Anda di halaman 1dari 9

Perilaku Kekerasan pada Pasien Gangguan Jiwa

dr.Lahargo Kembaren, SpKJ

ABSTRAK
Prilaku kekerasan merupakan suatu kedaruratan gangguan jiwa yang perlu mendapatkan
tatalaksana segera. Banyak etiologi yang menjadi penyebab munculnya prilaku kekerasan.
Penatalaksanaan pasien dengan prilaku kekerasan harus sistematis dan seksama untuk
meminimalkan resiko-resiko yang bisa terjadi. Penatalaksanaan dengan menggunakan
psikofarmaka dalam menangani pasien dengan prilaku kekerasan banyak dilakukan.
Keywords : prilaku kekerasan, gangguan jiwa, penatalaksanaan
PENDAHULUAN
Prilaku kekerasan merupakan masalah kesehatan yang masyarakat yang penting. Di Amerika
Serikat, homicide merupakan penyebab kematian ke-13 pada tahun 1997. Beberapa diagnosis
psikiatri termasuk gangguan mood, penyalahgunaan zat dan psikosis berhubungan dengan
peningkatan prilaku kekerasan. Pada pertemuan APA para ahli menfokuskan hubungan antara
prilaku kekerasan dengan gangguan psikiatri.1
Prilaku kekerasan adalah suatu bentuk penyerangan fisik yang dilakukan seseorang kepada orang
lain. Apabila hal itu dilakukan secara langsung kepada diri sendiri, hal itu disebut mutilasi diri
sendiri atau prilaku bunuh diri. Prilaku kekerasan dapat terjadi pada gangguan psikiatri dan dapat
juga terjadi pada orang normal yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup. Prilaku kekerasan
sering sekali menjadi sebab seseorang dibawa ke unit gawat darurat psikiatri. Dokter dan perawat
harus tahu bagaimana prosedur yang cepat untuk mengatasi keadaan ini. Prosedur ini meliputi
intervensi prilaku, farmakologi, dan psikososial. 2,6
Kata-kata seperti agresi, violence ( kekerasan ), kejahatan, sikap bermusuhan banyak ditemukan
dalam literatur. Agresi digunakan untuk manusia dan hewan. Pada manusia, agresi bisa
menunjukkan agresi verbal, agresi fisik terhadap benda, atau agresi fisik terhadap
orang.Tindakan agresi pada diri sendiri disebut mutilasi sendiri, tindakan bunuh diri juga
dimasukkan ke dalam definisi ini. Keadaan prilaku kekerasan hanya digunakan untuk
menggambarkan prilaku manusia yang menunjukkan agresi fisik yang dilakukan seseorang
terhadap orang lain. Kejahatan didefinisikan sebagai prilaku kekerasan yang intens dilakukan
dan melawan hukum. Hostility ( sikap bermusuhan ) adalah suatu definisi yang lebih renggang
untuk agresi, iritabilitas, kecurigaan, tidak kooperatif, dan kecemburuan.4
ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO PRILAKU KEKERASAN 2,3,5

Kondisi psikiatri yang paling sering berhubungan dengan prilaku kekerasan adalah gangguan
psikotik seperti skizofrenia dan mania ( terutama pada pasien paranoid atau yang mengalami
halusinasi tipe commanding ), intoksikasi alkohol dan obat-obatan, putus alkohol dan obat
hipnotik sedatif, kegelisahan katatonik, depresi yang teragitasi, gangguan kepribadian yang
ditandai dengan kemarahan dan pengontrolan impuls yang buruk ( contohnya gangguan
kepribadian ambang dan antisosial ), dan gangguan organik ( terutama yang menyangkut
keterlibatan lobus frontal dan temporal).
Diagnosis yang berhubungan dengan prilaku kekerasan :
1. Gangguan psikotik
a. Skizofrenia ( terutama paranoid dan katatonik )
b. Mania
c. Gangguan paranoid
d. Psikosis post partum
2. Gangguan mental organik
a. Delirium
b. Intoksikasi atau putus obat
3. Gangguan kepribadian
a. Antisosial
b. Paranoid
4. Masalah situasional
a. Pertengkaran dalam rumah tangga ( kekerasan oleh pasangan )
b. Penganiayaan anak
c. Homosexual panic
5. Gangguan otak
a. gangguan epilepsi
b. kerusakan struktural ( akibat trauma atau ensefalitis )
c. Retardasi mental dan disfungsi minimal otak

HUBUNGAN GANGGUAN JIWA DENGAN PRILAKU KEKERASAN


Gangguan kepribadian dan Agresi Impulsif
Karena agresi impulsif memainkan peranan yang besar terhadap insidens prilaku kekerasan maka
mengetahui hubungan antara prilaku dengan gangguan kepribadian sangatlah penting.

Determinan dari agresi impulsif menyangkut transmisi genetik, pengaruh lingkungan, dan
kondisi biologik yang abnormal. Studi yang dilakukan mengenai transmisi agresi impulsi pada
keluarga menunjukkan bahwa agresi impulsif lebih bersifat diturunkan daripada gangguan
kepribadian saja. Studi yang dilakukan pada individu dengan keluarga yang memiliki gangguan
eksplosif yang intermiten menunjukkan bahwa gangguan psikiatri lain seperti penyelahgunaan
zat, gangguan mood muncul pada kluster ini. Faktor lingkungan yang berpengaruh pada resiko
agresif impulsif adalah pengalaman atau menyaksikan prilaku kekerasan pada saat anak-anak.
Agresi impulsif dapat terlihat pada individu dengan gangguan kepribadian paranoid (20%),
ambang (23%), obsesif kompulsif (21%), narsisistik (13%), antisosial (10%).
Cocarro menunjukkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara beberapa pengukuran fungsi
serotonin dengan agresif impulsif pada individu dengan gangguan kepribadian. Kadar vasopresin
pada CSF berkorelasi positif dengan agresif impulsif, sedangkan vasopresin sendiri memiliki
korelasi terbalik dengan fungsi serotonin. PET scan menunjukkan bahwa individu dengan
gangguan eksplosif intermiten memiliki aktivitas serotonin yang lebih rendah di daerah korteks
orbital - frontal dibandingkan yang normal.
Beberapa studi menunjukkan adanya disregulasi pada sistem serotonin yang memainkan peranan
penting pada agresif impulsif. 5-HIAA CSF yang merupakan metabolit utama serotonin menurun
pada individu dengan riwayat agresif impulsif dibandingkan dengan mereka yang tidak
menderita akibat agresif impulsif dan juga pada orang normal.
Beberapa jenis obat telah diteliti sebagai terapi pada agresif impulsif. Obat seperti lithium dan
fenitoin setelah diteliti ternyata dapat mengurangi agresif impulsif pada para tahanan.
Carbamazepine dapat menurunkan agresif impulsif pada pasien dengan gangguan kepribadian
ambang, demikian juga dengan Amitriptilin. Studi sekarang ini memfokuskan pada penggunaan
serotonin reuptake inhibitor pada terapi agresif impulsif yang terjadi pada berbagai gangguan
jiwa. Cocarro dalam penelitiannya menunjukkan efek positif yang ditunjukkan pada pemberian
fluoxetine pada pasien dengan gangguan kepribadian ambang.
Depresi dan Prilaku kekerasan
Depresi dan prilaku kekerasan berhubungan bermakna dengan iritabilitas yang ditunjukkan
dalam suatu studi bahwa 37 % pasien depresi mengalami iritabilitas. Keadaan iritabilitas ini yang
kemudian dapat menjadi prilaku kekerasan dan kemarahan. Dibandingkan dengan konrol, pasien
dengan major depressive disorder yang dirawat di luar mengalami tingkat prilaku kekerasan yang
lebih banyak. Dari penelitian didapatkan bahwa 38 44 % pasien dengan major depressive
disorder dilaporkan melakukan prilaku kekerasan. Pasien dengan MDD yang melakukan prilaku
kekerasan banyak ditemukan pada pasien yang mengalami gangguan kepribadian. Pada individu
dengan MDD yang melakukan prilaku kekerasan, terdapat tanda-tanda otonomik yang menyertai
seperti : takikardi, hot flashes, dan berkeringat. Lebih dari 90 % pasien MDD yang melakukan
prilaku kekerasan melaporkan penyesalan dan merasa bersalah setelah melakukan kekerasan /
kemarahan tersebut. Dilaporkan 60 % pasien melakukan penyerangan kepada individu lain
secara fisik dan verbal dan 30 % melempar atau merusak benda. Beberapa studi melaporkan

bahwa agresi yang terjadi berhubungan dengan menurunnya fungsi serotonin. Terdapat
disregulasi dari neurotransmisi serotonin pada pasien MDD yang melakukan prilaku kekerasan
dibanding dengan pasien MDD saja. 1
Beberapa penelitian yang dilakukan melaporkan bahwa obat antidepresan khususnya serotonin
reuptake inhibitor efektif untuk mengurangi prilaku kekerasan. Respon terhadap depresi yang
ditunjukkan oleh obat ini sama baik depresi yang disertai prilaku kekerasan maupun yang tanpa
prilaku kekerasan. Individu dengan depresi tanpa prilaku kekerasan yang diberikan terapi dengan
fluoxetine atau sertraline mengurangi resiko terjadinya prilaku kekerasan. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa serotonin reupake inhibitor aman digunakan dan menunjukkan perbaikan
pada terapi prilaku kekerasan.1
Skizofrenia dengan prilaku kekerasan
Pasien dengan skizofrenia yang hidup di komunitas biasanya tidak akan jatuh pada kategori
prilaku kekerasan yang persisten tetapi mereka dapat menunjukkan prilaku kekerasan dan agresif
yang akut. Hal ini mungkin merupakan dekompensasi akut sekunder pada ketidakpatuhan pasien
minum obat. Dekompensasi juga dapat berhubungan dengan kegagalan regimen pengobatan.
Gambaran klinis seperti halusinasi commanding mengalami perburukan. Penelitian melaporkan
bahwa 24 44% prilaku kekerasan dilakukan oleh individu dengan skizofrenia selama fase akut
dalam penyakitnya. Kadar neuroleptik dalam darah berkorelasi terbalik dengan kejadian
berbahaya pada pasien skizofrenia yang dirawat. 4
Banyak penelitian yang menyelidiki efektifitas dari obat antipsikotik terbaru dalam menurunkan
prilaku kekerasan pada pasien yang dirawat. Banyak penelitian yang melaporkan terdapat
pengurangan tindakan seklusi dan restraint sejak diperkenalkannya clozapine. Perbandingan
yang sama juga terdapat pada penggunaan risperidone yang mengurangi serangan fisik, seklusi
dan restraint. Pada suatu studi dibandingkan terapi dengan haloperidol, risperidone, dan plasebo
yang menunjukkan bahwa penggunaan risperidone menurunkan prilaku kekerasan dua kali lebih
besar dibandingkan dengan haloperidol dan plasebo. Olanzapine dapat mengurangi prilaku agresi
pada pasien dengan mania akut dan juga pada pasien dengan skizofrenia. Chengappa melaporkan
bahwa penggunaan quetiapine menurunkan prilaku kekerasan pada pasien yang lebih tua
dibandingkan dengan obat antipsikosis yang lama. 1
Prilaku kekerasan dan penyalahgunaan zat
Hubungan antara prilaku kekerasan, penyalahgunaan zat dan agresi cukup kompleks. Intoksikasi
yang disebabkan oleh bermacam-macam zat berhubungan dengan prilaku kekerasan dan keadaan
neurokimia yang abnormal membuat seorang individu memiliki faktor resiko untuk timbulnya
prilaku kekerasan yang juga meningkatkan resiko penyalahgunaan zat. Penelitian yang dilakukan
menunjukkan 40% - 80% prilaku kekerasan yang terjadi berhubungan dengan penyalahgunaan
obat dan alkohol. Setengah dari prilaku kekerasan yang melakukan tindakan kriminal yang
ditangkap oleh polisi di USA menunjukkan hasil urin yang positif untuk penyalahgunaan obat.

Penyalahgunaan zat di rumah menjadi faktor prediktor yang kuat untuk timbulnya kekerasan
domestik. Disregulasi dari sistem serotonin menjadi faktor penyebab munculnya agresi dan
prilaku kekerasan, di mana sistem serotonin ini juga termasuk dalam gangguan penyalahgunaan
zat, terutama alkohol. Alkohol mengurangi sintesis serotonin, penurunan serotonin ini
menyebabkan munculnya prilaku kekerasan.1
Faktor resiko lain dari prilaku kekerasan termasuk pernyataan keinginan, rencana yang spesifik,
ketersediaan alat untuk melakukan prilaku kekerasan, laki laki, usia muda ( 15 24 tahun ),
status ekonomi yang rendah, sistem dukungan sosial yang buruk, riwayat prilaku kekerasan
sebelumnya, sikap antisosial, pengontrolan impuls yang jelek, riwayat percobaan bunuh diri,
stresor yang baru. Riwayat prilaku kekerasan sebelumnya merupakan prediktor terbaik dari
prilaku kekerasan. Faktor tambahan lainnya adalah : riwayat sebagai korban prilaku kekerasan
pada masa kecil, triad riwayat masa kecil yaitu : ngompol, membakar, kejam terhadap binatang,
catatan kriminal, bertugas sebagai polisi atau ABRI, mengemudi ugal-ugalan, riwayat keluarga
dengan prilaku kekerasan. Tujuan pertama dari penanganan pasien dengan potensial terjadinya
prilaku kekerasan adalah pencegahan terjadinya prilaku kekerasan yang segera. Tujuan
selanjutnya adalah membuat diagnosis yang akan mengarahkan pada rencana terapi yang akan
dilakukan.2
WAWANCARA DAN PROTOKOL PSIKOTERAPETIK 2
Bersikap suportif dan tidak mengancam pada pasien yang potensial prilaku kekerasan. Tetapi
harus tegas dan batasan yang jelas yang bila perlu bisa dilakukan restraint fisik. Tentukan
batasan yang ditawarkan dengan pilihan ( contoh, obat atau restraint) daripada perintah yang
provokatif seperti : Minum obat ini sekarang ! Katakan pada pasien bahwa tindakan kekerasan
tidak dapt diterima. Yakinkan pasien bahwa keadaan mereka aman. Tunjukkan sifat yang tenang
dan terkontrol. Tawarkan pada pasien obat-obatan yang dapat membuat mereka tenang.
EVALUASI & MANAGEMENT PASIEN DENGAN PRILAKU KEKERASAN 2,7
1. Lindungi diri. Anggaplah selalu bahwa prilaku kekerasan adalah kemungkinan dan jangan
biarkan diri kita terkejut dengan prilaku kekerasan yang tiba-tiba. Jangan pernah melakukan
wawancara dengan pasien yang bersenjata. Pasien harus menyerahkan senjatanya pada petugas
keamanan. Cobalah mencari tahu lebih banyak kemungkinan tentang pasien sebelum memulai
wawancara. Jangan pernah melakukan wawancara pada pasien yang potensial prilaku kekerasan
sendirian atau di ruangan tertutup. Jangan lupa untuk melepas dasi, kalung, dan asesoris pakaian
atau perhiasan yang digunakan yang bisa ditarik atau diambil oleh pasien. Tetaplah berada di
dalam jangkauan penglihatan staf yang lain. Serahkan tugas melakukan pengekangan fisik pada
perawat yang terlatih. Jangan berikan kepada pasien akses untuk memasuki ruangan dimana ada
alat/senjata yang bisa digunakan seperti ruangan terapi. Jangan duduk terlalu dekat dengan
pasien paranoid yang sewaktu waktu dapat merasa terancam. Jagalah jarak dengan pasien yang
potensial prilaku kekerasan paling dekat sepanjang lengan. Jangan pernah menantang atau

konfrontasi dengan pasien yang psikotik. Tetap waspada dengan tanda tanda prilaku kekerasan
yang akan terjadi. Selalu pikirkan jalan yang akan dilalui untuk meloloskan diri dengan cepat
apabila pasien melakukan penyerangan. Jangan pernah membelakangi pasien.
2. Tanda-tanda dari prilaku kekerasan yang akan terjadi termasuk : prilaku kekerasan yang terjadi
sekarang terhadap orang lain atau benda, merapatkan gigi dan mengepalkan tinju, ancaman
verbal, senjata atau benda yang kemungkinan dapat digunakan sebagai senjata ( seperti garpu,
pemecah es, asbak ), agitasi psikomotor, intoksikasi alkohol dan obat, waham paranoid,
halusinasi bentuk commanding
3. Yakinkan bahwa perawat telah siap melakukan pengekangan fisik yang aman terhadap pasien.
Panggillah anggota staf yang lain sebelum prilaku kekerasan yang terjadi menghebat. Sering
sekali dengan menghadirkan banyak anggota staf di ruangan dapat mencegah terjadinya prilaku
kekerasan ( Show of force).
4. Pengekangan fisik hanya dilakukan oleh petugas yang terlatih. Dengan pasien yang dicurigai
intoksikasi phencyclidine (PCP), pengekangan fisik terutama daerah tungkai harus dihindari.
Biasanya obat benzodiazepin dan anti psikotik diberikan dengan segera setelah dilakukan
pengekangan fisik untuk memberikan pengekangan secara kimiawi, tetapi pilihan obat
tergantung kepada diagnosis. Sediakan suatu lingkungan yang memiliki stimulus yang minimal.
5. Buatlah evaluasi diagnostik yang pasti, termasuk tanda vital, pemeriksaan fisik, riwayat
psikiatri sebelumnya. Evaluasi kemungkinan pasien melakukan tindakan bunuh diri. Buat
rencana terapi untuk managemen kemungkinan terjadi prilaku kekerasan lanjutan. Tanda-tanda
vital yang meningkat menunjukkan kemungkinan adanya withdrawl akibat alkohol atau obat
hipnotik sedatif.
6. Coba gali lebih dalam intervensi sosial yang mungkin dapat dilakukan untuk mengurangi
resiko prilaku kekerasan. Apabila prilaku kekerasan berhubungan dengan situasi spesifik atau
orang, cobalah untuk memisahkan pasien dari situasi dan orang tersebut. Coba untuk melakukan
intervensi keluarga dan manipulasi lingkungan lainnya. Apakah pasien akan tetap potensial
prilaku kekerasan apabila dia tinggal bersama dengan keluarganya?
7. Merawat pasien perlu dilakukan untuk menahan dan mencegah pasien melakukan prilaku
kekerasan. Observasi yang terus menerus harus dilakukan bahkan pada pasien yang dirawat di
sel isolasi yang terkunci.
8. Apabila tindakan psikiatri tidak membantu, kita dapat melibatkan polisi atau aparat lainnya.
9. Calon korban kekerasan harus diberikan peringatan tentang bahaya yang masih mungkin
terjadi apabila pasien tidak dirawat.
TERAPI PSIKOFARMAKA UNTUK PRILAKU KEKERASAN 3
Obat obatan sering digunakan untuk mengatasi prilaku kekerasan dan strategi pengobatan
psikofarmakologi yang sekarang memasukkan pengobatan terhadap prilaku kekerasan sebagai
salah satu sindrom yang khusus. Tujuan dari terapi kasus yang akut adalah untuk menenangkan
pasien sedangkan tujuan terapi kasus yang kronis adalah mengurangi frekuensi dan intensitas
setiap episode prilaku kekerasan. Pengobatan jangka panjang dilakukan apabila ada penyakit

yang mendasarinya. Pengobatan tambahan mungkin diperlukan apabila pendekatan terapi yang
standar tidak efektif. Setiap pasien yang melakukan prilaku kekerasan harus diberikan
pengobatan sesegera mungkin. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa faktor, sangat
tergantung pada riwayat dan pemeriksaan pasien, meskipun mungkin hanya sedikit waktu yang
tersedia untuk memeriksa pasien karena pasien sangat berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang
lain. Kondisi medis ( infeksi, toksik, fisiologik, dan metabolik ) seharusnya bisa diidentifikasi
karena membutuhkan terapi dan mungkin mempengaruhi pengobatan psikofarmakologik.
Benzodiazepine
Lorazepam adalah pilihan yang baik digunakan untuk mengobati pasien dengan agitasi dan
prilaku kekerasan secara khusus apabila etiologi masih belum jelas. Obat ini aman dan efektif.
Obat ini adalah satu satunya obat benzodiazepine yang diserap dengan baik apabila diberikan
intramuskular. Lorazepam juga dapat diberikan secara oral, sublingual, atau intravaskular.
Pemberian obat ini harus hati-hati karena dapat menimbulkan depresi pernafasan. Pemberian
Lorazepam juga dapat menimbulkan reaksi paradoksial. Benzodiazepine juga memiliki resiko
disalahgunakan karena itu sebaiknya tidak diberikan secara regular.
Antipsikotik
Generasi pertama. Obat neuroleptik menyebabkan efek sedasi ketika diberikan dengan dosis
yang tinggi. Haloperidol dapat diberikan secara intramuskular untuk mengatasi agitasi dan
prilaku kekerasan pada pasien dengan variasi penyebab yang luas. Haloperidol tidak terlalu
menyebabkan hipotensi dan hanya memiliki efek antikolinergik yang kecil dibandingkan dengan
neuroleptik yang low potency seperti Chlorpromazine. Tetapi kadang kadang neuroleptik
low potency kadang-kadang digunakan karena dokter menginginkan efek sedasinya. Dengan
mengobati psikosis yang menjadi penyebabnya, neuroleptik dapat memberikan efek jangka
panjang terhadap agitasi dan prilaku kekerasannya. Mania akut dapat dengan cepat dan efektif
diatasi dengan obat neuroleptik ini dan obat-obatan ini digunakan untuk mengatasi prilaku
kekerasan yang terjadi. Meskipun demikian obat neuroleptik dosis tinggi dapat menyebabkan
efek samping seperti akatisia ( tidak dapat duduk dengan tenang).
Generasi kedua / obat antipsikotik atipikal. Obat ini sekarang menjadi pilihan yang penting
dalam penanganan prilaku kekerasan pada pasien psikosis. Obat-obat ini mempunyai efek
samping yang lebih rendah dalam hal efek ekstrapiramidal, akatisia, dan tardive diskinesia
( repetitive, purposeless, involuntary movement), dan obat-obat ini memiliki efek antiagresif
yang spesifik. Obat antipsikotik yang digunakan termasuk Ziprasidone, Clozapine, Risperidone,
dan Olanzapine. Antipsikotik tidak dianjurkan diberikan pada pasien tanpa gangguan psikotik
atau bipolar. Dalam hal ini Lorazepam dan obat sedatif non spesifik lain dapat diberikan. Suatu
studi oleh Doskoch tahun 2001 menunjukkan bahwa Clozapine dapat mengurangi prilaku
kekerasan dan pencideraan diri sendiri pada pasien dengan retardasi mental.

Antidepresan
Antidepresan dapat mengurangi ketakutan, irritabilitas, dan kecemasan. Emosi ini memiliki
spektrum yang sama dengan agitasi. Penemuan sekarang menunjukkan bahwa obat ini dapat
menurunkan mood yang negatif dan prilaku kekerasan seperti juga perubahan positif pada
kepribadian. Pasien dengan gangguan kepribadian yang diberikan obat antidepresan serotonin ini
dapat berkurang irritabilitas dan prilaku kekerasannya. Pasien dengan agitasi posttraumatik
memiliki respon terhadap pemberian Amitriptilin.
Mood Stabilizer
Mood stabilizer digunakan untuk menangani pasien dengan gangguan bipolar dan sebagai terapi
tambahan pada skizofrenia. Obat obat ini digunakan juga untuk mengatasi prilaku kekerasan
meskipun bukan merupakan protitipe untuk tujuan ini. Valproate ( Depakene) banyak digunakan
untuk mengontrol prilaku kekerasan pada beberapa keadaan psikiatri seperti demensia, gangguan
kepribadian ambang, sindrom mood organik, gangguan bipolar, skizofrenia, gangguan
skizoafektif, dan retardasi mental. Divalproex ( Depakote ) dan Carbamazepine digunakan secara
luas untuk mengatasi impulsitas dan prilaku kekerasan. Sayangnya Carbamazepine mempunyai
efek samping seperti pusing, ataksia, kebingungan, agranulositosis dan hepatotoksis sehingga
penggunaannya terbatas. Divalproex memiliki sedikit efek samping dan interaksi obat yang
sedikit sehingga banyak digunakan sebagai mood stabilizer pada pasien demensia. Berkurangnya
prilaku kekerasan pada episode manik merupakan peran yang penting dari Lithium Carbonate.
Lithium juga digunakan untuk mengatasi prilaku kekerasan pada pasien dengan retardasi mental.
Lithium juga digunakan untuk mengurangi prilaku kekerasan pada tahanan yang mengamuk.
Meskipun efektif tetapi karena masalah tolerabilitasnya maka penggunaannya terbatas.
Beta Blocker
Beta adrenergik blocker khususnya Propranolol digunakan untuk mengatasi prilaku kekerasan
pada banyak diagnosis termasuk retardasi mental, autisme, sindrom otak psttraumatik, demensia,
Huntington disease, Wilson disease, psikosis postensefalitis, disfungsi sistem saraf pusat kronik
yang ditandai soft neurologic signs, EEG abnormal atau epilepsi. Propranolol juga digunakan
sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gejala prilaku kekerasan pada pasien skizofrenia.
Masalah utama yang timbul pada penggunaan propranolol untuk prilaku kekerasan adalah
terjadinya gangguan kardiovaskular yang sering. Beta blocker yang lain yang digunakan untuk
terapi prilaku kekerasan adalah Pindolol, Metoprolol, dan Nadolol.
Memilih Terapi Farmakologik yang terbaik
Sebelum memberikan pengobatan untuk prilaku kekerasan, dokter seharusnya yakin pasien telah
dievaluasi secara medis untuk melihat ada tidaknya kontraindikasi terapi dan kemungkinan

gejala prilaku kekerasan dapat berkurang dengan pengobatan yang tepat. Evaluasi psikiatri juga
diperlukan untuk menentukan apakah terdapat psikosis, depresi, ansietas, penyalahgunaan zat,
masalah psikiatri lainnya.
PENUTUP
Kita harus selalu siap menghadapi pasien dengan prilaku kekerasan karena kegawatdaruratan ini
bisa muncul pada berbagai gangguan jiwa. Dengan mengetahui penatalaksanaan yang tepat maka
kita dapat memanagement pasien dengan prilaku kekerasan dengan baik dan aman. Pengetahuan
akan psikofarmaka untuk pasien dengan prilaku kekerasan sangat penting untuk tata laksana.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brady KT. The Treatment and Prevention of Violence. Available at:
http://www.medscape.com/viewarticle Accessed February 1, 2008
2. Kaplan HI, Sadock BJ. Pocket Handbook of Emergency Psychiatric Medicine, Violence,
Maryland, USA, 1997: 369 372
3. Muscari M. What is the best pharmacotherapy for violent or aggressive behaviour? Available
at: http://www.medscape.com/viewarticle Accessed February 1, 2008
4. Citrome LL. Aggression Available at: http: //www.medscape.com /viewarticle Accessed
February 1, 2008
5. Rice ME, Harris GT, Quinsey VL. The Appraisal of Violence Risk. Curr Opin Psychiatry
15(6): 589-593, 2002. Lippincott Williams and Wilkins
6. Iverson GL, Hughes R. Monitoring Aggression and Problem Behaviours in Inpatient
Neuropsychiatric Unit. Psychiaric Service Agust 2000 Vol 51: 1040-1042
7. Ramadan MI. Managing Psychiatric Emergencies. The Internet Journal of Emergency
Medicine 2007. Volume 4 number 1. USA

Anda mungkin juga menyukai