LAPORAN KASUS
2.1 Identifikasi
Nama
: Ny. S
Umur
: 48 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
Pekerjaan
Agama
: Islam
MRS
: 24 Februari 2011
Os dikatakan sakit jantung dan tiroid. Os pulang dengan perbaikan dan kontrol ke
poli RSMH secara teratur. Os mengkonsumsi obat captropil, digoxin, aspilet,
omeprazol dan spironolakton secara teratur.
1 minggu SMRS os mengeluh sudah tidak kuat berjalan lagi karena sesak napas,
sesak berkurang bila os istirahat, os juga sering terbangun di malam hari karena
sesak dan sesak berkurang bila os duduk,. Os lebih nyaman tidur menggunakan 3
bantal . Sesak dipengaruhi cuaca (-), batuk (+), dahak (-), demam (-), mual (-),
muntah (-), nyeri ulu hati (-), sembab pada kelopak mata di pagi hari (-), sembab
pada kaki (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan.
6 jam SMRS os mengeluh sesak napas makin hebat, sesak saat istirahat, sesak
tidak dipengaruhi aktifitas dan cuaca. Os sulit tidur karena sesak. Os lebih nyaman
dengan posisi duduk. Batuk (+), dahak (-) demam (+) hilang timbul, menggigil
(+).mual (-), muntah (-), sembab pada mata (-), sembab pada kedua tungkai (+),
sembab juga bertambah ke perut, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian os
berobat ke poliklinik RSMH dan dirawat.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi (+) baru diketahui tahun 2008, teratur minum obat
captopril.
Riwayat sakit jantung (+) dan tiroid sejak tahun 2008 dan os kontrol teratur
ke poli jantung RSMH. Os berhenti munum PTU 1 tahun terakhir.
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan Darah
: 100/70 mmHg
Nadi
Temperatur
: 36.5 C
RR
: 40 x/m
Dehidrasi
: tidak ada
Berat Badan
: 48 kg
Tinggi Badan
: 150 cm
IMT
48
(1,50)2
48
2,25
: 21,333 (normoweight)
Keadaan Spesifik
Kulit
Warna sawo matang, efloresensi tidak ada, scar tidak ada, pigmentasi dalam batas
normal, ikterus pada kulit tidak ada, kulit lembab, keringat umum ada, keringat
setempat tidak ada, pucat pada telapak tangan dan kaki tidak ada, sianosis tidak ada,
lapisan lemak cukup.
Kelenjar Getah Bening
Kelenjar getah bening submandibular, leher, axilla, dan inguinal tidak ada
pembesaran, nyeri tekan tidak ada.
Kepala
Bentuk bulat, simetris, rambut rontok ada, deformitas tidak ada, perdarahan temporal
tidak ada, dan nyeri tekan tidak ada.
Mata
Eksopthalmus dan Endopthalmus tidak ada, edema palpebra tidak ada, conjungtiva
palpebra kedua mata pucat tidak ada, sklera ikterik tidak ada, pupil isokor, refleks
cahaya baik, penglihatan kabur pada kedua mata tidak ada, gerakan bola mata ke
segala arah dan simetris, lapangan penglihatan baik.
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang perabaan baik. Selaput
lendir dalam batas normal. Tidak ditemukan adanya penyumbatan dan perdarahan.
Pernapasan cuping hidung tidak ada.
Telinga
Tophi tidak ada, pada liang telinga tidak ada kelainan, nyeri tekan proc.mastoideus
tidak ada, selaput pendengaran tidak ada kelainan, pendengaran baik.
Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah tidak ada, atrofi papil tidak ada, gusi
berdarah tidak ada, stomatitis tidak ada, rhagaden tidak ada, bau pernapasan yang
khas tidak ada.
Leher
Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada, pembesaran kelenjar tiroid tidak ada,
JVP (5+2) cm H2O, hipertrofi m.sternocleidomastoideus tidak dijumpai
Dada
Bentuk thorax`normal simetris kanan dan kiri, sela iga tidak melebar, retraksi
dinding thorax tidak ada, ginekomastia tidak ada, tidak ditemukan venectasis dan
spider nevi.
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Batas atas jantung ICS III, kanan linea mid clavicula dextra, kiri
linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
: Cembung
: tegang, NT (-), Hepar teraba 4 jari dibawah arcus costae, lien
tidak teraba, nyeri tekan (+) epigastrium
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas Atas
Kedua ekstremitas atas tampak pucat tidak ada, palmar eritema tidak ada, nyeri otot
dan sendi tidak ada, gerakan kesegala arah, kekuatan +5, refleks fisiologis normal,
refleks patologis tidak ada, jari tabuh tidak ada, eutoni, eutropi, tremor tidak ada,
edema ada pada kedua lengan dan tangan tidak ada, telapak tangan hangat.
Ekstremitas Bawah
Kedua ekstremitas bawah tidak tampak pucat, nyeri otot dan sendi tidak ada,
kekuatan +5, refleks fisiologis normal, refleks patologis tidak ada, eutoni, eutrophi,
varices tidak dijumpai, jaringan parut ada, pigmentasi dalam batas normal, jari tabuh
tidak ada, turgor cukup, edema pretibial (+).
Alat Kelamin
Tidak diperiksa
Skor Farmingham untuk pasien ini :
Kriteria Mayor
(+)
(+)
Ronkhi paru
(+)
Kardiomegali
(+)
(-)
Gallop S3
(-)
(+)
Refluks hepatojugular
(-)
Kriteria Minor
Edema ekstremitas
(-)
(+)
Dispneu deffort
(+)
Hepatomegali
(+)
Efusi pleura
(+)
(-)
(+)
(+1)
Palpitasi
(+2)
Capai/lelah
(+2)
Suka dingin
(+5)
Keringat banyak
(+3)
(-3)
BB(-)
(+3)
Gejala Objektif:
Struma (tiroid teraba)tidak ada
(-3)
(-2)
(0)
(+4)
(0)
(0)
(+2)
Fibrilasi atrium
(+4)
Nadi >90x/m
(+3)
Leukosit
LED
Trombosit
Hitung Jenis
Basofil
: 0 (normal : 0-1 %)
Eosinofil
: 0 (normal : 1-3%)
Batang
: 1 (normal : 2-6%)
Segmen
: 90 (normal : 50-70%)
Limfosit
: 7 (normal : 20-40%)
Monosit
: 2 (normal : 2-8%)
: 109 mg/dl
Ureum
Creatinin
LDL
Triglycerida
Protein Total
Albumin
Globulin
: 3,0 g/dl
Na+
K+
T3
T4
TSH
Irama AF, axis kanan, HR= 168x/m, QRS complex 0,10 detik, R/S V1 > 1, SV1 + RV5/6
< 35, STchange (-)
Kesan : AF rapid ventikular respon + RBBB inkomplete
Rontgen thorax PA No 2411 (24 Februari 2011)
-
Kesan: kardiomegali
2.5 Resume
4 tahun SMRS, os mengeluh sering berdebar-debar. Os juga mengeluh mudah
lelah dan sesak bila melakukan aktivitas, sering berkeringat banyak, dan nafsu makan
yang meningkat tetapi berat badan os menurun. Os lebih suka berada ditempat yang
dingin karena os mudah berkeringat. Tangan os selalu lembab dan hangat, os juga
merasa sering gemetar pada tangan. Os mengeluh sering diare. BAK tidak ada
keluhan. Os tidak berobat.
3 tahun SRMS os mengeluh sesak napas, sesak dipengaruhi aktifitas bila
beraktivitas sehari-hari dan saat berjalan ke kamar mandi. Sesak tidak dipengaruhi
cuaca. Sesak berkurang bila istirahat. Os juga sering terbangun di malam hari karena
sesak. Os lebih nyaman tidur menggunakan 3 bantal. Os juga mengeluh mudah lelah
dan mudah berkeringat. Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (+) tidak teratur, batuk
(-), dahak (-), demam (-), mual (-), muntah (-), sembab pada kedua tungkai (+), nyeri
sendi (-).BAB dan BAK tidak ada keluhan. Os lalu berobat ke RSMH dan dirawat.
Os dikatakan sakit jantung dan tiroid. Os pulang dengan perbaikan dan kontrol ke
poli RSMH secara teratur. Os mengkonsumsi obat captropil, digoxin, aspilet,
omeprazol dan spironolakton secara teratur.
1 minggu SMRS os mengeluh sudah tidak kuat berjalan lagi karena sesak napas,
sesak berkurang bila os istirahat, os juga sering terbangun di malam hari karena
sesak dan sesak berkurang bila os duduk,. Os lebih nyaman tidur menggunakan 3
bantal . Sesak dipengaruhi cuaca (-), batuk (+), dahak (-), demam (-), mual (-),
muntah (-), nyeri ulu hati (-), sembab pada kelopak mata di pagi hari (-), sembab
pada kaki (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan.
6 jam SMRS os mengeluh sesak napas makin hebat, sesak saat istirahat, sesak
tidak dipengaruhi aktifitas dan cuaca. Os sulit tidur karena sesak. Os lebih nyaman
dengan posisi duduk. Batuk (+), dahak (-) demam (+) hilang timbul, menggigil
(+).mual (-), muntah (-), sembab pada mata (-), sembab pada kedua tungkai (+),
sembab juga bertambah ke perut, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian os
berobat ke poliklinik RSMH dan dirawat.
Os mengaku ada riwayat darah tinggi dan sakit jantung sejak tahun 2008 dan os
kontrol teratur ke poli jantung RSMH. Os menyangkal adanya riwayat kencing
10
manis. Os juga menyangkal adanya penyakit dengan gejala yang sama dalam
keluarganya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa keadaan umum tampak sakit sedang,
tekanan darah 100/700 mmHg, nadi 128 x/m irreguler isi dan tegangan cukup,
frekuensi pernapasan 40 x/m, suhu 36.5C. Pada pemeriksaan paru ditemukan adanya
ronkhi basah halus di kedua basal paru dan pada pemeriksaan jantung didapatkan
batas jantung membesar yaitu batas jantung kanan linea mid clavicula dextra, kiri
pada linea axillaris anterior sinistra dan pada auskultasi didapat heart rate yang
168x/m dimana hal ini tidak sama dengan denyut nadinya. Pada pemeriksaan
abdomen didapatkan pada inspeksi tampak datar, pada palpasi ditemukan adanya
nyeri tekan epigastrium, hepar teraba 4 jari dibawah arcus costae dan lien tidak
teraba, pada perkusi ditemukan adanya shifting dullness.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 10,9 g/dl, Leukosit 8600/mm3,
LED 50 mm/jam, Trombosit 156.000/mm3 , hitung jenis 0/0/1/90/7/2, BSS : 109
mg/dl, Kolesterol total 68 mg/dl, HDL kolesterol 36 mg/dl, LDL kolesterol 24 mg/dl,
Trigliserida 114 mg/dl, Ureum 59 mg/dl, Creatinin 1.1 mg/dl, Protein total 6.1 mg/dl,
Albumin 3.1 g/dl, Globulin 3.0 g/dl, Na+ 136 mmol/l, K+ 3.6 mmol/l.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan AF rapid ventikular respon + RBBB
inkomplete. Pada rontgen thorax didapatkan kardiomegali.
2.6 Diagnosa Sementara
THD dekompensata + AF rapid ventrikular respon + hipoalbuminemia
2.7 Diagnosa Banding
CHF e.c RHD + AF rapid ventrikular respon + hipoalbuminemia
2.8 Penatalaksanaan
-
Diet Jantung II
O2 3 L/menit
11
Furosemid 1 x 40 mg tablet
Digoxin 1x0.25 mg
Acetosal 1x 100mg
Ambroxol 3x 1c
Echocardiograhy
2.10
Prognosis
Quo ad vitam
: dubia
Quo ad functionam
: dubia ad malam
12
FOLLOW UP
25 Februari 2011
S :
O : Keadaan Umum
Sensorium
Compos Mentis
Tekanan Darah
80/60 mmHg
Nadi
Frekuensi Pernapasan
36x / m
Temperatur
36.8C
Keadaan Spesifik
Kepala
Leher
Thorax
Cor :
HR : 130x/m irreguler, M (+) sistolik di semua katup
grade IV/6, G(-)
Pulmo :
Vesikuler (+) normal, Ronkhi Basah Halus (+) di kedua
basal paru, Wheezing (-)
Abdomen
Ekstremitas
13
EKG
A :
P :
Diet Jantung II
O2 3 L/menit
Digoxin 1x0.25 mg
Acetosal 1x 100mg
Ambroxol 3x C5
Balance cairan
Rencana :
-
ECG perhari
Echocardiography
26 Februari 2011
S :
O : Keadaan Umum
Sensorium
Compos Mentis
Tekanan Darah
110/70 mmHg
Nadi
Frekuensi Pernapasan
28x / m
Temperatur
36.6C
Keadaan Spesifik
Kepala
Leher
Thorax
Cor :
HR : 128x/m irreguler, M (+) sistolik semua katup
grade IV/6, G(-)
Pulmo :
Vesikuler (+) normal, Ronkhi Basah Halus (+) di
kedua basal paru, Wheezing (-)
Abdomen
Ekstremitas
EKG
Echocardiography
A :
P :
Diet Jantung II
O2 3 L/menit
Furosemid 1 x 40 mg tablet
Digoxin 1x0.25 mg
Ambroxol 3x 1c
Intake (ml)
Maka
25-2-2011
26-2-2011
n
200
100
Minu
m
200
500
Output (ml)
IVF
BA
BA
D
700
700
B
100
100
K
700
1500
CW
L
480
480
Selisi
Berat
Lingka
Bada
r Perut
-180
-780
n
48 kg
48 kg
40 cm
40 cm
16
BAB III
GAGAL JANTUNG KONGESTIF
III.1 Definisi Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala)
ditandai dengan sesak nafas dan fatique (saat istirahat atau aktifitas) yang disebabkan
oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.1 Ada juga sumber yang mengatakan bahwa
gagal jantung adalah penyakit di mana aksi pemompaan jantung menjadi kurang kuat,
seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Artinya, jantung tidak memompa darah
sebagaimana mestinya. Ketika ini terjadi, darah tidak bergerak efisien melalui sistem
peredaran darah dan mulai membuat cadangan, meningkatkan tekanan di dalam
pembuluh darah dan memaksa cairan dari pembuluh darah ke jaringan tubuh.2
III.2 Epidemiologi Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Di negara
berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit
jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Penyakit katup
sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, yaitu penyakit katup
regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi
aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload)
sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan
afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung
dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertof
ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fbrilasi dan gagal
jantung seringkali timbul bersamaan.
Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Salah satu
penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50
tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang
berusia 85 tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, jumlah orang yang
didiagnosis dengan kondisi ini akan terus meningkat. Di Amerika Serikat, hampir 5 juta
orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya.
17
Kondisi ini lebih umum di antara Amerika Afrika dari kulit putih. 4 Hal ini menunjukkan
adanya keterkaitan antara usia dan gagal jantung kongestif.
Selain usia, insidensi gagal jantung kongestif juga dipengaruhi oleh faktor lain.
Salah satunya, insidensi gagal jantung kongestif digolongkan berdasarkan jenis kelamin.
Dari survei registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di rumah sakit, dengan
angka kejadian 4.7% pada perempuan dan 5.1% pada laki-laki.3
Kualitas dan kelangsungan hidup penderita gagal jantung kongestif sangat
dipengaruhi oleh diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Oleh karena itu, prognosis
pada penderita gagal jantung kongestif bervariasi pada tiap penderita. Berdasarkan salah
satu penelitian, angka kematian akibat gagal jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun.
Sekitar setengah dari mereka dengan gagal jantung kongestif mati dalam waktu 5 tahun
setelah diagnosis mereka.6 Sumber lain mengatakan bahwa seperdua dari pasien gagal
jantung kongestif meninggal dalam waktu 4 tahun setelah didiagnosis, dan terdapat lebih
dari 50% penderita gagal jantung kongestif berat meninggal dalam tahun pertama.5
III.3 Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif
Sindrom gagal jantung kongestif timbul sebagai konsekuensi dari adanya
abnormalitas struktur, fungsi, irama, ataupun konduksi jantung. Di negara-negara maju,
disfungsi ventrikel merupakan penyebab mayor dari kasus ini. Penyakit katup
degeneratif, kardiomiopati idiopatik, dan kardiomiopati alkoholik juga merupakan
penyebab terjadinya gagal jantung kongestif. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
gagal jantung lebih sering terjadi pada usia tua yang memiliki kondisi komorbid,
misalnya angina, hipertensi, diabetes, dan penyakit paru kronis.2
Faktor-faktor komorbid tersebut menyebabkan mekanisme kompensasi sehingga
terjadi gagal jantung. Mekanisme kompensasi yang dapat terjadi antara lain adalah
mekanisme kompensasi pada jantung, syaraf otonom, dan hormon. Pada jantung, dapat
terjadi mekanisme Frank Starling, hipertrofi dan dilatasi ventrikel, dan takikardi. Pada
syaraf otonom, terjadi peningkatan aktifitas syaraf simpatis. Sedangkan pada mekanisme
kompensasi yang terjadi pada hormon adalah berupa sistem renin-angiotensi-aldosteron,
vasopressin, dan natriuretik peptida.6
18
akan
memberikan respon pada volume output. Jika volume meningkat, maka jumlah darah
19
yang mampu dipompa oleh otot jantung secara fisiologis juga akan meningkat, hubungan
ini sesuai dengan hukum Frank-Starling.8
Variabilitas kedua pada stroke volume adalah kontraktilitas otot jantung yang
menunjukkan pompa otot jantung dan biasanya dapat dilihat sebagai ejeksi fraksi. Sesuai
dengan input otonom, jantung akan merespon preload yang sama dengan stroke volume
yang berbeda. Jantung dengan fungsi sistolik normal akan mempertahankan ejeksi fraksi
sekitar 50-55%. Infark miokard dapat menyebabkan adanya miokardium yang
nonfungsional yang akan merusak kontraktilitas. Tolak ukur akhir pada stroke volume
adalah afterload. Afterload adalah volume darah yang dipompa oleh otot jantung, yang
biasanya dapat dilihat dari tekanan arteri rata-rata. Afterload tidak hanya menunjukkan
resistensi vascular tetapi juga menunjukkan tekanan dinding thoraks dan intrathoraks
yang harus dilawan oleh miokardium. Ketiga variabel ini terganggu pada pasien gagal
jantung kongestif. Gagalnya jantung pada gagal jantung kongestif dapat dievaluasi
dengan menilai ketiga variabel tersebut. Jika cardiac output turun, maka denyut jantung
dan stroke volume akan berubah untuk mempertahankan perfusi jaringan. Jika stroke
volume tidak dapat dipertahankan, denyut jantung ditingkatkan untuk mempertahankan
cardiac output.8
Seperti disfungsi sistolik, disfungsi diastolik juga menghasilkan peningkatan
tekanan diastolik ventrikel, yang merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan stroke volume. Disfungsi diastolic menunjukkan berkurangnya
kemampuan ventrikel untuk mengisi ruangnya pada saat diastolik. 11 Selain itu, adanya
intoleransi aktifitas menunjukkan adanya disfungsi diastolik yang disebabkan oleh
adanya gangguan pada pengisian ventrikel yang meningkatkan tekanan atrium kiri dan
vena pulmonal sehingga menyebabkan bendungan pulmonal. Selain itu, cardiac output
yang tidak adekuat selama aktifitas dapat menyebabkan berkurangnya perfusi otot
skeletal, khususnya pada otot kaki dan otot pernafasan aksesorius.8
Walaupun demikian, patofisiologi pada gagal jantung kongestif bukan hanya
meliputi abnormalitas struktural, tetapi juga meliputi respon kardiovaskular pada perfusi
jaringan yang buruk dengan aktivasi sistem neurohormonal. Aktivasi sistem renninangiotensin ditujukan untuk meningkatkan preload dengan meningkatkan retensi air dan
garam, meningkatkan vasokonstriksi, dan mempertahankan kontraktilitas otot jantung.
20
Awalnya, respon ini mampu mempertahankan preload, namun aktivasi yang memanjang
mampu menurunkan miosit dan mengubah matriks maladaptive. Miokardium akan
mengalami remodeling dan dilatasi. Proses ini akan mengganggu fungsi paru-paru, ginjal,
otot, pembuluh darah, dan mungkin juga organ lain. Remodeling ini juga dapat
menyebabkan dekompensasi jantung, meliputi regurgitasi mitral karena adanya
peregangan annulus katup mitral, dan aritmia jantung karena adanya remodelling otot
atrium.8 Sehingga, dapat terjadi mekanisme kompensasi lain yang terjadi pada gagal
jantung seperti pada syaraf otonom dan hormon.6
III.3.2 Mekanisme Kompensasi pada Syaraf Otonom dan Hormon
Respon neurohormonal meliputi aktivasi syaraf simpatis dan sistem reninangiotensin, dan peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (vasopressin) dan peptida
natriuretik atrium.11 Sistem syaraf simpatis dan renin-angiotensin adalah respon mayor
yang dapat terjadi. Secara bersamaan, kedua sistem ini menyebabkan vasokonstriksi
sistemik, takikardi, meningkatkan kontraktilitas miokardium, dan retensi air dan garam
untuk mempertahankan tekanan darah sehingga perfusi jaringan menjadi lebih adekuat.
Namun jika berlangsung lama, hal ini dapat menurunkan cardiac output dengan
meningkatkan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas
miokardium dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Retensi air dan garam dapat
menyebabkan kongesti vena.9
Selain itu, faktor neurohormonal lain yang berperan dalam gagal jantung
kongestif adalah sistem renin-angiotensin. Penurunan tekanan perfusi ginjal dideteksi
oleh reseptor sensorik pada arteriol ginjal sehingga terjadi pelepasan renin dari ginjal. Hal
ini dapat meningkatkan tekanan filtrasi hidraulik glomerulus yang disebabkan oleh
penurunan tekanan perfusi pada ginjal. Angiotensin II akan menstimulasi sintesis
aldosteron, yang akan menyebabkan retensi air dan garam pada ginjal. Awalnya,
kompensasi ini merupakan usaha tubuh untuk mempertahankan perfusi sistemik dan
ginjal. Namun, aktivasi yang lama pada sistem ini dapat menyebabkan edema,
peningkatan tekanan vena pulmonal, dan peningkatan afterload. Hal ini dapat
memperberat kondisi gagal jantung.10
21
Selama gagal jantung, mekanisme neurohormonal lain yang dapat terjadi adalah
aktifitas simpatis yang dapat meningkatkan pelepasan vasopressin dan renin. Untungnya,
digitalis dapat menurunkan aktifitas simpatis dengan aktivasi tekanan baroreseptor yang
rendah maupun yang tinggi. Aktivasi neuroendokrin dapat meningkatkan pelepasan
neurohormonal sistemik, seperti norepinephrin, vasopressin, dan peptida natriuretik
atrium. Norepinephrin dapat meningkatkan afterload dengan vasokonstriksi sistemik dan
peningkatan kronotropik dan inotropik dengan stimulasi langsung pada miosit kardiak.
Stimulasi ini menyebabkan progresifitas kerusakan miosit. Selain itu, peningkatan
aktifitas norepinephrin dapat meningkatkan resiko terhadap aritmia ventrikel dan
kematian mendadak. Level norepinephrin plasma dalam sirkulasi dapat berkorelasi
negatif terhadap prognosis dan gejala gagal jantung kongestif.10
Mediator sistemik lainnya yang dapat dikenali adalah peningkatan konsentrasi
endothelin sistemik yang dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer dan kemudian
menyebabkan hipertrofi miosit dan terjadilah remodelling. Peptida natriuretik pada
atrium dan otak yang dilepaskan dari atrium dapat menyebabkan peningkatan tekanan
atrium. Peningkatan ini berkorelasi positif dengan tingginya angka mortalitas dan aritmia
ventrikel, walaupun korelasi ini tidak sekuat korelasi yang ditimbulkan oleh peningkatan
level norepinephrin plasma.10
Efek respon neurohormonal ini menyebabkan adanya vasokonstriksi (untuk
mempertahankan tekanan arteri), kontraksi vena (untuk meningkatkan tekanan vena), dan
meningkatkan volume darah. Umumnya, respon neurohormonal ini dapat dilihat dari
mekanisme kompensasi, tetapi dapat juga meningkatkan afterload pada ventrikel (yang
menurunkan stroke volume) dan meningkatkan preload sehingga menyebabkan edema
dan kongesti pulmonal ataupun sistemik. Ada juga teori yang menyatakan bahwa faktor
lain yang dapat terjadi pada gagal jantung kongestif ini adalah nitrit oksida dan endotelin
(keduanya dapat meningkat pada kondisi gagal jantung) yang juga berperan dalam
patogenesis gagal jantung.6
Penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan fungsi pembuluh darah
pulmonal dan sistemik, juga fungsi ginjal. Perubahan ini terjadi sebagai hasil dari
penurunan perfusi organ dan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal. Aktivasi
22
neurohormonal ini sangat penting dalam mekanisme kompensasi gagal jantung kongestif
karena hal ini dapat mempertahankan tekanan arteri.6
23
6. Gallop S3
7. Peningkatan tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor
Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain:
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit)
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.
24
adalah struma nodusa toxic, suatu keadaan di mana daerah yang terlokalisir pada kelenjar
dan otonomi.1
Hipertiroid lebih sering mengenai 4-8 kali pada perempuan disbanding pria,
dengan insiden terbanyak pada decade ke tiga atau keempat. Gejala yang sering
ditemukan adalah kelelahan, hiperaktif, insomnia, kepanasan, palpitasi, sesak nafas, nafsu
makan meningkat, berat badan turun, nokturia, diare, oligomenorrhea, kelemahan otot,
tremor, emosi labil, denyut jantung meningkat, hipertensi sistolik, hipertermia, kulit
lembab dan hangat, kelopak mata turun, dan reflek halus. Serum T4 meningkat dan serum
TSH rendah.1
Manifestasi klinis kardiovaskular hipertiroidisme adalah palpitasi biasanya
merupakan salah satu keluhan awal pasien umtuk pergi berobat ke dokter. Diasamping itu
dapat berupa hipertensi sistolik, kelelahan atau dengan dasar penyakit jantung yang sudah
ada, angina atau gagal jantung. Sinus takikardia dijumpai pada 40% pasien dan 15%
dengan fibrilasi atrial pada pasien hipertiroid. Dapat dijumpai gambaran hiperdinamik
pada prekordial, peningkatan tekanan nadi, intensitas suara jantung pertama, suara
jantung ke dua komponen pulmonal, suara jantung ketiga meningkat. Hipertiroid
meningkatkan insidensi prolaps katup mitral, dan beberapa kasus dapat didengar mid
diastolic murmur yang baik terdengar pada batas sterna kiri dengan atau tanpa sistolik
klik ejeksi.1
III. 7 Penatalaksanaan
III. 7. 1 Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Jika tidak terdapat faktor penyebab yang dapat diobati, penatalaksanaan medis
adalah dengan mengubah gaya hidup dan pengobatan medis. Perubahan gaya hidup
ditujukan untuk kesehatan penderita dan untuk mengurangi gejalanya, memperlambat
progresifitas gagal jantung kongestif, dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Hal ini
berdasarkan rekomendasi American Heart Association dan organisasi jantung lainnya.4
1. Konsumsi alkohol
25
26
badan, namun tidak merubah klasifikasi NYHA. Namun percobaan klinis lainnya
menyatakan bahwa pembatasan terhadap garam dan air pada penderita gagal jantung
kongestif menunjukkan adanya perbaikan klinis yang signifikan dan tidak adanya edema
dan fatique pada penderita gagal jantung kongestif sehingga dapat mengubah klasifikasi
NYHA. Pembatasan konsumsi garam pada penderita gagal jantung kongestif memiliki
efek baik terhadap tekanan darah. Penderita gagal jantung kongestif harus membatasi
garam yang dikonsumsi tidak boleh lebih dari 6 gram per hari.
b. Monitor berat badan per hari
Belum ada percobaan klinis yang membuktikan adanya keterkaitan antara monitor
berat badan per hari dan penatalaksanaan gagal jantung kongestif. Namun, monitor
terhadap berat badan ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi perolehan berat badan
atau kehilangan berat badan per hari pada penderita gagal jantung kongestif.
III. 6. 2 Penatalaksanaan Farmakologis
1. Diuretik
Diuretik digunakan untuk mengobati kelebihan cairan yang biasanya terjadi pada
gagal jantung kongestif. Diuretic menyebabkan ginjal mengeluarkan kelebihan garam dan
air dari aliran darah sehingga mengurangi jumlah volume darah dalam sirkulasi. Dengan
volume darah yang rendah, jantung tidak akan bekerja keras. Dalam hal ini, jumlah sel
darah merah dan sel darah putih tidak berubah.4
Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorbsi natrium dan klorida dalam
tubulus tertentu di dalam ginjal. Bumetamide, furosemide, dan torsemide bekerja di
dalam loop of henle sehingga disebut sebagai loop diuretik. Sementara tiazid, metalosone,
dan agen hemat kalium bekerja di tubulus distal. Kedua diuretik ini memiliki aksi
farmakologis yang berbeda. Loop diuretik dapat mengeluarkan lebih banyak natrium,
sekitar 20% hingga 25%, meningkatkan pengeluaran air, dan mampu mempertahankan
efektifitasnya walaupun terdapat gangguan ginjal. Sementara itu, tiazid lebih sedikit
mengeluarkan natrium dan air, juga dapat kehilangan efektifitasnya pada kondisi gagal
ginjal.
Penggunaan diuretik ini dapat mengurangi gejala klinis berupa retensi cairan pada
pasien dengan gagal jantung kongestif. Selain itu, diuretik dapat menurunkan tekanan
27
vena jugular, kongesti pulmonal, dan edema perifer. Pengukuran berat badan diperlukan
untuk mengevaluasi respon tubuh terhadap pemberian diuretik. Pemberian diuretik ini
mampu mengurangi gejala dan memperbaiki fungsi jantung maupun toleransi aktifitas
terhadap penderita gagal jantung. Namun demikian, peran diuretik dalam menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas penderita gagal jantung kongestif belum diketahui.
Diuretik dimulai dengan dosis awal yang rendah, kemudian dosis perlahan-lahan
ditingkatkan sampai output urine meningkat dan berat badan menurun, biasanya 0.5
hingga 1 kg per hari. Dosis pemeliharaan diuretik digunakan untuk mempertahankan
diuresis dan penurunan berat badan. Penggunaan diuretik ini perlu dikombinasikan
dengan pembatasan konsumsi natrium.
Hasil akhir dari pengobatan ini adalah kemampuan bernafas yang membaik dan
pengurangan pembengkakan dalam tubuh penderita. Kebanyakan obat-obatan ini
cenderung akan mengeluarkan potassium dari dalam tubuh, namun beberapa obat seperti
diuretik yang mengandung triamterene atau spironolakton dapat meningkatkan level
potassium, sehingga level potassium harus diawasi dengan ketat.4
Jika terjadi ketidakseimbangan elektrolit, hal ini perlu ditatalaksana secepat
mungkin. Jika terjadi hipotensi dan azotemia sebelum penatalaksanaan diuretik selesai,
kecepatan peningkatan dosis diuretik perlu dikurangi namun tetap dilakukan
pemeliharaan dosis diuretik sampai gejala retensi cairan berkurang, selama penderita
yang mengalami hipotensi dan azotemia ini bersifat asimptomatik.
Diuretik yang biasanya digunakan pada gagal jantung meliputi furosemid,
bumetanid, hidroklortiazid, spironolakton, torsemid, atau metolazon, atau kombinasi
agen-agen tersebut. Spironolakton dan eplerenon tidak hanya merupakan diuretik ringan
jika dibandingkan dengan diuretik kuat seperti furosemid, tetapi juga jika digunakan
dalam dosis kecil dan dikombinasikan dengan ACE inhibitor akan memperpanjang
harapan hidup. Hal ini disebabkan karena kombinasi obat ini mampu mencegah
progresifitas kekakuan dan pembesaran jantung.4
2. Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor
28
ACE inhibitor merupakan vasodilator yang sering digunakan untuk gagal jantung
kongestif. Obat ini menghambat produksi angiotensin II yang secara abnormal tinggi
pada gagal jantung kongestif. Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi dengan
meningkatkan kerja ventrikel kiri, dan hal ini secara langsung dapat menjadi toksik
terhadap ventrikel kiri dalam dosis yang berlebihan.4
ACE inhibitor dapat memperbaiki kondisi penderita gagal jantung kongestif,
penyakit jantung koroner, dan penyakit vaskular aterosklerosis, maupun nefropati
diabetikum. ACE inhibitor tidak hanya akan mempengaruhi sistem renin-angiotensin,
tetapi juga akan meningkatkan aksi kinin dan produksi prostaglandin. Keuntungan
penggunaan ACE inhibitor ini berupa mengurangi gejala, memperbaiki status klinis, dan
menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif ringan, sedang,
maupun berat, dengan atau tanpa penyakit jantung koroner.
ACE inhibitor merupakan pengobatan yang penting karena tidak hanya dapat
mengurangi gejala, tetapi juga dapat memperpanjang kemungkinan hidup penderita gagal
jantung kongestif dengan cara menghambat progresifitas kerusakan jantung dan pada
beberapa kasus dapat memperbaiki fungsi otot jantung.4 Namun demikian, ACE inhibitor
juga memiliki beberapa efek samping. Efek samping ACE inhibitor sebagai angiotensin
supresif dapat berupa hipotensi, perburukan fungsi ginjal, dan retensi kalium. Sementara
efek samping ACE inhibitor sebagai potensiasi kinin dapat berupa batuk dan
angioedema.
3. Inotropik
Inotropik bersifat simultan, seperti dobutamin dan milrinon, yang dapat
meningkatkan kemampuan pompa jantung. Hal ini digunakan sebagai pengobatan pada
kasus dimana ventrikel kiri sangat lemah dan tidak berespon terhadap pengobatan standar
gagal jantung kongestif. Salah satu contohnya adalah digoksin. Obat ini digunakan untuk
memperbaiki kemampuan jantung dalam memompakan darah. Karena obat ini
menyebabkan pompa paksa pada jantung, maka obat ini disebut sebagai inotropik positif.
Namun demikian, digoksin merupakan inotropik yang sangat lemah dan hanya digunakan
untuk terapi tambahan selain ACE inhibitor dan beta bloker.4
Walaupun sering digunakan, tidak semua penderita gagal jantung kongestif harus
diberikan digoksin karena kurang efektif dibandingkan dengan beberapa pengobatan
29
medikasi lainnya. Digoksin dapat mengurangi gejala setelah penggunaan vasodilator dan
diuretik, namun tidak untuk digunakan secara terus menerus. Digoksin merupakan obat
lama yang digunakan pada lebih dari 200 tahun yang lalu, yang merupakan derivat dari
tumbuhan foxglove. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengontrol irama jantung (pada
atrial fibrilasi). Kelebihan digoksin dapat membahayakan irama jantung sehingga terjadi
aritmia. Resiko aritmia ini meningkat jika dosis digoksin berlebihan, ginjal tidak
berfungsi optimal sehingga tidak dapat mengekskresikan digoksin dari tubuh secara
optimal, atau potasium dalam tubuh yang terlalu rendah (dapat terjadi pada pemberian
diuretik).4
4. Angiotensin II reseptor blocker (ARB)
Angiotensin II reseptor blocker (ARBs) bekerja dengan mencegah efek angiotensin II
di jaringan. Obat-obat ARB, misalnya antara lain candesartan, irbesartan, olmesartan,
losartan, valsartan, telmisartan, dan eprosartan. Obat-obatan ini biasanya digunakan pada
penderita gagal jantung kongestif yang tidak dapat menggunakan ACE inhibitor karena
efek sampingnya. Keduanya efektif, namun ACE inhibitor dapat digunakan lebih lama
dengan jumlah yang lebih banyak digunakan pada data percobaan klinis dan informasi
pasien.4
ACE inhibitor dan ARBs dapat menyebabkan tubuh meretensi potasium, Namun hal
ini umumnya hanya terjad pada pasien dengan gangguan ginjal, atau pada orang-orang
yang juga mengkonsumsi diuretik Hemat kalium, seperti triamterene atau spironolakton.
Calcium channel blocker merupakan vasodilator yang jarang digunakan pada pengobatan
gagal jantung karena berdasarkan percobaan klinis, tidak terbukti adanya manfaat
pemberian calcium channel blocker pada gagal jantung kongestif. Calcium channel
blocker digunakan untuk menurunkan tekanan darah jika penyebab terjadinya gagal
jantung kongestif adalah tekanan darah yang tinggi dan pada pasien yang tidak berespon
terhadap ACE inhibitor atau ARBs.4
5. Beta blocker
Beta blocker bertujuan untuk menghambat efek samping sistem syaraf simpatis pada
penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker efektif untuk menurunkan resiko
kematian pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker terbukti secara klinis dapat
30
mengontrol ejeksi fraksi ventrikel kiri (yang bernilai di bawah 35% hingga 45%) yang
telah diberikan diuretik dan ACE inhibitor dengan atau tanpa pemberian digitalis.
Namun, pada penderita dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat, denyut jantung yang
rendah (di bawah 65 kali/menit), atau tekanan darah sistolik yang rendah (di bawah 85
mmHg), atau pada pasien dengan NYHA IV, pemberian beta blocker tidak dianjurkan.
Obat ini dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan tekanan darah,
dan memiliki efek langsung terhadap otot jantung sehingga menurunkan beban kerja
jantung. Reseptor beta terdapat di otot jantung dan di dalam dinding arteri. Sistem syaraf
simpatis memproduksi zat kimia yang disebut sebagai norepinefrin yang bersifat toksik
terhadap otot jantung jika digunakan dalam waktu lama dan dengan dosis yang tinggi.4
Beta bloker bekerja dengan cara menghambat aksi norepinefrin di dalam otot
jantung. Dulunya, ahli medis mengobati gagal jantung dengan menghambat norepinefrin
yang bersifat buruk dan dapat memperburuk kondisi jantung karena norepinefrin bersifat
simultan sehingga menyebabkan denyut jantung semakin kuat. Namun, percobaan klinis
telah membuktikan bahwa beta bloker dapat memperbaiki fungsi sistolik ventrikel kiri
secara bertahap sehingga dapat mengurangi gejala dan memperpanjang kehidupan.4
6. Hidralazin
Hidralazin merupakan vasodilator yang dapat digunakan pada penderita gagal
jantung kongestif namun tidak memiliki efek yang sedikit terhadap tonus vena dan
tekanan pengisian jantung. Namun efek pemberian hidralazin tunggal tanpa kombinasi
dengan obat lain terhadap gagal jantung kongestif belum dapat dibuktikan secara klinis.
Pemberian hidralazin dan isosorbid dinitrat dapat menurunkan angka kematian penderita
gagal jantung kongestif.
BAB IV
ANALISA KASUS
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung
sehingga jantung tidak bisa memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan. Gagal jantung terbagi menjadi gagal jantung kiri, gagal jantung kanan dan gagal
jantung kongestif, yakni gabungan gagal jantung kiri dan kanan.
31
32
fisik diatas, dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis gagal
jantung kongestif, karena kriteria framingham sudah terpenuhi.
Terapi yang diberikan adalah furosemid 40 mg 1x1, pemberian diuretika ini
bertujuan untuk mengurangi edema yang ada pada pasien ini dengan mengurangi beban
awal jantung tanpa mengurangi curah jantung. Selain itu, juga diberikan digoksin 1x 0,25
mg untuk memperbaiki kontraktilitas jantung dan mengurangi adanya fibrilasi atrium
hingga tercapai kondisi dimana irama ventrikelnya terkontrol. Acetosal 100 mg diberikan
sebagai antiagregasitrombus, untuk mencegah terjadinya tromboemboli yang merupakan
komplikasi tersering pada penderita fibrilasi atrium. ambroxol syr. 3x1c untuk
mengurangi batuk pasien yang bertujuan mengurangi tekanan intrathoraks dan
menurunkan kebutuhan oksigen jantung. laxadine syr. 3x1c untuk mencegah terjadinya
peningkatan tekanan intra abdomen yang dapat meningkatkan kebutuhan oksigen.
Prognosis terapi terhadap os berupa quo ad vitam dubia didasarkan pada kondisi
pasien yang cenderung tidak stabil. Quo ad functionam malam didasarkan karena adanya
kerusakan yang permanen pada jantung pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: Pusat Penerbitan
FKUI; 2006
2. Ebbersole, Hess. Prevalence of CHF in old people. Available from URL: www.emedicine.library.com.
33
3. Imam, Ali. Peringatan Hari Hipertensi 2007 di RS Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita Jakarta, Available from URL: www.puskom.depkes.com
4.
South
Carolina:
2006.
Available
from
URL:
http://www.emedicinehealth.com/congestive_heart_failure/article_em.htm.
Diakses pada tanggal 24 Februari 2011
5. Miftah, Suryadipraja. Prevalensi Congestive Hearth Failure (CHF). Available
from URL: library.usu.ac.id./download/fkm-hiswani12.pdf
6. Klabunde, Richard E. Pathophysiology of Heart Failure. 2007. Available from
URL:
http://www.cvphysiology.com/Heart%20Failure/HF003.htm.
Diakses
34