif dan BTA (+).
8.
Kecacatan Kusta
a)
Proses terjadinya cacat kusta
Terjadinya kecacatan tergantung dari fungsi saraf, serta saraf mana yang rusak.
Kecacatan pada kusta dapat terjadi lewat 2 proses yaitu infiltrasi langsung Mycobacterium
leprae ke susunan saraf tepi dan organ lain misalnya mata, dan melalui reaksi kusta. Fungsi saraf
secara umum dikenal ada 3 macam yaitu fungsi motorik memberikan kekuatan pada otot, fungsi
sensorik memberi rasa raba, fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak.
Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena apakah sensoris, motoris,

otonom maupun kombinasi ketiganya (Ditjen PP & PL, 2006). Berikut adalah tabel yang
memperlihatkan kecacatan karena terganggunya fungsi saraf-saraf tersebut.
Menurut McDougall (2005), pada pasien kusta biasanya timbul kecacatan pada :
1. Tangan :
a) Anastesi pada tangan
b) Clow hand (jari-jari tangan kiting)
c) Contraktur
d) Absorbsi (memendeknya jari akibat proses pada tulang)
e) Mutilasi ( putusnya ujung jari, ditandai dengan putusnya kuku)
f) Drop hand (tangan lunglai)
g) Luka
2. Kaki :
a. Anastesi
b. Luka
c. Drop foot
d. Clow toes
3. Muka
a. Madarosis (alis mata yang menipis)
b. Lagoptalmus (mata tidak mau menutup)
b)
Tingkat cacat menurut WHO
Untuk menilai kualitas penanganan pencegahan cacat maka semua pasien kusta dinilai
tingkat kecacatannya sesuai dengan petunjuk WHO. Hal ini merupakan suatu sistem untuk
mengukur cacat akibat kerusakan saraf sebagai resiko penyakit kusta. Cacat yang terjadi bukan
akibat kusta tidak dihitung. Mata diperiksa apakah kelopak mata sulit menutup. Tangan diperiksa
apakah ada lunglai, mati rasa pada telapak tangan, luka atau ulkus akibat mati rasa, pemendekan
jari atau kelemahan otot. Kaki diperiksa apakah ada lunglai (semper), mati rasa pada telapak
kaki, ulkus atau pemendekan jari. (Ditjen PP & PL, 2006). Berikut ini merupakan tabel
pembagian tingkat cacat menurut WHO
B. Three Level of Prevention (primary prevention, secondary prevention, and tertiary
prevention)
Upaya pencegahan dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan patologis penyakit atau
dengan kata lain sesuai dengan riwayat alamiah penyakit tersebut.
Ada 3 tingkat utama pencegahan :
1. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
2. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)
3. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan 1 pada tahap prepatogenesis dari riwayat alamiah penyakit
Tingkat pencegahan 2 dan 3 pada tahap patogenesis penyakit.

Tingkatan pencegahan ini membantu memelihara keseimbangan yang terdiri dari


pencegahan primer, sekunder dan tersier
a. Pencegahan primer (primary Prevention)
Pencegahan primer (primary Prevention) adalah upaya pencegahan yg dilakukan saat proses
penyakit belum mulai (pd periode pre-patogenesis) dengan tujuan agar tidak terjadi proses
penyakit.
Tujuan: mengurangi insiden penyakit dengan cara mengendalikan penyebab penyakit dan faktor
risikonya.Upaya yang dilakukan adalah untuk memutus mata rantai infeksi agent host -

b.

environment
Terdiri dari:
1. Health promotion (promosi kesehatan)
2. Specific protection (perlindungan khusus)
kegiatan yang dilakukan melalui upaya tersebut adalah :
Health promotion (promosi kesehatan)
Pendidikan kesehatan, penyuluhan
Gizi yang cukup sesuai dengan perkembangan
Penyediaan perumahan yg sehat
Rekreasi yg cukup
Pekerjaan yg sesuai
Konseling perkawinan
Genetika
Pemeriksaan kesehatan berkala
Specific protection (perlindungan khusus ) Imunisasi
Kebersihan perorangan
Sanitasi lingkungan
Perlindungan thdp kecelakaan akibat kerja
Penggunaan gizi tertentu
Perlindungan terhadap zat yang dapat menimbulkan kanker
Menghindari zat-zat alergenik
Pencegahan sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder (Secondary Prevention) adalah upaya pencegahan yg dilakukan saat
proses penyakit sudah berlangsung namun belum timbul tanda/gejala sakit (patogenesis awal)

dengan tujuan proses penyakit tidak berlanjut.


Tujuan: menghentikan proses penyakit lebih lanjut dan mencegah komplikasi terdiri dari :
1. deteksi dini
2. pemberian pengobatan (yang tepat)
Kegiatan yang dilakukan dalam upaya terebut adalah
Deteksi dini
Penemuan kasus (individu atau masal)
Skrining
Pemeriksaan khusus dengan tujuan:
Menyembuhkan dan mencegah penyakit berlanjut
Mencegah penyebaran penyakit menular

c.

Mencegah komplikasi dan akibat lanjutan


Memperpendek masa ketidakmampuan
pemberian pengobatan:
Pengobatan yang cukup untuk menghentikan proses penyakit
mencegah komplikasi dan sekuele yg lebih parah
Penyediaan fasilitas khusus untuk membatasi ketidakmampuan dan mencegah kematian.
Pencegahan Tersier (tertiary Prevention)
Pencegahan Tersier (tertiary Prevention) adalah Pencegahan yg dilakukan saat proses
penyakit sudah lanjut (akhir periode patogenesis) dengan tujuan untuk mencegah cacad dan
mengembalikan penderita ke status sehat.
Tujuan: menurunkan kelemahan dan kecacatan, memperkecil penderitaan dan membantu

1.

penderita-penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang tidak dapat diobati lagi.
Terdiri dari:
1. Disability limitation
2. Rehabilitation
Kegiatan yang dilakukan dalam upaya tersebut adalah :
Disability limitation
Penyempurnaan dan intensifikasi pengobatan lanjutan agar tidak terjadi komplikasi.
Pencegahan terhadap komplikasi maupun cacat setelah sembuh.
Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk pengobatan dan perawatan yang lebih

intensif.

mengusahakan pengurangan beban beban non medis ( sosial ) pada penderita untuk

memungkinkan meneruskan pengobatan dan perawatannya.


Rehabilitasi
Penempatan secara selektif
Mempekerjakan sepenuh mungkin
penyediaan fasilitas untuk pelatihan hingga fungsi tubuh dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya
Pendidikan pada masyarakat dan industriawan agar menggunakan mereka yang telah

direhabilitasi

Penyuluhan dan usaha usaha kelanjutan yang harus tetap dilakukan seseorang setelah ia

sembuh.
Peningkatan terapi kerja untuk memungkinkan pengrmbangan kehidupan sosial setelah ia

sembuh.
Mengusahakan suatu perkampungan rehabilitasi sosial.
Penyadaran masyarakat untuk menerima mereka dalam fase rehabilitasi.
Mengembangkan lembaga-lembaga rehabilitasi

C. Evaluasi Program Pemerintah Terhadap Kusta


Program pemberantasan penyakit (P2) kusta di Dinkes KKU dari tahun 2009-2011 sudah
banyak melakukan kegiatan. Seperti penemuan penderita kusta antara lain penemuan penderita

kusta secara aktif maupun pasif. Pembinaan dan pengobatan penderita kusta selama 6-12 bulan.
Pemeriksaan laboratorim (skinmaer). Pemeriksaan rutin dalam pencegahan reaksi kusta dan obat
kusta. Konfirmasi diagnosis kusta oleh Wakil Supervisor (Wasor) Kusta KKU. Monitoring
pencegahan cacat prevention of disability (POD), pencegahan cacat, dan pemeriksaan fisik
secara rutin. Survei kontak anak sekolah. Penyuluhan terhadap masyarakat dan peran serta
masyarakat tentang penyakit kusta dengan leprosy elimination champagne (LEC). Pemeriksaan
rutin secara pasif ke penderita kusta yang telah menyelesaikan pengobatan selama 2-5 tahun.
Pelatihan dokter dan pengelola kusta puskesmas. Pelatihan Wasor kusta kabupaten. Pencatatan,
pelaporan, dan manajemen logistik.
Pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri. Merasa tekanan batin. Takut terhadap
penyakitnya dan terjadinya kecacatan. Takut menghadapi keluarga dan masyarakat karena sikap
penerimaan mereka kurang wajar. Segan berobat karena malu, apatis, karena kecacatan tidak
dapat mandiri sehingga beban bagi orang lain, seperti jadi pengemis, gelandangan. Masalah
terhadap keluarga seperti menjadi panik. Berubah mencari pertolongan termasuk dukun dan
pengobatan tradisional. Keluarga merasa takut diasingkan oleh masyarakat di sekitarnya.
Berusaha menyembunyikan penderita agar tidak diketahui masyarakat di sekitarnya.
Mengasingkan penderita dari keluarga karena takut ketularan. Pada umumnya masyarakat
mengenal kusta dari tradisi kebudayaan dan agama. Sehingga pendapat tentang kusta merupakan
penyakit sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, nasjid, dan
menyebabkan kecacatan. Masyarakat mendorong agar penderita dan keluarganya diasingkan.
Penanggulangan

penyakit

kusta

telah

banyak

didengar

di

mana-mana.

Maksudnya

mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif, dan percaya
diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari metode pemberantasan dan pengobatan, rehabilitasi.
Terdiri dari rehabilitasi medis, sosial, karya, dan pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir
dari rehabilitasi. Di mana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok
sendiri. Ketiga metode itu merupakan suatu sistem saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Guna mengatasi masalah medis maupun sosial penderita maupun orang yang pernah
mengalami penyakit kusta (OYPMK) maka pelayanan yang dapat diberikan adalah:
1. Pengobatan profilaksis untuk semua kontak penderita penderita baru di Kabupaten Sampang
untuk mencegah penularan dan kecacatan.
2. Penelitian untuk memutus mata rantai penularan penyakit kusta dilakukan dengan
pemeriksaan serologis dan pengobatan pada kontak penderita kusta maupun OYPMK di

Kabupaten Sumenep dan Pasuruan oleh RSK Sumberglagah Mojokerto bekerjasama dengan ITD
(Institute of Tropical Desease) Universitas Airlangga Surabaya.
3. Penemuan penderita baru, pengobatan kusta, pengobatan reaksi kusta, pencegahan kecacatan
dapat dilakukan di seluruh Puskesmas di Jawa Timur. Obat tersedia GRATIS di semua
Puskesmas (951 Puskesmas) dan 80% petugas kusta sudah terlatih untuk menangani kusta.
Untuk tahun ini penemuan penderita baru dilakukan di Kabupaten Sampang dengan kegiatan
Rapid Village Survey (RVS) di seluruh desa yang ada (186 desa). Kegiatan serupa juga
dilakukan di Sumenep, Bangkalan, Situbondo dan Pasuruan, tetapi tidak dilakukan secara total di
semua desa.
4. Pengobatan kusta, pengobatan reaksi kusta, rehabilitasi medis, komplikasi dengan kusta
dengan penyakit lain, dll dapat dilakukan secara GRATIS di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo
Surabaya, Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Mojokerto dan Rumah Sakit Kusta Kediri.
5. Rehabilitasi sosial untuk penderita kusta maupun orang yang pernah mengalami penyakit
kusta dilakukan di Liponsos Babat Jerawat Benowo Kota Surabaya dan Liponsos Nganget
Kabupaten Tuban.
6. Selain itu di Jawa Timur juga ada LSM peduli kusta yaitu : Yayasan kusta Indonesia (YKI)
dan Perkumpulan Mandiri Kusta (PERMATA) yang berpusat di Kota Surabaya. Kegiatan dari
kedua LSM ini adalah memberikan bantuan pelatihan ketrampilan kerja, bantuan modal kerja,
beasiswa bagi anak penderita atau OYPMK, perbaikan rumah penderita atau OYPMK, dll.
Untuk dukungan pendanaan program P2 Kusta dibantu oleh Netherlands Leprosy Relief.
D. Prediksi Penyebaran Kusta
Hingga saat ini tak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Hasil penelitian, kuman kusta yang
masih utuh, bentuknya lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan yang
tidak utuh. Faktor pengobatan sangat penting untuk menghancurkan kusta, sehingga penularan
dapat dicegah,. Pengobatan ke penderita kusta, merupakan salah satu cara pemutusan mata
rantai penularan.
Saat ini telah tersedia obat yang dapat menyembuhkan kusta. Sekurang-kurangnya 80
persen dari semua orang, tidak mungkin terkena kusta. Enam dari tujuh kusta tidaklah menular
ke orang lain. Kasus-kasus menular tidak akan menular, setelah diobati enam bulan atau lebih
secara teratur. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagain besar cacat fisik, . jadi
dapat disimpulkan bahwa penyebaran kusta pada masa yang akan datangakan semakin menurun

mengingat banyaknya usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk menekan penyebaran
dan penderita kusta.
Daftar Pustaka
Djuanda.A., Menaldi. SL., Wisesa.TW., dan Ashadi. LN. (1997). Kusta : diagnosis dan
Penatalaksanaan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Djuanda. A.,Djuanda. S., Hamzah. M., dan Aisah.A. (1993). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Balai Penrbit FKUI

Makula : Lesi kulit yang datar dimana terjadi perubahan warna kulit yang dapat berbatas tegas
atau samar dibandingkan dengan kulit sekitarnya dengan ukuran <> 0.5 cm.
Patofisiologi
Makula
Hpiperpigmentasi
terjadi
karena
peningkatan
sekresi
melanin.
Makula Hipopigmentasi terjadi karena penurunan atau tidak adanya sintesis melanin.
Makula Eritem terjadi karena dilatasi pembuluh darah, ekstravasasi sel-sel darah merah
kepermukaan kulit.

Anoreksia adalah kelainan psikis yang diderita seseorang berupa kekurangan nafsu makan meski
sebenarnya lapar dan berselera terhadap makanan Kondisi ini umumnya ditandai beberapa gejala
psikologis:

Keinginan memiliki tubuh kurus

Ketakutan berlebihan terhadap kegemukan

Penolakan untuk mempertahankan berat

badan yang normal

Hilangnya siklus menstruasi

Mempelajari tentang makanan dan kalori

secara berlebihan

Menyembunyikan atau sengaja

membuang makanan

Penyakit neuritis merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada syaraf- syaraf dalam tubuh
manusia. Apabila ada satu syaraf dalam tubuh yang mengalami kelainan atau gangguan penyakit
tersebut dinamai dengan radang urat syaraf tunggal, sedangkan jika terjadi kelainan atau
gangguan pada beberapa syaraf di dalam tubuh disebut dengan radang urat syaraf berganda.
Penyakit neuritis termasuk penyakit yang berbahaya karena apabila syaraf- syaraf dalam tubuh
manusia mengalami kelainan atau gangguan sudah pasti akan berdampak pada beberapa organ
tubuh yang ditopangnya. Penyakit neuritis disebabkan oleh adanya tekanan, pukulan, atau
benturan pada bagian syaraf, bisa juga disebabkan oleh keracunan obat tertentu sehingga
membuat syaraf menjadi lumpuh.
Ada beberapa jenis penyakit neuritis, diantaranya :
1.Kerusakan syaraf secara mekanis, penyakit ini terjadi karena adanya benturan, pukulan, dan
tekanan benda kras pada bagian syaraf sehingga terjadi gangguan dan penyakit neuritis.
Tertusuk, terjepit, dan patah tulang juga dapat memicu terjadinya penyakit neuritis jenis
kerusakan
mekanis.
2.Terjadi gangguan metabolisme jaringan syaraf, penyakit neuritis jenis ini terjadi karena tubuh
kekurangan vitamin B1 dan bisa juga karena faktor kecanduan alkohol. Penyakit neuritis jenis
gangguan metabolisme tubuh terjadi karena beberapa syaraf mengalami kerusakan dalam waktu
yang
bersamaan.
3.Ganguan racun pada syaraf, penyakit neuritis jenis ini terjadi karena keracunan obat atau
minuman beralkohol sehingga membuat penderitanya sering merasa cemas dan gelisah tanpa
sebab.
Ulkus diartikan sebagai defek lokal atau ekskavasasi permukaan jaringan atau organ,yang lebih dalam dari
jaringan epitel.
Epitaksis atau sering disebut juga mimisan yaitu, satu keadaan pendarahan dari hidung yang
keluar melalui lubang hidung akibat adanya kelainan lokal pada rongga hidung ataupun karena
kelainan yang terjadi di tempat lain dari tubuh. Mimisan terjadi pada hidung karena hidung
punya banyak pembuluh darah, terutama di balik lapisan tipis cupingnya. Mimisan sendiri bukan
merupakan suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit, itu artinya mimisan bisa
terjadi karena bermacam sebab dari yang ringan sampai yang berat. Pada umumnya ini terjadi
pada anak-anak karena pembuluh darahnya masih tipis dan sensitive.
Etiologi
Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan sistemik.
Etiologi lokal

1. Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek hidung, fraktur
hidung atau trauma maksilofasia lainnya.
2. Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas. Tersering adalah
tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan yang hebat dan
karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan bercampur lendir atau
ingus.
3. Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang pada anak
dan remaja.
Ketiga etiologi diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.
Etiologi lainnya

Iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada mukosa hidung;

Keadaan lingkungan yang sangat dingin

Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba tiba

Latrogenik akibat operasi

Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama

Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai Ingus berbau
busuk.

Etiologi sistemik
1. Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis. Hipertensi yan
disertai atau anpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab epistaksis tersering pada usia 6070 lahun, perdarahan biasanya hebat berulang dan mempunyai prognosis yang kurang
baik.
2. Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.

3. Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili, demam tifoid dll.

Kesemutan atau parestesia dalam ilmu kedokteran, adalah sebuah sensasi pada permukaan
tubuh tertentu yang tidak dipicu rangsangan dari dunia luar. Sebenarnya parestesia adalah sensasi
rasa dingin atau panas di suatu bagian tubuh tertentu, atau sensasi rasa dirambati sesuatu.
Parestesia itu timbul bila terjadi iritasi pada serabut saraf yang membawa sensasi kesemutan.
Kesemutan terjadi karena aliran darah yang tidak lancar atau sarafnya lemah (neuropati).
Sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter ahli penyakit dalam atau saraf.
nodus eritematosa berbentuk kerucut, nyeri, dan ditengahnya terdapat pustule.

Anda mungkin juga menyukai