Anda di halaman 1dari 26

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................... 1


BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................... 2
1.2 Rumusan Masala.................................................................... 3
1.3 Tujuan..................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1

Pengertian

Diabetes

Melitus.............................................................................

2.2
Patofisiologi.........................................................................................
.............. 4
2.3

Klasifikasi

Diabetes

Melitus..............................................................................
2.4

Tanda

dan

gejala

diabetes................................................................................ 7
2.5

Diagnosa

Mellitus..............................................................................

Diabetes
7

2.6

Faktor

Pencetus..............................................................................................
...

2.7 Terapi

Diabetes

Melitus...................................................................................10
BAB III PENUTUP
3.1Kesimpulan.....................................................................................
......................................................................................................23
3.2
Saran...................................................................................................
............... 24
DAFTAR
PUSTAKA...........................................................................................
........ 25

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Diabetes

mellitus

adalah

sekelompok

gangguan

metabolisme

lemak, karbohidrat, dan protein yang dihasilkan dari efects sekresi


insulin, aksi insulin (sensitivitas), atau keduanya. (Joseph T. Dipiro,
et al. 2008)
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan
yang
berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan Sumber
Daya

Manusia.

Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem


kesehatan
suatu negara. Walaupun belum ada survei nasional, sejalan dengan
perubahan
gaya

hidup

termasuk

pola

makan

masyarakat

diperkirakan

Indonesia
penderita

Diabetes mellitus ini semakin meningkat, terutama pada kelompok


umur dewasa keatas pada seluruh status sosial ekonomi. Saat ini
upaya

penanggulangan

menempati

skala

penyakit

prioritas

Diabetes
utama

mellitus

dalam

belum

pelayanan

kesehatan,walaupun diketahui dampak negatif yang ditimbulkannya

cukup besar antara lain komplikasi kronik pada penyakit jantung


kronis, hipertensi, otak, system saraf, hati, mata dan ginjal.
Keberhasilan upaya pembangunan kesehatan dapat diukur dengan
menurunnya angka kesakitan, angka kematian umum dan bayi,
serta meningkatnya umur harapan hidup (UHH), namun masa
transisi demografi akibat keberhasilan upaya menurunkan angka
kematian dapat menimbulkan transisi epidemiologis, sehingga pola
penyakit bergeser dari infeksi akut penyakit degenerative yang
menahun.
Menurut WHO angka penyandang penyakit yang popular dengan
sebutan kencing manis memang cukup fantastis, yaitu menempati
urutan ke 4 terbesar di dunia. Menurut data WHO, dunia kini didiami
oleh 171 juta penderita diabtes mellitus (2000) dan akan meningkat
dua kali menjadi 366 juta pada tahun 2030. Dari 50% yang sadar
mengidapnya, hanya 30% yang rutin berobat. Kecenderungan
peningkatan prevalensi akan membawa perubahan posisi diabetes
mellitus semakin menonjol, yang ditandai dengan perubahan atau
kenaikan peningkatannya dikelompok 10 besar (leading diseases).
Selain itu diabetes mellitus makin member kontribusi yang lebih
besar terhadap kematian ( ten diseases leading cause of death).
(Bustan, 2007)
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian dan patofisiologi penyakit Diabetes
Melitus ?
2. Apa saja klasifikasi penyakit Diabetes Melitus ?
3. Bagaimana diagnosa penyakit Diabetes Melitus ?
4. Bagaimana cara pengobatan Diabetes Melitus ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian dan patofisiologi penyakit Diabetes
Melitus
2. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit Diabetes Melitus
3. Untuk mengetahui bagaimana diagnosa penyakit Diabetes
Melitus
4. Untuk mengetahui bagaimana cara pengobatan Diabetes Melitus

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Diabetes Melitus


Diabetes mellitus, DM (bahasa Yunani: , diabanein,
tembus atau pancuran air) (bahasa Latin: mellitus, rasa manis) yang
juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula
adalah kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor,
dengan

simtoma

berupa

hiperglisemia

kronis

dan

gangguan

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.


Menurut American Diabetes Asosiation (ADA) 2003, diabetes itu
merupkan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik
hyperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO tahun 1980
diabetes mellistus merupakan suatu yang tidak dapat dituangkan
dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum
dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomi dan
kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana
didapat defisiensi insulin absolute atau relative dan gangguan
fungsi insulin.
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan yang ditandai
oleh peningkatan kadar glukosa darah( hyperglikemia) mungkin
terdapat penurunan dalam kemampuan tubuh untuk merespon
terhadap insulin dan atau penurunan atau tidak terdapatnya
pembentukan oleh pancreas ( Burnner dan suddarrth, 2003)
2.2 Patofisiologi
Pada manusia bahan bakar itu berasal dari bahan makanan
yang kita makan sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat ( gula dan
tepung-tepungan), protein (asam amino) dan lemak (asam lemak).
Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut kemudian ke
lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan,
makanan yang terdiri dari karbohidrat dipecah menjadi glukosa,
protein dipecah menjadi asam amino dan lemak menjadi asam

lemak. Ketiga zat makanan itu diedarkan ke seluruh tubuh untuk


dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai energy.
Supaya berfungsi sebagai energy zat makanan itu harus diolah,
dimana glukosa dibakar melalui proses kimia yang menghasilkan
energy yang disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme
insulin memegang peranan penting yaitu memasukkan glukosa ke
dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar ( FKUI, Depkes,
WHO, 2004)
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan
sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa
ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa itu di
metabolismekan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka
glukosa dapat masuk ke sel dengan akibat glukosa akan tetap
berada didalam pembuluh darah yang artinya kadarnya didalam
darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan menjadi
lemah karena tidak ada sumber energy di dalam sel. Inilah yang
terjadi pada diabetes mellitus tipe 1.
2.2.1 Patofisologi diabetes mellitus tipe 1
Insulin pada diabetes mellitus tipe 1 tidak ada, ini disebabkan oleh
karena pada jenis ini timbul reaksi otoimun yang disebabkan
adanya peradangan pada sel beta insulitis. Ini menyebabkan
timbulnya antibody terhadap sel beta yang disebut ICA ( Islet Cell
Antibody).

Reaksi

antigen

(sel

beta)

dengan

antibody

ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta.


2.2.2 Patofisiologi diabetes mellitus tipe 2
Pada diabetes mellitus tipe 2 jumlah insulin normal malah mungkin
lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada
permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan
sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel.
Penyebab resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2
sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor dibawah ini bayak
berperan:
obesitas terutama bersifat sentral ( bentuk apel)

Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat


Kurang gerak badan
Factor keturunan
2.2.3 Patofisiologi diabetes mellitus gestasional
Diabetes mellitus gestasional atau diabetes melitus yang terjadi
hanya selama kehamilan dan pulih setelah melahirkan, dengan
keterlibatan interleukin-6 dan protein reaktif C pada lintasan
patogenesisnya.GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin atau
ibu, dan sekitar 2050% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.
2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus
Ada beberapa tipe Diabetes Melitus yang berbeda. Penyakit
ini

dibedakan

berdasarkan

penyebab,

perjalanan

klinik

dan

terapinya. Klasifikasi Diabetes Melitus yang utama adalah:


2.3.1 Diabetes Melitus Tipe 1 : diabetes mellitus tergantung insulin (
Insulin Dependent Diabetes Melitus/IDDM)
Kurang dari 5-10% penderita mengalami diabetes yang tergantung
insulin. Pada diabetes jenis ini, sel-sel beta pancreas yang dalam
keadaan normal menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh
suatu proses autoimun. Sebagai akibatnya, penyuntikan insulin
diperlukan untuk mengendalikan kadar gula darah.
2.3.2 Diabetes Melitus Tipe 2: diabetes mellitus tidak tergantung
insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus/NIDDM)
Kurang dari 90-95% penderita mengalami diabetes tipe 2, yaitu
diabetes yang tidak tergantung insulin. Diabtes tipe 2 terjadi akibat
penurunan sensitifitas insulin ( retensi insulin). Sebagian besar
penderita diabetes tipe 2, obat oral tidak mengendalikan keadaan
hyperglikemia.
mengendalikan

Sebagian

penderita

diabetesnya

diabetes

dengan

diet,

tipe

dapat

latihan,

obat

hypoglikemia oral dan mungkin memerlukan penyuntikan insulin


dalam periode stress fisiologi akut seperti sakit atau pembedahan.
2.3.3 Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 25% dari semua
kehamilan. GDM bersifat temporer dan dapat meningkat maupun
menghilang setelah melahirkan. GDM dapat disembuhkan, namun

memerlukan

pengawasan

medis

yang

cermat

selama

masa

kehamilan.
Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani dengan baik
dapat membahayakan kesehatan janin maupun sang ibu. Resiko
yang dapat dialami oleh bayi meliputi makrosomia (berat bayi yang
tinggi/diatas normal), penyakit jantung bawaan dan kelainan sistem
saraf pusat, dan cacat otot rangka. Peningkatan hormon insulin
janin

dapat

menghambat

produksi

surfaktan

janin

dan

mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan. Hyperbilirubinemia


dapat terjadi akibat kerusakan sel darah merah. Pada kasus yang
parah, kematian sebelum kelahiran dapat terjadi, paling umum
terjadi sebagai akibat dari perfusi plasenta yang buruk karena
kerusakan vaskular. Induksi kehamilan dapat diindikasikan dengan
menurunnya fungsi plasenta. Operasi sesar dapat akan dilakukan
bila ada tanda bahwa janin dalam bahaya atau peningkatan resiko
luka yang berhubungan dengan makrosomia, seperti distosia bahu.
2.4 Tanda dan gejala diabetes
Gejala khas
1.

Gejala khas
Poliuria (sering kencing terutama di malam hari)
Poliphagia (banyak makan atau cepat lapar)
Polidipsia (rasa haus yang berlebihan)

2.

Gejala lain
Kelainan kulit seperti gatal dan bisul. Biasanya, bagian tubuh
yang terasa gatal adalah daerah genital atau daerah lipatan
kulit,seperti ketiak bawah payudara dan pelipatan paha.
Katarak atau gangguan refraksi akibat perubahan-perubahan
pada lensa akibat akibat hiperglikemia
Kelainan ginekologi,seperti keputihan yang

di

akibatkan

adanya jamur candida dan kelainan pola haid.


Impotensi pada laki-laki
Kesemutan dan mati rasa (baal) pada jari tangan dan kaki
yang di akibatkan neuropati.
Luka atau bisul yang tak kunjung sembuh, meskipun luka
hanya timbul karena hal sepele,seperti luka lecet.
Tubuh merasa lemah dan mudah merasa lelah
Berat badan menurun tanpa penyebab khusus.

2.5 Diagnosa Diabetes Mellitus


Menurut Utami P,(2003) Diabetes mellitus dapat didiagnosis secara
baik

melalui

pemeriksaan

laboratorium

dengan

melakukan

pemeriksaan darah. Kriteria diagnosa Diabetes mellitus diambil dari


keputusan organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu berdasarkan
kadar gula atau glukosa darah. Diagnosa diabetes millitus dapat di
tetapkan dengan mengukur kadar glukosa darah ketika puasa dan
1-2 jam setelah meminum larutan glukosa 75 gram (tes toleransi
oral). Kadar glukosa darah ketika puasa menunjukan keadaan
pruduksi insulin tubuh yang bersifat basal atau dasar. Beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk mendiagnosis diabetes
mellitus adalah sebagai berikut :
1. Seorang dikatakan menderita diabetes mellitus,jika kadar gula
darah sewaktu 200 mg/dl. (gula darah sewaktu adalah kadar
glukosa darah pada suatu saat yang dapat berubah sepanjang
hari dengan jumlah karbohidrat yang dimakan.
2. Seseorang dikatakan menderita diabetes mellitus jika kadar
glukosa darah ketika puasa > 126 mg/dl atau 2 jam setelah
meminum larutan glukosa 75 gram menunjukkan kadar glukosa
darah >200 mg/dl.(puasa = tidak ada masukan makanan atau
kalori sejak 10 jam terakhir).
3. Seseorang dikatakan normal atau tidak menderita diabetes
mellitus jika kadar glukosa darah ketika puasa adalah < 110
mg/dl,kadar glukosa darah 1 jam
Rekomendasi WHO kriteria diagnosis diabetes mellitus dan
hipoglikemia intermediate :
Jenis pemeriksaan
Diabetes :

Nilai normal

>

Glukosa puasa
Glukosa 2 jam pp

7.0

mmol/1

(126mg/dl), atau
> = 11.1 mmol (200mg/dl)

Impaired

glucose

tolerance

(IGT)

< = 7.0 mmol/1 (126)mg/dl,


Glukosa puasa
Glukosa 2 jam pp

dan
> = 7.8 mmol/1 dan < 11.1
8

mmol (140 mg/dl dan 2000


mg/dl)
Impaired fasting glucose (IFG)

Glukosa puasa

Glukosa 2 jam pp

6.1 6.9 mmol/1 (110


125 mg/dl), dan
< 7.8 mmol/1 (140 mg/dl)

+ glukosa plasma vena 2 jam setelah makan 75 gram glukosa

Jika 2 jam pp tidak diukur, status diabetes tidak jelas, dan IGT

tidak bisa dikeluarkan


2.6 Faktor Pencetus
Faktor bibit merupakan penyebab utama timbulnya penyakit
diabetes di samping penyebab lain seperti infeksi,kehamilan dan
obat-obatan. Tetapi meskipun demikain, pada orang dengan bibit
diabetes,belumlah menjamin timbulnya penyakit dibetes. Masih
mungkin bibit ini tidak menampakkan diri secara nyata sampai
akhir hayatnya.
Beberpa faktor yang dapat menyuburkan dan sering merupakan
faktor pencetus diabetes melitus ialah :

Kurang gerak / malas


Makanan berlebihan
Kehamilan
Kekurangan produksi hormon insulin
Penyakit hormon yang kerjanya berlawanan dengan insulin

Secara singkat factor-faktor yang mempertinggi risiko diabetes


adalah
1. Kelainan genetika
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap
diabetes, karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tidak
dapat menghasilkan insulin dengan baik. Tetapi risikonya terkena
diabetes juga tergantung pada factor kelebihan berat badan, stress,
dan kurang bergerak.
2. Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologi yang secara
drastic menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes
sering muncul setelah seseorang memasuki usia rawan tersebut,

terutama setelah usia 45 tahun pada mereka yang berat badanya


berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka lagi terhadap insulin.
3. Gaya hidup stress
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan
yang manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar
serotonin otak. Serotonin ini memiliki efek penenang sementara
untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak itulah yang
berbahaya bagi mereka yang beresiko kena diabetes.
4. Pola makan yang salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama-sama meningkatkan
risiko kena diabetes. Kurang gizi (mal nutrisi) dapat merusak
pancreas, sedangkan obesitas (gemuk berlebihan) mengakibatkan
gangguan kerja insulin (retensi insulin).
Kurang gizi dapat terjadi selama kehamilan, masa anak-anak, dan
pada usia dewasa akibat diet ketat berlebihan. Sedangkan kurang
gizi

pda

janinmungkin

terjadi

karena

ibunya

merokok

atau

mengkonsumsi alcohol semasa hamilnya.


Sebaliknya, obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya
lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu
banyak, sehongga cadangan gula darah yang disimpan didalam
tubuh sangant berlebihan. Sekitar 80% penderita diabetes tipe II
adalah mereka yang tergolong gemuk.
2.7 Terapi Diabetes Melitus
Secara garis besar terapi DM dibagi atas:
Terapi Nonfarmakologis
a. Diet
Terapi nutrisi medis direkomendasikan pada semua pasien DM.
Terapi ini bertujuan untuk mencapai metabolisme yang optimal dan
mengurangi resiko komplikasi. Pada pasien DM tipe 1 terapi ini
difokuskan untuk mengatur pemberian insulin yang seimbang
dengan diet dan mempertahankan berat badan yang proporsional.
Meski masih diperdebatkan, namun penderita DM memerlukan
perencanaan makan yang moderat dengan komposisi rendah
karbohidrat dan lemak. Pasien harus diberi pengertian antara
hubungan karbohidrat dan glukosa darah. Selain itu pasien DM tipe

10

2 seringkali memerlukan pembatasan kalori untuk mencegah


penurunan berat badan.
ADA merekomendasikan sekitar 60-70% asupan kalori harian
sebaiknya berasal dari karbohidrat dan asam lemak tak jenuh
tunggal. Banyak dokter berusaha meningkatkan prosentase asam
lemak tak jenuh tunggal dan menurunkan prosentase karbohidrat.
Penelitian terbaru menunjukan bahwa diet rendah karbohidrat
berperan membantu menurunkan berat badan dan mengurangi
resiko penyakit kardiovaskular pada pasien DM tipe 2.
b. Aktivitas
Peningkatan aktivitas umumnya akan memberikan keuntungan bagi
penderita DM. Olahrga aerobik akan membantu memulihkan
resistensi insulin dan kontrol glukosa darah, mengurangi resiko
penyakit kardiovaskular, dan berkontribusi pada penurunan berat
badan dan pemeliharaan kesehatan pada sebagian besar penderita
DM. Pasien harus memilih jenis olahraga yang mungkin untuk
dijalankannya secara rutin. Kegiatan olahraga ini harus dimulai
secara perlahan sebelum akhirnya menetap. Pasien lanjut usia,
pasien dengan penyakit kronis (berusia lebih dari 35 tahun atau
lebih dari 25 tahun dengan DM lebih dari 10 tahun), pasien dengan
berbagai faktor resiko penyakit kardiovaskular, adanya penyakit
mikrovaskular, pasien dengan riwayat atherosklerosis, memerlukan
evaluasi pencitraan sebelum memulai aktivitas olahraga yang
intens. Selain itu beberapa komplikasi seperti neuropati otonom,
mati rasa pada kaki dan retinopati memerlukan pembatasan
aktivitas olahraga.
Terapi Farmakologis
Hingga tahun 1995 hanya tersedia dua macam pilihan terapi
farmakologis DM yaitu sulfonilurea (untuk DM tipe 2) dan insulin
(untuk

DM

tipe

1).

Setelah

tahun

1995

sejumlah

agen

antidiabetikum oral diperkenalkan di Amerika. Hingga kini terdapat


5 kelas agen antidiabetikum oral, yaitu:
1. Sulfonilurea
2. Biguanide
3. Meglitinide
4. Thiazolidindion
5. Inhibitor -glukosidase

11

Agen antidiabetikum oral diindikasikan untuk DM tipe 2 yang tak


dapat dikontrol hanya dengan diet dan olahraga. Agen-agen
tersebut

dikelompokan

menurut

mekanisme

kerjanya

dalam

menurunkan kadar glukosa darah. Biguanide dan thiazolidindion


sering dikategorikan sebagai agen pensensitisasi (sensitizer) insulin
karena

kemampuan

agen-agen

tersebut

dalam

mengurangi

resistensi insulin. Sulfonilurea dan meglitinide dikategorikan sebagai


sekretagog insulin karena kemampuannya dalam meningkatkan rilis
insulin endogen.
Terapi DM dengan insulin kini tersedia dalam beberapa tipe insulin
yaitu:
1. Rapid acting insulin (lispro dan aspart) yaitu insulin kerja cepat
yang tersedia dalam campuran insulin Humalog Mix 75/25 dan
Novolog Mix 70/30
2. Long acting basal insulin glarine yang mampu efektivitas terapi
insulin
3. Gluisine, sebagai sediaan insulin kerja cepat juga telah disetujui
4.

penggunaannya oleh FDA


Sediaan insulin inhalasi dan oral sedang dalam tahap

pengembangan
1. Insulin
Farmakologi
Insulin merupakan hormon anabolik dan antikatabolik. Insulin
memainkan peran utama dalam metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein. Insulin endogen dihasilkan dari pembelahan peptida
proinsulin yang lebih besar menjadi peptida aktif insulin dan Cpeptida didalam sel -pankreas. Semua sediaan insulin yang
tersedia dipasaran hanya mengandung peptida aktif insulin.
Karakteristik
Insulin umumnya dikarakteristik menurut sumber, kekuatan, onset
dan durasi kerjanya. Selain itu, insulin juga dikarakteristik menurut
analognya, yang didefinisikan sebagai insulin yang mengandung
asam amino tertentu dalam modifikasi molekul insulin untuk
menghasilkan

keuntungan

pada

sifat

fisikokimia

maupun

farmakokinetikanya.
Kekuatan insulin dinyatakan sebagai U-100 atau U-500 yang berarti
kekuatannya adalah 100 unit/mL atau 500 unit/mL. U-500 mungkin

12

diperlukan bagi pasien yang memerlukan insulin dosis tinggi.


Namun sediaan insulin yang umum adalah U-100.
Sediaan insulin yang ada dipasaran dapat berupa insulin yang
berasal dari daging sapi maupun daging babi. Insulin daging sapi
memiliki 3 perbedaan asam amino, sedangkan insulin daging babi
memiliki satu perbedaan asam amino dibandingkan dengan insulin
manusia. Produksi insulin dari sumber daging sapi maupun babi di
Amerika serikat dihentikan sejak Desember 2003, dan sebagai
gantinya kini dikembangkan teknologi rekombinant DNA untuk
memproduksi insulin. Ely Lily dan Aventis starin non-penyakit dari
E.Colie untuk sintesis insulin manusia, sedangkan Novo Nordisk
menggunakan Saccharomyces sereviceae.
Kemurnia insulin mengacu pada jumlah proinsulin dibandingkan
komponen lain sebagai pengotor. Sebelum tahun 1980 insulin
mengandung cukup banyak pengotor yaitu antara 300-10.000 ppm
yang dapat menyebabkan reaksi pada tempat penyuntikan dan efek
samping sistemik berupa pembentukan antibodi. Teknologi modern
memberikan kemudahan untuk memurnikan insulin.
Sediaan insulin yang terdapat dipasaran dapat dilihat pada Tabel ini.
Cara penggunaan insulin dapat dilihat disini.
Farmakokinetika
Farmakokinetika injeksi subkutan insulin tergantung pada onset,
konsentrasi puncak dan durasi kerja. Penyerapan insulin dari depot
subkutan tergantung pada beberapa faktor diantaranya:
1. Sumber insulin
2. Konsentrasi insulin
3. Zat tambahan pada sediaan insulin (misal: seng, protamin, dll)
4. Aliran darah ke daerah penyuntikan (menggosok daerah
penyuntikan, peningkatan suhu kulit, latihan pada otot dekat
lokasi penyuntikan dapat meningkatkan laju penyerapan)
5. Tempat penyuntikan
Berdasarkan tempat penyuntikannya, urutan kecepatan penyerapan
insulin adalah sebagai berikut:
1. Lemak perut posterior
2. Lengan atas
3. Daerah paha lateral
4. Area bokong posterior
Penambahan protamin dan seng akan menunda onset, puncak dan
durasi kerja insulin.

13

Waktu paruh dari suntikan IV insulin reguler adalah sekitar 9 menit.


Jadi durasi kerja efekif dari insulin reguler adalah cepat. Insulin
terdegradasi dalam hati, otot dan ginjal. Hati menonaktifkan sekitar
20-50% insulin pada pemberian dosis tunggal. Sekitar 15-20%
insulin dimetabolisme dalam ginjal. Sehingga pasien dengan
gangguan fungsi ginjal parah memerlukan dosis insulin yang lebih
rendah.
Khasiat
Khasiat insulin tradisional (misal insulin reguler, NPH dan Lente
insulin) adalah tegas. Khasiat insulin analog diukur melalui berbagai
cara sebagai insulin tradisional. Dalam studi insulin analog belum
menunjukan keunggulan pada
tradisional

level

HbA1c

dibanding

insulin

namun lebih disukai penggunaannya. Lispro, ASPART

dan Glulisine memberikan keuntungan dalam hal kemudahan


penyuntikannya

yang

disuntikan

10

menit

setalah

makan,

dibandingkan insulin reguler yang harus disuntikan 30 menit setelah


makan. Insulin kerja cepat memberikan efek penurunan kadar
glukosa postprandial yang lebih cepat dibandingkan insulin reguler.
Insulin Glargine yang disuntikan pada waktu tidur menunjukan efek
penurunan resiko hipoglikemia yang nokturnal yang signifikan
dibandingkan NPH yang juga disuntikan pada waktu tidur.
Komplikasi Mikrovaskular
Insulin sebagaimana agen antidiabetik oral terbukti
mengurangi resiko komplikasi mikrovaskular.
Komplikasi Makrovaskular
Hubungan antara tingginya level insulin

mampu

(hiperinsulinemia),

resistensi insulin, dan kejadian penyakit kardiovaskular tidak serta


merta dipercaya bahwa insulin dapat menyebabkan komplikasi
makrovaskular. UKPDS dan DCCT tidak menemukan perbedaan hasil
antara tujuan makrovaskular dengan terapi intensif insulin. Satu
studi menunjukan bahwa pada pasien DM dengan infark miokard
akut

yang

menerima

infus

glukosa

insulin

terbukti

mampu

menurunkan angka kematian dengan terapi insulin.


Efek Merugikan
Efek merugikan yang paling umum dalam penggunaan insulin
adalah hipoglikemia dan berat badan. Hipoglikemia lebih sering
terjadi pada pasien yang menggunakan insulin secara intensif

14

dibanding yang kurang intensif dan lebih sering terjadi pada pasien
dengan DM tipe 1 daripada tipe 2.
Untuk meminimalisasi resiko hipoglikemia pada pasien dengan
terapi

insulin

maka

pasien

harus

diberi

pengertian

untuk

mewasapadai tanda-tanda hipoglikemia dan pemantauan glukosa


darah. Gejala hipoglikemia dapat berupa:
1. Gejala simpatik normal (takikardia, tremulousness, dan
kebingungan)
2. Gejala awal dapat berupa gejala neuroglikopenik (Kebingungan,
agitasi, kehilangan kesadaran, dan atau dapat berkembang menjadi
koma)
Pasien sering kali mengalami ktidaksadaran hipoglikemia, sehingga
diperlukan pemantauan glukosa darah untuk mewaspadainya.
Muntah dan peningkatan berat badan adalah salah satu reaksi
merugikan lain dalam terapi insulin.
Interaksi Obat
Tidak ada interaksi obat yang signifikan dengan insulin. Meskipun
beberapa obat berikut dapat mempengaruhi kontrol glukosa dengan
insulin:
1. ACE-inhibitor menurunkan kadar glukosa darah, karena
meningkatkan sensitivitas insulin
2. Alkohol, membantu menurunkan kadar glukosa darah karena
alkohol menyebabkan penurunan produksi glukosa hepatik
3. Alfa-interferon, meningkatkan kadar glukosa darah dengan
mekanisme yang tidak diketahui
4.
Diaksoside, meningkatkan kadar glukosa darah dengan
menurunkan sekresi insulin dan menurunkan penggunaan
glukosa perifer
5.
Diuretik, meningkatkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan resistensi insulin
6.
Glukokortikoid, meningkatkan
7.

kadar

glukosa

dengan

merusak/menghambat kerja insulin


Asam nikotinat, meningkatkan kadar glukosa darah dengan

merusak kerja insulin, dan meningkatkan resistensi insulin


8. Kontrasepsi oral meningkatkan kadar glukosa darah dengan
mekanisme yang tak diketahui
9.
Fenitoin, meningkatkan kadar glukosa darah dengan
penurunan sekresi insulin
Dosis dan Cara Pemberian
Dosis insulin pada setiap pasien bersifat individual. Dalam DM tipe 1
Kebutuhan harian insulin rata-rata 0,5-0,6 unit/Kg, dengan sekitar

15

50% dalam bentuk insulin basal, dan sisanya disampaikan melalui


makanan. Pada kondisi DM tipe 1 yang disertai penyakit akut,
ketoasidosis atau keadaan resistensi insulin relatif membutuhkan
dosis insulin yang lebih tinggi. Dosis insulin sangat bervariasi
tergantung kondisi yang mendasari resistensi insulin dan sensitizer
oral yang digunakan.
Penyimpanan
Sebelum digunakan insulin sebaiknya disimpan pada suhu dingin
(36-46 derajat Fahrenheit). Tanggal kadaluarsa pada kemasan
berlaku bila produk insulin tersebut belum dibuka dan disimpan
pada suhu dingin. Setelah dibuka waktu kadaluarsa produk insulin
bervariasi menurut jenis insulin dan mekanisme pengiriman produk
tersebut. Informasi tentang waktu kadaluarsa insulin dapat dilihat
pada tabel ini.
2. Sulfonilurea
Farmakologi
Mekanisme utama kerja sulfonilurea adalah dengan meningkatkan
sekresi

insulin.

Sulfonilurea

terikat

pada

reseptor

spesifik

sulfonilurea pada sel -pankreas. Pengikatan tersebut menutup


kanal K+ tergantung adenosin trifosfat (ATP) sehingga menurnkan
masuknya
tergantung
Peningkatan

kalium

dan

tegangan

depolarisasi

membran.

Kanal

Ca2+

menyebabkan

terbukanya

fluks

Ca2+.

konsentrasi

Ca2+

intraseluler

menyebabkan

translokasi sekresi insulin pada sel eksositosis. Peningkatan sekresi


insulin dari pankreas bergerak melalui vena portal dan menekan
produksi glukosa hepatik.
Klasifikasi
Sulfonilurea diklasifikasikan dalam generasi pertama dan kedua.
Klasifikasi ini didasarkan pada perbedaan potensi relatif, perbedaan
potensi efek samping, dan perbedaan dalam kemampuannya
mengikat protein serum (resiko pengikatan protein dan interaksi
perpindahan obat).
1. Sulfonilurea generasi 1: Asetoheksamide, klorpropamide,
tolazamide, dan tolbutamide
2. Sulfonilurea generasi 2: glimepirid, glipizid dan gliburid.
Farmakokinetika

16

Semua sulfonilurea

dimetabolisme dihati. Beberepa

metabolit

bersifat aktif, dan selebihnya nonaktif. Sitokrom P450 (CYP450)2C9


memetabolismekan sebagian besar sulfonilurea. Agen sulfonilurea
yang menghasilkan metabolit aktif memerlukan penyesuaian dosis
jika digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Waktu
paruh sulfonilurea berkorelasi langsung dengan resiko hipoglikemia.
Klorpropamide dan gliburid berpotensi lebih besar menyebabkan
terjadinya

hipoglikemia.

Durasi

kerja

yang

panjang

dari

klorpropamide beresiko terjadinya penimbunan dan mengakibatkan


hipoglikemia berkepanjangan pada pasien lanjut usia dan atau
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pasien DM yang beresiko
tinggi mengalami hipoglikemia (pasien lanjut usia, dan pasien
dengan gangguan fungsi ginjal dan atau hati) dapat memulai terapi
sulfonilurea dengan dosis terendah dan memiliki waktu paruh
pendek.
Khasiat
Jika diberikan pada dosis ekuipotensial, semua sulfonilurea memiliki
efek penurunan kadar glukosa darah yang sama. Rata-rata HbA1c
akan berada pada rentang 1,5-2% dan glukosa puasa turun sekitar
60-70 mg/dL, sehingga sebagian besar pasien tidak akan mencapai
kadar glukosa normal jika hanya menggunakan terapi tunggal
sulfonilurea. Pasien dapat mengalami kegagalan terapi dengan
sulfonilurea. Pasien yang gagal dengan terapi sulfonilurea ini dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kelompok pasien yang memiliki tingkat C-peptida rendah
dengan level glukosa puasa (fasting plasma glucose (FPG)) yang
tinggi (lebih dari 250 mg/dL). Kelompok pasien ini umumnya
hanya sedikit mengalami penurunan FPG (kurang dari 30 mg/dL)
yang normal saat dimulainya terapi dengan sulfonilurea dan
memiliki level toksisitas glukosa yang signifikan atau merupakan
DM tipe 1 yang lambat berkembang.
2. Kelompok pasien yang saat dimulainya terapi sulfonilurea
mengalami penurunan kadar glukosa darah lebih dari 30 mg/dL
namun belum dapat mencapai konsentrasi normalnya. Sekitar

17

75% pasien yang gagal terapi sulfonilurea masuk dalam


kelompok ini.
Komplikasi Mikrovaskular
Sulfonilurea terbukti menurunkan resiko komplikasi mikrovaskular
pada penderita DM tipe 2.
Komplikasi Makrovaskular
Studi menunjukan bahwa tidak penambahan manfaat maupun
resiko yang membahayakan akibat penggunaan sulfonilurea lebih
dari 10 tahun pada penderita DM tipe 2. Pasien D tipe 2 yang
menerima terapi tolbutamid lebih beresiko mengalami penyakit
arteri koroner dibandingkan dengan kelompok pasien yang diterapi
insulin atau pun plasebo.
Efek Merugikan
Efek samping yang paling
hipoglikemia.

FPG

adalah

umum
prediktor

dari

sulfonilurea

utama

dalam

adalah
menilai

kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Rendahnya FPG berpotensi


besar terjadinya hipoglikemia. Selain itu pasien DM dengan terapi
sulfonilurea yang melewatkan satu waktu makan, berolahraga
terllau berat, atau mengalami penurunan berat badan juga
berpotensi mengalami hipoglikemia.
Hiponatremia (kadar natrium serum <129 mEq/mL) dapat terjadi
pada terapi dengan tolbutamid dan klorpropamid. Hiponatremia
terjadi melalui mekanisme peningkatan hormon antidiuretik. Resiko
hiponatremia lebih tinggi pada pasien lanjut usia (>60 tahun),
pasien perempuan dan penggunaan bersama diuretik tiazid.
Kenaikan berat badan juga dapat terjadi sebagai efek samping
terapi sulfonilurea. Karena pasien yang tidak lagi hiperglikemia akan
menyimpan kelebihan kalorinya. Efek samping lain yang kurang
umum adalah ruam, anemia hemolitik, gangguan pencernaan, dan
kolstasis.
Interaksi Obat
Sulfonilurea generasi pertama yang membentuk ikatan dengan
protein ionik lebih mungkin berinteraksi dibandingkan dengan
sulfonilurea generasi dua yang mengikat protein nonionik. Sebagian
besar interaksi obat ini terjadi melalui metabolisme hepatik. Obatobat yang menginduksi atau pun menghambat kerja enzim CYP450
2C9 harus dipantau jika digunakan bersama sulfonilurea.
Interaksi sulfonilurea diantaranya:

18

1. Melalui penggantian ikatan protein plasma: warfarin, salisilat,


fenilbutazon, sulfonamida
2. Mengubah metabolisme hepatik (mempengaruhi kerja enzim
CYP450 2C9): kloramfenikol, penghambat monoamin oksidase,
simetidin, rifampin
3. Merubah ekskresi ginjal: allopurinol, probenesid
Dosis dan Cara Pemberian
Dosis terapi sulfonilurea dapat dilihat pada tabel ini. Dosis
sebaiknya diturunkan pada pasien usia lanjut atau pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan atau hati. Dosis harus dititrasi setiap 1-2
minggu (menggunakan interval waktu yang lebih lama pada
klorpropamid) untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal.
Hal itu akan memungkinkan sekresi insulin secara cepat sebagai
respon terapi sulfonilurea. Dosis maksimal glipizid adalah 40
mg/hari, dengan dosis maksimal efektif sekitar 10-15 mg/hari. Dosis
maksimal efektif sulfonilurea umumnya sekitar 60-75% dari dosis
maksimumnya.
3. Meglitinid
Farmakologi
Sisi pengikatan nateglinide dan refaglinide berdekatan dengan sisi
pengikatan sulfonilurea, natelinide dan rafegilinide bekerja dengan
merangsang sekresi insulin pada sel -pankreas, seperti halnya
sulfonilurea. Refaglinide yang merupakan turunan asam benzoat
maupun

nateglinide

yang

merupakan

derivat

asam

amino

fenilalanin kedua memerlukan kehadiran glukosa untuk dapat


merangsang sekresi insulin. Kelompok obat ini menekan kadar
glukosa hingga kadar normal, stimulasi insulin pun akan segera
berkurang setelah kadar glukosa darah normal.
Farmakokinetika
Refaglinide dan refaglinide keduanya adalah sekretagog insulin
yang bekerja dan diserap secara cepat (sekitar 0,5-1 jam) dan
memiliki waktu pasruh yang singkat (1-1,5 jam).Nateglinide sangat
terikat pada protein plasma terutama albumin dan asam a1glikoprotein. Nateglinide sebagian besar dimetabolisme oleh enzim
CYP450 2C9 (70%) dan CYP3A4 membentuk metabolit yang kurang
aktif. Konjugasi glukoronat memungkinkan eliminasi yang cepat
melalui ginjal. Refaglinide terutama dimetabolisme oleh CYP3A4
membentuk metabolit aktif yang diekskresikan melalui empedu.

19

Khasiat
Dalam monoterapi, nateglinide dan refaglinide mampu menurunkan
kadar glukosa dan HbA1c posprandial. Refaglinide 3x4 mg mampu
menurunkan kadar HbA1c sebesar 1%, dan nateglinide 3x120 mg
menurunkan HbA1c hingga 0,8%
Efek Merugikan
Efek merugikan yang paling

umum

dari

agen

ini

adalah

hipoglikemia, namun resiko hipoglikemianya masih lebih rendah bila


dibandingkan sulfonilurea.
Interaksi Obat
Berinteraksi dengan obat-obat yang menginduksi atau menghambat
enzim CYP3A4.
Dosis dan Cara Pemberian
Rafeglinide dan nateglinide sebaiknya diberikan saat makan (hingga
30 menit sebelum makan). Dosis efektif refaglinide adalah 2 mg
saat

makan

atau

mg

sebelum

makan.

Sedangkan

dosis

nateglinide adalah 120 mg sebelum makan dan tidak perlu dititrasi.


4. Biguanide
Farmakologi
Metformin adalah satu-satunya biguanide yang tersedia di Amerika
Serikat. Metformin bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin
baik pada jaringan hati maupun perifer. Peningkatan sensitivitas
insulin ini memungkinkan peningkatan penyerapan glukosa oleh
jaringan. Mekanisme real dari metformin dalam meningkatkan
sensitivitas insulin ini memang belum diketahui secara pasti.
Namun telah diketahui bahwa aktivasi protein kinase oleh adenosin5-monofosfat yang teraktivasi, peningkatan aktivitas tirosin kinase,
dan

tranforter

glukosa

memainkan

peranan

penting

dalam

mekanisme metformin ini. Metformin memberikan efek tidak


langsung pada sel -pankreas.
Farmakokinetika
Metformin oral memiliki ketersediaan hayati sekitar 50-60%,
memiliki kelarutan dalam lipid yang rendah, dan volume distribusi
mendekati cairan tubuh. Metformin tidak dimetabolisme dan
mengikat protein plasma. Metformin diekskresikan melalui sekresi
tubular dan filtrasi glomerolus diginjal. Waktu paruh rata-rata 6 jam,
namun

secara

farmakodinamik

metformin

memberikan

efek

antihiperglikemik hingga lebih dari 24 jam.


Khasiat

20

Metformin secara konsisten menurunkan level HbA1c sekitar 1,52,0% dan menurunkan level glukosa puasa hingga 60-80 mg/dL.
Metformin juga memiliki kemampuan menurunkan kadar glukosa
puasa yang sangat tinggi (>300 mg/dL). Metformin juga memiliki
efek positif pada beberapa sindrome resistensi insulin. Metformin
mampu menurunkan kadar trigliserida dan LDL-C sekitar 8% dan
15%, serta meningkatkan kadar HDL-C (2%). Metformin juga
mengurangi tingkat plasminogen sehingga menyebabkan sedikit
penurunan berat badan (2-3 kg).
Komplikasi Mikrovaskular
Memiliki kemampuan menurunkan resiko komplikasi mikrovaskular
seperti halnya sulfonilurea.
Komplikasi Makrovaskular
Metformin menurunkan resiko komplikasi makrovaskular pada
pasien DM dengan obesitas. Secara signifikan mengurangi resiko
stroke dan infark miokard. Metformin harus dimasukan dalam terapi
pilihan pertama pasien DM tipe 2, kecuali jika kontraindikasi.
Efek Merugikan
Metformin
menyebabkan
efek
samping
pada
saluran
gastrointestinal seperti ketidaknyamanan perut, sakit perut dan
diare, disamping anoreksia dan perasaan penuh pada perut. Efek
samping ini umumnya bersifat ringan dan dapat diminimalisir
dengan cara titrasi lambat, dan konsumsi obat tepat setelah makan.
Efek samping lain yang mungkin terjadi namun jarang adalah
asidosis laktat.
Interaksi Obat
Simetidin dan metformin bersaing dalam hal ekskresi melalui
ekskresi

tubular

sehingga

berpotensi

meningkatkan

deposit

metformin, dan kemungkinan berimplikasi pada terjadinya asidosis


laktat. Metformin juga berinteraksi dengan prokainamid, digoksin,
kuinidin, trimetoprim dan vankomisin.
Dosis dan Cara Pemberian
Metformin lepas cepat 2x500 mg segera setelah makan untuk
meminimalisir efek samping gastrointestinal. Dosis tersebut dapat
ditingkatkan 500 mg perminggu hingga diperoleh kadar glukosa
normal atau hingga 2000 mg perhari.
Dosis harian metformin dapat dimulai dengan 850 mg, dan setelah
1-2 minggu ditingkatkan 2x850 mg hingga maksimum 3x850 mg.

21

Metformin lepas lambat dapat dimulai dengan dosis tunggal saat


makan

malam

sebesar

500

mg

kemudian

dilakukan

titrasi

mingguan sebesar 500 mg hingga dosis harian tunggal maksimum


sebesar 2000 mg. Penggunaan metformin lepas lambat dalam dosis
terbagi 2-3 kali sehari dapat mengurangi resiko efek samping
gastrointestinal.
5. Tiazolidindion
Farmakologi
Tiazolidindion disebut juga dengan istilah TZD atau glitazon.
Pioglitazon

dan

tiazolidindion

rosiglitazon

yang

adalah

disetujui

jenis

obat

penggunaannya

golongan

oleh

FDA.

Tiazolidindion bekerja dengan mengikat reseptor gama-pengaktivasi


proliferator peroksisom yang terdapat pada sel-sel lemak dan
pembuluh darah. Tiazolidindion meningkatkan sensitivitas insulin
pada otot, hati, dan jaringan lemak.
Farmakokinetik
Pioglitazon dan rosiglitazon diserap dengan baik dari saluran cerna
dengan atau tanpa makanan. Kedua obat tersebut terikat pada
protein albumin sekitar 99%. Pioglitazon terutama dimetabolisme
oleh enzim CYP2C8 dan sedikit oleh CYP3A4 dan mayoritas
dieliminasi

melalui

tinja.

Sedangkan

rosiglitazon

terutama

dimetablisme oleh CYP2C8 dan sedikit oleh CYP2C9 yang kemudian


terkonjugasi dan dieliminasi melalui urin dan feses. Waktu paruh
pioglitazon 3-7 jam sedangkan rosiglitazon sekitar 3-4 jam.
6. Inhibitor -Glucosidase
Farmakologi
Acarbose dan miglitol adalah 2 obat dari golongan ini. Inhibitor Glucosidase merupakan penghambat kompetitif yang menghambat
enzim maltase, isomaltase, sukrase dan glukoamilase diusus kecil
sehingga

menghambat

pemecahan

sukrosa

dan

karbohidrat

kompleks.
Farmakokinetik
Mekanisme kerja obat ini terbatas pada sisi luminal usus. Beberapa
metabolit diserap secara sistemik dan diekskresikan melalui ginjal.
Sedangkan miglitol diserap secara sistemik dan diekskresikan
melalui ginjal dalam bentuk utuh.
Khasiat
Obat ini mampu menurunkan kadar glukosa postprandial sebesar
40-50 mg/dL dan relatif tidak menurunkan kadar glukosa puasa.

22

Komplikasi Mikrovaskular
Obat golongan ini mampu menurunkan kadar HbA1c sehngga
menurunkan resiko komplikais mikrovaskular.
Komplikasi Makrovaskular
Akarbose dapat menurunkan tingkat konversi gangguan toleransi
glukosa pada penderita DM serta mengurangi resiko penyakit
kardiovaskular.
Efek Merugikan
Efek samping paling umum adalah efek pada saluran pencernaan
seperti perut kembung, nyeri abdomen dan diare. Efek tersebut
menyebabkan keterbatasan penggunaan obat ini.
Dosis dan Cara Pemberian
Dosis akarbose dan miglitol adalah sama. Terapi dimulai dengan
dosis sangat rendah yaitu 1x25 mg saat makan, dan dititrasi secara
bertahap dalam beberapa bulan hingga dosis maksimum 3x50 mg
pada pasien dengan berat badan kurang dari atau sama dengan 60
kg atau 3x100 mg pada pasien dengan bobot badan lebih dari 60 kg

BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan

1. Patofisiologi penyakit Diabetes Melitus adalah :


a. Patofisologi diabetes mellitus tipe 1
Insulin pada diabetes mellitus tipe 1 tidak ada, ini disebabkan oleh
karena pada jenis ini timbul reaksi otoimun yang disebabkan
adanya peradangan pada sel beta insulitis.
b. Patofisiologi diabetes mellitus tipe 2
Pada diabetes mellitus tipe 2 jumlah insulin normal malah mungkin
lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada
permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan
sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel.
c. Patofisiologi diabetes mellitus gestasional

23

Diabetes mellitus gestasional atau diabetes melitus yang terjadi


hanya selama kehamilan dan pulih setelah melahirkan, dengan
keterlibatan interleukin-6 dan protein reaktif C pada lintasan
patogenesisnya.GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin atau
ibu, dan sekitar 2050% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.
2. Klasifikasi penyakit Diabetes Melitus adalah :
a. Diabetes Melitus Tipe 1 : diabetes mellitus tergantung insulin
( Insulin Dependent Diabetes Melitus/IDDM)
b. Diabetes Melitus Tipe 2 : diabetes mellitus tidak tergantung
insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus/NIDDM)
c. Diabetes Melitus Gestasional(GDM) : diabetes yang dialami
oleh orang hamil
3. Diagnosa penyakit Diabetes Melitus adalah :
Diabetes

mellitus

dapat

didiagnosis

secara

baik

melalui

pemeriksaan laboratorium dengan melakukan pemeriksaan darah.


Kriteria

diagnosa

Diabetes

mellitus

diambil

dari

keputusan

organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu berdasarkan kadar gula


atau glukosa darah.
4.

Terapi penyakit Diabetes Melitus adalah :

a.
b.
3.2

Non farmakologis (diet dan aktivitas)


Farmakologis
Saran

Sesuai dengan perkembangan zaman maka akan memicu timbulnya


penyakit seperti yang disebabkan oleh prilaku dan pola hidup yang
salah.Salah satu contohnya adalah penyakit Diabetes Melitus.Untuk
itu perlu pencegahan sejak dini dalam menghindari penyakit
Diabetes Melitus dengan
masyarakat

dimulai

dari

menjaga dan meningkatkan kesehatan


lingkungan

keluarga

dengan

cara

melakukan pola makan dan pola hidup sehat

24

DAFTAR PUSTAKA
Joseph T. Dipiro, et al. 2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic
Approach seventh edition. USA : The McGraw-Hill Companies,
Bustan. 2007. Epidemologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : PT.
Rineka Cipta
Peningkatan Kasus Penyakit Diabetes Mellitus di Instalasi Rawat
Jalan Penyakit dalam Rumah Sakit Dokter Mohammad Hoesin
Palembang. STIK Bina Husada. Palembang
Hubungan Determinan Penderita dengan Kejadian Diabetes Mellitus
Pasien Rawat Jalan di RSUD Palembang Bari Tahun 2011. STIK
Bina Husada. Palembang
Brunner, L.S. dan Suddarth, D.S. (2002). Buku Ajar Keperawatan
Medikal BedahVol2. Jakarta: EGC.

25

26

Anda mungkin juga menyukai